Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.1
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga komponen
penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.1
Skin graft adalah transplantasi kulit, dan terkadang bersama dengan jaringan
dibawahnya ke tempat lain di tubuh. Skin graft adalah lembaran kulit yang diambil
dari tempat lain tubuh dan terdiri dari lapisan epidermis dan dermis superfisial (split-
thickness graft) atau seluruh lapisannya (full-thickness graft). Skin graft biasanya
digunakan pada kasus-kasus seperti luka yang luas, luka bakar derajat tiga, luka yang
tidak menunjukkan penyembuhan.2
STSG (split-thickness skin graft) sering digunakan pada area yang
luas. Anestesia yang cukup harus diberikan, karena proses graft sangat nyeri. Pada
operasi STSG dari segi anesthesiology dapat dikerjakan secara anestesi local, regional
maupun anestesi umum. Pemberian tergantung pada luas kulit serta daerah donor yang
akan diambil.2

BAB II
LAPORAN KASUS

1
2.1 Identitas Pasien
Nama : An. T
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Selamat RT 13 Danau Sipin
No. RM : 920521
Ruangan : Kelas I
TB/BB : 127 cm / 30 kg
Gol. Darah : O (+)
Diagnosis : Degloving femur - cruris sinistra
Tindakan : debridement + split thickness skin graft (STSG)

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis 30 Juli 2019)


Keluhan Utama :
Luka terbuka pada tungkai kanan post KLL
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengalami luka terbuka setelah kecelakaan 2 bulan yang lalu.
Kecelakaan lalulintas antara motor dan mobil truk, pasien dibonceng ibunya motor
menabrak mobil truk yang dalam keadaan berhenti, pasien menabrak dari sisi belakang
mobil truk dan terjatuh dengan posisi terseret masuk kedalam bawah truk. Kaki pasien
sebelah kanan terseret sehingga menimbulkan luka terbuka pada tungkai kanan
sepanjang betis hingga ke kemaluan.dengan kulit yang hampir lepas. Pasien mengeluh
nyeri yang hebat hingga pasien tidak dapat berjalan. Setelah kecelakaan pasien sadar,
kejang(-), muntah (-). Pasien dibawa ke IGD dan luka dijahit sementara. dan dilakukan
operasi pada luka robeknya.
Pasien telah menjalani 10 kali operasi perawatan luka dan Setiap 2 hari sekali
pasien menjalani penggantian verban di ruang operasi. Menurut ibu pasien, setiap
operasi pasien dibius hingga tidak sadar. Setiap pasien selesai operasi dan di verban,
pasien mengeluh nyeri dan gatal pada tungkainya. Demam (-) mual(-), muntah (-),
Nafsu makan normal, terkadang sulit untuk tidur karena merasakan kesakitan pada
tungkainya. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien kemudian dijadwalkan untuk
debridement luka dan skin graft di ruang OK RS Raden Mataher dengan diagnosa
Degloving femur-cruris dextra.

Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat Kejang : tidak ada
 Riwayat Asma : tidak ada
 Riwayat Batuk Lama : tidak ada

2
 Riwayat Operasi : (+) 10 kali operasi dan ganti verban di oka 2
hari sekali
 Riwayat Alergi Obat : tidak ada
 Riwayat Penyakit Lain : tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang
dialami oleh pasien. Riwayat DM, Hipertensi, Asma, pada keluarga tidak ada.

Primary Survey
a. Airway :
Snoring (-), Gargling (-), tidak terdapat sumbatan jalan napas baik berupa
cairan maupun benda asing.
Airway clear
b. Breathing :
Look : Pernapasan cuping hidung (-), deviasi trakea (-), retraksi dinding dada
(-), pergerakan dinding dada simetris, tidak ada dinding dada yang
tertinggal
RR : 20 kali/menit
Listen : Pernapasan Spontan
Feel : Pernapasan Spontan
Auskultasi : Vesikuler +/+
Breathing clear
Tindakan :
 Pasang Pulse Oksimetri (saturasi O2 96%),
 O2 nasal kanul 2L/menit.
c. Circulation :
TD : 110/70 mmHg,
Nadi : 110 x/menit
Kulit : Pucat pada wajah dan ekstremitas (-)
Tindakan :
 Pasang IV line dengan cairan RL 20 gtt/menit

3
 Pasang kateter
d. Disability :
GCS : 15 (E4M6V5)
Pupil : isokor, RC +/+
e. Exposure :
Seluruh pakaian os dibuka, lalu os diselimuti.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 31 Juli 2019)


- Kesadaran : Compos mentis
- Vital Sign : TD: 110/70 mmHg
Nadi: 105 x/menit
RR: 26 x/m
T: 36,5 ºC
- BB : 30 kg
- TB : 127 cm
- Status Gizi : 119% (overweight)

Status General:
Kepala : Normocephali
Mata : CA (-/-), SI(-/-), Pupil Isokor, RC (+/+)
THT : pilek (-/-), epistaksis (-)
Mulut : Mukosa tidak anemis,mulut kering (+), lidah kotor (-), Mallampati 1
Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba membesar, struma (-)
Thorax:
Paru:
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus normal, kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Thrill tidak teraba, ictus cordis teraba 2 jari
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi: BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Datar, bekas luka operasi (-), sikatrik (-)
- Auskultasi : BU (+) Normal
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), Hepar lien dan ginjal tidak teraba
- Perkusi : Timpani

Ekstremitas:
Superior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-), luka (-/-)

4
Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-), vulnus
laceratum er femur-cruris dextra (+)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
a. Darah rutin (27 /07/ 2019)
 WBC : 12.45 103/mm3 (4-10 109/L)
 RBC : 5.85 106/mm3 (3,5-55, 1012/L)
 HGB : 14.4 g/dl (11-16 g/dl)
 HCT : 50.4 % (35-50%)
 PLT : 219 103/mm3 (100-300 109/L)
 Ct/Bt : 12’/0.7’
b. Kimia Darah Lengkap (27/07/ 2019)
 Faal Hati
Protein Total : 6.7 g/dl (6,4-8,4)
Albumin : 3.3 g/dl (3,5-5,0)
Globulin : 3.4 g/dl (3,0-3,6)
SGOT : 46 U/L (<40)
SGPT : 96 U/L (<41)
 Faal Ginjal
Ureum : 17 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0.2 mg/dl (0,6-1,1)

2. Radiologi
Rontgen Thorax

EXPERTISE
COR : Dalam batas normal tidak
ditemukan kelainan
Pulmo : Dalam batas normal tidak
ditemukan kelainan

5
Rontgen Pelvic

EXPERTISE : Dalam Batas Normal

Rontgen femur

EXPERTISE : Dalam Batas Normal

2.5 DIAGNOSIS KERJA PRE-OP:


Degloving femur cruris dextra

2.6 PRA ANASTESI


Penentuan Status Fisik ASA : 1 / 2 / 3 / 4 / 5
Mallampati : 1
Persiapan Pra Anestesi :
a. Pasien telah diberikan Informed Consent
b. Periksa laboratorium
c. Puasa 6 jam sebelum tindakan operasi

2.7 LAPORAN ANESTESI


Tanggal : 30 Juli 2019
Pasien : An. TA (9 tahun)
Diagnosis : Degloving femur cruris dextra
Tindakan : Debridement + skin graft STSG
Ahli Bedah : dr. Pritha, Sp.BP

6
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik, Sp.An
Tindakan Anestesi
1. Premedikasi : Ondansentron 4mg, Ranitidin 50mg,
Dexametason 10mg
Metode Anestesi : Anestesi umum (Intubasi)
2. Medikasi
Induksi : Propofol 50 mg
Analgetik : Fenthanyl 50 mg
Relaksasi : Atracurium 15 mg
3. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop anak
Tube : ETT Non Kinking no 5.5
Airway : Goodle No 4
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 10
- Intubasi : Insersi ETT no.5,5
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2

Metode Anestesi : Anestesi Regional (kaudal )


4. Lokasi Penusukan : S4-S5
5. Obat anestesi lokal : bupivakain 0,5% 4 cc
6. Adjuvant : Morphin 0.1 mg
7. Maintenance : Sevoflurans 2vol% + N2O (2L) : O2 (2L)
8. Medikasi Intra Operasi : Ketorolac 15 mg (IV)
9. Respirasi : Nafas kendali dengan ventilator.
10. Ekstubasi : Setelah pasien sadar penuh.

Keadaan Selama Operasi


1. Posisi Penderita :Supinasi
2. Penyulit waktu anestesi : Tidak ada
3. Lama Anestesi : 3 jam
4. Jumlah Cairan
Input :
 RL 500 ml
 PRC 250cc
Total = 750 ml
Output :
 Urine : ± 100 ml
 Perdarahan: Suction = 200 cc
Total = 300 ml

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 30 Kg
 Maintenance (M)= 10kg I = 4 cc/kgBB/jam

7
= 4cc x 10
= 40 cc
10kg II = 2 cc/kgBB/jam
= 2cc x 10
= 20 cc
10 Kg III = 1cc/kgbb/jam
= 10 cc
Total = 70cc/jam x 24 jam = 1680cc/hari
 Pengganti Puasa (P)
P = 6 x M Pasien puasa dari 6 jam
= 6 x 70 cc
= 420 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 30 x 6 cc
= 180 cc
 EBV = 70x bb
= 70x 30 = 2100 cc
 EBL = 20% x EBV
= 20% x 2100 cc 420 cc

Kebutuhan cairan selama operasi


Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (420) + 70+ 180
= 460 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (460) + 70 + 180
= 355 cc
 Total cairan  815 cc

Monitoring Peri Operatif:

TD Nadi
Jam RR
(mmH (x/mnt
WIB (x/mnt)
g) )

10.20  Pasien masuk ke kamar operasi, dan


dipindahkan ke meja operasi 100/60 110 26
 Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2 dan urin 100/60 105 22
bag dikosongkan.
 Diberikan cairan RL

8
(1 kolf) & obat premedikasi
 Pasien mulai dilakukan general
anestesi,
 Pemberian Analgesia fentanyl 50 mg
11.30  Pemberian induksi IV propofol 50 110/70 85 20
mg,
 Tes bulu mata
 Pemberian obat muscle relaxan
Rocuronium 15 mg
Melakukan intubasi
11.35 Pasien diposisikansupinasi 100/60 76 20
Melakukan anestesi caudal
11.40 Operasi dimulai 119/90 76 18

12.55 110/80 80 20

13.10 Diberikan RL 500 ml (1 kolf) 120/90 85 20


Operasi Selesai
13.40 Posisi pasien di luruskan kembali 100/75 80 20
keadaan telentang

Gas N2O dan sevoflurane dimatikan,


gas O2 dinaikkan dgn menggunakan
ETT
Pasien sadar & nafas spontan, dilakukan 110/80 76 18
ekstubasi
Pelepasan alat monitoring
Pasiendipindahkan ke ruang RR

Ruang Pemulihan (RR)


a. Masuk Jam : 12.40 WIB
b. Keadaan Umum : Kesadaran CM, GCS:15
c. Tanda Vital :TD(100/60mmHg),N(98x/i)RR(21x/i),SpO2 (99%)
d. Pernafasan : Baik
Monitoring:

Jam TD Nadi RR Skoring


Aldrete 12.15 120/80 98 18 : Aktifitas
(0-2) :2
12.30 110/80 96 18

Pernafasan (0-2) :2
Warna Kulit (0-2) :2
Sirkulasi (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah : 10

9
Skoring Steward : Pergerakan (0-2) :2
Pernafasan (0-2) :2
Kesadaran (0-2) :2
Jumlah :6

Jam keluar ruang pemulihan : 12.45 WIB


5. Instruksi Post Operasi :
 Observasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit
dalam 24 jam
 Tirah baring tanpa bantal dalam 24 jam
 Puasa sampai sadar penuh
 Cek Hb Post Operasi
 Terapi lainnya sesuai instruksi dokter operator : dr.Pritha, Sp.BK

2.9. DIAGNOSA POST OP


Post Debridement+ skin graft a/i degloving femur-cruris dextra

2.10. PROGNOSIS :
Quoad vitam : Dubia ad bonam
Quoad functionam : Dubia ad bonam
Quoad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Umum


3.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang
diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi. Rees
dan Gray membagi anestesi umum menjadi tiga komponen yaitu hipnotika, anelgesia
dan relaksasi. Ketiga komponen anestesia ini sering disebut dengan trias anestesia.
Untuk mencapai ketiga kondisi trias anestesi dapat dilakukan dengan menggunakan
obat anestesi tunggal seperti eter, atau dengan mengkombinasikan beberapa jenis obat
anestesi. Kombinasi obat-obat yang dipakai juga dapat bervariasi dari obat-obat
anestesi inhalasi sampai penggunaan obat-obat anestesi intravena. 3,4

3.1.2 Kelebihan dan Kekurangan

10
Anestesi umum adalah teknik anestesi yang menggunakan agen intravena dan
dihirup untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke situs operasi. Satu hal
yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan
terbaik, tergantung pada keadaan klinis pasien, pemilihan anestesi lokal atau regional
mungkin lebih tepat.4
Keuntungan anestesi umum meliputi: 4
1. Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
2. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
3. Memfasilitasi kontrol saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi
4. Dapat digunakan dalam kasus-kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
5. Dapat diberikan tanpa menggerakkan pasien dari posisi terlentang
6. Dapat menyesuaikan untuk prosedur operasi dengan durasi tak terduga
7. Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel

Kekurangan dari anestesi umum meliputi:4


1. Membutuhkan kompleksitas peningkatan pelayanan dan biaya yang terkait
2. Memerlukan beberapa persiapan pasien sebelum operasi
3. Berhubungan dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan pengembalian ke
fungsi mental normal yang lama
4. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama

3.1.3 Intubasi (Endotrakeal)


Intubasi adalah memasukkan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi dibagi menjadi intubasi orotrakeal dan intubasi nasotrakeal. Intubasi
bertujuan untuk:4,5
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran jalan napas.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung.
4. Mempermudah pengisapan secret trakeobronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.

3.1.4 Persiapan pra anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2
hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi
pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat

11
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan
kunjungan pra anestesi adalah: 3,4
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi
/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.

Pemeriksaan preoperasi anestesi 6


I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

12
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

II. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan,keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
2. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
3. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
4. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior, oropharynk, tonsilla
palatina dan tonsilla pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding, posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
5. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
6. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

13
7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional

III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain


A. Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
B. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjal pada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.4
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman
bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi. 4
3.1.5 Premedikasi
Pemberian premedikasi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesia, diantaranya: 4,6
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

14
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan3.

3.1.6 Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada
kasus ini digunakan obat induksi :
a. Fentanyl
Fentanyl adalah merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang
secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai anestetik 75 – 125 kali lebih
poten dari Morfin.
Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai
tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil
menyediakan stabilitas jantung dan stress yang berhubungan dengan hormonal, yang
berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 mg (w.o ml) setara dengan aktifits analgesik 10
mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit
setelah dosis tunggal IV 100mg. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan
pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruh

15
efek dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang dengan
menggunaka narkotik antagonis seperti Naloxone.
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan durasi
yang lebih singkat dibanding morfin. Disamping itu juga terdapat jeda waktu tersendiri
antara konsentrasi puncak fentanil plasma, dan konsentrasi puncak dari melambatnya
EEG. Jeda waktu ini memberi efek waktu Equilibration antara darah dan otak selama
6,4 menit.
Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat mengakibatkan Lipid
solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan perjalanan obat
menuju sawar darah otak. Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang
cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula,
seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi
obat dalam plasma.
Paru – paru memiliki tempat penyimpanan tidak aktif yang cukup besar,
dengan estimasi 75% dari dosis awal fentanil yang di uptake disini. Fungsi non
respiratory dari paru ini yang membatasi jumlah obat yang masuk ke sirkulasi
sistemik dan memegang peranan utama dari penentuan farmakokinetik dari fentanil.
Bila dosis berulang IV berulang atau melalui infus yang terus menerus dari fentanil
dilakukan, saturasi yang progesif dari jaringan yang tidak aktif ini terjadi. Sebagai
akibatnya konsentrasi dari fentanil plasma tidak menurun secara cepat, sehingga durasi
dari analgesia seperti depresi dari vantilasi memanjang.
Fentanyl dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi Norfentanil
yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi fentanil pada ginjal dan terdeteksi
pada urine dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di
hati, dan kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan
hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.
Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari paruh
waktu lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanyl mempunyai Lipid solubility
yang lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju jaringan. Konsentrasi
plasma fentanil dipertahankan oleh uptake dari jaringan yang lambat, yang
memberikan hitungan dari efek obat yang persisten dan paralel dengan eliminasi paruh
waktunya.

16
Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang , dikarenakan klirens
opiodi berkurang, disebabkan menurunnya aliran darah hepatik, aktifitas enzym
microsome atau produksi albumin ( fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).
Fentanyl diberikan untuk analgesik nakotik, sebagai tambahan pada general
atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan neuroleptik (droperidol) sebagai
premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan pemeliharaan general anestesi maupun
regional anestesi.
Fentanyl digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 – 2 mcg / kg IV
memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mcg/kg IV, biasanya digunakan untuk tambahan
pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan respon sirkulasi, digunakan
dengan, Laryngoskopi untuk intubasi trakea atau Stimulasi operasi yang tiba – tiba.
Waktu pemberian fentanil injeksi IV untuk menghambat atau menatalaksana
beberapa respon operasi harus dipertimbangkan waktu equilibrationnya. Injeksi opioid
seperti fentanil sebelum stimulasi operasi yang menyakitkan, mungkin dapat
mengurangi dari jumlah opioid yang dibutuhkan untuk periode postoperasi untuk
menyediakan analgesia.
Dosis besar dari fentanil sebagai awalan dari anestesi mempunyai kelebihan
menstabilkan hemodinamik dengan cara. A) Efek depresi myocard yang rendah b)
menghilangkan atau tidak mencetuskan pelepasan histamin c) mensupressi stress pada
respon operasi.
Kekurangannya a) gagal mencegah respon nervus simpatik pada stimulasi
operasi yang menyakitkan, terutama pada pasien dengan funsi ventrikel kiri yang baik.
b) kemungkinan pasien sadar c) depresi venilasi pada posoperasi
Dosis pemberian fentanyl sebagai berikut.
Sebagai tambahan untuk general anestesi
a. Dosis rendah, 2 mcg / kg berguna untuk operasi minor
b. Dosis sedang, 2- 20 mcg /kg dimana operasi menjadi lebih rumit dan
dosis besar dibutuhkan
c. Dosis tinggi, 20 – 50 mcg/kg dalam prosedur bedah mayor, dimana
waktu tempuh lebih lama dan respon stress operasi lebih tinggi, dosis
20 – 50 fentanyl dengan N20 telah menjadi pilihan. Bila dosis seperti

17
ini telah digunakan observasi ventilasi posoperatif seperti diperlukan
dimana kemungkinan depresi ventilasi postoperatif memanjang.
d. Sebagai Agent anestetik
Jika respon stress dari operasi sangat perlu diturunkan, dosis 50 – 100
mg / kg mungkin dapat diberikan dengan oxigen dan muscle relaxan.
Teknik ini memberikan anestesi tanpa perlu menambah anestesi lain
dalam beberapa kasus dosis lebih dari 150 mg / kg mungkin diperlukan
untuk menyediakan efek anestesi tersebut, telah banyak digunakan
untuk bedah jantung dan operasi lain yang memerlukan proteksi
miokard dari kelebihan kebutuhan akan oksigen.
Efek samping fentanyl meliputi depresi ventilasi yang persisten maupun
rekuren. Fentanil yang bersequesterasi bisa diabsorbsi kembali dari usus halus kembali
ke sirkulasi dan meningkatkan konsentrasi plasma menyebabkan depresi ventilasi.
Pemberian fentanyl pada trauma kepala berhubungan dengan peningkatan 6-9
mhg pada tekanan intrakranial, ataupun menjaga PaCo2 yang tidak berubah.
Peningkatan ini biasanya diakibatkan oleh penurunan MAP dan tekanan perfusi otak.
Konsentrasi analgesik dari fentanil sangat berefek pada potensi midazolam dan
penurunan dosis dari propofol yang dibutuhkan. Pada klinisnya keuntungan sinergi
dari opioid dan benzodiazepin untuk menjaga kenyamanan pasien juga harus dibarengi
dengan pemaantauan ketat, karena memili efek buruk yaitu berpotensi efek depresi.
b. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi7.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat
setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah
postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu

18
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan
adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan
karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya

19
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Atrakurium Basylate
Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium
memiliki struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara lain
metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang
tidak tergantung fungsi hati dan gfungsi ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna. 8

3.1.7 Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.7
b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa
stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat adanya
degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas.
Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta
pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan. Daerah otak yang spesifik dipengaruhi
oleh obat anestesi inhalasi termasuk reticulat activating system, cerebral cortex,

20
cuneate nucleus, olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level dorsal horn
interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi rasa sakit.

3.1.8 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk.9
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari
10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.1.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan

21
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.

3.2 Anestesi Regional


3.2.1 Pembagian Anestesi Regional
Anestesi regional merupakan penggunaan obat analgetik lokal untu
menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh
diblokir dengan sifat reversible, fungsi motorik dapat terpengaruh sebagaian atau
seluruhnya dan dalam keadaan penderita tetap sadar. Anestesi regional terbagi atas : 1)
Blok Sentral (blok neuraksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. 2)
Blok Perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena dan lain-lainnya.3
Hampir semua tindakan operasi yang dilakukan pada daerah dibawah leher
menggunakan anestesi neuraksial. Namun, dikarenakan prosedur intratorakal,
abdomen bagian atas, dan laparoskopi memiliki ketidakseimbangan ventilasi yang
signifikan, biasnaya dilakukan anestesi general dengan intubasi endotrakeal. Beberapa
penelitian berpendapat bahwa morbiditas postoperatif dan kemungkinana peningkatan
mortalitas dapat dikurangi dengan blokade neuraksial dibandingan dengan
menggunakan anestesi general. Blokade neuraksial dapat mengurangi insideen
trombosis vena dan emboli pulomanal, komplikasi kardiak pada pasien berisiko tinggi,
perdarahan, pneumonia, dan depresi pernapasan pada pasien dengn penyakit paru
kronis yang menjalani operasi abdominal ataupun thorakal.3
Blokade neuraksial juga dapat mengembalikan fungsi ganstrointestinal lebih
awal. Pada pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner, pengurangan beban stres
dapat menurunkan kejadian iskemik perioperatif sehingga menurunkan morbiditas dan
mortalitas. Engurangan penggunaan opioid parenteral daat menurunkan insidien

22
kejadian atelektasis, hipoventilasi, dan pneumonia aspirasi serta mengurangi kejadian
ileus. 3

3.2.2 Anatomi Medula Spinalis


Tulang belakang terdiri atas tulang vertebralis dan diskus intervertebralis.
Masing-masing tingkatan vertebrae nervus spinalis keluar berpasangan dari sistem
saraf pusat. Bagian anterior dari vertebrae berbentuk cincin dan pada bagian lateral
terdapat pedikel dan prosesus transversus, serta bagian posterior terdapat lamina dan
prosesus spinosus. 3

Gambar 3.1Anatomi medulla spinalis.3


Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari
sistemsaraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang.
Fungsi utamamedulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan antara perifer
dan otak. Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang terbentang
dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang
disebut conus terminalis atauconus medullaris. Terbentang dibawah cornu terminalis
serabut-serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan
ikat. Terdapat 31 pasang saraf spinal yang terdiri atas 8 pasang saraf servikal, 12
pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sacral dan 1 pasang saraf
coxigeal.3
Kanalis spinalis terdiri atas meningen yang terdiri atas tiga lapisan yaitu pia
mater, arachnoid mater, dan duramater, serta terdapat juga jaringan lemak dan pleksus

23
venosus. Cairan serebrospinal terdapat diantara lapisan piamater dan
arachnoideamater, yaitu pada ruang subarachnoid.3

Gambar 3.2 Korda spinalis.3


Korda spinalis biasanya akan berakhir pada tingkat Lumbal 1, serabut saraf
terbawah akan membentuk jarak sebelum akhirnya menutup foramina intervertebralis.
Saraf spinal terbawah ini akan membentuk cauda equina. Oleh karena itu, dengan
melakukan penusukan di bawah tingkat L1 pada dewasa dan L3 pada anak-anak akan
menghindari trauma medula spinal akibat jarum, tidak terjadi kerusakan cauda equina
dikarenakan serabut saraf tersebtu melayang di sakus dural dibawah L1 dan cendrung
akan terdorong menjauh ketika jarum bergerak maju menusuk. Blokade yang
dilakukan disekitar foramen intervertebrae dapat berisiko terinjeksinya subdural atau
subarachnoud.3

Gambar 3.3 Gambaran sagitalis vertebrae.3


Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan menembus
kulit: Kulit  Subkutis  Ligamentum Supraspinosum  Ligamentum
interspinosum  Ligamentum Flavum  Ruang Epidural  Duramater  Ruang
Subarakhnoid.

24
Cairan serebrospinal merupaka ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari
pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan jernih ini
tak bewarna mengisi ruang subarachnoid dengan jumlah total 100-150 ml, sedangkan
yang dipunggung sekitar 24-45 ml.

3.2.3 Keuntungan Anestesia Regional


1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada p olusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
3.2.4 Kerugian Anestesia Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

3.3 Analgesia Spinal


Analgesia spinal (anestesi lumbal, blok subaraknoid) adalah pemberian obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-
L4 atau L4-L5. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal
ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi ini umunya menggunakan jarum dengan
panjang 9 cm. Untuk pasien dengan keadaan obesitas beberapa aenstesiologis lebih
menyukai menggunakan jarum spinal dengan panjnag 18 cm.3,5
Terdapat dua macam jarum spinal, yaitu jensi yang ukunya rucing squincke-
babcock atau Greeng) dan jenis iini ujungnya seperti ujung pensil diama ujung pensil
banyak digunkan karena jarang akan meningkatkan risiko nyeri kepala pasca
penyuntikan spinal sedangkan jika menggunakan cutting-neeedle akan meningkatkan
risiko nyeri kepala pasca penyuntikan karena mneingkatka trauma duramater.3
Spinal anestesi disebut pula spinal analgesia subarachnoid nerve block terjadi
karena obat anestesi lokal di dalam ruangan subaraknoid. Terjadi blok saraf yang
reversibel pada radik anterior dan posterior, radik ganglion posterior dan sebagian

25
medula spinal yang akan menyebabkan terjadinya hilangnya aktivitas sensoris, motoris
dan otonom.5
3.3.1 Fisiologi Anestesi Spinal
Larutan Anestesi local disuntikkan kedalam ruang subarachnoid yang akan
memblok konduksi impulse saraf walaupun beberapa saraf lebih mudah diblok
disbanding yang lain. Ada 3 kelas syaraf, yaitu motoris, sensoris dan autonomic.
Stimulasi saraf motorik menyebabkan kontraksi otot dan ketika itu diblok akan
menyebabkan paralisis otot. Saraf sensory mentransmisikan sensasi seperti nyeri dan
sentuhan ke spinal cord dan dari spinal cord ke otak. Dan saraf autonomic mengontrol
pembuluh darah, heart rate, kontraksi usus, dan fungsi lainnya yang tidak disadari.6,7
Secara umum pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf
simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan
tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar
(vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan
suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.6

3.3.2 Indikasi:
Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah (daerah
papilla mammae kebawah).1
1. Bedah ekstremitas bawah.
2. Bedah panggul.
3. Tindakan sekitar rektum-perineum.
4. Bedah obstetri-ginekologi.
5. Bedah urologi.
6. Bedah abdomen bawah.

3.3.3 Kontraindikasi:
Kelainan pembekuan darah, hipovolemia (syok), septisemia, infeksi kulit daerah
pungsi (punggung), tekanan intrakranial yang meninggi, penderita menolak/tidak kooperatif. 1
a. Kontraindikasi absolut:
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan

26
3. Hipovolemia berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minim.
7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesi.
b. Kontraindikasi relatif :
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis.

3.3.4 Persiapan analgesia spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan anestesi
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga
tak teraba tonjolan prosessus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah
ini:1
1. Informed consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial thromboplastine
time).
3.3.5 Peralatan analgesia spinal 6
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/ anestesia umum
3. Jarum Spinal

27
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, Quincke Babcock) atau
jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point, Whitecare).

Gambar 3.4 Jenis jarum yang digunakan pada anestesi spinal.3

3.3.6 Teknik Analgesia Spinal


Inspeksi : Garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan – kiri
akan memotong garis tengah punggung setinggi L4 atau L4-L5.
Palpasi : Untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis.
Pungsi lumbal hanya antara: L2-L3, L3-L4, L4-L5 atau L5-S1.
Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal.
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang palinpg sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa
dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.4

Gambar 3.5 Posisi anestesi spinal.3


1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat

28
pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus teraba. Posisi lain adalah
duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-L3 atau L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya beresiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.

Gambar 3.6 Posisi pasien duduk atau berbaring lateral dengan punggung
fleksi maksimal untuk spinal anestesi.3

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau
25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G,
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoduser), yaitu jarum suntik biasa spuit
10 cc. Tusukan intraduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut.
Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus
sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah
keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum
spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada
posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90O biasanya likuor
keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.2

29
Gambar 3.7 Lokasi tusukan paramedian.3
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perianal misalnya bedah
hemoroid(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6 cm.

3.2.7 Anestetik lokal untuk analgesia spinal


Berat jenis cairan serebrospinal (CSS) pada suhu 30 OC ialah 1,003 – 1,008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anestetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik.1 Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-
100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-
20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).
a. Penyebaran anestesi lokal tergantung
1. faktor utama
 Berat jenis anestesi lokal
 Posisi pasien (kecuali isobarik)
 Dosis dan volume anestesi lokal (kecuali isobarik)
2. Faktor tambahan
 Ketinggian suntikan
 Kecepatan suntikan/ barbotase.

30
 Ukuran jarum.
 Keadaan fisik pasien.
 Tekanan intraabdominal.
b. Lama kerja anestesi lokal tergantung
1. jenis anestesi lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor.
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal.
c. Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi Berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
2. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi, atau spinal total.
d. Komplikasi pasca tindakan:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urin
5. Meningitis.
3.3.9 Obat Spinal Anastesi
Dibedakan menjadi 2 golongan:
a. Amida (Bupivacaine, nupercain, etidocaine, lidocaine, mepivacaine, prilocaine,
ropivacaine)
b. Ester (chloroprocaine, cocaine, procaine, tetracaine)

3.3.10 Mekanisme Kerja Obat Anastesi Spinal


Obat anastesi local bekerja pada pompa Na dan K, sehingga terjadi polarisasi:1

31
a. Menghambat transmisi impuls saraf atau blockade konduksi → mencegah
peningkatan permeabilitas membrane saraf terhadap ion Na
b. Mekanisme kerja: keadaan istirahat, depolarisasi, repolarisasi, polarisasi penuh
c. Obat local anastesi mencegah proses depolarisasi membrane saraf dengan memblok
aliran ion Na → hambatan transmisi impuls saraf (blockade konduksi).
3.3.11 Dosis Obat Spinal Anastesi
Obat Persiapan Level T10 Level T6 Level T4 Durasi
Procaine 10% 75 125 200 30-45
Lidocaine 5% dalam 7,5% 25-50 50-75 75-100 45-60
glukosa
Tetracaine 1% dalam 10% 6-8 8-14 12-20 60-90
glukosa
Bupivacaine 0,75% dalam 6-10 8-14 12-20 90-120
8,25% dekstrosa
Ropivacaine 0,21-1 % 8-12 12-16 16-18 90

3.3.12 Adjuvant Obat Anastesi Spinal


1. Opioid
a. Reseptor opiate ditemukan di CNS seperti cortex cerebri, cortex limbic system,
thalamus bagian medial, midbrain substansia gelatinosa saraf simpatis
preganglionik
b. Contoh: fentanyl akan memperlama masa kerja blok sensoris tanpa
memperpanjang blok simpatis
c. Efek samping seperti mual,muntah, pruritus, retensi urin, hipoventilasi
d. Depresi respirasi terjadi akibat penyebaran opioid ke dalam batang otak
sehingga terjadi depresi respirasi, biasanya akibat morfin. Dapat terjadi dalam
12 jam pertama setelah pemberian morfin.
e. Penggunaan opioid lain seperti fentaniyl tidak menunjukkan depresi respirasi
karena sifat lipofilik obat tersebut
f. Hipoventilasi dapat juga disertai dengan somnolen, sehingga harus di observasi
derajat sedasi dan tingkat kesadaran
2. Midazolam
a. Bekerja melalui reseptor GABA benzodiazepine yang juga terdapat di medulla
spinalis terutama di lamina II cornu dorsalis
b. Efek antinosiseptik ini dapat dihilangkan dengan pemberian nalokson, di duga
bekerja melalui reseptor opioid
3. Acetylcholinestrase Inhibitor

32
 Neostigmin merupakan reseptor acetylcholinestrase yang menghambat
pemecahan neurotransmitter asetilkolin endogen di tingkat medulla spinalis,
sehingga menghasilkan analgesia
 Efek samping utama mual, muntah, kelemahan ekstremitas bawah
 Penambahan neostigmin dengan bupivacaine akan menyebabkan peningkatan
mual dan muntah
4. Epinefrin
 Epinefrin memperpanjang analgesia akan tetapi efek ini kurang menonjol bila
dengan bupivacaine atau ropivacaine
 Epinefrin (0.2 µg) ditambahkan pada bupivacain atau lidocaine akan
memperpanjang durasi anastesi sensorik pada anggota bawah dan abdominal.
Selain itu apabila ditambahkan dengan bupivacaine hiperbarik 7,5 mg akan
meningkatkan masa anastesi pembedahan dari 103 menit menjadi 172 menit,
juga meningkatkan masa pulih dari 172 menit menjadi 220 menit.
5. Alpha 2 Adrenergik Agonis
 Contoh : klonidin, dapat menimbulkan analgesia tanpa blok motorik dan
propioseptif
 Efek samping : hipotensi, bradikardi dan sedasi.

3.4 Anestesia Epidural


Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan
obat di ruang epidural (peridural, ekstradural). Ruang ini berada diantara
ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm dan
dibagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik lokal diruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal
yang terletak dilateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi
spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.1

Gambar 5.Anestesi Epidural

33
3.4.1 Keuntungan Anestesi Epidural
Keuntungan epidural dibandingkan spinal:
 Bisa segmental
 Tidak terjadi headache post op
 Hipotensi lambat terjadi

3.4.2 Kerugian Anestesi Epidural


Kerugian epidural dibandingkan spinal:
 Teknik lebih sulit
 Jumlah obat anestesi lokal lebih besar
 Reaksi sistemis
3.4.3 Komplikasi anestesi / analgesi epidural1:
 Blok tidak merata
 Depresi kardiovaskular (hipotensi)
 Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
 Mual – muntah

3.4.4 Indikasi analgesia epidural


Indikasi analgesia epidural :
1. Untuk analgesia saja, di mana operasi tidak dipertimbangkan. Sebuah
anestesi epidural untuk menghilangkan nyeri (misalnya pada persalinan)
kemungkinan tidak akan menyebabkan hilangnya kekuatan otot, tetapi
biasanya tidak cukup untuk operasi.
2. Sebagai tambahan untuk anestesi umum. Hal ini dapat mengurangi
kebutuhan pasien akan analgesik opioid. Ini cocok untuk berbagai macam
operasi, misalnya histerektomi, bedah ortopedi, bedah umum (misalnya
laparotomi) dan bedah vaskuler (misalnya perbaikan aneurisma aorta
terbuka).
3. Sebagai teknik tunggal untuk anestesi bedah. Beberapa operasi, yang
paling sering operasi caesar, dapat dilakukan dengan menggunakan
anestesi epidural sebagai teknik tunggal. Biasanya pasien akan tetap terjaga
selama operasi. Dosis yang dibutuhkan untuk anestesi jauh lebih tinggi
daripada yang diperlukan untuk analgesia.
4. Untuk analgesia pasca-operasi, di salah satu situasi di atas. Analgesik
diberikan ke dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi,
asalkan kateter telah dimasukkan.

34
5. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke
dalam ruang epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit punggung.
6. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam
perawatan terminal, biasanya dalam jangka pendek atau menengah.

Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat
menghambat penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana
vasodilatasi yang diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah
ke jantung)

Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada:


1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaanobat antikoagulan
(misalnya warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia

Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :


1. Volume obat yg disuntikan
2. Usia pasien
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
7. Panjang kolumna vetebralis

3.4.5 Teknik Anestesia Epidural

35
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.1,3
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a) jarum ujung tajam (Crawford)
b) jarum ujung khusus (Tuohy)

Gambar 6.Jarum Anestesi Epidural


4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang
paling populer adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes
tergantung.

a) Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)


Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah
resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3ml. Setelah
diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusuk
sedalam 1-2 cm. Kemudian udara atau NaCl disuntikkan perlahan dan
terputus-putus. Sembari mendorong jarum epidural sampai terasa
menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul hilangnya
resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural,
lakukan uji dosis (test dose)
b) Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik ini
menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes
Nacl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan
secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian
disusul oleh tersedotnyatetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin,
lakukan uji dosis (test dose)

36
5. Uji dosis (test dose)
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah
bercampur adrenalin 1:200.000.
 Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
sudah benar
 Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang
subarakhnoid karena terlalu dalam.
 Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.

7. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya


bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis
dikurangi sampai 50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat
pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural akibat ramainya
vaskularisasi darah dalam ruang epidural.
8. Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan analgesia epidural :
a. Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
b. Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.
c. Tentang blok motorik dari skala bromage

Melipat Lutut Melipat Jari


Blok tak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -
Tabel 1. Skala bromage untuk Blok Motorik
Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural
1. Lidokain (Xylokain, Lidonest)
Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi
otot baik.
0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik.
1.5% lazim digunakan untuk pembedahan.
2% untuk relaksasi pasien berotot.
2. Bupivakain (Markain)

37
Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam. Volum
yang digunakan <20ml.
Komplikasi:
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual-muntah

Tabel 2. Obat Anestesi Epidural

3.5 Anestesia Kaudal1


Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena
kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan
di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh
ligamentum sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan antara
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan ligamentum
flavum. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale
dan kantong dura.
Indikasi : Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid,
fistula paraanal.
Kontra indikasi: Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural.
3.51 Teknik anesthesia kaudal :

38
1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala
lebih rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena
ukuran 20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan
kiri dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga
tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.
5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis,
tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk
kanalis sakralis, ubah jarum jadi 450-600 dan jarum didorong sedalam 1-2
cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil
meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan
masuk dengan benar di kanalis kaudalis.

Gambar 7. Anestesi Kaudal


Tabel 3.3 Komplikasi Anestesi Neuroaksial

Respon fisiologis Retensi urin


Tinggi blok
Total spinal anestesi
Henti jantung
Anterior spinal artery syndrome
Horner’s syndrome

Komplikasi yang berhubungan Trauma


dengan pemasangan kateter atau
Backache
jarum
Tusukan dura/bocor
Postdural puncture headache
Diplopia

39
Tinitus
Injuri saraf
Kerusakan radiks saraf
Kerusakan medula spinalis
Cauda equina syndrome
Perdarahan
Hematoma intraspinal/epidural
Salah penempatan
Tidak ada efek/anestesi tidak adekuat
Blok subdural
Inadvertent subarachnoid blok
Inadvertent suntikan intraarterial
Robekan kateter
Inflamasi
Arachnoiditis
Infeksi
Meningitis
Epidural abses

Toksisitas Obat Toksisitas sistemik


Cauda equina syndrome

3.6 Anestesi Spinal Total1


Anestesi spinal total ialah anestesi spinal intratekal atau epidural yang naik
sampai di atas daerah servikal. Anestesi ini biasanya tidak disengaja, pasien batuk-
batuk, dosis obat berlebihan, terutama pada analgesia epidural dengan posisi pasien
yang tidak menguntungkan.
Tanda-tanda klinis:
 tangan kesemutan
 lidah kesemutan
 napas berat
 mengantuk kemudian tidak sadar
 bradikardi dan hipotensi berat
 henti napas
 pupil midriasis.

40
3.7 Degloving
3.7.1 Definisi
Degloving injury merupakan terlepasnya kulit dan jaringan subkutan dari
fasia dan otot yang terletak di bawahnya. Dinamakan degloving karena
dianalogikan dengan proses melepas glove (sarung tangan). Cedera semacam ini
paling banyak melibatkan ekstermitas bawah dan torso, dan penyebab tersering
adalah kecelakaan industri dan lalu lintas. Cedera dapat terjadi pada seluruh bagian
ekstremitas bawah, bahkan dapat meluas hingga ke bagian bawah torso. Cedera
tersebut sering disertai dengan fraktur atau cedera lain yang dapat menyebabkan
berbagai macam komplikasi mulai dari infeksi hingga kematian. Apalagi jika
pasien berusia lanjut, risiko terjadinya komplikasi semakin meningkat.10

3.7.2 Etiologi
Degloving injury ditandai oleh avulsi jaringan kutan dan subkutan dari struktur
yang lebih kaku oleh karena trauma. Degloving seperti itu dapat terjadi pada deep
fascia, otot atau permukaan tulang.13,14 Trauma dengan mekanisme “tergilas” dapat
menghasilkan degloving injury. Tergilas oleh kendaraan berat dan bergerak lambat
dengan ban besar diketahui sebagai penyebab yang paling mungkin menyebabkan
cedera ini, hal ini mungkin karena korban lebih mungkin bersentuhan dengan ban
daripada bagian lain dari kendaraan. Mekanisme penting dari cedera ini, melibatkan
avulsi kulit dan lapisan subkutan yang terpisah dari lapisan lebih profunda serta
kerusakan pembuluh darah musculo-cutaneous perforantes menyebabkan viabilitas
jaringan tersebut menjadi terganggu.12
Pada degloving, kulit dan jaringan subkutis terlepas secara paksa dari dasarnya
oleh kekuatan yang keras dan mendadak. Seperti pada bagian tubuh yang terlindas
atau tergilas diantara ban dan permukaan jalan, saat roda berputar diatasnya akan
menyebabkan tarikan kulit sehingga terjadi gaya puntir dari kulit dan mengakibatkan
kulit terputus kontinuitasnya, sebagian kulit melekat seperti flap.12

41
3.7.2 Klasifikasi
1. Degloving Tertutup
Merupakan cedera degloving dengan permukaan kulit yang intak tanpa adanya
luka luar. Jaringan subkutan terlepas dari jaringan dibawahnya, sedang permukaan
luar tanpa luka. Terjadi jika ada kekuatan shear dengan energi yang besar dalam
waktu singkat.
Tanda yang dapat ditemukan yaitu mobilitas kulit dan fluktuasi di subkutis,
disertai jejas seperti ban mobil dan luka abrasi. Bila tidak diatasi segera, jaringan
yang terkena dapat terjadi nekrosis karena putusnya suplai darah ke kulit.
Penanganan dari degloving tertutup yaitu dengan dilakukan insisi untuk
dekompresi dan mengeluarkan hematom dari lokasi degloving.
2. Degloving Terbuka
Merupakan cedera degloving dengan jaringan kulit terpisah dari dasarnya
disertai terputusnya permukaan kulit. 80% kasus degloving terbuka disertai dengan
fraktur tulang di bawahnya. Tanda yang dapat ditemukan yaitu terangkatnya kulit
dari jaringan sekitar disertai dengan luka terbuka.11
Hidalgo membagi degloving injury menjadi tiga kelompok utama. Berikut
pembagian menurut Hidalgo:12
1. Tipe 1 disebut sebagai cedera avulsi rata-rata. Tipe 1 ini merupakan tipe yang paling
umum yang ditandai oleh laserasi dan area avulsi yang terlihat.
2. Tipe 2 disebut sebagai cedera avulsi atipikal. Tipe ini tidak tampak adanya tanda
trauma serius, namun sebenarnya terdapat avulsi di area yang luas.
3. Tipe 3 disebut sebagai cedera avulsi di area tertentu. Jenis cedera meliputi area plantar
dan kulit kepala. Revaskularisasi dan replantasi diperlukan untuk sebagian besar
cedera tipe ini.

3.7.3 Gambaran Klinis


Pada degloving injury terbuka, lapisan kutis dan subkutis terlepas dari jaringan
dibawahnya dan terdapat luka terbuka, dapat juga masih ada bagian dari kulit yang
melekat. Pada degloving injury tertutup, gejala klinik yang dapat ditemukan gambaran
permukaan kulit yang normal atau dapat disertai dengan ekimosis.18

3.7.4 Pemeriksaan Fisik

42
Pemeriksaaan fisik pada pasien dengan cedera Degloving terdiri dari beberapa
langkah berikut:

Pemeriksaaan kondisi umum

Pemeriksaan cedera yang mengancam jiwa

Pemeriksaaan cedera mayor

Pemeriksaan area degloving

Sejauh mana kulit yang hilang

Ekspos/cedera struktur vital

Gerakan yang bisa dilakukan11

3.7.5 Manajemen
Prinsip:
1. Pertahankan struktur sebanyak mingkin
2. Penutupan kulit definitif sesegera mungkin
3. Penutup kulit berkualitas baik
4. Pengembalian fungsi segera
5. Kemungkinan pengerjaan prosedur sekunder
Pada pasien lanjut usia, perlu diperhatikan pula risiko terjadinya hematoma yang
dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi, bahkan berpotensi menjadi massa
jaringan lunak. Proses aging mempengaruhi turgor dan menurunkan resistensi
terhadap cedera. Penting untuk menginvestigasi penyebab cedera dan mencari kondisi
medis yang menyertai, seperti neuropati diabetik dan penyakit vaskular pada
ekstremitas bawah.11

3.7.5 Tatalaksana Degloving


A. Tatalaksana Degloving Tertutup
Yang perlu diperhatikan lebih dulu adalah survey primer (ABCDE). Bila keadaan
umum pasien cukup baik, maka dilakukan penilaian sekunder yaitu pemeriksaan dari
ujung kepala hingga kaki. Kemudian dilakukan penilaian vitalitas jaringan (kulit yg
degloving). Bila terdapat jaringan yang nonvital, maka jaringan tersebut dieksisi. Bila
jaringan vital, hal yang perlu dilakukan, yaitu:11
1. Insisi kecil diatas daerah degloving
2. Evakuasi hematom dan jaringan lemak yang nekrotik

43
3. Irigasi luka
4. Pasang Drain
5. Balut Tekan
Bila terdapat deformitas kontur, luka dibuka lebar dan jaringan lemak yang
nekrotik di eksisi. Bila terdapat raw surface yang luas, maka dapat dilakukan split
thickness skin graft (STSG) atau full thickness skin graft(FTSG).

B. Tatalaksana Degloving Terbuka


Pada kasus degloving yang terbuka, hal pertama yang perlu dilakukan adalah
survey primer (ABCDE). Setelah itu dilakukan survey sekunder dari ujung kepala
hingga ujung kaki. Kemudian dilakukan penilaian vitalitas kulit yang mengalami
degloving serta otot yang terbuka. Vitalitas kulit dan otot dapat dinilai dari warna,
turgor, dan perdarahan. Bila terdapat jaringan yang sudah nonvital, maka jaringan
tersebut dieksisi karena bila dibiarkan dapat menjadi fokus infeksi.10,11
Dilakukan debridemant yang menyeluruh serta irigasi dengan cairan isotonis
untuk membersihkan luka yang terbuka. Dilakukan penilaian apakah terjadi
compartment syndrome, apabila terjadi compartement syndrome, maka harus segera
dilakukan fasciotomi. Bila ada tulang yang terbuka, maka perlu dilakukan flap dari
otot di sekitarnya untuk menutup tulang tersebut.
Raw surface ditutup dengan STSG atau FTSG dengan syarat tidak terdapat tanda-
tanda infeksi pada area degloving. Bila kulit yang mengalami degloving masih vital,
maka kulit tersebut dapat direplantasi kembali. Bila pedicle cukup lebar maka kulit
tersebut dapat direplantasi sebagai flap.
Bila pedicle kulit yang mengalami degloving tidak cukup lebar, maka kulit
dipisahkan dari jaringan lemak dan dipasangkan di daerah degloving sebagai skin
graft. Cara ini mungkin memiliki kelemahan, yaitu strukturnya yang rapuh, sehingga
mempertahankan kontak tetap baik menjadi penting agar proses penyambungan
berjalan baik. Cara ini dapat digunakan jika tidak terdapat kerusakan struktur kulit
yang mengalami degloving. Jika cara ini tidak memungkinkan, pilihan selanjutnya
adalah amputasi.10,11
Perawatan Post Operasi

44
Setelah dilakukan penutupan defek, baik dengan flap, STSG, ataupun FTSG,
perlu dilakukan penilaian harian pada area degloving. Apabila terjadi nekrosis, maka
perlu dilakukan debridement kembali untuk membuang jaringan nekrotik, karena
jaringan nekrotik dapat menjadi fokus infeksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan
keselurahan graft menjadi gagal, atau bahkan dapat mengakibatkan sepsis.
Kontak graft sangat penting untuk tetap dipertahankan, untuk mencapai hal ini,
tekanan negatif dalam bentuk suction digunakan di bawah graft dan tekanan positif
diberikan bersama dengan dressing dan kompresi. Bagian graft sebaiknya dilakukan
imobilisasi selama 1-2 minggu agar graft dapat tumbuh dengan sempurna, hal ini
dapat dicapai dengan bantuan splint. Setelah 1-2 minggu, splint sebaiknya dilepas dan
mulai dilakukan fisioterapi pada sendi yang bersangkutan untuk mencegah terjadi
kekakuan sendi.10

3.8 Skin Graft


3.8.1 Definisi
Skin graft merupakan suatu tindakan pembedahan dimana dilakukan
pemindahan sebagian atau seluruh tebalnya kulit dari suatu daerah asal (donor) tanpa
disertai vaskularisasinya kedaerah lainnya (resipien) untuk menutupi suatu defek. Pada
umumnya skin graft digunakan ketika metode tindakan bedah rekonstruksi lainnya
tidak sesuai atau penyembuhan luka tidak menunjukkan keberhasilan. Skin graft
biasanya digunakan pada kasus-kasus seperti luka yang luas, luka bakar derajat tiga,
luka yang tidak menunjukkan penyembuhan seperti ulkus diabetik, ulkus pembuluh
darah, yang berfungsi untuk mencegah kehilangan cairan, mencegah infeksi,
mencegah perluasan lebih lanjut dari luka tersebut.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap luka yang tidak dapat ditutup
primer mempunyai indikasi untuk dilakukan skin graft. Jaringan yang dapat ditutup
dengan skin graft adalah semua jaringan terbuka yang memiliki permukaan luka
dengan vaskularisasi yang cukup seperti otot, fasia, dermis, perikondrium, periosteum,
peritoneum, pleura dan jaringan granulasi. Luka yang kurang suplai pembuluh darah
sulit untuk dapat menghidupi skin graft, misalnya tulang,tulang rawan, tendon, saraf,
maka tidak dapat dilakukan teknik skin graft. Atau daerah yang seharusnya dilakukan
skin graft tetapi karena mengalami trauma berat menyebabkan vaskularisasi daerah
tersebut menjadi berkurang sehingga tidak baik untuk dilakukan skin graft. 2

45
3.8.2 Jenis Skin Graft
1. Autograft
Graft berasal dari individu yang sama (berasal dari tubuh yang sama). Hal ini
dilakukan jika cukup tersedianya kulit sehat dan jika kesehatan pasien
memenuhi untuk perawatan tambahannya yaitu perawatan donor.
2. Allograft
Graft berasal dari individu lain yang sama spesiesnya (berasal dari tubuh yang
lain).
3. Xenograft
Berasal dari makhluk lain yang berbeda spesies (binatang).13
Allograft dan Xenograft hanya mencakup untuk sementara, dan bila ditolak
oleh sistem kekebalan tubuh resipen dalam tujuh sampai sepuluh hari harus diganti
dengan autograft. Berdasarkan ketebalannya, skin graft dibagi atas:
1. Split Thickness Skin Graft (STSG) 14
Skin graft yang dilakukan mencakup dermis dan sebagian dermis. Terbagi atas
tiga yaitu:
a. Thin Split Thickness Skin Graft, ketebalan kulit 0,008-0,012 mm, terdiri
dari epidermis dan ¼ bagian lapisan dermis.
b. Intermedict (medium) Split Thickness Skin Graft, ketebalan kulit 0,012-
0,018 mm, terdiri dari epidermis dan ½ bagian dermis.
c. Thick Split Thickness Skin Graft, ketebalan kulit 0,018-0,030 mm, terdiri
dari epidermis dan ¾ bagian dermis.
2. Full Thickness Skin Graft (FTSG)
Skin Graft yang terdiri dari epidermis dan seluruh bagian dermis.

A. Split Thickness Skin Graft (STSG)15


Pada split-thickness skin graft terdapat epidermis dan sebagian dermis dari
situs donor. Split-thickness biasanya leih rapuh dan memiliki penampakan
lebih mengkilap atau halus, juga lebih pucat dibandingkan sekitarnya.
Kelebihan STSG yaitu, lebih fleksibel dibandingkan FTSG. Karena STSG
lebih tahan pada kondisi yang buruk, seperti kurangnya nutrisi dan oksigenasi.
Selain itu, STSG dapat digunakan untuk menutup area yang lebih luas. Lokasi
donor juga lebih cepat mengalami penyembuhan karena masih terdapat lapisan
dermis pada situs pengambilan, sehingga ketika situs donor sudah sembuh,
dapat digunakan lagi untuk skin graft.15
Kekurangannya, STSG yang sudah sembuh biasanya tidak menyerupai
kulit di sekitarnya seperti lebih mengkilap dan mulus, dan warnanya lebih

46
terang atau lebih gelap daripada kulit sekitarnya. Selain itu, STSG tidak
mampu mencegah kontraktur luka.15
B. Full-Thickness Skin Graft (FTSG)
Skin graft yang mencakup seluruh lapisan dermis disebut full-thickness skin
graft. FTSG digunakan pada luka yang berada pada daerah yang mencolok dan
berukuran kecil. FTSG dapat digunakan bila graft donor dan lokasi resipien
dipersiapkan dengan baik.2
Kelebihan FTSG yaitu, mampu mempertahankan karakteristik jaringan di
sekitarnya, seperti warna, tekstur, dan ketebalan. FTSG juga mengalami kontraktur
sekunder yang lebih sedikit dibandingkan STSG.17
Kekurangannya, FTSG biasanya berukuran kecil, dan luka harus memiliki
vaskularisasi yang baik, dan luka situs donor kadang harus ditutup secara primer
atau ditutup dengan STSG.17

STSG dapat dikumpulkan dari seluruh permukaan tubuh, akan tetapi harus
dipilih secara hati-hati agar tidak mudah kelihatan dan meminimalisir
ketidaknyamanan selama reepitelisasi. Umumnya diambil di regio femoralis
anterosuperolateralis. Daerah bokong juga dapat digunakan, tetapi pasien akan
mengalami nyeri postoperasi yang signifikan dan akan membutuhkan bantuan
untuk merawat luka. Kulit kepala dapat digunakan untuk menutup daerah wajah
jika area terlalu luas untuk FTSG dan pada korban luka bakar di mana situs donor
sangat terbatas.2
FTSG dapat dikumpulkan dari kulit di area pre dan postauricular dan
supraklavikula. Jika membutuhkan jaringan kulit dan kartilago, skin graft dapat
dikumpulkan dari daun telinga.2

3.8.3 Teknik Operasi


Dasar resipien harus memiliki vaskularisasi yang baik. Jaringan granulasi
harus diangkat dengan alat tumpul. Lapisan teratas jaringan yang terkontaminasi
harus diangkat sehingga jaringan sehat yang berdarah tampak. Jika jaringan
ditutupi eskar atau kulit yang terbakar, maka jaringan nekrotik harus dieksisi
terlebih dahulu.17
Pengumpulan FTSG dilakukan denga skalpel. Defek luka diukur dan pola
dibuat, kemudian dijiplak ke situs donor. FTSG kemudian dikumpulkan dengan

47
cara mendiseksi dermis dari jaringan subkutan di bawahnya. Jaringan lemak
yang tertinggal harus dihilangkan, karena jaringan lemak memiliki pembuluh
darah yang sedikit dan mencegah perlekatan antara skin graft dan dasar
resipiennya. Situs donor biasanya ditutup secara primer atau kadang dengan
STSG.18
Pengumpulan STSG biasanya dilakukan dengan alat yang disebut
dermatom yang berfungsi mengangkat kulit dengan ketebalan yang sama. Situs
donor yang umum adalah regio femoralis anterior atau lateral. STSG dapat
dibuat berlubang seperti jala atau tidak. Graft berjala lebih tahan dan dapat tahan
pada kondisi yang kurang ideal. Graft berjala dapat bertahan pada permukaan
yang tidak rata dan bisa diregangkan. Tetapi graft berjala akan sembuh dengan
penampakan yang tidak rata, tetapi dapat sembuh dengan reepitelisasi. Graft
tidak berjala atau sheet graft, memberikan penampakan yang lebih mulus.
Kelebihan utama sheet graft adalah kosmetik, tetapi lebih membutuhkan kondisi
yang lebih ideal. Dasar luka harus rata dan sheet graft harus diinspeksi pada
postoperasi hari pertama untuk hematoma dan seroma. Jika terdapat
penumpukan cairan, cairan harus dikeluarkan.19
Setelah skin graft diletakkan pada luka, skin graft harus difiksasi dengan
stapler atau jahitan kecil. Tujuannya adalah memaksimalkan kontak antara kulit
dan dasar resipien dan mencegah sobekan. Cara menutup luka tradisional adalah
dengan menempatkan kasa yang membungkus kapas dan difiksasi dengan
jahitan dengan benang nilon di sekelilingnya.
Situs donor dapat ditutup dengan berbagai cara. Situs donor dapat
dibiarkan terbuka, akan tetapi menyebabkan masa penyembuhan lebih lama,
lebih nyeri dan meningkatkan resiko komplikasi. Penutupan luka dapat
meningkatkan kelembaban yang mempercepat penyembuhan.19

3.8.4 Proses Penyembuhan


Proses penyembuhan melalui tiga tahap. Tahap pertama, imbibisi
plasmatik, terdiri dari difusi nutrisi dari dasar resipien ke skin graft. Berlangsung
sekitar 24-48 jam. Imbibisi mencega graft mengalami nekrosis dan
mempertahankan pembuluh darah tetap paten sehingga graft dapat bertahan dari
iskemia segera postgraft. Graft akan tampak lebih bengkak pada saat ini dan

48
beratnya bisa bertambah sekitar 40% karena perpindahan cairan dari dasar
resipien ke graft.2
Setelah 48 jam, tahap kedua, inoskulasi, dan tahap ketiga, revaskularisasi,
terjadi untuk mengembalikan aliran darah ke graft. Selama inoskulasi, ujung-
ujung kapiler dari dasar resipien berjajar dengan pembuluh darah graft
membentuk hubungan sehingga darah dapat mengalir ke graft. Dan
berdiferensiasi menjadi pembuluh aferen dan eferen pada hari keempat hingga
ketujuh. Sistem limfatik terbentuk pada hari kelima atau keenam.2
3.8.5 Indikasi
Umumnya, skin graft dilakukan pada operasi rekonstruksi, ketika metode
rekonstruksi lain tidak dapat dilakukan, seperti penutupan primer, penyembuhan
sekunder, atau skin flap tidak memungkinkan dilakukan atau akan memberikan
hasil suboptimal.
STSG dilakukan ketika kosmetik tidak diprioritaskan atau ketika defek
berukuran besar sehingga tidak memungkinkan untuk FTSG, selain itu STSG
digunakan untuk menutup ulkus kronis yang tidak kunjung sembuh, penutupan
sementara untuk observasi kemungkinan rekurensi tumor, bedah koreksi
gangguan depigmentasi, dan menutup luka bakar untuk mempercepat
penyembuhan luka dan mengurangi kehilangan cairan.
FTSG diindikasikan pada defek dengan jaringan disekitarnya immobile
atau jarang. Selain itu, FTSG dilakukan jika jaringan di sekitarnya memiliki lesi
premalignan atau malignan dan tidak memungkinkan untuk skin flap. Indikasi
umum FTSG adalah ketika prosedur bertahap tidak memungkinkan untuk pada
pasien.

3.8.6 Kontraindikasi
Kontraindikasi STSG adalah jika kosmetik dan ketahanan graft menjadi
prioritas atau ketika kontraktur luka dapat mengkompromis fungsi. Kecocokan
warna dan tekstur yang buruk, kurangnya struktur ekrin, menimbulkan bekas
pada STSG dibandingkan dengan FTSG.
Kontraindikasi FTSG adalah ketika dasar resipien kekurangan suplai vaskular yang
menyebabkan resipien tidak dapat mempertahankan graft. Penggunaan FTSG pada
jaringan avaskular, seperti tulang atau kartilago, biasa berakibat nekrosis graft kecuali
jika area graft kecil dan dapat menyebabkan bridging phenomenon terjadi.

49
50
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pre-operasi
Persiapan pre-operasi sangat penting dilakukan untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan anestesi. Evaluasi pre-operasi meliputi history taking, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Pada pasien ini riwayat alergi obat dan
makanan disangkal, tidak ada obat-obatan yang dikonsumsi rutin, dan telah 10 kali
menjalani operasi. Pasien tidak memiliki riwayat DM, asma, batuk lama dan penyakit
jantung disangkal. Tekanan darah pasien sebelum operasi yaitu 110/70 mmHg.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah nadi 105x/menit; respirasi
26x/menit; suhu 37,50C. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi, hasil: Hb 14.4
g/dl; Hematokrit 50.4% , leukosit 12,45/uL, trombosit 219 ribu/u. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien
masuk dalam ASA II. Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas dan pada pasien terdapat leukositosis.
Pasien juga dipersiapkan untuk puasa selama 6 jam. Hal ini dikarenakan refleks
laring menurun selama anestesi sehingga regurgitasi isi lambung dan kotoran yang
terdapat dalam jalan napas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Kebutuhan cairan selama operasi harus diperhitungkan agar terjadi balance
antara cairan yang masuk dan cairan yang keluar dari tubuh pasien. Faktor yang
diperhatikan dalam manajemen cairan selama operasi adalah kebutuhan cairan per jam
(maintenance), kebutuhan cairan pengganti puasa pre-operasi, derajat operasi, derajat
perdarahan selama operasi, dan urine output.

2. Pre-medikasi
Premedikasi diberikan pada pasien dengan tujuan:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anestesia
c. Meminimalkan jumlah obat anestetik
d. Mengurangi refleks yang membahayakan

3. Durante operasi

51
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol (50 mg). Mekanisme
induksi anestesi umum dengan propofol melibatkan fasilitas dari inhibisi
neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA.
Pada anestesi umum dibutuhkan kadar obat anestesi yag adekuat yang bisa
dicapai dengan cepat di otak dan perlu dipertahankan kadarnya selama waktu yang
dibutuhkan untuk operasi. Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan
anestesi inhalasi. Obat yang digunakan adalah sevoflurane dan gas H2O dengan
pemberian O2 secara bersamaan. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap
kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET), maka
dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit sebagai
anestesi rumatan. Oksigen diberikan untuk memenuhi oksigenasi jaringan. Pemberian
N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah namun
poten ntuk menjadi analgetik. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien.
Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi selesai.
Monitoring juga diperhatikan selama operasi meliputi frekuensi napas, heart
rate, warna membran mukosa, saturasi oksigen, dan tekanan darah. Pada kasus ini
selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien dapat dikontrol dengan baik > 97%,
heart rate dan tekanan darah dapat dikontrol dengan baik. Bolus fentanyl 50 mcg
diberikan dalam kasus ini sebagai analgetik saat durante operasi untuk mengurangi
nyeri saat operasi yang terpantau dari peningkatan tekanan darah dan nadi secara tiba
tiba saat operasi tengah berjalan. Bolus ketorolac 30 mg diberikan dalam kasus ini
untuk mengurangi nyeri post operasi, ketorolac bolus diberikan sesaat sebelum operasi
selesai.

4. Post-operasi

52
Sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas yang timbul setelah insisi menyebabkan
nyeri post-operatif. Setelah operasi diberikan analgetik berupa drip tramadol 200 mg +
ketorolac 30 mg dalam RL 20 tpm. Selain itu juga perlu dipantau post-operative
nausea and vomitting (PONV) yang terjadi pada 20-30% pasien. PONV dapat
dikontrol dengan diberikan anti emetik, seperti ondansetron. Pada kasus ini perlu
diberikan antibiotik sebagai profilaksis, Pasien ini membutuhkan pemantauan tanda-
tanda vital dan status kesehatan yang ketat setelah operasi akibat durasi operasi yang
lama.
Pada pukul 10.35 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir;
Nadi 98x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 3 jam. Pasien
kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan,
jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran
compos mentis, dan dinilai menggunakan steward score.
5. Anestesi pada tindakan STSG
An.T 9 tahun, datang dengan keluhan utama yakni luka terbuka di tungkai
kanan 2 bulan yang lalu. Hal pertama yang dilihat adalah apakah luka tersebut dapat
sembuh secara primer, karena indikasi penggunaan skin graft adalah luka terbuka yang
tidak dapat sembuh secara primer, luka terbuka tersebut apakah mempunyai
permukaan luka dengan vaskularisasi yang cukup seperti otot, fasia, dermis,
perikondrium, periosteum, peritoneum, pleura dan jaringan granulasi karena pada luka
yang kurang suplai pembuluh darah sulit untuk menghidupkan skin graft, misalnya
tulang, tulang rawan, tendon, saraf, maka tidak dapat dilakukan teknik skin graft. Dari
pemeriksaan fisik, pada luka terbuka tersebut dapat sembuh secara primer tetapi
membutuhkan waktu yang lama serta vaskularisasi yang cukup dengan otot sebagai
permukaan lukanya.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa split thickness skin graft (STSG)
karena STSG diindikasikan untuk menutup defek kulit yang luas sehingga tidak dapat
dilakukan FTSG dan pertimbangan kosmetik tidak menjadi pertimbangan utama serta
lokasi luka yang terletak pada daerah tangan. Teknik STSG memiliki keuntungan berupa
take yang lebih besar, dapat dipakai untuk defek yang luas, donor dapat diambil dari
daerah tubuh mana saja, daerah donor dapat sembuh sendiri/reepitelisasi walaupun
terkadang teknik ini juga menimbulkan kerugian berupa kecendrungan kontraksi lebih
besar, perubahan warna, permukaan kulit mengkilat dan secara estetika kurang baik.

53
Split Thickness Skin Graft merupakan suatu tindakan rekonstruksi dengan
melepaskan scar tissue atau tumor yang dilakukan pada ekstremitas yang berfungsi
sebagai persendian. Bila STSG terpilih sebagai metode skin grafting, defek pada kulit
yang akan diperbaiki harus diukur dengan akurat. Bila memungkinkan, purse string
suture dapat dilakukan pada sekitar defek kulit agar dapat mengurangi ukuran
keseluruhan, yang nantinya akan mengurangi kebutuhan graft dari lokasi donor.
Pemilihan lokasi donor yang tepat harus mempertimbangkan ukuran graft yang
akan diambil, dapat tidaknya disembunyikan lokasi donor, dan kemudahan mengakses
daerah donor untuk follow up. Bila sudah ditentukan, lokasi donor dipersiapkan secara
steril dan diinfiltrasi dengan anestesia lokal, dengan atau tanpa epinefrin.
STSG sering digunakan pada area yang luas. Lokasi paling sering dari donor
STSG adalah diambil dari paha bagian atas, bokong, dan dinding perut. Dalam memilih
ketebalan graft pada pasien luka bakar, perlu mempertimbangkan beberapa hal. Daerah
donor ditentukan dengan lokalisasi dan perluasan dari luka bakar.Bila lokasi tersebut
perlu digunakan lebih dari satu kali, misalnya pada pasien dengan luka bakar yang luas,
maka perlu dilakukan STSG yang tipis.
STSG dapat dicangkok dengan berbagai cara. Yang cukup sering digunakan
adalah teknik yang menggunakan dermatome, yang menghasilkan graft yang cukup lebar
dengan ketebalan yang sama. Anestesia yang cukup harus diberikan, karena proses graft
sangat nyeri. Lidokain dan epinefrin disuntikkan dilokasi donor dapat mengurangi darah
yang hilang dan memberikan tegangan jaringan yang cukup besar yang akan membantu
dalam proses pencangkokan.

BAB IV
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi

54
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan
juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Ke-2.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.
2. Wang, Feng et all. 2008. Activation of Tim-3–Galectin-9 pathway improves survival
of fully allogeneic skin grafts. Transplant Immunology. 19, Pp 12–19
3. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed. New York:
Lange; 2013.
4. Staff. General anesthesia. NHS (serial online) 2015 Mei 8 (diakses 10 Agustus 2019).
Diunduh dari URL: http://www.nhs.uk/conditions/anaesthetic-
general/pages/definition.aspx
5. Shindell M. Nasotracheal intubation. 2018 Apr 5 (diakses 10 Agustus 2019). Diunduh
dari URL: http://www.emedicine.medscape.com/article/1663655-overview
6. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
7. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease.
5th edition. NY : Elsevier
8. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI

55
9. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C. 2009.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins
10. Fujiwara M, Fukamizu H. Delayed wraparound abdominal flap reconstruction for a
totally degloved hand. J Hand Surg 2008; 13:115-119
11. Hede Yan; Shen Liu; Weiyang Gao. Management of Degloving Injuries of the Foot
with a Defatted Full-Thickness Skin Graft. J Bone Joint Surg Am, 2013 Sep 18; 95
(18): 1675 -1681
12. Arnez ZM, Khan U, Tyler MP. Classification of soft-tissue degloving in limb trauma. J
Plast Reconstr Aesthet Surg 2010;63:1865-9.
13. Kristo Nuutila, Antti Siltanen, Matti Peura, Ari Harjula. 2013. Gene expression
profiling of negative-pressure-treated skrin graft donor site wounds. Burns 39. Pp 687
– 693.
14. Markus Quante, Abdallah ElKhal, Karoline Edtinger. 2014. Obese Recipients Reject
Skin Grafts Earlier Based on a Th17 Deviation. The American College of Surgeons. Pp
139.
15. Y. Zhang, D. Zhao, C. Tian, F. Li, X. Li, L. Zhang, and H. Yang. 2013. Stro-1–Positive
Human Mesenchymal Stem Cells Prolong Skin Graft Survival in Mice.
Transplantation Proceedings. 45. Pp 726–729.
16. Issa F, Hester J, Goto R, Nadig S, Wood K, et all. 2010. Ex vivo-expand human
regulatory T cells prevent the rejection of skin allograft in humanised mouse model.
Europe PMC Funders Group
17. S. Yu, B. Fu, X. He, X. Peng, A. Hu, and Y. Ma. 2011. Antigen-specific t-regulatory
cells can extend skin graft survival time in mice. Transplantation Proceedings, 43, Pp
2033–2040
18. Lowsky R, Takahashi T, Liu YP, Dejbakhsh S, et all. 2005. Protective Conditioning
for Acute Graft versus host Disease. N Engl J Med 353;13
19. Isenberg JS, Papan LK, Romeo MJ, et all. 2008. Blocade of Thrombospondin-1-CD47
Interactions Prevents Necrosis of Full Thickness Skin Graft. Ann Surg. 247(1): 180-
190

56

Anda mungkin juga menyukai