Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA

PASIEN DENGAN SNAKE BITE

DISUSUN OLEH
1. NUR HOLIFAH (162303101096)
2. M. FATCHURROHIM KURNIAWAN (172303101009)
2. TANTI INDRA NUR CAHYANI (172303101029)
3. ANA RIFATUL HANIFAH (172303101032)
4. GREY SINTA KHOIRI (172303101042)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa.
Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat
yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang
berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap
suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-
kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat
meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.
Insiden kira – kira 8000 orang terkena gigitan ular berbisa setiap
tahun di Amerika Serikat, dengan lebih 98% dari gigitan mengenai
ekstremitas. Sejak tahun 1960, rata- rata 14 korban setiap tahun
meninggal di Amerika Serikat karena gigitan ular, dengan 70%
kebanyakan di lima daerah serikat termasuk Texas, Georgia, Florida,
Alabama, dan California Selatan.
Bisa dari ular berbisa mengandung hialuronidase, yang
menyebabkan bisa dapat menyebar dengan cepat melalui jaringan limfatik
superfisisal. Toksin lain yang terkandung dalam bisa ular, antara lain
neurotoksin, toksin hemoragik dan trombogenik, toksin hemolitik,
sitotoksin, dan antikoagulan.
Ular berbisa dibandingkan ular tak berbisa pit viper dinamakan
demikian karena memiliki ciri lekukan yang sensitif terhadap panas
terletak antara mata dan lubang hidung pada tiap sisi kepala. Pit viper juga
memiliki pupil berbentuik elips, berlainan dengan pupil bulatyang
memiliki ular jenis tak bebahaya. Sebaliknya, ular karang memiliki pupil
bulat dan sedikit lekukan pada muka. Pit viper memiliki gigi taring
panjang dan sederet gigi subkaudal. Ular tak berbisa banyak memiliki gigi
dibanding dengan taring dan mempunyai dua deret gigi subkaudal. Untuk
membedakan ular karang berbisa dengan ular lain yang mirip warnanya,
harus diingat bahwa ular karang memiliki hidung berwarna hitam dan
memiliki juga guratan cincin warna merah yang berdampingan dengan
warna kuning.
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah,
meringankan sakit, menenangkan pasien dan berusaha agar bisa ular tidak
terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa ke rumah
sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket
dianjurkan. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini
dikembangkan metode penanganan yang lebih baik yakni metode
pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal,
akan tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju
yang disobek menyerupai pembalut. Metode ini dikembangkan setelah
dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh limfa dari korban.
Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah
bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum
korban mendapat ditangani secara lebih baik di rumah sakit

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah definisi gigitan ular ?
2. Bagaimana etiologi gigitan ular?
3. Bagaimana patofisiologi gigitan ular ?
4. Apa manifestasi klinis gigitan ular ?
5. Bagaimana penatalaksanaan gigitan ular ?
6. Bagaimana Web Of Cause gigitan ular?
7. Bagimana asuhan keperawatan gigitan ular ?
1.3 TUJUAN

1. Tujuan Umum
Memahami dan memberikan asuhan keperwatan pada klien dengan
gigtan ular
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang definisi gigtan ular
b. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang etiologi gigtan ular
c. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang patofisiologi gigtan ular
d. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang manifestasi Klinis gigtan
ular
e. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penatalaksanaan gigtan ular
f. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Web of Cause gigtan ular
g. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang asuhan keperawatan gigtan
ular
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular
berbisa. Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa.
Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat
yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang
berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap
suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-
kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat
meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun
tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut
bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali
mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan
mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit
jaringan
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan
diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan
oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu
modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang
memiliki aktivitas enzimatik.

2.2 Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae,
dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti
edema dan pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal,
tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan
beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8
jam.

Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga
sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf
tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-
biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya
mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan
saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular
keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot
jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan
pada tempat gigitan.
g. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bias

2.3 Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin.
Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat
mengganggu berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem
kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai
saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat
mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan
kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh
darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem
pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi
koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.

2.4 Derajat gigitan ular


a. Derajat 0
- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
- Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
b. Derajat I
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
c. Derajat II
- Sama dengan derajat I
- Petechie, echimosis
- Nyeri hebat dalam 12 jam
d. Derajat III
- Sama dengan derajat I dan II
- Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
e. Derajat IV
- Sangat cepat memburuk

2.5 Manifestasi klinis


Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada
semua gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan,
ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan
bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan
ular berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai
dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati
rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :

a. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular
anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang
berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam
muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan,
sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata
menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur,
mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam
berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota
badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan
lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1) Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan
muntah.
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan
nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini
penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan,
ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya
pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositopeni.

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:

a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra
menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat
membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa
ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
b. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid
Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak
atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan
atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan
yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung
pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama
secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian
sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita
masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan
beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan
kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati
dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini
dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat
mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan
kebutaan sementara pada mata.

2.6 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung


sel darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis,
penentuan kadar gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang
hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu
pembekuan dan waktu retraksi bekuan.

2.7 Penatalaksanaan

a. Prinsip penanganan pada pasien gigitan ular:


1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2) Menetralkan bisa.
3) Mengobati komplikasi.
b. Pertolongan pertama :
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah
pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban.
Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu:
R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan
korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga
racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien
pingsan/panik karena kaget.
I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban
untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan
medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-
immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat
prosedur pressure immobilization (balut tekan).
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul ada korban.
c. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
Balut tekan pada kaki:
1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
2) Keringkan sekitar luka gigitan.
3) Gunakan pembalut elastis.
4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari
kaki naik ke atas.
6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
7) Jangan melepas celana atau baju korban.
8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai
menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki
yang tetap pink).
9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
Balut tekan pada tangan:
1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
4) Pasang papan sebagai fiksasi.
5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.

2.8 Komplikasi

a. Syok hipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

A. Pengkajian Primary Survey


1. Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada sputum, tidak
ada darah.
2. Breathing : klien mengalami sesak nafas, penggunaan otot bantu
pernafasan, RR = 32 x/menit, pengembangan dada simetris, suara
nafas vesikuler.
3. Circulation : ada perdarahan di tungkai kiri karena gigitan ular, N =
52x/menit, akral dingin, CRT >3 detik, sianosis.
4. Disability : kesadaran somnolent (E3V3M5), pupil isokor (2mm).
5. Exposure : terdapat perdarahan pada luka gigitan ular, adanya
edema pada luka, memar.
B. Pengkajian secondary survey
1. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : meochepal, rambut bersih, tidak beruban.
b. Mata : ishokor (2 mm), reaksi cahaya +, konjungtiva tidak
anemis.
c. Hidung : simetris, tidak ada polip, bersih.
d. Telinga : bentuk simetris kanan kiri, tidak terdapat serumen,
bersih
e. Mulut : mukosa bibir lembab, simetris.
f. Leher : penggunaan otot bantu pernafasan
(sternokleidomastoidius), tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
g. Dada :
a) Paru-paru : Inspeksi : pengembangan dada simetris, tidak ada
jejas
Palpasi : vocal fremitus teraba kanan kiri.
Perkusi : sonor
Auskultasi : Vesikuler, bronchovesikuler, bronchial.
b) Jantung : Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba ictus kordis di SIC V dan VI
Perkusi : Pekak
Auskultasi : terdengar bunyi S1 dan S2
c) Abdomen : Inspeksi : simetris, tidak ada luka
Auskultasi : peristaltic usus 6x/menit
Perkusi : Thympani
Palpasi : tidak ada pembesaran hepar, tidak ada massa.
d) Ekstremitas :
Ekstremitas atas : terpasang infus NaCl 0,9 % di tangan
dextra, tidak ada edema
Ekstremitas bawah : Akral dingin, bengkak pada luka gigitan,
kekakuan otot kaki dextra, nyeri pada luka.
C. DIAGNOSA
a. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin.
b. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat
metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi
endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur,
proses infeksi.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun,
kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
D. INTERVENSI
Diagnosa I :
Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam
rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:

1. Pertahankan jalan napas klien.


Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.

2. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.


Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia,
stres, dan sirkulasi endotoksin.
3. Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius
merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial,
atelektasis.
4. Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk
mengurangi ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
5. Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban
menurunkan pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan
viskositas sputum.

Diagnosa II :
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi
wajah/postur tubuh tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan
tidur/istirahat dengan tepat.

Intervensi:

1. Kaji tanda-tanda vital.


Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan
intervensi selanjutnya.
2. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan
mengetahui penyebab nyeri.
3. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
4. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk
membantu penyembuhan luka.

Diagnosa III :
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat
metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi
endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur,
proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari
kedinginan.
Intervensi:
1. Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi
akut.
2. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai
untuk mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu
menurunkan suhu tubuh.
3. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai
indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal.
4. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol
dapat membuat kulit kering.
5. Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
6. Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentralnya pada hipotalamus.
Diagnosa IV :
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan
untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan
tidak demam.
Intervensi:
1. Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
2. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan
pada organisme infeksius.
3. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah
luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
4. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko
infeksi.
5. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan,
bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi
jaringan) dan memberikan deteksi dini infeksi luka.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman

E. IMPLEMENTASI
Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin.
1. Mempertahankan jalan napas klien.
2. Memantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
3. Mengauskultasi bunyi napas.
4. Merubah posisi.
5. Memberikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.

Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.


1. Mengkaji tanda-tanda vital.
2. Mengkaji karakteristik nyeri.
3. Mengajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
4. Mempertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
5. Berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat


metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi
endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur,
proses infeksi.
1. Memantau suhu klien.
2. Memantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang
disukai untuk mempertahankan keseimbangan antara asupan
dan haluaran.
3. Memantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur
sesuai indikasi.
4. Memberikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan
alkohol.
5. Memberikan selimut pendingin.
6. Memberikan Antiperitik sesuai program.

Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan


untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka
1. Mengkaji tanda-tanda infeksi.
2. Melakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti
septik.
3. Mengingatkan klien untuk tidak memegang luka dan
membasahi daerah luka.
4. Mengajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
klien.
5. Memeriksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan
penampilan, bau luka.
6. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

F. EVALUASI
1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin.
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam
rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi
wajah/postur tubuh tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas
dan tidur/istirahat dengan tepat.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat
metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi
endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi
temperatur, proses infeksi.
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC),
bebas dari kedinginan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun,
kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka

Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat


purulen dan tidak demam.
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah,
meringankan sakit, menenangkan pasien dan berusaha agar bisa ular tidak
terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa ke rumah
sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket
dianjurkan. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini
dikembangkan metode penanganan yang lebih baik yakni metode
pembalut dengan penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal,
akan tetapi jika tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju
yang disobek menyerupai pembalut. Metode ini dikembangkan setelah
dipahami bahwa bisa menyebar melalui pembuluh limfa dari korban.
Diharapkan dengan membalut bagian yang tergigit maka produksi getah
bening dapat berkurang sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum
korban mendapat ditangani secara lebih baik di rumah sakit
4.2 Saran
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan
kepada dokter mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan
alergi pada obat – obatan tertentu, atau pemberian antivenom
sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Junaidi, Iskandar. 2010. Pedoman Pertama Yang Harus Dilakukan Saat Gawat
Darurat dan Medis. Yogyakarta: CV. Andi Offet.

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai