Anda di halaman 1dari 5

Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 101,0%, C7H6O3 dihitung

terhadap zat yang telah dikeringkan. Kelarutan sukar larut dalam air dan dalam benzene, mudah larut
dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih agak sukar larut dalam kloroform. Penetapan kadar
timbang saksama lebih kurang 500mg zat, larutakan dalam 25 ml etanol encer P yang sudah dinetralkan
dengan natrium hidroksida 0,1 N tambahkan fenoftalein LP da titrasi dengan natrium hidroksida
(kementrian kesehatan RI, 2013 : 163-164)

Disolusi adalah proses pelepasan senyawa pbat dari sediaan dan melarut dalam media pelarut.
Disolusi mengacu pada proses ketika fase padat (misalnya tablet atau serbuk) masuk kedalam fase larutan
seoerti air. Intinya ketika obat melarut, partikel partikel padat memisah dan molekul demi molekul
bercampur dengan cairan dan tampak menjadi bagian dari cairan tersebut. Kecepatan disolusi adalah
jumlah zat aktif yang dapat larut dalam waktu tertentu pada kondisi antar permukaan cair-padat, suhu
dan komposisi media yang dibakukan (Harjadi, 1990 : 345)

Disolusi merupakan proses bergantung waktu atau kinetik yang menggambarkan tahap akhir
pelepasan obat, yang pada akhirnya dibutuhkam sebelum pbat dapat dibsorpsi atau memberikan efek
farmakologis. Setelah bentuk sediaan pafat, seperti tablet, diberikan melalui mulut pasien, sediaan ini
mula-mula harus berdisintegrasi menjadi pecahan partikel besar selanjutnya terjadi deagregasi dan
mebebaskan partikel-partikel individual untuk bentuk sediaan pelepasan segara, kecepatan transit
melewati usus dan profil permeabilitas usus halus terhadap obat menentuksn kecepatan dan besar
absorbsi obat (Sinko,2011 : 437).

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam
media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat
tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut kedalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut
kedalam media pelarut sebelum diserap kedalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah
bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep (Martin, 1993 : 223).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat
absorbsi. Dalam hal ini dimata kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium
basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses
melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989 : 367 ).

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika obat diberikan
sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorpsi terutama akan
tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika disolusi untuk suatu
partikel obat lambat, misalnya mungkin karea karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan,
proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel,
1989 : 370).

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan aktif sari bentuk
sediaanya biasanya ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007 : 221)

Penentuan permukaan kecepatan kelarutan suatu zat padat dapat dilakukan dengan metode :
(Ansel, 1989 : 54)
a. Metode suspensi
Bubuk zat padat digunakan atau ditambahkan pada pelarut pada pergantian nama ekstrak
terhadap luas permukaan partikelnya.
b. Metode permukaan konstan
Zat ditambahkan pada suatu wadah yang diketahui luasnya hingga variabel perbedaan
permukaan efektif dapat dihilangkan.
Faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993 : 330) :
1) Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zar yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut
Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :
D : koefisien difusi
r : jari jari molekul
k : konstanta Bolzman
n : viskositas pelarut
T : suhu
2) Viskositas
Turunnya viskositas perlarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu
zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meninginya suhu juga menurunkan
viskositas dan mempervesat kecepatan disolusi.
3) pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang berdifat
asam atau basa lemah.

Untuk asam lemah:

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian , kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah:

Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatn disolusi juga meningkat.

4) Pengadukan
Kecepatan pemgadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). Jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.
5) Ukuran partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6) Polimerfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh polimerfisme. Struktur internal zat
yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal
meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga
kecepatan disolusinya besar.
7) Sifat permukaan zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob.
Dengan adanya surfaktan didalam pelarut, tegangan permukaan anatar partikel
zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan
disolusinya betambah.
Prinsip kerja disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Dirjen POM, 1995 : 415):
1) Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang yang berbentuk silinder dan dipanaskan dengan tangas air pada suhu
37C
2) Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai
pengaduk. Batang benda pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih
dari 2mm pada setiap titik dari sumbu vartikel wadah dan berputar dengan halus
tanpa goyangan yang berarti.

Titrasi asam basa sering disebut aside-alkalimetri, sedang untuk titrasi pengukuran lain-lain sering
dipakai akhiran-ometri menggantinkan –imetri. Kata metri berasal dari bahasa yunani yang berarti ilmu
proses seni mengukur. I dan O dalam hubungan mengukur sama saja, yaitu dengan atau dari (with or off).
Akhiran I berasal dari kata latin dan O berasal dari kata Yunani. Jadi asidimetri dapat diartikan pengukuran
jumlah asam ataupun pengukuran dengan asam (yang diukur dalam jumlah basa atau garam) (Harjadi,
1990 : 200).

Titrasi asam dapat memberikan titik akhir yang cukup tajam dan untuk itu digunakan pengamatan
dengan indicator bilangan pH pada titik ekuivalen 4-10. Demikian juga titik akhir titrasi akan tajam pada
titrasi asam atau basa lemah. Jika penitrasian adalah basa atau asam kuat dengan perbandingan tetapan
disosiasi asam lebih besar dari 104 pH berubah secara drastic bila volume titrannya. Pada reaksi asam
basa, proton ditransfer dari suatu molekul ke molekul lain. Dalam arti proton biasanya tersolvasi sebagai
H3O. reaksi asam basa bersifat reversible. Temperature mempengaruhi titrasi asam basa, pH dan
perubahan warna indicator yang tergantung secara tidak langsung pada temperatut (Khopkar, 1990 : 501).

Pada kedua jenis titrasi diatas, dipergunakan indicator yang sejenis yaitu fenoftalen (PP) dan metil
orange (MO). Hal tersebut dilakukan karena jika menggunakan indikator yang lain, misalnya TB, MG atau
yang lain, maka trayek pHnya sangat jauh dari ekuivalen (Harjadi, 1990 : 210).

Pada tirasi asid—alkalimetri dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : (Susanti,1995 : 199)

1. Asidimetri. Titrasi ini menggunakan larutan standar asam yang digunakan untuk
menentukan basa. Asam yang biasa digunakan adalah HCl, asam cuka, asam oksalat, asam
berat.
2. Alkalimetri. Pada titrasi ini merupakan kebalikan dari asisi-alkalimetri karena larutan yang
digunakan untuk menentukan asam disini adalah basa.

Titrasi asam basa merupakan cara yang tepat dan mudah untuk menentukan jumlah
senyawa-senyawa yang bersifat asam dan basa. Kebanyakan asam dan basa organik dan
organic dapat dititrasi dalam larutan berair, tetapi sebagian senyawa itu terutama senyawa
organik tidak larut dalam air. Namun demikian umumnya senyawa organik dapat larut dalam
pelarut organik, karena itu senyawa organik itu dapat ditentukan larutan baku asam kuat
misalnya HCl, sedangkan untuk menentukan basa digunakan larutan basa kuat misalnya
NaOH. Titik akhir titrasi biasanya ditetapkan dengan bantuan perubahan indikator asam basa
yang sesuai atau dengan bantuan peralatan seperti potensiometri, spektrofometer,
konduktometer (Rivai, 1990 : 675).

Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer atau titrant. Kadar larutan
asam ditentukn dengan menggunakan larutan asam basa atau sebaliknya. Titrant
ditambahkan titer tetes demi tetes sampai mencapai keadaan ekuivalen (artinya secara
stoikiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi) yang biasanya ditandai dengan berubahnya
warna indicator. Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen” , yaitu titik dimana konsentrasi
asam sama dengan konsentrasi basa atau titik dimana jumlah basa yang ditambahkan sama
dengan jumlah asam yang dinetralkan : [H+] – [OH-]. Sedangkan keadaan dimana titrasi
dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indicator disebut sebagai “titik akhir
titrasi”. Titik akhir titrasi ini mendekati titik ekuivalen, tapi biasanya titik akhir titrasi melewati
titik ekuivalen oleh Karen itu titik akhir titrasi sering disebut juga sebagai titik ekuivalen (Esdi,
2011 : 490).
(n.d.).

Amir, S. d. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Gaya Baru.

Ansel. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Harjadi, W. (1990). Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia.

Khopkar, S. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Martin, A. (1993). Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press.

POM, D. (1995). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

RI, k. k. (2013). Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Kementrian kesehatan RI.

Rivai, H. (1990). Asas Pemeriksaan Kimia . Jakarta: UI Press.

Sinko, P. J. (2011). Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetla. Jakarta: EGC.

Susanti, S. (1995). Analisi Kimia Farmasi Kualitatif. Makasar: LEPHAS.

Anda mungkin juga menyukai