TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Stroke non hemoragic adalah stroke yang disebabkan oleh bekuan darah (baik
sebagai trombus maupun embolus), atau dari stenosis pembuluh yang disebabkan
penumpukan plak (Lemone, dkk, 2016, hal. 1800).
Stroke non hemoragic adalah suatu gangguan peredaran darah ke otak
akibat tersumbatnya pembuluh darah tanpa terjadi suatu perdarahan (Wiwit dalam
Harahap dkk, 2016, hal. 70).
Berdasarkan penjelasan tersebut, bahwa stroke non hemorargik adalah stroke
yang disebabkan gangguan peredaran darah ke otak yang disebabkan oleh trombus
maupun embolus ataupun stenosis pembuluh yang terjadi akibat penumpukan
plak tanpa adanya perdarahan.
2. Etiologi
a. Faktor pemicu stroke dilihat dari segi gaya hidup
b. Makan-makanan siap saji
c. Minuman beralkohol
d. Narkoba serta kebiasaan merokok
e. Penggunaan obat perangsang
f. Kerja berlebihan
g. Kurang olahraga dan stress(Alchuriyah & Wahjuni, 2016, hal. 63)
h. Faktor (Non Reversible)/ yang tidak mampu dirubah
Jenis kelamin, usia, keturunan (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 151)
i. Faktor (Reversible)/ yang mampu dirubah
Hipertensi, penyakit jantung, kolestrol tinggi, obesitas, diabetes melitus,
polisetemia (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 151)
3. Manifestasi Klinis
Menurut (Chang, dkk, 2010, hal. 269) tanda dan gejala stroke non hemorargik
antara lain;
a. Gambaran klinis stroke non hemorargik terkait dengan arteri yang terkena
1) Arteri karotis interna
Hemiparesis atau paralisis pada bagian wajah, lengan dan kaki
Defisit sensorik kontralateral pada wajah, lengan dan kaki
Afasia atau disfasia jika terkena hemisfer yang dominan
Apraksia, agnosia, dan unilateral neglect jika terkena hemisfer non-
dominan
Gangguan penglihatan(Chang, dkk, 2010, hal. 289)
4) Arteri vertebrobasilaris
Lemah di sisi yang diserang
Mati rasa di sekitar bibir dan mulut
Potongan bidang visual
Diplopia
Koordinasi buruk
Disfagia
Bicara mencerca
Pusing
Amnesia dan ataksia(Masriadi, 2016, hal. 120)
5) Arteri basilaris
Quadriplegia
Kelemahan otot faring, lidah, dan wajah (Chang, dkk, 2010, hal. 289)
6) Arteri serebralis
Atakasia, vertigo, limbung dan nistagmus
Mual dan muntah
Gangguan rasa nyeri dan sensibilitas terhadap suhu pada batang tubuh
dan ekstermitas di sisi kontralateral
Paralisis tatapan mata
Pupil kecil dan ptosis pada sisi kelopak mata yang terkena (Chang, dkk,
2010, hal. 289)
b. Gambaran klinis stroke non hemorargik berdasarkan sisi otak yang terkena
menurut (Nair & Peate, 2015, hal. 272) antara lain;
1) Sisi kanan otak
Kehilangan fungsi motorik pada kiri tubuh
Pusat bahasa tidak terganggu
Defisit lapang pandang kiri
Ketidakpedulian yang nyata akan kebebasan
Penilaian dan perilaku impulsif yang buruk
4. Klasifikasi
a. Stroke iskemik transien (Transtien ischemic attack/TIA)
Stroke ini biasa disebut dengan stroke kecil, dimana stroke yang terjadi
pada periode singkat iskemi serebral terlokalisasi yang menyebabkan defisit
neurolis yang berlangsung selama kurang dari 24 jam. Transtien ischemic
attack (TIA) disebabkan karena gangguan inflamasi arteri, anemia sel sabit,
perubahan ateroklerosis pada arteri karotis dan serebral, trombosis, serta
emboli.
Manifestasi neurologis TIA beragam berdasarkan lokasi dan ukuran
pembuluh serebral yang terkena dan memiliki awitan tiba-tiba. Biasanya
terjadi defisit meliputi kebas kontralateral atau kelemahan tungkai, tangan,
lengan bawah, dan pusat mulut, afasia, dan gangguan penglihatan buram serta
fugaks amaurosis (kebutaan yang cepat pada satu mata) (Lemone, dkk, 2016,
hal. 1800-1801)
5. Patofisiologi
Berdasarkan dari segi penyebab, stroke non hemorargik dapat terjadi dari
beberapa faktor pencetus dimulai dari faktor gaya hidup, faktor yang dapat
diubah, sampai dengan faktor yang tidak dapat diubah. (Alchuriyah & Wahjuni,
2016, hal. 63) dan (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 151).
Dari berbagai faktor tersebut dapat menyebabkan ateroklerosis yang terbentuk
daerah yang berlemak, seiring waktu terbentuk plak fibrosis (ateroma) di lokasi
yang mengalami keterbatasan terutama di daerah yang berlawanan yaitu di
percabangan arteri ekstraserebral.
Sel darah merah/ trombosit kemudian melekat pada permukaan plak bersama
dengan fibrin, secara perlahan trombosit yang melekat dapat memperbesar ukuran
plak sehingga menyebabkan terbentuknya trombus. Penyempitan atau oklusi
tersebut dapat dapat mengakibatkan aliran darah ke serebral sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya stroke non hemorargik (Chang, dkk, 2010, hal. 286-
287).
Apabila aliran suplai darah ke otak terganggu maka akan menimbulkan perfusi
darah pada otak itu sendiri berubah yang dapat menimbulkan hipoksia (Batticaca,
2008, hal. 56-57). Dari hipoksia dalam otak akan menyebabkan berbagai macam
patofisiologi munculnya klasifikasi stroke yaitu trombotik, embolik, iskemik, dan
infark lakunar. Penyebab yang pertama adalah stroke iskemik (TIA), dimana
saling berhubungan dengan iskhemik serebral dan disfungsi neurologis sementara
(Widagdo, dkk, 2008, hal. 88).
Trombotik bekuan cairan didalam pembuluh darah adalah tipe stroke yang
paling umum terjadi, dimana sering dikaitkan dengan ateroklerosis dan
menyebabkan penyempitan lumen arteri sehingga menyebabkan gangguan suplai
darah yang menuju ke otak yang dapat mengenai arteri serebral tunggal (Lemone,
dkk, 2016, hal. 1801).
Stroke infak lakunar terjadi ketika stroke trombotik mengenai pembuluh
serebral terkecil tidak segera ditangani sehingga meninggalkan rongga kecil di
jaringan otak atau batang otak yang dapat mengenai arteri serebral tengah tengah
dan arteri serebral posterior (Lemone, dkk, 2016, hal. 1801).
Penyebab umum yang terakhir adalah stroke embolik kardiogenik (bekuan
darah atau material lain) terjadi ketika bekuan darah dari fibrilasi atrial, trombi
ventrikel, infark miokard, penyakit jantung kongesti, atau plak ateroklrerosis
masuk ke sistem sirkulasi dan menjadi tersumbat pada pembuluh serebral tersebut,
sehingga menyebabkan oklusi pembuluh darah, yang dapat mengenai arteri
serebral tengah (Lemone, dkk, 2016, hal. 1801).
7. Komplikasi
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral
dan luasnya area cedera yang dapat mengakibatkan perubahan pada aliran darah
serebral sehingga ketersediaan oksigen ke otak menjadi berkurang dan akan
menimbulkan kematian jaringan otak (Bararah & Jauhar, 2013, hal. 36).
Komplikasi yang khas mencakup defisit sensoriperseptual, perubahan kognitif,
dan perilaku, gangguan komunikasi, defisit motorik, dan gangguan
eliminasi (Lemone, dkk, 2016, hal. 1802).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Angiografi serebri
Menggambarkan penyebab stroke secara jelas seperti adanya perdarahan
arterivena atau ruptur serta mencari perdarahan seperti aneurisme atau
malformasi vaskuler (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 153). Berdasarkan dari
hasil pemeriksaan angiongrafi didapatkan adanya pertahanan atau sumbatan
arteri (Batticaca, 2008, hal. 61)
b. CT Scan
Merupakan pemeriksaan diagnostik standar dan dapat membedakan
perdarahan otak dengan infark yang memiliki manefestasi klinis yang sama
seperti tumor atau perdarahan otak karena trauma. (Chang, dkk, 2010, hal.
290). Pada pemeriksaan ini menunjukan hasil adanya edema, hematoma,
iskemia dan infark (Bararah & Jauhar, 2013, hal. 40)
c. USG Dopller
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis dan
arteroklerosis) (Batticaca, 2008, hal. 61). Hasil pemeriksaan ini menunjukan
adanya perdarahan subarakhnoid (Widagdo,dkk, 2008, hal. 89)
d. MRI (Magnetic Resonance Imagine)
Untuk menunjukan adanya lesi seperti hematoma dan membedakan iskemia
dengan infark (Chang, dkk, 2010, hal. 290). Hasil dari pemeriksaan ini
menunjukan daerah yang mengalami infark, perdarahan, malformasi
arteriovena (Batticaca, 2008, hal. 61) adanya oklusi (Chang, dkk, 2010, hal.
290), ruptur anurisma (Widagdo,dkk, 2008, hal. 89)
e. Pemeriksaan labolatorium
Darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan serebrospinal, AGD, biokimia
darah, elektrolit. Digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis (Batticaca, 2008, hal. 62). Hasil dari pemeriksaan labolatorium
menunjukan hasil AGD yang tidak normal (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6),
kenaikan hematokrit dengan vaskositas darah yang tinggi (Chang, dkk, 2010,
hal. 290), peningkatan lemak dalam darah (Bararah & Jauhar, 2013, hal. 38).
f. EKG 12 Lead
Membantu mengidentifikasi penyebab kardiak jika stroke emboli dicurigai
terjadi (Chang, dkk, 2010, hal. 290). Pada pemeriksaan ini akan menunjukan
adanya disritmia (Bararah & Jauhar, 2013, hal. 38)
g. Sinar tengkorak
Adanya gambaran kalenjar lempeng pienal yang berubah pada daerah yang
berlawanan dari massa yamg melebar, dan adanya kalsifikasi parsial dinding
aneurisme pada daerah yang mengalami perdarahan yaitu pada
subarakhnoid (Batticaca, 2008, hal. 61). Hasil dari pemeriksaan ini
menunjukan adanya tumor sel embolik di dalam otak (Widagdo,dkk, 2008,
hal. 88)
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
Pemberian nutrisi dapat diberikan dengan menggunakan cairan yang
mengandung isotonik, kristaloid atau koloid 1500-200 mL, pemeriksaan
kadar gula darah sewaktu yang >150 mg% dengan insulin drip intravena
kontinu selama 2-3 hari pertama. Jika terjadi penurunan kadar gula dalam
darah < 60 mg % atau < 80 mg% dengan gejala dapat diatasi segera dengan
pemberian cairan dekstrosa 40% secara (IV) sampai stabil dan harus dicari
diketahui awal penyebabnya. Obat-obatan yang direkomendasikan ialah
diazepam 5-20 mg iv maksimal 100 mg/hari jika terjadi kejang, jika
didapatkan peningkatan TIK beri manitol 0,25-1 gr/KgBB per 30 menit, jika
ada gejala rebound dilanjutkan manitol 0,25 gr/KgBB per 30 menit selam 6
jam. Pemberian citicolin 100-300 mg.hari diberikan secra IV/IM dan sodium
Thipenton 5 mg/KgBB sebagai pengganti diazepam (Nurarif & Kusuma,
2015, hal. 153-154)
b. Penatalaksanaan keperawatan
Mengkaji status pernapasan
Mengobservasi tanda-tanda vital
Memantau fungsi usus dan kandung kemih
Melakukan katerisasi kandung kemih
Mempertahankan tirah baring(Bararah & Jauhar, 2013, hal. 37)
Penatalaksanaan gizi
Pemberian nutrisi yang dianjurkan pada klien dengan memberikan
makanan cair supaya tidak menimbukkan aspirasi dan cairan harus
dibatasi mulai hari pertama setelah terjadi stroke sebagai alternatif untuk
mencegah pembengkakan pada otak, serta pemberian diet rendah garam
dan menghindari makanan yang kaya akan lemak dan kolestrol (Bararah
& Jauhar, 2013, hal. 37)
2) Batasan Karakteristik
Dispneu, Penurunan suara nafas
Orthopneu
Cyanosis
Kelainan suara nafas (rales, wheezing)
Kesulitan berbicara
Batuk, tidak efektif atau tidak ada
Mata melebar
Produksi sputum
Gelisah
Perubahan frekuensi dan irama nafas
2) Batasan karakteristik
Subjektif
(Tidak tersedia)
Objektif
Perubahan status mental
Perubahan perilaku
Perubahan respons motorik
Perubahan reaksi pupil
Kesulitan menelan
Kelemahan atau paralisis ekstermitas
Paralisis
Ketidaknormalan dalam berbicara
3) Batasan karakteristik
a) Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif
Kekuatan otot menurun
Rentang gerak ROM menurun
Tujuan Dan
No Diagnosa Keperawatan Intervensi
Kriteria Hasil
1 Bersihan Jalan Nafas NOC : NIC :
tidak Efektif Respiratory status : Airway suction
Ventilation 1) Pastikan kebutuhan oral / tracheal
Respiratory status : suctioning
Airway patency 2) Auskultasi suara nafas sebelum dan
Aspiration Control sesudah suctioning.
3) Informasikan pada klien dan
Kriteria Hasil : keluarga tentang suctioning
Mendemonstrasikan 4) Minta klien nafas dalam sebelum
batuk efektif dan suction dilakukan.
suara nafas yang 5) Berikan O2 dengan menggunakan
bersih, tidak ada nasal untuk memfasilitasi suksion
sianosis dan dyspneu nasotrakeal
(mampu 6) Gunakan alat yang steril sitiap
mengeluarkan melakukan tindakan.
sputum, mampu 7) Anjurkan pasien untuk istirahat dan
bernafas dengan napas dalam setelah kateter
mudah, tidak ada dikeluarkan dari nasotrakeal
pursed lips) 8) Monitor status oksigen pasien
Menunjukkan jalan 9) Ajarkan keluarga bagaimana cara
nafas yang paten melakukan suction
(klien tidak merasa 10) Hentikan suction dan berikan
tercekik, irama oksigen apabila pasien menunjukkan
nafas, frekuensi bradikardi, peningkatan saturasi O2,
pernafasan dalam dll.
rentang normal,
tidak ada suara nafas Airway Management
abnormal) 1) Buka jalan nafas, guanakan teknik
Mampu chin lift atau jaw thrust bila perlu
mengidentifikasikan 2) Posisikan pasien untuk
dan mencegah factor memaksimalkan ventilasi
yang dapat 3) Identifikasi pasien perlunya
menghambat jalan pemasangan alat jalan nafas buatan
nafas 4) Pasang mayo bila perlu
5) Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6) Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction.
7) Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
8) Lakukan suction pada mayo
9) Berikan bronkodilator bila perlu
10) Berikan pelembab udara Kassa
basah NaCl Lembab
11) Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
12) Monitor respirasi dan status O2
2. Pengkajian Primer
a. Airway
Pada penderita stroke yang mengalami penurunan kesadaran umumnya
mengalami hambatan jalan napas (Bararah & Jauhar, 2013, hal. 39), sekret
berbuih (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6).
b. Breathing
1) Inspeksi
Terdapat retraksi otot pernapasan, pernapasan lebih dari 20
x/menit (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6), kesulitan bernapas, sesak napas
atau apnea (Batticaca, 2008, hal. 67-68), kemungkinan
pernapasan cheynestokes (Widagdo, 2008, hal. 89).
2) Palpasi
Focal fremitus umumnya tidak seimbang antara kanan dan kiri selama ada
penumpukan sekret.
3) Perkusi
Terdapat bunyi hipersonor jika terdapat sekret dalam lapang paru
4) Auskultasi
Terdapat suara napas tambahan ronkhi, wheezing jika pasien stroke
mengalami penurunan kesadaran (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6)
c. Circulation
1) Tekanan darah
Dapat ditemukan tekanan darah tinggi/hipertensi dengan tekanaan darah
>200 mmHg (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 154)
2) Nadi
Frekuensi nadi dapat bervariasi (Bararah & Jauhar, 2013, hal. 38)
3) Suhu
Hipertermia (Lemone, dkk, 2016, hal. 1802)
4) Capilary Refill Time
Kapiler refill time > 1-2 detik (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6)
5) Sianosis/pucat
Pada pasien stroke non hemorargik yang mengalami perfusi serebral tidak
efektif menyebabkan kadar PaO2 < 95% sehingga menyebabkan
sianosis (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6).
6) Akral
Pada pasien stroke non hemorargik mengalami diaforesis sehingga dapat
ditemukan akral dingin (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 154)
7) Kelembapan
Pada pasien stroke non hemorargik mengalami diaforesis dan akral dingin
sehingga mengalami kelembapan pada kulitnya (Batticaca, 2008, hal. 66).
d. Disability
1) GCS/AVPU
Menurut (Heriana, 2014, hal. 63-65) ada tiga hal yang dinilai dalam
penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan GCS (Glasgow Coma
Scale);
a) Respon membuka mata (eyes)
c) Respon motorik
2) Pupil
Pupil kecil dan ptosis pada sisi kelopak mata yang terkena (Chang, dkk,
2010, hal. 289)
3) Gangguan motorik
Hemiplegia, hemiparesis, flasiditas (tidak adanya tonus otot), spastisitas
(peningkatan tonus otot) (Lemone, dkk, 2016, hal. 1804)
4) Gangguan sensorik
Defisit dalam penglihatan, pendengaran, rasa dan indra
penciuman (Lemone, dkk, 2016, hal. 1802)
5) Exposure/Enviromental/Event
Pada pasien stroke non hemorargik biasanya akan terjadi ketika selama
tidur atau segera setelah bangun tidur sehingga jarang adanya
trauma (Widagdo, 2008, hal. 87)
3. Secondary Survey
a. Five Intervensi
EKG
Jika mempunyai penyakit jantung maka hasil EKG menunjukan adanya
disritmia (Bararah & Jauhar, 2013, hal. 38)
Kateter
Penggunaan kateter intermiten pada pasien stroke non hemorgik untuk
pengosongan kandung kemih (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 154)
NGT
Pemasangan selang nasogastrik jika didapatkan gangguan menelan atau
kesadaran menurun (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 154)
Sp O2
Didapatkan hasil < 95% (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6)
Labolatorium
Peningkatan lemak dalam darah karena pasien stroke non hemorargik kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan makan dan minum (Bararah & Jauhar, 2013, hal.
38)
c. Give Comfort
Jika dalam stroke non hemorargik mengalami peningkatan TIK maka posisi
kepala dinaikkan 30 derajat, posisi kepala dan dada di satu bidang (Nurarif &
Kusuma, 2015, hal. 155).
d. History
i. Keluhan Utama
Pada klien stroke non hemorargik keluhan utamnya biasanya terjadi
hemiparesis, hemisensorik, afasia, disartria, ataksia, sampai vertigo dan akan
mengalami penurunan kesadaran (Batticaca, 2008, hal. 60).
v. Pengalaman pembedahan
Pada pasien stroke akan dilakukan pembedahan jika mengalami TIA
(Lemone, dkk, 2016, hal. 1806)
Nervus IV throclearis
Jarang terjadi gangguan pergerakan mata (motorik) (Batticaca, 2008,
hal. 60)
Nervus V thrigeminus
Tidak lancar atau tidak dapat bicara, bicara pelo (Batticaca, 2008, hal.
60)
Nervus VI abdusen
Gangguan gerakan tangkas atau gerakan tidak terkoordinasi
(Masriadi, 2016, hal. 119)
Nervus facialis
Paralisis wajah (Chang, dkk, 2010, hal. 8), muka tidak
simetris (Masriadi, 2016, hal. 119), hilangnya sensasi pada
wajah (Widagdo,dkk, 2008, hal. 91)
Nervus VII auditorius
Pada pasien dengan stroke non hemorargik akan mengalami tuli dan
tinnitus jika mengenai arteri serebral inferior anterior sisi
ipsilateral (Widagdo,dkk, 2008, hal. 91)
Nervus IX glosopharingeal
Gangguan menelan atau bila minum sering sering tersedak (Masriadi,
2016, hal. 119)
Nervus X Vagus
Muntah (Chang, dkk, 2010, hal. 289)
Nervus XI accesorius
Terdapat bendungan vena jugularis (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6)
Nervus XII hypoglosus
Mulut dan lidah mencong bila diluruskan (Masriadi, 2016, hal. 119)
hilang sensasi pengecapan pada lidah (Batticaca, 2008, hal. 61)
b) Leher
Tidak ada kaku kuduk (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 152)
c) Dada
Paru-paru:
Inspeksi : terdapat retraksi otot pernapasan (Mubarak, dkk, 2015,
hal. 6)
Palpasi : focal fremitus umumnya tidak seimbang antara kanan dan
kiri selama ada penumpukan sekret
Perkusi : terdapat bunyi hipersonor jika terdapat sekret dalam lapang
paru
Auskultasi : ronkhi, wheezing (Mubarak, dkk, 2015, hal. 6)
Jantung:
Inspeksi : ictus cordis tidak nampak pada pasien yang mengalami
obesitas
Palpasi : ictus cordis pada teraba pada ICS 5-6 bergeser ke kiri
Perkusi: batas normal jantung atas ICS II mid sternalis, batas bawah
ICS V, batas kiri ICS V midclavicula sinistra dekstra. Pada pasien
stroke jika terjadi kardiomegali perkusi yang didapatkan melebihi
batas normal
Auskultasi : S1 dan S2 tidak teratur serta terdapat S3 (Mubarak, dkk,
2015, hal. 6)
Abdomen
Konstipasi, impaksi feses (Lemone, dkk, 2016, hal. 1802),
mengalami distensi abdomen, bising usus negatif, tympani (Bararah
& Jauhar, 2013, hal. 38)
Ekstermitas
Mengalami kelumpuhan atau kelemahan separo badan (Nurarif &
Kusuma, 2015, hal. 152), gangguan fungsi motorik, lemah dan mati
rasa di kaki (Masriadi, 2016, hal. 120), hemiplegia, kontarktur,
ankilosis tubuh, atrofi disuse, disartria (Lemone, dkk, 2016, hal.
1802)
Kulit/integument
Defisit motorik dapat menyebabkan perubahan mobilitas sehingga
komplikasi dapat melibatkan sistem tubuh yang multipel salah
satunya kulit/integument yang dapat menciptakan pembentukan luka
dicubitus (Lemone, dkk, 2016, hal. 1804).