Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya

sehingga dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam dan

shalawat semoga tetap tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-

sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman.

Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan

dan keikhlasannya membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit

apa yang sebelumnya kami tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah

membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini kami buat dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam

penulisan makalah ini, kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi

kesempurnaan makalah ini ke depannya. Semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita

semua.

Pekanbaru, 09 Juni 2015

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................. 1

Daftar isi........................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................... 3

B. Rumusan Masalah ................................................................ 3

C. Tujuan Makalah ................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Penelitian dan pengembangan obat baru .............................. 4

B. Sumber-sumber obat .......................................................... 16

C. Obat tradisional .................................................................. 18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 23

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mungkin sudah tidak asing lagi bahwa pengembangan obat baru memerlukan waktu
yang sangat panjang dan biaya yang benar-benar tidak sedikit. Tetapi selama kurun
waktu yang bisa mencapai belasan tahun.

Industri farmasi merupakan salah satu industri farmasi yang mengalokasikan dana
yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan. Dari data IMS Health World
Review tahun 2004, industri farmasi membelanjakan tidak kurang dari US$ 100
Miliar per tahun untuk penelitian dan pengembangan. Dana terbesar terutama
digunakan untuk uji klinik yaitu sekatar 40%.

Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang dan melibatkan
berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai
penelitian dan pengembangan obat.

B. Rumusan Masalah

Apa saja tahap-tahap pengembangan obat ?

Apa saja sumber-sumber obat ?

Apa saja obat tradisional dan klasifikasinya ?

C. Tujuan Makalah

Tujuan dibuatnya makalah ini ialah untuk memberikan informasi tentang


bagaimana sebenarnya penelitian dan pengembangan dari suatu obat dan untuk
memenuhi persyaratan akademik mata kuliah farmakologi

3
BAB II
A. PEMBAHASAN

1. Penelitian dan Pengembangan Obat Baru


Dilahirkan oleh ilmu kimia tetapi perkembangannya banyak dipengaruhi oleh
ilmu farmakologi, penelitian obat memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap
perkembangan pengobatan dalam satu abad terakhir. Penelitian obat seperti yang kita
kenal saat ini dimulai ketika ilmu kimia mencapai tahap kematangan dalam prinsip
dan metode yang diaplikasikan untuk mengatasi masalah diluar ilmu itu sendiri, dan
ketika farmakologi berkembang suatu disiplin ilmu sendiri.
Penelitian obat meliputi beberapa disiplin ilmu yang berbeda untuk mencapai
satu tujuan yaitu pengembangan suatu metode terapi yang baru. Penelitian obat secara
fungsional dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap penemuan dan pengembangan obat.
Industri farmasi merupakan salah satu industri farmasi yang mengalokasikan dana
yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan. Dari data IMS Health World
Review tahun 2004, industri farmasi membelanjakan tidak kurang dari US$ 100
Miliar per tahun untuk penelitian dan pengembangan. Dana terbesar terutama
digunakan untuk uji klinik yaitu sekatar 40%.
Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan
suatu obat dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Sintesis dan screening molekul
2. Studi pada hewan percobaan
3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)
4. Studi pada manusia yang sakit (pasien)
5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar
6. Studi lanjutan (post marketing surveillance)
Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga
menyembuhkan penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya penyakit. Dalam
prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan
harus melebihi risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk
dapat menilai secara objektif manfaat dan keamanan suatu obat diperlukan
pengetahuan mengenai metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu suatu perangkat

4
metodologi ilmiah untuk menilai manfaat klinik suatu obat atau perlakuan terapetik
tertentu dengan memperhatikan faktor- faktor yang dapat memberikan pengaruh yang
tidak dikehendaki baik individual maupun populasi.

A. Uji Praklinik
Uji praklinik, atau disebut juga studi/pengembangan/penelitian praklinik/non-
klinik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada
manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keselamatan
produk baru.
Ada banyak produk yang menjalani uji praklinik. Beberapa produk yang
paling umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan medis, kosmetik,
dan solusi terapi gen. Penting untuk dicatat bahwa obat juga melalui banyak
serangkaian pengujian lainnya ketika menjalani uji praklinik.
a. Sintesis dan skrining molekul
Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian
penemuan suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi
sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk mendapatkan
senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya
ditargetkan untuk suatu daerah tertapetik yang khas, potensi relatif pada produk
saingan dan bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal tersebut,
ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut sebagai hasil
usaha untuk mensintesis senyawa tersebut.
Selain itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan
pengertian tentang mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi
yang dapat meningkatkan peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara
stabilisasi, kunci uji stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara
atau metode yang diusulkan dari pemberian obat, seperti juga melihat kembali
literatur tentang formulasi, bioavaibilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang
serupa, seringkali berguna bila menentukan bagaimana mengoptimumkan
bioavaibilitas suatu kandidat obat baru. Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah
dibuktikan secara farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap
pengembangan dalam bentuk molekul optimumnya.

5
Setelah disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang melibatkan
pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya 3
jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa
kimia yang menguntungkan. Meskipun ada faktor lucky (kebetulan) dalam upaya ini,
umumnya pendekatannya cukup terkontrol berdasarkan struktur senyawa yang telah
diketahui. Pada tahap ini sering kali dilakukan pengujian yang melibatkan
teratogenitas, mutagenesis dan karsinogenitas, di samping pemeriksaan LD50,
toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat.
Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
b. Studi pada hewan percobaan
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih
dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat
baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk
meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada
hewan uji.
a. Uji Farmakodinamika
Penelitian mengenai aktivitas obat terhadap berbagai fungsi organ tubuh. Dg
penelitian ini dapat diperkirakan efek terapeutiknya, dan bila mungkin dapat diketahui
dan dimengerti mekanisme kerjanya.
b. Uji Farmakokinetik
Penelitian mengenai absorpsi, distribusi, metabolisme, biotransformasi dan ekskresi
obat dalam darah dan dalam berbagai jaringan atau cairan tubuh dan urin.
c. Uji Toksikologi
Penelitian toksistas merupakan cara potesial untuk mengevaluasi:
1) Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
2) Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagensis)
3) Pertumbuhan tumor (onkogenesis atau karsinogenesis)
4) Kejadian cacat waktu lahir (teratogenik)
d. Uji Farmasetika
Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk
sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaannya.

6
B. Uji Klinik
Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul kandidat calon
obat tersebut menjadi IND (Investigasional New Drug) atau obat baru dalam
penelitian. Setelah calon obat dinaytakan mempunyai kemanfaatan danaman pada
hewan percobaan maka selanjutnya diji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia
Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti
Deklarasi Helsinki.
Uji klinik adalah tes untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan obat atau
alat medis dengan memantau efek mereka pada sekelompok besar orang. Uji klinik
adalah salah satu tahapan akhir dari proses penelitan yang panjang dan hati-hati.
Sebagian besar uji klinik yang melibatkan pengujian obat baru berlangsung dalam
serangkaian langkah-langkah teratur yang disebut fase. Hal ini memungkinkan
peneliti untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dengan cara yang menghasilkan
informasi yang dapat dipercaya tentang obat dan keselamatan pasien.
Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek
samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini
terdiri dari uji fase I sampai fase IV .
1. Uji Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada
manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan tolerabilitas obat, bukan efikasinya,
maka dilakukan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya
sitostatik), dilakukan pada pasien karena alasan etik Tujuan fase ini adalah
menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi (maximally tolerated dose
= MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat diterima. Pada fase
ini, diteliti juga sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada manusia. Hasil
penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan
dosis pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan secara terbuka,
artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek bervariasi antara
20-50 orang.
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil
penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih
merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap biasanya belum dapat diambil
kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang bersangkutan karena terdapat

7
berbagai factor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan klinik
penyakit, keparahannya, efek placebo.
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik
komparatif yang membandingkannya dengan placebo; atau bila penggunaan placebo
tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard yang telah
dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa yang
melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk menjamin validitas
uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan pemberian obat dilakukan
secara tersamar ganda. Ini dsebut uji klinik acak tersamar ganda berpembanding.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan dosis
optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai
eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru
pada fase ini antara 100-200 penderita.
2. Uji Klinik Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat apakah
obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan
secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat
diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan
uji klinik komparatif (dengan pembading) yang membandingkannya dengan plasebo;
atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan
dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir
atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan monitoring
pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif ini , alokasi pasien harus
acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik
berpembanding, acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk
menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya.
3. Uji Klinik Fase III
Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok pembanding:
a. Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman. Misal :
intra ras.
b. Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan.
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benar-benar
berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan untuk mengetahui

8
kedudukannya dibandingkan dengan obat standard. Penelitian ini sekaligus akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) efeknya bila digunakan secara luas dan
diberikan oleh para dokter yang ‘kurang ahli’; (2) efek samping lain yang belum
terlihat pada fase II; (3) dan dampak penggunaannya pada penderita yang tidak
diseleksi secara ketat.
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak
terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli, sehingga
menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari dimasyarakat. Pada
uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan dengan placebo, obat yang
sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang
indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan
tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman dan
efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang diikut
sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang.
4. Uji Klinik Fase IV
a. Uji terhadap obat yang telah dipasarkan (post marketing surveilance)
b. Memantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya
c. Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
d. MESO : Monitoring Efek Samping Obat
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola
penggunaan obat di masyarakat serta pola efektifitas dan keamanannya pada
penggunaan yang sebenarnya. Survei ini tidak tidak terikat pada protocol penelitian;
tidak ada ketentuan tentang pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya
pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah.

9
Penelitian fase IV merupakan survey epidemiologic menyangkut efek samping
maupun efektif obat.
Pada fase IV ini dapat diamati:
1) Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian
obat bertahun-tahun lamanya
2) Efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit ganda,
penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka
panjang
3) Masalah penggunaan berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV
dapat juga berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek
obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat
yang bersangkutan dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu obat baru, mulai
dari sintetis bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat ditemukan
kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek samping. Obat
demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui
uji fase I. Hal seperti ini terjadi golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai
antireumatik dan anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan
belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa.
Komponen Uji Klinik
Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak saja didasarkan pada hasil yang
diperoleh dari uji klinik tetapi juga perlu mengingat faktor-faktor lain yang secara objektif
dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu uji klinik.
Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa komponen berikut:
1. Seleksi/Pemilihan Subjek
Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria pemilihan pasien, yakni:
a. Kriteria pemasukan (inclusion criteria), yakni syarat-syarat yang secara mutlak harus
dipenuhi subjek untuk dapat diikutsertakan dalam penelitian. Meliputi antara lain kriteria
diagnostik, baik klinis (termasuk gejala dan tanda-tanda penyakit) maupun laboratoris, derajat
penyakit (misal ringan, sedang atau berat), asal pasien (hospitalatau community-based), umur
dan jenis kelamin.
b. Kriteria pengecualian (exclusion criteria), merupakan kriteria yang tidak memungkinkan
diikutsertakannya subjek-\subjek tertentu dalam penelitian.Sebagai contoh adalah wanita

10
hamil. Hampir sebagian besar uji klinik obat tidak memasukkan wanita hamil sebagai subjek
mengingat pertimbangan risiko yang mungkin lebih besar dibanding manfaat yang didapat.
Subjek-subjek yang mempunyai risiko tinggi terhadap pengobatan/perlakuan uji juga secara
ketat tidak dilibatkan dalam penelitian.
Dalam pemilihan pasien hendaknya ditetapkan bahwa kriteria diagnostik yang dipilih
benar-benar merupakan indikasi utama pemakaian obat yang diujikan.

2. Rancangan Uji Klinik


Untuk memperoleh hasil optimal dari suatu uji klinik perlu disusun rancangan (design)
penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan etis dengan tetap
mengutamakan segi keselamatan dan kepentingan pasien.Rancangan uji klinik disini
dimaksudkan untukuji klinik fase III, yang secara garis besar membandingkan dua atau lebih
perlakuan/pengobatan untuk melihat kemanfaatan relatif maupun absolut suatu obat baru
dengan menggunakan satu atau lebih parameter pengukuran. Dua rancangan uji klinik yang
baku dan umum digunakan yakni rancangan paralel/rancangan antar subjek (Randomized
Controlled Trial/RCT-Parallel Design) dan rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT
cross over design).
Berikut dijelaskan secara ringkas kedua jenis rancangan tersebut:
a. Rancangan paralel/rancangan antar subjek (RCT-parallel design)
Prinsip dasar rancangan ini yakni, secara acak subjek-subjek yang dilibatkan dalam
penelitian dibagi dua atau lebih kelompok pengobatan. Jumlah subjek dalam tiap-tiap
kelompok pengobatan harus seimbang atau sama. Masing-masing kelompok akan
memperoleh pengobatan/perlakuan yang berbeda, sesuai dengan jenis obat/perlakuan yang
diujikan. Selanjutnya hasil pengobatan pada masing-masing kelompok dibandingkan
pengobatan pasien memenuhi pengacakan kriteria pengobatan.
b. Rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT-cross-over design)
Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua bentuk pengobatan/perlakuan
secara selang-seling yang ditentukan secara acak. Untuk menghindari kemungkinan pengaruh
obat/perlakuan yang satu dengan yang lainnya, setiap subjek akan memperoleh periode bebas
pengobatan (washed-out period).
3. Jenis Perlakuan Atau Pengobatan Dan Pembandingnya
Dalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan pembandingnya harus didefinisikan
secara jelas. Informasi yang perlu dicantumkan meliputi jenis obat dan formulasinya, dosis
dan frekuensi pengobatan, waktu dan cara pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan.

11
Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan uji klinik dan keberhasilan pengobatan, hendaknya
dipertimbangkan segi-segi teknis yang berkaitan dengan ketaatan pasien (patients
compliance) serta ketentuan -ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik. Sebagai
contoh disini adalah jika frekuensi pemberian terlalu sering (misalnya lebih dari 4 kali/hari)
maka kemungkinan ketaatan pasien juga makin berkurang. Penjelasan lain meliputi obat-obat
apa yang boleh dan tidak boleh diminum selama uji berlangsung. Perlakuan pembanding juga
harus dijelaskan, apakah pembanding positif (obat standard yang telah terbukti secara ilmiah
kemanfaatannya) atau negatif (plasebo). Mengingat bahwa plasebo bukanlah obat, dalam arti
tidak memberi efek terapetik, maka pemberian plasebo tidak dianjurkan untuk penyakit-
penyakit yang dapat berakibat fatal dan serius. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa
pembanding positif hendaknya merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) dari indikasi
yang dimaksud. Sebagai contoh, jika obat baru yang diuji indikasikan untukmengobati tifus
abdominalis, maka pembandingnya (kontrol positif) adalah kloramfenikol (drug of choice
untuk tifus)
4. Pengacakan (Randomisasi) Perlakuan
Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan dalam uji klinik terkendali
(randomize-controlledtrial-RCT), dengan tujuan utama menghindari bias (pracondong).
Dengan pengacakan sebelum uji klinik maka, setiap subjek (pasien) akan memperoleh
kesempatan yang sama dalam mendapatkan perlakuan/pengobatan. Dengan kata lain setiap
subjek mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan obat uji atau pembandingnya.
subjek-subjek yang memenuhi kriteria pemasukan akan terbagi sama rata dalam tiap
kelompok perlakuan, di mana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis seimbang. Dengan
adanya pengacakan sebelum perlakuan/uji klinik maka penilaian kemanfaatan obat uji dan
pembandingnya dapat dijamin seobjektif mungkin.
5. Besar sampel
Salah satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan dalam uji klinik adalah besar
sampel atau jumlah subjek yang diperlukan dalam uji klinik. Beberapa faktor berikut perlu
dijadikan salah satu pertimbangan dalam penentuan jumlah sampel:

a. Derajat kepekaan uji klinik


Jika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis antara 2 obat yang diuji tidak begitu
besar, maka diperlukan jumlah sampel yang besar.

12
b. Keragaman hasil
Makin kecil keragaman hasil uji antar individu dalam kelompok yang sama, maka makin
sedikit jumlah subjek yang diperlukan.
c. Derajat kebermaknaan statistik
Makin besar kebermaknaan statistik yang diharapkan dari uji klinik, maka makin besar
pula jumlah subjek yang diperlukan. Salah satu contoh cara penghitungan besar sampel
antara lain, apabila kita ingin membandingkan 2 jenis obat, A dan B, di mana diperkirakan
bahwa prosentase kesembuhan setelah pemberian obat A adalah 95%, sementara prosentase
kesembuhan pada pemberian obat B 90%. Dengan menentukan (kesalahan tipeI) dan
(kesalahan tipe II), maka digunakan cara penghitungan sebagai berikut:
P1x (100-P1) + P2x (100-P2)n (per group) =x f (α,β)(P1-P2)2

di mana:

n : jumlah sampel per perlakuan

P1 : prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 1, misalnya pada contoh


diatasadalah 95%

P2 : prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 2, misalnya pada contoh diatas
adalah 90%

α : kesalahan tipe I, misalnya 0,05

β : kesalahan tipe II, misalnya 0,1f (α, β) = 10,5

Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah:

95x (100-95) + 90x (100-90)n (per group) = x 10,5 (95-90) 95x 5 + 90x 10 = x 10,5 (5) 2 =
578 pasien

Sehingga jumlah sampel keseluruhan = 578 x 2 = 1156 atau dibulatkan menjadi 1200.

6. Penyamaran/Pembutaan (Blinding)
Yang dimaksud dengan penyamaran di sini adalah merahasiakan bentuk terapi yang
diberikan. Dengan penyamaran, maka pasien dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang
mana obat yang diuji dan yang mana pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan

13
pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama penyamaran ini adalah untuk menghindari bias
(pracondong) pada penilaian respons terhadap obat yang diujikan.
Penyamaran dapat dilakukan secara:
a. Single blind, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien
b. Double blind, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak diberitahu obat yang diuji
maupun pembandingnya
c. Triple blind, jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang melakukan analisis tidak
diberitahu identitas obat yang diuji dan pembandingnya.
Dengan teknik penyamaran/pembutaan ini bukan berarti tidak ada kontrol terhadap
pelaksanaan uji klinik.

Kesehatan dan keselamatan pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh


penanggung jawab medik, sehingga sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak
diharapkan (adverse effects) dapat segera dilakukan penanganan secara medik.

7. Penilaian respons
Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan harus
bersifat objektif, akurat, dan konsisten. Oleh sebab itu respons yang hendak diukur
harus didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh jika yang diuji obat antihipertensi,
maka penurunan tekanan darah hendaknya diukur secara objektif (dengan alat ukur
yang sama, misalnya sphigmomanometer air raksa dengan satuan mmHg) oleh
pemeriksa yang sama, dan dengan metode serta kondisi yang sama pula.
Empat kategori utama yang umum digunakan untuk menilai respons terapetik adalah:

a. Penilaian awal (baseline assessment) sebelum perlakuan


Sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis hendaknya dicatat secara
seksama berdasarkan parameter-parameter yang telah disepakati. Sebagai contoh adalah
tekananndarah, yang hendaknya telah diukur sesaat sebelum uji klinik dimulai.
b. Kriteria-kriteria utama respons pasien
Di sini indikasi utama pengobatan merupakan kriteria utama yang harus dinilai. Jika
yang diuji obat analgetik-antipiretika, maka kriteria utama penilaian adalah penurunan
panas, terjadi tidaknya kejang atau gejala lain sebagai manifestasi demam, dan
sebagainya.

14
c. Kriteria tambahan
Suatu uji klinik tidak saja menilai kemanfaatan suatu obat/perlakuan, tetapi juga menilai
segi keamanan pemakaiannya. Untuk itu diperlukan kriteria tambahan. Dengan kriteria
tambahan ini kita dapat menilai apakah obat yang diuji disamping memberi kemanfaatan
klinis yang besar juga terjamin keamanannya. Kriteria tambahan ini umumnya berupa
efek samping, mulai derajat ringan sampai berat, baik yang mengancam kehidupan (life
threatening) maupun tidak.
d. Pemantauan pasien
Mengingat keberhasilan uji klinik (secara khusus) maupun terapetik (secara umum) akan
sangat ditentukan oleh ketaaan pasien, maka faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan
pasien untuk berperan serta dalam penelitian hendaknyadapat dikontrol sebaik mungkin.

8. Analisis dan interpretasi data


Analisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik sangat tergantung pada metode
statistika yang digunakan. Sebagai contoh, jika kriteria untuk penilaian hasil diekspresikan
dalam bentuk "ya" atau "tidak" (misalnya sembuh-tidak sembuh; hidup-mati; berhasil-gagal)
maka salah satu uji statistikanya adalah kai kuadrat (Chi-square). Untuk menguji ada
tidaknya perbedaan angka rata-rata (mean) antara 2 kelompok uji, maka digunakan uji-t
(Student’s t-test). Metode statistika yang akan digunakan untuk analisis data uji klinik harus
sudah disiapkan saat pengembangan protokol, untuk menghindari ketidaktepatan uji statistika
dan interpretasi hasil.

15
2. Sumber Obat
Ada 7 (tujuh) versi penggolongan obat menurut buku Ilmu Resep oleh Drs. H.A
Syamsuni Apt, yaitu : (1) Menurut Kegunaan Obat; (2) Menurut Cara Penggunaan; (3)
Menurut Cara Kerja; (4) Menurut Undang-undang; (5) Menurut Sumber Obat; (6
)Menurut Bentuk dan Sediaan Obat; (7) Menurut proses Fisiologi dan Biokimia dalam
tubuh. Adapun yang dibahas dimakalah ini adalah penggolongan obat Menurut
Sumbernya.

Penggolongan obat menurut Sumbernya terbagi menjadi :


1. Tumbuhan
Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah penapis senyawa kimia
yang terkandung dalam tanaman. Cara ini digunakan untuk mendeteksi senyawa
tumbuhan berdasarkan golongannya. Sebagai informasi awal dalam mengetahui senyawa
kimia apa yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu tanaman. Informasi yang
diperoleh dari pendekatan ini juga dapt digunakan untuk keperluan sumber bahan yang
mempunyai nilai ekonomi lain seperti sumber tani,minyak untuk industri, sumber gum,
dll. Metode yang telah dikembangkan dapat mendeteksi adanya golongan senyawa
alkaloid, flavonoid, senyawa fenolat, tannin,saponin, kumarin, quinon,
steroid/terpenoid.(Teyler.V.E,1988) . contoh obat-obatan yang berasal dari tumbuhan seperti
kina, daun tapak dara, kunyit asem, jamu tolak angin.

2. Hewan
Selain tumbuhan bahan hewan yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat
sebagai obat, dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan
sebagai simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan
yang dikeringkan. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian
hewan zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
Contoh obat-obatan yang berasal dari hewan adalah minyak ikan,obat-obatan insulin
seperti lispro, actrapid,novorapid.
Contoh obat : Metformin
Nama dagang : Metformin tablet 500 mg
Kandungan : Metformin hydrocloride
Indikasi : diabetes mellitus yang baru terdiagnosa sesudah dewasa, dengan atau tanpa
kelebihan berat badan dan bila gagal dalam diet. Terapi kombinasi pada penderita yang
tidak resposif terhadap terapi tunggal sulfonilurea. Obat penunjang untuk mengurangi
dosis insulin.

16
3. Simplisia pelikan (mineral)

Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelican (mineral) yang
belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia.
Contoh nama obat-obatan yang berasal dari bahan-bahan mineral seperti koalin
adalah guanistrip.
Indikasi : untuk pengobatan simtomatik pada diare, karena pencernaan yang tidak
normal, dan diare karena penyebab lain yang tidak diketahui secara pasti.
Farmakologi : kaolin adalah suatu absorben yang menyerap toksin baik yang berupa gas
atau bahan beracun lainnya yang merangasang dari saluran usus, selanjutnya membentuk
lapisan pelindung pada dinding usus. Pektin sebagai bahan yang berfungsi untuk
menghilangkan hasil pertumbuhan bakteri yang bersifat racun. Karena kemampuannya
membentuk asam galakturonat dari kuman maka bisa berefek mematikan kuman yang
merugikan.

4. Sintetis

Obat sintesis adalah obat-obatan yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang
diproses secara kimiawi untuk diambil zat aktifnya. Dalam ilmu kimia, sintesis
kimia adalah kegiatan melakukan reaksi kimia untuk memperoleh suatu produk kimia,
ataupun beberapa produk. Hal ini terjadi berdasarkan peristiwa fisik dan kimia yang
melibatkan satu reaksi atau lebih. Sintesis kimia adalah suatu proses yang dapat
direproduksi selama kondisi yang diperlukan terpenuhi. Adapun contoh obat sintetis
adalah obat-obatan analgetik dan antipiretik, seperti panadol, bodrex, bodrexin, aspirin,
sanmol, parasetamol, asam mefenamat.
Contoh : Asam Mefenamat
Nama dagang : Mefinal (Sanbe), Mefetan (Kalbe)
Indikasi : Meredakan nyeri sampai sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi,
disminorea primer, termasuk nyeri trauma, nyeri otot, dan nyeri sesudah operasi.

5. Mikroorganisme

Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme yang berukuran sangat kecil


sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantuan. Mikroorganisme disebut juga
organisme mikroskopik. Namun, beberapa protista bersel tunggal masih terlihat oleh mata
telanjang dan ada beberapa spesies multisel tidak terlihat mata telanjang. Virus juga
termasuk ke dalam mikroorganisme meskipun tidak bersifat seluler. Beberapa jenis
mikroorganisme dimanfaatkan manusia sebagai penghasil obat-obatan. Obat-obatan yang
dihasilkan tersebut digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit terutama penyakit
yang disebabkan oleh mikroorganisme. Hal ini dikarenakan beberapa jenis
mikroorganisme mampu menghasilkan antibiotik. Antibiotik adalah suatu senyawa
organik yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dapat menghambat atau
mematikan mikroorganisme lain (bakteri penyebab penyakit). Beberapa antibiotik yaitu

17
penisilin, streptomisin, sefalosporin, tertasiklin, tetramisin, basitrosin, neomisin, dan
amfisilin. Contoh obat antibiotik : Amoxicillin
Nama Dagang : Amoxsan (Sanbe Farma), Kalmoxilin (Kalbe Farma), Topcillin
(Dankos), Robamox (Combifarma), Moxigra (Graha Farma), dll
Indikasi : infeksi saluran pernafasan kronik dan akut (pneumonia, bronchitis,
laryngitis); infeksi saluran cerna (dysentri basiler); infeksi saluran kemih (gonoretidak
terkomplikasi, uretritis, sistitis, pielonefritis); infeksi lain (septikemia, endokarditis)

3. Obat Tradisional

A. Pengertian Obat Tradisional

Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-


temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan
setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional. Menurut penelitian
masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan, dan kini
digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga
maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena
menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkab efek samping, karena masih
bisa dicerna oleh tubuh.

Beberapa perusahaan mengolah obat-obatan tradisional yang dimodifikasi


lebih lanjut. Bagian dari Obat tradisional yang bisa dimanfaatkan adalah akar,
rimpang, batang, buah, daun dan bunga. Bentuk obat tradisional yang banyak dijual
dipasar dalam bentuk kapsul, serbuk, cair, simplisia dan tablet.

Obat yang beredar sekarang ini tak lepas dari perkembangan obat di masa lalu.
Perlu kita ketahui bahwa penemuan obat jaman dahulu berawal dari coba-mencoba
yang dilakukan oleh manusia purba. Biasanya di sebut, "EMPIRIS". Empiris berarti
berdasarkan pengalaman dan disimpan serta dikembangkan secara turun-temurun
hingga muncul apa yang disebut Ilmu Pengobatan Rakyat atau yang lazimnya disebut
Pengobatan Tradisional Jamu. Akan tetapi, tidak semua obat “memulai” sejarahnya
sebagai obat anti penyakit. Ada obat yang pada awalnya digunakan sebagai racun
seperti strychnine & kurare yang digunakan sebagai racun-panah oleh penduduk
pedalaman Afrika. Contoh yang paling up to date adalah nitrogen-mustard (awalnya
digunakan sebagai gas beracun saat perang dunia pertama) sebagai obat kanker.

Sudah banyak zat-zat kimia yang berhasil diisolasi, seperti efedrin (dari
tanaman Ma Huang – Ephedra vulgaris), digoksin (digitalis lanata), genistein (dari
kacang kedelai) dan lainnya. Baru sekitar pada permulaan abad ke-20, obat-obat
kimia sintetis mulai “menampakkan diri”. Aspirin salah satu indikator kemajuan obat

18
kimia sintetis saat itu. Pada tahun 1935 terjadi gebrakan dalam penemuan dan
penggunaan kemoterapeutika sulfanilamid yang disusul penisilin pada tahun 1940.
Seperti diketahui bersama, secara tradisional, sebenarnya luka bernanah dapat
disembuhkan dengan menutupinya dengan kapang-kapang dari jenis tertentu, tetapi
baru sekitar tahun 1928 khasiat ini baru diselidiki secara ilmiah oleh Dr. Alexander
Fleming. Dari hasil penelitian Dr. Alexander Fleming, ditemukanlah penisilin.

Sejak saat itu, beribu-ribu zat sintetis diketemukan (diperkirakan sekitar 500
zat per tahun-nya). Hal ini membuat perkembangan di bidang Farmakoterapi
meningkat pesat.

Secara umum, kebanyakan obat “kuno” telah ditinggalkan dan diganti obat
yang lebih “modern”. Tapi bukan berarti obat modern bisa “santai”, sebab persaingan
selanjutnya adalah antar sesama obat modern. Pasalnya obat modern dapat terganti
dengan obat modern yang lebih baru dan lebih berkhasiat serta lebih efektif. Meski
begitu, diperkirakan lebih dari 78% obat yang beredar sekarang adalah merupakan
hasil dari penemuan tiga dasawarsa terakhir.

19
B. FARMAKOLOGI OBAT TRADISIONAL

Penggolongan Obat Tradisional

Penggolongan obat di atas adalah obat yang berbasis kimia modern, padahal
juga dikenal obat yang berasal dari alam, yang biasa dikenal sebagai obat tradisional.
Obat tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat
tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya
teknologi, telah diciptakan peralatan berteknologi t inggi yang membantu proses
produksi sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu
dalam bentuk ekstrak. Saat ini obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu
jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka.

- Jamu (Empirical based herbal medicine)

Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya


dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang
menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya,
jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari
berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam
bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan
klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-
menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah
membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.

- Obat Herbal Terstandar (Scientific based herbal medicine)

20
Adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam
yang dapat berupa tanaman obat , binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan
proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal,
ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun
ketrampilan pembuatan ekstrak.

Selain proses produksi dengan tehnologi maju, jenis ini pada umumnya telah
ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian preklinik seperti
standart kandungan bahan berkhasiat, standart pembuatan ekstrak tanaman obat,
standart pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun
kronis.

- Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)

Merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan
dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang
dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Dengan uji klinik akan
lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana
pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal
karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilimiah.

21
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

 Proses untuk menghasilkan suatu obat baru harus melalui tahapan pengembangan
obat yang cukup panjang, yang terdiri dari tahap pre-klinis dan klinis (4 fase)
 Obat baru masuk ke status obat pada sistem pelayanan kesehatan
 Obat yang dapat dipasarkan adalah obat yang telah mendapat izin oleh instansi atau
lembaga yang berwenang, dan telah benar - benar teruji, baik keamanaan maupun
keefektifannya.
 Obat yang sudah dipasarkan akan tetap dievaluasi keamanan dan keefektifaannya,
disebut fase post marketing.
 Dengan adanya proses pengembangan obat ini, diharapkan masyarakat akan menjadi
lebih aman dalam mengkonsumsi obat – obatan.

22
DAFTAR PUSTAKA

BambangPriyambodo. 2007. DalamManajemenFarmasiIndustri. Yogyakarta: Global


PustakaUtama.

Ganiswara, S.G., dkk (Editor). 1995. FarmakologidanTerapiEdisi 4. Jakarta:


BagianFarmakologi FK UI.

Hoan Tan Tjay,drs & Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat penting, Khasiat,
penggunaan dan efek sampingnya : Elexmedia Computindo
http://jendelafarmasi.blogspot.com/2011/09/farmakologi.html
http://healthcare-pharmacist.blogspot.com/2011/06/pengembangan-dan-pengujian
fitofarmaka.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Obat

23
MAKALAH
FARMAKALOGI

(Penilaian dan Pengembangan Obat Baru)

OLEH :

1. DENI EFFENDI (1401012)


2. JAKA ANUGRAH PERMATA (1401023)
3. SUCITA DWI ANANDA (1401057)
4. TENGKU CANDRA ADI KUSUMA (1401058)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

2015

24

Anda mungkin juga menyukai