Anda di halaman 1dari 3

“STOP CHILD ABUSE” Aksi atau Diskusi ?

Akhir-akhir ini kembali terjadi kekerasaan yang melibatkan anak anak,


setelah terjadi kekerasaan pada anak di tenggarong yang dimana ayah
dan ibu tirinya ikut terlibat mensiksa anak yang masih berumur 3 tahun
kini terjadi lagi pada bocah laki-laki berusia tujuh tahun di Sangasanga,
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Setelah koma dua hari dalam
perawatan RSUD AW Syachranie, Samarinda. Kini anak tersebut
dinyatakan meninggal setelah mengalami MBO (Mati Batang Otak)
setelah koma 3 hari, Selain penganiyaan korban dibanting kelantai benton
higga menyebabkan kepala korban mengalami pendarahan. Masih
banyak kekerasan anak yang tidak terekspos media. Peristiwa kekerasan
terhadap anak bukan hanya untuk diprihatikan namun harus di tindak
tegas agar tidak terjadi terus menerus yang menyebabkan anak menjadi
takut dan membawa kenangan buruk tersebut hingga ia dewasa

Pernah mendengar fenomena gunung ES, kekerasan terhadap anak ini


mirip sekali dengan fenomena gunung es. Tampak kecil diatas permukaan
tapi besar begitu ditelusuri didalam permukaan Pada kasus kekerasan
terhadap anak ini terus terjadi apabila keluarga, lingkungan sosial, dan
budaya menutupi peristiwa.

Dikutip dari catatan tahunan Komnas Perempuan dan Anak (CATATAHU


2019) terdapat sejumlah temuan, pola dan trend kekerasan yaitu
kekerasaan di ranah privat (korban dan pelaku berada dalam relasi
perkawinan, kekerabatan, atau relasi intim lainnya) baik dalam lingkup
rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Kasus ini masih merupakan
kasus yang dominan dilaporkan. Kasus yang tertinggi dilaporkan adalah
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), kedua, Kekerasan dalam
Pacaran (KDP), dan ketiga Incest. Pemerintah memang selalu membuat
langkah penting dalam pencegahan kekerasan anak melalu iklan di TV,
sosialisasi yang ada, ataupun jargon-jargon diberbagai media, namun
faktanya kasus-kasus yang beredar saat ini sangatlah menyudutkan
pengaruh yang diterima anak dari lingkungannya, untuk itu permasalahan
ini juga harus dikembalikan kepada “Peran penting orang tua” dalam
melakukan pembentukan dan pengawasan terhadap lingkungan sekitar.
Diskusi harus sering dilakukan antara anak dan orangtua meskipun hanya
sebatas cerita sang anak tentang sekolahnya, buatlah sosok orang tua
hadir saat anak menginginkannya.

Menurut saya ketika membahas solusi terhadap kasus yang ada saat
sekarang adalah kembali ke “Pilar Keluarga” Nilai-nilai, norma-norma, dan
keyakinan manusia dibangun dari keluarga. Keluargalah yang paling
dominan membentuk sikap dan perilakunya. Setiap orang yang telah
dewasa pasti pernah tumbuh menjadi anak. Menjalani masa-masa penuh
kebahagiaan. Mempelajari hal-hal baru tanpa harus memikirkan risikonya.
Memandangi hidup dengan kepolosan. Bergerak tanpa beban sedikitpun.
Hanya tawa dan tawa. Jika terjatuh dan kesakitan, ya tinggal menangis
tanpa harus ditahan karena suatu alasan. Jika lapar, ya tinggal merengek
ke orangtua. Tapi apakah semua anak-anak menjalani kehidupan yang
demikian? Jawabnya: tidak semua. Alasan dari setiap orang tua dan
pelaku yang terjerat kasus kekerasan pasti mengatakan bahwa anak itu
nakal dan menjadi beban saja, Pantaskah kita sebagai orang tua
mengatakan seperti itu ?

Kekerasan pada anak tak hanya berhubungan dengan penyiksaan fisik


tapi juga penyiksaan emosi, pelecehan seksual dan pengabaian. Hal
tersebut ditandai dengan Orang tua yang menunjukkan sikap
penolakan pada anak, baik secara sadar maupun tidak, akan
membuat anak merasa tidak diinginkan. Contoh penolakan yang
sering terjadi, antara lain menyuruh anak pergi, menyebut anak tidak
berharga, menyalahkan anak, berteriak, menghina, dan menghukum
anak di luar rumah. Orang tua yang mengancam, berteriak, dan
mengutuk anak bisa membuat psikologi anak mereka rusak Kembali
lagi bagaimana orang tua memberikan kasih sayang kepada anak dan
kesiapan untuk menanggung tanggung jawab dalam keluarga .

"Masa depan bangsa berada ditangan anak-anak Indonesia." Kalimat ini


sering kita dengar saat berbicara tentang anak. Sebab keadaan anak-
anak Indonesia saat ini merupakan cerminan pembangunan Indonesia di
masa depan. Langkah untuk mewujudkannya dengan memenuhi hak-hak
anak. Jika hak anak sudah terpenuhi, anak akan berkembang dan menjadi
sumber daya manusia yang berkualitas

Penulis : Lia Ariani Mahasiswa Bimbingan dan Konseling


Universitas Mulawarman

Anda mungkin juga menyukai