Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadits
Disusun Oleh :
Assalamualaikum Wr wb
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan karunia-nya sehingga selesailah tugas mata kuliah Studi hadits yang
dibimbing oleh bapak MOH.MISBAKHUL KHORI . TH.I dengan judul
PENGERTIAN TENTANG HADITS MUTAWATIR .
Demikian tugas ini disusun bertujuan agar bisa bermanfaat bagi
mahasiswa mahasiswi jurusan Sosiologi Agama fakultas Ushuluddin Dan Dakwah
tahun ajaran 2019 khususnya. Salama penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran agar kami
bisa memperbaiki untuk tugas yang akan datang. Dan kami juga mohon maaf jika
banyak terjadi kesalahan maupun kekurangan
dalam penyusunan makalah ini baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja karena kami yakin kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Wassalamualaikim Wr wb
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………...
DAFTAR ISI……………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………..
LATAR BELAKANG HADITS MUTAWATIR………………………….
RUMUSAN MASALAH………………………………………………..
TUJUAN MASALAH…………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………
PENGERTIAN HADITS MUTAWATIR………………………………………
MACAM-MACAM HADITS MUTAWATIR………………………………….
KEHUJJAHAN HADITS MUTAWATIR.…………………………………….
BAB III PENUTUP…………………………………………………………….
KESIMPULAN…………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian tentang Hadits Mutawartir ?
2. Apa Macam-macam Hadits Mutawatir ?
3. Apa kehujjahan Hadits Mutawatir ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui tentang pengertian Hadits Mutawatir.
2. Mengetahui macam-macam Hadits Mutawatir.
3. Memahami tentang kehujjahan Hadits Mutawatir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Kata mutawatir, secara bahasa, merupakan isim fa’il dari kata al-
tawatur yang bermakna al-tatabu’(berturut-turut)1. Dalam hal ini,
mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu baik
secara berturut-turut maupun secara terus-menerus tanpa adanya hal yang
menyela2 yang menghalangi kontinuitas itu. Pengertian etimologis ini, bila
dikaitkan dengan hadits menunjukan bahwa pada hadits mutawatir itu
antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain pada generasi
sebelum maupun sesudahnya terjadi hubungan berturut-turut, runtun
sehingga tidak terputus-putus dikarenakan jumlah pada masing-masing
generasi cukup banyak. Secara istilah dibagi 3 macam yaitu,
1. Menurut Mahmud Al-Thahhan, definisi hadits mutawatir adalah:
“Hadits yang diriwayatkan olah banyak periwayat yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka sepakat sepakat berdusta ( tentang hadits
yang diriwayatkan)”.3
2. Menurut Muhammad ‘Ajjjaj Al-Khathib, yaitu: “Hadits yang
diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka sepakat berdusta (tentang hadits yang diriwayatkan) dari
sejumlah periwayat dengan jumlah sepadan semenjak sanad pertama
sampai terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang dari pada setiap
tingkatan sanadnya”.4
3. Menurut Muhammad Muhammad Abu Syuhbah yaitu:”
Hadits yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut
1
Mahmud al- Tahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Surabaya: Syirkah bungkul indah, tth.), hlm
19.
2
Al-Hafizh Tsana’ Allah al-Zahidi, Tawjih al-Qari’ ila al-Qowa’id wa al-fawaid al-Ushuliyyah
wa al-Haditsiyyah wa al-Isnadiyyah fi Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hlm. 155.
3
Ibid.
4
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, hlm. 301.
akal sehat dan adat kebiasan mustahil mereka sepakat
berdusta (yang diriwayatkan) dari sejumlah periwayat dengan
jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad
terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap
tingkatan sanad nya dan sandaran beritanya berdasarkan
sesuatu yang dapat di indra seperti disaksikan, didengarkan,
atau pun sebagainya”.5
5
Muhammad Muhammad Abu Syubah, al-wasith fi ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits, (Kairo: Dar
al-Fikr, tth.), hlm. 184.
6
Rahman. Op.cit. hlm. 81.
7
Soetari. Op.cit. hlm. 121.
8
Soetari. Op.cit. hlm. 122.
Menurut Muhammad As-Shabaagh, harus bersifat dharuri yang
diperoleh dari pengamatan panca indra.9 Hal ini dimaksud agar berita
yang disampaikan di dasarkan pada ilmu yang pasti bukan berdasar
prasangka dan bersifat apologis dan apriori. Dengan harapan, sebagai
harapan oleh ibn hajar al-asqanali, berita ini disampaikan oleh para
periwayat hadist itu dapat melahirkan keyakinan pada diri orang- orang
yang mendengarnya tentang isi kebenaran isi berita tersebut.10
Menurut ibn taymiyah, orang yang telah meyakini kemutawatiran
suatu hadist, wajib memercayai kebenaran dan mengamalkan sesuai
dengan kandungan isinya. Sedang orang yang belum mengetahui
kemutawatirannya hendaklah mengikuti dan menyerahkan kepada orang
yang telah menyepakati kemutawatiran hadist tersebut.11
Mahmud Al-Tahhan menyatakan bahwa hadist mutawatir bersifat
dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan yang meharuskan manusia
memercayai dan membenarkan nya secara pasti seperti orang yang
menyaksikannya sendiri, tanpa disertai dengan keraguan sedikitpun.
Dengan demikian, seluruh hadits mutawatir dapat diterima (maqbul)
untuk dijadikan hujjah tanpa hatus menkaji para periwayatnya.12
Pendapat semua harus dikemukakan oleh muhammad ‘Ajjad al-khathib
bahwa dalam hadits mutawatir tidak dikaji tentang kualitas para
periwayatnya tetapi wajib diamalkan.13
9
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits, hlm. 165.
10
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhar, hlm. 39.
11
Ibnu Taymiyah, Majmu’ al-fatawa, jilid XVIII (Mekkah: tp., tth), hlm. 51.
12
Mahmud al-Thahhan, Taysir, hlm. 20.
13
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, hlm. 301.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhar, hlm. 39.
Ibnu Taymiyah, Majmu’ al-fatawa, jilid XVIII (Mekkah: tp., tth), hlm. 51.