Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

GANGGUAN PSIKOTIK AKUT

Disusun Oleh :
Pratika Lawrence Sasube
18 650 500 50

Dokter Pembimbing :

dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ(K), SH


dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ
dr. Herny Taruli Tambunan, M. Ked (KJ), Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT
PERIODE 24 AGUSTUS –28 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, Referat dengan judul “Gangguan Psikotik Akut” dapat terselesaikan. Referat ini
ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan stase Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Jiwa
pada Program Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.
Penulis menyadari bahwa Referat ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked (KJ), Sp.KJ. selaku dokter pembimbing yang telah
menyediakan waktu dan pikiran untuk mengarahkan dan membimbing penulis dalam
penyusunan referat ini.
2. dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ. (K), S.H. selaku dokter pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam mengikuti kepaniteraan ilmu
kedokteran jiwa.
3. dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ. selaku dokter pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam mengikuti kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa.
4. Para staf, seluruh karyawan, dan perawat yang telah banyak membantu dan banyak
memberikan saran-saran yang berguna bagi penulis dalam menjalani kepaniteraan di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat.
Akhir kata, penulis berharap semoga Referat ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, September 2019

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Respons seksual fisiologis manusia terdiri dari beberapa fase


yaitu fase dorongan/hasrat, rangsangan, orgasme, dan resolusi.1 Disfungsi
seksual meliputi beberapa gangguan dimana individu tidak mampu
berperan serta dalam hubungan seksual seperti yang diharapkannya.2
Disfungsi seksual dapat merupakan gejala biologis ataupun konflik
intrapsikis atau interpersonal, maupun kombinasi dari kedua faktor
tersebut.1 Fase dorongan/hasrat merupakan fase yang ditandai dengan
khayalan seksual dan keinginan untuk melakukan hubungan seksual.
Ketika terjadi hambatan pada proses ini maka terjadi gangguan dorongan
seksual, yang terbagi menjadi gangguan dorongan seksual hipoaktif dan
gangguan keengganan seksual.2
Stimulansia, atau disebut juga psikostimulansia, merupakan
obat dan atau bahan kimia yang dapat meningkatkan fungsi mental dan
fisik secara temporer. Secara singkat, stimulansia bekerja pada neuron dan
sirkuit otak, terutama sistem neurotransmitter dopamin.4 Kondisi ini
ditimbulkan melalui beberapa mekanisme, seperti stimulasi berlebih
reseptor pada neuron post-sinaptik, peningkatan jumlah dopamine pada
sinaps melalui pelepasan dopamine presinaps berlebih maupun
menghambat pemecahan maupun reuptake dopamine. Penggunaan
stimulansia mengakibatkan peningkatan jumlah dopamin pada sistem
saraf pusat sehingga mengakibatkan efek seperti peningkatan mood,
peningkatan aktifitas motorik, dan mengurangi rasa lelah.4 Beberapa
pengguna stimulansia juga mengatakan bahwa penggunaan kokain dan
metamfetamin berhubungan kuat dengan gairah seksual. Penggunaan
stimulansia dapat meningkatkan gairah seksual, menyebabkan masturbasi
kompulsif, hingga pemanjangan durasi hubungan seksual.5 Tulisan ini
membahas lebih lanjut penyalahgunaan stimulansia pada gangguan
keinginan dan gairah seksual.
BAB II
PEMBAHASAN

I. Respons seksual fisiologis


Fungsi respons seksual secara normal diatur oleh beberapa
bagian di sistem saraf pusat, seperti korteks, sistem limbik, batang otak,
traktur spinalis, dan beberapa neurotransmitter sistem saraf pusat.1
Korteks otak terlibat dalam kontrol impuls seksual dan pengolahan
stimulus seksual yang dapat berlanjut menjadi aktivitas seksual. Beberapa
area korteks diketahui lebih aktif pada saat aktivitas seksual dibandingkan
area lainnya, yaitu orbitofrontal, singulata anterior, dan nukleus kaudatus.
Selain itu sistem limbik juga berperan dalam fungsi seksual. Stimulasi
elektrik maupun kimiawi pada septum inferior limbik, fimbria
hipokampus, mammillary bodies, dan nukleus talamik anterior berperan
dalam proses ereksi. Batang otak berperan dalam kontrol eksitasi maupun
inhibisi refleks seksual tingkat spinal. Beberapa neurotransmitter, seperti
dopamin, epinefrin, norepinefrin, dan serotonin mempengaruhi fungsi
seksual. Peningkatan dopamine berhubungan dengan peningkatan libido.
Sedangkan serotonin menyebabkan efek inhibisi dari fungsi seksual.3
Respons seksual normal didahului dengan hal psikologis seperti
membayangkan maupun hal fisik seperti bersentuhan / bersinggungan
dengan lawan jenis. Secara fisiologis respons seskual terjadi sebagai
berikut:1,3
a. Fase dorongan / hasrat
Fase ini diawali dengan khayalan seksual dan hasrat untuk
melakukan hubungan. Pada fase ini terjadi ereksi pada pria,
sedangkan pada wanita terjadi lubrikasi. Gangguan pada fase ini
dapat terjadi gangguan dorongan seksual hipoaktif, gangguan
keengganan seksual, gangguan dorongan seksual hipoaktif karena
kondisi medis umum, dan disfungsi seksual akibat zat tertentu.
b. Fase rangsangan / plateau
Fase plateau merupakan saat perangsangan terjadi secara maksimum
dan bertahan untuk waktu tertentu. Pada fase ini terjadi perasaan
subjektif kenikmatan seksual dan perubahan fisiologis yang
menyertai. Pada fase ini dapat terjadi gangguan rangsangan seksual
wanita, gangguan erektil laki-laki, dispareunia karena kondisi medis
umum, dan disfungsi seksual akibat zat tertentu.
c. Fase orgasme
Fase orgasme yaitu saat terjadi puncak dari hubungan seksual. Pada
fase ini terjadi puncak kenikmatan seksual, pelepasan ketegangan
seksual dan kontraksi ritmik otot perineum dan organ reproduktif
pelvik. Pada fase ini dapat terjadi gangguan orgasmic perempuan,
ejakulasi prematur pada laki-laki, dusfungsi seksual lainnya karena
kondisi medis maupun penggunaan zat tertentu.
d. Fase resolusi
Fase resolusi merupakan kondisi saat genitalia atau tubuh secara
umum mengalami relaksasi dan kembali pada keadaan semula. Pada
laki – laki terjadi refrakter orgasme selama periode waktu tertentu
yang semakin panjang dengan bertambahnya usia. Pada fase ini
dapat terjadi disforia pasca senggama, nyeri pasca senggama.

II. Disfungsi seksual


Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa,
disfungsi seksual merupakan berbagai gangguan dimana individu tidak
mampu berperan serta dalam hubungan seksual seperti yang
diharapkannya. Gangguan tersebut dapat berupa kekurangan minat
(interest), kenikmatan (enjoyment), kegagagalan dalam respon fisiologis
yang dibutuhkan untuk interaksi seksual yang efektif (misalnya ereksi),
atau tidak mampu mengendalikan atau mengalami orgasme.2
Disfungsi seksual terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu kurang
atau hilangnya nafsu seksual, penolakan dan kurangnya kenikmatan
seksual, kegagalan respons genital, disfungsi orgasme, ejakulasi dini,
vaginismus non-organik, dispareunia non-organik, dan dorongan seksual
yang berlebihan.2
F52.0 Kurang atau Hilangnya Nafsu Seksual
 Hilangnya nafsu seksual merupakan masalah utama dan tidak
merupakan gangguan sekundr dari kesulitan seksual lainnya,
seperti kegagalan ereksi atau dispareunia.
 Berkurangnya nafsu seksual tidak menyingkirkan kenikmatan
atau bangkitan (arousal) seksual, tetapi menyebabkan
kurangnya aktivitas awal seksual. Termasuk frigiditas.

F52.1 Penolakan dan Kurangnya Kenikmatan Seksual

F52.10
 Penolakan seksual (sexual aversion)
 Adanya perasaan negative terhadap interaksi seksual, sehingga
aktivitas seksual dihindarkan
F52.11
 Kurangnya kenikmatan seksual (lack of sexal enjoyment)
 Respons seksual berlangsung normal dan mengalami orgasme,
tetapi kurang ada kenikmatan yang memadai.

F52.2 Kegagalan dari Respons Genital

 Pada pria masalah utama adalah disfunsi ereksi, misalnya


kesukaran untuk terjadinya atau mempertahankan ereksi yang
memadai untuk suatu hubungan seksual yang memuaskan.
 Pada wanita masalah utama adalah kekeringan vagina atau
kegagalan pelicinan (lubrication).

F52.3 Disfungsi Orgasme


 Baik orgasme tidak terjadi sama sekali maupun yang sangat
terlambat. Termasuk “psychogenic anorgasmy”

F52.4 Ejakulasi Dini

 Ketidak mampuan mengendalikan ejakulasi sedemikian rupa


sehingga masing-masing menikmati hubungan seksual.

F52.5 Vaginismus Non-organik

 Terjadi spasme otot-otot vagina, menyebabkan tertutupnya


pembukaan vagina. Masuknya penis menjadi tak mungkin atau
nyeri.
F52.6 Dispareunia Non-organik

 Dispareunia adalah keadaan nyeri pada waktu hubungan


seksual, dapat terjadi pada wanita maupun pria.
 Diagnosis ini dibuat hanya bila tidak ada kelainan seksual
primer lainnya seperti vaginismus atau keringnya vagina.

F52.7 Dorongan Seksual yang Berlebihan

 Baik pria maupun wanita dapat kadang-kadang mengeluh


dorongan seksual yang berlebihan sebagai problem dalam
dirinya, biasanya pada remaja akhir belasan taun atau dewasa
muda
 Bila keadaan ini sekunder dari Gangguan Afektif atau terjadi
pada stadium awal dari dementia, maka gangguan primernya
harus di-diagnosis.

Sedangkan pada DSM V, disfungsi seksual terbagi menjadi tiga


kelompok pada wanita, yaitu kelainan keinginan & gairah seksual,
gangguan penetrasi / nyeri genito-pelvik, dan gangguan orgasme.
Gangguan keinginan & gairah seksual terbagi menjadi gangguan
keinginan hipoaktif dan gangguan gairah seksual. Sedangkan bagi pria,
disfungsi seksual terbagi menjadi empat kelompok, yaitu gangguan
ereksi, gangguan keinginan hipoaktif, ejakulasi dini, dan ejakulasi
lambat. Penegakkan diagnosis dilakukan apabila gangguan tersebut
berlangsung selama minimal enam bulan dan menyebabkan “significant
distress”.7

III. Stimulansia
Stimulansia, atau disebut juga psikostimulan, merupakan
kelompok zat yang dapat meningkatkan fungsi mental dan fisik secara
temporer. Secara singkat, stimulansia bekerja pada neuron dan sirkuit
otak, terutama sistem neurotransmitter dopamine, meningkatkan atau
mempercepat aktivitas sisem saraf pusat.4 Hal tersebut menyebabkan efek
seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.5 kelompok zat ini
awalnya seringkali digunakan oleh atlet untuk meningkatkan performa
dan intensitas latihan. Beberapa contoh stimulansia seperti kafein,
amfetamin, kokain, dan efedrin.4
Bagian sistem saraf pusat yang bekerja pada pengaturan emosi
adalah sistem limbik atau disebut juga dopamine reward system atau brain
reward system, yaitu hipokampus, ventral tegmental area (VTA) ,
striatum, nukleus akumbens, dan korteks frontalis.4 Berbagai aktivitas
natural seperti makan, minum, melakukan aktivitas yang digemari,
aktivitas seksual mengaktivasi nukelus akumbens, memicu komunikasi
antar struktur neuron yang mengakibatkan pelepasan dopamin. Pelepasan
dopamin tersebut mengakibatkan perasaan senang atau elasi.4 Stimulansia
bekerja dengan menghambat jalur komunikasi normal antara neuron otak,
yaitu melalui sistem neurotransmitter dopamine.6 Penggunaan stimulansia
jangka panjang mempengaruhi neuron dopaminergic pada struktur limbik
(VTA, nukleus akumbens).4

Gambar 1. Dopamine reward system11


Beberapa stimulansia memiliki mekanisme kerja yang berbeda
pula. Kokain bekerja pada sirkuit limbik, korteks prefrontal, dan amigdala
dengan menghambat reuptake neurotransmitter dopamin setelah
dilepaskan dari neuron dengan berikatan dengan molekul transporter
dopamin.8 Peningkatan jumlah dopamin yang terakumulasi pada sinaps
menyebabkan jumlah reseptor dopamin menurun atau disebut sebagai
mekanisme “down regulation”. Ketika kadar dopamin kembali ke
konsentrasi normal, jumlah reseptor dopamin yang berkurang dan
berikatan dengan neurotransmitter tidak lagi cukup untuk mengaktivasi
neuron, sehingga mengakibatkan “craving”.8
Amfetamin, seperti juga metamfetamin, juga bekerja pada sistem
limbik dengan mempengaruhi kadar neurotransmitter pada sinaps, namun
memiliki mekanisme kerja yang berbeda dari kokain.8 Amfetamin dan
metamfetamin memiliki struktur kimia yang menyerupai dopamin dan
neurotransmitter lainnya, yaitu norepinefrin. Peningkatan kadar dopamine
terjadi karena amfetamin menghambat pemecahan dopamine.8 Efek
metamfetamin pada otak dapat berlangsung dalam jangka panjang dan
kerusakan progresif pada neuron yang memproduksi dopamine dapat
meningkatkan kemungkinan terjadi Parkinson’s disease.8
Intensitas efek dari stimulansia bergantung pada dosis dan jalur
penggunaan. Ketika dihirup, stimulansia dapat mencapai sistem saraf
pusat dalam 3 – 5 menit, sedangkan melalui jalur intravena dapat
mencapai otak dalam 15 – 30 menit.4

IV. Pengaruh Stimulansia pada Gangguan Keinginan Seksual


Beberapa pengguna stimulansia mengatakan bahwa penggunaan
kokain dan amfetamin memiliki hubungan yang kuat terhadap fungsi
seksual. Efeknya terhadap fungsi seksual bervariasi dan dapat berubah
sering bertambahnya waktu. Penggunanya, terutama pria, melaporkan
bahwa stimlansia meningkatkan libido dan menurunkan inhibisi seksual,
karena efeknya yaitu mencetuskan masturbasi kompulsif, pemanjangan
durasi seksual, dan menurunkan inhibisi fungsi seksual.6 Penurunan
inhibisi dapat menuju “sexual adventurousness” yang menyebabkan
penggunanya melakukan aktivitas seksual yang mungkin tidak menarik
baginya tanpa pengaruh stimulansia. Contohnya, pengguna stimulansia
melaporkan hanya dibawah pengaruh kokain maupun metamfetamin
individu heteroseksual dapat mengalami fantasi homoseksual.6
Penelitian oleh Dolatshahi dkk dilakukan dengan metode
wawancara dengan 35 pengguna metamfetamin, rentang usia pengguna
yang paling banyak adalah usia 25 – 35 tahun, dengan durasi penggunaan
metamfetamin rata – rata 2 – 5 tahun. Beberapa responden menggunakan
stimulansia dikombinasikan dengan obat-obatan lain, seperti Sildefanil
(Viagra).9
Hasil wawancara pada penelitian tersebut dikelompokan menjadi
empat kelompok besar, yaitu perubahan sikap perilaku seksual,
perubahan kemampuan seksual, perilaku seksual kompulsif, dan perilaku
seksual diluar batas wajar. Sebagian besar pengguna mengatakan bahwa
metamfetamin meningkatkan gairah seksual secara signifikan dan
aktivitas seksual dapat berlangsung dalam durasi yang lebih lama, tanpa
rasa lelah. Penggunaan amfetamin juga menimbulkan perilaku seksual
kompulsif, seperti aktivitas seksual di tempat yang tidak wajar, bahkan
dapat muncul sifat agresif dan memaksa.9
Berikut ini beberapa pernyataan yang dikutip langsung dari hasil
wawancara responden:9

Pengguna berusia 44 tahun : “The experience of sexual intercourse while


on meth is so great that you feel pleasure with all the cells in your body”9

Pengguna berusia 30 tahun : “Some thoughts about incest came to my


mind, but I wiped them out immediately like cleaning a blackboard!”9

Pengguna berusia 22 tahun : “when I used methamphetamine, I became


very aggressive and forced girls to do that with me. I even slapped and
kicked them to force them into doing this”9

Selain itu Mehdi dkk melakukan penelitian dengan


membandingkan perilaku seksual 20 pengguna metamfetamin dengan
penggunaan obat aphrodisiac (stimulansia seksual) dan 20 pengguna
amfetamin tanpa penggunaan obat aphrodisiac. Pada penelitian tersebut
disimpulkan bahwa penggunaan jangka panjang metamfetamin
bersamaan dengan obat aphrodisiac (stimulansia seksual), selain
meningkatkan kekuatan dan performa seksual, juga meningkatkan
terjadinya aktivitas seksual berisiko, seperti aktivitas seksual dengan
orang yang tidak dikenal tanpa menggunakan pengaman.10

V. Terapi
Dalam upaya mengembalikan atau memperbaiki fungsi seksual
pengguna stimulansia, perlu dilakukan abstinens obat maupun abstinens
seksual. Periode “cooling off” selama kurang lebih 30 hari dapat
membantu untuk mengurangi drug-sex connection. Tujuan utama dari
terapi adalah mengembalikan fungsi seksual normal tanpa keterlibatan
obat-obatan.6
Ketika penggunaan stimulansia berhubungan kuat dengan fungsi
seksual seseorang, sulit untuk melakukan metode abstinensia tersebut.
Pengguna akan merasa ketergantungan dengan stimulansia untuk
mendapatkan kepuasakan seksual, memicu penggunaan obat terus
menerus dan episode relaps. Fenomena tersebut disebut sebagai
“reciprocal relapse”.6
Penghentian penggunaan obat-obatan tidak menghilangkan
fantasi dan keinginan aktivitas seksual secara instan. Pada pengguna yang
tidak bersedia mengikuti metode tersebut dan periode “cooling off”, dapat
ditawarkan pendekatan meminimalisir risiko (harm reduction). Sebagai
contoh dapat dilakukan edukasi pada pasien untuk tidak lagi melakukan
hubungan seksual yang berisiko, dan beralih ke masturbasi untuk
melepaskan gairah seksual, serta mengurangi kemungkinan penggunaan
obat berulang.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri FKUI Edisi Ketiga. 3rd ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2015.
2. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2013.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2014.
4. Substance Abuse and Mental Health Services Administration. How Stimulants Affect
the Brain and Behavior. Treatment Improvement Series (TIP). Center for Substance
Abusement Treatment Series No. 33. 1999. Diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK64328/
5. Stimulants; the brain’s response to drugs
6. AM Washton, JE Zweben. Cocaine and methamphetamine addiction: treatment,
recovery, and relapse prevention. 2009. Norton Professional Books: 1 – 10.
7. Ishak W, Tobia G. DSM-5 changes in diagnostic criteria of sexual dysfunction. Reprod
Sys Sexual Disorders. 2(2): 1 – 3.
8. Connecticut Clearinghouse. Stimulants; the brain’s response to drugs. 1997. Diunduh
dari: https://www.ctclearinghouse.org/customer-
content/www/topics/stimulants_the_brains_response_to_drugs_062005.pdf
9. Dolatshahi B dkk. A qualitative study of the relationship between methamphetamine
abuse and sexual dysfunction in male substance abusers. Int J High Risk Behav Addict:
5(3); 2016: 242 – 51. Diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5086781/
10. Hosseinifard dkk. Synergistic (MARATHON) effect of combined methamphetamine
with sexual stimulant drugs. Addict Health: 6(3); 2014: 112 – 7. Diunduh dari:
http://ahj.kmu.ac.ir/article_84624_d852ea00d56ca4065db6cceee9132aac.pdf
11. Bergland C. The neuroscience of pleasure and addiction. Article. 2014. Diunduh dari:
https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-athletes-way/201405/the-
neuroscience-pleasure-and-addiction

Anda mungkin juga menyukai