Anda di halaman 1dari 39

Tinjauan Farmakologi Penisilin

PPDS : dr. Fernando Wahyu

Pembimbing :
Dr.dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI

Program Studi Dokter Spesialis Farmakologi Klinik


Stase Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi Imunologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Februari 2017
1. Penisilin
1.1 Pendahuluan

Penisilin, sefalosporin, monobaktam dan karbapenem termasuk golongan


antibiotika betalaktam, karena pada struktur kimianya terdapat cincin betalaktam.
Semua antibiotika tersebut mempunyai mekanisme kerja yang mirip yaitu dengan
menghambat sintesis mukopeptida yang diperlukan untuk pembentukan dinding sel
bakteri.
1.2 Struktur Kimia dan Klasifikasi Penisilin

Penisilin dan sefalosporin merupakan kelompok antibiotik betalaktam yang telah


lama dikenal. Pada permulaan tahun 1970 telah didapatkan kelompok ketiga
antibiotika betalaktam yaitu kelompok asam 6-amidinopenisilanat, dengan mesilinam
sebagai antibiotik pertama dari kelompok ini. Penisilin merupakan asam organik,
terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti siklik terdiri dari cincin
tiazolidin dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang
dapat mengikat berbagai jenis radikal. Dengan mengikat berbagai radikal pada gugus
amino bebas tersebut akan diperoleh berbagai jenis penisilin, misalnya pada penisilin
G, radikalnya adalah gugus benzil. Penisilin G untuk suntikan biasanya tersedia
sebagai garam Na atau K. Bila atom H pada gugus karboksil diganti dengan prokain,
diperoleh penisilin G prokain yang sukar larut dalam air, sehingga dengan suntikan
IM akan didapatkan absorpsi yang lambat, dan masa kerja lama.
Beberapa penisilin akan berkurang aktivitas antimikrobanya dalam suasana asam
sehingga penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin lain
hilang aktivitasnya bila dipengaruhi enzim betalaktamase (dalam hal ini, penisilinase)
yang memecah cincin betalaktam. Radikal tertentu pada gugus amino inti 6-APA
dapat mengubah sifat kerentanan terhadap asam, penisilinase, dan spektrum sifat anti-
mikroba.
Gambar 1 Struktur inti dari 4 golongan antibiotik beta laktamase



Gambar 2 Rantai samping dari beberapa golongan penisilin (R groups)
Penggolongan Penisilin :
1. Penisilin (Co: Penisilin G) : memiliki aktivitas yang paling kuat
terhadap bakteri gram positif, kokus gram negatif, dan non beta
lactamase producing anaerobs. Dan sedikit memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri gram negatif
2. Antistaphylococcal penicillins (Co: Nafcillin) : penisilin jenis ini
resisten terhadap stafilokokus beta laktamase. Penisilin jenis ini aktif
terhadap stafilokokus dan streptokokus tetapi tidak aktif terhadap
enterokokus, bakteri anaerob, dan kokus gram negatif
3. Penisilin spektrum luas (aminopenicillins dan antipseudomonal
penicillins) : penisilin golongan ini mempertahankan spektrum
antibakteri dari penisilin dan dapat meningktakan aktivitas terhadap
bakteri gram negatif



1.3 Aktivitas Antimikroba

Satuan daya aktivitas kerja potensi penisilin. Potensi penisilin dinyatakan


dalam dua jenis satuan. Untuk penisilin G biasanya digunakan satuan aktivitas biologik
yang dibandingkan terhadap suatu standar, dan dinyatakan dalam Internasional Unit
(IU). Satu miligram natrium-penisilin G murni adalah ekivalen dengan 1667 IU atau 1
IU = 0,6 µg. Satuan potensi penisilin lainnya pada umumnya dinyatakan dalam satuan
berat.
1.4 Aktivitas dan Mekanisme Kerja

Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis


dinding sel mikroba . Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan menghasilkan
efek bakterisid.
Mekanisme kerja antibiotika betalaktam dapat diringkas dengan urutan sebagai
berikut:
(1) Obat bergabung dengan penicillin-binding protein (PBPs) pada kuman.
(2) Terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi
antar rantai peptidoglikan terganggu.
(3) Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
Di antara semua penisilin, penisilin G mempunyai aktivitas terbaik terhadap
kuman Gram-positif yang sensitif. Kelompok ampisilin, walaupun spektrum AMnya
lebar, aktivitasnya terhadap mikroba Gram-positif tidak sekuat penisilin G, tetapi
efektif terhadap beberapa mikroba Gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat di-
berikan per oral.
Spektrum Antimikroba. Penisilin G efektif terutama terhadap mikroba Gram-
positif dan Spirochaeta; selain itu beberapa mikroba Gram-negatif juga sangat
sensitif terhadap penisilin G misalnya gonokokus yang tidak menghasilkan
penisilinase.
Di antara kokus Gram-positif, enterokokus yang terendah sensitivitasnya. Hampir
semua infeksi oleh stafilokokus disebabkan oleh kuman penghasil penisilinase dan
karena itu harus diobati dengan penisilin yang tahan penisilinase (penisilin
isoksazolil). Stafilokokus yang resisten terhadap metisilin (methicilin-resistant S. aureus
= MRSA) harus dibasmi dengan vankomisin. Obat lain yang juga aktif terhadap
MRSA ialah kombinasi kuinupristin-dalfopristin dan linezolid. Gonokokus yang
dahulu sangat sensitif terhadap penisilin G, juga sudah banyak yang resisten. Obat
terpilih sekarang adalah seftriakson, fluorokuinolon oral dan sefiksim. Meningokokus
cukup sensitif terhadap penisilin G.
Dari kuman Gram-positif, C. diphtheriae dan B. anthracis bersifat sensitif,
sedangkan Clostridia dan Listeria sensitivitasnya cukup memadai. Di antara kuman
Gram-negatif hanya S. moniliformis (Haverrhillia) dan P. multocida yang cukup
sensitif, sedangkan yang lain (enterobacteriaceae) kurang atau sama sekali tidak
sensitif. Treponema pallidum, Leptospira, serta A. Israelii juga sensitif terhadap
penisilin G.
Penisilin V memiliki spektrum AM yang sama dengan penisilin G. Metisilin
spektrumnya lebih sempit daripada penisilin G, karena tidak efektif sama sekali
terhadap mikroba Gram-negatif. Indikasinya hanyalah untuk mengatasi infeksi stafilo-
kokus penghasil penisilinase. Aktivitasnya terhadap mikroba Gram-positifnya lainnya
juga kurang dari penisilin G. Sifat metisilin ini juga merupakan sifat umum penisilin
isoksazolil. Secara in vitro, aktivitas dikloksasilin dan flukloksasilin melebihi
kloksasilin dan oksasilin, dan yang dua tersebut terakhir aktivitasnya melebihi
metisilin. Tetapi di klinik, perbedaan ini tidak bermakna sebab tingkat aktivitas AM
yang dikehendaki dapat dicapai dengan penyesuaian dosis. Terhadap stafilokokus yang
tidak menghasilkan penisilinase, aktivitas penisilin isoksazolil, metisilin dan nafsilin
umumnya kurang bila dibandingkan dengan penisilin. G. Ampisilin merupakan
prototip golongan aminopenisilin berspektrum luas, tetapi aktivitasnya terhadap kokus
Gram-positif kurang daripada penisilin G. Semua penisilin golongan ini dirusak oleh
betalaktamase yang diproduksi kuman Gram-positif maupun Gram-negatif. Kuman
meningokokus, pneumokokus, gonokokus dan L. monocytogenes sensitif terhadap
obat ini. Selain itu H. influenzae, E. coli dan P. mirabilis merupakan kuman Gram-
negatif yang juga sensitif. Tetapi dewasa ini telah dilaporkan adanya kuman yang
resisten di antara kuman yang semula sangat sensitif tersebut. Umumnya pseudomonas,
klebsiela, serratia, acinetobacter dan proteus indol positif resisten terhadap ampisilin
dan aminopenisilin lainnya.
Perbedaan amoksilin dari ampisilin, ialah kurangnya efektivitas terhadap
shigelosis.
Yang termasuk dalam kelompok penisilin antipseudomonas ialah golongan
karboksipenisilin (karbenisilin dan tikarsilin) dan ureidopenisilin (azlosilin, mezlosilin,
dan piperasilin). Karbenisilin efektif terhadap pseudomonas dan strain proteus yang
resisten terhadap ampisilin. Batang Gram-negatif yang paling sensitif adalah P.
mirabilis. Resistensi terhadap karbenisilin cepat timbul, khususnya dalam percobaan in
vitro. Tikarsilin memiliki sifat yang sama dengan karbenisilin, kecuali aktivitasnya
terhadap pseudomonas lebih baik. Selain itu tikarsilin juga aktif terhadap B. fragilis.
Sulbenisilin, mempunyai spektrum antibakteri seperti karbenisilin. Azlosilin
mempunyai daya antipseudomonas 10 kali lebih kuat daripada karbenisilin.
Mezlosilin mempunyai daya antipseudomonas yang sebanding dengan tikarsilin. Obat
ini juga lebih kuat daya antibakterinya terhadap klebsiela dibandingkan dengan karbe-
nisilin. Piperasilin mempunyai daya antipseudomonas menyerupai azlosilin,
sedangkan terhadap klebsiela aktivitasnya serupa dengan mezlosilin.

1.5 Resistensi
Sejak penisilin mulai digunakan, jenis mikroba yang tadinya sensitif makin
banyak yang menjadi resisten.
Mekanisme resistensi terhadap penisilin ialah:
(1) Pembentukan enzim betalaktamase misalnya pada kuman S. aureus, H. influenzae,
gonokokus dan berbagai batang Gram-negatif. Dewasa ini dikenal lebih dari 50
jenis betalaktamase. Pada umumnya kuman Gram-positif mensekresi betalaktamase
ekstraselular dalam jumlah relatif besar. Kuman Gram-negatif hanya sedikit mense-
kresi keluar betalaktamase tetapi tempatnya strategis, yaitu di rongga periplasmik
di antara membran sitoplasma dan dinding sel kuman. Kebanyakan jenis
betalaktamase dihasilkan oleh kuman melalui kendali genetik oleh plasmid;
(2) Enzim autolisin kuman tidak bekerja sehingga timbul sifat toleran kuman
terhadap obat;
(3) Kuman tidak mempunyai dinding sel (misalnya mikoplasma);
(4) Perubahan PBP atau obat tidak dapat mencapai PBP.

Enzim penisilinase, selain bersifat konstitutif pada mikroba tertentu, dapat pula
dirangsang pembentukannya justru dengan penggunaan penisilin yang pada dasarnya
merupakan substrat yang sukar dirusak oleh enzim tersebut, misalnya oksasilin,
nafisilin dan metisilin.

1.6 FARMAKOKINETIK

ABSORPSI. Penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2). Cairan
lambung dengan pH 4 tidak terlalu merusak penisilin. Bila dibandingkan dengan dosis
oral terhadap IM, maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis
penisilin G oral haruslah 4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM. Oleh karena
itu penisilin G tidak dianjurkan untuk diberikan oral.
Larutan garam Na-penisilin G 300.000 IU (=180 mg) yang disuntikkan IM, cepat
sekali diabsorpsi dan menghasilkan kadar puncak dalam plasma setinggi 8 IU (= 4,8
µg)/mL dalam waktu 15 sampai 30 menit. Untuk memperlambat absorpsinya, peni-
silin G dapat diberikan dalam bentuk repositori, umpamanya penisilin G benzatin,
penisilin G prokain sebagai suspensi dalam air atau minyak.
Penisilin tahan asam pada umumnya dapat menghasilkan kadar obat yang
dikehendaki dalam plasma dengan penyesuaian dosis oral yang tidak terlalu ber-
variasi, walaupun beberapa penisilin oral diabsorpsi dalam proporsi yang cukup kecil.
Adanya makanan akan menghambat absorpsi; tetapi beberapa di antaranya dihambat
secara tidak bermakna. Penisilin V walaupun relatif tahan asam, 30% mengalami
pemecahan di saluran cerna bagian atas, sehingga tidak sempat diabsorpsi.
Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorpsi pada pemberian oral
dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan
dosis lebih kecil persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar.
Absorpsi ampisilin oral tidak lebih baik daripada penisilin V atau fenetisilin.
Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi obat. Perbedaan
absorpsi ampisilin bentuk trihidrat dan bentuk anhidrat tidak memberikan perbedaan
bermakna dalam penggunaan di klinik.
Absorpsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin. Dengan
dosis oral yang sama, amoksilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira
2 kali lebih tinggi daripada yang dicapai oleh ampisilin, sedang masa paruh eliminasi
kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan
di lambung, sedang amoksisilin tidak.
Metisilin tidak diberikan per oral sebab cepat dirusak oleh asam lambung dan ab-
sorpsinya buruk. Karbenisilin tidak diabsorpsi di saluran cerna. Pada pemberian 1 g
IM, kadar puncak karbenisilin dalam plasma mencapai 15 sampai 20 µg/mL dalam
0,5 sampai 2 jam. Aktivitasnya hilang sekitar 6 jam sesudah pemberian. Waktu paruh
eliminasi pada individu dengan fungsi ginjal normal, sekitar 1 jam dan dapat me-
manjang hingga 2 jam bila ada kelainan fungsi hati. Sekitar 50% obat ini terikat pada
protein plasma.
Tikarsilin, suatu bentuk ester lain dari karbenisilin, tidak stabil pada pH asam
sehingga harus diberikan parenteral. Sulbenesilin, azlosilin, mezlosilin dan piperasilin
juga diberikan parenteral.

DISTRIBUSI. Penisilin G didistribusi luas dalam tubuh. Kadar obat yang memadai
dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe dan semen, tetapi dalam CSS
sukar dicapai. Bila meningen dalam keadaan normal, sukar sekali dicapai kadar 0,5
IU/mL dalam CSS walaupun kadar plasmanya 50 IU/mL. Adanya radang meningen
lebih memudahkan penetrasi penisilin G ke CSS tetapi tercapai tidaknya kadar efektif
tetap sukar diramalkan. Pemberian intratekal jarang dikerjakan karena risiko yang
lebih tinggi dan efektivitasnya tidak lebih memuaskan.
Distribusi fenoksimetil penisilin, penisilin isoksazolil dan metisilin pada umum-
nya sama dengan penisilin G. Dengan dosis yang sama, kadar puncak dalam serum
tertinggi dicapai oleh diklosasilin, sedangkan kadar tertinggi obat bebas dalam serum
dicapai oleh flukloksasilin. Perbedaan nyata terlihat antara lain adalah dalam hal peng-
ikatan oleh protein plasma. Penisilin isoksazolil memiliki angka ikatan protein
tertinggi (Tabel 42-2). Dengan dosis yang sama, dikloksasilin oral maupun IV meng-
hasilkan kadar dalam darah lebih tinggi daripada oksasilin ataupun kloksasilin karena
adanya perbedaan distribusi dan eliminasi. Ampisilin juga didistribusi luas di dalam
tubuh dan pengikatannya oleh protein plasma hanya 20%. Ampisilin yang masuk ke
dalam empedu mengalami sirkulasi enterohepatik, tetapi yang diekskresi bersama tinja
jumlahnya cukup tinggi. Penetrasi ke CSS dapat mencapai kadar yang efektif pada ke-
adaan peradangan meningen. Pada bronkitis, atau pneumonia, ampisilin disekresi ke
dalam sputum sekitar 10% kadar serum. Bila diberikan sesaat sebelum persalinan,
dalam satu jam kadar obat dalam darah fetus menyamai kadar obat dalam darah ibu-
nya. Pada bayi prematur dan neonatus, pemberian ampisilin menghasilkan kadar
dalam darah yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah.
Distribusi amoksisilin secara garis besar sama dengan ampisilin. Karbenisilin pada
umumnya memperlihatkan sifat distribusi yang sama dengan penisilin lainnya
termasuk distribusi ke dalam empedu, dan dapat mencapai CSS pada meningitis.

BIOTRANSFORMASI DAN EKSKRESI. Biotransformasi penisilin umumnya


dilakukan oleh mikroba berdasarkan pengaruh enzim penisilinase dan amidase. Proses
biotransformasi oleh hospes tidak bermakna. Akibat pengaruh penisilinase terjadi
pemecahan cincin betalaktam, dengan kehilangan seluruh aktivitas antimikroba.
Amidase memecah rantai samping, dengan akibat penurunan potensi antimikroba.
Di antara semua penisilin, hanya penisilin isoksazolil dan metisilin yang tahan ter-
hadap pengaruh penisilinase; sedangkan amidase dapat mempengaruhi semua penisilin
tanpa kecuali. Untungnya tidak banyak mikroba yang menghasilkan enzim amidase.
Penisilin umumnya diekskresi melalui proses sekresi di tubuli ginjal yang dapat
dihambat oleh probenesid. Masa paruh eliminasi penisilin dalam darah diperpanjang
oleh probenesid menjadi 2-3 kali lebih lama. Selain probenesid, beberapa obat lain
juga meningkatkan masa paruh eliminasi penisilin dalam darah, antara lain
fenilbutazon, sulfinpirazon, asetosal dan indometasin. Kegagalan fungsi ginjal sangat
memperlambat ekskresi penisilin. Sebagai contoh, masa paruh eliminasi karbenisilin
yang pada ginjal sehat sekitar satu jam dapat memanjang menjadi 15 jam. Akumulasi
umumnya tidak terjadi karena peningkatan biotransformasi di hepar.
Sebanyak 75-85% dari dosis karbenisilin didapatkan di urin dalam bentuk aktif
setelah 9 jam pemberian.
1.7 EFEK SAMPING
Efek samping dari penisilin alam maupun sintetik dapat terjadi pada semua cara
pemberian, dapat melibatkan berbagai organ dan jaringan secara terpisah maupun
bersama-sama dan dapat muncul dalam bentuk yang ringan sampai fatal.
Frekuensi kejadian efek samping bervariasi, tergantung dari sediaan dan cara
pemberian. Pada umumnya pemberian oral lebih jarang menimbulkan efek samping
daripada pemberian parenteral.
1.8 REAKSI ALERGI
Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang tersering dijumpai pada
golongan penisilin bahkan penisilin G khususnya merupakan salah satu obat yang ter-
sering menimbulkan reaksi alergi. Terjadinya reaksi alergi didahului oleh adanya
sensitisasi. Namun mereka yang belum pernah diobati dengan penisilin dapat juga
mengalami reaksi alergi. Dalam hal ini diduga sensitisasi terjadi akibat pencemaran
lingkungan oleh penisilin (misalnya makanan asal hewan atau jamur).
Berdasarkan penelitian reaksi alergi obat dengan penisilin G, diketahui bahwa
determinan antigenik penisilin terbagi dalam dua kelompok yaitu determinan mayor
dan determinan minor. Pembagian ini didasarkan atas kadar hapten yang terbentuk.
Determinan mayor terdiri dari benzilpenisilin polilisin, sedangkan determinan minor
merupakan suatu kelompok yang terdiri dari campuran benzil penisilin, benzil
penisiloat, dan alfa-benzil penisiloilamin. Antibodi terhadap determinan mayor dan
minor bersifat skin-sensitizing, sehingga dengan uji kulit sukar membedakan masing-
masing determinan tersebut. Reaksi alergi immediate dan sindrom artralgia rekuren
biasanya berhubungan dengan hapten determinan-minor. Reaksi alergi accelerated,
late urticarial, beberapa reaksi makulopapular dan eritema berhubungan dengan
hapten determinan-mayor. Tidak semua orang yang memiliki antibodi-antipenisilin
akan mengalami reaksi alergi jika diberi obat ini. Tetapi sudah nyata bahwa mereka
yang bersifat atopik lebih besar kemungkinannya untuk mengalami reaksi alergi
penisilin.
Manifestasi klinik reaksi alergi penisilin yang terberat adalah reaksi anafilaksis
yang termasuk dalam kelompok reaksi alergi immediate. Reaksi ini umumnya akibat
reaksi IgE dengan determinan minor, dan lebih banyak terjadi pada pemberian
parenteral, tetapi pemberian oral dan pemberian uji kulit intradermal dapat pula
menimbulkan reaksi anafilaksis yang fatal. Reaksi alergi yang lain yang sifatnya berat
adalah angioedema, penyakit serum, dan fenomena Arthus.
Nefropati oleh penisilin (penisilin G, metisilin dan ampisilin), berupa nefritis
interstitium, diperkirakan terjadi berdasarkan mekanisme reaksi imun yang tidak
tergantung dari dosis dan lamanya terapi, khususnya pada penisilin G dan metisilin;
sedangkan ampisilin menimbulkan nefropati yang ada hubungannya dengan kadar
obat yang tinggi dalam serum. Walaupun nefropati penisilin lebih didasarkan atas
mekanisme reaksi imun, tidak dapat disingkirkan kemungkinan adanya efek nefro-
toksik langsung oleh penisilin yang diberikan dalam dosis yang sangat tinggi dan
untuk masa yang lama. Di antara ketiga penisilin tersebut, metisilin yang tersering
menyebabkan nefritis interstitium; bahkan telah dikemukakan bahwa frekuensi
kejadian efek samping lebih tinggi dari yang disangka selama ini.
Anemia hemolitik oleh penisilin juga terjadi berdasarkan mekanisme reaksi imun
dengan zat anti IgG atau IgM, atau kedua-duanya terlibat dalam kejadian ini.
Gangguan fungsi hati oleh penisilin diperkirakan berdasarkan mekanisme reaksi
imun pula dan dapat berkembang sampai menjadi hepatitis anikterik dengan
nekrosis sel hati tanpa kolestasis. SGPT, SGOT, CPK dan fosfatase alkali meningkat
cukup tinggi. Selain oleh karbenisilin, efek samping ini dapat pula ditimbulkan oleh
ampisilin dan oksasilin. Reaksi alergi yang sifatnya ringan sampai sedang berupa
berbagai bentuk kemerahan kulit, dermatitis kontak, glositis, serta gangguan lain pada
mulut, demam yang kadang-kadang disertai menggigil. Yang paling sering terjadi di
antara semuanya, adalah kemerahan kulit.
Tindakan yang diambil terhadap reaksi alergi ialah menghentikan pemberian obat
dan memberi terapi simtomatik dengan adrenalin. Bila perlu diberikan tambahan
antihistamin dan kortikosteroid sesuai dengan kebutuhan. Pemberian antihistamin
sebelum atau bersama-sama dengan pemberian penisilin tidak bermanfaat untuk
mencegah reaksi alergi yang berat (anafilaksis), sebab reaksi ini diperantarai oleh
berbagai zat, termasuk histamin, serotonin dan bradikinin.
Syok anafilaksis. Untuk menanggulangi syok anafilaksis akibat pemberian
penisilin atau obat lain, diberikan sesegera mungkin larutan adrenalin 1:1.000 secara
SK sebanyak 0,3-0,4 mL. Tidak dibenarkan memberikan adrenalin sampai 1 mL,
karena dengan dosis tinggi ini dapat terjadi reaksi paradoksal yaitu dominasi efek
terhadap adrenoseptor beta pada pembuluh darah otot sehingga dapat memperburuk
keadaan dengan lebih menurunkan tekanan darah pasien. Bila dalam 5 menit tekanan
darah pasien belum mencapai 90 mmHg, perlu diberikan lagi larutan adrenalin SK
dengan dosis dan cara yang sama. Hal ini perlu diulang sampai beberapa kali tiap 5-
10 menit apabila tekanan darah sistolik masih juga belum mencapai 90 mmHg. Pada
umumnya untuk mengatasi syok anafilaksis akibat pemberian obat diperlukan 1 sampai
4 kali suntikan 0,3-0,4 mL adrenalin SK. Pada syok berat dan lama dapat diberikan
hidrokortison 100 mg atau deksametason 5-10 mg secara IV atau IM sebagai
tambahan, yang berefek permisif terhadap adrenalin. Pemberian antihistamin IM tidak
efektif dan tidak dianjurkan.
Reaksi Toksik dan Iritasi Lokal. Pada manusia, penisilin umumnya tidak
toksik. Banyak di antara reaksi yang digolongkan sebagai efek toksik terjadi berdasarkan
sifat iritatif penisilin dalam kadar tinggi. Batas dosis tertinggi penisilin yang dapat
diberikan secara aman belum dapat dipastikan. Sejumlah orang pernah diberi penisilin
G IV sebanyak 40-80 juta unit sehari selama 4 minggu tanpa memperlihatkan efek
samping. Pada pasien tertentu kandungan natrium sediaan ini mungkin menyebabkan
gangguan keseimbangan elektrolit.
Hanya sebagian kecil kemerahan kulit oleh ampisilin berdasarkan reaksi alergi
dan di sini pemberian ampisilin harus dihentikan. Namun sebagian besar kemerahan
kulit diperkirakan karena reaksi toksik. Kemerahan ini bersifat difus, tidak gatal,
berbentuk makulo papular dan bersifat nonurtikarial. Kemerahan kulit ini sering
timbul 7-10 hari setelah dimulainya terapi dan menghilang sendiri walaupun
pemberian ampisilin diteruskan. Efek samping ini sering timbul bila ampisilin diberi-
kan kepada pasien infeksi virus misalnya mononukleosis infeksiosa. Jadi sebaiknya
penisilin tidak diberikan pada pasien mononukleosis.
Suntikan IM dapat menyebabkan rasa nyeri dan reaksi peradangan steril di
tempat suntikan, sedangkan suntikan IV dapat menyebabkan flebitis atau
tromboflebitis. Iritasi saluran cerna yang terjadi pada orang tertentu dapat
menyebabkan mual, muntah dan diare. Suntikan intratekal atau intrasisternal dapat
menyebabkan araknoiditis ataupun ensefalopati berat sampai fatal.
Metisilin dianggap derivat penisilin yang paling sering menimbulkan efek
samping nefritis interstitium, namun efek samping ini jarang terjadi. Pada biopsi
tampak adanya infiltrat mononukleus dengan eosinofilia dan kerusakan tubuli. Selain
itu di dalam interstitium terdapat imunoglobin G (IgG). Ampisilin dapat
menyebabkan ruam kulit yang tidak berdasarkan reaksi alergi, berupa delayed-
erythema.
Diatesis hemoragik merupakan efek samping lain yang dapat disebabkan oleh
karbenisilin, dan ini mungkin akibat terganggunya fungsi trombosit oleh suatu
metabolit karbenisilin. Diatesis hemoragik dapat pula ditimbulkan oleh tikarsilin,
ampisilin, metisilin dan penisilin G.
Efek toksik penisilin terhadap susunan saraf menimbulkan gejala epilepsi grand
mal, dan ini dapat ditimbulkan dengan pemberian penisilin IV dosis besar sekali.
Dasar kejadiannya diperkirakan akibat depolarisasi parsial dan peningkatan eksita-
bilitas membran neuron.
1.9 PENGGUNAAN KLINIK
INFEKSI KOKUS GRAM-POSITIF
INFEKSI PNEUMOKOKUS. Penisilin G sampai sekarang masih tetap efektif
terhadap semua jenis infeksi pneumokokus.
Pneumonia. Dosis penisilin G prokain 0,6 juta unit setiap 12 jam selama 7-10
hari biasanya sudah mencukupi untuk kasus-kasus tanpa komplikasi. Penisilin V oral
dan penisilin semisintetik tidak digunakan pada penyakit ini.
Meningitis. Penisilin sangat mengurangi mortalitas meningitis oleh
pneumokokus. Dosis yang dianjurkan ialah 20-24 juta unit penisilin G sehari; dapat
diberikan dengan tetesan atau bolus IV tiap 2-3 jam. Lama pengobatan sekitar 14 hari.
Endokarditis oleh pneumokokus (jarang dijumpai) memerlukan penisilin G 12-
20 juta unit sehari.
Lain-lain. Berbagai pneumokokus memerlukan dosis penisilin yang lebih tinggi
daripada dosis untuk penyakit-penyakit tersebut di atas, bahkan sampai 10-20 juta unit
sehari. Termasuk dalam kelompok ini: infeksi supuratif seperti artritis, osteomielitis,
mastoiditis, peritonitis, perikarditis. Dasar pertimbangan dosis tinggi ialah kesulitan
penetrasi obat ini ke dalam eksudat purulenta yang kadar fibrinnya cukup tinggi. Untuk
lebih mudah mencapai kadar yang tinggi dalam darah dan jaringan digunakan larutan
air penisilin G parenteral. Dalam hal ini terapi diteruskan paling sedikit 2 minggu.
Untuk pengobatan dan pencegahan penyebaran intrakranial dan infeksi telinga tengah
dan sinus paranasal oleh pneumokokus diberikan 0,3 juta sampai 0,6 juta unit prokain
penisilin G IM tiap 12 jam.
INFEKSI STREPTOKOKUS. Infeksi streptokokus yang paling sering terjadi
(95%) pada manusia disebabkan oleh S. pyogenes grup A (streptokokus β-hemolitik),
streptokokus α-hemolitik dan streptokokus nonhemolitik. Sensitivitasnya terhadap
penisilin G bervariasi, tetapi sebagian besar strain sensitif terhadap konsentrasi yang
rendah. Streptokokus anaerobik dan enterokokus pada umumnya sukar diatasi dengan
penisilin, tetapi cukup sensitif bila penisilin digabung dengan antibiotik aminogli-
kosida. Ampisilin merupakan obat terpilih terhadap S. faecalis.

Faringitis dan skarlatina. Terapi dengan penisilin G adalah yang terbaik untuk
penyakit ini khususnya untuk mencegah timbulnya demam rematik. Tetapi penisilin V
oral cukup efektif bila diberikan 500 mg tiap 6 jam selama 10 hari. Faringitis
supuratif sebaiknya diberi 0,6 juta unit penisilin G prokain setiap hari selama 10 hari,
atau 1,2 juta unit penisilin G benzatin IM untuk satu kali. Anak di bawah 5 tahun diberi
setengah dosis tersebut. Pada pasien kelompok pediatrik dianjurkan pemberian 0,9
juta unit penisilin G benzatin dengan 0,3 juta unit penisilin G prokain untuk satu kali
pemberian, sedangkan untuk dewasa cukup digunakan suntikan tunggal IM penisilin
G benzatin 1,2 juta unit. Agar kadar efektif dalam darah tercapai dengan cepat, dapat
dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian penisilin yang larut dalam air sebanyak
0,3 juta unit IM.

Demam rematik. Penisilin sangat berharga untuk mencegah eksaserbasi penyakit


ini, sebab lebih efektif dan lebih aman daripada sulfonamid. Untuk profilaksis pada
anak diberikan penisilin V 0,2 juta unit, dua kali sehari. Pada profilaksis secara paren-
teral sebaiknya digunakan penisilin G benzatin 1,2 juta unit untuk dewasa, dan untuk
anak di bawah 5 tahun diberikan 0,6 juta unit IM satu kali tiap 2-3 minggu. Anak
yang pernah menderita demam reuma dan tidak mendapatkan terapi profilaksis, harus
segera diberikan penisilin setiap kali ia mengalami infeksi streptokokus. Selain itu
penisilin juga harus diberikan sebelum tonsilektomi atau ekstraksi gigi pada kasus
demam rematik.

Meningitis. Dosis penisilin G untuk dewasa adalah 2-3 juta unit setiap 6 jam,
diberikan secara IV selama tidak kurang dari 2 minggu.

Pneumonia. Infeksi paru ini diobati sama dengan cara terapi meningitis oleh
streptokokus. Terapi dini diperlukan untuk mencegah komplikasi, misalnya empiema.
Empiema yang sudah ada sewaktu terapi dimulai, diobati seperti empiema oleh pneumo-
kokus.

Otitis media akut dan mastoiditis terutama yang bersifat purulenta sebaiknya
diberi penisilin parenteral. Bila terpaksa diberikan penisilin V per oral, maka dosisnya
adalah 0,4 juta unit setiap 6 jam, selama 2 minggu. Untuk anak-anak diberikan dosis
yang sama tetapi dengan frekuensi 3-4 jam sekali karena ekskresi penisilin lebih cepat
berlangsung pada kelompok umur ini. Ampisilin per oral cukup efektif pada otitis
media akut. Mastoiditis harus diberi penisilin G IM sebanyak 0,5 juta unit setiap 3-4
jam selama 2 minggu untuk mencegah komplikasi intrakranial yang sifatnya lebih
berat lagi. Untuk orang dewasa diberikan 1-2 juta unit penisilin IM setiap 6 jam
selama 2 minggu.

Endokarditis. Infeksi yang sifatnya akut oleh S. pyogenes, tadinya bersifat fatal.
Diagnosis dini dan pengobatan segera dengan penisilin memberikan hasil yang
memuaskan pada 50-75% kasus. Sediaan yang terpilih adalah penisilin G IV sebanyak 3-
5 juta unit setiap 6 jam selama 4 minggu. Terapi dini diperlukan untuk mencegah
kerusakan katup jantung serta gagal jantung berat.
Endokarditis subakut yang disebabkan oleh streptokokus lain, di antaranya S.
viridans, memerlukan uji sensitivitas terhadap penisilin lebih dahulu, sebab banyak di
antara penyebabnya yang resisten terhadap obat ini. Dengan adanya kemoterapi dan
perawatan yang baik, angka kematian oleh endokarditis subakut yang tadinya
mendekati 100%, telah turun mendekati 5%.
Bila etiologinya S. viridans yang sensitif terhadap penisilin, maka terapinya
penisilin G prokain 1,2 juta unit IV setiap 6 jam yang diberikan selama paling sedikit 2
minggu. Alternatif yang lebih sederhana adalah penisilin V 600-750 mg per oral
setiap 4 jam, ditambah streptomisin 0,5-1 g IM setiap 12 jam, dan terapi ini diberikan
selama 2 minggu. Bila diperlukan dapat diberikan penisilin IV untuk hari-hari pertama.
Endokarditis oleh enterokokus dapat diobati dengan penisilin G 3-5 juta unit IV
setiap 6 jam, ditambah streptomisin 0,5-1 g IM setiap 12 jam
INFEKSI STAFILOKOKUS. Pada waktu penisilin G mulai digunakan, hasil
terapi terhadap stafilokokus sangat memuaskan. Setelah itu kegagalan terapi terus
meningkat karena meningkatnya jumlah turunan stafilokokus penghasil penisilinase.
Populasi stafilokokus (baik dari dalam maupun luar rumah sakit) yang resisten
terhadap penisilin G kini telah melampaui 90%. Karena itu infeksi stafilokokus
seyogyanya diobati dengan penisilin isoksazolil, misalnya kloksasilin, dikloksasilin, dll.
INFEKSI KOKUS GRAM-NEGATIF

INFEKSI MENINGOKOKUS. Penisilin G merupakan obat terpilih, karena


sangat efektif tidak saja terhadap meningitis dan meningokoksemia tetapi juga untuk
artritis supuratif dan endokarditis akut oleh meningokokus. Dosisnya adalah 2 juta
unit IV setiap 2 jam. Terapi diberikan selama 12-14 hari. Untuk yang resisten
terhadap penisilin, alternatif yang efektif adalah kloramfenikol 1 g diberikan 4 kali se-
hari. Penisilin G tidak efektif untuk menghilangkan status pembawa kuman carrier
state.

INFEKSI GONOKOKUS. Karena meningkatnya resistensi, penisilin G


dewasa ini tidak lagi dianggap obat terpilih untuk gonore

SIFILIS Penisilin G merupakan obat yang sangat efektif, aman dan murah untuk
sifilis. Cara penggunaannya sangat sederhana, penyembuhan mudah dan cepat. Untuk
mengendalikan penyakit sifilis, khususnya dengan penisilin G, terdapat beberapa
regimen terapi.
Tindakan profilaksis setelah kontak dengan pasien sifilis sama dengan tindakan
terhadap gonore akut; yaitu dengan pemberian penisilin G prokain 2,4 juta unit.
Penisilin G benzatin juga efektif
INFEKSI BATANG GRAM-POSITIF

DIFTERIA. Antitoksin sangat diperlukan untuk mengurangi insidens


komplikasi dan mempercepat penyembuhan penyakit. Penisilin G digunakan hanya
untuk mengatasi status pembawa basil akut maupun kronik. Penisilin G prokain 2-3
juta unit sehari yang diberikan sebagai dosis tunggal atau terbagi selama 10-12 hari,
memberikan hasil terapi sangat memuaskan. Bagi mereka yang alergi terhadap
penisilin dapat diberikan eritromisin.

KLOSTRIDIA. Penisilin G merupakan obat terpilih untuk terapi gangren gas


dan tetanus; dosisnya 12-20 juta unit sehari selama 2 minggu. Untuk mendapatkan
hasil terapi yang memuaskan diperlukan penyingkiran jaringan rusak; dan pada
tetanus perlu ditambah toksoid tetanus dan imunoglobulin tetanus (ATS) sebab
penisilin G hanya tertuju untuk pembasmian mikroba vegetatif saja.
ANTRAKS. Penisilin G terpilih untuk semua bentuk klinik infeksi antraks.
Dosis 5-10 juta unit sehari terbagi untuk beberapa kali suntikan, diberikan selama 2
minggu. Beberapa turunan B. anthracis telah resisten terhadap penisilin G.

LISTERIA. Penisilin G parenteral dengan dosis 15-20 juta unit sehari di-
berikan sedikitnya 2 minggu pada meningitis, dan 4 minggu pada endokarditis. Dosis
setinggi ini khususnya diperlukan untuk neonatus dan individu dengan defisiensi
imunologik, dan terapi perlu sedini mungkin. Ampisilin juga cukup efektif.
Penambahan streptomisin dapat meningkatkan efektivitas.

ERISIPELOID. Infeksi Erysipelothrix rhusiophathiae tanpa komplikasi cukup


diobati dengan suntikan tunggal 1,2 juta unit penisilin G benzatin. Untuk endokarditis
diperlukan 12-20 juta unit sehari dalam dosis terbagi selama 4-6 minggu.

INFEKSI BATANG GRAM-NEGATIF

SALMONELLA DAN SHIGELLA. Pada gastroenteritis yang tidak berat oleh


basil yang sensitif terhadap ampisilin, terapi dengan dosis oral ampisilin 0,5-1,0 g 4
kali sehari cukup efektif. Untuk penyakit yang lebih berat (bakteremia, demam enterik
oleh Salmonella) diperlukan terapi parenteral.Untuk demam tifoid sampai awal 1970-
an, kloramfenikol adalah obat pilihan utama, kemudian mulai timbul strain
Salmonella yang resisten terhadap kloramfenikol. Selain itu efek samping yang fatal
terhadap sumsum tulang dapat terjadi, maka dewasa ini fluorokuinolon (misalnya:
siprofloksasin, levofloksasin) oral atau seftriakson suntik, menjadi pilihan utama, dan
kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol atau ampisilin menjadi pilihan kedua
sedangkan kloramfenikol pilihan ketiga. Dosis yang dianjurkan untuk ampisilin 1 g
setiap 6 jam sehari selama 14 hari, dosis trimetoprim 800 mg dan sulfa-metoksazol
160 mg setiap 12 jam selama 14 hari.
Para pembawa kuman yang sudah berlangsung selama 1 tahun atau lebih, akan
pulih kembali dengan memuaskan dengan terapi ampisilin 75-100 mg/kgBB sehari
selama 1-3 bulan. Dalam hal ini, hasil terapi tergantung dari ada tidaknya infeksi
kandung empedu. Adanya kelainan pada kandung empedu memerlukan pertimbangan
pengangkatan kandung empedu tersebut. Untuk tindakan pembedahan ini diperlukan
pemberian ampisilin sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
HAEMOPHILUS INFLUENZAE. Faringitis, otitis media, selulitis, dan
osteomielitis oleh kuman ini cukup responsif diobati dengan ampisilin; dan bila
infeksinya ringan cukup diberikan terapi per oral sehari, dibagi empat dosis selama 1-
2 minggu. Infeksi oleh H. influenzae penghasil betalaktamase dapat diobati dengan
kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol, amoksisilin-asam klavulanat atau ampisilin-
sulbaktam.

FUSO-SPIROCHAETA. Penyakit ini mudah diobati dengan penisilin. Infeksi


ringan misalnya gingivostomatitis cukup diobati dengan penisilin V oral, 4 kali 0,4
juta unit sehari. Infeksi lebih berat misalnya pada paru dan genitalia memerlukan
penisilin G parenteral 5-10 juta unit sehari.

PASTEURELA. Satu-satunya spesies yang sangat sensitif terhadap penisilin


adalah P. multocida, yang sering menyebabkan infeksi jaringan lunak, meningitis, dan
bakteremia. Terapinya adalah penisilin G parenteral 4-6 juta unit sehari paling sedikit 2
minggu.

RAT-BITE FEVER. Spirillium minor dan Streptobacillus (Haverhilia)


moniliformis sebagai penyebab, sensitif terhadap penisilin G.
INFEKSI OLEH KUMAN GRAM-NEGATIF LAINNYA. Ampisilin
bermanfaat terhadap infeksi kuman Gram-negatif yang sensitif terhadap obat ini,
misalnya infeksi saluran kemih oleh E. coli dan P. mirabilis, serta infeksi oleh H.
vaginalis.
Karbenisilin, tikarsilin, azlosilin, mezlosilin dan piperasilin umumnya dibatasi
penggunaannya terhadap infeksi oleh P. aeruginosa dan turunan Proteus indol positif
(P. vulgaris, P. morganii, P. rettgeri). Berbagai infeksi berat yang berhasil diatasi
dengan karbenisilin ialah meningitis oleh P. vulgaris dan pneumonia, infeksi saluran
napas atas, serta infeksi luka bakar oleh Pseudomonas. Infeksi berat sekali oleh
Pseudomonas diobati dengan kombinasi dengan gentamisin, karena kombinasi kedua
obat ini bersifat sinergistik. Dalam hal ini, penisilin antipseudomonas diberikan IV,
sedangkan gentamisin IM.
2. Sefalosporin

2.1 Pendahuluan

Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang diisolasi


pada tahun 1948 oleh Brotzu.

2.2 Struktur Kimia dan Penggolongan Sefalosporin


Inti dasar sefalosporin C ialah asam 7-aminosefalosporanat (7-ACA : 7-
aminocephalosporanic acid) yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin
betalaktam (Tabel 42-4). Sefalosporin C resisten terhadap penisilinase, tetapi dirusak
oleh sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang
kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.
Modifikasi R1 pada posisi 7 cincin betalaktam dihubungkan dengan aktivitas
antimikrobanya, sedangkan substitusi R2 pada posisi 3 cincin dihidrotiazin mem-
pengaruhi metabolisme dan farmakokinetiknya. Sefamisin mempunyai struktur kimia
yang mirip dengan sefalosporin, tetapi mempunyai gugus metoksi pada 7 cincin
betalaktam.
Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya
yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatann. Dewasa ini
sefalosporin yang lazim digunakan dalam pengobatan, telah mencapai generasi
keempat.
Generasi ketiga

sefotaksim

moksalaktam

seftizoksim

seftriakson

sefoperazon

N C
⏐⏐
⎯CH2N+
seftazidim N
S
H2 N
OC(CH3)2COOH

Generasi keempat
N C H3 C
sefepim ⏐⏐ +
S N N
⎯ CH2
H2 N
OCH

2.3 Aktivitas Antimikroba

Seperti halnya antibiotik betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba


sefalosporin ialah menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah
reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.
Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram-negatif, tetapi
spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi.

SEFALOSPORIN GENERASI PERTAMA (SG I)

In vitro, sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spektrum antimikroba


yang terutama aktif terhadap kuman Gram-positif. Keunggulannya dari penisilin ialah
aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap
sebagian besar S. aureus dan Streptococcus termasuk S. pyogenes, S. viridans dan S.
pneumoniae. Bakteri Gram-positif yang juga sensitif ialah S. anaerob, Clostridium
perfringens, Listeria monocytogenes dan Corynebacterium diphteriae. Aktivitas
antimikroba berbagai jenis sefalosporin generasi pertama sama satu dengan yang lain,
hanya sefalotin sedikit lebih aktif terhadap S. aureus. Mikroba yang resisten antara
lain ialah strain S. aureus resisten metisilin, S. epidermidis dan S. faecalis.

SEFALOSPORIN GENERASI KEDUA (SG II)

Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri Gram-positif dibandingkan dengan


generesi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman Gram-negatif; misalnya H.
influenzae, P. mirabilis, E. coli dan Klebsiella. Terhadap P. aeruginosa dan entero-
kokus golongan ini tidak efektif. Untuk infeksi saluran empedu golongan ini tidak
dianjurkan karena dikhawatirkan enterokokus termasuk salah satu penyebab infeksi.
Sefoksitin aktif terhadap kuman anaerob.

SEFALOSPORIN GENERASI KETIGA (SG III)

Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama


terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae,
termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P.
aeruginosa.
2.4 Farmakokinetik
Dari sifat farmakokinetiknya sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan.
Sefaleksin, sefradin, sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil, sefiksim,
sefpodoksim proksetil, seftibuten dan sefuroksim aksetil yang dapat diberikan per
oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalotin dan sefapirin umumnya
diberikan secara IV karena menyebabkan iritasi lokal dan nyeri pada pemberian IM.
Sefalosporin lain yang diberikan secara suntikan IM atau IV. Beberapa
sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson, sefepim, sefotaksim
dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS), sehingga
dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga
melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan
mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu
umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses
sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu.
Karena itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi
ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan
beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi;
metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.
2.5 Efek Samping

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip
dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu
anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya
terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan
atau sedang kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada pasien dengan pasien alergi
penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan sefalosporin atau kalau sangat
diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Reaksi coombs sering timbul
pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi. Depresi sumsum tulang terutama
granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.
Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan
dengan aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian
sefaloridin 4 g/hari (obat ini tidak beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis
terapi jauh kurang toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin
dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.
Diare dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya
terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal usus. Pemberian
sefamandol, moksalaktam dan sefoperazon bersama dengan minuman beralkohol
dapat menimbulkan reaksi seperti yang ditimbulkan oleh disulfiram. Selain itu dapat
terjadi perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia, dan/atau disfungsi trombosit,
khususnya pada pemberian moksalaktam.
2.5 Indikasi Klinik

Sefalosporin generasi I sangat baik untuk mengatasi infeksi kulit dan jaringan
lunak oleh S. aureus dan S. pyogenes. Pada tindakan bedah untuk mencegah kontami-
nasi bakteri yang berasal dari flora kulit, pemberian dosis tunggal sefazolin sesaat se-
belum tindakan dilakukan merupakan terapi profilaksis dengan hasil yang baik. Obat
ini juga sangat efektif untuk mengatasi infeksi oleh K. pneumoniae. Perlu mendapat
perhatian bahwa SG I tidak dianjurkan untuk mengatasi infeksi sistemik yang berat.
Sefalosporin generasi II umumnya sudah digeser oleh SG III untuk mengatasi
berbagai infeksi. Sefoksitin dan sefotetan memberikan hasil yang baik untuk meng-
atasi berbagai infeksi yang melibatkan bakteri Gram-negatif dan anerob (misalnya: B.
fragilis), seperti pada infeksi intra-abdominal, penyakit radang pelvis dan pada diabetic
foot.
Sefalosporin generasi III tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida
merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter,
Proteus, Provedencia, Serratia dan Haemophilus spesies. Seftriakson dewasa ini me-
rupakan obat pilihan untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.
Sebagai bagian dari 3 kombinasi dengan vankomisin dan ampisilin, sefotaksim atau
seftriakson digunakan untuk pengobatan meningitis pada dewasa dan anak usia lebih
dari 3 bulan (sampai penyebab infeksi diidentifikasi). Ketiga kombinasi ini merupakan
obat pilihan untuk meningitis oleh H. influenzae, S. pneumoniae yang sensitif, N.
meningitides dan bakteri enterik Gram-negatif. Seftazidim dalam kombinasi dengan
aminoglikosida merupakan obat pilihan untuk meningitis oleh P. aeruginosa. Untuk
pengobatan pneumonia yang didapat dari masyarakat misalnya oleh pneumococcus
atau S. aureus, sefotaksim dan seftriakson sangat efektif.
Sefalosporin generasi IV diindikasikan untuk terapi empirik infeksi nosokomial
yang diantisipasi disebabkan oleh bakteri yang memproduksi betalaktamase dengan
spektrum diperluas (extended spectrum betalactamase, ESBL) atau menginduksi
betalaktamase-kromosomal. Misalnya terhadap isolat nosokomial Enterobacter,
Citrobacter dan Serratia spp, sefepim lebih superior dibandingkan dengan seftazidim
dan piperasilin.
3. Antibiotik Beta Laktam Lainnya
3.1 Karbapenem
3.1.1 Pendahuluan
Karbapenem merupakan betalaktam yang struktur kimianya berbeda dengan
penisilin dan sefalosporin. Golongan obat ini mempunyai spektrum aktivitas yang
lebih luas.
3.1.a. Imipenem

Obat ini dipasarkan dalam kombinasi dengan silastatin agar imipenem tidak
didegradasi oleh enzim dipeptidase di tubuli ginjal.
Imipenem, suatu turunan tienamisin, merupakan karbapenem pertama yang
digunakan dalam pengobatan. Tienamisin diproduksi oleh Streptomyces cattleya.
Imipenem mengandung cincin betalaktam dan cincin lima segi tanpa atom sulfur.
Oleh enzim dehidropeptidase yang terdapat pada brush border tubuli ginjal, obat ini
dimetabolisme menjadi metabolit yang nefrotoksik. Hanya sedikit yang terdeteksi
dalam bentuk asal di urin.
Silastatin, penghambat dehidropeptidase-1, tidak beraktivitas antibakteri. Bila
diberikan bersama imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkatkan
kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal.
3.1.a2. Mekanisme Kerja dan Spektrum Antibakteri

Imipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis dinding sel kuman. In


vitro obat ini berspektrum sangat luas, termasuk kuman Gram-positif dan Gram-
negatif, baik yang aerobik maupun anaerobik; imepenem beraktivitas bakterisid.
Selain itu obat ini resisten terhadap berbagai jenis betalaktamase baik yang
diperantarai plasmid mupun kromosom. Imipenem in vitro sangat aktif terhadap
kokus Gram-positif, termasuk stafilokok, streptokok, pneumokok dan E. faecalis serta
kuman penghasil betalaktamase umumnya. Tetapi obat ini tidak aktif terhadap
stafilokok resisten metisilin atau galur yang uji koagulasinya negatif. Imipenem aktif
terhadap sebagian besar Enterobacteriaceae, potensinya sebanding dengan aztreonam
dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu spektrumnya meluas mencakup kuman
yang resisten penisilin, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Imipenem
juga sangat aktif terhadap meningokok, gonokokus dan H. influenzae termasuk yang
memproduksi betalaktamase. Terhadap Acinetobacter dan P. aeruginosa aktivitasnya
sebanding dengan seftazidim. Terhadap kuman anaerob aktivitasnya sebanding
dengan klindamisin dan metronidazole, tetapi terhadap Clostridium difficile tidak
aktif. Terhadap sebagian besar kuman yang sensitif terhadapnya, imipenem mem-
perlihatkan efek pasca antibiotik.

3.1.a3. Indikasi

Imipenem/silastatin digunakan untuk pengobatan infeksi berat oleh kuman


yang sensitif, termasuk infeksi nosokomial yang resisten terhadap antibiotik lain,
misalnya infeksi saluran napas bawah, intra abdominal, obstetri-ginekologi, osteomie-
litis dan endokarditis oleh S. aureus. Untuk infeksi berat oleh P. aeruginosa dianjurkan
agar dikombinasikan dengan aminoglikosida, karena berefek sinergistik.

3.1.a4. Farmakokinetik

Imipenem maupun silastatin tidak diabsorpsi melalui saluran cerna, sehingga


harus diberikan secara suntikan. Setelah pemberian masing-masing 1 g imi-
penem/silastatin secara infus 30 menit, kadar puncak rata-rata dapat mencapai 52 dan
65 µg/mL. Enam jam kemudian kadar menurun sampai 1 µg/mL. Kadar puncak
imipenem dalam plasma (10 dan 12 µg/mL) dicapai dalam 2 jam. Kadar puncak
silastatin 24 dan 33 µg/mL yang dicapai 1 jam sesudah pemberian. Kira-kira 20%
imipenem dan 40% silastatin terikat protein plasma. Distribusi obat ini merata ke
berbagai jaringan dan cairan tubuh. Pada meningitis, pemberian 1 g obat ini tiap 6 jam,
akan mencapai kadar dalam cairan otak setinggi 0,5 dan 11 µg/mL. Kadar imipenem
dalam empedu umumnya rendah. Obat ini diekskresi melalui filtrasi glomerulus dan
sekresi tubuli ginjal.
Bila diberikan bersama silastatin, ± 70% dari dosis imipenem diekskresi di urin
dalam bentuk asal 10 jam sesudah pemberian, sisanya dimetabolisme. Silastatin
diekskresi dalam urin sekitar 75% dalam bentuk asal, sisanya dimetabolisme. Metabolit
utama sebanyak ± 12% dari dosis terdapat di urin sebagai N-asetil silastatin. Ekskresi
imipenem maupun silastatin melalui tinja hanya sekitar 1%.
Waktu paruh imipenem dan silastatin ± 1 jam pada orang dewasa. Pada kelainan
fungsi ginjal waktu paruh imipenem dapat mencapai 3,5 sampai 4 jam dan silastatin
sampai 16 jam sehingga perlu penyesuaian dosis. Pada hemodialisis waktu paruh
imipenem 2,5 jam dan silastatin 3,8 jam, sehingga sesudah dialisis perlu dosis
suplemen.
3.1.a5. Efek Samping
Efek samping yang paling sering dari imipenem ialah mual, muntah, kemerahan
kulit dan reaksi lokal pada tempat infus. Kejang dilaporkan terjadi pada 0,9% dari 1.754
pasien yang mendapat obat tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut obat ini
dikontraindikasikan pada pasien yang berisiko tinggi untuk menderita kejang. Bila
diberikan bersama siklosporin sebaiknya hati-hati, karena keduanya dapat mengganggu
susunan saraf pusat.
3.1.b. Meropenem

Meropenem suatu derivat dimetilkarbamoil pirolidinil dari tienamisin. Berbeda


dengan imipenem, obat ini tidak dirusak oleh enzim dipeptidase di tubuli ginjal,
sehingga tidak perlu dikombinasikan dengan silastatin. Secara umum efek toksiknya
sama dengan imipenem, hanya obat ini dilaporkan kurang menyebabkan kejang.
Spektrum aktivitas in vitro dan efek kliniknya sebanding dengan imipenem.
3.2. Monobaktam
3.2.1. Pendahuluan
Monobaktam merupakan suatu senyawa betalaktam monosiklik, dengan inti
dasar berupa cincin tunggal, asam-3 aminobaktamat.
Struktur ini berbeda dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam
terdahulu misalnya penisilin, sefalosporin, karbapenem, berinti dasar cincin ganda.

+
H3 N

3 4

2 1


O SO3

Struktur Kimia Monobaktam


Monobaktam pada awalnya diisolasi dari kuman a.I. Gluconocabacter,
Acetobacter, Chromobacterium, tetapi aktivitas antibakterinya sangat lemah. Kemudi-
an dikembangkan monobaktam sintetik, yaitu aztreonam, dengan menambahkan suatu
oksim-aminotiazol sebagai rantai samping ditambah gugus karboksil pada posisi 3
dan satu gugus alfa-metil pada posisi 4. Perubahan struktur tersebut sangat mening-
katkan stabilitas aztreonam terhadap berbagai betalaktamase dan aktivitas antibakteri-
nya terhadap kuman Gram-negatif aerobik, termasuk Pseudomonas aeruginosa.
3.2.a. Aztreonam
Aztreonam merupakan derivat monobaktam pertama yang terbukti bermanfaat
secara klinis.

Struktur Aztreonam

3.2.a1 Mekanisme Kerja

Aztreonam bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel kuman, seperti


antibiotika betalaktam lain. Antibiotik ini dengan mudah menembus dinding dan
membran sel kuman Gram-negatif aerobik, dan kemudian mengikat erat penicilin-
binding-profein 3 (=PBP 3). Pengaruh interaksi tersebut pada kuman ialah terjadi
perubahan bentuk filamen, pembelahan sel terhambat dan mati. Kadar bunuh minimal
aztreonam terhadap kuman yang peka tidak banyak berbeda dengan KHMnya.
Aztreonam tidak aktif terhadap kuman Gram-positif dan kuman anaerob.
Aztreonam hanya aktif terhadap kuman Gram-negatif aerobik termasuk
Haemophilus influenzae dan meningokok serta gonokok yang menghasilkan
betalaktamase. Terhadap Enterobacteriaceae, termasuk yang resisten terhadap
penisilin, sefalosporin generasi satu dan aminoglikosida, potensinya sebanding dengan
sefalosporin generasi ketiga. Terhadap berbagai strain Pseudomonas aeruginosa,
aztreonam sangat aktif, tetapi seftazidim sedikit lebih poten. Obat ini tidak aktif
terhadap spesies Acinetobacter, Xantomonas maltophilia, Achromobacter xyloxidans,
spesies Alcaligenes dan Legionella pneumophila. Aztreonam tahan terhadap betalak-
tamase umumnya, kecuali betalaktamase tertentu seperti yang dihasilkan Klebsiella
oxytoca suatu kuman yang jarang ditemukan.
3.2.a2 Farmakokinetik

Aztreonam harus diberikan secara IM atau IV, karena tidak diabsorpsi melalui
saluran cerna.
Kadar puncak dalam serum darah pada pemberian 1 g IM dalam waktu 60 menit
mencapai 46 µg/mL dan pada pemberian bolus IV 125 µg/mL. Pemberian 1 g
aztreonam secara infus selama 30 menit, mencapai kadar puncak dalam darah 90
sampai 164 µg/mL. Sekitar 56% aztreonam dalam, darah terikat pada protein plasma.
Obat ini didistribusi luas ke dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh yaitu sinovial,
pleural, perikardial, peritoneal, cairan lepuh, sekresi bronkus, tulang, empedu hati,
paru-paru, ginjal, otot, endometrium dan usus. Kadar dalam urin tinggi. Selain itu kadar
dalam prostat yang tidak meradang dapat mencapai sekitar 8 µg/g jaringan dalam
waktu 1 sampai 3 jam sesudah pemberian IM. Kadar tersebut jauh lebih tinggi dari
KHM Enterobacteriaceae pada umumnya. Pada meningitis kadar yang dapat dicapai
di CSS sekitar 5 sampai 10 kali lebih tinggi dari KHM Enterobacteriaceae. Penetrasi
ke dalam CSS bila tidak ada meningitis hanya mencapai kadar sekitar ¼ kali bila
dibandingkan dengan pada meningitis. Ekskresi terutama melalui filtrasi glomerulus
dan sekresi tubulus ginjal dalam bentuk utuh, yaitu sekitar 70% dosis yang diberikan.
Probenesid memperlambat ekskresinya. Sekitar 7% obat dimetabolisme dan meta-
bolitnya kemudian diekskresi melalui urin. Hanya 1% yang diekskresi melalui tinja
dalam bentuk utuh. Pada orang dewasa waktu paruh aztreonam mencapai 1,7 jam (1,6
sampai 2,1 jam), pada neonatus jauh lebih lama. Pada pasien dengan ganggguan
fungsi ginjal perlu penyesuaian dosis aztreonam, karena waktu paruh eliminasi me-
manjang, bahkan pada gagal ginjal waktu paruh eliminasinya dapat mencapai 6 jam.
Pada pasien yang mengalami hemodialisis perlu diberi dosis suplemen. Pada sirosis
hepatis penggunaan jangka panjang perlu penyesuaian dosis, karena dalam keadaan
ini klirens total menurun 20% sampai 25%.
3.2.a3 Indikasi

Aztreonam tunggal maupun dalam kombinasi dengan antimikroba lain, efektif


untuk mengatasi infeksi berat oleh kuman Gram-negatif aerobik. Indikasinya antara
lain untuk infeksi saluran kemih dengan komplikasi, saluran napas bawah, kulit dan
struktur kulit, alat kelamin, intra abdominal, tulang dan bakteremia pada dewasa dan
anak.
Spektrum antibakteri aztreonam mirip antibiotik aminoglikosida. Sehubungan
dengan itu aztreonam dapat menjadi alternatif aminoglikosida, khusus untuk infeksi
kuman Gram-negatif. Untuk pasien infeksi memerlukan antimikroba spektrum luas
dan tidak tahan terhadap aminoglikosida dan antimikroba betalaktam lain, kombinasi
aztreonam dengan antibiotika yang aktif terhadap kuman Gram-positif misalnya
vankomisin merupakan pilihan yang baik.
3.2.a4. Efek Samping

Efek samping aztreonam tidak banyak berbeda dengan antibiotik betalaktam


lain. Penggunaan rutin untuk neonatus tidak dianjurkan, sampai ada data yang pasti
bahwa kadar tinggi arginin yang terdapat pada sediaan sebanyak 780 mg/g antibiotik
tidak menyebabkan hipoglikemia.

3.3 Penghambat Betalaktamase dengan Kombinasinya

3.3.1 Pendahuluan
Penghambat betalaktamase yang telah lama digunakan dalam pengobatan
ialah asam klavulanat, sulbaktam dan tazobaktam. Penghambat tersebut tidak
memperlihatkan aktivitas antibakteri, sehingga tidak dapat digunakan sebagai obat
tunggal untuk menanggulangi penyakit infeksi. Bila dikombinasi dengan antibiotik
betalaktam, penghambat ini akan mengikat enzim betalaktamase, sehingga antibiotik
pasangannya bebas dari pengrusakan oleh enzim tersebut dan dapat menghambat
sintesis dinding sel bakteri yang dituju.
Sifat ikatan betalaktamase dengan penghambatnya ini umumnya menetap,
penghambatnya seringkali bekerja sebagai suatu suicide inhibitor, karena ikut hancur
di dalam betalaktamase yang diikatnya.
3.3.a Asam Klavulanat, Sulbaktam

Obat ini diisolasi dari jamur S. clavuligerus. Sulbaktam, suatu sulfon asam
penisilinat, merupakan derivat sintesis 6-aminopenisilinat. Kedua inhibitor ini meng-
hambat eksoenzim stafilokok yang diperantarai plasmid dan betalaktamase
Richmond dan Sykes Tipe II, III, IV, V dan VI; di antaranya termasuk enzim TEM-I
(Tipe III) yang dihasilkan oleh H. influenzae, N. gonorrhoeae, E. coli, Salmonella dan
Shigella. Selain itu juga betalaktamase yang diperantarai plasmid lain yang dihasilkan
oleh bakteri Gram-negatif tertentu dan enzim yang diperantarai kromosom yang
dihasilkan oleh Klebsiella (Tipe IV), B. fragillis dan Legionella. Betalaktamase yang
diperantarai kromosom, Richmond dan Sykes Tipe I yang dihasilkan oleh Enterobacter,
Serratia, Morganella, Citrobacter, Pseudomonas dan Acinetobacter umumnya resisten
terhadap asam klavulanat dan sulbaktam. Contoh sediaan kombinasi tetap yang
tersedia untuk pengobatan ialah a.l.: Amoksisilin / kalium klavulanat, ampisilin / sul-
baktam tikarsilin / alium klavulanat, dan piperasilin / tazobaktam.
R=—N N

Asam Klavulanat Sulbaktam Tazobaktam

3.3.b Kombinasi Amoksisilin/Kalium Klavulanat


Amoksisilin tunggal in vitro aktif terhadap berbagai kuman aerobik dan
anaerobik Gram-positif dan Gram-negatif bukan penghasil betalaktamase. Kombinasi
amoksisilin/kalium klavulanat tidak meningkatkan aktivitas in vitro terhadap kuman
yang sensitif tersebut, tetapi memperluas spektrum aktivitasnya terhadap kuman
penghasil betalaktamase yang intrinsik termasuk strain yang sensitif. Kombinasi ini
tidak aktif terhadap S. aureus yang resisten terhadap metisilin.
3.3.b2 Farmakokinetik

Kedua komponen obat kombinasi ini profil farmakokinetiknya mirip dan tidak
saling menghambat. Absorpsi kalium klavulanat tidak dipengaruhi oleh makanan, susu
atau antasid. Obat ini tidak tahan terhadap suasana asam. Pada sukarelawan sehat,
pemberian per oral 125 mg, kadar klavulanat (KV) bersama amoksisilin 500 mg, kadar
tertinggi rata-rata KV dalam darah akan mencapai 3,5-3,9 µg/mL dalam satu sampai dua
jam setelah pemberian. Sekitar 30% KV terikat pada protein plasma, sisanya didistribusi
terutama ke dalam cairan ekstrasel. Kadar KV yang cukup terdapat pada empedu,
cairan pleura dan peritoneal dan cairan telinga tengah. Kadar plasma dalam cairan otak
rendah, bila tidak ada peradangan meningen. Pada dosis tinggi kadar dalam sputum
cukup tinggi. Kadar KV di dalam cairan amnion dan tali pusat mencapai sekitar 50%
dari kadar dalam darah ibu.
Ekskresi KV terutama melalui ginjal, tetapi probenesid tidak mempengaruhi klirens
ginjal obat tersebut. Setelah 6 jam pemberian, sekitar 25% sampai 40% obat ini
terdapat di dalam urin dalam bentuk asal. Waktu paruh eliminasinya sekitar 1 jam.
Waktu paruh ini memanjang bila ada gangguan fungsi ginjal. Penyesuaian dosis KV
dibuat bersama dengan penyesuaian dosis amoksisilin.
3.3.b3 Indikasi

Kombinasi amoksisilin/kalium klavulanat (A/KV) diindikasikan sebagai obat


alternatif untuk berbagai infeksi oleh jenis bakteri Gram-negatif dan Gram-positif
yang termasuk cakupan spektrum aktivitas amoksisilin tetapi memproduksi betalakta-
mase, selain itu juga kuman anaerob. Obat ini diindikasikan untuk infeksi berikut.
Infeksi akut pada telinga-hidung-tenggorokan, infeksi ringan sampai sedang
saluran napas bawah oleh H. influenzae, M. catarrhalis yang memproduksi
betalaktamase, yang tidak dapat diatasi oleh kotrimoksazol atau sefalosporin oral
karena alergi, resisten atau sebab lain. Bila penyebab infeksi tidak memproduksi
betalaktamase, amoksisilin tunggal merupakan obat pilihan utama.
Infeksi saluran kemih berulang pada anak dan dewasa oleh E. coli dan kuman
patogen lain yang memproduksi betalaktamase, yang tidak dapat diatasi oleh
kotrimoksazol, kuinolon atau sefalosporin oral.
Infeksi jaringan lunak oleh berbagai kuman patogen penghasil betalaktamase
yang resisten terhadap isoksasolil penisilin, atau sefalosporin oral generasi pertama.
A/KV merupakan pilihan utama untuk infeksi oleh Eikenella corrodens,
streptokokus, S. aureus, kuman anaerob oral pada luka gigitan oleh manusia; dan
infeksi Pasteurella multocida, streptokokus, S. aureus, anaerob oral akibat luka gigitan
hewan. Chanchroid oleh H. ducrey yang penghasil betalaktamase, yang tidak dapat
diatasi oleh eritromisin atau seftriakson.
3.3.b4 Efek Samping
Amoksisilin/kalium klavulanat umumnya jarang menimbulkan efek samping
berat. Efek samping yang paling sering timbul ialah diare, terutama pada dosis KV
>250 mg. Jenis efek samping A/KV sama dengan amoksisilin tunggal. Dilaporkan
A/KV dapat mengganggu fungsi hati yaitu berupa peningkatan transaminase serum.
Kelainan ini dapat kembali normal bila obat dihentikan. Alergi terhadap penisilin
merupakan kontraindikasi pemberian A/KV.
3.3.c Dinatrium Titrasiklin/Kalium Klavulanat

3.3.c1. Pendahuluan

Tikarsilin ialah suatu karboksipenisilin, berspektrum antibakteri lebih luas dari


ampisilin, termasuk P. aeruginosa dan kokus Gram-negatif. Obat ini aktif terhadap
bakteri Gram-positif kecuali enterokok dan stafilikok penghasil betalaktamase atau
resisten terhadap metisilin. Tambahan asam klavulanat tidak meningkatkan aktivitas
tikarsilin terhadap P. aeruginosa, A. calcoacetious, S. marcescens dan enterobacter.
Seperti kombinasi amoksisilin/klavulanat, kombinasi tikarsilin/kalium
klavulanat memperluas spektrum tikarsilin. Tetapi kombinasi ini kurang efektif
terhadap stafilokok yang resisten metisilin.
Efek samping kombinasi sama dengan tikarsilin dan amoksisilin/kalium
klavulanat.
3.3.c2 Farmakokinetik

Setelah pemberian infus (30 menit) 3 g tikarsilin/100 g kalium klavulanat,


segera dicapai kadar puncak rata-rata dalam darah tikarsilin 330 µg/mL dan asam
klavulanat 8 µg/mL. Kadar yang sama akan dicapai bila kedua obat tersebut diberikan
masing-masing dalam bentuk tunggal.

3.3.c3 Indikasi dan Posologi

Tikarsilin/klavulanat diindikasikan untuk infeksi berat saluran napas bawah,


saluran kemih, tulang dan sendi, kulit dan jaringan lunak dan septisemia oleh bakteria
Gram-negatif, S. aureus penghasil betalaktamase, dan kuman yang peka terhadap
tikarsilin. Selain itu digunakan juga untuk pengobatan infeksi campur intra-abdominal
dan ginekologik.
Posologi Tikarsilin/kalium klavulanat diberikan secara infus intermiten selama
30 menit. Untuk infeksi saluran kemih sistemik pada orang dewasa (60 kg) dosis
tikarsilin/kalium klavulanat 3 g/100 mg tiap 6 jam per hari; untuk pasien kurang dari 60
kg, 200 sampai 300 mg/kg/hari (berdasarkan komponen tikarsilin) dibagi tiap 4
sampai 6 jam pemberian. Dosis anak di bawah 12 tahun belum diketahui
3.4 Natriums Ampisilin/Natrium Sulbaktam
3.4.a Pendahuluan

In vitro ampisilin (AP) aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif dan Gram-
negatif dan beberapa jenis kuman anaerob. Kombinasi dengan sulbaktam (SB) tidak
mengubah aktivitas AP, tetapi memperluas spektrumnya mencakup kuman penghasil
betalaktamase yang intrinsik termasuk galur peka terhadap AP dan kuman anaerob
termasuk B. fragilis.
3.4.a1 Indikasi

Ampisilin/sulbaktam diindikasikan pada infeksi (oleh kuman yang sensitif)


ginekologik, intraabdominal dan kulit serta jaringan lain pada dewasa dan anak usia
lebih dari 12 tahun. Selain itu juga diindikasikan untuk mengatasi infeksi campur
aerobik dan anaerobik.

3.4.a2 Farmakokinetik

Kedua komponen tersebut tidak saling mempengaruhi secara farmakokinetik.


Pemberian AP/SB 2 g/1 g secara infus IV selama 15 menit menghasilkan kadar
puncak dalam serum 120 µg/mL dan 60 µg/mL. Satu jam setelah pemberian IM
AP/SB 1 g/500 mg kadar puncak rata-rata dalam serum mencapai 18 µg/mL dan 13
µg/mL.
Sekitar 38% SB dalam serum terikat protein plasma, obat ini didistribusi terutama
ke dalam cairan eksktrasel. Sulbaktam mencapai kadar tinggi di urin, kadar cukup di
empedu, mukosa saluran cerna, saluran reproduksi wanita, selain itu dapat melewati
plasenta dan terdapat di air susu ibu. Ekskresi SB melalui filtrasi glomerulus dan
sekresi tubuli ginjal, dapat diperlambat oleh probenesid. Kira-kira 75%-85% dosis
terdapat di urin dalam bentuk asal, setelah ± 8 jam. Waktu paruh eliminasi SB ± 1 jam
pada dewasa sehat. Pada neonatus, usia lanjut dan pasien kelainan fungsi ginjal waktu
paruh SB memanjang. Pada gangguan fungsi ginjal perlu penyesuaian dosis.
3.4.a3 Efek Samping
Dosis ini umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang timbul sama
dengan efek samping ampisilin tunggal.
3.5 Piperasilin/Tazobaktam

Piperasilin adalah suatu penisilin berspektrum luas yang mencakup aerob Gram-
positif. Enterobateriaceae, kuman Gram-negatif, dan kuman anaerob. Tazobaktam
melindungi piperasilin dari hidrolisis oleh berbagai betalaktamase. Piperasilin dan
tazobaktam dibuat dalam kombinasi tetap dengan rasio berat 8:1. Sekitar 50-60% obat
diekskresi melalui ginjal, dan sisanya melalui empedu. Dosis harus dikurangi pada
pasien insufisiensi ginjal dengan klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit.
Kuman-kuman yang peka terhadap obat ini antara lain S. pyogenes, S. agalactiae,
E. coli, Klebsiella, E. aerogenes, H. influenzae, M. Catarrhalis, Y. enterocolitica, B.
fragilis, Bacterioides sp dan C. perfrianges
Obat ini diindikasikan untuk infeksi intraabdominal, infeksi pelvis pada wanita,
infeksi kulit dan jaringan lunak, community acquired pneumonia, dan pneumonia
nosokomial yang disebabkan oleh kuman-kuman yang peka.
Dosis lazim piperasilin/tazobaktam ialah 2 g/0,25 g tiap 8 jam. Dosis ini biasanya
ditingkatkan menjadi 4 g/0,5 g tiap 8 jam untuk infeksi yang lebih berat. Obat ini
tersedia dalam vial yang mengandung 2 g/0,25 mg dan 4 g/0,5 g. Untuk kuman P.
aeruginosa, kombinasi ini diberikan bersama aminoglikosida.
Efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah keluhan
saluran cerna (mual, diare), reaksi kulit, dan hipokalemia ringan.
Daftar Pustaka

1. Chambers HF. Beta-lactam antibiotics & other inhibitors of cell wall


synthesis. In: Katzung BG, ed. Basic & Clinical Pharmacology. 9th ed.
Singapore: McGraw-Hill; 2004. p.734-51.
2. Petri WA. Jr. Penicillins, cephalosporins, and other β-lactam antibiotics. In:
Hardman JG, Limbird LE, eds. Goodman & Gilman’s the Pharmacological
Basis of Therapeutics. 10th ed. New York: McGraw-Hill; 2001. p.1189-215.

3. AMA Drug Evaluations Annual 1995. p.1392-3.

Anda mungkin juga menyukai