POLYMYALGIA RHEUMATICA
HALAMAN PENGESAHAN
POLYMYALGIA RHEUMATICA
Oleh
Dhafir Khallaf (G1A218020)
Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi
Program Studi Profesi Dokter Universitas Jambi
Pembimbing
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan clinical science
session ini dengan judul “POLYMYALGIA RHEUMATICA ” Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr.
Iin Dwiyanti, Sp.PD selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga
laporan clinical science session ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian clinical science session ini.
Penulis menyadari bahwa refrat ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya clinical science session ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PMR terjadi 3 hingga 10 kali lebih sering daripada GCA. Pada 2008,
diperkirakan 711.000 penduduk AS memiliki PMR dan 228.000 memiliki GCA.
Kejadian PMR tertinggi terjadi pada orang-orang keturunan Eropa utara, berkisar antara
41 hingga 113 kasus per 100.000 di antara orang-orang berusia 50 tahun ke atas. Di
Amerika Serikat, GCA adalah vaskulitis primer yang paling sering dengan kejadian 18
per 100 000. Wanita memiliki risiko seumur hidup lebih tinggi untuk PMR (2,4%) dan
GCA (1,0%) daripada pria (1,7% untuk PMR dan 0,5% untuk GCA ).2
TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat hubungan yang terkenal antara PMR dan Arteritis sel raksasa atau
giant cell arteritis (GCA). Banyak pasien dengan GCA juga memiliki gejala polimialgia
dan beberapa pasien dengan PMR kemudian mengalami GCA. Subset dari pasien
dengan PMR mungkin memiliki GCA subklinis. Terdapat beberapa diskusi mengenai
apakah PMR dan GCA adalah entitas penyakit yang terpisah atau dua kondisi pada satu
spektrum patofisiologis. Untuk praktik dokter, penting untuk menyadari bahwa PMR
dan GCA dirawat dengan dosis glukokortikoid yang berbeda dan bahwa penanganan
GCA adalah darurat medis, sedangkan prioritas langsung pada PMR adalah untuk
mengeklusikan kondisi lain sebelum memulai pengobatan. Subset dari pasien PMR
yang kemudian mengalami GCA cenderung memiliki penanda inflamasi yang lebih
tinggi dan alel HLA-DRB1 tertentu (subkelas dari antigen leukosit manusia [HLA]) dan
menerima dosis glukokortikoid yang lebih tinggi dari biasanya pada awal PMR.
Memang, studi GCA secara konsisten mengungkapkan hubungan dengan alel HLA-
DRB1, sedangkan tidak ada hubungan HLA yang konsisten dari PMR. Saat ini PMR
dapat dipandang sebagai sindrom klinis dengan etiologi heterogen, tumpang tindih
dengan GCA hanya pada sebagian kecil kasus.3
2.3 Etiologi
2.4 Epidemiologi
Penyakit ini meningkat terutama di dunia barat, meskipun dapat terjadi pada
semua kelompok etnis. Dilaporkan angka kejadian penyakit ini di Eropa utara dan
Minnesota USA, dimana kedua daerah ini memiliki etnis suku yang mirip. Sedangkan
untuk negara-negara bagian timur tengah dan benua asia angka kejadian penyakit ini
jauh lebih rendah dibandingkan dari negara eropa dan USA. Di Jepang dilaporkan
prevalensi kejadian penyakit ini sekitar 1,47 per 100.000 populasi diatas usia 50 tahun.
Wanita berisiko terkena penyakit ini 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan pria.5,6
2.5 Patogenesis
Sejauh ini faktor risiko terkuat untuk PMR adalah bertambahnya usia. PMR
hampir tidak pernah terjadi pada mereka yang berusia di bawah 50 tahun dan kejadian
penyakit menjadi lebih umum pada setiap dekade, dengan insidensi puncak sekitar 75
tahun. Alasannya tidak jelas. Penuaan sistem kekebalan tubuh (immunosenescence),
penuaan jaringan dan penuaan sistem regulasi neuro-humoralis semuanya mungkin
terlibat. Berdasarkan pengelompokan kasus dalam ruang dan waktu, telah diusulkan
bahwa PMR dapat dipicu oleh infeksi dalam beberapa kasus. Hal ini dapat
menyebabkan inflamasi persisten pada inflamasi kronis tingkat rendah sekunder akibat
penurunan kekebalan adaptif yang mendasarinya dan peningkatan kompensasi dalam
mekanisme imun bawaan. Mekanisme neurohumoral juga mungkin terlibat.2
Gambar 1. Respons inflamasi sistemik pada giant-cell arteritis dan polymyalgia rheumatica
Bagan diatas menunjukan aktifasi sel imun akibat suatu proses degredasi karena
proses penuaan atau karena infeksi suatu mikrobakteria. Sitokin yang dilepaskan
menyebabkan gangguan fungsi beberapa jaringan yang menghasilkan manifestasi klinik
seperti nyeri dan kaku di leher, bahu, pinggang atau bagian belakang, bokong dan paha,
tanpa kelemahan/atropi otot yang berlangsung kurang lebih selama 1 bulan.
Kekakuan setelah periode istirahat dan lebih berat lagi saat pagi hari. Kekakuan yang
begitu berat pasien mengalami kesulitan besar dalam berputar di tempat tidur, bangkit
dari tempat tidur atau kursi, atau mengangkat tangan mereka setinggi bahu,
misalnya untuk menyisir rambut. Sinovitis ringan dapat dilihat pada pergelangan
tangan dan lutut, tapi kaki dan pergelangan kaki jarang terpengaruh. Terutama pada
awal onset penyakit banyak pasien mengalami suatu gejala sistemik termasuk kelelahan,
kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, demam ringan, dan kadang-
kadang depresi.6
Gambaran polymyalgia rheumatica yang paling khas adalah nyeri bahu bilateral
dan onset kekakuan yang akut atau subakut dengan nyeri lengan atas bilateral. Pasien
sering mengalami nyeri dan kekakuan pinggul secara bersamaan, serta nyeri dan
kekakuan pada otot leher posterior.1
Terutama pada onset penyakit, sebagian besar pasien memiliki gejala sistemik
termasuk kelelahan, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, demam ringan,
dan kadang-kadang depresi. Pasien selalu berusia di atas 50 tahun dan biasanya di atas
65 tahun. Pada pasien yang datang dengan gejala polymyalgik, ingat bahwa penyakit
rematik inflamasi yang menyerupai polymyalgia rheumatica lebih umum daripada
polymyalgia rheumatica sendiri pada orang di bawah 60 tahun. Tingkat sedimentasi
eritrosit lebih besar dari 40 mm / jam adalah temuan laboratorium yang khas pada
polymyalgia rheumatica, tetapi mungkin tidak setinggi itu pada presentasinya dan
bahkan bisa normal. Namun meski begitu, protein reaktif C biasanya meningkat.1
Diagnosis PMR terdiri dari mengenali sindrom klinis PMR dan mengekslusikan
diagnosis diferensial umum. Ini telah dikonseptualisasikan sebagai 'pendekatan
bertahap'.3 Langkah pertama adalah menilai gejala-gejala pasien termasuk rasa sakit dan
kekakuan pada bahu atau hip girdle (atau keduanya) - biasanya setidaknya satu minggu,
dan lebih mungkin lagi jika setidaknya dua minggu durasi - dengan adanya penanda
peradangan akut, termasuk laju sedimentasi eritrosit atau protein reaktif C.1 Sindrom
klinis PMR terdiri dari rasa sakit dan kekakuan yang biasanya paling buruk pada jam-
jam pertama pagi hari atau saat bangun tidur, dan cenderung membaik selama hari itu.
Daerah leher, bahu, dan pinggul secara klasik lebih dulu terkena. Penanda inflamasi
biasanya meningkat dan anemia inflamasi mungkin ada. Jika salah satu dari manifestasi
ini hilang maka upaya khusus harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain sebelum
mempertimbangkan pengobatan glukokortikoid. 'PMR dengan laju sendimentasi
eritrosit (Erythrosit sendimentation rate / ESR) normal telah dapat dijelaskan dimana
dalam kasus ini mungkin berguna untuk memeriksa kadar CRP.3
Pasien harus dinilai untuk arteritis sel raksasa, yang terlihat pada sekitar 30%
orang dengan polymyalgia rheumatica. Gejala arteritis sel raksasa termasuk sakit kepala
baru, klaudikasi rahang (nyeri otot rahang saat mengunyah), dan gangguan penglihatan.
Arteri temporalis mungkin tidak normal pada palpasi; biopsi arteri ini biasanya
menghasilkan temuan karakteristik inflamasi vaskular. Biopsi semacam itu harus
dipertimbangkan pada pasien dengan gejala polimialalgik dan sakit kepala baru.1
Gejala yang muncul tidak spesifik dan mungkin mencerminkan beberapa kondisi
medis serius lainnya. Dokter harus menganggap polymyalgia rheumatica sebagai
"sindrom polimialgia" pada evaluasi pertama dan harus hati-hati menilai apakah
penyakit lain — yang mungkin mengancam jiwa — dapat menjadi penyebab kompleks
gejala tersebut. Penting untuk mengekslusikan kondisi peradangan lainnya yang dapat
menyerupai polymyalgia rheumatica. Ini termasuk rheumatoid arthritis (sering dengan
faktor rheumatoid negatif atau antibodi terhadap peptida citrullinated siklik) dan kondisi
yang kurang umum, seperti onset lambat spondyloarthropathy, lupus erythematosus
sistemik, vaskulitis sistemik, dan miopati inflamasi (polymyositis, dermatomyositis).
Kondisi peradangan ini dapat dibedakan dari kondisi non-inflamasi, termasuk infeksi
serta gangguan degeneratif, seperti kelainan rotator cuff dan osteoarthritis. Kondisi non-
inflamasi lain yang berhubungan dengan kekakuan otot proksimal termasuk penyakit
endokrin dan metabolisme, seperti gangguan tiroid dan paratiroid dan osteomalacia.
Depresi; gangguan neurologis seperti parkinsonisme; keganasan; efek samping obat,
misalnya mialgia yang disebabkan oleh statin; dan kondisi nyeri kronis, termasuk
fibromyalgia, mungkin merupakan diagnosis akhir pada beberapa kasus yang diduga
sindrom polymyalgia (tabel).1
Tabel 1. Polymyalgia Rheumatica : Diagnosis diferensial dan pengujian.
Tentukan diagnosis secara bertahap pada pasien berusia di atas 50 (biasanya lebih dari
60) yang memiliki gejala setidaknya satu atau dua minggu
Gejala
Bukti adanya respons fase akut Bukti adanya respons fase akut
(peningkatan ESR dan/atau CRP)? (peningkatan ESR dan/atau CRP)?
Uji laboratorium awal tidak Uji laboratorium awal tidak
mencerminkan penyakit lain ? mencerminkan penyakit lain ?
lihat A lihat A
Kemungkinan Kemungkinan
PMR PMR
Mulai pengobatan.
Follow up untuk reevaluasi
diagnosis
A. Evaluasi awal laboratorium dapat terdiri dari B. Uji diagnostic lanjutan dapat juga terdiri dari
(tergantung scenario klinis) (tergantung pada scenario klinis)
2.8 Histopatologi
Biopsi lapisan sendi bahu pada pasien dengan sindrom polimialgia menegaskan
sinovitis pada sekitar sepertiga pasien. Artritis bersifat non-erosif, tidak seperti pada
rheumatoid arthritis. Histopatologi sinovitis tidak spesifik, umumnya dengan dominasi
sel T CD4+ dan makrofag yang dapat menghasilkan interleukin 1a dan interleukin 6,
seperti juga terlihat pada infiltrat biopsi pembuluh darah dari pasien dengan arteritis sel
raksasa.1
2.9 Tatalaksana
Klinis membaik
Konfimasi
dalam 2-4 minggu?7
PMR
Tapering
berkala Relapse9
glukokortikoid8
Saat ini tampaknya tidak ada alternatif untuk terapi glukokortikoid. Prednisolon
/ prednison oral masih digunakan untuk hampir semua pasien, tetapi metilprednisolon
intramuskular periodic telah diberikan sebagai alternative prednisolone/prednison.
Terdapat sedikit bukti yang membenarkan penggunaan obat-obatan hemat steroid pada
PMR. Methotrexate dan azathioprine telah diusulkan, tetapi terdapat satu penelitian
yang memberikan hasil negatif dan methotrexate tampaknya tidak mengarah pada
pengurangan substansial pada efek samping yang berhubungan dengan glukokortikoid.
Mungkin efek lemah dari metotreksat dalam beberapa penelitian adalah karena pasien
dengan PMR yang nyata benar-benar mengalami RA, yang biasanya berespon baik
terhadap metotreksat. Namun teori ini spekulatif. Argumen yang sama berlaku untuk
sejumlah kecil pasien yang obat biologinya telah dicoba, dengan hasil beragam.3
Berikut ini adalah saran dalam penggunaan Metotreksat sebagai terapi tambahan
dalam pengobatan Polymyalgia Rheumatica dan Giant Cell Arteritis.4
Penggunaan awal
Pasien dengan risiko tinggi efek samping terkait glukokortikoid
Pasien dengan komorbiditas yang mungkin diperburuk oleh terapi
glukokortikoid
Diabetes
Glaukoma
Osteoporosis
Pasien dengan risiko tinggi relapse atau terapi glukokortikoid berkepanjangan
Wanita
Tingkat sedimentasi eritrosit awal yang tinggi
Protein C-reaktif awal yang tinggi
Artritis perifer
Selama Follow up pada Kasus yang sulit diobati
Pasien dengan keadaan berikut ini:
Kurang responsif terhadap glukokortikoid
Kekambuhan berulang
Gagal menyapih glukokortikoid
Efek samping terkait glukokortikoid yang nyata
Pada saat diagnosis PMR, penting menilai pasien untuk komorbiditas dan untuk
terus memantau pasien selama pengobatan. Mengingat hubungan yang kuat dengan
GCA, pasien harus waspada terhadap kemungkinan gejala GCA (misalnya sakit kepala,
nyeri kepala, klaudikasius rahang, gejala visual), tetapi tidak perlu dilakukan biopsi
arteri temporal jika tidak ada gambaran klinis GCA. Penting juga untuk diingat bahwa
glukokortikoid dapat menyebabkan efek samping jelek pada orang lanjut usia. Ketika
pasien harus dirawat dengan pengobatan kortikoid glukokortikoid jangka panjang, harus
ada penilaian kondisi yang dapat disebabkan, atau diperburuk oleh glukokortikoid,
termasuk osteoporosis, diabetes, hipertensi, penyakit pembuluh darah, peningkatan berat
badan dan edema perifer. Kondisi ini kemudian harus dipantau selama pengobatan
pasien. Peresepan bersama dengan pelindung gaster dan tulang (setidaknya suplemen
kalsium dan vitamin D) disarankan selama periode pengobatan dengan steroid.3
2.12 Prognosa
Penting untuk tetap berpikiran terbuka tentang diagnosis, setidaknya untuk tahun
pertama perawatan, karena kondisi lain mungkin membutuhkan waktu untuk
menunjukkan manifestasinya. PMR itu sendiri biasanya dilihat sebagai kelainan yang
sembuh sendiri dan harapannya adalah bahwa terapi glukokortikoid dapat secara
bertahap ditarik dan akhirnya dihentikan. Namun, banyak pasien relapse karena
pengurangan dosis glukokortikoid, terutama mereka yang memiliki penanda inflamasi
yang lebih tinggi sebelum perawatan. Biasanya, setengah dari semua pasien masih
memerlukan perawatan 2 tahun setelah diagnosis. Karena pasien dengan PMR hampir
selalu menerima glukokortikoid, sulit untuk menentukan apakah efek samping
berikutnya adalah karena PMR, glukokortikoid, atau keduanya. Ketika dipantau secara
prospektif, tingkat efek samping buruk yang tinggi telah dicatat. Pasien harus dilibatkan
dalam keputusan tentang pengobatan mereka, karena keseimbangan antara risiko relapse
dan risiko komplikasi terkait pengobatan mungkin berbeda untuk setiap individu.3
BAB III
KESIMPULAN