95110-Wilda Darnela Adiwildan-Fah PDF
95110-Wilda Darnela Adiwildan-Fah PDF
SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora
Oleh:
WILDA DARNELA ADIWILDAN
105022000855
Di Bawah Bimbingan
Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 20 September 2010. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Sidang Munaqosyah
Penguji Pembimbing
dan eksternal yang menyebabkan Patani menjadi bagian dari wilayah integral
Thailand yang dalam konteks historis dan kulturnya sangat berbeda. Sejarah,
budaya, dan bahasa yang dimiliki Patani lebih dekat dengan Muslim di Malaysia
dimulai tahun 1902 dan langsung mendapat kecaman dari kalangan elit Patani.
Thailand dan Inggris, dengan tanpa melibatkan orang-orang Patani sebagai obyek
yang diintegrasikan. Tak ayal, prosesnya pun diwarnai konflik pertentangan dari
tahapan integrasi yang dilakukan Thailand terhadap Patani antara tahun 1902-
1932, serta melihat faktor penyebab integrasi tersebut, dan hasil perkembangan
Bendahari = bendahara
Gabenor = Gubernur
Kabupaten = daerah
Laksamana = admiral
Muang = kota
Nation = bangsa
system of local
Dzat yang Maha Pengatur dan Pemberi Kemudahan, Allah SWT. Akhirnya, jerih
payah dan kesabaran menanti kepastian yang telah digoreskan Sang Penguasa
kehidupan telah terjawabkan, tanpa keridhoan dari-Nya mimpi ini tidak akan
pernah jadi kenyataan. Hanya Dia yang setia menemani ketika jiwa ini dalam
kerapuhan, pikiran, dan hati yang tersesat, kelelahan yang tiada tara, waktu yang
terus merongrong. Demi Dzat yang Maha Sempurna, penulis tidak akan bisa
1. Orang tua tercinta; ayahanda yang telah lama ‘pulang’ ke pangkuan Illahi
Terima kasih yang tulus, rasa ta’dzim dan hormat penulis haturkan atas
kesabaran, nasihat dan kasih sayang yang tiada pernah berujung. Ini wujud
‘bangga’ untuk ayahanda dan ibunda dari ananda, semoga Allah selalu
2. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora
i
3. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam
5. Awalia Rahma, M.A, selaku pembimbing dalam menyusun skripsi ini, dan
salah satu dosen yang memiliki komitmen dan loyalitas dalam mengajar
9. Teman-teman Patani Wira Tahe, Weera, Nur, Ustad Hasan Daud, dan
10. Terima kasih kepada Teater Syahid dan Lab Teater Syahid, dan seluruh
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ……………………………………………………… 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 5 Darft cacatan komoditi Patani berdasarkan sumber Barat dan China
PENDAHULUAN
Islam di Asia Tenggara paling tidak memiliki sejarah tujuh abad. 1 Selama
itu pula Islam tumbuh di wilayah ini dipengaruhi oleh lingkungan baik secara
budaya dan tradisi sosial masyarakat Asia Tenggara. Bahkan Islam merupakan
Tenggara terhadap Islam baik secara spiritual, psikologi dan intelektual sangat
Patani (dalam ejaan Thailand ditulis Pattani), dalam skripsi ini penulis
bersama Kerajaan Ayuthia antara tahun 1283 dan 1287 berhasil mengalahkan
1
Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.1
2
Penulis menyebutnya Patani karena ejaan tersebut masuk dalam konteks sejarah awal
dan kepercayaan Melayu-Muslim Patani, nama tersebut juga merujuk kepada nama Kerajaan
Melayu Islam Patani. Kini nama Patani telah diubah ke dalam ejaan Thailand dengan nama Pattani
(memakai dobel ‘t’), dan merupakan nama sebuah provinsi di Thailand Selatan. Pembahasan ini
lebih lanjut akan diterangkan dalam BAB II.
2
kebudayaan Siam. 3
Patani pada masa raja-raja perempuan, muncul menjadi pusat perniagaan Melayu
yang kuat menyaingi Siam. Letak geografis dan peranan pelabuhan yang amat
strategis menjadikannya pusat perdagangan bagi para pedagang dari Timur dan
Barat. Selain itu, kekuatan politik serta kemapanan ekonomi yang dicapai oleh
Patani menjadikannya sebagai negara kerajaan terkuat yang disegani oleh negara
pemerintahan Raja Kuning berakhir dan tidak ada yang mampu melanjutkan
kejayaan yang dicapai Patani. Dalam Hikayat Patani, raja-raja pengganti setelah
Raja Kuning saling berebut kekuasaan, Raja sering kali dijadikan sebagai boneka
Selain itu, akibat penyerbuan yang dilakukan oleh Siam, Kerajaan Patani lambat
kerajaan tersebut dengan mudah dapat dikalahkan oleh Siam. Sebagai bentuk
kekuasaan Siam atas Patani, maka setiap dua setengah tahun sekali kerajaan-
kerajaan Melayu harus mengirimkan upeti berupa Bunga Mas (semacam upeti
3
D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun,
hal.153-154
4
Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi :
Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4
3
berbentuk pohon yang terbuat dari emas dan perak) 5 dan menyerahkan orang atau
tradisi pengiriman upeti Bunga Mas tersebut dipandang oleh orang-orang Eropa
sebagai tradisi yang tidak sesuai dengan hukum dan kebiasaan orang-orang
oleh Portugis tahun 1511 M. Namun kemunculan pasukan Portugis selalu dapat
5
D.G.E.Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.32-33,
lihat juga literature dalam bahasa Melayu Haji Abdur Rahman Dawud, Sejarah Negara Pattani
Darussalam terbitan Pattani, hal.,56. Beberapa sumber mengatakan hal yang berbeda mengenai
jangka waktu tiap pengiriman upeti bunga mas, lihat dalam jurnal karangan Yunariono Bastian,
Paradigma, Jurnal Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni
2003.
6
D.G.E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.479.
Lihat juga di buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, hal.,32-33
7
Ibid., hal.,479
8
Saiful Mujani, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta :
LP3ES, 1993, hal.30
4
Negara yang merupakan anggota sebuah komunitas politik yang ditentukan oleh
status kewarganegaraan dan hak warga negara, dan batas-batas komunitas budaya
baik integrasi teritorial, politik dan budaya untuk membangun politik integrasi
lokal, yang kebanyakan ditempati oleh orang Eropa tetapi juga mencakup
beberapa anggota lokal dari kelas bangsawan. Tahun 1918 sistem ini diperluas ke
9
Ibid. hal.31
10
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.61
11
Howard M. Federspiel, Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in Southeast
Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007, hal.97-98
5
kebijakan ini ke dalam sistem pendidikan, bahwa setiap warga negara yang berada
sebagai suatu pembentukan negara dan komunitas politik yang dilakukan bangsa
meratifikasi batas antara negeri Thai dengan Malaya Inggris dan menetapkan
wilayah Patani, Narathiwat, Songkla, Yala dan Satun menjadi bagian wilayah
12
Ibid. hal.109
13
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta
: LP3ES, 1989, hal.22
14
Wan Kamal Mujani, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke-21,
Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002, hal.11
15
Artikel dengan judul “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand
Selatan” oleh Badrus Sholeh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur, tanpa
tahun.
6
tersebut memiliki tradisi dan budaya Melayu dan agamanya Islam. Upaya ini
sekaligus menjadi tonggak sejarah runtuhnya kedaulatan Patani. Patani bukan lagi
sekedar negara jajahan bagi Siam tetapi menjadi bagian integral dalam Kerajaan
terhadap seluruh masyarakat Patani, artinya seluruh rakyat yang berada dalam
disebut bangsa Siam atau Thai. Reaksi atas dicetuskannya gagasan integrasi
budaya dan politik antara negara Thailand dengan Melayu-Muslim Patani bahkan
berujung pada persoalan agama, dan menjadikan Siam (Thailand) menjadi salah
Patani sehingga menjadi bagian integral Thailand? dan sejauh mana tahapan-
dalam Siam?
sebagaimana, menurut David Brown, hal ini sebagai upaya untuk mono-ethnic
character of the State – etnik tunggal yang menjadi ciri khas dari negara
Thailand. 16
Selain itu, berbagai pola integrasi yang dilakukan bangsa Eropa, kemudian
disadari raja Chulalongkorn sebagai salah satu gagasan yang tepat dalam
16
David Brown, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs 62,
1988, hal.51-71
7
yang diduduki oleh Belanda, juga Singapura dan Malaysia yang diduduki oleh
wilayah Patani ke dalam wilayah Thailand. Pada tahun-tahun awal inilah kegiatan
oposisi yang dipimpin oleh keluarga kerajaan digulingkan dan para pemimpin
kehilangan posisi agama Islam dan mereka sebagai Muslim diperkuat dalam
penindasan-penindasan yang lebih keras dari pihak pemerintah Thai. Hal yang
paling signifikan pada periode ini adalah setelah secara final Patani dimasukkan
ke dalam Kerajaan Thai adanya upaya mempertahankan identitas Melayu yang tak
bisa dipisahkan. Kemudian muncul respons dari kalangan mantan para raja
Thailand pada tahun 1922 yang dikenal dengan peristiwa Namsai. Hingga
berakhirnya ciri kerajaan monarki absolut Thailand pada tahun 1932, berakhir
baru bagi otonomi budaya mereka. Skripsi ini akan mengkaji, sejauh mana
17
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta
: LP3ES, 1989 , hal.48
18
John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary
Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies,
2006, hal.78
8
THAILAND 1902-1932”.
B. Kerangka Teori
politik, dan sosial. Namun seiring perkembangannya integrasi politik dan sosial
nasional menurut Rupert Emerson dan Kh. Silvert adalah sama arti dengan
integrasi teritorial, sedangkan bagi Weiner, integrasi nasional tidak hanya meliputi
masalah teritorial dan perbedaan elite-massa saja, melainkan lebih luas lagi. Hal
ini dipertegas dengan istilah ‘nasional’ yang merujuk pada makna‘nation’ yaitu
memiliki beberapa aspek, seperti aspek horizontal (teritorial) dan aspek vertikal
19
Saafrudin Bahar, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1996, hal.97
20
Ibid., hal.4
9
(elite-massa). Kedua aspek tersebut dapat dikaji dari segi tujuan integrasi, dari
segi konsensus atau dari segi budaya politik. Juga sifat integrasi dianggap sebagai
suatu proses bukan sebagai suatu yang konstan. Agama atau ideologi adalah salah
langkah yang bisa diramalkan sebagai suatu tindakan sosial bilamana muncul
tujuan tersebut, diperlukan proses penyesuaian apabila terjadi kondisi genting agar
sistem budaya dan nilai-nilai umum yang berkaitan dengan hukum dan kontrol
sosial yang diinginkan dapat terjalin secara solidaritas, menyeluruh, dan kuat.
Tahapan-tahapan ini diikuti oleh tahap pemeliharaan pola sistem yang bersifat
adalah suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kepada satu bentuk
skripsi ini tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus terhadap kajian awal, maka
24
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999, hal.90
11
D. Metodologi Penelitian
sumber primer dan sumber sekunder. Pengumpulan sumber data penulisan skripsi
25
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999, hal.54
26
Ibid., hal.,55-56. Lihat juga Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal,
Bumi Aksara, 2004, hal.20
12
wawancara dengan beberapa informan yang berasal dari Patani serta beberapa
dalam arti memilah mana sumber asli dan benar, sedangkan kredibilitas dalam arti
Kemudian penulis akan menemukan korelasi dan solusi baru mengenai tema yang
akan dibahas.
kondisi sosial Patani masa Kerajaan Siam hingga terjadinya proses integrasi
E. Sistematika Penulisan
sistematika penulisan.
27
Louis Gottschalk, Understanding History, penerjemah; Nugroho Notosusanto,
Mengerti Sejarah, Jakarta : UI-Press, 1985, hal.80 dan 95
13
dalam bidang agama, sosial-budaya, politik, dan ekonomi pada masa sebelum
terjadinya integrasi. Masa ini juga disebut masa transisi Patani ke dalam wilayah
Kuning.
integrasi, konsep integrasi perspektif PBB, dan pengertian integrasi dan konsep
Patani tahun 1902-1932, mencakup pencetus dan faktor integrasi bagi Patani,
tahapan integrasi Patani ke dalam wilayah Thailand Tahun 1902 – 1932, dan
BAB II
Patani kini menjadi salah satu dari lima provinsi di Thailand Selatan
disebut Pattani, empat provinsi lainnya adalah Yala, Narathiwat, Satun (Setul) dan
Thailand (65 juta pada tahun 2001). 28 Mayoritas berasal dari Melayu asli,
beragama Islam, dan mewakili empat per lima warga Muslim di Thailand. Mereka
adalah minoritas terbesar kedua setelah Cina, dan menyebut diri mereka sebagai
"Jawi". 29
menurut Omar Farouk, jumlah Muslim berdasar perhitungan akademik dan media
lebih banyak 2 kali dari perkiraan resminya. Bahkan menurut Chaiwat Satha-
Thailand, terdapat sekitar 3.113 masjid dengan perkiraan 183 rumah tangga per
masjid, masing-masing dengan delapan anggota, maka ada sejumlah 4,5 juta
muslim atau 7,3 persen dari total populasi. 30 Bahkan Gilquin menempatkan
28
Pierre Le Roux, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand),
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224
29
Ibid.,hal.223-255
30
John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary
Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies,
2006, hal.77
15
Narathiwat 1,135,050
Pattani 1,230,750
Satun 514,500
Songkhla 1,036,000
Yala 1,088,500
Total 5,004,800
Muslim sebanyak 2.815.900, atau 4,6 persen dari total populasi 60.617.200, naik
dari 4,1 persen pada tahun 1990. Di empat provinsi selatan sekitar 70 persen dari
(sebagian besar dari mereka tinggal di dalam atau di sekitar bekas ibukota
Ayuthaya), di antara mereka berasal dari Thailand dan negara di Asia Tengah,
Asia Selatan, dan Timur Tengah atau pindah tempat tinggal secara paksa dari
31
Ibid. hal.77-78
16
selatan setelah perang. Sejak akhir tahun 1970-an akibat konflik intern dan
yang terisolasi di seluruh daratan tengah, ada sekitar 26.000 Muslim di utara -
sebagian besar etnis Cina yang tinggal di sekitar Chiang Mai - meskipun laporan
Besar (The Great Patani Negeri) yang mencakup daerah Narathiwat (Teluban),
Yala (Jalor), dan beberapa daerah Senggora (Songkhla, bagian Sebayor dan
Semenanjung Malaya dan ideologi Islam yang memiliki identitas Melayu. Asal
usul Patani diyakini berasal dari sebuah Kerajaan Hindu-Budha yang bernama
32
Ibid. hal.78
33
Menurut beberapa catatan ada banyak versi nama Langkasuka: Lang-Hsi-Chia,
Langkasuka bahkan muncul dalam sebuah fabel pertanian di Kedah, Alang-Kah-Suka, sebuah
cerita tentang Putri Sadong, perempuan yang mengalahkan beberapa makhluk surgawi dan
kambing liar di bukit kapur, dia menolak semua pelamar. Lihat Paulus Rudolf Yuniarto,
“Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism,
Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional
(Indonesia), 2004, hal.36
Sumber-sumber yang menceritakan Langkasuka terdapat dalam catatan Cina zaman
Dinasti Liang, Langya hsiu, Inskripsi Rajendra Chola (Tajore, India) yang tertulis dalam teks
Jawa, bernama Illangasokam (1030). Dalam catatan tersebut diceritakan ketika Rajendra Chola
(Raja India) sedang melakukan ekspedisi ke Semenanjung Malaya, dan Langkasuka adalah salah
satu sasaran dari ekspedisi tersebut dalam rangka penaklukan dan penguasaan bidang perdagangan
mereka. Pun dalam catatan Nagarakartagama tahun 1365 oleh Prapanca, Langkasuka berada
dibawah kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya. Sumber-sumber lain yang menceritakan Sejarah
Langkasuka terdapat dalam teks Arab berjudul Kitab AlMinhaj al-fakhir fi-ilmi al-bahr alzakhir,
Hikayat Merong Mahawangsa, Catatan Tradisi Kedah ‘Alangkah suka’, dan Hikayat Pasai (1370).
17
Semenanjung Malaya antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan dengan ibu kota
di daerah Yarang, dan dikenal sebelum abad 12 M, teori ini didasarkan pada
catatan Cina. 34 Menurut Welch dan McNeill, Langkasuka adalah nama lain dari
tiga situs penggalian dan tiga puluh gundukan kuburan yang meliputi luas
catatan sejarah Thailand masih kabur. Melalui catatan Cina, dipastikan Kerajaan
agama Islam, 36 kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Patani. Sekitar abad ke
(Adi Haji Taha, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman Perpustakaan
Awam Kedah, Alor Setar, Kedah, 11-12 Maret 2000).
34
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.35.
35
Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”,
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224-225.
36
Sesungguhnya banyak sekali pendapat mengenai kapan Islam mulai singgah dan
tersebar ajarannya di wilayah ini, beberapa diantaranya bahkan tidak bisa memastikan abad berapa
dan tahun berapa Langksuka berpindah menjadi Islam. Hikayat Patani mencatat bahwa Islam
sebenarnya telah ada di Patani pada abad 10, namun Patani benar-benar menjadi Islam ketika
seorang Raja Pasai bernama Syeikh Said berhasil mengislamkan Raja Langkasuka bernama Paya
tu Nakpa. Hubungan pertama, karena Raja Paya terserang sakit yang tak bisa diobati siapapun,
seketika Syeikh Said mengobati penyakit Raja Paya kemudian sembuh. Baca A. Teeuw dan D. K.
Wyatt, Hikayat Patani, Koninklijk 5 The Hague : Martinus Nijhoff : Koninklijk Instituut Voor
Taal, Land-en Volkenkunde, 1970, hal.71-72. Lihat juga Ibrahim Shukri, Sejarah kerajaan Melayu
Patani, Pasir Puteh, hal.26. Namun kedua sumber tersebut tidak mencatumkan angka tahun.
Sedangkan M. Ladd Thomas mengatakan kemungkinan masyarakat di wilayah ini masuk Islam
menjelang akhir abad ke 13 M, lihat Political Violence in the Muslim Provinces of Southern
Thailand, ISEAS No. 28, April 1975, hal. 4
Merujuk keterangan W. K. Che Man diperkirakan Langkasuka menerima Islam pada
tahun 1457 yakni abad 15, lihat W. K. Che Man, Islam in Contemporary dalam Akademika Vol.34
Januari 1989, hal. 114. Pernyataan seorang ahli matematika Eropa, Emanuel Gidinho Eridia,
18
Patani sehingga menjadi kesatuan sistem tidak hanya dalam aspek identitas agama
melainkan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam aspek politik, sosial-
budaya, dan ekonomi. Hal ini terbukti dengan perpindahan Kerajaan Langkasuka
menjadi sebuah Kerajaan Melayu Islam (Kerajaan Patani) dengan sistem politik
kesultanan dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Patani pada abad
satu ciri identitas dan kesatuan dalam satu sistem agama sangat historis dan wajar.
Terbukti ketika dimulainya penyebaran Islam yang lebih signifikan pada abad 16
dan kehadiran Portugis di Asia Tenggara, membawa kesan antara Islam dan
Kristen untuk tersebar di tiap daerah. Sehingga menuntut Islam untuk bertindak
masyarakat adat. 38 Pendapat ini, diperkuat oleh pendapat Amran Kasimin, bahwa
mengindikasikan kesamaan masuknya Islam ke Pattani pada abad 15, menurutnya Islam telah
diterima Patani sebelum Parameswara di Malaka menerima Islam tahun 1411 M, didasarkan pada
batu nisan orang arab di dekat Kg. Teluk Cik Munah bertarikh 1028, lihat Haji Abdul Halim
Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani Besar: Patani, Kelantan dan
Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.47
37
S.M. Naquib al-Attas, Konsep Islam dalam Kebudayaan Melayu, Al-Islam. Vol.9.
tahun III, Ramadhan 1396 atau September 1976, hal.22-24
38
Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast
Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.38
19
Namun sayang, perjalanan kerajaan kecil ini harus berhadapan dengan kerajaan di
utara berbasis agama Budha, Kerajaan Siam (Thailand), dan berakhir dengan
periode Siam (Thailand) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu satu segmen
Umumnya mereka adalah para imigran, sedangkan yang lainnya yang berada di
selatan, sangat menentang negara dan cenderung radikal dan disebut Muslim
lokal. Mayoritas Muslim lokal di Thailand menganut sekte Sunni dan madzhab
berbeda, seperti Muslim Persia menganut sekte Syiah yang memiliki kapasitas
berbeda dalam Kerajaan Thailand. Ada juga sekelompok kecil Muslim menganut
bahwa nabi Muhammad saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam
pengganti, oleh karena itu, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar,
Umar dan Usman. Sementara golongan Mustali Ismailiyah adalah sub kelompok
39
Amran Kasimin, Religion and Social Change among the Indigenous People of the
Malay Peninsula, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, hal.xi, dalam Hasan
Madmarn, Conference on Religion and Society in the Modern World: Islam in Southeast Asia,
Jakarta, 29-30 Mei 1985, hal.1
40
Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of the Southern Thailand
Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor; Amit
Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 2009, hal.43-44.
20
dari golongan Imamiyah, mereka berkeyakinan sama bahwa imam pertama adalah
Ali bin Abi Thalib, kemudian imam pindah kepada putra Ja’far as-Sadiq, Ismail
kelompok ini terdiri atas para muallaf Thailand yang berpindah ke Islam
dan imgran Muslim berasal dari Bengali, Cham, Cina, India, Indonesia,
Kata Patani berasal dari kata Arab Fathan atau Fathoni artinya cerdas.
Arti definisinya bahwa di tempat ini banyak lahir orang-orang cerdas. Sedangkan
penyebutan Patani dengan dobel ‘t’ karena menganggap tempat ini dipimpin para
41
Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hal.8
21
pada ejaan Melayu 'Patani' merujuk pada Kerajaan Patani, 43 sementara pemerintah
Thailand menyebutkan ejaan ‘Pattani’ dengan dobel ‘t’ didasarkan pada ejaan
raja-raja Melayu di provinsi Yala, Narathiwat, dan Pattani. Istilah lain dalam ejaan
provinsi Yala, Narathiwat, Satun, dan Songkhla mereka tetap disebut dengan
sebutan ‘Pattani’. Bahasa yang digunakan oleh mayoritas kelompok ini adalah
42
Artikel Sri Nuryanti, In Search of Identity of Pattani, hal.12-13. Dipresentasikan di
Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret 2003.
43
Versi ini berdasarkan catatan Hikayat Patani dan Sejarah Kerajaan Melayu, terdapat
dua versi. Pertama, nama Patani berasal dari “pantai ini”. Cerita ini disandarkan pada kisah
seorang putera raja yang terdampar di “pantai ini”, secara kebetulan masyarakat di negeri tersebut
sedang mencari seorang pengganti raja, maka diangkatlah putera raja tersebut menjadi raja dengan
seekor gajah putih sebagai mediator pemilihan raja tersebut. Menurut versi bahari apabila belalai
gajah menyentuh seseorang maka dialah yang diangkat menjadi seorang raja. Gajah itu memilih
putera raja yang terdampar tadi, dan disebut “raja di pantai ini”. Nama ini lambat laun berubah
menjadi “raja pata ni” dan kemudian “pata ni” dan kemudian patani.
Kedua, versi ini berasal dari kata yang sama yaitu “pantai ini”. Perbedaannya terletak
dalam kisahnya. Serombongan raja berburu seekor rusa, ketika dikejar rusa tersebut berlari menuju
sebuah pantai bernama “pantai ini”. Rusa itu tiba-tiba menghilang tepat di pantai tersebut.
Berdasarkan kisah ini dikenal dengan nama “pantai ini” (maksudnya: hilang di pantai ini). Lihat
Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.12-
13. Lihat juga Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi
(Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.229-230.
44
Chaiwat Satha-Anand, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political
Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 (February 1992), hal.1-38, dalam Thanet Aphornsuvan, History
and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.3. Lihat juga S.
P. Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand Discord, No. 107
(February 2006), Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.1.
Lihat juga catatan kaki dalam Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural
Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.250, secara historis
ditulis dengan satu huruf ‘t’ merujuk kepada kesultanan Patani atau Patani Besar, Le Roux sendiri
menggunakan dobel ‘t’ karena saat ini Pattani termasuk provinsi di Thailand Selatan
22
kelas sosial dasar, yaitu pengatur dan yang diatur. Stratifikasi sosial Patani
ditentukan status mereka secara relatif, misalnya, sultan berada di posisi puncak
dalam kelas sosial masyarakat Patani, diikuti oleh para bangsawan keturunan
kerajaan, umumnya mereka diberi gelar Teuku atau Tuan, Nik, dan Wan. Jika
tidak berlaku, namun apabila dia melahirkan anak laki-laki gelar tersebut jatuh
kepada anak laki-laki tersebut. Selanjutnya, adalah pemimpin agama atau pejabat
tinggi yang diberi gelar Dato’ Seri, Dato’ dan To’ sebagai lambang dari otoritas
dan kemampuan mereka secara ekonomi dan politis. Kategori kedua ditempati
tiga kelompok: 46
2) Kelompok yang dapat berbicara Melayu Patani tetapi tidak bisa membaca
teks Jawi. Kelompok ini juga dapat membaca dan berbicara bahasa
nasional Thailand.
3) Kelompok yang sama sekali tidak dapat berbicara bahasa Melayu tetapi
pandai dalam bahasa Thai. Kategori ini dapat ditemukan di Satun (Setul).
45
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39
46
Artikel Ahmad Amir Bin Abdullah, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/ 2009,
hal.4
23
pelbagai alat teknologi, seni bangunan seperti istana, masjid, keramik, seni hias
dan yang amat penting naskah-naskah atau manuskrip Melayu. Selain itu,
atau po-noh sebagai ciri peradaban Islam dalam bidang pendidikan Islam
tradisional. Budaya dan peradaban Islam Patani lainnya tertuang pada kesenian
tari klasik yang dipadukan dengan tradisi Islam seperti tarian Inai, persembahan
tarian drama Makyung, permainan gasing leper, dan lain-lain. Juga ada semacam
perahu yang biasa dipakai para nelayan Patani yang berukir, ukiran itu disebut
Kolek, ciri dari perahu ini hanya bisa ditemukan di Patani sehingga disebut
penduduk pada masa kejayaan Patani. Sebab itu, terdapat kesamaan ciri dan
karakteristik kebudayaan antara Patani dengan dan Kelantan, selain kedua negara
kesamaan sifat antar sesama Melayu, seperti nama Wan atau Nik yang digunakan
47
R., Firth, Malay Fisherman: Their Peasant Economy, London: Trench, Trubner and
Co., 1946, hal.46 dalam Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.237. Lihat juga D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara,
Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.57, lihat juga pendapat Cortez dalam Pierre Le Roux,
To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand), Asian Folklore Studies,
Volume 57, 1998, hal.230
24
kesamaan dialek, seperti yang dituturkan oleh Asmah Haji Omar, bahwa bahasa
yang digunakan oleh orang-orang Patani hampir sama dengan Kelantan, tetapi
dengan khas fonologitis tertentu. 49 Elit lokal di Patani terdiri atas bangsawan dan
tokoh-tokoh Islam. Tokoh agama disebut ustadz (guru menengah) dan Tok Guru
Arab Saudi, Mesir, Libya, Afghanistan, dan Pakistan. Peran ulama yang sebagian
Patani. 50
Jawi. Tulisan Jawi berupa bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab,
pelajaran agama yang sesuai dengan Islam. Menurut Gilquin, Jawi adalah bahasa
Selain itu, bahasa Melayu yang tertulis dalam tulisan (Arab) Jawi menjadi
kekuatan besar di balik penyamaan bahasa Melayu dan Islam, ke manapun Islam
pergi membawa pesan al-Quran dan tulisan Arab, sehingga memiliki keterkaitan
48
Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.238-239
49
Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”,
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.230
50
Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for The
Continuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State
Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.112
51
Michel Gilquin, The Muslims of Thailand, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.110
25
tidak hanya aspek komunikasi dan kebudayaan Melayu, melainkan juga dengan
aspek ajaran, dakwah, dan ritus-ritus Islam. Sehingga bahasa Melayu sangat
Langkasuka yang ditemukan di dalam naskah India dalam bahasa Jawa. Bahwa
kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, di bawah kendali dua kerajaan besar ini
bahwa asal-usul orang-orang Patani adalah dari suku Jawa Melayu bermula pada
abad 8 dan 9 M. Pernyataan ini muncul dari hubungan komersial yang melibatkan
kerajaan Sriwijaya. 53 Dengan demikian, bahasa Melayu dan adat istiadat Melayu
pengaruh dan peranan besar Kerajaan Sriwijaya dalam konteks historis identitas
dekat dengan istilah “Jawa” (sebuah pulau di Indonesia), dan istilah Jawi tidak
hanya untuk masyarakat Melayu Patani, melainkan bisa jadi ditujukan kepada
52
Seni Mudmarn, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil Studi
Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Editor: Saiful Mujani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.339
53
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.36-37
26
orang-orang yang ada di Indonesia khususnya Jawa dan Sumatera, dan kelompok
lain yang ada di Malaysia. Namun, ketika Islam mulai tersebar dan mendominasi
di daerah ini, term Jawi yang semula sama dengan sinonim Melayu, mengalami
pergeseran makna. 54
beragama Islam dengan istilah Khaeg 55 yang berarti orang asing atau orang luar
sebagai pengunjung atau tamu. 56 Pada masa raja-raja, istilah khaeg atau khaek
atau khake digunakan dalam deskripsi Melayu-Muslim di selatan pada akhir abad
Sebetulnya, istilah khaek sudah dianggap tidak pantas dan menghina orang-orang
Muslim karena ia menciptakan rasa penghinaan dan jarak sosial di antara berbagai
54
Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”,
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.234, mengenai istilah Jawi para akademisi banyak
yang berpendapat seperti Denys Lombard, mengatakan bahwa istilah Jawi ditujukan bagi Umat
Islam di Asia Tenggara, merupakan sinonim dari Melayu-Muslim, meskipun sebelumnya hanya
ditujukan bagi orang-orang Indonesia dan Malaysia. Juga merupakan salah satu penulisan bahasa
Melayu yang ditranskip ke dalam dua cara, yaitu konteks baru karakter roma (baso rumi), dan
konteks tua huruf Arab (baso jawi), artinya Jawi merujuk pada skrip Arab untuk menulis bahasa
Melayu.
Dalam Hikayat Patani disebutkan bahwa istilah “Jawi” memang sudah lama dipakai oleh
masyarakat Melayu-Pattani untuk menunjukkan identitas mereka. Namun, dalam konteks Pattani
yang disebut Jawi adalah dialek, sedangkan gaya penulisannya disebut Sura’jawi, dan Basojawi
untuk bahasa lisan mereka, dan Orejawi untuk identitas perorangan. (hal.237 dan 251)
55
Omar Farouk, “Asal-usul dan Evolusi Nasionalisme Etnis Muslim Melayu di
Muangthai Selatan”, dalam Ed. Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan
Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.297. Thanet Aphornsuvan menyebutnya
dengan ejaan Khaek, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat
University, 2003, hal.5. Lihat juga dalam Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme
Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.46, menyebutnya dengan ejaan Khake.
56
Menurut Michel Gilquin, penyebutan ‘tamu’ (bahasa Inggris: guests) pada awalnya
hanya untuk memanggil Muslim dari Malaysia, Pakistan, India, atau Timur Tengah, selanjutnya
mengalami pergeseran makna dengan memasukkan Cham dan Yunannese Muslim dan dengan
demikian menjadi istilah penutup bagi seluruh umat Islam. Namun pergeseran makna ini dianggap
menunjukan kesulitan yang fundamental. Lihat Michel Gilquin, “The Muslims of Thailand”,
Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.184 dalam The American Journal of Islamic
Social Sciences 24:2, hal.110.
27
ras dan agama. 57 Istilah Melayu-Muslim dalam bahasa populer dengan istilah
Thai-Muslim atau Thai-Islam. 58 Istilah ini lebih resmi diberikan oleh pemerintah
Thailand, yaitu pada tahun 1940 masa Phibul Songhkram. Tetapi sebutan ini
“orang Siam”, meskipun terdapat sejumlah Muslim berasal dari Pakistan, India,
Cina dan Siam di Thailand, namun komunitas Melayu Muslim adalah mayoritas
Muslim Patani menganggap diri mereka adalah pribumi, karena mereka telah
mengendalikan dan menguasai daerah ini, namun akibat klaim dan aneksasi
Kerajaan Siam gagasan mereka sebagai tuan rumah bergeser menjadi sebagai
Melacak proses awal historis Patani bisa dilihat dari sejarah Kerajaan
21). Langkasuka tidak terdengar lagi sekitar akhir abad 13 M, menuju awal abad
14 muncullah nama Patani sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam, rajanya yang
57
Thanet Aphornsuvan, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.5.
58
Patrick Jory, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn 2006,
hal.24
59
Erni Budiwanti, “Forced Cultural Assimilation and it’s Implication fot The
Continuation of Pattani’s Muslim Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State
Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.113-114
28
pertama masuk Islam bernama Phya Tu (Piyatu) Nakpa dan mengganti namanya
politik Patani adalah khas masyarakat Melayu. 61 Hal ini bisa dilihat dari sistem
politik yang dianut Patani telah dipengaruhi oleh sistem kerajaan-kerajaan Islam
pangeran atau wakil yang menggantikan pangeran sebagai penguasa lokal, yang
kerajaan di bawah perintah sultan dan pangeran. Juga ada para pejabat daerah,
negara dan peralatan istana, shahbandar (master pelabuhan) yang mengelola pasar
dan gudang dan mencek berat, ukuran, dan koin yang digunakan. 62
utama agama. Mufti adalah pejabat tertinggi negara dalam mengeluarkan fatwa
60
Adrur Rahman Dawud, H., Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam bahasa
Jawi, hal.15.
61
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39
62
Ibid. hal.40
29
dan interpretasi al-Quran, dan memiliki kewenangan mengkritisi sultan jika sultan
keluar dari aturan syariah. Di bawah mufti, terdapat seorang kadi sebagai hakim
Islam dan pensehat keagamaan kepada bupati, imam, khatib dan bilal. 63
bernama Wurawari dengan ibukota Kota Mahligai dengan raja Phya Tu Kerab
Mahayana, faktor buruknya akses hubungan ekonomi dan politik, akhirnya Phya
lebih dekat dengan pantai. Pada tahun 1395 hingga 1398, Nakhon Si Thammarat
jatuh ke tangan Ayuthia, yang dipimpin oleh raja Rama Cau Sri Bangsa, dengan
Asumsi ini berdasarkan fakta, bahwa pada abad 13 orang-orang Thai telah
(sistem kerangka sungai) dengan Ayuthia, artinya meski Patani pada saat itu
kemajuan tersebut masih dianggap kecil oleh Kerajaan Siam, dengan begitu
63
Ibid.
64
Haji Abdul Halim Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani
Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.39
30
Patani sebagai Negara yang lebih lemah dibanding dengan Siam harus mengakui
perupetian atau sistem feodal, yaitu Patani harus mengirimkan secara simbolis
upeti Bunga Emas dan Perak sebagai tanda persahabatan dan kesetiaan dengan
Thailand. 66 Meski menjadi egara feodal, namun Patani masih memiliki hak
otonomi. Sistem perupetian ini berlangsung dari abad 13 hingga akhir abad 18 M.
yaitu aturan langsung dan tidak langsung. Aturan langsung berarti mengirimkan
dengan tetap menjaga hubungan baik dan persahabatan melalui sistem upeti
tersebut. 67
dengan Patani, namun para sultan Patani tidak ada yang menghendakinya.
di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah (Kerup Phicai Paina) putra dari Sultan
Ismail Syah membentuk suatu kekuatan baru bersama Kerajaan Johor, Pahang,
65
M. Ladd Thomas, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern Thailand,
ISEAS No. 28, April 1975, hal.,4. Lihat juga Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The
Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12
66
Moshe Yegar, Between Integration and Secession: The Muslim Communities of
Southern Philippines, Southern Thailand and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books,
2002, hal.74
67
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.12
31
Ayuthia tahun 1563 ketika sedang terlibat perang dengan Burma, di bawah
Syah wafat dan dikebumikan di Kuala Sungai Chao Phra’ya (sungai yang ada di
negeri Siam). 69 Tahta pemerintahan Patani digantikan oleh adik Mudzafar Syah,
damai pun digulirkan pihak Patani kepada pihak Ayuthia, dengan mengutus Wan
Sultan Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Patik Siam, anak dari Sultan
Mudzafar Syah, ketika itu berumur 9 atau 10 tahun. Kepemimpinan Patik Siam
Sultan Patik Siam terbunuh di tangan Raja Bambang (saudara tiri Patik Siam)
pada tahun 1573. Pada peristiwa pembunuhan tersebut, Siti Aisyah ikut terbunuh.
Tahta pemerintahan Patani, kemudian digantikan oleh Sultan Bahdur Syah, anak
dari Sultan Mansyur Syah. Sekali lagi, kepemimpinan Sultan Bahdur Syah pun
tak lama direbut oleh saudaranya Raja Bima dan berakhir dengan kematian Sultan
Bahdur.
68
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.39.
Kronik Kerajaan Ayuthia pada tahun 1564, mencatat bahwa Ayuthia terpaksa menyerah
terhadap Burma, lantaran Pattani yang sedari awal diminta untuk membantu Ayuthia melawan
Burma, berbalik melawan dan menyerang Ayuthia untuk menyerang Raja dan merebut istana.
Namun, raja Ayuthia yang bernama Phra’ Maha Cak Kapat berhasil meloloskan diri dan
bersembunyi. (Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.13)
69
Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam,
1994, hal.18
32
memiliki pewaris tahta laki-laki, karena itu, pemerintahan Patani diambil alih oleh
ratu-ratu tersebut adalah Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu
Ungu (1624 – 1635), dan Ratu Kuning (1635-1651). Patani beberapa kali
tahun 1603, namun usaha tersebut dapat dipatahkan oleh Patani. Semasa
semakin dieratkan sebagai wujud pertahanan politik Patani, dan beberapa kali
ekspansi Patani ke dua wilayah tersebut, membuat Patani dikenal sebagai Negeri
Patani Besar (The Great Patani State) (Lihat lampiran 3). Kemudian, Pahang
menjadi bagian dari Patani, karena pernikahan antara Ratu Ungu dengan Sultan
Pahang. 71 Pada masa Ratu Ungu, Patani mengeluarkan kabijakan anti-Siam dan
menolak menghantarkan upeti Bunga Mas dan pemberian gelar Phrao Cao bagi
Ratu Ungu.
terjadi, serangan pertama tahun 1630 dan serangan kedua tahun 1633-1634. Dua
tahun berselang, Siam kembali merencanakan serangan atas Patani, tetapi berkali-
70
Ibid. hal.20
71
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.42
33
mengawasi daerah selatan termasuk Patani, tidak memiliki cukup tentara untuk
Patani setelah kampanye militer besar-besaran tahun 1632. Atas nasehat Belanda,
akhirnya Ratu Kuning bersedia menerima kembali gelar Phrao Cao dan
terhadap Ayuthia meletus kembali ketika ibukota Ayuthia, Burma, diserang Patani
pada tahun 1767. 73 Setelah zaman ratu-ratu, penerus tahta kerajaan Patani
digantikan oleh raja-raja keturunan Kelantan dari tahun 1688 hingga 1729.
Muhammad sebagai raja Patani. Pada 1779, sultan Muhammad diminta oleh Siam
ini memicu Phraya Chakri's menyerang Patani. Putera Surasi adik dari Phraya
Songkhla supaya menyerang Patani pada 1785, 74 dan berakhir dengan kematian
sultan Muhammad.
raja-raja Siam bersikap lebih tegas dan keras. Ketika kekuasaan Ayuthia berakhir
72
Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi:
Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.3
73
S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107
(February 2006), Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.4
74
Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi:
Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4-5
34
akibat serangan Burma tahun 1767 dan digantikan oleh sebuah kerajaan baru
kembali bangkit dan berusaha membuat kebijakan yang lebih tegas untuk Patani,
oleh Siam. Dari tahun 1817 sampai 1842, Patani telah diperintah oleh dua orang
raja keturunan Melayu, yaitu Tuan Sulong (anak raja bendahara Kelantan) dan
Nik Yusof. Tahun 1899, Abdul Kadir Kamaruddin diangkat menjadi raja Patani,
sekaligus menjadi raja terakhir dari kerajaan Patani. Abdul Kadir Kamaruddin
adalah keturunan dari Tengku Puteh yang menikah dengan putri Kelantan.
Jelaslah, bahwa Patani dan Kelantan memiliki ikatan kekerabatan yang sangat
erat.
Pemberontakan terakhir Patani terjadi tahun 1808. Tahun 1816 raja Rama
and rule’ dan memisahkan Patani menjadi tujuh provinsi yaitu, Pattani, Saiburi
dipimpin oleh para penguasa setempat di bawah kendali Bangkok, sebagai upaya
peraturan ini tidak menunjukkan stabilitas politik yang efektif. Ketujuh negeri ini
75
Ibid.
76
Thitinan Pongsudhirak, “The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand”,
dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor: Andrew T.H. Tan,
USA: MPG Books, 2007, hal.266-267.
35
namun dapat digagalkan, kecuali Pattani, Yaring dan Saiburi tetap setia kepada
Bangkok, dan berakhir dengan dipecahnya Kedah menjadi empat kerajaan, yaitu:
tradisional ke dalam birokrasi Thailand, sistem ini meliputi semua kelompok lokal
raja Siam di Bangkok, agar kontrol terhadap Patani semakin kuat dan ketat. 79
Peraturan ini dinilai efektif dengan bagi Patani karena secara geografis dan
77
Uthai Dulyakasem, “Kemunculan dan Perkembangan Nasionalisme Etnis: Kasus
Muslim di Siam Selatan”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Taufik
Abdullah dan Sharon Siddique, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.246
78
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.65.
80
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.54
36
dengan egara tetangga di Asia Tenggara, melainkan lebih meluas lagi dengan para
kemapanan politik dan ekonomi Patani pada waktu itu. 82 Peranan pelabuhan
Pattani yang strategis acap kali dijadikan tempat persinggahan para pedagang dari
Eropa, Arab, Cina dan India. Bahkan semakin populer ketika Malaka berhasil
jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, karena sistem bea cukai yang lebih mahal
terjalin berawal dari hubungan antara para pedagang Muslim dan Cina dengan
Patani waktu itu, karena keduanya sangat berhubungan dengan proses penyebaran
81
Omar Farouk, “Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam”, dalam
Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Muzani, Jakarta: LP3ES,
1993, hal.27. Salah satu peristiwa paling penting adalah ketika Malaka dikuasai oleh Portugis,
dengan Malaka kehilangan relevansinya sebagai salah satu pusat perdagangan regional, bahkan
berubah menjadi pos militer. Beberapa pengamat termasuk Anthony Reid, sepakat bahwa umat
Islam adalah yang paling kuat tertanam dalam perdagangan streaming melalui Ayutthaya. Posisi
inilah yang dimanfaatkan oleh Ayuthia dalam mendukung proses komersial dengan menempatkan
umat Islam (Patani) dalam posisi dan peran penting di istana, sebagai menteri, pedagang dan
penasehat dibawah kuasa Raja. Lihat Yoneo Ishii, “Thai Muslims and the Royal Patronage of
Religion,” Law & Society Review 28, no. 3 (1994): 454-455 dalam Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr.
Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem, Monterey, California, 2005.
82
Penempatan penting umat Islam Melayu di kerajaan Ayuthia pada akhirnya membawa
perkembangan yang signifikan bagi perekonomian Patani. Ada dua konsekuensi jika menanggapi
hal ini, pertama, Ayuthia sebagai pusat perdagangan internasional menjadi sangat signifikan
berdasarkan komoditi dari Cina, Persia, Arab, India dan Eropa mengalir ke Ayuthia. Kedua, Patani
sebagai kerajaan kecil memanfaatkan hubungannya dengan Ayuthia yang memungkinkan
perekonomian Patani mengalami perkembangan dan menjadi pusat perdagangan yang kuat,
menyaingi Malaka ketika jatuh ke tangan Portugis.
37
Islam. Hubungan ini mendorong terjalinnya hubungan dagang dengan Arab dan
Patani menjadi pusat perdagangan kayu besi, 83 dan menjadi gudang perdagangan
diperdagangkan untuk tekstil Cina dan keramik. Selain itu, Patani menjadi fokus
bagi pedagang Arab dan India yang membawa tekstil mereka. Pedagang Patani
menjual produk dagangan mereka sendiri seperti lada hitam, bahan makanan lain
(Makassar). 84
kapal yang datang dari Asia Barat dan Eropa dikenakan bea cukai hanya 6%, dan
satu persen pemasukan untuk kas negara. Sedangkan kapal-kapal dari Asia
sebanyak 25% dari harga muatan kargo dengan harga pasaran, dan mendapat
potongan 20%. 85
oleh raja-raja perempuan. Selain sistem beacukai yang lebih murah, letak
geografis Patani semakin merangsang para pedagang dari Eropa dan Jepang
sekitar abad 16 hingga 17 M. Portugis tiba di Patani pada tahun 1517 dalam
83
Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast
Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.14
84
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.38-39
85
Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.19-23
38
Inggris juga ikut dalam kegiatan perdagangan di sini. 86 Terbukti pada 22 Juni
1612 Inggris mengutus seorang utusan untuk menyampaikan surat Raja James I
antara Belanda dan Inggris dan mengakibatkan perang pada 1623 yang
makanan yang dibutuhkan. Selain itu, tahun 1538, pelabuhan Patani juga banyak
dikunjungi oleh para pedagang dari Jepang. Hubungan komersial tersebut ditandai
mengantarkan hadiah kepada Raja Hijau, tahun 1599 Patani membalas kunjungan
tersebut. 87
Patani dengan antar bangsa. Melalui syarikat ini, barang dagangan hasil produksi
(Lihat lampiran 5 dan 6) Tidak heran, terjadi persaingan antara pedagang Eropa,
86
Ibid. hal.39
87
Ibid. hal.23
39
letak yang strategis, sehingga para pelaut yang melintasi Laut Cina sering
Patani semakin menurun. Para pedagang asing mulai meninggalkan daya tarik
mereka berdagang di Patani, dan berpindah ke daerah lain seperti ke Malaka dan
Patani. Kondisi tersebut berlangsung sangat lama antara 1842 dan 1900. 88
Meskipun kini Patani memiliki luas yang relatif kecil, namun kaya akan
sumber daya alam. Terdiri atas lembah yang subur dan daerah penangkapan ikan,
baik di sepanjang pantai Laut Cina Selatan di sebelah timur dan Laut Andaman di
sebelah barat. Wilayah Patani juga memiliki cadangan mineral termasuk timah,
emas, wolfram, mangan dan gas alam. Sebagian besar Melayu-Muslim Patani
wiraswasta dan memiliki perkebunan sendiri seperti tanaman karet, kelapa, dan
tanaman tropis seperti rambutan dan durian, sebagian lainnya menanam padi atau
perekonomian rakyat Muslim Patani semakin buruk dan menurun, secara bertahap
88
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.47
89
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.36-37
40
Patani jatuh ke dalam pusaran hegemoni Thailand dan semenjak abad 20 status
Patani sebagai perbatasan Thailand tegas disegel. Hal ini mengakibatkan kondisi
didominasi oleh etnis Cina dan Thai atas kebijakan Monthon Patani masa raja
api serta komunikasi telegraphik memiliki dampak besar terhadap sektor timah
transportasi tradisional untuk peternakan dan pertanian, kondisi ini bila jauh
dibandingkan dengan sarana dan transportasi yang digunakan etnis Cina dan Thai.
luar mereka, belum lagi kebijakan pemerintah dalam membeli hasil pertanian dan
dengan tidak bertanggung jawab, dengan alasan dana yang tidak memadai.
90
Tesis oleh Mala Rajo Sathian, Economic Change in Pattani Region c. 1880-1930: Tin
and Cattle in the Era of Siam’s Administrative Reforms, National University of Singapore, 2004,
hal.3
91
Ibid. hal.205-206.
92
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39.
41
BAB III
tahun 1909, kudeta atas monarki absolut dari Siam pada tahun 1932, dan politik
Islam oleh Undang-Undang Islam Binaan 1945, integrasi politik ulama tradisional
dilanda krisis baik dalam bidang politik dan ekonomi pada tahun 1893 sehingga
dan mendapatkan pengakuan dari bangsa Eropa. Akibatnya, Siam menekankan isu
tidak secara alami terjadi dalam sebuah kelompok politik dengan desain dan
begitu saja, melainkan ada suatu proses dan tahapan serta latar belakang yang
integrasi politik administrasi atau Thesaphiban, terjadi pada dua tingkatan secara
94
Thongchai Winichakul, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation,
Department of History, University of Wisconsin-Madison, hal.4
95
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.61
96
Esai Somphong Amnuay-ngerntra, “King Mongkut’s Political and Religious Ideologies
Through Architecture at Phra Nakhon Kiri”, Asia-Pacific CHRIE (APacCHRIE) Conference,
Kuala Lumpur, Malaysia, 26-28 May 2005, hal.72
44
minoritas dalam segala aspek, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial
majemuk. 97
dan mengintegrasikan ke dalam satu hierarki agama yaitu agama Budha. 98 Artinya
ada kesan bahwa landasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah Siam berasal dari
asas dan konsep Budha. Upaya ini sebetulnya demi memecahkan persoalan dalam
hubungan antar golongan etnis. Namun, jika suatu kebijakan negara berlandaskan
pada konsep suatu agama, maka ujung persoalan ini menjadi sebuah konflik
agama yang tidak bisa dielakkan lagi. Disisi lain Davis Brown menilai bahwa
97
Ibid.
98
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7. Pandangan ini juga diperkuat oleh D.G.E. Hall, bahwa nasionalisme
Thai adalah sebuah propaganda belaka, demi untuk mengklaim bahwa sebetulnya mereka benar-
benar mencintai Budha sebagai ibu pertiwi. Demikian juga Keyes menyepakai bahwa, interpretasi
Raja Chulalongkorn bersama penerusnya terhadap nasionalisme Thai adalah sebuah warisan
nasional rakyat Thailand, yaitu satu bahasa (bahasa Thailand), satu agama (Budha), dan hubungan
dengan kerajaan (Chakri Monarki), baca Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards
Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in
Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.67
45
tunggal yang menjadi ciri khas dari negara Thailand. 99 Inilah yang terjadi ketika
Melayu-Muslim di selatan
sangat buruk, baik secara sosial politik maupun ekonomi. Bermula dari peraturan
Siam bagi status anak sungai, yang mengharuskan Patani mengirimkan upeti
berupa Bunga Mas kepada Siam. Sistem upeti tersebut menandakan kesetiaan
Patani terhadap Siam, namun pada akhirnya Patani merasa terjajah dan menentang
ekonomi dan teritorial, sikap Patani semakin menentang kekuasaan Siam pada
waktu itu. Menurut Nik Anuar Nik Mahmud, menanggapi kebijakan integrasi
pemerintah Siam terhadap Patani tidak memiliki bukti konkret, bahwa Siam
selama ini hanyalah mengklaim Patani menjadi hak dan kewenangan dari Siam,
dipandang Muslim Patani sebagai disintegrasi bagi mereka, karena Patani dengan
Siam (Thailand) memiliki dasar kosmologi yang berbeda. 100 Menurut Surin
99
Davis Brown.. “From Peripheral Communities to Ethnic Nations". Pasific Affairs 61,
1988, hal.51
100
Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of Southern Thailand
Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor: Amit
Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 1009, hal.47
46
ke dalam negara Thai. Mereka tidak ingin kehilangan otonomi agama dan budaya
dari kosmologi Budha, Melayu-Muslim Patani tidak ingin menjadi bagian dari
yang menjadi dilema bagi mereka. Bagi mereka hanya ada dua pilihan, menjadi
bagian dari negara Thailand dengan menciptakan karakteristik baru yang tidak
bangsa Thailand.
kontradiktif oleh Carlo Bonura Jr., kontradiksi tersebut meliputi dua hal. Pertama,
berkaitan dengan tingkat institusionalisasi elite politik Islam, bahwa tidak adanya
lembaga yang menaungi aspirasi politik Muslim elite sehingga mereka tidak
dengan pengembangan masyarakat demokratis politik dan politik masa lalu dalam
konsep sebuah negara bangsa. Bahwa pemerintah Siam (Thailand) tidak mengakui
sejarah politik Muslim yang memiliki identitas pan-Islam dan budaya Melayu
101
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7-8
102
Ibid. hal.9
47
sosial inilah yang menentukan arah integrasi yang diinginkan. 104 Hubungan sosial
103
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.62
104
http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html.
Diakses pada tanggal 13 Februari 2010, pukul 21:51.
48
mediasi / rekonsiliasi.
polarisasi belum memadai proses integrasi secara keseluruhan, maka transisi dari
polarisasi koeksistensi sangat penting. Hal ini menjadi fokus penting ketika ingin
jalannya integrasi tersebut. Secara spesifik, gambaran agar hubungan sosial lebih
partisipatif.
105
http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html.
Diakses pada tanggal 13 Februari 2010, pukul 21:51.
49
groups once dissimilar become similar, become indentified in their interest and
outlook.” (proses dimana oleh individu atau kelompok yang berbeda menjadi
aspek vertikal (elite-massa). Kedua aspek tersebut dapat dikaji dari segi tujuan
integrasi, dari segi konsensus atau dari segi budaya politik. Juga sifat integrasi
dianggap sebagai suatu proses bukan sebagai suatu yang konstan, agama atau
ideologi salah satu aspek kuat dan menentukan dari proses integrasi tersebut. 108
dengan sistem norma sebagai unsur dalam mengatur tingkah laku suatu kelompok
106
Saafrudin Bahar, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1996, hal.97
107
Ogburn dan Nimkhoff, A handbook of Sociology, London: 1960, hal.101
108
Bahar Saafrudin, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1996, hal.97. Demikian juga, menurut Ogburn dan Nimkoff, integrasi merupakan
proses mental karena itu prosesnya berjalan tidak cepat. Lihat tulisan Ogburn dan Nimkoff yang
diambil dari Park dan Burgess, “It is a process of interpenetration and fusion in which persons and
groups acquire the memories, sentiments and attitudes of other persons or groups and by sharing
their experiences and history are incorporated with them in a cultural life.” (Astrid, S., Susanto,
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979, hal.124)
50
Assimilation (asimilasi).
fase ini, kemungkinan kerjasama ada karena ada suatu kepentingan yang
tercapai kompromi dan toleransi antara lawan yang sama-sama kuat. 109
terjadi konflik, dengan cara mengatur dan membagi-bagi pekerjaan dari pihak-
pihak yang bersangkutan, maka hal yang terjadi memungkinkan terbentuknya fase
solidaritas. 110 Jika tahapan ini telah dilalui dengan baik, maka tujuan integrasi
109
Astrid, S., Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta,
1979, hal.125-126
110
Ibid. hal.126
51
terjadinya fase assimilasi 111 yang terkandung dalam isi pengertian daripada
integrasi menurut Ogburn dan Nimkoff di atas. Bahwa jelas dasar dari integrasi
tidak secara jelas didefinisikan, namun dalam berbagai ilmu sosial konsep
struktural.
Thailand rentan dengan konflik dan pertentangan. Menurut Clifford Geertz, ciri-
111
Asimilasi adalah proses dalam mengakhiri kebiasaan lama dan sekaligus mempelajari
dan menerima kehidupan yang baru. Dalam hal ini kelompok yang diintegrasikan akan melalui
proses belajar menerima peraturan-peraturan formil yang didasarkan pada norma –norma
masyarakat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Tercapainya fase ini, akhirnya akan
menciptakan intensitas integrasi secara normatif, artinya integrasi berjalan diatas kesamaan selera,
norma dan kepentingan-kepentingan masing-masing kelompok. Jika integrasi terjadi pada
kelompok pendatang, perlunya pengakuan dari kelompok non-pendatang bahwa mereka sudah
menjadi bagian anggota dalam satu grup (in-group). Maka proses ini disebut sebagai penetrasi
yang ditinjau dari proses pengakuan. Baca Astrid, S., Susanto, Pengantar Sosiologi dan
Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979, hal.127-128.
112
Pierre, L., van den, Berghe, “Dialectic and Functionalism: Toward a Synthesis”, dalam
N.J. Demerath III et.al.eds., System, Change, and Conflict, The Free Press, New York, Collier-
McMillan limited, London, 1967, hal.43
52
5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
majemuk, akibat dari gagasan modernisasi negara bangsa pada abad 19 dan 20,
Negara Melayu Patani ke dalam negara bangsa Siam atau Thai, dan melahirkan
fungsional ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Salah satu tokoh sosiolog yang
paling terkenal di Amerika Serikat. Dia menghasilkan sistem teoritis umum untuk
masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dan memiliki timbal
balik, sekalipun integrasi terjadi tidak tercapai sempurna namun dasar sistem
integrasi terjadi secara utuh atas hasil mufakat di antara masyarakat berdasarkan
memiliki kesepahaman yang sama secara kultural. Sebab, sistem sosial yang
berkembang secara tidak kebetulan, namun berkembang di atas konsensus 115 dan
113
http://www.sociologyguide.com/thinkers/parsons.php. Diakses tanggal 25 Juni 2010,
pukul 10.27.
114
Talcott Parsons, Towards a General Theory of Action, Massachusetts: Harvard
University Press, 1962, hal.207-209. Lihat juga Bernard Raho, SVD., Teori Sosiologi Modern,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hal.48-49. Robert Nisbet menyatakan, bahwa fungsionalisme
struktural adalah teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial
115
Konsensus atau teori konsensus adalah teori yang memandang norma dan nilai sebagai
landasan masyarakat , memusatkan perhatian kepada keteraturan sosial berdasarkan kesepakatan
diam-diam dan memandang perubahan sosial terjadi secara lambat dan teratur. Lihat George
Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah: Triwibowo Budi Santoso,
Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.116
54
berkembangnya integrasi sosial, juga unsur yang menstabilir sistem sosial budaya
itu sendiri. Karena menurut Parsons, sistem sosial akan selalu seimbang jika
dan dengan transformasi pada setiap tindakan warga. Adaptasi dilaksanakan oleh
sub sistem ekonomi sebagai material untuk bertahan hidup, 116 saling berhubungan
dalam bidang ekonomi baik jasa, produksi dan distribusi, sebagai permulaan
sistem kepemimpinan dalam politik. 117 Suatu sistem yang memiliki tujuan dalam
penekanan Parsons adalah bukan pada tujuan individu (pribadi) melainkan pada
keputusan yang berhubungan dengan cara mengambil prioritas dari sekian banyak
tujuan. 118
116
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan, Yogjakarta:
Kanisius , 2005, hal.59. Beberapa analisa Parsons dalam tulisan-tulisannya, menyatakan bahwa
sistem ekonomi dilihat sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab utama dalam persyaratan
adaptasi tersebut, melalui sumber-sumber alam diubah menjadi fasilitas yang dapat digunakan dan
bermanfaat bagi kepentingan individual dan bersama. Misalnya, makanan, pembangunan
perumahan, pembangunan rumah sakit, dan lain-lain. Baca Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi
Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135.
117
Ibid. hal.60
118
Menurut Parsons, tujuan individu berhubungan dengan tujuan masyarakat melalui
perannya sebagai warga Negara. Sedangkan tujuan kolektivitas dapat dihubungkan dengan parta-
partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan, karena keduanya merupakan dua tipe
55
yaitu sistem budaya nilai-nilai umum yang berkaitan dengan hukum dan kontrol
sosial. 119 Satuan-satuan sistem itu harus berintegrasi dalam arti bahwa mereka
dilibatkan dan dikoordinir dalam keseluruhan sistem sesuai dengan posisi dan
bekerjasama. 120
pola, dalam hal ini nilai-nilai kemasyarakatan tertentu seperti, norma, budaya,
interaksi. 121 Bahwa setiap anggota kelompok yang diintegrasikan suatu waktu
dapat merasakan kejenuhan mengikuti sistem sosial yang ada, maka dari itu
berhubungan satu dengan yang lainnya dan tidak berarti harus sesuai dengan
urutan fungsi. Namun, pada dasarnya sistem tersebut berjalan seperti sistem
tindakan, 123 artinya organisme perilaku 124 ialah sistem tindakan yang
mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan. Sistem Sosial
sosialisasi dan internalisasi. Proses sosialisasi yang sukses terhadap nilai dan
122
Ibid. hal.136
123
George Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah:
Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.121
124
Persyaratan pemenuhan kebutuhan biologis untuk mempertahankan hidup. Lihat
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z.,
Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135
125
George Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah:
Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.121
57
BAB IV
Siam pada masa Ayuthia, secara garis besar, memiliki relevansinya dengan
perdagangan 126 sebagai jalur yang terpenting dalam proses penyebaran dan
seperti Malaka dan Patani terletak di pinggir entitas politik yang lebih besar,
126
A.H. Smith dan Fatimi, di sisi lain, menganggap bahwa jalur penting Islamisasi di
Asia Tenggara berpusat pada imam-imam sufi. Kecakapan para imam sufi dalam ilmu kebatinan
dan memiliki kekuatan penyembuh tidak kalah penting. Tentu saja keberhasilan para pedagang
dalam menyebarkan Islam acapkali didukung dengan kekuatan politik dan militer, namun
keberhasilan para pedagang Muslim tanpa didukung kemampuan seperti seorang sufi yang telah
menjalani proses batiniah, karena setiap orang di Asia Tenggara yang memeluk Islam juga
menjalani proses peralihan batiniah. Lihat Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara,
Jakarta: LP3ES, 2004, hal.23.
127
Carool Kersten, The Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American
Journal of Islamic Social Sciences 21:4, hal.3
128
Khususnya bagi kelompok Melayu, mereka sering menetap di sekitar tempat dekat
pelabuhan, sehingga mereka lebih sering mengadakan kontak dengan pedagang asing. Di satu sisi,
mereka diuntungkan dengan kondisi alam dan pembayaran pajak cukai, karena orang Melayu
58
komersialnya secara lebih luas, jika waktu terdahulu hubungan komersil Ayuthia
Pemanfaatan ini diikuti dengan penempatan umat Islam di posisi penting dalam
raja. 129 Mereka juga dijadikan sebagai mediator perdagangan dengan Muslim
Arab, Pakistan, Gujarat, Filiphina, Aceh dan Melayu. Melayu, komunitas paling
banyak. 130 Kondisi ini menuntut adanya penerapan kebijakan toleransi, dan
budaya masyarakat 131 di bawah sistem anak sungai (upeti), dan mengklaim
(Kerajaan) Patani.
sebagai upaya penjajahan secara halus. Sadar dengan potensi alam yang memadai,
dianggap paling menonjol dalam pembajakan dan perdagangan lokal, karena itu egara-negara
Melayu yang cukup berpengaruh adalah, Pasai, Malaka, Patani dan Brunei selalu dikembangkan
menjadi pusat budaya dan administrasi. Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam
and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007,
hal.30
129
Salah satu contoh, Syekh Ahmad dikenal raja yang telah ditunjuk sebagai menteri
perdagangan dan urusan luar negeri. Posisi Syekh Ahmad diadakan tanggung jawab besar,
termasuk tugas impor dan ekspor dan pengawasan pelayaran internasional. Syekh Ahmad
hanyalah salah satu contoh dari kaum Muslimin banyak selama periode Ayuthia yang berhasil
tidak hanya mengamankan posisi penting dalam perdagangan, tetapi juga janji kepala politik.
130
Peningkatan jumlah populasi Melayu di Ayuthia, menurut Omar Farouk bukan saja
disebabkan oleh faktor perdagangan, melainkan karena perbudakan, dan tawanan perang. Baca
Omar Farouk Bajunid, The Muslims in Thailand: A Review, Southeast Asian Studies, Vol. 37, No.
2, September 1999, hal.219-220.
131
Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s
Pattani Problem, Monterey, California, 2005, hal.9-10. Hal ini berbeda dengan kondisi yang
dialami Melayu-Muslim Thailand sekarang, mereka dipaksa untuk berintegrasi dengan Thainisasi
atau Siamisasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand.
59
dan kondisi politik serta ekonomi Patani saat itu semakin mapan, maka Melayu-
Muslim Patani berupaya menarik diri dari kerjasamanya dengan Ayuthia dan
kerajaan Islam, dan penolakan terhadap sistem upeti karena dianggap sebagai
bentuk penjajahan. Dari paruh abad 16 hingga abad 17 penegasan otonomi Patani
tersebut berhasil.
ketegangan dan pertempuran kembali bergulir ketika Dinasti Chakri berakhir dan
Dua pelajaran penting dari sejarah hubungan Patani dengan Siam di atas.
hubungan yang sangat baik, Siam menerima Islam dan hidup berdampingan
132
Menurut Carool Kersten, sistem upeti bagi Siam adalah bentuk sumpah suci setia
kerajaan-kerajaan kecil terhadap Siam, sedangkan bagi Melayu-Muslim sistem upeti merupakan
bentuk ‘buying-off’ atau upaya menyuap dengan dalih agar negara-negara kecil tersebut dilindungi
dan diakui oleh kerajaan Ayuthia sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam
politik dan ekonomi pada waktu itu. Persepsi inilah yang dianggap Kersten menimbulkan
ketegangan dan akar kebencian Patani terhadap Siam. Baca artikel oleh Carool Kersten, The
Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American Journal of Islamic Social Sciences
21:4, hal.3.
60
dengan masyarakat Budha. Kedua, adanya persepsi Muslim Patani bahwa mereka
selalu dijadikan bangsa jajahan. Meski pada masa Ayuthia sistem anak sungai
akar kebencian Patani atas Siam, apalagi semenjak kebijakan yang berlaku pada
Melayu-Muslim Patani.
pada abad 20. Menurut David J. Steinberg antara tahun 1919 sampai 1941,
penerapan kebijakan reformasi Thailand akibat hasil dari kerja politik Rama V
kerajaan dari ancaman pihak luar. Namun dasar bagi pembentukan suatu birokrasi
133
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.65.
61
pangeran Damrong 134 pada 1892. 135 Akan tetapi reformasi tersebut tidak
dari Utara dan Selatan Siam dan seluruh dependensinya yang pada saat itu
Singapura dan Jawa sebanyak dua kali, dan ke India satu kali. Kunjungan tersebut
bersifat politis demi untuk mempelajari sistem politik dan administrasi kolonialis
Eropa yang pada waktu itu memerintah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Selain
itu, dia juga banyak mempelajari berbagai cabang seni dan ilmu pengetahuan
seperti royal tradisi (tradisi kerajaan), administrasi publik, arkeologi, pali (ilmu
kuna dari India), bahasa Inggris, ilmu militer, gulat, cara dan teknik menggunakan
134
Pridi Banomyong adalah ‘Bapak Demokrasi’ di Thailand. Ia dilahirkan sebagai orang
biasa pada tanggal 11 Mei 1900 di Ayutthaya. Pada usia 20 ia mendapat beasiswa studi Hukum di
Perancis, dari Kementerian Kehakiman Thailand, tahun1920-1927. Meskipun ia belajar di luar
negeri, ia tidak pernah kehilangan cita-cita, atau kesadaran akan kebutuhan untuk mengatasi
masalah-masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi kaumnya. Cita-citanya adalah mengubah
pemerintah mutlak menjadi pemerintahan yang demokratis sebagai dasar untuk membangun Siam
di masa depan. Dia percaya bahwa sistem politik demokrasi adalah sebuah cara untuk
mengembangkan masyarakat Thailand beradab. Kemudian,ia mendirikan Partai Rakyat (People
Party) dan meluncurkan sebuah revolusi tanpa kekerasan pada tanggal 24 Juni 1932 di Bangkok.
Prinsipnya adalah: mempertahankan dan menjamin pembebasan semua warga negara baik dalam
politik dan ekonomi. Lihat Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border
Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta:
Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.72
135
Syamsuddin Haris, Birokrasi, Demokrasi, Dan Penegakkan Pemerintahan Yang
Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand, hal.,107 akses dari situs
http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/669/669.pdf. Diakses
pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 17:52 WIB.
136
Imtip Pattajoti Suharto, The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The Ministry
of Foreign Affairs of Thailand, 2001. Akses dari situs www.m-culture.go.th. Diakses tanggal 8
Maret 2010, pukul 19:07 WIB.
62
membuat suatu kebijakan administrasi baru bagi Patani untuk mengontrol situasi
imperialis, yang menang dalam Perang Dunia II, bukan sebagai negara penyangga
tetapi untuk memblokade pengaruh komunis ideologi dari Cina ke Asia Tenggara.
137
Ibid.
63
beradaptasi dengan situasi regional dan internasional. Dalam hal ini, Islam di
nasionalisme atau modernisasi Siam (Thailand) pada awal abad 20. 138 Akibat
pembagian wilayah jajahan dan usaha Siam terlepas dari penjajahan oleh bangsa
melepas Laos dan Kamboja sebagai wilayah Perancis melalui perjanjian Siam-
Perancis tahun 1907, dan melalui perjanjian Anglo-Siam pada tahun 1909 Patani
dan sebagian wilayah Kedah yaitu Satun menjadi sepenuhnya kekuasaan Siam,
138
Konsep nasionalisme negara bangsa dan modernisasi disebut-sebut Thongchai
Wincichakul, seorang sejarawan penggagas identitas Thai, menyebutnya dengan istilah ‘geo-body’
(geo-tubuh). Menurutnya konsep geo-tubuh merupakan efek praktek modern dan teknologi
pemetaan. Dalam kasus Thailand, pada masa Ayuthia, hampir negara-negara di Asia Tenggara
tidak memiliki batasan teritorial secara jelas, politik perbatasan biasanya tidak stabil dan sering
tumpang tindih. Kekuatan negara atau kerajaan dapat diukur oleh sejauh mana mereka mendapat
pengakuan dari negara atau kerajaan kecil. Sebagai tanggapan kasus di atas, wilayah Thailand
dipetakan dan dibatasi sebagai geo-tubuh dari Siam. Lihat James D Sidaway, The Geography of
Political Geography, Department of Geography National University of Singapore, dalam K. Cox,
M. Low and J. Robinson (eds) The Handbook of Political Geography (Sage), hal.11-12.
64
dan Perlis. Sedangkan kolonial Inggris melepaskan klaimnya atas wilayah Siam
membuka jalan diplomasi bagi Siam? Nik Annuar menyebut abad 19 M adalah
zaman imperialisme baru. Kala itu, Asia Tenggara tengah diperebutkan oleh
Burma dan selatan China, dan negara-negara Melayu Utara hingga Genting Kra.
dan strategis. Ketika Inggris menaklukkan Hulu Burma pada 1886, Perancis
tersebut terhambat dengan kekuatan Siam yang telah mapan secara politik dan
ekonomi dibandingkan dengan wilayah Asia Tenggara lain. Pun, Perancis masih
jajahan Siam. 139 Atas dasar inilah, Inggris dan Perancis menerima dan membuka
jalan diplomasi dengan Siam, di samping Siam merasa terancam jika wilayah
139
Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada
Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun Melayu. Akses dari situs
http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus
2010, pukul 17:52 WIB.
65
Yala dan Songkhla yang kini ditempati oleh mayoritas Muslim, dan mengambil
1. Tahapan Adaptation
1902 hingga 1906. 140 Sistem ini, awalnya bertujuan untuk mengatasi kerusuhan
(jajahan) Siam.
menekankan pada kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan, agar negara memiliki
eksploitasi koleksi karet dan pertambangan timah terhadap orang Patani dan
140
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.14.
66
Patani adalah nelayan. 141 Di samping itu, pemerintah Siam juga mengenalkan
Sistem ini berlangsung atas usulan Phya Sukhum, hasil pajak tersebut akan dibagi
dua antara raja Siam dan raja Patani. Semula sistem pajak ini ditentang pihak
berlangsung lama, setelah tahun kedua sistem pajak tersebut berjalan, Siam
tindakan yang lebih keras, karena menganggap Siam membahayakan otoritas raja
Patani.
yang sama dengan fase akomodasi yang dijelaskan oleh Ogburn dan Nimkhoff.
sangat besar, karena proses adaptasi dan akomodasi sama-sama menekankan suatu
pekerjaan yang membutuhkan penyesuaian, dan dalam tahapan ini kedua pihak
141
Ibid. hal.51.
142
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.54.
67
yang melakukan kerjasama belum tentu berada dalam satu lingkaran kepentingan
yang sama.
perjanjian pajak tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Sehingga dapat dikatakan,
integrasi tidak berhasil, akibat kelalaian dari pada pihak Siam sendiri. Di satu sisi,
kalangan para raja dengan membangun beberapa akses sarana demi kebutuhan
prasarana jalan, dinas pos, dan keamanan bagi kegiatan komersial, serta
terjadi sebuah konflik dan ketegangan antara dua belah pihak. Goal attainment
143
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.29
68
masing-masing kelompok.
Thailand terjadi dengan tidak melibatkan pihak Patani. Setelah Patani sejak awal
lebih besar, yakni Patani, Bangnara, Saiburi dan Yala. 144 Satun merupakan sebuah
distrik di Kedah juga dimasukkan menjadi wilayah Siam, yang diberi nama
ini ditandatangani antara Siam dengan kolonial Inggris, dan menyepakati Patani
Terengganu, dan Perlis diserahkan Siam kepada Inggris dan menjadi hak wilayah
144
Bangnara adalah Propinsi Narathiwat yang resmi berganti nama menjadi Propinsi pada
tanggal 10 Juni 1942. Propinsi Saiburi (Setul) dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Propinsi
Patani pada tanggal 16 Februari 1931. Lihat W.K. Che Man, hal.45
69
kemudian menjadi faktor Siam tidak menyerahkan Patani ke tangan Inggris. Bagi
Siam, Patani adalah ’permata’ yang paling berharga, 145 terutama karena potensi
pelabuhan Patani yang pada saat itu diperebutkan oleh bangsa Eropa sebagai
selatan yang tengah menjadi persengketaan antara Siam dengan Inggris. Selain
Inggris dengan Myanmar, Inggris dengan Malaya dan Perancis dengan Indo-Cina
hak untuk wilayah Indonesia dan Cina karena perbedaan etnis, geografi, dan
Proses integrasi Patani pada tahapan ini, adalah Siam mengalihkan sistem
pemerintahan ke Bangkok, dan mencopot kekuasaan dan posisi raja atau sultan
memajaki rakyat, itu berarti mereka kehilangan sumber pendapatan berupa uang
yang mereka pungut secara bersama-sama dari rakyat. Sistem pemungutan dan
145
Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada
Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun Melayu, hal.5. Akses dari situs
http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus
2010, pukul 17:52 WIB.
146
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.76.
70
1. Agar semua anak cucu kaum bangsawan, termasuk anggota kerabat yang
2. Agar semua orang tersebut di atas dibebaskan dari pajak tahunan tanah,
kewajiban tersebut,
Akan tetapi, tahun 1905 Siam yang diwakili oleh pangeran Damrong,
tersebut, bahwa para bangsawan Patani hanya akan digaji sesuai dengan
pengabdian mereka kepada pemerintah, bukan karena status dan gelar mereka.
sebagai bentuk integrasi politik penuh ke dalam Siam, agar memperkecil rasa
keterasingan dan menjaga agar tidak terjadi preseden buruk dalam memperkuat
hasrat untuk merdeka pada generasi mendatang. Ketiga, pemerintah hanya akan
mengakui keturunan langsung dari para raja, karena permintaan kaum bangsawan
147
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.26
71
Selain kerugian yang dialami para bangsawan Patani, integrasi politik Thai
Budhis dan Cina, posisi Muslim Patani berada di strata terendah. Mayoritas
masyarakat Patani adalah produsen karet, namun dalam proses industrialisasi dan
Cina lebih menguasai sektor bisnis aspek komersial karet sebagai pemilik hutan
Thailand, hukum Islam tetap dibiarkan berjalan, dan mentolerir raja Patani
hukum Islam, pun harus berjalan di bawah undang-undang Siam, kecuali hukum
148
Ibid. hal.26-27.
149
Erni Budiwanti, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah
Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus
Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000, hal.128.
150
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.15. Dengan demikian, secara berangsur hukum Islam (syariah)
dihapus.
72
waris dan hukum keluarga. 151 Damrong merumuskan agar diangkat enam qadi
keputusan akhir tetap berada di tangan hakim Thai. Hal ini dilakukan agar raja
151
Bahkan dalam kasus keluarga dan warisan pun, keputusan hakim Muslim belum final
jika tidak disepakati oleh hakim Thai.
152
Daerah-daerah di Asia Tenggara dibawah kontrol Amerika dan Thailand, kehilangan
karakteristik sistem politik dan lembaga-lembaga pemerintahan Islam (kesultanan, sultanat). Tidak
seperti daerah di bawah kontrol Inggris, ciri pemerintahan Islam masih dipertahankan meskipun
menyesuaikan dengan ide-ide kolonial Inggris. (Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints:
Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007,
hal.242).
153
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.67
73
program pendidikan sekuler yang dilakukan oleh para rahib Budha, kepala desa,
dan para pejabat pendidikan pemerintah. Pada tahapan ini, pemerintah Thai mulai
menekankan penggunaan bahasa Thai setelah tahun 1910. Ada upaya terpadu
untuk mendidik Melayu-Muslim Patani menjadi Thai, dan ada kekhawatiran dari
kaum bangsawan Patani, bahwa bahasa Thai akan mengarah para erosi dari
internal Siam yang signifikan. Munculnya kudeta dari Partai Rakyat Kekuasaan
Raja (People’s Party of the King’s power) dan konflik internal pemerintahan
cendikiawan kelas bawah, yaitu Mr. Pridi Banomyong. Tanggal 24 Januari 1932,
kekerasan. Inti dari UUD (Undang-Undang Dasar) 1932, yaitu mengakui status
154
S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107
(February 2006), Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.6
155
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.72
156
Ibid.
74
raja sebagai kepala angkatan bersenjata dan pelindung Budha, serta penganut
Krisis politik yang dialami Siam saat itu, dan munculnya kebijakan
dalam Dewan Konsultatif. 157 Para kandidat dipilih oleh pemilih berasal dari
kelompok intelektual yang didukung oleh para intelektual Islam. Surin Pitsuwan
dan kontrol dari angkatan bersenjata dan birokrasi, karena itu, Melayu-Muslim
dalam politik asimilasi budaya. Selain pendidikan sebagai alat utama dalam
dan dipertegas dengan himbauan dan instruksi agar para pejabat Melayu-Muslim
tersebut ditugaskan ke daerah itu agar sikap dan wibawa mereka seperti orang-
orang Thai. Setelah itu, akhirnya keturunan para raja ditawarkan pelatihan kerja
dari gubernur Thai sebagai proses setelah Siam berhasil mengintegrasikan para
Pada batas tahun 1932, Siam merubah identitas politik Monarki absolut
menjadi monarki konstitusional. Pada tahun inilah, dimulai harapan dan impian
baru akan perubahan nasib orang-orang Patani menjadi lebih baik, agar
pemerintah Siam berpihak dan mendukung hak kemerdekaan bagi rakyat Patani.
bertujuan menyatukan semua etnis, tidak hanya etnis Melayu melainkan juga etnis
Cina dan lainnya yang ada di wilayah Thailand. 159 Dalam program ini pemerintah
menetapkan bahwa:
158
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989,, hal.30-31.
159
Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for
TheContinuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation
State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.115-116
76
3. Setiap individu yang telah lulus wajib belajar berarti bahwa dia adalah
warga negara yang mampu mendapatkan sumber daya hidup yang penting
untuk bekerja, dan dia memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara,
pekerjaannya.
menyatukan diri baik secara kultural maupun emosional, dengan begitu proses
integrasi terjaga dan terpelihara secara utuh. Namun, kesalahan besar justru terjadi
tidak memahami persoalan budaya lokal. 160 Itu sebab Muslim Patani hanya
menjadi penonton pasif daripada lowongan kerja yang sebenarnya tersedia seiring
wilayah selatan. Secara sosial, msyarakat Patani sama sekali tidak diuntungkan.
Kegagalan pemerintah Siam dalam menjaga pola integrasi pada tahap ini
dari kalangan Muslim Patani, untuk menjaga dan memelihara pola integrasi
tersebut. Namun, pada praktiknya hal ini tidak berjalan sesuai harapan, karena
Muslim Patani selalu memandang curiga dan menganggap semua hal tersebut
panjang, karena proses ini bertindak pada sistem kultural secara menyeluruh.
dengan begitu, peran sosialisasi dan internalisasi sangat dibutuhkan demi tujuan
yang menentang Muslim Patani dan mendukung segala permintaan mereka. Pajak
Malaysia yang dikuasai Inggris, dan pejabat publik yang ditugaskan untuk Patani
harus hormat dan jujur. Alasan konsensi tersebut, karena Vajiravudh khawatir
Inggris akan campur tangan dan memaksa Thailand untuk membagi provinsi
cara kerja sistem hukum Islam, bahkan kata qadi, diistilahkan oleh mereka
menjadi kali, yang dianggap menghina Patani. Gelar haji diartikan ‘orang-orang
yang berkunjung ke Kapilavastu’ (nama kota asal sang Budha). Orang-orang Thai
juga tidak bisa berbicara Melayu dan memahami kebiasaan tradisi dan budaya
Melayu.
bahkan hukum agama Melayu Patani. Menurut Weber, hal ini sebagai tindakan
otoritas ‘hari kemarin yang abadi’ dan bertindak sebagai penjaga ‘adat-istiadat
162
Tesis oleh Sara A. Jones, Framing the Violence in Southern Thailand: Three Waves of
Malay-Muslim Separatism, Center for International Studies of Ohio University, Juni 2007, hal.40-
41. Akses dari http://etd.ohiolink.edu/send-pdf.cgi/Jones%20Sara%20A. pdf?acc_num =ohiou
1179351296, tanggal 3 September 2010, pukul 13.50 WIB.
79
yang telah dikeramatkan karena sudah diakui sejak zaman dahulu dan melalui
pasalnya, raja-raja tersebut sering kali menjadi pelopor tindakan keras dari
masyarakat Patani
Siam, yang pada akhirnya menyebabkan mereka dicopot dari jabatan mereka
membayar pajak dan sewa tanah ke pemerintah Siam sebagai respons terhadap
penolakan reformasi pendidikan yang diperkenalkan tahun 1921, 165 dan Undang-
Patani sekolah di sekolahan negeri selama empat tahun untuk belajar bahasa
Thai. 166 Melayu-Muslim Patani melihat aturan ini sebagai serangan terhadap
budaya atas program Thaisasi. Dalam pemberontakan ini, terjadi bentrokan antara
warga desa Namsai dengan aparat keamanan dengan jumlah korban terbanyak
yang unik dalam sejarah gerakan kemerdekaan Patani, dan menentukan arah bagi
menghadapi dua golongan Patani, yakni kerabat raja dan para ulama. Kedua
165
Aphornsuwan Thanet, "The origins of Malay Muslim separatism in southern
Thailand", Asia Research Institute, Working Paper Series, No. 32, October 2004, hal.18-19.
166
Moshe Yegar, Between Integration and Seccesion: The Muslim Communities of The
Southern Philipines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books,
2002, hal.89.
81
mendapat dorongan dan dukungan dari raja-raja Melayu. Dorongan dan dukungan
raja-raja Melayu tersebut tidak terlepas dari kekhawatiran mereka bahwa suatu
saat jabatan dan kekuasaan mereka pun akan digerogoti oleh Inggris, seperti yang
tersebut tidak hanya mengajarkan kurikulum sekuler Thai, tetapi juga mencakup
pengajaran dalam etika Budha, dengan biarawan sebagai guru pelayanannya. Hal
ini dianggap sebagai penghinaan terhadap umat Islam karena menyerang secara
berkurikulum sekuler.
167
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.51
168
Ibid.hal.53
82
Muslim belum puas dengan otonomi agama. Mereka menuntut otonomi politik.
budaya, pendidikan, dan agama dapat dicapai melalui politik otonomi. Dipimpin
berikut:
berasal dari salah satu dari empat provinsi dan dipilih oleh seluruh orang
di empat provinsi.
Muslim.
Islam, yang dipisahkan dari pengadilan sipil, dengan Qadhi sebagai hakim
Muslim
5) Semua pendapatan daerah dan sumber daya alam yang berasal bentuk
memancing pemberontakan dari kalangan elit Patani dan gerakan bawah tanah
dari kalangan rakyat biasa Patani. Pemberontakan dan gerakan bawah tanah
tersebut mendapat dukungan dan respons dari dunia internasional, khususnya dari
semakin meluas termasuk Liga Arab dan PBB. 170 Langkah yang paling penting
adalah penciptaan pada Februari 1944, dari Gabungan Melayu Pattani Raya
Thailand dan juga dari Partai Nasionalis Melayu di Malaya. Situasi itu intens
dilakukan. Operasi gerilya mulai bergerak melintasi perbatasan dari dalam Malaya
169
Erni Budiwanti, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah
Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus
Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000, hal.129.
170
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.24
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
mediator perdagangan dengan Muslim lainnya dari Timur Tengah, Asia Selatan,
bawah sistem anak sungai (upeti), dan mengklaim kedaulatan yang dimiliki
Idealnya jaminan bagi hak-hak kaum minoritas tercipta melalui kondisi pemberian
belakang status. Pun, hendaknya, tercermin pada sikap dari publik dan pemerintah
karena berpijak pada nasionalisme negara Thailand yang berpusat pada kesetiaan
kepada raja Thai, etika Budha dan budaya Thai. Sementara identitas sejarah
sebagai kerajaan Islam Melayu yang independen, budaya (kebiasaan atau adat
istiadat), bahasa Melayu, dan agama Islam yang diyakini Patani merupakan
lainnya. Terdesak dengan kondisi demikian, tahun 1902, Siam yang diprakarsai
akulturasi kebudayaan dan multikulturalisme yang semu. Hal ini dapat dilihat
Thailand. Semakin keras intervensi Thailand terhadap Patani, maka semakin keras
Terutama dari kalangan elit para raja-raja Patani, yang dipelopori oleh Raja Adul
lainnya. Meski sudah tinggal di Kelantan, pengaruh bekas raja Patani tersebut
yang unik dalam sejarah gerakan kemerdekaan Patani, dan menentukan arah bagi
dari negara Arab. Untuk pertama kalinya, isu Patani menarik perhatian
internasional dan mendapat dukungan semakin meluas termasuk dari Liga Arab
sumber primer. Karena keterbatasan bahasa yang dimiliki penulis. Namun secara
sekunder. Hal yang paling membedakan skripsi ini dengan tulisan yang lainnya
dengan pola integrasi yang diterapkan oleh Thailand terhadap Patani. Sampai
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
1999.
Darussalam, 1994.
Thailand", Asia Research Institute, Working Paper Series, No. 32, October
2004.
LP3ES, 1988.
Bashah, Haji Abdul Halim (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam
1994.
Dawud, Abdur Rahman, H., Sejarah Negara Pattani Darussalam terbitan Pattani,
tanpa tahun.
1988.
Federspiel, Howard M., Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terj.),
Hall, D.,G.,E., Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun.
Harish, S. P., Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand
Strategic Studies.
Ishii, Yoneo, “Thai Muslims and the Royal Patronage of Religion,” Law &
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah:
Jory, Patrick, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn
2006.
Kasimin, Amran, “Religion and Social Change among the Indigenous People of
Mahmud, Nik Anuar Nik, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi :
Malek, Moh. Zamberi A., Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Mudmarn, Seni, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil
LP3ES, 1993.
2004.
University Press,1962.
Raho, Bernard, SVD., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004.
Roux, Pierre Le, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi
Binacipta, 1979.
Taha, Adi Haji, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman
Winichakul, Thongchai, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation,
2004.
the Muslim World, Editor; Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington:
Abdullah, Ahmad Amir Bin, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/
2009.
Selatan” oleh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur,
tanpa tahun.
62, 1988.
2003.
28 May, 2005.
Mala Rajo Sathian, Economic Change in Pattani Region c. 1880-1930: Tin and
Pojar, Daniel J., Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani
Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand, hal.,107 akses dari situs
http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6
69/669.pdf.
Mahmud, Nik Anuar Nik, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada
Bangkok-19.
Suharto, Imtip Pattajoti, The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The
culture.go.th
http://www.sociologyguide.com/thinkers/parsons.php
http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html