Anda di halaman 1dari 10

Reka Geomatika ©Jurusan Teknik Geodesi Itenas | No.1 | Vol.

xx
Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Mei 2017

POLA SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH


DENGUE DI KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN
INDEKS MORAN
MUHAMAD YORDI ARDIANSYAH, RIKA HERNAWATI

Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITENAS


Email: Yordimuhamad@gmail.com

ABSTRAK

Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang berbahaya yang bisa
menimbulkan kematian bagi penderitanya apabila tidak ditangani dengan tepat,
penyakit tersebut adalah virus dengue yang ditularkan dari nyamuk Aedes Agypti dan
Aedes Albopictus. Salah satu kota yang mempunyai kasus demam berdarah yang tinggi
adalah Kota Bandung yaitu dengan jumlah 3134 kasus pada tahun 2014. Penyakit
demam berdarah dengue dapat dianalisis secara spasial dengan mempunyai data
jumlah kasus demam berdarah, salah satu analisis secara spasial yaitu untuk
mengetahui autokorelasi spasial, tujuan dari penelitian ini adalah menentukan apakah
terdapat autokorelasi spasial dalam penyebaran penyakit demam berdarah yang terjadi
di Kota Bandung dan menentukan pola sebaran penyakit demam berdarah dan
memberikan gambaran mengenai peta pola sebaran spasial penyakit demam berdarah
serta membantu Dinas Kesehatan memberikan gambaran persebaran penyakit demam
berdarah di Kota Bandung.Autokorelasi spasial merupakan salah satu analisis spasial
untuk mengetahui pola hubungan korelasi antar lokasi (amatan). Pada kasus demam
berdarah Dengue di Kota Bandung, metode yang biasa digunakan untuk mengetahui
autokorelasi spasial suatu daerah adalah dengan menggunakan metode Indeks Moran.
Dari hasil analisis autokorelasi spasial menunjukan terdapat autokorelasi spasial pada
kasus demam berdarah dengue di Kota Bandung, uji signifikansi satu arah menunjukan
adanya autokorelasi positif pada kasus demam berdarah Dengue di Kota Bandung dan
pola sebaran spasial dihasilkan adalah pola spasial sebaran cluster

Kata kunci: Autokorelasi Spasial, Moran’s I, Uji Siginifikansi, Demam Berdarah


Dengue, Statistika Spasial
ABSTRACT
Dengue fever disease is a dangerous disease that can cause death for the sufferer if
not handled appropriately, the disease is a dengue virus that is transmitted from Aedes
Agypti and Aedes Albopictus mosquitoes. One of the cities that has a high case of
dengue fever is the city of Bandung, which has 3134 cases in 2014. Dengue
hemorrhagic disease can be analyzed spatially by having the data about the number of
cases of dengue fever, one of the spatial analyses is to show the existence of spatial
autocorelation relationship, , The purpose of this study is to determine whether there is
spatial autocorrelation in the spread of dengue fever that occurred in the city of
Bandung and determine the pattern of the spread of dengue fever and provide an
overview of the spatial distribution pattern map of dengue fever and help the Health
Department provide a description of the spread of dengue fever in the city Bandung.

Reka Geomatika - 1
Reka Geomatika ©Jurusan Teknik Geodesi | No. 1 | Vol. 1
ISSN 9999-9999 November 2014
Jurnal Online Institut Teknologi Nasional

Spatial autocorrelation is one of the spatial analyses to show the correlation pattern
between location (observation). In the case of dengue hemorrhagic fever in Bandung,
the usual method used to determine the spatial autocorrelation of a region is by using
the Moran Index method. From the results of spatial autocorrelation analysis showed
there are spatial autocorrelation in dengue hemorrhagic cases in Bandung, one-way
significance test showed a positive autocorrelation in Dengue hemorrhagic cases in
Bandung and spatial distribution pattern generated is spatial pattern of distribution of
clusters.

Keywords: Spatial Autocorrelation, Moran’s I, Significance Test, Dengue


Hemorrhagic Fever, Spatial Statistics

Reka Geomatika - 2
Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung Dengan Statistika Spasial

1. PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 2014 Indonesia cukup disibukkan dengan wabah Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang meluas dan menjangkiti hampir seluruh wilayah. Menurut Ginanjar, 2004
Demam Berdarah Dengue yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus
dengue dari penderita demam berdarah lainnya. Kedua jenis nyamuk Aedes ini terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia, nyamuk Aedes umumnya menyukai tempat di air bersih
yang tidak berhubungan langsung dengan tanah meletakan telur pada permukaan air bersih
secara individual (Widodo, 2007).

Jenis telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat bertahan hingga 1 bulan dalam
keadaan kering (Ginanjar, 2007). Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi
larva, dan sebaliknya larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.
Telur tersebut berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain, dan telur
tersebut menetas dalam 1-2 hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam
perkembangan larva yang disebut dengan instar (Ginanjar, 2007). Perkembangan dari instar
1 ke instar 4 memerlukan waktu sekitar 5 hari, kemudian setelah mencapai instar ke-4, larva
berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama 2 hari
sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk
dewasa membutuhkan waktu 7-8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak
mendukung (Ginanjar, 2007).

Menurut catatan Dinas Kesehatan Kota Bandung, pada tahun 2014 terdapat 3134 kasus
yang terjadi di Kota Bandung. Melihat tingginya jumlah kasus Demam Berdarah Dengue di
Kota Bandung, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pola sebaran spasial yang
berhubungan dengan penyakit tersebut salah satunya dengan menggunakan pendekatan
statistika spasial. Menurut Rosli, 2010, dalam penelitian kesehatan, analisis spasial digunakan
untuk mendeteksi dan mengukur pola kejadian penyakit yang dapat memberikan wawasan
epidemiologi penyakit.

Penelitian sejenis untuk wilayah Kota Bandung dan sekitarnya belum banyak dilakukan.
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis spasial penyakit demam berdarah dengan
statistika spasial. Penelitian yang dilakukan adalah analisis spasial penyakit demam berdarah
untuk mengetahui autokorelasi spasial salah satu metode yang digunakan adalah metode
Indeks Moran. Menurut Rosli, 2010 indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial
untuk menghitung hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit. Hubungan spasial ini
diperlukan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi spasial dalam penyebaran
penyakit demam berdarah yang terjadi di Kota Bandung, dari hasil tersebut dapat
digunakan sebagai referensi atau acuan oleh dinas kesehatan untuk mengantisipasi penyakit
demam berdarah. Data yang digunakan berupa data jumlah kasus penyakit demam berdarah
pada tahun 2014 di Kota Bandung dan data spasial yaitu peta administrasi Kota Bandung.

Reka Geomatika - 3
Muhamad Yordi Ardiansyah, Rika Hernawati

2. METODOLOGI

Tahapan yang dilaksanakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Studi Literatur

Pengumpulan Data

Data Jumlah Kasus Peta Administratif Kota


Demam Berdarah Bandung
Dengue Tahun 2014

Spasialisasi Data

Matriks Pembobotan
Metode Queen Contiguity

Menghitung Nilai Indeks Moran dari Data


Jumlah Kasus Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Kota Bandung

Uji Autokorelasi Spasial menggunakan Uji


Signifikansi Indeks Moran

Membuat Moran’s Scatterplot

Menganalisis Autokorelasi Spasial dan Pola


Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue
di Kota Bandung

Peta Pola Sebaran Spasial Penyakit Demam


Berdarah Dengue di Kota Bandung
Gambar 1. Metodologi Penelitian

Kesimpulan dan Analisis

Reka Geomatika - 4
Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung Dengan Statistika Spasial

Berikut adalah penjelasan dari diagram alir metodologi penelitian :


a) Studi literatur dilakukan untuk memahami permasalahan yang dihadapi, seperti masalah
penyakit demam berdarah, dan metode-metode yang digunakan untuk analisis spasial
penyakit demam berdarah.
b) Pengumpulan data-data yang diperlukan, yaitu data kasus penyakit demam berdarah tiap
Kecamatan di Kota Bandung pada Tahun 2014 dan peta administrasi Kota Bandung.
c) Spasial data adalah proses mengubah data atribut menjadi data spasial, yaitu dengan
melakukan penggabungan data Peta Batas Adminisrasi Kota Bandung dengan data
jumlah kasus Demam Berdarah Dengue. Sehingga diperoleh data spasial penyakit Demam
Berdarah Dengue.
d) Pengolahan data penyakit demam berdarah
i. Membuat matriks pembobotan
ii. Menghitung nilai Indeks Moran
iii. Melakukan uji statistik. Apabila dalam uji statistik terdapat autokorelasi spasial
iv. Menentukan apakah terdapat autokorelasi spasial positif atau negative dalam kasus
demam berdarah yang terjadi di Kota Bandung
e) Dari proses pengolahan data tersebut menggunakan metode Moran’s I di dapat hasil
berupa Scetterplot dan Peta pola sebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota
Bandung.
f) Mengambil kesimpulan berdasarkan hasil analisis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Perhitungan Autokorelasi Spasial

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah berupa informasi mengenai kecamatan-
kecamatan yang berada di Kota Bandung yang memiliki data kasus demam berdarah Dengue
saling berkolerasi antara kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lain. Proses
autokorelasi spasial digunakan untuk mengetahui pola penyebaran penyakit demam
berdarah Dengue yang terjadi di seluruh kecamatan di Kota Bandung. Dari data penyakit
demam berdarah Dengue tersebut membentuk pola-pola mengelompok pada lokasi tertentu.

Hasil perhitungan autokorelasi spasial pada penyakit demam berdarah Dengue dapat dilihat
pada Tabel 4.1.

Tabel 1. Hasil Proses Autokorelasi Spasial (Indeks Moran) Penyakit Demam Berdarah Dengue (Sumber: Hasil
Pengolahan Data, 2017)

Moran's I Nilai Harapan Variansi Z-score P-value

0,227025 2,311392 0,0128 2,311392 0,020811

Dari hasil perhitungan autokorelasi spasial dengan menggunakan metode Indeks Moran,
maka dapat diketahui parameter-parameter meliputi nilai Indeks Moran sebesar 0,227025
nilai tersebut kurang dari 2,58 hipotesis H0 ditolak sehingga terdapat autokorelasi spasial
pada penyakit demam berdarah Dengue, nilai harapan (Expected Value) sebesar -0,034483

Reka Geomatika - 5
Muhamad Yordi Ardiansyah, Rika Hernawati

,nilai variansi -0,034483, nilai z-score 2.311392, dan p-value 0,020811. Parameter-parameter
tersebut selanjutnya digunakan untuk perhitungan uji statistik, sehingga dapat diketahui ada
atau tidak ada autokorelasi spasial pada data jumlah kasus Demam Berdarah Dengue dan
bagaimana pola sebaran yang terbentuk.

Adapun hasil uji statistik penyakit demam berdarah Dengue dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 2. Uji Signifikansi Moran’s I pada Penyakit Demam Berdarah Dengue


(Sumber: Hasil Analisis, 2017)

Moran's I Z(I) Z(α/2) Uji Statistik Keterangan

2,311392 < 2,58 maka Autokorelasi


H0 ditolak positif, pola
0,227025 2,311392 2,58 0,227025 > 0 maka H1 spasial
diterima membentuk
Cluster

Hasil uji statistik memberikan informasi bahwa terdapat hubugan spasial pada kasus
penyakit demam berdarah Dengue dimana hasil perhitungan H0 ditolak dan H1 diterima
sehingga memiliki autokorelasi spasial positif dan pola sebaran yang terbentuk merupakan
pola Cluster.
Adapun hasil analisis autokorelasi spasial penyakit demam berdarah Dengue dapat
dilihat pada Gambar 2

Gambar 2. Hasil Analisis Autokorelasi Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue

Reka Geomatika - 6
Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung Dengan Statistika Spasial

Dari hasil analisis autokorelasi spasial penyakit Demam Berdarah Dengue pada Gambar 4.1.
diperoleh nilai indeks Moran sebesar 0,227025, nilai harapan sebesar -0,034483, variansi
0,012800. Hasil analisis autokorelasi spasial ini mengevaluasi apakah pola dinyatakan
mengelompok, menyebar, atau acak.

Ketika z-score atau p-value menunjukkan signifikansi statistik, nilai indeks Moran positif
mengindikasikan kecenderungan pengelompokan sedangkan nilai indeks Moran negatif
mengindikasikan kecenderungan menyebar. z-score dan p-value adalah ukuran signifikansi
statistik yang memberitahu ada atau tidak untuk menolak hipotesis nol. Hipotesis nol
menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkait dengan kasus demam berdarah Dengue
didistribusikan secara acak. Mengingat z-score 2.311392, ada kurang dari 5% kemungkinan
bahwa pola berkerumun ini bisa menjadi hasil dari kebetulan acak, sehingga mempunyai nilai
kepercayaan sebesar 95 %.

3.2 Analisis
a) Analisis Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data penyakit Demam Berdarah Dengue
tahun 2014, data tersebut diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Bandung. Data tersebut
berisi jumlah kasus penyakit demam berdarah ditiap Kecamatan dengan jumlah 30
Kecamatan di Kota Bandung. Data-data tersebut dianalisis secara spasial untuk mengetahui
ada atau tidak autokorelasi spasial yang terjadi di setiap kecamatan dan bagaimana bentuk
pola sebaran spasial yang terjadi dari hasil proses autokorelasi spasial.

b) Analisis Moran’s Scatterplot

Gambar 3. Moran’s Scatterplot Penyakit Demam Berdarah Dengue

Analisis Moran’s Scatterplot penyakit demam bardarah Dengue diperoleh hasil sebaran nilai-
nilai pengamatan sebagai berikut:
Kuadran I: Arcamanik, Rancasari, Buah Batu, Antapani, Kiaracondong, Bandung Kidul,
Batununggal, Lengkong, Regol, Bojongloa Kaler. Kecamatan ini memiliki nilai penyakit
demam berdarah tinggi dan dikelilingi oleh kecamatan lain yang memiliki nilai penyakit
demam berdarah tinggi pula (High-High).

Reka Geomatika - 7
Muhamad Yordi Ardiansyah, Rika Hernawati

Kuadran II: Mandalajati, Sumur Bandung, Cibeunying Kaler, Cidadap, Sukasari, Bojongloa
Kidul, Bandung Kulon. Kecamatan ini memiliki nilai penyakit demam berdarah rendah dan
dikelilingi oleh kecamatan lain yang memiliki nilai penyakit demam berdarah tinggi (Low-
High).

Kuadran III: Cibiru, Panyileukan, Gedebage, Cinambo, Sukajadi, Cicendo, Andir,


Astanaanyar. Kecamatan ini memiliki nilai penyakit demam berdarah rendah dan dikelilingi
oleh kecamatan lain yang memiliki nilai penyakit demam berdarah rendah pula (Low-Low).

Kudran IV: Ujung Berung, Cibeunying Kidul, Bandung Wetan, Coblong, Babakan Ciparay.
Kecamatan ini memiliki nilai penyakit demam berdarah tinggi dan dikelilingi oleh kecamatan
lain yang memiliki nilai penyakit demam berdarah rendah (High-Low).

Gambar 4. Visualisasi Autokorelasi Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue


Dari Gambar 4. diketahui pola spasial penyakit Demam Berdarah Dengue yang
termasuk pola Cluster berada pada kuadran I (High-High), kuadran III (Low-Low).
Kecamatan-kecamatan yang termasuk ke dalam pola Cluster kuadran I (High-High) antara
lain: Kecamatan Batununggal (165 Kasus DBD), Buahbatu (202 Kasus DBD), Kiaracondong
(172 Kasus DBD), Lengkong ( 236 Kasus DBD). Sedangkan untuk kecamatan-kecamatan
yang termasuk ke dalam pola Cluster kuadran III (Low-Low) adalah Kecamatan Panyileukan
(44 Kasus DBD).

Reka Geomatika - 8
Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung Dengan Statistika Spasial

4. KESIMPULAN

Dari beberapa hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan dari hasil penelitian ini
maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
- Dari hasil analisis autokorelasi spasial penyakit Demam Berdarah Dengue yang terjadi
di Kota Bandung, dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi spasial yaitu
autokorelasi spasial yang bersifat positif.
- Dari hasil uji signifikansi metode indeks Moran dapat disimpulkan bahwa pola sebaran
spasial yang terbentuk penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung memiliki
pola sebaran mengelompok (Cluster).
- Adapun peta pola sebaran spasial penyakit demam bardarah Dengue yang terjadi di
Kota Bandung dapat disimpulkan bahwa:
Pada peta pola sebaran spasial penyakit Demam Berdarah Dengue, kecamatan-
kecamatan yang termasuk pola Cluster (kuadran I (High-High) dan kuadran III (Low-
Low)) antara lain: Kecamatan Batununggal, Buahbatu, Kiaracondong, Lengkong
(High-High) dan Kecamatan Panyileukan (Low-Low).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Pusat Data dan Analisa Pembangunan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kesehatan Kota
Bandung atas kesediaannya memberikan data yang dibutuhkan.
2. Sdr. Muhammad Rifqi Ramadhan atas kontribusi teknis dalam pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, E. (2002). Sistem Informasi Geografis Menggunakan Arcview GIS. Penerbit Andi.
Indonesia, D. K. R. (2010). Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Badan Litbang dan Pegembangan Kesehatan.
Depkes, R. I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Menkes: Ada Tiga Kelompok
Permasalahan Gizi di Indonesia.
Ginanjar, G. (2007). Apa yang dokter anda tidak katakan tentang demam berdarah. B first,
Yogyakarta.
Hartoyo, E. (2016). Spektrum klinis demam berdarah dengue pada anak. Sari Pediatri, 10(3),
145-150.
Jeefoo, P. (2012). Spatial temporal dynamics and risk zonation of dengue fever, dengue
hemorrhagic fever, and dengue shock syndrome in thailand. International Journal of
Modern Education and Computer Science, 4(9), 58.
Kosfeld, R., & Dreger, C. (2006). Thresholds for employment and unemployment: A spatial
analysis of German regional labour markets, 1992–2000. Papers in Regional
Science, 85(4), 523-542.
Kartika, Y. (2007). Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor tahun
2005.
Lee, J., & Wong, D. W. S. W. (2000). GIS and Statistical Analysis with ArcView. Wiley.

Reka Geomatika - 9
Muhamad Yordi Ardiansyah, Rika Hernawati

Gardner, B., Sullivan, P. J., & Lembo, Jr, A. J. (2003). Predicting stream temperatures:
geostatistical model comparison using alternative distance metrics. Canadian Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences, 60(3), 344-351.
Mitchell, A. (2005). The ESRI Guide to GIS Analysis, Volume 2: Statistical Measurements and
Statistics.
Nakhapakorn, K., & Jirakajohnkool, S. (2006). Temporal and spatial autocorrelation statistics
of dengue fever.
Oyana, T. J., Margai, F. M., Evans, A., Scott, K. E., & MacRoy, P. (2006, November).
Identification of spatial patterns and neighborhood characterization of elevated levels of
child lead poisoning in the city of Chicago, 1997–2003. In Race, Ethnicity & Place
Conference. November (pp. 1-4).
Perobelli, F., & Haddad, E. (2003). Brazilian interregional trade (1985-1996): an exploratory
spatial data analysis. ANPEC-Associação Nacional dos Centros de Pósgraduação em
Economia [Brazilian Association of Graduate Programs in Economics].
Puspitasari, R., & Susanto, I. (2011). Analisis Spasial Kasus Demam Berdarah di Sukoharjo
Jawa Tengah dengan Menggunakan Indeks Moran. Prosiding Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema” Matematika dan Pendidikan
Karakter dalam Pembelajaran”. Yogyakarta: UNY.
Sitio, A. (2008). Hubungan Perilaku Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan
Keluarga dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan
Kota Medan Tahun 2008 (Doctoral dissertation, program Pascasarjana Universitas
Diponegoro).
Rosli, dkk (2010). Spatial mapping of dengue incidence: A case study in Hulu Langat District,
Selangor, Malaysia. International Journal of Human and Social Sciences, 5(6), 410-414.
Sahari, R. J. (2014). Pemetaan Zona Risiko Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten
Karanganyar Menggunakan Estimasi Densitas Kernel.
Scott, L. M., & Janikas, M. V. (2010). Spatial statistics in ArcGIS. Handbook of applied spatial
analysis, 27-41.
Tobler, W. R. (1970). A computer movie simulating urban growth in the Detroit
region. Economic geography, 46(sup1), 234-240.
Widodo. (2007). Profil nyamuk aedes dan pembasmiannya.
Yatim dkk. (2016). PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SEHAT DENGAN PENCEGAHAN
MALARIA. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Keperawatan, 1(1).

Reka Geomatika - 10

Anda mungkin juga menyukai