Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan dan kelahiran dianggap sebagai suatu kejadian fisiologis yang pada
sebagian besar wanita berakhir dengan normal dan tanpa komplikasi (Departmen
of Health, 1993). Pada akhir masa puerperium, pemulihan persalinan secara
umum dianggap telah lengkap. Pandangan ini mungkin terlalu optimisis Bagi
banyak wanita, pemulihan adalah sesuatu yang berlangsung terjadi menjadi
seorang ibu adalah proses fisiologis yang normal.Namun beberapa studi terbaru
mengungkapkan bahwa masalah-masalah kesehatan jangka panjang yang terjadi
setelah melahirkan adalah masalah yang banyak ditemui (Hillan, 1992b; glazener
et al. 1993; bick dan MacArthur,1995a), dapat berlangsung dalam waktu lama
(macArthuretal.1991). Pengetahuan menyeluruh tentang perubahan fisiologis dan
psikologis pada masa puerperium adalah sangat penting jika bidan menilai status
kesehatan ibu secara akurat dan memastikan bahwa pemulihan sesuai dengan
standar yang diharapkan. Hal yang sama pentingnya adalah menyadari potensi
morbiditas pascapartum dalam jangka panjang dan factor-faktor yang
berhubungan dengannnya seperti obstetric, anestesi dan faktor social. Definisi
dari pendarahan pervaginam postpartum adalah pendarahan dengan banyaknya
darah yang lebih dari 500ml, sesudah kala III. Perdarahan ini bisa terjadi segera
setelah melahirkan. Terutama pada dua jam pertama post partum. Jika terjadi
perdarahan, maka tinggi rahim akan bertambah naik, tekanan darah menurun,
dan denyut nadi ibu menjadi cepat ( Rukiyah, 2010)
Perdarahan pasca partum adalah perdarahan yang terjadi setelah kelahiran bayi
sebelum selama dan sesudah keluarnya plasenta. (Harry Oxorn, 2010).
Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan melebihi 500 ml pasca persalinan
setelah bayi lahir. (Ambar, 2010). Definisi Perdarahan Postpartum adalah
perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir.( Sarwono ,2008).

B. Tujuan

1
1. Memberikan asuhan Kebidanan Patologi dan Kegawatdaruratan pada masa
Nifas yang meliputi pengkajian, perumusan diagnosa, pengembangan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan dokumentasi.

C. Waktu dan Tempat Pengambilan Kasus


Praktik Kebidanan Patologi dan Kegawatdaruratan pada masa Nifas
dilaksanakan pada tanggal 17 Juni sampai dengan 27 Juni 2019. Tempat
pengambilan kasus yaitu di ruang Nifas RSUD Tabanan.

D. Manfaat Penulisan Laporan


Manfaat penulisan laporan yaitu untuk dapat melaporkan hasil dari praktik
terintegrasi di ruang Nifas RSUD Tabanan yang mengacu pada pengkajian kasus
yang ditangani di ruangan tersebut. Sehingga mahasisswa mampu berpikir kristis
dan dapat memberikan asuhan kebidanan yang tepat pada kasus patologis dan
kegawatdaruratan selama masa Nifas

BAB II
KAJIAN TEORI

2
A. Asuhan Pada Keadaan Patologis Dan Kegawatdaruratan Selama Masa
Nifas

1. Perdarahan Masa Nifas

a. Pengertian Perdarahan Masa Nifas


Definisi dari pendarahan pervaginam postpartum adalah
pendarahan dengan banyaknya darah yang lebih dari 500ml, sesudah
kala III. Perdarahan ini bisa terjadi segera setelah melahirkan.
Terutama pada dua jam pertama post partum. Jika terjadi perdarahan,
maka tinggi rahim akan bertambah naik, tekanan darah menurun, dan
denyut nadi ibu menjadi cepat ( Rukiyah, 2010)
Perdarahan pasca partum adalah perdarahan yang terjadi
setelah kelahiran bayi sebelum selama dan sesudah keluarnya plasenta.
(Harry Oxorn, 2010). Perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan
melebihi 500 ml pasca persalinan setelah bayi lahir. (Ambar, 2010).
Definisi Perdarahan Postpartum adalah perdarahan yang melebihi 500
ml setelah bayi lahir.( Sarwono ,2008).
Klasifikasi klinis perdarahan post partum dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Perdarahan Pasca Persalinan Primer, yaitu perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam pertama.
b. Perdarahan pasca persalinan Sekunder , yaitu perdarahan yang
terjadi setelah 24 jam pertama (Rukiyah, 2010)
Menurut waktu kejadiannnya, perdarahan post partum dibagi atas:
a. Perdarahan postpartum primer yang terjadi dalam 24 jam setelah
bayi lahir dengan jumlah 500 cc atau lebih.
b. Perdarahan postpartum sekunder yang terjadi lebih dari 24 jam
sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran bayi, dengan jumlah
500cc atau lebih (I.B.G Manuaba, 2007)

b. Tanda-tanda Perdarahan Masa Nifas secara umum

3
a. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh
kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang
merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga
akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun
jatuh kedalam syok.
b. Pasien mengeluh lemah,limbung, berkeringat dingin, menggigil

c. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala


penurunan tekanan darah (sistolik <90 mmHg) nadi (>100x/menit)
dan napas cepat, pucat (Hb <8%), extremitas dingin, sampai terjadi
syok. (Ambar, 2010)

c. Patofisiologi Perdarahan pada Masa Nifas


a. Pendarahan Pasca Persalinan primer disebabkan oleh atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan lahir
b. Perdarahan Pasca Persalinan Sekunder adalah perdarahan yang
disebabkan oleh robekan jalan lahir, dan sisa plasenta atau
membran (Rukiyah ,2010)
d. Etiologi Perdarahan Masa Nifas
Perdarahan pada Masa Nifas Primer :
A. Atonia Uteri
1. Pengertian Atonia Uteri
Atonia uteri yaitu ketidakmampuan uterus untuk
berkontraksi sebagaimana mestinya setelah plasenta lahir.
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada
disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat
perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium
tidak dapat berkontraksi (Wiknjosastro,2002).

2. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang selalu ada pada perdarahan postpartum
akibat Atonia Uteri adalah

4
a. Perdarahan segera setelah anak lahir
b. Pada palpasi, meraba Fundus Uteri disertai perdarahan
yang memancur dari jalan lahir.
c. Perut terasa lembek atau tidak adanya kontraksi
d. Perut terlihat membesar (Saifuddin, 2002)
e. Nadi lemah dan cepat (110 kali/menit atau lebih).
f. Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik<90 mmHg.
g. Napas cepat dengan frekuensi 30 kali/menit atau lebih.
h. Urine kurang dari 30 cc/jam.
i. Bingung, gelisah atau pingsan.
j. Berkeringat atau kulit menjadi dingin dan basah.
k. Pucat. (Sulistyawati, 2009)
3. Data Fokus
1. Data subjektif
a) Masa hamil
(1) Umur pasien.
(2) Paritas.
(3) Jarak kelahiran anak.
(4) Sosial-ekonomi.
(5) Pekerjaan (berat-ringannya aktivitas sehari-
hari).
(6) Riwayat kesehatan reproduksi.
(7) Pola pemenuhan kebutuhan nutrisi.
(8) Keluhan yang berhubungan dengan keadaan
anemia defisiensi zat besi.
b) Dilanjutkan pada waktu inpartu
(1) Semangat untuk mengeluarkan bayinya.
(2) Keluhan yang berhubungan dengan kekuatan
tubuh
(3) Perasaan capek, pandangan mata berkunang-
kunang.
(4) Kontraksi yang tidak teratur.
2. Data Objektif
a) Mulai masa hamil
(1) Keadaan Umum
(2) Kesadaran.
(3) Vital sign.

5
(4) Tanda-tanda anemia defisiensi zat besi
(konjungtiva, warna kulit, warna ujung jari,
kadar Haemoglobin,dll).
(5) Status gizi ibu hamil.
(6) Kenaikan berat badan.
(7) DJJ.
b) Dilanjutkan pada waktu in partu
(1) Keadaan umum.
(2) Hasil pemantauan partograf (warning di garis
waspada).
(3) Proses kelahiran plasenta (spontan, dengan
eksplorasi, waktu lahirnya plasenta apakah lebih
dari 1 jam).
(4) Apakah persalinan dengan pacuan uterotonika.
(5) Pemantauan kontraksi uterus di 2 jam
postpartum. (Sulistyawati, 2009)
3. Penatalaksanaan
Penanganan atonia uteri yang mengacu pada Standar
Pelayanan Kebidanan adalah :
a. Berikan 10 unit oksitosin Intra Muscular (IM).
b. Lakukan masase uterus untuk mengeluarkan gumpalan
darah. Periksa lagi apakah plasenta utuh dengan teknik
aseptic, menggunakan sarung tangan DTT/steril, usap
vagina dan ostium serviks untuk menghilangkan
jaringan plasenta atau selaput ketuban yang tertinggal.
c. Jika kandung kemih ibu dapat dipalpasi, gunakan
teknik aseptic untuk memasang kateter ke dalam
kandung kemih.
d. Lakukan kompresi bimanual internal maksimal 5 menit
atau hingga perdarahan dapat dikendalikan dan uterus
berkontraksi dengan baik.
e. Anjurkan keluarga untuk memulai proses rujukan.
f. Jika perdarahan dapat dikendalikan dan kontraksi mulai
membaik maka :
1) Teruskan kompresi bimanual selama 1-2 menit
atau lebih.

6
2) Keluarkan tangan dari vagina dengan hati-hati.
3) Pantau kala IV persalinan dengan seksam,
termasuk sering melakukan masase uterus untuk
memeriksa atonia, mengamati perdarahan dari
vagina, serta tekanan darah dan nadi.
4) Jika perdarahan tidak terkendali dan uterus tidak
berkontraksi dengan baik dalam waktu 5 menit
setelah dimulainya kompresi bimanual pada
uterus maka :
a) Intruksikan salah satu anggota keluarga untuk
melakukan kompresi bimanual interna.
b) Keluarkan tangan dari dalam vagina dengan
hati-hati.
c) Jika tidak ada tanda hipertensi dari ibu maka
berikan metergin 0.2 mg IM.
d) Mulai pasang infus Ringer Laktat (RL) 500 cc
+ 20 unit oksitosin menggunakan jarum
berlobang besar (16G atau 18G) dengan
teknik aseptic. Berikan 500 cc pertama
secepat mungkin dan teruskan dengan infus
RL + 20 unit oksitosin yang kedua.
5) Jika uterus tetap atoni dan/atau perdarahan tetap
berlangsung, ulangi kompresi bimanual interna.
6) Jika uterus berkontraksi, lepaskan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala IV persalinan
dengan cermat.
7) Jika uterus tidak berkontraksi, rujuk segera ke
tempat di mana operasi dapat dilakukan.
8) Damping ibu ke tempat rujukan. Teruskan infus
RL dengan kecepatan 500 cc/jam hingga ibu
mendapat total 1.5 liter dan turunkan kecepatan
hingga 125 cc/jam.
9) Jika ibu menunjukan gejala dan tanda syok maka
rujuk segera dan lakukan tindakan berikut.

7
(a) Jika infus belum diberikan, mulsi berikan
instruksi tersebut.
(b) Pantau ibu dengan cermat vital sign pasien
tiap 15 menit.
(c) Baringkan ibu dengan posisi miring agar jalan
napas ibu tetap terbuka dan meminimalkan
risiko aspirasi jika ibu muntah.
(d) Selimuti ibu agar tetap hangat, tetapi jangan
membuat ibu kepanasan.
(e) Jika mungkin, naikkan kakinya untuk
meningkatkan darah kembali ke jantung.
10) Bila perdarahan tetap berlansung dan kontraksi
uterus tetap tidak ada maka kemungkinan terjadi
rupture uteri (syok cepat tidak sebanding dengan
darah yang keluar, abdomen teraba keras, dan
fundus mulai naik). Hal ini juga memerlukan
rujukan segera ke RS.
11) Bila kompresi bimanual tidak berhasil, cobalah
kompresi aorta. Cara ini dilakukan pada keadaan
darurat , sementara penyebab perdarahan sedang
dicari.
12) Perkirakan jumlah darah yang keluar dan cek
dengan teratur vital sign.
13) Buat cacatan yang seksama tentang semua
penilaian, tindakan yang dilakukan dan semua
pengobatan yang sudah diberikan, termasuk saat
pencatatan.
14) Jika tidak dapat diperbaiki maka segera rujuk.
Keterlambatan akan berbahaya.
15) Jika perdarahan berhasil dikendalikan, ibu harus
diamati dengan ketat untuk gejala dan tanda
infeksi. Berikan antibiotik jika terjadi infeksi,
misalnya Ampisilin 1 gram IM, diikuti dengan

8
500 mg per oral setiap 6 jam ditambah
Metronidazole 400-500 mg per oral setiap 8 jam
selama 5 hari. (Sulistyawati, 2009)

B. Retensio Plasenta
1. Pengertian
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum
lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah
bayi lahir (Saifuddin, 2002). Menurut tingkat perlekatannya
retensio plasenta terbagi atas beberapa bagian, antara lain:
a. Plasenta adhesiva, yaitu implantasi yang kuat dari jojot
korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan
mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta
hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta
hingga mencapai atau memasuki miometrium.
d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta
yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan
serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta di dalam
kavum uteri, disebabkan oleh kontriksi ostium uteri
(Saifuddin, 2002).
2. Data Fokus
1) Data subjektif
Mulai hamil: Paritas, Umur dan Riwayat persalinan
sebelumnya
Masa Inpartu: Pasien mengatakan belum merasakan mulas
setelah bayinya lahir
2) Data Objektif
Mulai hamil: Hasil pemeriksaan ANC

9
Masa Inpartu: Perdarahan yang terjadi sebelum plasenta
lahir lengkap, Uterus tidak berkontraksi, Plasenta tidak
lahir dalam 15 menit setelah bayi lahir (Sulistyawati, 2009)
3. Tanda dan Gejala
Gejala yang selalu ada adalah plasenta belum lahir
dalam 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik.
Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu tali pusat putus akibat
traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan
lanjutan. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta), gejala yang
selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung
pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera. Gejala
yang kadang-kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi
tinggi fundus tidak berkurang.

4. Penatalaksanaan
Apabila plasenta belum lahir 30 menit setelah anak
lahir, maka harus diusahakan untuk mengeluarkannya
(Wiknjosastro, 2002). Setelah bayi lahir dilakukan dengan
segera manajemen aktif kala III yaitu:
a. Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama
setelah bayi lahir.
b. Melakukan penegangan tali pusat terkendali.
c. Massase fundus uteri.
Bila plasenta tidak lahir dalam 15 menit sesudah bayi
lahir, ulangi penatalaksanan aktif persalinan kala tiga dengan
memberikan oksitosin 10 IU intramuskuler dan teruskan
penegangan tali pusat terkendali dengan hati-hati. Teruskan
melakukan penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir
kalinya. Jika plasenta masih tetap belum lahir, rujuk segera

10
kerumah sakit. Bila terjadi perdarahan, maka plasenta harus
segera dilahirkan secara manual.
Prosedur Plasenta Manual
1) Berikan cairan IV : Nacl 0,9% atau RL dengan tetesan
cepat jarum berlubang besar (16 atau 18G) untuk
mengganti cairan yang hilang sampai nadi dan tekanan
darah membaik atau kembali normal.
2) Siapkan peralatan untuk melakukan tehnik manual, yang
harus dilakukan secara aseptik.
3) Baringkan ibu telentang dengan lutut ditekuk dan kedua
kaki ditempat tidur.
4) Jelaskan kepada ibu apa yang akan dilakukan dan jika ada
berikan diazepam 10 mg IM.
5) Cuci tangan sampai kebagian siku dengan sabun, air
bersih mengalir dan handuk bersih, gunakan sarung tangan
panjang steril/DTT.
6) Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong.
7) Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari
vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai.
8) Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung
tangan menghadap kebawah) kedalam vagina dengan
menelusuri sisi bawah tali pusat.
9) Setelah mencapai bukaan serviks, minta seorang
asisten/penolong lain untuk memegang klem tali pusat
kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus
uteri.
10) Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam
hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat
implantasi plasenta.

11
11) Bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti
memberi salam (ibu jari merapat kejari telunjuk dan jari-
jari lain saling merapat).
12) Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta
paling bawah. Bila plasenta berimplantasi di korpus
belakang, tali pusat tetap disebalah atas dan disisipkan
ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus
dimana punggung tangan menghadap ke bawah (posterior
ibu). Bila di korpus depan maka pindahkan tangan ke
sebelah atas tali pusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan
diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung
tangan menghadap ke atas (anterior ibu)
13) Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan
dinding uterus maka perluasan pelepasan plasenta dengan
jalan menggeser tangan ke kanan dan ke kiri sambil
digeser ke atas (kranial ibu) hingga semua perlekatan
plasenta terlepas dari dinding uterus.
14) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri,
lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang
tertinggal.
15) Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan
segmen bawah uterus) kemudian instruksikan
asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan
dalam membawa plasenta keluar.
16) Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan
suprasimfisis) uterus ke arah dorsokranial setelah plasenta
dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang
telah disediakan.
17) Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan
peralatan lain yang digunakan.

12
18) Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya
di dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Cuci tangan
dengan sabun dan air bersih mengalir. Periksa kembali
tanda vital ibu. Catat kondisi ibu dan buat laporan
tindakan. Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang
masih di perlukan dan asuhan lanjutan. Lanjutkan
pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan (JNPK,
2007).

C. Ruptur Uteri
1. Pengertian
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat
kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya
perineum visceral. (Wiradikusumah, 2011)
2. Tanda–tanda dan Gejala
a. Dalam tanya jawab dikatakan telah ditolong atau didorong oleh
dukun atau bidan, partus sudah lama berlangsung.

b. Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri


diperut. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan
mengerang kesakitan, bahkan meminta supaya anaknya secepatnya
dikeluarkan.

c. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya.

d. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged laboura),


yaitu mulut kering, lidah kering dan halus badan panas (demam).

e. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus menerus.

f. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang,


tebal dan keras terutama sebelah kiri atau keduannya.

13
g. Pada waktu datangnya his, korpus uteri teraba keras (hipertonik)
sedangkan SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.

h. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik


dan teregang keatas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung
kemih, maka pada kateterisasi ada hematuria.

i. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur


(asfiksia).

j. Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari


obstruksi, seperti edema portio, vagina, vulva dan kaput kepala
janin yang besar.( Prawirohardjo, 2008)

3. Penatalaksanaan
a. Pertolongan yang tepat untuk ruptur uteri adalah laporotomi
sebelumnya penderita diberi transfusi darah atau sekurang-
kurangnya infus cairan garam fisiologik/ringer laktat untuk
mencegah terjadinnya syok hipovolemik.
b. Umumyna histerektomi dilakukan setelah janin yang berada
dalam rongga perut dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya
dilakukan pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan
masih segar dan rata, serta tidak terlihat adanya tanda-tanda
infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan nekrosis.
Histerorofi pada ibu-ibu yang sudah mempunyai cukup anak
dianjurkan untuk dilakukan pula tubektomi pada kedua tuba
(primary), sedangkan bagi ibu-ibu yang belum mempunyai anak
atau belum merasa lengkap keluarganya dianjurkan untuk orang
pada persalinan berikutnya untuk dilakukan seksio sesaria
primer. (Prawirohardjo, 2008)

D. Inversio Uteri
1. Pengertian

14
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk kedalam
cavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba,
1998).
2. Gejala Klinis :
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas di jumpai
pada kala III persalinan atau post partum. Akan tetapi, apabila kelainan
itu sejak awalnya timbul dengan cepat maka :
a. Rasa nyeri yang hebat dan dapat menimbulkan syok. Rasa
nyeri yang hebat tersebut disebabkan karena fundus uteri
menarik adneksa serta ligamentum infundibulopelvikum
dan ligamentum rotundum kanan dan kiri ke dalan
terowongan inversio sehingga terjadi tarikan yang kuat
pada peritoneum parietal.
b. Perdarahan yang banyak akibat dari plasenta yang masih
melekat pada uterus, hal ini juga dapat berakibat syok.
c. Uterus terlihat
d. Uterus bisa terlihat sebagai tonjolan mengkilat, merah
lembayung di vagina
e. Plasenta mungjin masih melekat (tampak tali pusat)
f. Pada pemeriksaan luar palpasi abdomen, fundus uteri
sama sekali tidak teraba atau teraba lekukan pada fundus
seperti kawah. Kadang-kadang tampak seperti sebuah
tumor yang merah di luar vulva, hal ini ialah fundus uteri
yang terbalik
g. Lumen vagina terisi massa
h. Pada pemeriksaan dalam, bila masih inkomplit maka pada
daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke
dalam.
i. Bila sudah komplit, di atas simfisis teraba kosong dan
dalam vagina teraba tumor lunak atau cavum uteri sudah
tidak ada (terbalik)
3. Data Fokus
a. Pemeriksaan umum :
a) Kesadaran menurun atau tidak sadar
b) Nadi cepat lemah (110 kali per menit)

15
c) Tekanan darah rendah (sistolik kurang dari 90 mmHg)
d) Nafas cepat (lebih dari 30 kali permenit)
b. Pemeriksaan fisik :
a) Pemeriksaan wajah : pucat berkeringat atau dingin
b) Pemeriksaa kulit : lembab
c) Pemeriksaan abdomen :
Fundus uteri sama sekali tidak teraba di bawah pusat atau
teraba lekukan pada fundus , tonus otot rahim yang lemah.
Pemeriksaan genetalia :
Produksi urin sedikit (kurang dari 30 kali/menit), Perdarahan
bergumpal.
VT : Kanalis servikalis yang longgar.
(1) Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus
teraba fundus uteri cekung ke dalam.
(2) Bila komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan
dalam vagina teraba tumor lunak.
(3) Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).

4. Penatalaksanaan
a. Bila terjadi syok atau pendarahan, gejala ini diatasi dulu dengan
infus intravena cairan elektrolit dan tranfusi darah.
b. Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya renjatan vasovagal dan
pendarahan maka harus segera dilakukan tindakan reposisi secepat
mungkin.
c. Segera lakukan tindakan reposisi
d. Bila plasenta masih melekat, jangan dilepas oleh karena tindakan
ini akan memicu perdarahan hebat
e. Salah satu tehnik reposisi adalah dengan menempatkan jari tangan
pada fornix posterior, dorong uterus kembali ke dalam vagina,
dorong fundus kea rah umbilicus dan memungkinkan ligamentum
uterus menarik uterus kembali ke posisi semula.
f. Sebagai tehnik alternatif dengan menggunakan 3-4 jari yang
diletakan pada bagian tengah fundus dilakukan dorongan ke arah
umbilicus sampai uterus kembali ke posisi normal.
g. Setelah reposisi berhasil, tangan dalam harus tetap di dalam dan
menekan fundus uteri. Berikan oksitosin atau suntikan intravena 0,2

16
mg ergomitrin kemudian dan jika dianggap masih perlu, dilakukan
tamponade uterovaginal dan setelah terjadi kontraksi, tangan dalam
boleh dikeluarkan perlahan agar inversion uteri tidak berulang.
h. Bila reposisi per vaginam gagal, maka dilakukan reposisi melalui
laparotomi (Sulistyawati,2009)

E. Gangguan Pembekuan Darah


1. Pengertian
Terhentinya/penghentian aliran darah dari pembuluh darah yang
terluka disebut hemostatis.
2. Data Fokus
a. Subjektif
Keluar darah bergumpal dari alat kemaluan
b. Objektif
1) Adanya pengeluaran darah > 400 cc, parturient tampak
pucat, pada keadaan serius tampak tanda-tanda syok
2) Pada kehilangan darah lebih dari 25%, dijumpai TTV
(Tensi:turun, Nadi:lemah dan cepat, RR:meningkat,
Suhu:turun)
3) Perdarahan dari tempat lain, missal vagina, hidung,
gusi, kulit, dll
4) Darah yang keluar sama sekali tidak ada gumpalan,
walau sudah terkena udara
5) Faal hemostatis yang abnormal
6) Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang
7) Trombositopenia, terjadi hipofibriogenemia dan
terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product)
serta perpanjangan tes protombin dan PTT (partial
thromboplastin time). (Sarwono, 2008)
3. Gejala
a. Perdarahan berlangsung terus
b. Merembes dari tempat tusukan (Chapman, 2006)
c. Adanya perdarahan spontan dari gusi atau hidung,
munculnya petekie di sekeliling manset pada lengannya
saat pemeriksaan tekanan darah. Perdarahan berlebihan
dapat terjadi dari tempat trauma, misal pada tempat injeksi,
tempat pungsi vena, daerah pubis dan vulva setelah

17
pencukuran, dan cedera akibat insersi kateter urin. Gejala
yang lain adalah takikardi dan diaforesis; penurunan
trombosit, fibrinogen dan protrombin (faktor-faktor yang
dikonsumsi selama koagulasi). (Edukia, 2013)

4. Penatalaksanaan
a. Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut,
koagulopati dapat dicegah jika volume darah dipulihkan
segera.
b. Tangani kemungkinan penyebab (solusio plasenta,
eklampsia).
c. Berikan darah lengkap segar, jika tersedia, untuk
menggantikan faktor pembekuan dan sel darah merah.
d. Jika darah lengkap segar tidak tersedia, pilih salah satu di
bawah ini:

1) Plasma beku segar untuk menggantikan faktor


pembekuan (15 ml/kg berat badan) jika APTT dan PT
melebihi 1,5 kali kontrol pada perdarahan lanjut atau
pada keadaan perdarahan berat walaupun hasil dari
pembekuan belum ada.
2) Sel darah merah (packed red cells) untuk penggantian
sel darah merah.

3) Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen.

4) Konsentrasi trombosit (perdarahan berlanjut dan


trombosit < 20.000).

5) Apabila kesulitan mendapatkan darah yang sesuai,


berikan darah golongan O untuk penyelamatan jiwa.
(Edukia, 2013)

F. Perdarahan pada Masa Nifas Sekunder :

18
1. Robekan Jalan Lahir (Robekan Perineum)
a. Pengertian
Robekan perineum terjadi pada hampir selama persalinan
pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya.
Namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan cara
menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin
dengan cepat. Dan adanya obekan perineum ini dibagi menjadi
robekan perineum derajat 1, robekan perineum derajat 2,
robekan perineum derajat 3 dan 4.
Derajat laserasi jalan lahir adalah sebagai berikut :
Derajat I : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum.
Derajat II : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum.
Derajat III : mukosa vagina komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spingter ani
eksterna
Derajat IV : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spingter ani
eksterna, dinding rektum anterior. (Ali Yeyeh,
2010, 311)
b. Data Fokus
a. Data subjektif :
a) Masa hamil
b) Umur pasien
c) Paritas
b. Data objektif
a) Mulai masa hamil
b) Tinggi badan pasien
c) Taksiran berat janin
d) Elastisitas otot perineum melalui pemeriksaan
ginekologik.
e) Presentasi

c. Penatalaksanaan Robekan Jalan Lahir

19
1) Untuk mencegah luka robek dan pinggir luka yang tidak
rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan dilakukan
episiotomy.
2) Bila dijumpai robekan perineum dilakukan penjahitan luka
dengan baik, lapis demi lapis, dengan memperhatikan
jangan ada robekan yang terbuka kearah vagina yang
biasanya dapat dimasuki oleh bekuan darah yang akan
menyebabkan luka lama sembuh.
3) Dengan memberikan antibiotik yang cukup (Mochtar,
2005)

F. PARTUS DENGAN TINDAKAN


1. Seksio Sesaria (Sc)
a. Pengertian
Seksio Caesarea adalah kelahiran janin melalui insisi trans
abdomen pada uterus.Seksio sesaria merupakan tindakan paling
konservatif dalam kebidanan. Seksio sesaria semakin meningkat
sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan dalam menolong
persalinan (Manuaba,2005 hal, 507).
Operasi Caesar dilakukan atas dasar :
1) Bayi dalam keadaan gawat janin harus dilahirkan segera
2) Plasenta berada di bagian dasar rahim atau menghalangi jalan
lahir
3) Ibu dengan masalah kesehatan seperti jantung atau tekanan
darah tinggi
4) Ibu dengan panggul sempit
5) Kelainan letak janin
6) Riwayat operasi Caesar sebelumnya

b. Tindakan Post Operasi Sectio Caesaria


1) Pengukuran denyut jantung dan tekanan darah. Pengukuran ini
biasanya dilakukan beberapa kali dalam sehari.
2) Jika pasien mendapat bius epidural maka efek biusnya kecil,
sedangkan apabila menggunakan anastesi spinal, tungkai
bawah akan terasa kebas/baal, tidak dapat digerakan selama
beberapa jam. Namun, apabila operasi mengunakan anastesi

20
umum, biasanya pasien akan mengantuk, serta nyeri
kerongkongan (akibat selang yang biasanya dimasukan
kedalam mulut dan kerongkongan untuk membantu
pernafasan). Selain itu, mulutpun terasa kering beberapa jam
setelah operasi. Perasaan letih dan bingung mungin akan
dialami sebagian besar ibu setelah melahirkan. Setelah itu,
mungkin akan timbul perasaan tidak nyaman karena nyeri
didaerah luka, terutama setelah pengaruh obat biusnya
menghilang.
3) Meskipun persalinan dengan operasi, pasien juga dapat
mengalami perdarahan vagina karena cairan lokhea akan
mengalir dari rahim ibu. Jumlah dan penampilan lokhea yang
bercampur darah akan dipantau secara teratur oleh bidan rumah
sakit dengan menanyakan kepada pasien atau jika diperlukan
akan pemeriksaan langsung dari pembalutnya.
4) Bidan juga akan mencatat dan memeriksa air seni yang keluar
dan tertampung dikantong urine selama ibu masih
menggunakan kateter. Kateter masih dipakai, sampai ibu masih
merasa kuat bangun dari tempat tidur. Selain itu ditanyakan
pula berapa kali sudah buang air besar. Kateter untuk
membuang air kecil akan terus digunakan sampai 12-24 jam
pasca bedah. Namun apabila warna urine jernih maka
pemasangan kateter akan berlangsung lebih lama. Kateter akan
dipasang sampai 48 jam atau lebih jika pembedahannya akibat
rupture uteri, partus lama atau macet, oedema perineum yang
luas dan sepsis puerperalis atau pelvio peritonitis serta
hematuria. Apabila sampai terjadi perlukaan pada kandung
kemih, kateter dipasang sampai 7 hari. Pada umunya buang air
besar pada ibu post SC terjadi pada hari ketiga. Biasanya,
banyak wanita menjadi sembelit setelah persalinan karena

21
sejumlah cairan hilang dari tubuh, sedangkan dubur menyerap
air sebanyak mungkin dari tinja agar cairan tubuh seimbang.
Kejadian ini biasanya terjadi pada hari pertama sampai hari
kelima pasca peralinan Sectio Caesaria. Biasanya diberikan
obat pencahar dari rumah sakit dan menu makanan yang
berserat tinggi seperti sereal dan buah-buahan.
5) Tes darah kadang dilakukan sedikitnya sekali setelah
persalinan untuk memastikan bahwa hemoglobin ibu sudah
kembali normal.
6) Pada beberapa pasien, infus masih tetap dipasang, sampai
kondisi tubuh pasien dikatakan normal biasanya setelah 24 jam
pasca persalinan. Misalnya ibu sudah dapat makan atau
minum dengan baik dan bangun dari tempat tidurnya. Pada
enam jam setelah operasi ibu dapat diberi minuman hangat
sedikit demi sedikit, kemudian secara bertahap lebih banyak
biasanya terjadi pada pasien dengan anastesi regional (jika
tidak muntah). Pada anastesi total biasanya leih lama. Pada
anastesi regional ibu diperbolehkan minum stelah ibu buang
gas. Setelah itu ibu dapat minum sedikit demi sedikit dan
dilanjutkan dengan makan makanan yang lembut.
7) Bekas sayatan juga akan diperiksa, kalau diperlukan perban
akan diganti. Umumnya, kasa pada perut akan diganti pada hari
ketiga atau keempat atau sebelum pulang selanjutnya pasien
dapat menggantinya setiap hari.
8) Mengukur suhu tubuh. Apabila suhu tubuh mencpai 38°C atau
lebih maka harus dicari penyebanya. Kemungkinan terjadi
infeksi dalam tubuh.
9) Gerakan tubuh membantu ibu memperoleh kembali kekuatan
dengan cepat dan mempermudah kerja usus besar serta
kandung kemih, paling tidak ibu bisa buang gas. Pada 6 jam

22
pertama ibu dibantu untuk menggerakan lengan, tangan, kaki,
dan jari-jari agar organ pencernaan segera kembali normal.
Namun apabila gerakan ini masih terasa berat, setidaknya 12
jam setelah operasi sudah mampu mengerakkan kaki dan
tungkai bawah. Berawal dari sini ibu mulai duduk pada jam ke
delapan sampai jam ke dua belas setelah operasi. Ibu dapat
berjalan apabila mampu pada 24 jam setelah operasi. Namun,
pada hari pertama setelah operasi ibu akan berjalan
sempoyongan. Pada hari kedua ibu masih akan terasa lelah dan
terganggu dengan adanya sayatan diperut bagian bawah. Ibu
diminta memulai gerakan dari menggerakan ujung jari kaki,
memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan
otot betis, serta menekuk dan menggeser-geser kaki ke arah
pinggir tempat tidur.
10) Dokter juga akan menannyakan mengenai kontrasepsi yang
mungkin akan dikenakan.
11) Dokter juga akan menganjurkan ibu untuk istirahat cukup
setelah diberikan suntikan untuk mengurangi rasa sakit.
12) Pada hari kedua dan ketiga jika ibu sudah dapat berjalan ibu
diminta ntuk segera membersihkan diri untuk menjaga
kebersihan ibu.
13) Bidan juga akan menunjukan kepada pasien cara
membersihkan tali pusat bayi yang belum putus. Pada beberapa
rumah sakit malah tersedia penyuluhan mengenai hal ini bagi
ibu-ibu yang baru melahirkan.
14) Ibu akan diberi tanggal untuk pemeriksaan pasca persalinan
dengan membawa bayi untuk melakukan pemeriksaan pertama
setelah melahirkan.

c. Perawatan Pasca Operasi

23
1) Perawatan luka insisi
Proses sterilisasi yang baik pada alat-alat operasi dan
kamar bedah, ditambah dukungan antibiotik yang adekuat
membuat perawatan luka operasi menjadi jauh lebih mudah.
Luka pasca operasi dapat diolesi salep antibiotik atau dilapisi
Sofratulle®, lalu ditutup dengan plester plastik sekali pakai
(disposable), yang salah satunya dikenal dipasaran dengan
nama dagang Tegaderm®. Penggunaan plester plastik tersebut
sangat memudahkan pasien karena pasien dapat mandi
meskipun plester baru dibuka pada hari ketujuh atau hari
kedelapan.
2) Komplikasi luka operasi
Secara umum, luka operasi yang ditata laksana secara
adekuat jarang mengalami komplikasi, tetapi pada kasus-kasus
tertentu, dapat dijumpai luka operasi yang basah :
a) Luka operasi yang mengeluarkan darah, eksudat, atau
nanah. Ditata laksana dengan melakukan pemijatan untuk
mengeluarkan semua darah, eksudat ataupun nanah yang
masih ada dibawah kulit. Setelah tidak ada lagi cairan yang
keluar, luka operasi yang basah dirawat secara basah pula,
dengan menggompres luka dengan kasa lembab. Kasa
dilembabkan dengan meneteskan cairan steril ditambah
antibiotik atau dengan menambahkan Rivanol tiap 15 menit
untuk menarik cairan bawah kulit yang tersisa. Kasa
diganti 2x sehari atau jika telah terlihat kotor.
b) Luka operasi yang berlubang. Apabila masih ada cairan
darah atau nanah, luka yang berlubang tersebut tetap tertata
laksana seperti pada penjelasan nomor 1. Pemeriksaan
kultur ditambah uji sensitifitas antibiotik pada spesimen
nanah akan sangat membantu untuk memilih antibiotik.
c) Apabila luka terbuka terbuka lebih dalam sampai kelapisan
fascia, atau lebih dalam lagi hingga menembus rongga

24
abdomen, luka ditata laksana dengan melakukan penutupan
luka (penjahitan) sekunder di kamar bedah.

3) Pemberian cairan dalam infus dan diet


Prisip pemberian cairan diet sebenarnya bergantung pda
tindakan anastesi yang telah dilakukan pada pasien.Pada pasien
yang dibius dengan anastesi spinal, tidak ada aturan khusus
untuk memberikan cairan dan diet karena pada prinsipnya,
pasien dapat segera minum dan makan setelah keadaran
kembali.Cairan infus sebagai selain sebagai sumber asupan
cairan, sering juga dipergunakan sebagi tempat pemberian
antibiotik dan analgetik intravena dianggap sudah mencukupi,
infus dapat segera dilepas dan pemberian obat-obatan. Pada
dilanjutkan peroral. Pada pasien yang dianastesi umum,
pemberian cairan harus lebih diperhatikan karena pasien harus
dipuasakan sampai bising usus sudah terdengar.Selama puasa
itu, asupan kalori dan jumlah kalori harus dihitung.Secar
umum, pemberian infus Valamin®, Futrolit® dan cairan
sejenisnya yang cukup memadai.Diet dapat diawali dengan
makanan lunak diikuti makanan biasa tinggi serat. Pemberian
makanan sering kali tidak diperlukan karena pada operasi
seksio sesaria,tidak ada manipulasi pada saluran cerna.
4) Kateterisasi
Pengosongan kandung kemih pada bedah kebidanan
pervaginam sama denga persalinan biasa jika tidak ada luka
robekan yang luas pada jalan lahir. Jika terdapat luka robekan
yang luas, untuk mencegah iritasi dan pencemaran oleh urin,
kandung kemih dikosongkan dengan kateter. Kandung kemih
yang penuh menimbulkan rasa nyeri yang tidak enak pada
pasien, menghalangi involusi uterus, dan menyebabkan
perdarahan. Karena itu, dianjurkan pemasangan kateter tetap
dauer atau kateter belon yang dipasang selama 24-48 jam tau

25
lebih, tergantung jenis operasi dan keadaan pasien. Dengan
cara tersebut, urin dapat ditampung dan diukur dalam botol
plastik secara periodik. Apabila tidak dipasangkateter tetap,
dianjurkan untuk melakukakan kateterisasi rutin kira-kira 12
jam jam pascabedah, kecuali psien dapat buang air kecil
sendiri sebanyak 100 cc atau lebih dalam satu jangka waktu.
Selanjutnya kateterisasi diulangi setiap 8 jam, kecuali pasien
dapat buang air kecil sendiri.
5) Pemberian obat-obatan
a) Antibiotik, kemotrapi dan antiimflamasi
Seasepsis apapun kita bekerja , tidak ada jaminan luka
akan sembuh perprimum tanpa pemberian antibiotik.
Ditambah dafpula, sebagian besar pasien yang menjalani
bedah kebidanan adalah pasien yang tidak terdaftar dan
dikirim dari luar. Sebelum dikirim oleh penolong yang
pertama biasanya telah dilakukna manipulasi-manipulasi
pervaginam yang sepsis dan dapat menimbulkan infeksi
inttrapartum. Dipihak lain, fasilitas rumah sakit yang benar-
benar asepsis masih disangsikan keberadaanya. Karena itu
pada bedah kebidanan pervaginam dan perabdominal,
bagaimanapun luka pasien, perlindungan antibiotik masih
diperlukan. Pedoman umum pemulihan dan pemberian
antibiotik adalah sebagai berikut :
(1) Golongan antibiotik yang aman dan efektif untuk
pascapersalinan dan pasca operasioperasi adalah
golongan sefalosporin generasi kedua atau ketiga,
seperti sefadroksil atau seftriakson. Kombinasi dengan
metronidazol akan memberikan hasil yang lebih
memuaskan karena akan memberikan hasil yang lebih
memuaskan karena akan menckup juga kuman-kuman

26
anaerob. Efek samping yang mungkin timbul antara
lain mual.
(2) Mobilisasi segera dan banyak minum air hangat akan
mencegah pasien kembung. Jika terdapat kembung
dapat diberikan klopramid 3 x 10 mg setelah jam
sebelum makan. Kombinasi dengan antasid yang
mengandung dimetilpolisiloksan akan memberikan
hasil yang lebih baik.
(3) Obat pelacar ASI, seperti Laktafi®, Milmor®, dapat
diberikan beberapa kali sebelum operasi /melahirkan.
(4) Vitamin C, B Complek dpat diberikan untuk
mempercepat penyembuhan pasien.
(5) Obat-obatan pencegah perut kembung. Untuk
mencegah perut kembung dan untuk memperlancar
kerja saluran cerna, dpat diberikan obat-obatan melelui
suntikan dan peroral. Antaralain primperam,
prostigmin, dan sebagainya. Apabila terjadi distensi
abdomen, yang ditandai denga adanya perut kembung
dan meteorismus dilakukan dekompresi dengan
pemasangan pipa rektal dan pipa nasal. Boleh juga
diberikan bisakodil supositiria, 36 jam pascabedah.
(6) Obat-obatan lainya Untuk meningkatkan vitalitas dan
keadaan umum pasien, dapat diberikan roboransia, obat
antiimflamansi, atau tranfusi darah pada pasien yang
anemis (muchtar, 2012).

2. Forcep Ekstrasi
a. Pengertian
Forsep adalah tindakan obstetric yang bertujuan untuk
mempercepat kala pengeluaran dengan jalan menarik bagian
terbawah janin (kepala) dengan alat cunam (Abdul Bari,
2000) .Ekstraksi Forcep adalah suatu persalinan buatan, janin
dilahirkan dengan cunam yang dipasang dikepalanya. Cunam

27
yang umum dipakai adalah cunam Niagle, sedang pada kepala
yang menyusul dipakai cunam piper dengan lengkung panggul
agak datar dan tangkai yang panjang, melengkung keatas dan
terbuka. (Bobak, 2004 :798)

b. Data Fokus
1) Data Subyektif
a) Ibu merasa mules pada perut atau merasa sakit pada
luka jahitan pernium, ada pengeluaran lochea rubra
merah, jumlahnya lebih banyak dari keadaan fisiologis,
ibu merasa pusing kepala, nyeri ulu hati, dan
penglihatan kabur, kolpoporrhexis, symfisiolisis, shock,
perdarahan post partum.
b) Perdarahan yang dapat disebabkan karena atonia uteri,
retensio plasenta serta trauma jalan lahir yang meliputi
ruptura uteri, ruptura cervix, robekan forniks,
kolpoforeksis, robekan vagina, hematoma luas, robekan
perineum.
c) Infeksi yang terjadi karena sudah terdapat sebelumnya,
aplikasi alat menimbulkan infeksi, plasenta rest atau
membran bersifat asing yang dapat memudahkan
infeksi dan menyebabkan sub involusi uteri serta saat
melakukan pemeriksaan dalam.
d) Penyebaran infeksi makin luas dan infeksi yang
berkembang menjadi sepsis yang dapat menyebabkan
kematian serta encefalitis sampai meningitis.
2) Data obyektif
a) Keadaan umum, kesadaran yang diperoleh dari
pengamatan dan pemeriksaan umum pada klien saat
pengkajian. Apakah klien terlihat pucat atau segar,
apakah klien sadar penuh dan dapat beradaptasi dengan
keadaan sekitarnya.

28
b) Tanda-tanda vital, hal-hal yang diperiksa tekanan dara,
suhu, denyut nadi, dan pernapasan. Jika nyeri akan
mengalami peningkatan pada denyut nadi, dan infeksi
akan mengalami peningkatan pada suhu.
c) Pemeriksaan fisik yaitu secara khusus pada perineum
biasanya terdapat luka jalan lahir, bekas episiotomy,
dan kaji apakah luka tampak kering atau basah. Pada
prinsipnya tidak berbeda dengan perawatan post partum
biasanya hanya perlu observasi yang lebih ketat
terutama pada perdarahan robekan jalan lahir dan
infeksi.

c. Penatalaksanaan
Perawatan setelah ekstraksi forceps pada prinsipnya tidak
berbeda dengan perawatan post partum biasa, hanya
memerlukan perhatian dan observasi yang lebih ketat karena
kemungkinan terjadi trias komplikasi lebih besar yaitu
perdarahan robekan jalan lahir dan infeksi. Oleh karena itu
perawatan setelah ekstraksi forceps memerlukan profilaksis
pemberian infus sampai tercapai keadaan stabil, pemberian
uterotonika sehingga kontraksi rahim menjadi kuat dan
pemberian antibiotika untuk menghindari infeksi ( Manuaba,
1998: 253 )

3. Vakum Ekstrasi
a. Pengertian
Ekstraksi Vakum adalah metode pelahiran dengan memasang
sebuah mangkuk (Cup) vakum di kepala janin dan tekanan negatif.
(Bobak,Ledwig,Jensen, 2005, hal 799). Ekstraksi vakum adalah
suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan ekstraksi tenaga
negatif (vakum) di kepalanya. (Kapita selekta Kedokteran : 331)

b. Data Fokus
1) Data Subjektif

29
a) ibu mengeluarkan darah seperti menstruasi
b) ibu mengeluh nyeri pada vagina
c) ibu mengeluh demam

2) Data Objektif
a) Perubahan tanda-tanda vital
Pada 24 jam pertama suhu meninglkat hingga
380C sebagai akibat efek dihoidrasi selama persalinan
dengan vakum. Pada hari ke 2-10 suhu meningkat
karena adanya infeksi kemungkinan mastitis infeksi,
infeksi traktusurinarius.Periode 6-8 hari sering terjadi
bradikardi.
b) System kadiovaskuler
Tekanan darah ibu harus stabil sesudah
melahirkan.Berkeringat dan menggigil disebabkan
oleh ketidakstabilan vasomotor, komponen darah yang
meliputi haemoglobin, hematocrit, dan eritrosit ibu
postpartus sesuai sebelum melahirkan.
c) System traktusurinarius
Selama proses persalinan kantung kemih
merupakan sasaran untuk mengalami trauma yang
dapat disebabkan karena tekanan dan edema.
Perubahan ini dapat menimbulkan over distensi dan
pemenuhan kandung kemih yang terjadi selama 2 hari
postpartum.
d) System endokrin
Mengikuti lahirnya plasenta maka segera terjadi
penurunan estrogen, progesterone dan prolactin
dengan cepat. Pada wanita tidak menyusui prolactin
akan terus menurun sampai normal pada minggu
pertama.
e) System gastrointestinal
Kembalinya fungsi normal usus besar biasanya
pada minggu pertama postpartum.
f) System muskulusloskeletal

30
Otot abdomen secara bertahap atau melebar
selama kehamilan, menyebabkan pengurangan tonus
otot yang akan terlihat jelas pada periode postpartum.
g) Sistem reproduksi
(1) Involusi uteri : Pada akhir kala III ukuran uterus
panjang 14 cm, lebar 12 cm, tebal 10 cm, berat
kurang lebih 1000 gram sama dengan umur 16
minggu kehamilan.
(2) Kontraksi uterus :Dengan adanya kontraksi
uterus, akan menjepit pembulih darah uterus
sehingga perdarahan dapat terhenti.
(3) Locea :Adalah secret yang berasal dari kavum
uteri yang dikeluarkan dari vagina pada masa
nifas.
(4) Cervix :Servik dan segmen uterus dengan bawah
akan tampak edema tipis yang terbuka pada
beberapa hari setelah melahirkan.
(5) Vagina dan perineum : Secara bertahap akan
kembali ke sebelum hamil dalam 6-8 minggu
setelah postpartum

c. Penatalaksanaan
1) Pada robekan perineum dilakukan penjahitan dengan baik
lapis demi lapis, perhatikan jangan sampai terjadi ruang
kosong terbuka ke arah vagina yang dapat dimasuki
bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak
baiknya penyembuhan luka.
2) Segera mobilisasi dan realimentasi.
3) Konseling keluarga berencana.
4) Berikan antibiotika cukup.
5) Pada luka pernium lama lakukan perinioplastik dengan
membuka luka dan menjahitnya kembali sebaik-baiknya.

INFEKSI PADA MASA NIFAS


1. Vulvitis

31
a. Pengertian
Vulvitis adalah peradangan pada vulva (mons veneris,
labia mayora, labia minora, klitoris, vestibulum, orifisium
uretra externa, glandula bartholini dan glandula para uretra).
Menurut Ari Sulistyawati (2009). Pada luka infeksi bekas
sayatan episiotomy atau luka perineum jaringan sekitarnya
membengkak, tepi luka menjadi merah dan bengkak, jaritan
mudah terlepas, luka yang terbuka menjadi ulkus dan
mengeluarkan puls.
b. Data Fokus
1) Data Subjektif
a) Ibu mengatakan panas dan nyeri terutama waktu kencing
b) Ibu mengatakan keputihan yang sering disertai perasaan
gatal hingga terjadi iritasi
c) Ibu mengatakan mengalami gangguan pada saat
berhubungan seksual.
2) Data Objektif
Pada pemeriksaan vagina introitus dan labia merah,
bengkak, dan ditutupi oleh secret

2. Vaginitis
a. Pengertian
Vaginitis adalah peradangan pada vagina. Infeksi
vagina dapat terjadi secara langsung pada luka vagina atau
melalui perineum. Permukaan mukosa membengkak dan
kemerahan terjadi ulkus, serta getah mengandung nanah dan
keluar dari daerah lukus. Penyebaran dapat terjadi pada
umumnya infeksi tinggal terbatas. (Ari Sulistyawati:2009:182).
b. Penyebab vaginitis adalah oleh karena bakteri
c. Data Fokus
1) Data Subyektif :
a) Ibu mengatakan panas dan pedih pada vagina.
b) Ibu mengatakan gatal pada kemaluan.
c) Ibu mengatakan cemas dengan keadaannya.
2) Data Obyektif :
Dari hasil pemeriksaan ditemukan:

32
a) Banyak keluar cairan pada vagina
b) Merah , bengkak bintik – bintik merah pada vagina
dan vulva
c) Pemeriksaan laboratorium ditemukan kuman
penyebab vaginitis

3. Endometritis
a. Pengertian
Endometritis adalah peradangan lapisan endometrium
rahim. Selain endometrium, peradangan mungkin melibatkan
myometrium (miometritis) dan kadang-kadang parametrium
(parametritis). Hal ini dapat disebabkan oleh
b. Penyebab
Endometritis adalah penyakit polymicrobial yang
melibatkan, rata-rata, 2-3 organisme. Dalam kebanyakan kasus,
itu muncul dari infeksi naik dari organisme yang ditemukan di
masyarakat adat normal vagina flora.
Biasanya terisolasi organisme termasuk Ureaplasma
urealyticum, Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis,
Bacteroides bivius dan Grup B Streptococcus. Klamidia telah
dikaitkan dengan onset akhir endometritis setelah bersalin.
Enterococcus diidentifikasi dalam sampai dengan 25% dari
perempuan yang telah menerima cephalosporin profilaksis.
c. Patofisiologis
Infeksi endometrium, atau decidua, biasanya hasil dari
infeksi naik dari saluran kelamin yang lebih rendah. Dari
perspektif patologis, endometritis dapat diklasifikasikan
sebagai akut versus kronis.

d. Data Fokus
1) Data Subjektif:
a) Ibu mengatakan nyeri pada saat haid.
b) Ibu mengatakan nyeri saat berhubungan seksual.
c) Ibu mengatakan nyeri ketika buang air besar .

33
d) Ibu mengatakan perdarahan banyak ketika haid.
2) Data objektif:
a) Suhu tubuh meningkat
b) Nadi meningkat
c) Terdapat perdarahan

e. Penanganan
Setelah membuat diagnosis endometritis tidak termasuk
sumber-sumber lain dari infeksi, dokter harus segera memulai
antibiotic sepekrum yang luar. Perbaikan akan dicatat dalam 48-
72 jam dihampir 29% dari wanita diperlakukan dan dengan
rejimen yang disetujui. Kebanyakan kasus endometritis,
termasuk mereka yang melakukan persalinan seksio sesaria,
harus diperlakukan dengan pengaturan rawat inap. Untuk kasus-
kasus ringan setelah persalinan pervaginam, antibiotic oral
mungkin memadai. Wanita hamil dengan gejala bacterial
vaginosis (BV) harus diperlukan karena BV, dikaitkan dengan
hasil buruk kehamilan. Meskipun penangan tidak menunjukkan
hasil yang adekuat, setidaknya perawatan mengurangi tanda-
tanda dan gejala infeksi vagina. Remaja yang mengalami aborsi,
endometritis dengan salpingitis. Oleh karena itu, terapi antibiotic
secepatnya harus diberikan secepatnya pada kelompok ini.

4. Salpingitis
a. Pengertian
Salpingitis adalah peradangan pada saluran tuba, dipicu
oleh infeksi bakteri. Salpingitis kadang-kadang disebut
penyakit radang panggul (PID). Ini istilah umum termasuk
infeksi lain dari sistem reproduksi wanita, termasuk rahim dan
ovarium. Hampir semua kasus salpingitis disebabkan
oleh infeksi bakteri, termasuk penyakit menular seksual seperti
gonore dan klamidia. Peradangan yang meminta tambahan
sekresi cairan atau bahkan nanah untuk mengumpulkan dalam
tuba falopi. Infeksi dari salah satu tabung biasanya

34
menyebabkan infeksi yang lain, karena bakteri bermigrasi
melalui pembuluh getah bening di dekatnya.

b. Data Fokus
1) Data Subjektif
a) Ibu mengatakan nyeri perut bagian bawah.
b) Ibu mengatakan nyeri juga dirasakan pada bagian
pinggul.
2) Data Objektif
a) Suhu tubuh meningkat > 370C
b) Tekanan darah normal
c) Denyut nadi cepat
d) Nyeri perut bawah
e) Nyeri lepas
f) Bising usus menurun
g) Distensi abdomen
h) Tampak secret purulen di ostium serviks
i) Leukosit cenderung meningkat pada hasil cek darah
j) Bakteri jenis penginfeksi diketahui pada sapuan
mukosa
c. Penatalaksaan
Sebagai bidan, penanganan terbaik adalah merujuk
klien yang mengeluh dengan tanda dan gejala kearah
salpingitis. Anjurkan untuk kultur darah dan antibiotic lewat IV
jika keadaan memburuk. Untuk menekankan kerusakan
permanen pada anatomi dan fisiologi tuba, pasien harus
diterapi secepat mungkin dengan antibiotic yang sesuai. Bila
terdapat beberapa macam bakteri yang menginfeksi, antibiotic
diberikan tidak hanya satu.
Pasangan harus ikut diperiksa agar penyebaran dan
pengobatan tuntas. Diskusikan kemungkinan masalah yang
terjadi dimasa mendatang seperti infertilitas, kehamilan
ektopik, dan pembentukan abses yang berperan untuk
mengenal keadaan dan prognosisnya untuk menghindarkan
unfeksi ulang dan komplikasi. Berobat jalan bila keadaan
umum baik, dengan terapi :
1) Berikan antibiotic

35
a) Cefotaksim 2 gr IM
b) Amoksisillin 3 gr per oral
c) Ampisillin 3,5 gr per oral
d) Prokain ampisillin G dalam aqua 4,8 juta unit IM
pada 2 tempat masing-masing disertai dengan
pemberian prebenesid 1 gr diikuti dengan
e) Doksisiklin 100 mg per os 2 kali sehari selama 10
sampai 14 hari
d) Tetrasiklin 500 mg per os 4 kali sehari
2) Tirah baring
Selain terapi antimikroba, di anjurkan tirah baring dan
obat-obat analgesic.
1) Rawat inap jika terdapat keadaan-keadan yang dapat
mengancam jiwa ibu. Rawat inap mungkin diperlukan
bila pasien tidak memberikan respon yang baik. Setelah
terapi berakhir dianjurkan dilakukan biakan serviks dan
pemeriksaan pelvis selanjutnya. Dianjurkan pada
keadaan-keadaan berikut :
A. Diagnosis tidak pasti dan pembedahan darurat seperti
apendisitis dan kehamilan ektopik harus disingkirkan
B. Dicurigai adanya abses pelvis
C. Penyakitnya berat sehingga tidak memungkinkan
untuk rawat jalan
D. Pasien hamil
E. Pasien tidak mampu mengikuti atau mentoleransi
regimen pada waktu berobat jalan
F. Pasien tidak memberikan respon terhadap pengobatan
rawat jalan
G. Pasien memiliki penyakit-penyakit penyulit medic
seperti diabetes atau penyakit katup jantung
5. Peritonitis

a. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan
membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera,
(Smeltzer,S.C,2001). Peritonitis adalah peradangan

36
peritoneum, suatu membrane yang melapisi rongga abdomen
dan ini dapat terjadi akibat masuknya bakteri dari saluran cerna
atau organ-organ abdomen ke dalam ruang peritoneum melalui
perforasi usus atau rupturnya suatu organ, (Corwin, E.J,2000).

b. Data Fokus
1) Data Subjektif
a) Data Subjektif yang dikumpulkan dari pasien dengan
gangguan peradangan akut pada usus meliputi
anoreksia, mual, timbul dan meningkatnya
ketidaknyamanan pada perut. Jika diperkirakan
keracunan makanan, pasien ditanya mengenai
kemungkinan sumber makanan yang terkontaminasi.
b) Nyeri abdomen biasanya menyeluruh kecuali jika
terdapat apendisitis akut. Dengan apendisitis, sering
terdapat tahanan otot diatas titik Mc.Burney’s jika
dilakukan sedikit penekanan dan kembali ke seperti
semula.

2) Data Objektif
a) muntah : frekuensi, jumlah dan adanya darah
b) kotoran : frekuensi, karakter, jumlah cairan, adanya bau
busuk.
c) kembung : penumpukan gas
d) tanda-tanda ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
(haus, selaput mukasa kering, hemokonsentrasi,
oliguria, kelemahan otot)

c. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan
elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab

37
radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar
dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik
adalah penting. Pengembalian volume intravaskular
memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan
vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk
menilai keadekuatan resusitasi.
1) Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis
peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas
diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan
tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang
cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan
berkembang selama operasi.
2) Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain
dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih
adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka
serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi
ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang
digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung
pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan
menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang
perforasi.

38
3) Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang
difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid
(saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat
yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

4) Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak


dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan
terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi.

6. Ooporitis
a. Pengertian
Ooporitis adalah peradangan pada salah satu atau kedua
ovarium. Peradangan ini biasanya terjadi dengan salpingitis
(infeksi pada tuba fallopi), penyakit radang panggul atau
infeksi lainnya. Ovarium adalah sepasang organ reproduksi
internal yang menghasilkan telur dan karenanya ooforitis dapat
mempengaruhi kesuburan.
b. Data fokus
1) Data Subjektif
a) Ibu mengatakan nyeri pada bagian yang terkena infeksi.
b) Ibu mengatakan mengalami gangguan tidur.
c) Ibu mengalami gangguan pada saat beraktifitas
2) Data Subjektif

39
Pada pemeriksaan terdapat hasil pemeriksaan yaitu adanya
warna kemerahan pada daerah infeksi, nyeri, bengkak dan
adanya gangguan fungsi pada daerah yang terkena infeksi.

c. Penatalaksanaan
1) Pemasangan infuse : bertujuan untuk mengganti cairan
ouput karena pada penderita ooporitis mengalami demam
dan seringkali disertai dengan adanya perdarahan akibatnya
banyak cairan yang hilang sehingga harus segera diganti
agar tidak terjadi syok hipovolemik.
2) Bedah drainase : adalah salah satu tindakan yang dilakukan
untuk mengeluarkan darah setelah dilakukan operasi,
dipasang pada daerah bekas operasi berfungsi untuk
mengeluarkan sisa darah ditempat operasi .
3) Terapi antibiotik : diberikan guna mengurangi infeksi
akibat dilakukannya tindakan, obatnya meliputi
Seftriakson, Doksisiklin, Cefoxitin. Namun tentu saja
sesuai dengan terapi yang diberikan oleh dokter ahli
kandungan.

H. SUBINVOLUSI PADA MASA NIFAS


1. Pengertian Subinvolusi
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama 6-8 minggu
(Saifuddin,2002).
Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola
normal involusi, dan keadaan ini merupakan salah satu dari
penyebab umum perdarahan pascapartum.(Saifuddin,2002).Sub
involusi merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
kemunduran yang terjadi pada setiap organ dan saluran reproduktif
kadang lebih banyak mengarah secara spesifik pada kemunduran
uterus yang mengarah ke ukurannya.(Varney’s Midwivery)

40
Subinvolusi uteri adalah proses kembalinya uterus ke ukuran
dan bentuk seperti sebelum hamil yang tidak sempurna (Adelle
Pillitteri, 2002) Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk
mengikuti pola normal involusi, dan keadaan ini merupakan salah
satu dari penyebab umum perdarahan pascapartum. (Barbara,
2004)

2. Faktor penyebab
a. Faktor penyebab sub-involusi antara lain: sisa plasenta dalam
uterus, endometritis, adanya mioma uteri (Prawirohardjo,
2005).Pada pemeriksaan bimanual di temukan uterus lebih
besar dan lebih lembek dari seharusnya, fundus masih tinggi,
lochea banyak dan berbau, dan tidak jarang terdapat pula
perdarahan (Prawirohardjo, 2005).
b. Status gizi ibu nifas buruk
c. Kurang mobilisasi
d. Faktor usia
e. Parietas
f. Terjadi infeksi pada endometrium
g. Terdapat sisa plasenta dan selaputnya
h. Terdapat bekuan darah yang tidak keluar
i. Mioma uteri
j. Tidak ada kontraksi

3. Subinvolusi dapat terjadi pada


a. Subinvolusi Uterus
Subinvolusi uterus adalah kegagalan uterus untuk mengikuti
pola normal involusi atau proses involusi rahim tidak berjalan
sebagaimana mestinya, sehingga proses pengecilan uterus
terhambat.
Tanda dan gejala
1) Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen atau
pelvis dari yang seharusnya atau penurunan fundus uteri
tersebut.
2) Konsistensi uterus lembek
3) Pengeluaran lochea seringkali gagal berubah
4) Terdapat bekuan darah

41
5) Uterus tidak berkontraksi
6) Pucat, pusing dan tekanan darah rendah serta suhu tubuh
tinggi

Penyebab
7) Terjadi infeksi pada miometrium
8) Terdapat sisa plasenta dan selaput plsenta di dalam uterus
9) Lochea rubra lebih 2 minggu post partum dan
pengeluarannya lebih banyak dari yang diperkirakan

Terapi
10) Pemberian antibiotika
11) Pemberian uterotonika
12) Pemberian tablet Fe

b. Subinvolusi tempat plasenta


Subinvolusi tempat plasenta adalah kegagalan bekas tempat
implantasi untuk berubah

Tanda dan Gejala


1) Tempat implantasi masih meninggalkan parut dan
menonjol
2) Perdarahan

Penyebab

1) Tali pusat akibat dari traksi yang berlebihan


2) Inversio uteri sebagai akibat tarikan
3) Tidak adanya regenerasi endometrium di tempt implantasi
plasenta
4) Tidak ada pertumbuhan kelenjar endometrium

c. Subinvolusi Ligamen
Subinvolusi ligamen adalah kegagalan ligamen dan digfragma
pelvis vasia kembali seperti sedia kala

Tanda dan Gejala


1) Ligamentum rotundum masih kendor
2) Ligamen, fasia dan jaringan penunjang serta alat genitalia
masih kendor

42
Penyebab

1) Terlalu sering melahirkan


2) Faktor umur
3) Ligamen, fasia dan jaringan penunjang serta alat genitalia
sudah berkurang elastisitasnya

d. Subinvolusi Serviks
Subinvolusi serviks adaah kegagalan serviks berubah kebentuk
semula seperti sebelum hamil

Tanda dan Gejala


1) Konsistensi serviks lembek
2) Perdarahan

Penyebab
1) Multiparitas
2) Terjadi ruptur saat persalinan
3) Lemahnya elastisitas serviks

e. Subinvolusi Lochea
Subinvolusi loche adalah tidak ada perubahan pada konsistensi
lochea. Seharusnya lochea berubah secara normal sesuai
dengan fase dan lamanya postpartum

Tanda dan Gejala


1) Perdarahan tidak sesuai dengan fase
2) Darah berbau menyengat
3) Perdarahan
4) Demam tinggi

Penyebab
1) Bekuan darah dari serviks
2) Uterus tidak berkontraksi
3) Posisi ibu terlentang sehingga menghambat darah nifas
untuk keluar
4) Tidak mobilisasi
5) Robekan jalan lahir
6) Infeksi

f. Subinvolusi Vagina dan Vulva

43
Subinvolusi vagina dan vulva adalah tidak kembalinya bentuk
dan konsistensi vulva dan vagina seperti semula setelah
beberapa hari post partum

Tanda dan Gejala


1) Vulva dan vagin kemerahan
2) Terliht oedema
3) Konsistensi lembek

Penyebab

1) Elastisitas vulva dan vagina lemah


2) Infeksi
3) Terjadi robekan vulva dan vagina saat partus
4) Ekstraksi cunam

g. Subinvolusi Perineum
Subinvolusi perineum adalah tidak ada perubahan perineum
setelah beberapa hari persalinan

Tanda dan Gejala


1) Periuneum terlihat kemerahan
2) Konsistensi lembek
3) Oedema

Penyebab
1) Tonus otot perineum sudah lemah
2) Kurangnya elastisitas perineum
3) Infeksi
4) Pemotongan benang catgut terlalu pendek pada saat laserasi
sehingga jahitan perineum putus

Manifestasi Klinis

1) Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak,sampai


kira-kira 4 – 6 minggu postpartum.
2) Fundus uteri letaknya tetap tinggi didalam abdomen/pelvis
dari yang diperkirakan/penurunan fundus uteri lambat dan
tonus uterus lembek.

44
3) Keluaran lochia seringkali gagal berubah dari bentuk rubra
ke bentuk serosa,lalu kebentuk kochia alba.
4) Lochia bisa tetap dalam bentuk rubra dalam waktu
beberapa hari postpartum/lebih dari 2 minggu postpartum.
5) Lochia bisa lebih banyak daripada yang diperkirakan
6) Leukore dan lochia berbau menyengat,bisa terjadi jika ada
infeksi.
7) Pucat,pusing,dan tekanan darah rendah
8) Bisa terjadi perdarahan postpartum dalam jumlah yang
banyak (>500 ml)
9) Nadi lemah,gelisah,letih,ekstrimitas dingin.
h. Penatalaksanaan
1. Metil ergometrin 0,2mg PO/ 4jam selama 3 hari
2. Evaluasi 2 minggu
3. Jika ada endometritis, tambahkan antibiotik spektrum luas

DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/364196229/Asuhan-Kegawatdaruratan-Pada-Masa-
Nifas-Kel-9

(Diakses pada tanggal 14 Juni 2019 pukul 20.00 wita)

https://id.scribd.com/document/371951118/Makalah-Asuhan-Gadar-Pd-Masa-Nifas

(Diakses pada tanggal 14 juni 2019 pukul 20.30 wita)

https://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/kegawatdaruratan-masa-nifas

(Diakses pada tanggal 14 Juni 2019 pukul 21.30 wita)

45

Anda mungkin juga menyukai