Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia di kenal sebagai bangsa yang beraneka ragam budaya, bahasa, suku
terlebih lagi bangsa Indonesia juga di kenal sebagai Bangsa yang beradab dan mempunyai
moral yang baik tehadap sesama, namun ironisnya melihat realita sekarang semakin tahun
Moral Bangsa kita sudah mulai luntur dan bisa dimungkinkan lama kelamaan Bangsa kita
dikenal oleh bangsa lain sebagai Bangsa yang tidak mempunyai Moral.
Sudah kita ketahui bahwasanya pendidikan anak usia dini di dunia yang berkembang
sudah berjalan cukup lama sebagai bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat, namun di
Negara kita berjalan belum cukup lama, tapi setidaknya sudah mulai mengikuti
perkembangan-perkembangan di Negara maju. Ini sebagai upayah pemerintah agar anak
bangsa bisa mempersiapkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan juga membekali
peserta didik dengan moral dan disiplin yang baik, selanjutnya tujuan dari pada pemerintah
yakni membekali anak usia dini agar ketika manjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi
supaya dapat beradaptasi dengan lingkungan bisa lebih cepat dan mudah karna sudah adanya
bekal sejak kecil.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Konsep Dasar Moral dan Disiplin Anak Usia Dini
B. Tahapan Perkembangan Moral
C. Disonansi Moral
D. Pendekatan dan Teori Perkembangan Moral
E. Strategi dan Contoh Penysunan dan Perencanaan Penanaman Serta Pengembangan Moral dan
Disiplin
F. Alat Penilaian Dalam Pengembangan Moral dan Disiplin pada Anak Usia Dini

III. PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Moral dan Disiplin Anak Usia Dini
Moral merupakan suatu kebiasan yang dilakukan setiap individu baik moral yang baik
atupun buruk. Moral berasal dari bahasa latin ”Mores” yang berarti tata cara, kebiasaan dan
adat. Prilaku sikap moral mempunyai arti prilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial yang di kembangkan oleh konsep Moral. Yang dinamakan konsap moral
ialah peraturan prilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep
moral inilah yang menentukan pada prilaku yang diharapkan dari masing-masing anggota
kelompok.
Menurut Piaget, hakikat Moral ialah kecenderungan menerima dan menaati system
peraturan. Selanjutnya ada pendapat lain seperti yang dikatakan oleh Kohlberg
mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak di bawa dari lahir, akan tetapi
sesuatu yang berkembang dan dapat dipelajari. Perkembangan Moral merupakan proses
internalisasi Nilai atau Norma masyarakat sesuai dengan kematangan seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupanya. Jadi perkembangan
Moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik atau buruk dan benar atau
salah, dan faktor afektif yaitu sikap atau Moral itu di praktekan.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah
mengamanatkan dilaksanakanya pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia sejak usia dini,
yakni sejak anak dilahirkan. Disebutkan secara tegas dalam UU tersebut bahwa pendidikan
anak usia dini adalah suatu pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan
usia 6 tahun yang dilakukan dengan cara pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan jasmani dan rohani agar anak mempunyai kesiapan untuk kejenjang yang lebih
lanjut. Saya memberikan stetmen dalam pendidikan Rohani disini bisa juga pendidikan moral
yang artinya moralitas yang baik sesama manusia.[1]
Contoh dari penerapan disiplin pada anak usia dini, misalnya: ada seorang anak
perempuan kecil berusia 4 tahun. Ia menangis berguling-guling di lantai karena mengantuk
dan meminta meminum susu sambil teriak keras memanggil Ibunya. Dan ibunya seolah-olah
tidak menghiraukan tindakan anaknya itu. Karna Ibunya telah memerintahkan anaknya
sehabis bermain dan sebelum minum susu cuci tangan terlebih dahulu, baru minum susu.
Namun, anaknya menginginkan Ibunya yang mencucikan tangannya” kamu sudah bisa cuci
tangan sendiri,” bentak Ibu. Anak itu semakin keras menangisnya dan meronta, membuat
keributan dalam rumah tersebut. Sewaktu anak berteriak keras, ibu menariknya kekamar
mandi untuk diguyur hingga basah kuyup lalu anak itu ditinggal ibunya untuk membereskan
rumah. Dengan terseduh-seduh anak tersebut melepaskan bajunya yang basah dan mengambil
handuk, mengeringkan badanya sendiri, kemudian dia naik keranjang dan tertidur pulas. Pada
waktu bangun ia berkata pada Ibunya,”Ibu, saya mau minum susu!” jawab Ibu,” baik nak,
sebelum minum susu, makan dulu yah’ pasti kamu lapar. Ibu ambilkan makan dan makanlah
sambil melihat akuarium.”
Ternyata, dengan berlaku demikian, Ibu anak trsebut sedang mengadakan percobaan
mengajarkan disiplin kepada anaknya menurut caranya sendiri. Apabila disekolah anak
tersebut maunya menang sendiri, bila berbaris tidak mau menuruti aturan, dia selalu teriak
minta paling depan, padahal harus bergantian dengan temanya. Namun, guru dengan cara
memberi aba-aba untuk balik arah dengan sendirinya anak tersebut berada pada posisi paling
belakang.[2]

B. Tahapan Perkembangan Moral


Menurut Kohlberg ada tiga tahapan perkmbangan:
1. Tingkatan tahapan Prokonvensional
dimana aturan ini berisi tentang ukuran Moral yang di buat otoritas oleh lembaga terkait,
pada tahapan perkembangan ini anak –anak tidak akan melanggar ketentuan yang berlaku di
lembaganya, di karnakan merasa takut atas ancaman dan hukuman yang telah di tentukan
oleh lembaganya, sehingga anak secara tidak sadar di tuntut untuk melaksanakan peraturan
dan takut melakukan larangan yang ada imbasnya anak akan selalu melakukan perbuatan
yang baik dan meninggalkan yang jelek.
Tingkatan yang pertama ini di bagi dua (2) tahap lagi:
 tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman: pada tahap ini anak hanya mengetahui
bahwa aturan-aturan yang ada ini di tentukan oleh adanya kekuasaan yang mana tidak bisa di
ganggu gugat oleh siapapun. Jadi dalam tahapan ini mau atau tidak harus mentaati peraturan
yang ada, di karnakan kalau tidak anak akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
pelanggaran yang di lakukan.
 Tahap Relativistik hedonosme: pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung
pada peraturan yang berlaku diluar dirinya yang di lakukan oleh orang lain yang mempunyai
otoritas. Jadi dalam hal ini anak sudah memulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai
beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (Relativisme ) orang yang membuat
peraturan dan kesenangan seseorang.
2. Tingkatan tahap Konvensional: dalam hal ini anak dituntut untuk mematuhi peraturan yang
telah disepakati bersama-sama agar dia mau diterima di kelompok sebayanya.
Kelompok ini tediri dari dua (2) tahap:
 Tahap Orientasi mengenai anak yang baik: dalam tahapan ini anak mulai memperlihatkan
orientasi terhadap perbuatan yang di nilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau sekitarnya.
Sesuatu dikatakan baik dan banar apabila segala sikap dan prilaku atau perbuatanya dapat di
terima oleh orang lain atau sekiternya.
 Tahapan mempertahankan Norma sosial dan otoritas : pada tahapan ini anak anak mulai
menunjukan perbuatan yang benar bukan hanya agar supaya diterima oleh lungkungan atau
sekitarnya saja akan tetapi juga bertujuan agar supaya dirinya dapat ikut serta
mempertahankan aturan dan norma atau nilai social yang ada sebagai kewajiban dan
tanggung jawab Moral untuk melaksanakan peraturan yang ada.
3. Tingkatan tahapan pasca Konvensional: pada tahapan ini anak mematuhi peraturan untuk
menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkatan ini juga terdiri dari dua (2) tahap:
 Tahap Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahap ini
ada hubungan timbale balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Jadi
dalam tahap ini anak akan menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab atas dirinya
dalam menjaga keserasian hidupnya di sekitarnya.
 Tahapan Universal: pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada pula
norma etik ( baik atau buruk, benar atau salah ) yang bersifat unifersal sebagai sumber
menentukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Perkembangan sosial dan moral yakni suatu proses perkembangan mental yang berhubungan
dengan perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain baik sebagai
indifidu maupun kelompok.[3]
Akan tatapi menurut J.Buul perkembangan moral dibagi menjadi empat(4) yaitu:
1) Tahap anomi
Ketidak mampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap di kembangkan
dalam lingkungan. Artinya bayi lahir dalam keadaan fitrah ( mempunyai potensi ) yang selalu
siap untuk di kembangkan. Jadi tergantung yang mau member warna
kehidupan,sikap,prilaku,moral yang akan di tanamkan sejak dini pada dirinya.
2) Tahap heteromoni
Dimana moral yang berpotensial dipacu berkembang orang lain atau otoritas melalui aturan
dan kedisiplinan. Artinya dengan bantuan orang lain baik keluarga maupun lingkungan itu
yang akan memacu perkembangan moralnya.
3) Tahapan Sosionami
Dimana moral berkembang di tengah sebaya atau dalam masyarakat, mereka lebih menaati
peraturan kelompok daro pada yang bersifat otoritas.
4) Tahap Otonomi
Tahapan ini mengenai tantang moral yang mengisi dan mengendalikan kata hatinya sendiri
serta kemampuan bebasnya untuk berprilaku tanpa campur tangan orang lain atau
lingkungan.
Ada pendapat yang mengatakan anak dilahirkan itu membawa fitrah keagamaan. Fitra
itu baru berfungsi dikemudan hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan setelah
berada pada tahap kematangan. [4]disamping itu perkembangan anak pada usia dini ditandai
dengan aspek moralitas heteronom, tetapi pada usia 10 tahun mereka beralih kesuatu tahap
yang perkembanganya lebih tinggi yang disebut dengan moralitas otonom.[5]

C. Disonansi Moral
Pada hakikatnya posisi anak sebagaimanusia pada umumnya memiliki tiga macam
tanaga dalam ( yang ada pada unsure pesikis ) keberadan tenaga dalam itu akan memberikan
pengaruh pada dirinya untuk melakukan berbagai kegiatan/aktifitas baik berupa sifat positif
maupun yang negative. Dorongan dari ketiga tenaga dalam inilah yang perlu dicermati oleh
para guru. Motifasi terhadap para peserta didik untuk menentukan dan mengarahkan anak
didik pada kegiatan positif. Kegiatan akan sangat berarti bagi peserta didik apabila mampu
membuahkan hasil adanya perubahan sikap dan prilaku kearah yang positif. Ketiga tenaga
dalam itu menurut istilah psikiligi dikenal dengan: Id, Ego, dan super Ego.
 Id adalah suatu dorongan yang bersal dari dalam diri seseorang untuk mendahulukan rasa,
enak, mencapai kenikmatan dan nafsu belaka
Sikap semacam ini mempunyai kecenderungan anak-anak bersikap instan dalam meraih
kehidupan
 Ego adalah ibarat suatu dorongan/tenaga dalam yang berasal dari jiwa seseorang yang
berfungsi menyeimbangkan kemauan dari Id dengan mencoba mengarahkan dorongan
tersebut dalam kenyataan hidup
 Super Ego adalah dorongan atau tenaga dalam yang berfungsi sebagai alat control terhadap
suatu dorongan yang berasal dari kemauan Id . control dari Super Ego disini berasal dari
ajaran Agama, moral atau norma yang diajarkandan di terima manusia.
Suatu contoh ilustrasi untuk memahami istilah tersebut: ketika seorang anak seusia
taman kanak-kanak disuruh mandi soere oleh Ibunya, ia akan tetap menginginkankan agar
dirinya tetap bermain tidak perlu mandi, ini ( Id ). Kemudaian Ibunya menasihati dengan
mengutip ucapan Ibu guru di TK bahwa untuk menjaga kesehatan kita harus mandi ( Super
Ego ) kemudian anak tersebut melihat teman-teman sebayanya sudah pada mandi tinggal dia
sendiri yang belum ( Ego ) maka disitulah peran orang tua atau guru untuk senantiasa
mengarahkan segala sesuatu yang timbul dari anak kearah yang positif dengan pendekatan
pendidikan. Dalam teori penanaman moral dan etika disini bisa di kenal sebagai istilah
Disonansi Moral.

D. Pendekatan dan Teori Perkembangan Moral


seperti yang dikemukakan oleh Kohlberg dan Piaget menunjukan bahwa sikap dan
prilaku moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang
berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi oleh sebab akibat dari
aktivitas spontan yang di pelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan
lingkunganya.
Selain perkembangan Moral, dalam mempelajari pola perkembangan Moral yang
berkaitan dengan ketaatan mematuhi suatu peraturan yang berlaku Universal, [erlu dibahas
pula mengengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata “Disciple” yang berarti seseorang yang
belajar dari dirinya sendiri atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin sangat
diperlukan salah satunya untuk membentuk prilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang
ditetapkan dalam kelompok budaya atau tempat orang tersebut menjalani kehidupan. Melalui
disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berprilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh
masyarakat lingkungan sekiternya. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter melalui
pengendalian prilaku dengan menggunakan hubungan secara Permisif atau Laissezfaire
melalui kebebasan yang di berikan terhadap anak tanpa adanya suatu hukuman atau bersifat
demokratis melalui penjelasan,diskusi dan penalaran mengenai peraturan yang berlaku.
Artinya anak di kasih penjelasan dan arahan serta di beri tahu maksud dan tujuan yang
tercantum dalam peraturan sehingga anak mampu mengerti tentang apa yang di harapkan
oleh lembaga terkait.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut:
a) peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk berprilaku dimana anak itu tinggal.
Mempunyai nilai pendidikan tentang arah yang akan diikuti dan ditaati anak dan juga
membantu mengekang prilaku yang tidak diinginkan.
b) Hukuman akan diberikan apabila anak melakukan kesalahan atau bertindak yang tidak sesuai
dengan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat dimana dia hidup. Hukuman yang
menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan atau tidak sesuai,
mendidik anak untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi anak untuk tidak berprilaku
yang tidak diterima oleh masyarakat.
c) Penghargaan diberikan apabila anak telah melakukan sesuatu dengan nilai atau norma yang
berlaku, mendidik anak dan memotifasi anak agar mengulangi prilaku yang baik dan benar
sesuai dengan harapan masyarakat.
d) Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak
membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu yang benar atau salah, baik atau buruk .
disiplin dapat barmanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap prilaku, menimbulkan
kepekaan atas sikap yang baik, benar dan adil serta mempengaruhi kepribadian anak dimana
sikap prilaku disiplin merupakan bagian yang terInternalisasi pada anak secara keseluruhan.

E. Strategi dan Contoh Penysunan dan Perencanaan Penanaman Serta Pengembangan


Moral dan Disiplin .
program pembentukan prilaku pada anak usia dini merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus dan ada pada kehidupan anak ditaman kanak-kanak. Melalui
program ini anak-anak diharapkan dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan disiplin.
Pembentukan prilaku melalui pembiasaan yang dimaksud meliputi pembentukan moral
agama, Pancasila, perasaan/emosi, kemampuan masyarakat, dan disiplin. Tujuan dari
program pembentukan prilaku adalah mempersiapkan anak sedini mungkin dalam
mengembangkan sikap dan prilaku yang didasari oleh nilai-nilai agama dan Pancasila.
Kompetensi dan hasil belajar yang ingin dicapai pada aspek pengembangan moral dan nilai-
nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan
Tuhan dan mencintai sesama. Penyusunan strategi dalam pengembangan moral anak usia dini
yang berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi dan menu pembelajaran anak usia dini
memiliki substansi ruang lingkup kajian sebagai berikut:
1. Latihan hidup tertib dan teratur
2. Aturan dalam melatih sosialisasi
3. Menanamkan sikap tenggang rasa dan toleransi
4. Merangsang sikap berani, bangga dan bersyukur, dan bertanggung jawab
5. Latihan pengendalian emosi dan
6. Melatih anak untuk dapat menjaga diri sendiri.

F. Alat Penilaian Dalam Pengembangan Moral dan Disiplin


Sekolah juga mempunyai tanggung jawab menilai anak-anak untuk mengidentifikasi
masalah pembelajaran yang potensial dan memberi tindakan penyembuhan yang sesuai bagi
anak-anak yang membutuhkannya. Diagnosis dan penyaringan untuk mengenali anak-anak
yang mungkin membutuhkan evaluasi dan campur tangan pendidikan lebih lanjut yang
dituntut oleh undang-undang federal, merupakan langkah yang penting dalam merancang
sebuah rencana pendidikan Individual Educational Plan (IEP).
Kemudian juga, karena anak-anak bersekolah, maka penilaian dan evaluasi itu
sangatlah penting. Informasi yang diperoleh lewat penilaian memberi tahu para guru
mengenai daya guna kurikulum atau program. Dengan informasi ini, para guru dan sekolah
memperoleh pengertian lebih baik mengenai apa dan bagaimana cara mereka merubah dan
memperbaiki program dan kurikulum guna meningkatkan kegunaannya. Maka dari itu, hal ini
membutuhkan alat penilaian dalam pengembangan moral dan disiplin yang diantaranya:

1. Pengamatan
Setiap hari, para guru secara sepontan mengamati anak-anak, berbicara dengan mereka, dan
berpikir mendalam mengenai pertumbuhan dan pembelajaran anak, bertanya kepada diri
sendiri, “apa yang dilakukan Sasha hari ini ?” atau berkata, “Asep sedang membuat kemajuan
yang baik di bidang belajar huruf-huruf. Ia memperlihatkan bahwa ‘A’ pada namanya adalah
huruf ‘A’yang sama pada awal nama Alisa”.
2. Daftar Periksa dan Skala Pemeringkatan
Pengamatan yang lebih terstruktur dapat dilakukan dengan menggunakan daftar cek dan
skala-skala tingkat. Para guru bisa merancang ini untuk maksud khusus, seperti untuk
menemukan keterampilan pemetaan mana yang digunakan anak-anak secara spontan ketika
mereka bermain, bagaimana mereka menggunakan bahan-bahan matematika yang diterapkan
di bidang mengurus rumah tangga, atau keterampilan sosial mana yang sedang berkembang.
3. Wawancara Terstruktur
Para guru bisa menggunakan jenis wawancara terstruktur yang sama untuk memeriksa
pemahaman anak tentang konsep, kenyataan, perasaan mereka, atau situasi-situasi sosial.
Sebagaimana karya hidup Piaget didasarkan pada pengamatan terhadap anak-anak.
Pengamatan terhadap ketiga anaknya sendiri menuntun dia ke pengembangan metode klinis,
yang menggabungkan pengamatan terhadap anak-anak dengan mengajukan pertanyaan,
memeriksa, dan mengamati kembali.
4. Standar dan Pembanding Kinerja
Untuk menilai apa yang telah dipelajari anak-anak, mereka dapat diberi tugas khusus untuk
dikerjakan. Tugas itu langsung berhubungan dengan sasaran dan tujuan kurikulum dan
program. Misalnya, standar kesenian menyatakan bahwa anak-anak harus mampu melakukan
delapan gerak dasar: berjalan, berlari, melompat-lompat dengan satu/dua kaki sekaligus,
melompat dari atas ke bawah, melompat cepat ke depan, berlari kencang meluncur, dan
melangkah cepat. Untuk menentukan apakah anak itu telah mencapai standar ini, guru
hendaknya meminta anak itu memperlihatkan gerak-gerak itu.
5. Contoh Karya dan Portofolio
Portofolio adalah kumpulan karya anak-anak yang menggambarkan usaha, kemajuan, dan
prestasi mereka, dan berpotensi menyediakan dokumentasi kaya bagi setiap pengalaman anak
selama setahun. Jika portofolio itu harus dipakai sebagai alat untuk menilai, mak pembuatan
portofolio itu dianjurkan menggunakan pendekatan yang relatif terstruktur. Penilaian
portofolio, yang telah dibuat untuk memprediksi secara tepat kinerja anak-anak dalam
melaksanakan tes yang dibakukan dan seluruh kinerja di sekolah, sangat dihargai oleh para
guru, orang tua dan anak-anak.
6. Evaluasi Diri
Anak-anak yang tahu diri sendiri mengetahui apa yang mereka lakukan dengan baik dan apa
yang perlu mereka pelajari, memiliki identitas diri yang kuat, dan bisa mengendalikan
perilaku dan pembelajarannya. Melibatkan anak-anak ke dalam evaluasi diri mereka sendiri
merupakan salah satu cara membina perasaan tentang ketepat gunaan atau pengendalian.
7. Tes Standar
Anak-anak usia tiga, empat, dan lima tahun boleh diberi beberapa jenis tes standar yang
berbeda, yang mencakup:
a. Tes kesiapan belajar
Tes kesiapan belajar disusun agar mampu menilai kemampuan anak-anak memanfaatkan
pelajaran berikutnya.
b. Tes kemajuan belajar
Tes kemajuan belajar dirancang untuk menilai apa yang sudah diajarkan kepada anak atau
sudah dipelajari dalam suatu bidang pengajaran, atau sekurang-kurangnya menentukan
sampel mengenai apa yang dapat dibuat anak pada saat itu.
c. Tes saringan dan diagnostik
Menurut undang-undang, sekolah bertanggung jawab mengidentifikasi potensi masalah
pembelajaran dan menyediakan tindakan penyembuhan bagi anak-anak yang dalam bahaya.
Diagnosis dan penyaringan terdiri dari prosedur penilaian singkat yang dirancang untuk
mengidentifikasi anak-anak yang mungkin memerlukan evaluasi dan campur tangan
pendidikan lebih lanjut.
d. Tes kecerdasan
Secara khusus, tes ini mengukur kecerdasan abstrak- kemampuan serta melihat hubungan-
hubungan, membuat generalisasi, dan menghubungkan dan mengorganisasikan gagasan yang
disampaikan dalam bentuk lambang.[6]

IV. KESIMPULAN
Menurut penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya setiap masing-
masing anak mempunyai sikap moral yang positif. Tegantung sejauh mana lingkungan
keluarga mendidiknya, sejauh mana peran lembaga untuk memberi bekal moral pada anak
bangsanya. Karna ketika bayi dilahirkan masih bersih dan sucu ( mempunyai potensi ) yang
akan siap dikembangkan. Secara umum ada beberapa tahap perkembangan moral menurut
Kohlberg yakni, tahap Prokonvensional, tahap Konvensional, tahap PascaKonvensional dan
menurut J.Bull perkembangan moral dibagi menjadi 4 yaitu, tahap Anomi, tahap Heteromoni,
tahap Sosionomi, tahap Otonomi

V. PENUTUP
Alhamdulillah dengan izin Allah yang maha kuasa makalah ini telah saya susun, dengan
suatu harapan bisa bermanfaat umumnya bagi yang membaca dan hususnya bagi saya pribadi
dan mudah-muadahan bisa menambah wawasan dan materi untuk kita. Akan tetapi saya
menyadari bahwa makalah yang kami buat masih kurang sempurna atau yang di harapkan
para pembaca, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan dengan
suatu tujuan saya bisa lebih baik lagi dalam membuat makalah, sekian dan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Mursyid, Manajmen lembaga pendidikan anak usia dini, Akfi media, semarang,2010

Santi, Danar,Pendidikan anak usia dini antar teori dan praktek,PT. Matanan jaya
cemerlang,2009

CarolSeefeldt dan Barbara, Pendidikan Anak Usia Dini,PT.Indek,2008

Santrock,Life-Span Development.2001

Tohirin, Psikilogi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005
[1] Mursyid, Manajmen lembaga pendidikan anak usia dini, Akfi media, semarang,2010,Hal.4
[2] Danar santi,Pendidikan anak usia dini antar teori dan praktek,Pt. Matanan jaya cemerlang,2009,hal,47-
48
[3] Tohirin, Psikilogi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005,hal.49.
[4] Jalaluddin, Psikologo Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1996, hal.65.
[5] Santrock,Life-Span Development.2001
[6] CarolSeefeldt dan Barbara, Pendidikan Anak Usia Dini,PT.Indek,2008, Hal.234-251

Anda mungkin juga menyukai