Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MENEJEMEN BPR SYARIAH DALAM PANDANGAN ISLAM AHLUS


SUNAH WAL JAMAAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS Semester II


Mata Kuliah: Kajian Aswaja
Yang Diampu Oleh Dr. Drs. H. Muhibbin Ahmad, SH., M.H

Disusun Oleh:
Drs. H. ISSADUR ROFIQ
NIM. 21702081002

FAKULTAS MENEJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
MEI 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peranan bank dewasa ini sangat dominan dalam perekonomian masyarakat
di Indonesia pada umumnya. Hampir setiap kegiatan perekonomian masyarakat
tidak terlepas dari peran bank maupun lembaga keuangan lainnya diluar bank.
Dalam menjalankan aktifitasnya, bank menawarkan berbagai produk yang berisi
kegiatan pendukung perekonomian masyarakat, mulai dari jasa menabungkan
uang masyarakat, pengiriman uang atau jasa-jasa yang lainnya intinya
mempermudah masyarakat melakukan aktifitas bisnis dan perekonomian sehari-
hari. Karena sebagian besar Bank Konvensional dan Syariah hanya mencakup
untuk kalangan masyarakat atas dan menengah keatas, dengan salah satu
penyebabnya adalah letak dari tempat bank tersebut, yakni hanya ada di perkotaan
saja, sehingga orang-orang yang ada di pedesaan ataupun kecamatan kurang bisa
menjangkau.
Sehingga untuk merangkul masyarakat ekonomi lemah, maka pemerintah
mengatur untuk didirikannya Bank Perkreditan Rakyat di tingkat kecamatan, dan
desa. Yang bertujuan agar semakin meratanya pelayanan keuangan bagi seluruh
masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian, dasar pemikiran, dan sejarah berdirinya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah?
2. Bagaimana tujuan, strategi, dan usaha-usaha BPR Syariah?
3. Bagaimana ketentuan dan tata cara pendirian BPR Syariah?
4. Bagaimana Organisasi/Manajemen BPR Syari’ah?
5. Bagaimana kendala dan strategi pengembangan BPR Syariah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Dasar Pemikiran, dan Sejarah Berdirinya Bank Perkreditan


Rakyat Syariah
1. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut Undang-Undang (UU) Perbankan
No.7 Tahun 1992 pasal 1 ayat 3, adalah lembaga keuangan bank yang menerima
simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR.
Sedangkan pada UU Perbankan No.10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 4, disebutkan
bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
Pelaksanaan BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No.
32/36/KEP/DIR/1998 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, secara teknis BPR syariah bisa
diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang
operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.

2. Dasar Pemikiran Bank Perkreditan Rakyat Syariah


Berdirinya BPR Syariah di Indonesia selain didasari oleh tuntutan
bermuamalah secara Islam yang merupakan keinginan kuat dari sebagian besar
umat Islam di Indonesia, juga sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi
perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan
keuangan, moneter, perbankan secara umum. Secara khusus adalah mengisi
peluang terhadap kebijaksanaan yang membebaskan bank dalam penetapan tingkat
suku bunga (Rate Interest), yang kemudian dikenal dengan bank tanpa bunga.

3. Sejarah Bank Perkreditan Rakyat Syariah


Status hukum BPR diakui pertama kali dalam Pakto tanggal 27 Oktober
1988, sebagai Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan. Secara
historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak lembaga keuangan, seperti Bank
Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN),
Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD) dan atau lembaga lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu. Sejak dikeluarkannya UU No.7 tahun 1992
tentang Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut
diperjelas melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Berdirinya BPR syariah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berdirinya
lembaga-lembaga keuangan sebagaimana disebutkan di atas. Lebih jelasnya
keberadaan lembaga keuangan tersebut dipertegaas munculnya pemikiran untuk
mendirikan bank syariah pada di tingkat nasional. Bank syariah yang dimaksud
adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri tahun 1992. Namun
jangkauan BMI terbatas pada wilayah-wilayah tertentu, misalnya di kabupaten,
kecamatan dan desa. Oleh karenanya peran BPR syariah diperlukan untuk
menangani masalah keuangan masyarakat di wilayah-wilayah tertentu.
Sebagai langkah awal, ditetapkan tiga lokasi berdirinya BPR syariah. Ketiga BPR
syariah tersebut adalah:
1. PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung.
2. PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung.
3. PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung.
Tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR syariah tersebut telah mendapatkan
ijin prinsip dari Menteri keuangan RI. Selanjutnya, dengan technical assistance
dari Bank Bukopin cabang Bandung yang memperlancar penyelenggaraan
pelatihan dan pertemuan para pakar perbankan, pada tanggal 25 Juli 1991, BPR
Dana Marhatillah, BPR Berkah Amal Sejahtera, dan BPR Amanah Rabbaniyah
tersebut masing-masing mendapatkan ijin usaha dari Menteri Keuangan RI.
Untuk mempercepat proses berdirinya BPR-BPR syariah yang lain
dibentuklah lembaga-lembaga penunjang, antara lain:
1. Institute for Syariah Economic Development (ISED)
ISED bertugas melaksanakn program pendidikan atau pemberian bantuan
teknis pendirian BPR syariah di Indonesia, khusunya di daerah-daerah
berpotensi. Hasil yang telah dicapai ISED, antara lain:
a. BPR Harcukat di propinsi Aceh
b. BPR Amanah Umah, kec. Leuweliang, Bogor
c. BPR Pembanguan Cikajang Raya, kec. Cikajang, Garut
d. BPR Bina Amwalul Hasanah, kec. Sawangan, Bogor
2. Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah (YPPBS)
membantu perkembangan BPR syariah di Indonesia dengan melakukan
kegiatan-kegiatan:
a. Pendidikan, baik tingkat dasar untum sarjana baru maupun tingkat
menengah untuk para praktisi yang berpengalaman minimal 2 tahun
diperbankan.
b. Membantu proses pendirian dan memberikan technical assistance.

B. Tujuan, Strategi, dan Usaha-Usaha BPR Syariah


1. Tujuan BPR Syari’ah
Adapun tujuan yang dikehendaki dengan berdirinya BBPR syariah adalah:
a. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat
golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah
pedesaan.
b. Menambah lapangan kerja terutama ditingkat kecamatan, sehingga
dapat mengurangi arus urbanisasi.
c. Membina semangat ukhuwah islamiyyah melalui kegiatan ekonomi
dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas
hidup yang memadai.
2. Strategi Operasional BPR Syari’ah
Untuk mencapai tujuan operasionalisasi BPR syariah tersebut diperlukan
strategi operasinal sebagai berikut:
a. BPR syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan
fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi atau
penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu
tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
b. BPR syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya
jangka pendek dengan mengumatakan usaha skala menengah dan
kecil.
c. BPR syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat
kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.
3. Usaha-Usaha BPR Syariah
Pada dasarnya, sebagai lembaga keuangan syariah BPR syariah dapat
memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah,
dalam usaha pengerahan dana masyarakat, BPR syariah dapat memberikan
jasa-jasa keuangan dalam berbagai bentuk, antara lain:
a. Simpanan Amanah
Disebut dengan simpanan Amanah, sebab dalam hal bank
penerima titipan amanah (truste account) dari nasabah. Disebut dengan
titipan amanah karena bentuk perjanjian adalah wadiah, yaitu titipan
yang tidak menanggung resiko. Namun demikian, bank akan
memberikan bonus dari bagi hasil keuntungan yang diperoleh bank
melalui pembiayaaan kepada nasabahnya.
b. Tabungan Wadiah
Dalam tabungan ini bank menerima tabungan (saving account)
dari nasabah dalam bentuk tabungan bebas. Sedangkan akad yang
diikat oleh bank dengan nasabah dalam bentuk wadiah. Titipan nasabah
tersebut tidak menanggung resiko kerugian, dan bank memberikan
bonus kepada nasabah. Bonus itu diperoleh bank dari bagi hasil dan
kegiatan pembiayaan kredit kepada nasabah lainnya. Bonus tabungan
wadiah itu dapat diperhitungkan secara harian dan dibayarkan kepada
nasabah pada setiap bulannya.
c. Deposito Wadiah Mudharabah
Dalam produk bank ini bank menerima deposito berjangka
(time and investment account) dari nasabahnya. Akad yang dilakukan
dapat berbentuk wadiah dan dapat pula berbentuk mudharabah.
Lazimnya jangka waktu deposito itu adalah 1, 2, 6, 12 bulan dan
seterusnya sebagai bentuk penyertaan modal (sementara). Maka
nasabah/deposan mendapat bonus keuntungan dan bagi hasil yang
diperoleh bank dari pembiayaan/kredit yang dilakukannya kepada
nasabah-nasabah lainnya.
Fasilitas pengerahan dana tersebut, juga dapat digunakan untuk
menitipkan sedekah, infak, zakat, tabungan haji, tabungan kurban,
tabungan aqiqah, tabungan keperluan pendidikan, tabungan pemilikan
kendaraan, tabungan pemilikan rumah, bahkan bisa digunakan untuk
sarana penitipan dana-dana masjid, dana pesantren, yayasan dan lain
sebagainya.
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, BPR
syariah dapat pula bertindak sebagai lembaga baitul maal, yaitu menerima
dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah atau dana social
lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan
atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).
Sementara, dalam menyalurkan dana masyarakat BPR syariah dapat
memberikan jasa-jasa keuangan seperti:
1. Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan mudharabah bank mengadakan akad dengan
nasabah (pengusaha). Bank menyediakan pembiayaan modal usaha bbagi
proyek yang dikelola oleh pengusaha. Keuntungan yang diperoleh akan
dibagi (perjanjian bagi hasil) sesuai dengan kesepakatan yang telah diikat
oleh bank dan pengusaha tersebut.
2. Pembiayaan Musyarakah
Dalam pembiayaan musyarakah ini bank dengan pengusaha
mengadakan perjanjian. Bank dan pengusaha berjanji bersama-sama
membiayai suatu proyek yang juga dikelola secara bersama-sama.
Keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi sesuai dengan
penyertaan masing-masing pihak.
3. Pembiayaan Bai’ Bithaman Ajil
Dalam bentuk pembiayaan ini, bank mengikat perjanjian dengan
nasabah. Bank menyediakan dana untuk pembelian sesuatu barang/aset
yang dibutuhkan oleh nasabah guna mendukung usaha atau proyek yang
sedang diusahakan.
Namun begitu, sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR
syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit.
c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip
syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
d. Menetapkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia,
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank
lain.
Pembatasan usaha BPR syariah lebih tegas dijelaskan dalam pasal
27 SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999. Menurut surat keputusan
ini, kegiatan operasional BPR syariah adalah:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang
meliputi:
a. Tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
c. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui:
a. Transaksi jual beli berdasarkan prinsip:
1) Murabahah
2) Istishna
3) Ijarah
4) Salam
5) Jual-beli lainnya.
b. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip:
1) Mudharabah
2) Musyarakah
3) Bagi hasil lainnya.
c. Pembiayaan lain berdasarkan prinsip:
1) Rahn
2) Qardh
3) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR syariah
sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.
Dibanding bank umum syariah, kegiatan operasional yang dapat
dilakukan BPR syariah lebih terbatas. Sebagaimana diatur dalam SK
Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999, BPR syariah tidak diijinkan untuk
menerima dana simpanan dalam bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan
dalam bentuk wadiah. Begitu juga, BPR syariah dilarang untuk:
1. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
2. Melakukan penyertaan modal
3. Melakukan usaha perasuransian

C. Ketentuan dan Tata Cara Pendirian BPR Syariah


1. Syarat Pendirian
Dalam mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum
BPR syariah yang telah ditentukan dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam
UU Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 2, bentuk hukum suatu BPR syarat
dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah
Adapun syarat-syarat untuk pendirian BPR syariah adalah sebagai berikut:
a. BPR syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dengan ijin Dirreksi Bank Indoneesia.
b. BPR syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
1) Warga Negara Indonesia
2) 2Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya oleh warga Negara
Indonesia
3) Pemerintah Daerah, dan
4) Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c.
Pendirian ijin pendirian BPR syariah,, sebagaimana dimaksud di atas dapat
dilakukan dengan dua tahap:
a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pendirian BPR syariah.
b. Ijin usaha, yaitu ijin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR
syariah setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan.
SK DIR BI No. 32/36/1999 tidak memberikan kemugkinan bagi pihak asing
untuk mendirikan BPR syariah. Menurut ketentuan pasal 15 SK DIR tersebut,
yang dapat menjadi pemilik BPR syariah adalah pihak-pihak yang:
a. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai
dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas
yang baik, antara lain:
1) Memiliki akhlak dan moral yang baik.
2) Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Bersedia mengembangkan PR syariah yang sehat.
Selain dari persyaratan di atas, khusus untuk dapat menjadi anggota Dewan
Komisaris BPR syariah ditentukan pula bahwa yang bersangkutan wajib memiliki
pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan. Ketentuan ini tidak
mengharuskan yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di
perbankan syariah. Sedangkan Anggota Direksi sekurang-kurangnya
berpendidikan formal setingkat Diploma III atau Sarjana Muda.
Menyangkut komposisi Anggota Direksi, sekurang-kurangnya 50%
(limapuluh persen) dari Anggota Direksi BPR syariah wajib berpengalaman
operasional di bidang perbankan syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau pembiayaan.
Berbeda denngan persyaratan anggota Dewan Komisaris dalam hal
persyaratan bagi Anggota Direksi ditegaskan bahwa yang bersangkutan harus
memiliki pengalaman di bidang perbankan syraiah. Bahkan ditentukan
pengalamannya itu sekrang-kurangnya 2 (dua tahun dan harus di bidang
pendanaan dan atau pembiayaan. Bagi Anggota Direksi yang belum
berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan
perbankan syariah.
Direksi BPR syariah dilarang untuk merangkap jabatan sebagai Anggota
Direksi atau pejabat eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga
lain. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai tugas Anggaran Direksi yang
bersangkutan tidak efektif sebagai anggota Dewan Komisaris BPR syariah yang
bersangkutan, karena terlalu banyaknya melakukan perangkapan jabatan sebagai
anggota Dewan Komisaris di tempat lain.
Anggota Dewan Komisaris BPR syariah tidak dilarang merangkap jabatan
lain, namun membatasi perangkapan itu sebagaimana ditentukan dalam pasal 22
ayat (3), yaitu hanya dapat merangkap jabatan sebagai komisaris sebanyak-
banyaknya pada 3 (tiga) BPR syariah. Anggota Dewan Komisaris BPR syariah
tidak dilarang untuk dapat menjadi Anggota Direksi BPR syariah lainnya.
Dalam hal terjadi penggantian anggota Dewan komisaris dan atau Direksi
BPR syariah, calon pengganti jabatan tersebut wajib memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Demikian juga
kalau ada penggantian atau penambahan pemilik BPR syariah wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
2. Modal
Modal yang harus disetor untuk mendirikan BPR syariah ditetapkan sekurang-
kurangnya sebesar:
a. Rp 2.000.000.000,- (dua milliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan
di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dan
Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Karawang.
b. Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan
di wilayah Ibu Kota Propinsi di luar wilayah seperti tersebut pada butir a di
atas.
c. Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPR syariah yang
didirikan di luar wilayah yang disebut pada butir a dan b di atas.
Modal yang disetor tersebut, digunakan untuk modal kerja bagi BPR
syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50% (lima puluh persen). Dengan
kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian BPR syariah itu tidak boleh
melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya. Sumber dana yang
digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang:
a. Berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
bank dan atau pihak lain di Indonesia.
b. Berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk
kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum.

D. Organisasi/Manajemen BPRS
1. Kepengurusan
Menurut ketentuan pasal 19 SK DIR BI 32/36/1999, kepengurusan BPR
syariah terdiri dari Dewan Komisaris dan Direksi di samping kepengurusan, suatu
BPR syariah wajib pula memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi
mengawasi kegiatan BPR syariah. Jumlah anggota Dewan Komisaris BPR syariah
harus sekurang-kurangnya 1 (satu) orang. Sedangkan direksi BPR syariah
sekurang-kurangnya harus berjumlah 2 (dua) orang.
Anggota direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga dengan:
a. Anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua, termasuk
mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar,
suami/istri.
b. Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak, dan
suami/istri.
Untuk menjaga konsistensi dan kelangsungan usaha BPR syariah,
ditentukan bahwa:
a. BPR syariah dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
b. BPR syariah tidak diperkenankan untuk mengubah kegiatan usahanya
menjadi BPR konvensional.
c. BPR syariah yang semula memiliki ijin usahanya sebagai BPR
konvensional dan telah memperoleh ijin perubahan kegiatan usaha
menjadi berdasarkan prinsip syariah, tidsk diperkenankan untuk
mangubah status menjadi BPR konvensional.
BPR syariah yang telah mendapatkan ijin usaha dari Direksi Bank
Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enampuluh)
hari perhitungan sejak tanggal ijin usaha dikeluarkan. Sedangkan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha wajib disampaikan oleh Direksi BPR syariah kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya
kegiatan operasional. Apabila dalam waktu melakukan kegiatan usaha lebih dari
waktu yang telah ditentukan maka Direksi Bank Indonesia membatalkan ijin usaha
yang telah dikeluarkan.
2. Pembukaan Kantor Cabang
BPR syariah dapat membuka kantor cabang hanya dalam wilayah propinsi
yang sama dengan kantor pusatnya. Pembukaan kantor cabang BPR syraiah dapat
dilakukan hanya dengan ijin Direksi Bank Indonesia. Rencana pembukaan kantor
cabang wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR syariah.
BPR syriah yang akan membuka kantor cabang wajib memenuhi
persyratan tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir tergolong sehat.
Dan dalam pembukaan kantor cabang BPR syariah wajib menambah modal disetor
sekurang-kurangnya sebesar jumlah untuk mendirikan BPR syariah untuk setiap
kantor.

E. Kendala dan Strategi Pengembangan BPR Syariah


Dalam prakteknya BPR syariah mengalami berbagai kendala, kendala tersebut
diantaranya adalah:
1. Kiprah BPR syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang
berprinsipkan syariah, bahkan beberpa pihak menganggap BPR syariah
sama dengan BPR konvensional. Oleh karena itu, BPR syriah perlu
menegaskan dan meneguhkan identitasnya sebagai BPR yang
menggunakan prinsip-prinsip syariah.
2. Upaya untuk meningkatkan profesionalitas kadang terhalang rendahnya
sumber daya yang dimiliki oleh BPR syariah sehingga sehingga
profesionalitas kadang terhalang rendahnya sumber daya yang dimiliki
oleh BPR syariah sehingga proses BPR syariah dalam melakukan
aktivitasnya cenderung lambat dan respon terhadap permasalahan ekonomi
rendah. Maka upaya untuk meningkatkan SDM perlu diarahkan disemua
posisi, baik diposisi pemegang kebijakan atau berposisi di lapangan.
3. Kurang adanya koordinasi di antara BPR syariah, demikian juga dengan
bank syariah dan BMT, sebagai lembaga keuangan yang mempunyai
tujuan syiar Islam tentunya langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan
strategi yang terpadu dapat dilakukan guna mengangkat ekonomi
masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan framework yang bisa dijadikan
acuan di antara lembaga keuangan ditingkat kabupaten, kecamatan, desa
ataupun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa mengesampingkan
keberadaan lembaga keuangan lain.
4. Sebagai lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga
bertanggung jjawab terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada
disekitar BPR syariah tersebut. Aktivitas BPR syariah di bidang keuangan
sering kali tidakk “menyisakan” waktu untuk melakukan aktivitas yang
berhubungan dengan syiar Islam, artinya aktivitad keuangan BPR syariah
termasuk syiar Islam di bidang keuangan, tetapi aktivitas keislaman yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat secara umum perlu juga
diperhatikan. BPR syariah perlu memprakarsai terbentuknya majelis-
majelis taklim dan semacamnya.
5. Nama Bank Perkreditan Rakyat Syariah, masih menyisakan kesan sistem
BPR syariah menggunakan sistem BPR konvensional. Kata “perkreditan”
tidak ada dalam terminology bank dan lembaga kaeuangan syariah. Oleh
karenanya, baik kiranya nama BPR syariah diganti.
Adapun strategi pengembangan BPR syariah yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1. Langkah-langkah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah, bukan
saja produknya tetapi sistem yang digunakannya perlu diperhatikan. Upaya
ini dapat dilakukan melalui BPR syariah sendiri dengan menggunakan
strategi pemasaran yang halal, seperti; melalui informasi mengenai BPR
syariah di media-media masa. Hal ini yang ditempuh adalah perlunya
kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan atau non pendidikan
yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR syariah untuk
mensosialisasikan keberadaan BPR syariah.
2. Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui
pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah serta lingkungan
yang mempengaruhinya. Untuk itu diperlukan kerjasama di antara BPR
syariah atau kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan untuk
membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syariah atau kursus pendek
(shortcourse) lembaga keuangan syariah. Pusat pendidikan dan shortcourse
tersebut memiliki tujuan untuk menyediakan SDM yang siap kerja di
lembaga keungan syariah, khusus BPR syariah.
3. Melalui pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui
berapa besar kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang
lain dalam mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu
pula dapat dilihat kesinambungan kerja di antara BPR syariah, demikian
juga kesinambungan kerja BPR syariah dengan bank syariah dan BMT.
Sehingga hal ini akan meningkatkan koordinasi di antara lembaga
keuangan syariah.
4. BPR syariah bertanggung jawab terhadap masalah keislaman masyarakat
dimana BPR syariah tersebut berada. Maka perlu dilakukan kegiatan rutin
keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan peran Islam
dalam bidang ekonomi. Demikian jga dengan pola ini dapat membantu
BPR syariah dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada di
masyarakat. Hal ini akan menjadikan kebijakan BPR syariah di bidang
keuangan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat (marketable).[9]
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. BPR syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR
konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.
2. Berdirinya BPR Syariah di Indonesia selain didasari oleh tuntutan
bermuamalah secara Islam yang merupakan keinginan kuat dari sebagian
besar umat Islam di Indonesia, juga sebagai langkah aktif dalam rangka
restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai
paket kebijaksanaan keuangan, moneter, perbankan secara umum.
3. Status hukum BPR diakui pertama kali dalam Pakto tanggal 27 Oktober
1988, sebagai Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan.
4. Tujuan BPR Syari’ah adalah meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat
Islam, menambah lapangan, membina semangat ukhuwah islamiyyah
melalui kegiatan ekonomi.
5. Dalam mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR
syariah yang telah ditentukan dalam UU Perbankan.
6. Dalam pandangan penyusun BPR menurut teori sudah mengacu pada
prinsip-prinsip Islam Ahlus Sunah Wal Jamaah mengedepankan
kemaslahatan umat yang rohmatan lil ‘alamin.

B. SARAN
Demikian makalah ini kami susun. Apabila ada kesalahan dalam menyusun
makalah kami mohon maaf. Kritik dan saran sangat kami butuhkan agar kami apat
menyusun makalah lebih baik. Harapan kami, semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin S, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,


2008.
Ahmad Supriadi, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, STAIN Kudus, Kudus,
2008.
Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi),
EKONISIA, Yogyakarta, 2003.
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait
(BMUI &TAKAFUL) di Indonesia, PT RajaGrafido Persada, Jakarta,
1996.

Anda mungkin juga menyukai