Anda di halaman 1dari 8

PENILAIAN KINERJA PERAWAT

MUTU DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Manajemen Keperawatan Semester 3

Dosen Pengampu : Arifin Dwi Atmaja, S. Kep. Ns. M. Kep

Disusun oleh :

Syella Monti Apriliana ( A0016046 )

2A

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

STIKes BHAKTI MANDALA HUSADA

SLAWI, 2018
Lampiran materi

PENILAIAN KINERJA PERAWAT

MUTU DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

A. Definisi Kinerja Perawat

Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja, yaitu faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Faktor kemampuan secara
psykologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi dan kemampuan
reality. Artinya pegawai yang memiliki potensi di atas rata-rata dengan pendidikan yang
memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia
akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Faktor Motivasi terbentuk dari sikap
(attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi
yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi.

Kinerja menjadi tolak ukur keberhasilan pelayanan kesehatan yang menunjukkan


akuntabilitas lembaga pelayanan dalam kerangka tata pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam pelayanan kesehatan, berbagai jenjang pelayanan dan asuhan pasien
(patient care) merupakan bisnis utama, serta pelayanan keperawatan merupakan
mainstream sepanjang kontinum asuhan. Upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja
pelayanan klinis pada umumnya dimulai oleh perawat melalui berbagai bentuk kegiatan,
seperti: gugus kendali m utu, penerapan standar keperawatan, pendekatan¬pendekatan
pemecahan masalah, maupun audit keperawatan.

Terkait dengan istilah dan pengertian kinerja, beberapa referensi menyebutkan berbagai
pengertian yang dimaksud. Menurut Sedarmayanti (2004), kinerja adalah
pencapaian/prestasi seseorang berkenaan dengan seluruh tugas yang dibebankan
kepadanya. Standar kerja mencerminkan keluaran normal dari seorang karyawan yang
berprestasi rata-rata, dan bekerja pada kecepatan/kondisi normal. Sementara Noe
berpendapat bahwa kinerja karyawan merupakan tujuan akhir dan merupakan cara bagi
manajer untuk memastikan bahwa aktivitas karyawan dan output yang dihasilkan kongruen
dengan tujuan organisasi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis faktor kemampuan
terdiri dari kemampuan pontensial (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya
seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata (110-120) apalagi superior dengan pendidikan
yang memadai untuk jabatannya dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, akan lebih
mudah mencapai kinerja maksimal. Faktor motivasi, motivasi merupakan suatu sikap
seseorang terhadap situasi kerja dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif
terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika
mereka bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjuk motivasi kerja yang
rendah. Setuasi kerja yang dimaksud seperti hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja,
kebijakan dan pimpinan.

Misalnya, terkait dengan kinerja perawat, khususnya dalam menghadapi berbagai tantangan
profesinya, kesiapan dan kemampuan perawat dituntut untuk selalu ditingkatkan. Kualitas
sumberdaya perawat sangat menentukan tingkat keberhasilan pelayanan suatu organisasi
pelayanan kesehatan.

Menurut Depkes RI (2000), sistem Penilaian Kinerja Pegawai di Puskesmas adalah penilaian
sistematik tentang prestsi kerja, disiplin dan potensi pegawai yang dilaksanakan oleh atasan
langsung pada bawahannya.

Menurut Berwick (2001), mata rantai terdepan yang perlu diperhatikan dalam perbaikan
mutu dan kinerja pelayanan kesehatan adalah pengalaman pasien dan masyarakat terhadap
pelayanan yang mereka terima. Sementara menurut WHO (2002), pengembangan
Manajemen Kinerja merupakan pendekatan perbaikan proses pada sistem mikro yang
mendukung dan meningkatkan kompetensi klinis perawat dan bidan untuk bekerja secara
profesional dengan memperhatikan etika, tata nilai, dan aspek legal dalam pelayanan
kesehatan. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja klinis perawat dan bidan
melalui kejelasan definisi peran dan fungsi perawat atau bidan, pengembangan profesi, dan
pembelajaran bersama.
Terdapat beberapa alasan penting terkait penerapan kualitas pelayan kesehatan dalam
organisasi pelayanan kesehatan, antara lain (Pohan, 2007)

1. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan dapat menjamin organisasi


pelayanan kesehatan akan selalu menghasilkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas, sebuah pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan dan
kebutuhan pasien.
2. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menjadikan organisasi
pelayanan kesehatan semakin efisien.
3. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan membuat organisasi
pelayanan kesehatan menjadi terhormat, terkenal dan selalu dicari oleh siapapun
yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta menjadi tempat
kerja menyenangkan bagi tenaga kesehatan.
4. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan terutama akan memperhatikan
keluaran pelayanan kesehatan, sehingga setiap pelaksanan tugas harus dilakukan
dengan benar agar pelayanan kesehatan benar-benar bermanfaat bagi pasien.
5. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menumbuhkan kepuasan
kerja, komitmen, dan peningkatan moral profesi pelayanan kesehatan, serta
akhirnya akan menimbulkan kepuasan pasien.

Sementara menurut Depkes RI (2000), beberapa hal yang penting tentang kinerja perawat
antara lain ;

1. Kinerja mencerminkan hasil akhir seseorang, yaitu perbandingan antara target dan
tingkat pencapaian
2. Kinerja berkaitan dengan seluruh tugas-tugas yang diberikan kepada seseorang
3. Kinerja diukur dalam waktu tertentu

Menurut Sedarmayanti (2004), proses peningkatan kinerja memberi kesempatan terbaik


untuk membangun pengalaman yang terus berkembang. Jadi, untuk membuat peningkatan
yang berarti dalam kinerja harus terus berusaha mencapai tingkat terbaik. Peningkatan
tersebut memerlukan berbagai kebijakan dan program yang dirancang untuk meningkatkan
3R (result, resources, dan ratio) organ isasi.
Kinerja mengisaratkan adanya hubungan antara barang dan jasa yang dihasilkan dan
sumber-sumber masukan yang digunakan. Menurut Dharma (2005), pengelolaan kinerja
karyawan memiliki implikasi yang luas daripada hanya sekedar meningkatkan kinerja
individu dan menyediakan landasan bagi penentuan tingkat gaji/upah berdasarkan kinerja
karyawan. Pengelolaan kinerja juga berkenaan dengan tiga masalah kunci dalam kehidupan
berorganisasi yaitu manajemen sumber daya manusia, pengembangan yang
berkesinambungan dan kerjasama tim.

Pengelolaan kinerja dapat memenuhi sejumlah sasaran manajemen sumber daya manusia
yang mendasar, terutama yang terkait dengan :

1. Mencapai tingkat kinerja yang tinggi yang dapat dipertahankan dari sumberdaya
manusia suatu organ isasi
2. Mengembangkan karyawan sampai kepada kapasitas kerja serta potensinya
3. Menciptakan lingkungan di mana potensi laten dari para karyawan dapat direalisasi
4. Memperkuat atau mengubah budaya organisasi.

Terdapat empat dimensi tolak ukur kinerja yaitu :

1. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan.


2. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan.
3. Penggunaan waktu dalam bekerja, yaitu; tingkat ketidak hadiran, keterlambatan, dan
waktu kerja efektif/jam kerja hilang.
4. Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja.

Sementara Parasuraman et al. (1994), berpendapat bahwa beberapa tolak ukur kinerja
dalam dimensi kualitas pelayanan, antara lain :

1. Kehandalan (reliability), terdiri dari kemampuan karyawan memberikan pelayanan


yang dijanjikan dengan tepat dan segera.
2. Daya tanggap (responsiveness), keinginan karyawan untuk membantu pelanggan
dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
3. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan kejujuran yang dimiliki
karyawan, bebas dari bahaya dan resiko.
4. Empati (emphaty), meliputi kemudahan karyawan dalam melakukan hubungan,
komunikasi, dan memahami kebutuhan pelanggan.
5. Keberwujudan (tangibles), meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan
karyawan.

B. Mutu Dalam Pelayanan Keperawatan


Mutu layanan kesehatan dapat di definisikan dengan berbagai cara, dengan
implikasi yang berbeda bagi penyedia layanan kesehatan, pasien, pembayar pihak
ketiga, pembuat kebijakan, dan pihak berkepentigan lainnya.
Dalam penjelasan selanjutnya, kita akan menelaah definisi utama dan beberapa
implikasinya bagi pihak berkepentingan.
National Academies’ Institute of Medicine (IOM) memberikan definisi mutu layanan
kesehatan yang paling banyak diterima sebagai “Derajat ketika lyanan akhir
kesehatan bagi individu maupun populasi meningkatkan probabilitas hasil akhir
kesehatan yang diinginkan dan konsisten dengan pengetahuan profeional saat ini”
(Institute of Medicine 1990).
Definisi ini menyoroti beberapa aspek mutu. Pertama, layanan kesehatan
bermutu tinggi harus mencapai hasil akhir kesehatan yang diinginkan bagi individu
yang sesuai dengan pilihan mereka yang beragam. Kedua, layanan esehatan harus
mencapai hasil akhir yang diinginkan bagi populasi, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku tentang efisiensi pembuat kebijakan, dan pembayar pihak ketiga. Terakhir,
layanan kesehatan harus sesuai dengan standar profesional dan bukti ilmiah,
konsisten dengan keefektifan fokus klinis dan penyedia layanan kesehatan.
Cara lain untuk mengkaji mutu adalah sebagai hasil dari suatu sistem dengan
pihak pihak yang saling bergantung yang harus berkerja bersama untuk mencapai
hasil akhir seperti yang disebutkan sebelumnya. Avedis donabedian, seorang dokter
yang menjadi advokat terkenal dalam hal peningkatan mutu layanan kesehatan,
selama 50 tahun terakhir abad ke- 20, memperkenalkan gagasan bahwa mutu dapat
dipandang dari perspektif sistem sebagai struktur, proses dan hasil akhir
(Donabedian, 1966). Komponen struktural dari mutu mencakup materi dan sumber
daya manusia pada suatu organisasi dan fasilitas organisasi itu sendiri. Secara
singkat, komponen tersebut mencakup mutu lingkungan dan manusianya baik di
rumah sakit, kantor praktik dokter, panti wreda, ataupun rumah perawatan. Proses
merupakan aktivitas aktual perawatan pasien dan semua aktivitas penunjang lain
yang berkaitan dengan interaksi antara pasien dan penyedia layanan. Hasil akhir
merupakan status kesehatan akhir dari pasien. Sebagai seorang dokter, Donabedian
mendukung pengembangan “Layanan Prima” Untuk mendapatkan layanan yang
lebih baik (Coopeer, 1999), yang mengingatkan struktur, proses, dan hasil akhir
dengan suatu lingkaran umpan balik.
Lebih lanjut, dia mendefinisikan mutu sebagai suatu yang memiliki sedikitnya
4 komponen (Donabedian, 1986).
1. Manajemen tekhnis kesehatan dan penyakit.
2. Manajemen antar personal antara penyedia layanan dan klien mereka.
3. Fasilitas layanan
4. Prinsip etis yang mengatur manajemen masalah secara umum industri
layanan kesehatan secara khusus.

Keempat komponen dari definisi tersebut menekankan perlunya memadukan


berbagai pandangan dari ihak yang berkepentingan untuk memahami mutu
layanan kesehatan. Di satu sisi, manajemen tekhnis kesehatan berfokus pada
kinerja klinis penyedia layanan kesehatan disisi lain ; manajemen antar
personal – menekankan pelaksanakan perawatan secara bersama sama oleh
penyedia layanan maupun pasien, mutu layanan kesehatan dikendlikan oleh
proses klinis dan non-klinis (Marley, Collier, dan Goldstein, 2004). “Fasilitas
Layanan” berkaitan dengan keinginan pasien dalam mencapai kesejahteraan
(atau keinginan lain) individual ; “Prinsip Etis” berkaitan dengan keinginan
penyedia layanan dalam meningkatkan kesejahteraan (keefektifan)
masyarakan dan organisasi.

Salah satu isu utama dalam mutu dan kinerja layanan kesehatan
adalah ketepatan pemanfaatan sumber daya yang sedikit untuk
meningkatkan kesehatan baik individu maupun seluruh masyarakat. Masalah
dalam domain ini mencakup 3 bentuk : Penggunaan yang tidak optimal,
Penggunaan berlebihan, dan penyalahgunaan.
Penggunaan tidak optimal menjadi masalah karena riset klinis sudah
menghasilkan begitu banyak metode pengobatan yang terbukti efektif yang
tidak dipergunakan secara luas.

Penggunaan berlebihan juga menjadi masalah mutu karena


pengobatan tertentu diberikan tanpa mengindahkan bukti bahwa
pengobatan tersebut tidak efektif atau bahkan berbahaya.

Refference, antara lain : Pohan,I.S.2007. Jaminan mutu layanan kesehatan: Dasar-dasar


pengertian dan penerapan. EGC; WHO. 2002. Implementasi Sistem pengembangan
Manajemen Kinerja Klinik untuk Perawat dan Bidan di Rumah Sakit dan Puskesmas.
WHOSEA-Nurs-429, Mei. 2002; Parasuraman. A,et al. 1994. Alternative scales for measuring
service quality; A Comparative assessment based on psychometric and diagnostic criteria.

Anda mungkin juga menyukai