PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
1
2.1 Identitas Pasien
Nama : An. T
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Selamat RT 13 Danau Sipin
No. RM : 920521
Ruangan : Kelas I
TB/BB : 127 cm / 30 kg
Gol. Darah : O (+)
Diagnosis : Degloving femur - cruris sinistra
Tindakan : debridement + split thickness skin graft (STSG)
2
Riwayat Operasi : (+) 10 kali operasi dan ganti verban di oka 2
hari sekali
Riwayat Alergi Obat : tidak ada
Riwayat Penyakit Lain : tidak ada
Primary Survey
a. Airway :
Snoring (-), Gargling (-), tidak terdapat sumbatan jalan napas baik berupa
cairan maupun benda asing.
Airway clear
b. Breathing :
Look : Pernapasan cuping hidung (-), deviasi trakea (-), retraksi dinding dada
(-), pergerakan dinding dada simetris, tidak ada dinding dada yang
tertinggal
RR : 20 kali/menit
Listen : Pernapasan Spontan
Feel : Pernapasan Spontan
Auskultasi : Vesikuler +/+
Breathing clear
Tindakan :
Pasang Pulse Oksimetri (saturasi O2 96%),
O2 nasal kanul 2L/menit.
c. Circulation :
TD : 110/70 mmHg,
Nadi : 110 x/menit
Kulit : Pucat pada wajah dan ekstremitas (-)
Tindakan :
Pasang IV line dengan cairan RL 20 gtt/menit
3
Pasang kateter
d. Disability :
GCS : 15 (E4M6V5)
Pupil : isokor, RC +/+
e. Exposure :
Seluruh pakaian os dibuka, lalu os diselimuti.
Status General:
Kepala : Normocephali
Mata : CA (-/-), SI(-/-), Pupil Isokor, RC (+/+)
THT : pilek (-/-), epistaksis (-)
Mulut : Mukosa tidak anemis,mulut kering (+), lidah kotor (-), Mallampati 1
Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba membesar, struma (-)
Thorax:
Paru:
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus normal, kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Thrill tidak teraba, ictus cordis teraba 2 jari
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi: BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Datar, bekas luka operasi (-), sikatrik (-)
- Auskultasi : BU (+) Normal
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), Hepar lien dan ginjal tidak teraba
- Perkusi : Timpani
Ekstremitas:
Superior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-), luka (-/-)
4
Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-), vulnus
laceratum er femur-cruris dextra (+)
2. Radiologi
Rontgen Thorax
EXPERTISE
COR : Dalam batas normal tidak
ditemukan kelainan
Pulmo : Dalam batas normal tidak
ditemukan kelainan
5
Rontgen Pelvic
Rontgen femur
6
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik, Sp.An
Tindakan Anestesi
1. Premedikasi : Ondansentron 4mg, Ranitidin 50mg,
Dexametason 10mg
Metode Anestesi : Anestesi umum (Intubasi)
2. Medikasi
Induksi : Propofol 50 mg
Analgetik : Fenthanyl 50 mg
Relaksasi : Atracurium 15 mg
3. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop anak
Tube : ETT Non Kinking no 5.5
Airway : Goodle No 4
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 10
- Intubasi : Insersi ETT no.5,5
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2
7
= 4cc x 10
= 40 cc
10kg II = 2 cc/kgBB/jam
= 2cc x 10
= 20 cc
10 Kg III = 1cc/kgbb/jam
= 10 cc
Total = 70cc/jam x 24 jam = 1680cc/hari
Pengganti Puasa (P)
P = 6 x M Pasien puasa dari 6 jam
= 6 x 70 cc
= 420 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 30 x 6 cc
= 180 cc
EBV = 70x bb
= 70x 30 = 2100 cc
EBL = 20% x EBV
= 20% x 2100 cc 420 cc
TD Nadi
Jam RR
(mmH (x/mnt
WIB (x/mnt)
g) )
8
(1 kolf) & obat premedikasi
Pasien mulai dilakukan general
anestesi,
Pemberian Analgesia fentanyl 50 mg
11.30 Pemberian induksi IV propofol 50 110/70 85 20
mg,
Tes bulu mata
Pemberian obat muscle relaxan
Rocuronium 15 mg
Melakukan intubasi
11.35 Pasien diposisikansupinasi 100/60 76 20
Melakukan anestesi caudal
11.40 Operasi dimulai 119/90 76 18
12.55 110/80 80 20
Pernafasan (0-2) :2
Warna Kulit (0-2) :2
Sirkulasi (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah : 10
9
Skoring Steward : Pergerakan (0-2) :2
Pernafasan (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah :6
2.10. PROGNOSIS :
Quoad vitam : Dubia ad bonam
Quoad functionam : Dubia ad bonam
Quoad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
Anestesi umum adalah teknik anestesi yang menggunakan agen intravena dan
dihirup untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke situs operasi. Satu hal
yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan
terbaik, tergantung pada keadaan klinis pasien, pemilihan anestesi lokal atau regional
mungkin lebih tepat.4
Keuntungan anestesi umum meliputi: 4
1. Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
2. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
3. Memfasilitasi kontrol saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi
4. Dapat digunakan dalam kasus-kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
5. Dapat diberikan tanpa menggerakkan pasien dari posisi terlentang
6. Dapat menyesuaikan untuk prosedur operasi dengan durasi tak terduga
7. Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel
11
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan
kunjungan pra anestesi adalah: 3,4
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi
/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
12
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
13
7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
14
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan3.
3.1.6 Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada
kasus ini digunakan obat induksi :
a. Fentanyl
Fentanyl adalah merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang
secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai anestetik 75 – 125 kali lebih
poten dari Morfin.
Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai
tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil
menyediakan stabilitas jantung dan stress yang berhubungan dengan hormonal, yang
berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 mg (w.o ml) setara dengan aktifits analgesik 10
mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit
setelah dosis tunggal IV 100mg. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan
pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruh
15
efek dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang dengan
menggunaka narkotik antagonis seperti Naloxone.
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan durasi
yang lebih singkat dibanding morfin. Disamping itu juga terdapat jeda waktu tersendiri
antara konsentrasi puncak fentanil plasma, dan konsentrasi puncak dari melambatnya
EEG. Jeda waktu ini memberi efek waktu Equilibration antara darah dan otak selama
6,4 menit.
Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat mengakibatkan Lipid
solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan perjalanan obat
menuju sawar darah otak. Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang
cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula,
seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi
obat dalam plasma.
Paru – paru memiliki tempat penyimpanan tidak aktif yang cukup besar,
dengan estimasi 75% dari dosis awal fentanil yang di uptake disini. Fungsi non
respiratory dari paru ini yang membatasi jumlah obat yang masuk ke sirkulasi
sistemik dan memegang peranan utama dari penentuan farmakokinetik dari fentanil.
Bila dosis berulang IV berulang atau melalui infus yang terus menerus dari fentanil
dilakukan, saturasi yang progesif dari jaringan yang tidak aktif ini terjadi. Sebagai
akibatnya konsentrasi dari fentanil plasma tidak menurun secara cepat, sehingga durasi
dari analgesia seperti depresi dari vantilasi memanjang.
Fentanyl dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi Norfentanil
yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi fentanil pada ginjal dan terdeteksi
pada urine dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di
hati, dan kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan
hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.
Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari paruh
waktu lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanyl mempunyai Lipid solubility
yang lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju jaringan. Konsentrasi
plasma fentanil dipertahankan oleh uptake dari jaringan yang lambat, yang
memberikan hitungan dari efek obat yang persisten dan paralel dengan eliminasi paruh
waktunya.
16
Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang , dikarenakan klirens
opiodi berkurang, disebabkan menurunnya aliran darah hepatik, aktifitas enzym
microsome atau produksi albumin ( fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).
Fentanyl diberikan untuk analgesik nakotik, sebagai tambahan pada general
atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan neuroleptik (droperidol) sebagai
premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan pemeliharaan general anestesi maupun
regional anestesi.
Fentanyl digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 – 2 mcg / kg IV
memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mcg/kg IV, biasanya digunakan untuk tambahan
pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan respon sirkulasi, digunakan
dengan, Laryngoskopi untuk intubasi trakea atau Stimulasi operasi yang tiba – tiba.
Waktu pemberian fentanil injeksi IV untuk menghambat atau menatalaksana
beberapa respon operasi harus dipertimbangkan waktu equilibrationnya. Injeksi opioid
seperti fentanil sebelum stimulasi operasi yang menyakitkan, mungkin dapat
mengurangi dari jumlah opioid yang dibutuhkan untuk periode postoperasi untuk
menyediakan analgesia.
Dosis besar dari fentanil sebagai awalan dari anestesi mempunyai kelebihan
menstabilkan hemodinamik dengan cara. A) Efek depresi myocard yang rendah b)
menghilangkan atau tidak mencetuskan pelepasan histamin c) mensupressi stress pada
respon operasi.
Kekurangannya a) gagal mencegah respon nervus simpatik pada stimulasi
operasi yang menyakitkan, terutama pada pasien dengan funsi ventrikel kiri yang baik.
b) kemungkinan pasien sadar c) depresi venilasi pada posoperasi
Dosis pemberian fentanyl sebagai berikut.
Sebagai tambahan untuk general anestesi
a. Dosis rendah, 2 mcg / kg berguna untuk operasi minor
b. Dosis sedang, 2- 20 mcg /kg dimana operasi menjadi lebih rumit dan
dosis besar dibutuhkan
c. Dosis tinggi, 20 – 50 mcg/kg dalam prosedur bedah mayor, dimana
waktu tempuh lebih lama dan respon stress operasi lebih tinggi, dosis
20 – 50 fentanyl dengan N20 telah menjadi pilihan. Bila dosis seperti
17
ini telah digunakan observasi ventilasi posoperatif seperti diperlukan
dimana kemungkinan depresi ventilasi postoperatif memanjang.
d. Sebagai Agent anestetik
Jika respon stress dari operasi sangat perlu diturunkan, dosis 50 – 100
mg / kg mungkin dapat diberikan dengan oxigen dan muscle relaxan.
Teknik ini memberikan anestesi tanpa perlu menambah anestesi lain
dalam beberapa kasus dosis lebih dari 150 mg / kg mungkin diperlukan
untuk menyediakan efek anestesi tersebut, telah banyak digunakan
untuk bedah jantung dan operasi lain yang memerlukan proteksi
miokard dari kelebihan kebutuhan akan oksigen.
Efek samping fentanyl meliputi depresi ventilasi yang persisten maupun
rekuren. Fentanil yang bersequesterasi bisa diabsorbsi kembali dari usus halus kembali
ke sirkulasi dan meningkatkan konsentrasi plasma menyebabkan depresi ventilasi.
Pemberian fentanyl pada trauma kepala berhubungan dengan peningkatan 6-9
mhg pada tekanan intrakranial, ataupun menjaga PaCo2 yang tidak berubah.
Peningkatan ini biasanya diakibatkan oleh penurunan MAP dan tekanan perfusi otak.
Konsentrasi analgesik dari fentanil sangat berefek pada potensi midazolam dan
penurunan dosis dari propofol yang dibutuhkan. Pada klinisnya keuntungan sinergi
dari opioid dan benzodiazepin untuk menjaga kenyamanan pasien juga harus dibarengi
dengan pemaantauan ketat, karena memili efek buruk yaitu berpotensi efek depresi.
b. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi7.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat
setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah
postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
18
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan
adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan
karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
19
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Atrakurium Basylate
Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium
memiliki struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara lain
metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang
tidak tergantung fungsi hati dan gfungsi ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna. 8
3.1.7 Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.7
b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa
stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat adanya
degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas.
Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta
pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan. Daerah otak yang spesifik dipengaruhi
oleh obat anestesi inhalasi termasuk reticulat activating system, cerebral cortex,
20
cuneate nucleus, olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level dorsal horn
interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi rasa sakit.
3.1.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
21
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.
22
kejadian atelektasis, hipoventilasi, dan pneumonia aspirasi serta mengurangi kejadian
ileus. 3
23
venosus. Cairan serebrospinal terdapat diantara lapisan piamater dan
arachnoideamater, yaitu pada ruang subarachnoid.3
24
Cairan serebrospinal merupaka ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari
pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan jernih ini
tak bewarna mengisi ruang subarachnoid dengan jumlah total 100-150 ml, sedangkan
yang dipunggung sekitar 24-45 ml.
25
medula spinal yang akan menyebabkan terjadinya hilangnya aktivitas sensoris, motoris
dan otonom.5
3.3.1 Fisiologi Anestesi Spinal
Larutan Anestesi local disuntikkan kedalam ruang subarachnoid yang akan
memblok konduksi impulse saraf walaupun beberapa saraf lebih mudah diblok
disbanding yang lain. Ada 3 kelas syaraf, yaitu motoris, sensoris dan autonomic.
Stimulasi saraf motorik menyebabkan kontraksi otot dan ketika itu diblok akan
menyebabkan paralisis otot. Saraf sensory mentransmisikan sensasi seperti nyeri dan
sentuhan ke spinal cord dan dari spinal cord ke otak. Dan saraf autonomic mengontrol
pembuluh darah, heart rate, kontraksi usus, dan fungsi lainnya yang tidak disadari.6,7
Secara umum pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf
simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan
tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar
(vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan
suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.6
3.3.2 Indikasi:
Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah (daerah
papilla mammae kebawah).1
1. Bedah ekstremitas bawah.
2. Bedah panggul.
3. Tindakan sekitar rektum-perineum.
4. Bedah obstetri-ginekologi.
5. Bedah urologi.
6. Bedah abdomen bawah.
3.3.3 Kontraindikasi:
Kelainan pembekuan darah, hipovolemia (syok), septisemia, infeksi kulit daerah
pungsi (punggung), tekanan intrakranial yang meninggi, penderita menolak/tidak kooperatif. 1
a. Kontraindikasi absolut:
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan
26
3. Hipovolemia berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minim.
7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesi.
b. Kontraindikasi relatif :
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis.
27
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, Quincke Babcock) atau
jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point, Whitecare).
28
pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus teraba. Posisi lain adalah
duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-L3 atau L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya beresiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
Gambar 3.6 Posisi pasien duduk atau berbaring lateral dengan punggung
fleksi maksimal untuk spinal anestesi.3
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau
25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G,
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoduser), yaitu jarum suntik biasa spuit
10 cc. Tusukan intraduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut.
Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus
sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah
keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum
spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada
posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90O biasanya likuor
keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.2
29
Gambar 3.7 Lokasi tusukan paramedian.3
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perianal misalnya bedah
hemoroid(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6 cm.
30
Ukuran jarum.
Keadaan fisik pasien.
Tekanan intraabdominal.
b. Lama kerja anestesi lokal tergantung
1. jenis anestesi lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor.
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal.
c. Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi Berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
2. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi, atau spinal total.
d. Komplikasi pasca tindakan:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urin
5. Meningitis.
3.3.9 Obat Spinal Anastesi
Dibedakan menjadi 2 golongan:
a. Amida (Bupivacaine, nupercain, etidocaine, lidocaine, mepivacaine, prilocaine,
ropivacaine)
b. Ester (chloroprocaine, cocaine, procaine, tetracaine)
31
a. Menghambat transmisi impuls saraf atau blockade konduksi → mencegah
peningkatan permeabilitas membrane saraf terhadap ion Na
b. Mekanisme kerja: keadaan istirahat, depolarisasi, repolarisasi, polarisasi penuh
c. Obat local anastesi mencegah proses depolarisasi membrane saraf dengan memblok
aliran ion Na → hambatan transmisi impuls saraf (blockade konduksi).
3.3.11 Dosis Obat Spinal Anastesi
Obat Persiapan Level T10 Level T6 Level T4 Durasi
Procaine 10% 75 125 200 30-45
Lidocaine 5% dalam 7,5% 25-50 50-75 75-100 45-60
glukosa
Tetracaine 1% dalam 10% 6-8 8-14 12-20 60-90
glukosa
Bupivacaine 0,75% dalam 6-10 8-14 12-20 90-120
8,25% dekstrosa
Ropivacaine 0,21-1 % 8-12 12-16 16-18 90
32
Neostigmin merupakan reseptor acetylcholinestrase yang menghambat
pemecahan neurotransmitter asetilkolin endogen di tingkat medulla spinalis,
sehingga menghasilkan analgesia
Efek samping utama mual, muntah, kelemahan ekstremitas bawah
Penambahan neostigmin dengan bupivacaine akan menyebabkan peningkatan
mual dan muntah
4. Epinefrin
Epinefrin memperpanjang analgesia akan tetapi efek ini kurang menonjol bila
dengan bupivacaine atau ropivacaine
Epinefrin (0.2 µg) ditambahkan pada bupivacain atau lidocaine akan
memperpanjang durasi anastesi sensorik pada anggota bawah dan abdominal.
Selain itu apabila ditambahkan dengan bupivacaine hiperbarik 7,5 mg akan
meningkatkan masa anastesi pembedahan dari 103 menit menjadi 172 menit,
juga meningkatkan masa pulih dari 172 menit menjadi 220 menit.
5. Alpha 2 Adrenergik Agonis
Contoh : klonidin, dapat menimbulkan analgesia tanpa blok motorik dan
propioseptif
Efek samping : hipotensi, bradikardi dan sedasi.
33
3.4.1 Keuntungan Anestesi Epidural
Keuntungan epidural dibandingkan spinal:
Bisa segmental
Tidak terjadi headache post op
Hipotensi lambat terjadi
34
5. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke
dalam ruang epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit punggung.
6. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam
perawatan terminal, biasanya dalam jangka pendek atau menengah.
Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat
menghambat penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana
vasodilatasi yang diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah
ke jantung)
35
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.1,3
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a) jarum ujung tajam (Crawford)
b) jarum ujung khusus (Tuohy)
36
5. Uji dosis (test dose)
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah
bercampur adrenalin 1:200.000.
Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
sudah benar
Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang
subarakhnoid karena terlalu dalam.
Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
37
Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam. Volum
yang digunakan <20ml.
Komplikasi:
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual-muntah
38
1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala
lebih rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena
ukuran 20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan
kiri dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga
tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.
5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis,
tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk
kanalis sakralis, ubah jarum jadi 450-600 dan jarum didorong sedalam 1-2
cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil
meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan
masuk dengan benar di kanalis kaudalis.
39
Tinitus
Injuri saraf
Kerusakan radiks saraf
Kerusakan medula spinalis
Cauda equina syndrome
Perdarahan
Hematoma intraspinal/epidural
Salah penempatan
Tidak ada efek/anestesi tidak adekuat
Blok subdural
Inadvertent subarachnoid blok
Inadvertent suntikan intraarterial
Robekan kateter
Inflamasi
Arachnoiditis
Infeksi
Meningitis
Epidural abses
40
3.7 Degloving
3.7.1 Definisi
Degloving injury merupakan terlepasnya kulit dan jaringan subkutan dari
fasia dan otot yang terletak di bawahnya. Dinamakan degloving karena
dianalogikan dengan proses melepas glove (sarung tangan). Cedera semacam ini
paling banyak melibatkan ekstermitas bawah dan torso, dan penyebab tersering
adalah kecelakaan industri dan lalu lintas. Cedera dapat terjadi pada seluruh bagian
ekstremitas bawah, bahkan dapat meluas hingga ke bagian bawah torso. Cedera
tersebut sering disertai dengan fraktur atau cedera lain yang dapat menyebabkan
berbagai macam komplikasi mulai dari infeksi hingga kematian. Apalagi jika
pasien berusia lanjut, risiko terjadinya komplikasi semakin meningkat.10
3.7.2 Etiologi
Degloving injury ditandai oleh avulsi jaringan kutan dan subkutan dari struktur
yang lebih kaku oleh karena trauma. Degloving seperti itu dapat terjadi pada deep
fascia, otot atau permukaan tulang.13,14 Trauma dengan mekanisme “tergilas” dapat
menghasilkan degloving injury. Tergilas oleh kendaraan berat dan bergerak lambat
dengan ban besar diketahui sebagai penyebab yang paling mungkin menyebabkan
cedera ini, hal ini mungkin karena korban lebih mungkin bersentuhan dengan ban
daripada bagian lain dari kendaraan. Mekanisme penting dari cedera ini, melibatkan
avulsi kulit dan lapisan subkutan yang terpisah dari lapisan lebih profunda serta
kerusakan pembuluh darah musculo-cutaneous perforantes menyebabkan viabilitas
jaringan tersebut menjadi terganggu.12
Pada degloving, kulit dan jaringan subkutis terlepas secara paksa dari dasarnya
oleh kekuatan yang keras dan mendadak. Seperti pada bagian tubuh yang terlindas
atau tergilas diantara ban dan permukaan jalan, saat roda berputar diatasnya akan
menyebabkan tarikan kulit sehingga terjadi gaya puntir dari kulit dan mengakibatkan
kulit terputus kontinuitasnya, sebagian kulit melekat seperti flap.12
41
3.7.2 Klasifikasi
1. Degloving Tertutup
Merupakan cedera degloving dengan permukaan kulit yang intak tanpa adanya
luka luar. Jaringan subkutan terlepas dari jaringan dibawahnya, sedang permukaan
luar tanpa luka. Terjadi jika ada kekuatan shear dengan energi yang besar dalam
waktu singkat.
Tanda yang dapat ditemukan yaitu mobilitas kulit dan fluktuasi di subkutis,
disertai jejas seperti ban mobil dan luka abrasi. Bila tidak diatasi segera, jaringan
yang terkena dapat terjadi nekrosis karena putusnya suplai darah ke kulit.
Penanganan dari degloving tertutup yaitu dengan dilakukan insisi untuk
dekompresi dan mengeluarkan hematom dari lokasi degloving.
2. Degloving Terbuka
Merupakan cedera degloving dengan jaringan kulit terpisah dari dasarnya
disertai terputusnya permukaan kulit. 80% kasus degloving terbuka disertai dengan
fraktur tulang di bawahnya. Tanda yang dapat ditemukan yaitu terangkatnya kulit
dari jaringan sekitar disertai dengan luka terbuka.11
Hidalgo membagi degloving injury menjadi tiga kelompok utama. Berikut
pembagian menurut Hidalgo:12
1. Tipe 1 disebut sebagai cedera avulsi rata-rata. Tipe 1 ini merupakan tipe yang paling
umum yang ditandai oleh laserasi dan area avulsi yang terlihat.
2. Tipe 2 disebut sebagai cedera avulsi atipikal. Tipe ini tidak tampak adanya tanda
trauma serius, namun sebenarnya terdapat avulsi di area yang luas.
3. Tipe 3 disebut sebagai cedera avulsi di area tertentu. Jenis cedera meliputi area plantar
dan kulit kepala. Revaskularisasi dan replantasi diperlukan untuk sebagian besar
cedera tipe ini.
42
Pemeriksaaan fisik pada pasien dengan cedera Degloving terdiri dari beberapa
langkah berikut:
Pemeriksaaan kondisi umum
Pemeriksaan cedera yang mengancam jiwa
Pemeriksaaan cedera mayor
Pemeriksaan area degloving
Sejauh mana kulit yang hilang
Ekspos/cedera struktur vital
Gerakan yang bisa dilakukan11
3.7.5 Manajemen
Prinsip:
1. Pertahankan struktur sebanyak mingkin
2. Penutupan kulit definitif sesegera mungkin
3. Penutup kulit berkualitas baik
4. Pengembalian fungsi segera
5. Kemungkinan pengerjaan prosedur sekunder
Pada pasien lanjut usia, perlu diperhatikan pula risiko terjadinya hematoma yang
dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi, bahkan berpotensi menjadi massa
jaringan lunak. Proses aging mempengaruhi turgor dan menurunkan resistensi
terhadap cedera. Penting untuk menginvestigasi penyebab cedera dan mencari kondisi
medis yang menyertai, seperti neuropati diabetik dan penyakit vaskular pada
ekstremitas bawah.11
43
3. Irigasi luka
4. Pasang Drain
5. Balut Tekan
Bila terdapat deformitas kontur, luka dibuka lebar dan jaringan lemak yang
nekrotik di eksisi. Bila terdapat raw surface yang luas, maka dapat dilakukan split
thickness skin graft (STSG) atau full thickness skin graft(FTSG).
44
Setelah dilakukan penutupan defek, baik dengan flap, STSG, ataupun FTSG,
perlu dilakukan penilaian harian pada area degloving. Apabila terjadi nekrosis, maka
perlu dilakukan debridement kembali untuk membuang jaringan nekrotik, karena
jaringan nekrotik dapat menjadi fokus infeksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan
keselurahan graft menjadi gagal, atau bahkan dapat mengakibatkan sepsis.
Kontak graft sangat penting untuk tetap dipertahankan, untuk mencapai hal ini,
tekanan negatif dalam bentuk suction digunakan di bawah graft dan tekanan positif
diberikan bersama dengan dressing dan kompresi. Bagian graft sebaiknya dilakukan
imobilisasi selama 1-2 minggu agar graft dapat tumbuh dengan sempurna, hal ini
dapat dicapai dengan bantuan splint. Setelah 1-2 minggu, splint sebaiknya dilepas dan
mulai dilakukan fisioterapi pada sendi yang bersangkutan untuk mencegah terjadi
kekakuan sendi.10
45
3.8.2 Jenis Skin Graft
1. Autograft
Graft berasal dari individu yang sama (berasal dari tubuh yang sama). Hal ini
dilakukan jika cukup tersedianya kulit sehat dan jika kesehatan pasien
memenuhi untuk perawatan tambahannya yaitu perawatan donor.
2. Allograft
Graft berasal dari individu lain yang sama spesiesnya (berasal dari tubuh yang
lain).
3. Xenograft
Berasal dari makhluk lain yang berbeda spesies (binatang).13
Allograft dan Xenograft hanya mencakup untuk sementara, dan bila ditolak
oleh sistem kekebalan tubuh resipen dalam tujuh sampai sepuluh hari harus diganti
dengan autograft. Berdasarkan ketebalannya, skin graft dibagi atas:
1. Split Thickness Skin Graft (STSG) 14
Skin graft yang dilakukan mencakup dermis dan sebagian dermis. Terbagi atas
tiga yaitu:
a. Thin Split Thickness Skin Graft, ketebalan kulit 0,008-0,012 mm, terdiri
dari epidermis dan ¼ bagian lapisan dermis.
b. Intermedict (medium) Split Thickness Skin Graft, ketebalan kulit 0,012-
0,018 mm, terdiri dari epidermis dan ½ bagian dermis.
c. Thick Split Thickness Skin Graft, ketebalan kulit 0,018-0,030 mm, terdiri
dari epidermis dan ¾ bagian dermis.
2. Full Thickness Skin Graft (FTSG)
Skin Graft yang terdiri dari epidermis dan seluruh bagian dermis.
46
terang atau lebih gelap daripada kulit sekitarnya. Selain itu, STSG tidak
mampu mencegah kontraktur luka.15
B. Full-Thickness Skin Graft (FTSG)
Skin graft yang mencakup seluruh lapisan dermis disebut full-thickness skin
graft. FTSG digunakan pada luka yang berada pada daerah yang mencolok dan
berukuran kecil. FTSG dapat digunakan bila graft donor dan lokasi resipien
dipersiapkan dengan baik.2
Kelebihan FTSG yaitu, mampu mempertahankan karakteristik jaringan di
sekitarnya, seperti warna, tekstur, dan ketebalan. FTSG juga mengalami kontraktur
sekunder yang lebih sedikit dibandingkan STSG.17
Kekurangannya, FTSG biasanya berukuran kecil, dan luka harus memiliki
vaskularisasi yang baik, dan luka situs donor kadang harus ditutup secara primer
atau ditutup dengan STSG.17
STSG dapat dikumpulkan dari seluruh permukaan tubuh, akan tetapi harus
dipilih secara hati-hati agar tidak mudah kelihatan dan meminimalisir
ketidaknyamanan selama reepitelisasi. Umumnya diambil di regio femoralis
anterosuperolateralis. Daerah bokong juga dapat digunakan, tetapi pasien akan
mengalami nyeri postoperasi yang signifikan dan akan membutuhkan bantuan
untuk merawat luka. Kulit kepala dapat digunakan untuk menutup daerah wajah
jika area terlalu luas untuk FTSG dan pada korban luka bakar di mana situs donor
sangat terbatas.2
FTSG dapat dikumpulkan dari kulit di area pre dan postauricular dan
supraklavikula. Jika membutuhkan jaringan kulit dan kartilago, skin graft dapat
dikumpulkan dari daun telinga.2
47
cara mendiseksi dermis dari jaringan subkutan di bawahnya. Jaringan lemak
yang tertinggal harus dihilangkan, karena jaringan lemak memiliki pembuluh
darah yang sedikit dan mencegah perlekatan antara skin graft dan dasar
resipiennya. Situs donor biasanya ditutup secara primer atau kadang dengan
STSG.18
Pengumpulan STSG biasanya dilakukan dengan alat yang disebut
dermatom yang berfungsi mengangkat kulit dengan ketebalan yang sama. Situs
donor yang umum adalah regio femoralis anterior atau lateral. STSG dapat
dibuat berlubang seperti jala atau tidak. Graft berjala lebih tahan dan dapat tahan
pada kondisi yang kurang ideal. Graft berjala dapat bertahan pada permukaan
yang tidak rata dan bisa diregangkan. Tetapi graft berjala akan sembuh dengan
penampakan yang tidak rata, tetapi dapat sembuh dengan reepitelisasi. Graft
tidak berjala atau sheet graft, memberikan penampakan yang lebih mulus.
Kelebihan utama sheet graft adalah kosmetik, tetapi lebih membutuhkan kondisi
yang lebih ideal. Dasar luka harus rata dan sheet graft harus diinspeksi pada
postoperasi hari pertama untuk hematoma dan seroma. Jika terdapat
penumpukan cairan, cairan harus dikeluarkan.19
Setelah skin graft diletakkan pada luka, skin graft harus difiksasi dengan
stapler atau jahitan kecil. Tujuannya adalah memaksimalkan kontak antara kulit
dan dasar resipien dan mencegah sobekan. Cara menutup luka tradisional adalah
dengan menempatkan kasa yang membungkus kapas dan difiksasi dengan
jahitan dengan benang nilon di sekelilingnya.
Situs donor dapat ditutup dengan berbagai cara. Situs donor dapat
dibiarkan terbuka, akan tetapi menyebabkan masa penyembuhan lebih lama,
lebih nyeri dan meningkatkan resiko komplikasi. Penutupan luka dapat
meningkatkan kelembaban yang mempercepat penyembuhan.19
48
beratnya bisa bertambah sekitar 40% karena perpindahan cairan dari dasar
resipien ke graft.2
Setelah 48 jam, tahap kedua, inoskulasi, dan tahap ketiga, revaskularisasi,
terjadi untuk mengembalikan aliran darah ke graft. Selama inoskulasi, ujung-
ujung kapiler dari dasar resipien berjajar dengan pembuluh darah graft
membentuk hubungan sehingga darah dapat mengalir ke graft. Dan
berdiferensiasi menjadi pembuluh aferen dan eferen pada hari keempat hingga
ketujuh. Sistem limfatik terbentuk pada hari kelima atau keenam.2
3.8.5 Indikasi
Umumnya, skin graft dilakukan pada operasi rekonstruksi, ketika metode
rekonstruksi lain tidak dapat dilakukan, seperti penutupan primer, penyembuhan
sekunder, atau skin flap tidak memungkinkan dilakukan atau akan memberikan
hasil suboptimal.
STSG dilakukan ketika kosmetik tidak diprioritaskan atau ketika defek
berukuran besar sehingga tidak memungkinkan untuk FTSG, selain itu STSG
digunakan untuk menutup ulkus kronis yang tidak kunjung sembuh, penutupan
sementara untuk observasi kemungkinan rekurensi tumor, bedah koreksi
gangguan depigmentasi, dan menutup luka bakar untuk mempercepat
penyembuhan luka dan mengurangi kehilangan cairan.
FTSG diindikasikan pada defek dengan jaringan disekitarnya immobile
atau jarang. Selain itu, FTSG dilakukan jika jaringan di sekitarnya memiliki lesi
premalignan atau malignan dan tidak memungkinkan untuk skin flap. Indikasi
umum FTSG adalah ketika prosedur bertahap tidak memungkinkan untuk pada
pasien.
3.8.6 Kontraindikasi
Kontraindikasi STSG adalah jika kosmetik dan ketahanan graft menjadi
prioritas atau ketika kontraktur luka dapat mengkompromis fungsi. Kecocokan
warna dan tekstur yang buruk, kurangnya struktur ekrin, menimbulkan bekas
pada STSG dibandingkan dengan FTSG.
Kontraindikasi FTSG adalah ketika dasar resipien kekurangan suplai vaskular yang
menyebabkan resipien tidak dapat mempertahankan graft. Penggunaan FTSG pada
jaringan avaskular, seperti tulang atau kartilago, biasa berakibat nekrosis graft kecuali
jika area graft kecil dan dapat menyebabkan bridging phenomenon terjadi.
49
50
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Pre-operasi
Persiapan pre-operasi sangat penting dilakukan untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan anestesi. Evaluasi pre-operasi meliputi history taking, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Pada pasien ini riwayat alergi obat dan
makanan disangkal, tidak ada obat-obatan yang dikonsumsi rutin, dan telah 10 kali
menjalani operasi. Pasien tidak memiliki riwayat DM, asma, batuk lama dan penyakit
jantung disangkal. Tekanan darah pasien sebelum operasi yaitu 110/70 mmHg.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah nadi 105x/menit; respirasi
26x/menit; suhu 37,50C. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi, hasil: Hb 14.4
g/dl; Hematokrit 50.4% , leukosit 12,45/uL, trombosit 219 ribu/u. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien
masuk dalam ASA II. Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas dan pada pasien terdapat leukositosis.
Pasien juga dipersiapkan untuk puasa selama 6 jam. Hal ini dikarenakan refleks
laring menurun selama anestesi sehingga regurgitasi isi lambung dan kotoran yang
terdapat dalam jalan napas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Kebutuhan cairan selama operasi harus diperhitungkan agar terjadi balance
antara cairan yang masuk dan cairan yang keluar dari tubuh pasien. Faktor yang
diperhatikan dalam manajemen cairan selama operasi adalah kebutuhan cairan per jam
(maintenance), kebutuhan cairan pengganti puasa pre-operasi, derajat operasi, derajat
perdarahan selama operasi, dan urine output.
2. Pre-medikasi
Premedikasi diberikan pada pasien dengan tujuan:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anestesia
c. Meminimalkan jumlah obat anestetik
d. Mengurangi refleks yang membahayakan
3. Durante operasi
51
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol (50 mg). Mekanisme
induksi anestesi umum dengan propofol melibatkan fasilitas dari inhibisi
neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA.
Pada anestesi umum dibutuhkan kadar obat anestesi yag adekuat yang bisa
dicapai dengan cepat di otak dan perlu dipertahankan kadarnya selama waktu yang
dibutuhkan untuk operasi. Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan
anestesi inhalasi. Obat yang digunakan adalah sevoflurane dan gas H2O dengan
pemberian O2 secara bersamaan. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap
kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET), maka
dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit sebagai
anestesi rumatan. Oksigen diberikan untuk memenuhi oksigenasi jaringan. Pemberian
N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah namun
poten ntuk menjadi analgetik. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien.
Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi selesai.
Monitoring juga diperhatikan selama operasi meliputi frekuensi napas, heart
rate, warna membran mukosa, saturasi oksigen, dan tekanan darah. Pada kasus ini
selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien dapat dikontrol dengan baik > 97%,
heart rate dan tekanan darah dapat dikontrol dengan baik. Bolus fentanyl 50 mcg
diberikan dalam kasus ini sebagai analgetik saat durante operasi untuk mengurangi
nyeri saat operasi yang terpantau dari peningkatan tekanan darah dan nadi secara tiba
tiba saat operasi tengah berjalan. Bolus ketorolac 30 mg diberikan dalam kasus ini
untuk mengurangi nyeri post operasi, ketorolac bolus diberikan sesaat sebelum operasi
selesai.
4. Post-operasi
52
Sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas yang timbul setelah insisi menyebabkan
nyeri post-operatif. Setelah operasi diberikan analgetik berupa drip tramadol 200 mg +
ketorolac 30 mg dalam RL 20 tpm. Selain itu juga perlu dipantau post-operative
nausea and vomitting (PONV) yang terjadi pada 20-30% pasien. PONV dapat
dikontrol dengan diberikan anti emetik, seperti ondansetron. Pada kasus ini perlu
diberikan antibiotik sebagai profilaksis, Pasien ini membutuhkan pemantauan tanda-
tanda vital dan status kesehatan yang ketat setelah operasi akibat durasi operasi yang
lama.
Pada pukul 10.35 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir;
Nadi 98x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 3 jam. Pasien
kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan,
jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran
compos mentis, dan dinilai menggunakan steward score.
5. Anestesi pada tindakan STSG
An.T 9 tahun, datang dengan keluhan utama yakni luka terbuka di tungkai
kanan 2 bulan yang lalu. Hal pertama yang dilihat adalah apakah luka tersebut dapat
sembuh secara primer, karena indikasi penggunaan skin graft adalah luka terbuka yang
tidak dapat sembuh secara primer, luka terbuka tersebut apakah mempunyai
permukaan luka dengan vaskularisasi yang cukup seperti otot, fasia, dermis,
perikondrium, periosteum, peritoneum, pleura dan jaringan granulasi karena pada luka
yang kurang suplai pembuluh darah sulit untuk menghidupkan skin graft, misalnya
tulang, tulang rawan, tendon, saraf, maka tidak dapat dilakukan teknik skin graft. Dari
pemeriksaan fisik, pada luka terbuka tersebut dapat sembuh secara primer tetapi
membutuhkan waktu yang lama serta vaskularisasi yang cukup dengan otot sebagai
permukaan lukanya.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa split thickness skin graft (STSG)
karena STSG diindikasikan untuk menutup defek kulit yang luas sehingga tidak dapat
dilakukan FTSG dan pertimbangan kosmetik tidak menjadi pertimbangan utama serta
lokasi luka yang terletak pada daerah tangan. Teknik STSG memiliki keuntungan berupa
take yang lebih besar, dapat dipakai untuk defek yang luas, donor dapat diambil dari
daerah tubuh mana saja, daerah donor dapat sembuh sendiri/reepitelisasi walaupun
terkadang teknik ini juga menimbulkan kerugian berupa kecendrungan kontraksi lebih
besar, perubahan warna, permukaan kulit mengkilat dan secara estetika kurang baik.
53
Split Thickness Skin Graft merupakan suatu tindakan rekonstruksi dengan
melepaskan scar tissue atau tumor yang dilakukan pada ekstremitas yang berfungsi
sebagai persendian. Bila STSG terpilih sebagai metode skin grafting, defek pada kulit
yang akan diperbaiki harus diukur dengan akurat. Bila memungkinkan, purse string
suture dapat dilakukan pada sekitar defek kulit agar dapat mengurangi ukuran
keseluruhan, yang nantinya akan mengurangi kebutuhan graft dari lokasi donor.
Pemilihan lokasi donor yang tepat harus mempertimbangkan ukuran graft yang
akan diambil, dapat tidaknya disembunyikan lokasi donor, dan kemudahan mengakses
daerah donor untuk follow up. Bila sudah ditentukan, lokasi donor dipersiapkan secara
steril dan diinfiltrasi dengan anestesia lokal, dengan atau tanpa epinefrin.
STSG sering digunakan pada area yang luas. Lokasi paling sering dari donor
STSG adalah diambil dari paha bagian atas, bokong, dan dinding perut. Dalam memilih
ketebalan graft pada pasien luka bakar, perlu mempertimbangkan beberapa hal. Daerah
donor ditentukan dengan lokalisasi dan perluasan dari luka bakar.Bila lokasi tersebut
perlu digunakan lebih dari satu kali, misalnya pada pasien dengan luka bakar yang luas,
maka perlu dilakukan STSG yang tipis.
STSG dapat dicangkok dengan berbagai cara. Yang cukup sering digunakan
adalah teknik yang menggunakan dermatome, yang menghasilkan graft yang cukup lebar
dengan ketebalan yang sama. Anestesia yang cukup harus diberikan, karena proses graft
sangat nyeri. Lidokain dan epinefrin disuntikkan dilokasi donor dapat mengurangi darah
yang hilang dan memberikan tegangan jaringan yang cukup besar yang akan membantu
dalam proses pencangkokan.
BAB IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
54
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan
juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Ke-2.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.
2. Wang, Feng et all. 2008. Activation of Tim-3–Galectin-9 pathway improves survival
of fully allogeneic skin grafts. Transplant Immunology. 19, Pp 12–19
3. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed. New York:
Lange; 2013.
4. Staff. General anesthesia. NHS (serial online) 2015 Mei 8 (diakses 10 Agustus 2019).
Diunduh dari URL: http://www.nhs.uk/conditions/anaesthetic-
general/pages/definition.aspx
5. Shindell M. Nasotracheal intubation. 2018 Apr 5 (diakses 10 Agustus 2019). Diunduh
dari URL: http://www.emedicine.medscape.com/article/1663655-overview
6. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
7. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease.
5th edition. NY : Elsevier
8. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
55
9. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C. 2009.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins
10. Fujiwara M, Fukamizu H. Delayed wraparound abdominal flap reconstruction for a
totally degloved hand. J Hand Surg 2008; 13:115-119
11. Hede Yan; Shen Liu; Weiyang Gao. Management of Degloving Injuries of the Foot
with a Defatted Full-Thickness Skin Graft. J Bone Joint Surg Am, 2013 Sep 18; 95
(18): 1675 -1681
12. Arnez ZM, Khan U, Tyler MP. Classification of soft-tissue degloving in limb trauma. J
Plast Reconstr Aesthet Surg 2010;63:1865-9.
13. Kristo Nuutila, Antti Siltanen, Matti Peura, Ari Harjula. 2013. Gene expression
profiling of negative-pressure-treated skrin graft donor site wounds. Burns 39. Pp 687
– 693.
14. Markus Quante, Abdallah ElKhal, Karoline Edtinger. 2014. Obese Recipients Reject
Skin Grafts Earlier Based on a Th17 Deviation. The American College of Surgeons. Pp
139.
15. Y. Zhang, D. Zhao, C. Tian, F. Li, X. Li, L. Zhang, and H. Yang. 2013. Stro-1–Positive
Human Mesenchymal Stem Cells Prolong Skin Graft Survival in Mice.
Transplantation Proceedings. 45. Pp 726–729.
16. Issa F, Hester J, Goto R, Nadig S, Wood K, et all. 2010. Ex vivo-expand human
regulatory T cells prevent the rejection of skin allograft in humanised mouse model.
Europe PMC Funders Group
17. S. Yu, B. Fu, X. He, X. Peng, A. Hu, and Y. Ma. 2011. Antigen-specific t-regulatory
cells can extend skin graft survival time in mice. Transplantation Proceedings, 43, Pp
2033–2040
18. Lowsky R, Takahashi T, Liu YP, Dejbakhsh S, et all. 2005. Protective Conditioning
for Acute Graft versus host Disease. N Engl J Med 353;13
19. Isenberg JS, Papan LK, Romeo MJ, et all. 2008. Blocade of Thrombospondin-1-CD47
Interactions Prevents Necrosis of Full Thickness Skin Graft. Ann Surg. 247(1): 180-
190
56