DISENTRI BASILLER
PENYUSUN:
Puvanesvari A/P Palanippin (140100267)
PEMBIMBING:
dr. Lili Rahmawati, Sp. A, IBCLC
Mengetahui,
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan rancangan penyuluhan
ini dengan judul “DISENTRI BASILLER”.
Penulis menyadari bahwa penulisan rancangan penyuluhan ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan rancangan
penyuluhan selanjutnya. Semoga makalah penyuluhan ini bermanfaat, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus),
yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air
besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar
dengan tinja bercampur lendir (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus). 1
2.2 Epidemiologi
Shigellosis adalah endemik di seluruh dunia di mana dia bertanggung jawab
untuk sekitar 120 juta kasus disentri yang parah dengan darah dan lendir dalam tinja,
mayoritas terjadi di negara berkembang dan melibatkan anak-anak kurang dari lima
tahun. Sekitar 1,1 juta orang diperkirakan meninggal akibat infeksi Shigella setiap
tahun, dengan 60% dari kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun3.
Dengan tidak adanya vaksin yang efektif yang tersedia, peningkatan frekuensi
antimikroba-tahan strain Shigella di seluruh dunia telah menjadi sumber utama
keprihatinan. Selama survei dari 600.000 orang dari segala usia di Bangladesh, Cina,
Pakistan, Indonesia, Vietnam dan Thailand, Shigellas terisolasi di 5% dari episode
diare 60 000 terdeteksi antara 2000 dan 2004 dan sebagian besar isolat bakteri
resisten terhadap amoksisilin dan kotrimoksazol.
Demikian pula, selama penelitian surveilans 36-bulan di sebuah distrik
pedesaan di Thailand, di mana kejadian Shigellosis diukur untuk 4/1000/year dalam
waktu kurang dari 5 tahun usia, 95% dari S sonnei dan flexneri S isolat resisten
terhadap tetrasiklin dan kotrimoksazol, dan 90% dari isolat S flexneri juga resisten
terhadap ampisilin dan kloramfenikol. Temuan serupa dibuat di Jakarta Utara,
Indonesia, dimana sebuah penelitian surveilans yang dilakukan antara Agustus 2001
dan Juli 2003 menemukan bahwa anak usia 1 sampai 2 tahun memiliki insiden tinggi
Shigellosis (32/1000/year) dengan 73% sampai 95% dari isolat resisten terhadap
ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, kloramfenikol dan.tetrasiklin
2.3 Etiologi
Shigella adalah binatang tidak bergerak, gram negatif, bersifat fakultatif
anaerobik yang dengan beberapa kekecualian tidak meragikan laktosa tetapi
meragikan karbohidrat yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan
gas. Habitat alamiah Shigella terbatas pada saluran pncernaan manusia dan primata
lainnya dimana sejumlah spesies menimbulkan disentri basiler.
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Shigella
Species : Shigella dysentriae
Morfologi
2.4 Patofisiologi
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka
dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan,
dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus
halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak
didalamnya.2
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid,
sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan
mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa
ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada
selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi
ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung. S.dysentriae,
S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, dan
toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik.
Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman
lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada
selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun
akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi
kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan
peritoneum.2
2.6 Diagnosis
Disentri basiler dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan
keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis
dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi
Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan colitis ulserosa. Perbedaan
utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah
pengobatan dengan antibiotic yang adekuat. (6)
Enzim immunoassay.
Deteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang terinfeksi
S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.
Sigmoidoskopi.
Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah sigmoid.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.
Aglutinasi.
Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada
hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada
pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks,
dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.
Endoskopi
Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan
ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada
di bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen proksimal
usus besar.4
2.8 Tatalaksana
2. Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kali/hari, kemudian
diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
3. Pengobatan spesifik
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan
antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan
selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin hampir
universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun
apabila ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap ampisilin masih peka, maka
masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula
dengan trimetoprim-sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-
5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak
efektif.
2.8 Komplikasi
Dehidrasi : saat di mana tubuh kita tidak seimbang dalam kadar cairannya ,
tentunya banyak cairan yang dikeluarkan daripada yang dihidupkan.
Gangguan elektrolit, terutama hiponatremia ( Hyponatremia merujuk pada
tingkat sodium dalam darah yang lebih rendah dari normal. Sodium adalah
penting untuk banyak fungsi-fungsi tubuh termasuk pemeliharaan
keseimbangan cairan, pengaturan dari tekanan darah, dan fungsi normal
dari sistim syaraf ).
Sindroma Hemolitik Uremik : suatu penyakit dimana secara tiba-tiba
jumlah trombosit menurun (trombositopenia, sel-sel darah merah
dihancurkan (anemia hemolitik) dan ginjal berhenti berfungsi (gagal
ginjal).
Malnutrisi/malabsorpsi kekurangan nutrisi dari sejak dalam kandungan
Reactive arthritis : suatu kondisi yang dipicu oleh infeksi yang terjadi di
tubuh - paling sering usus, alat kelamin atau saluran kemih. Sakit sendi dan
bengkak merupakan ciri khas dari arthritis reaktif. Artritis reaktif juga dapat
menyebabkan peradangan pada mata, kulit dan saluran yang membawa urin
dari kandung kemih (uretra). Arthritis reaktif juga kadang-kadang disebut
sindrom Reiter, meskipun istilah ini lebih akurat mengacu pada subtipe
artritis reaktif terutama yang mempengaruhi sendi, mata dan uretra.
Komplikasi yang jarang terjadi adalah kerusakan saraf, persendian atau
jantung, dan kadang-kadang usus yang berlubang.
Dorongan yang kuat selama proses buang air besar, menyebabkan sebagian
selaput lendir usus keluar melalui lubang dubur (prolapsus rekti).6
2.9 Pencegahan
Penyakit disentri basiler ini dapat dicegah dengan cara :
1. Selalu menjaga kebersihan dengan cara mencuci tangan dengan sabun secara
teratur dan teliti.
2. Mencuci sayur dan buah yang dimakan mentah.
3. Orang yang sakit disentri basiler sebaiknya tidak menyiapkan makanan.
4. Memasak makanan sampai matang.
5. Selalu menjaga sanitasi air, makanan, maupun udara.
6. Mengatur pembuangan sampah dengan baik.
7. Mengendalikan vector dan binatang pengerat. 7
BAB III
METODE PENYULUHAN
2. Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.
FKUI:Jakarta.
5. Oesman, Nizam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Fakultas kedokteran
UI.: Jakarta.