Anda di halaman 1dari 429

Edisi Keempat Tahun 2011

Pedoman
Imunisasi Anak
diIndonesia

Penyunting
I G.N.Gde Ranuh
Hariyono Suyitno
Sri Rezeki S Hadinegoro
Cissy B Kartasasmita
Ismoedijanto
Soedjatmi ko

Jadwal imunisasi dibawahnya ditambahkan : Keterangan


lebih lanjut lihat halaman sampul belakang bagian

Satgas Imunisasi - Ikatan Dokter Anak Indonesia


dalam.

ISBN 978-979-8421-34-1
Disclaimer

Isi di dalam buku Pedoman Imunisasi di Indonesia ada lah hasil


kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi IDAI yang
berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan pedoman umum
dalam melakukan imunisasi di Indonesia dan dapat disesuaikan dengan
kondisi setempat. Kemungkinan dapat terjadi perbedaan dengan
sumber-sumber lain karena perkembangan ilmu dan kebijakan
setempat.

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan pertama kali tahun 2001


Diterbitkan kedua kali tahun 2005
Diterbitkan ketiga kali tahun 2008

Diterbitkan keempat kali tahun 2011

Koordinator Penerbitan
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)

Art director: J.A. Wempi


Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo

Edisi 4, cetakan pertama 2011

Penerbit buku ini dikelola oleh:


Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

ISBN 978-979-8421-34-1
Kata Sambutan Menteri Kesehatan

Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya dalam


upaya mencapai Indonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan terhadap
penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi telah menampakkan
hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanus neonatorum,
pertusis, campak, dan hepatitis B, berangsur-angsur berkurang. Dalam
waktu dekat diharapkan penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh
dunia melalui program imunisasi yang berkesinambungan.
Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date, kami
merasa bangga kepada upaya anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia
khususnya anggota Satgas Imunisasi IDAI yang telah merevisi buku imunisasi
ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman Imunisasi ini akan menunjang
perubahan pandangan dan strategi dalam bidang vaksinologi yang senantiasa
berubah sejalan dengan situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi
dalam bidang kesehatan.
Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan edisi
kedua yang telah tersebar luas di tanah air ini, kami harapkan edisi ketiga
tetap menjadi acuan dalam meningkatkan program imunisasi dan sebagai
acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku ini dapat dipergunakan
bersama-sama dengan buku Pedoman Imunisasi Departemen Kesehatan
yang telah ada (Kepmenkes No. 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi).
Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para
penulis yang dikoordinasi oleh Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
yang telah menyusun buku imunisasi ini. Karya dan jerih payahnya akan
membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.

Jakarta, April 2008

DR. Siti Fadilah Supari, Dr., Sp.JP Menteri


Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 iii


Prakata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI

erupakan kebanggaan dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak


Indonesia dapat menyajikan Buku Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga ini.
M Mengingat banyak hal-hal yang perlu disesuaikan dengan kemajuan
bidang imunisasi maka edisi ketiga ini merupakan kebutuhan, bukan saja
untuk dokter spesialis anak namun untuk semua penyedia layanan jasa
kesehatan yang berkecimpung dengan program imunisasi.
Program imunisasi yang telah lebih dari tiga abad lalu diakui sebagai
upaya pencegahan yang penting, pada sepuluh tahun terakhir ini telah
mengalami kemajuan yang signifikan. Edisi ketiga diharapkan dapat menjadi
acuan dalam mengatasi kemajuan tersebut. Misalnya perubahan
epidemiologi beberapa penyakit dan adanya kemajuan teknik pembuatan
vaksin, upaya pemerintah dalam melaksanakan eradikasi polio, eliminasi
tetanus neonatorum, reduksi campak, dan memutuskan rantai penularan
hepatitis B sedini mungkin, akan mengubah jadwal imunisasi.
Tambahan topik dan revisi terutama diperlukan untuk menjawab
beberapa masalah, antara lain, (1) bertambahnya jenis vaksin di luar program
PPI (vaksin non-PPI), baik sebagai vaksin baru maupun vaksin yang telah
lama beredar kini muncul dalam kemasan baru, (2) keamanan pemberian
suntikan vaksin (safety injection) perlu mendapat perhatian, dan (3)
sesuai dengan maturasi perjalanan imunisasi, program imunisasi akan
mengalami hambatan akibat kejadian ikutan yang diduga menjadi
penyebab imunisasi; dalam hal ini PP IDAI telah menunjukkan sikapnya
menghadapi hal ini.
Sebagaimana pembuatan buku imunisasi yang diharapkan senantiasa
menjadi acuan, tentunya buku ini tetap memerlukan revisi-revisi di
kemudian hari. Akhirnya saya selaku Ketua Umum Ikatan Dokter Anak
Indonesia mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kerja
keras seluruh kontributor anggota Satgas Imunisasi dan semua pihak
yang membantu penerbitan buku imunisasi ini.
Jakarta, Mei 2008

Sukman Tulus. Putra, Dr., Sp.A(K), FACC, FESC

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 v


Prakata edisi 1 _________

Prakata edisi 4- : perubahan-perubahan /tambahan

Kata Pengantar Tim Satgas Imunisasi IDAI

ami mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanawata’ala,


bahwa Buku Pedoman Imunisasi edisi 1 (tahun 2002) dan edisi 2
K (tahun 2005) tampaknya sangat dibutuhkan oleh dokter dan
petugas kesehatan yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga
dalam waktu singkat habis dari peredaran. Mengingat banyaknya
permintaan untuk mencetak ulang buku ini, maka kami menerbitkan
Buku Imunisasi edisi ke-3 dengan revisi beberapa topik dan adanya
tambahan informasi vaksin-vaksin baru.
Perubahan dalam buku edisi ke-3 tahun 2008 adalah,
 Penyimpanan dan transportasi vaksin dari Bab XII menjadi Bab II, isi
ditambah dan dibagi menjadi 2 topik yaitu rantai vaksin dan
kualitas vaksin,
 Prosedur imunisasi dari Bab II menjadi Bab III, dengan
tambahan topik safety injection,
 Influenza, pneumokokus dan rotavirus direvisi dengan tam-bah an
informasi terbaru,
 Tambahan topik yaitu vaksin human papilloma virus,
 Jadwal imunisasi ditambah dengan vaksin human papilloma virus
(HPV), untuk anak remaja,
 Vaksin untuk tujuan khusus dan vaksin untuk turis digabung menjadi
satu dalam Bab VI mengenai vaksin yang dianjurkan (non PPI),
sehingga jumlah bab berkurang satu menjadi 12,
 Kontroversi dalam imunisasi ditambah dengan miskonsepsi
 Imunisasi kelompok berisiko dari Bab III dipindahkan ke Bab IX

Kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor, terutama


vi Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
yang telah melakukan revisi, perbaikan dan penambahan topik-topik
baru untuk edisi ke 3 ini. Mengingat pekerjaan untuk membuat revisi
buku edisi ke-3 ini cukup melelahkan,

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 v


kami telah dibantu oleh dua orang editor baru yaitu Prof. Dr.
Ismoedijanto dr.,Sp.A(K) dan Soedjatmiko dr., Sp.A(K)., Msi. Untuk itu
kami ucapkan terima kasih.
Selanjutnya kami mengharapkan masukan dan saran dari para
pengguna buku ini, untuk penyempurnaan pada edisi mendatang.
Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan vaksin
dan imunisasi, sehingga derajat kesehatan anak Indonesia semakin
meningkat.
Tim Penyunting
Prof. I G.N. Gde Ranuh dr., Sp.A(K)
Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr., SpA(K)
Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro dr., Sp.A(K) Prof.
Cissy B. Kartasasmita dr., MSc., Ph.D., SpA(K) Prof. Dr.
Ismoedijanto, dr., SpA(K)
Soedjatmiko, dr., SpA(K), MSi.

vi Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Daftar Isi

Halaman

Disclaimer

Prakata edisi 1
Prakata edisi 4

Daftar isi

Daftar kontributor (+ Harsono salimo + Chandra)

Daftar singkatan

Bab I. Dasar-dasar Imunisasi


1. Imunisasi upaya pencegahan primer + values of
immunization
2. Aspek imunologi vaksin

Bab II. Jadwal Imunisasi


1. Program Imunisasi Nasional
2. Jadwal rekomendasi IDAI
3. Jadwal imunisasi tidak teratur (+ yang belum pernah
mendapat imunisasi = catch-up )
4. Vaksin kombinasi
5. Imunisasi anak sekolah dan remaja

Bab III. Imunisasi kelompok berisiko


1. Bayidan anak berisiko
2. Bayi dari ibu berisiko
3. Travel vaccination
4. Di daerah bencana

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 vii


Bab IV. Prosedur imunisasi

1. Jenis-jenis vaksin
2. Tata cara pemberian
3. Penjelasan kepada orangtua mengenai imunisasi
4. Catatan imunisasi
5. Safety injection

Bab V, Penyimpanan dan transportasi vaksin


1. Rantai vaksin
2. Kualitas vaksin

Bab VI. Imunisasi Pasif

Bab VII. KIPI


1. Klasifikasi
2. Pelaporan

Bab VIII. Imunisasi untuk PD3I (Penyakit yang dapat dicegah


dengan Imunisasi)
1. Hep B
2. Polio
3. Tuberkulosis
4. DTP
5. Hib
6. Pneumokokus
7. Rotavirus
8. Influenza
9. Campak
10. Cacar air
11. MMR
12. Tifoid
13. Hepatitis A

viii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


14. HPV
15. Rabies
16. Meningokokus
17. Japanese Encephalitis
18. Yellow Fever
19. Kolera

Bab IX. Miskonsepsi dan Kontroversi


1. Miskonsepsi imunisasi
2. Kontroversi dalam imunisasi

Bab X. Tanya jawab mengenai Imunisasi (+ nama website


untuk tanya jawab oleh umum)

Vaksin yang terdaftar di Indonesia

Glossary
Index

Endorsement :

Ketua PP
Martin Weber
Dirjen P2PL
Prof. DR Sumarmo P. Soedarmo, SpA (K)

Prof DR Samurizal D, Sp PD

viii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


viii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Daftar Kontributor
(+ Harsono S+ Chandra + Yati S)
cek nama di tiap artikel : A. Suryono, Titut,
Fatimah)

Achmad Suryono UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK


(alm) Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,
Jogyakarta
Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA FK
Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Alan R UKKInfeksi&PediatriTropisIDAI,Departemen
Tumbelaka IKAFKUniversitas Indonesia/RSUPDr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Arwin A P Akib UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen IKA FK
Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK Universitas
Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Cissy B UKK Pulmonologi IDAI, Bagian IKA, FK
Kartasasmita Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin,
Bandung
Corry UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK
S.Matondang Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto
(alm) Mangunkusumo, Jakarta
Dahlan Ali Musa UKK Tumbuh Kembang- Pediatri Sosial
IDAI
Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK
Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA, FK
Universitas Indonesia/RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii
Hardiono D UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA
Poesponegoro FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta

x Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
Soeyitno IDAI , Bagian IKA, FK Diponegoro/ RSUP
Dr. Kariadi, Semarang
Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI,
Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP
Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Hindra Irawan UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas
Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Ismoedijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA,
FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian
IKA, FK Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA FK
Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA,
FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan
Sadikin, Bandung
Nastiti N.Rahajoe UKK Pulmonologi IDAI
Noenoeng UKK Pulmonologi IDAI
Rahajoe
Purnamawati S. UKK Gastrohepatologi IDAI
Pujiarto
S o e d j a t m i k o U K K T u m b u h K e m b a n g P e d i a t r i Sosial
IDAI, Departemen IKA FK Universitas
Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo,
Jakarta

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii


Soegeng UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Soegijanto Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA FK
Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK
Sumatera Utara/ RSUP Dr. H Adam Malik,
Medan
Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK
Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, BagianIKA,FK
SamRatulangi/RSUPDr.Malalayang, Manado
T i t u t UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu &
S.Poesponegoro Anak Harapan Kita, Jakarta
(alm)
Toto Wisnu UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu &
Hendarto Anak Harapan Kita, Jakarta
UKK = Unit Kerja Koordinasi, merupakan badan khusus PP IDAI

x Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Daftar Istilah singkatan
AAP American Academy of Pediatrics
ACIP Advisory Committee on Immunization
AEFI Adverse Events Following Immunization
AFP Acute Flaccid Paralysis, lumpuh layuh
AKABA Angka Kematian Balita
AKB Angka Kematian Bayi
APC Antigen Presenting Cell
ASI Air Susu Ibu
BCG Bacille Cal mette Guerin
BIAS Bulan Imunisasi Anak Sekolah
BTA Bakteri Tahan Asam
CDC Center of Disease Control
DALY Disability Adjusted Life Year
DT Difteria, Tetanus
DTwP Difteria, Tetanus, Pertusis (whole cell)
DTaP Difteria, Tetanus, Pertusis (acellular)
ERAPO Eradikasi Polio
ETN Eliminasi Tetanus Neonatorum
FDA Food Drug Administration
FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GVHD Graft Versus Host Disease
HBIg Hepatitis B Immunoglobulin
HbsAg Hepatitis B surface antigen
Hep-B Hepatitis B
Hib Haemophyllus influenza type b
HIV Human Immunodeficiency Virus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii


HLA Human Leucocyte Antigen
HPV Human Papilloma Virus
IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia
IgA Imunoglobulin A
IgG Imunoglobulin G
IgM Imunoglobulin M
IPV Inactivated Polio Vaccine
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IU International Unit
KIPI Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
KLB Kejadian Luar Biasa
MHC Major Histocompatibility Complex
MMR Measles, Mumps, Rubella
NHMRC National Health and Medical Research Council
NIGH Normal Immunoglobulin Human
OPV Oral Polio Vaccine
PIN Pekan Imunisasi Nasional
PPI Program Pengembangan Imunisasi
PRP Polyribosyribitol Phosphate
PRP-OMP Polyribosyribitol Phosphate-Outer Membrane Protein
PRP-T Polyribosyribitol Phosphate-Tetanus
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
UKK Unit Kerja Koordinasi

xii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab I
Dasar-Dasar Imunisasi
Bab 1 - 1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer 1 - 2
Aspek Imunologi Imunisasi
1 - 3 Jenis Vaksin

Pengantar
Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi
kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian bayi dan
balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas.
Penurunan insidens penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang
lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur
dengan cakupan luas. Demikian juga di Indonesia; dinyatakan bebas penyakit
cacar tahun 1972 dan penurunan insidens beberapa penyakit menular secara
mencolok terjadi sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus,
pertusis, campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak
ditemukan lagi sejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang akan
datang Indonesia akan dinyatakan bebas polio. Sejarah imunisasi telah dimulai
lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner tahun 1798 pertama kali
menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegah penyakit cacar.
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan
(imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin. Dengan melakukan
imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan
pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi
tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi.
Sangat penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak
maupun orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran pada
masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam menyelamatkan jiwa dan
mencegah penyakit yang berat.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 20


Bab 1-1
Imunisasi Upaya Pencegahan
Primer
IG.N. Gde Ranuh

Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta dan
ditengarai pula bahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat, tidak
sesuai dengan perhitungan semula. Menurut Haryono Suyono pengendalian
pertumbuhan penduduk hanya difokuskan pada pasangan usia subur yang
sangat miskin yang notabene jumlahnya kecil sekali, yaitu 19% dari total
jumlah pasangan usia subur di Indonesia
Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan
penduduk akan terus turun bahkan pada tahun 2020 – 2025
dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa ini laju
pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka yang cukup
tinggi 1,3%. Jumlah anak di bawah 15 tahun masih merupakan golongan
penduduk yang sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta (30,26%) dan
usia balita 23,7 juta (10,4%).
Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah
meningkatnya kurang gizi di berbagai pelosok Indonesia. Apabila gizi
kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai 19,3% pada tahun
2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil ditekan bahkan
setelah tahun 2002 berprevalensi untuk menjadi lebih dari 10% yang dapat
kita saksikan akhir-akhir ini. Penyebabnya adalah kurang berfungsinya
Posyandu di masyarakat pada masa lalu, yaitu sejak krisis moneter 1997,
bencana alam yang datang bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi
politik dan keamanan yang tidak kondusif.
Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi
kesehatan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan
kembali.BerkurangnyafungsiPosyandu,pemantauan

21 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan


menurunnya kesehatan anak pada umumnya, khususnya adanya gizi
kurang dan infeksi yang beberapa tahun yang lalu sudah reda menyerang
anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam tifoid, difteri, campak,
demam dengue, dan lainnya.
Pembangunan nasional jangka panjang menititkberatkan pada kualitas
hidup sumber daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada
generasi muda yang memerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit
yang mungkin dapat menghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa
yang berkualitas tinggi guna meneruskan pembangunan nasional jangka
panjang tersebut.
Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan
dimasyarakatmasihmemerlukanperhatiankhususyaitu,
 Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahun
 Angka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahun
 Angka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/ tahun
 Angka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir
hidup/tahun
 Cakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%, HB2
84,4%, HB3 83,0%,TTibuhamil: TT184% danTT2 77% (WHO)

Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir
ini menunjukkan penurunan yang bermakna. Apabila pada tahun 1971
sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk menurunkan AKB dari 142
menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurun waktu
lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil
menurunkan AKB dari 71 menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah
menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan
Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka
kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000
kelahiran hidup.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 22


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena


penggunaan teknologi tepat guna selama itu, yaitu memanfaatkan dengan
baik Kartu Menuju Sehat dalam memantau secara akurat tumbuh kembang
anak, peningkatan penggunaan ASI, pemberian segera cairan oralit padasetiap
kasus diare pada anak dan pemberian imunisasi pada anak balita sesuai
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu BCG, Polio, Hepatitis B, DTP
dan campak, bahkan pada tahun 1990 Indonesia telah mencapai Universal
Child Imunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90% pada
anak balita. Program ini diperkuat dengan gerakan PIN (Pekan Imunisasi
Nasional) terhadap penyakit polio pada tahun 1985 – 1996 – 1997
secara berturut-turut dan serentak di seluruh tanah air menghilangkan
kasus polio selama 10 tahun (1997-2005).
Namun kemudian karena adanya outbreak polio yang dimulai di Jawa
Barat dilakukan tindakan-tindakan khusus untuk mencegah menjalarnya lagi
polio liar di Indonesia secara intensif dengan pengulangan PIN pada tahun
2005 dan 2006 diharapkan kita berhasil mengendalikan. Pada kesempatan
tersebut dan melalui crash program campak vaksinasi terhadap tetanus
dan campak diberikan dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan
kematiankarenakedua penyakit tersebut.

Vaksinasi, sebagai upaya pencegahan primer

Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada


umumnya maka kualitas hidup bangsa akan meningkat pula. Di samping
itu, dengan terjadinya transisi demografik yang mengakibatkan berkurangnya
jumlah anak dalam satu keluarga (satu keluarga memiliki 3 orang anak) maka
kelompok usia produktif akan meningkat. Meskipun demikian usia anak di
bawah 15 tahun masih merupakankelompok penduduk yangsangat besardan
memerlukanperhatian yang lebih besar lagi.
Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia
harapan hidup di suatu negara berkaitan, yaitu makin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 23


I.G.N. Ranuh

rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu
pencegahan terhadap infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang
kondusif untuk itu mutlak harus dilakukan pada anak dalam tumbuh
kembangnya sedini mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup
yang prima menuju dewasa.
Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa
pencegahan adalah suatu cara perlindungan terhadap infeksi yang paling
efektif dan jauh lebih murah dari pada mengobati apabila sudah
terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah sakit.
Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja
yang akan menghambat tumbuh kembang anak, seperti cedera dan
keracunan karena kecelakaan, kekerasan pada anak, fisik, mental maupun
seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, dapat terlaksana
dalam tiga kategori, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier yang
dapat dilaksanakan selama masa tumbuh kembang sejak pra-konsepsi,
prenatal, masa neonatal, bayi, masa sekolah dan remaja menuju
dewasa.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya
sakit atau kejadian yang mengakibatkan seseorang sakit atau menderita
cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengan sanitasi lingkungan yang
baik, pengamanan terhadap segala macam cedera dan keracunan serta
vaksinasi atau imunisasi terhadap penyakit adalah rangkaian upaya
pencegahan primer.
Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui adanya
penyimpangan kesehatan seorang bayi atau anak sehingga intervensi atau
pengobatan perlu segera diberikan untuk koreksi secepatnya. Memberi
pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah suatu upaya pencegahan
sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu sampai
meninggal maupun meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental.
Sedangkan pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala
sisa tersebut dengan upaya pemulihan seorang pasien agar dapat hidup
mandiri tanpa bantuan orang lain, seperti contoh pada terapi rehabilitasi
medik

24 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan dan
lain-lain sebab.
Vaksinasi atau lazim disebut dengan imunisasi merupakan suatu
teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999)
dikatakan sebagai ”sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang
pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu upaya kesehatan yang
paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan
lainnya.
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah
dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan extended program
on immunization (EPI) cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun
minimal sekitar 3 juta anak dapat terhindar dari kematian dan sekitar
750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian, masih ada satu
dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta
anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah
dengan vaksinasi.
Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak dan
lain-lainnya di dunia adalah sesuatu yang tidak mustahil sehingga setiap
anak dapat tumbuh kembang secara optimal. Perbaikan gizi anak disertai
penyehatan lingkungan tidak cukup untuk mencegah tertularnya anak
oleh kuman, virus maupun parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit
yangendemik dan erathubungannya dengan lingkungan hidup.
WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak 1994
dengan EPI dan kemudian lebih luas lagi dengan GPV (global programme for
vaccines and immunization), organisasi pemerintah dari seluruh dunia
bersama UNICEF, WHO dan World Bank. Ditambah lagi organisasi
perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine programme dan
Rockefeller Foundation.
Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah
tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh
dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh
secaraalamimaupun buatan.Imunpasif

25 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


I.G.N. Ranuh

yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan


transplasental, yaitu antibodi diberikan ibu kandungnya secara pasif melalui
plasenta kepada janin yang dikandungnya. Semua bayi yang dilahirkan
telah memiliki sedikit atau banyak antibodi dari ibu kandungnya.
Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian antibodi yang sudah
disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak. Seperti halnya pada bayi
baru lahir dari ibu yang mempunyai HbSAg positif memerlukan
imunoglobulin yang spesifik hepatitis B yang harus diberikan setelah
lahir dengan segera.
Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan antibodi spesifik
secara pasif sesuai antigen yang menyebabkan sakitnya. Imun aktif dapat
diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara alami imun aktif
didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya
sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodinya
sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya. Mekanisme yang sama
adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif
membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang
diberikan.

Imunisasi dan Vaksinasi


Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan
sama. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara
pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian
vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas
(antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.

Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk,
yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan
imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh
dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit
tertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan
defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan
segeradancepat yangseringkali

26 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah


berlangsung permanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja.
Demikian pula imunoglobulin yang non-spesifik selain mahal, memungkinkan
anak menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan
serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif.
Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan kepada anak yang belum
terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian
terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja


memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari
mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian
rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu mengaktivasi limfosit
menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah
yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan.
Tujuannya adalah memberikan ”infeksi ringan” yang tidak berbahaya
namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila
terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak
menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan
mematikan antigen/penyakit yang masuk tersebut. Demikian pula vaksinasi
mempunyai berbagai keuntungan, yaitu
 Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur
hidupnya
 Vaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektif
 Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi,
jauh lebih jarang dari pada komplikasi yang timbul apabila
terserang penyakit tersebut secara alami.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public health
security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index. html.

27 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan SosialRI.Sensus Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004.
5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004.
6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI.
7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 28


Bab1-2
Aspek Imunologi Imunisasi
Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang


secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada
antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya
maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan
kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh
dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya
adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan
yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin.
Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme
oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin
lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat
oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi,
atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama
daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik.

Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada


seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok
masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu
dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini
lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan
melalui manusia, sepertimisalnyapenyakit difteria.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 29


Aspek Imunologi Imunisasi

Respos
imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu 1) mekanisme pertahanan nonspesifik
disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan
hanya untuk satu macam antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, 2)
mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan
khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat
dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan
telahterbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan
dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel
T untuk antigen TD (T dependent) sedangkan antigen TI (T
independent) akan langsung diproses oleh sel B
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang
disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada
individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas
selular hanya dapat dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi
penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft
versus-host-disease.

Respons imun terdiri dari dua fase,


 fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan
antigen (APC), sel limfosit B, limfosit T
 fase efektor, diperankan oleh antibodi, dan limfosit T efektor
(Gambar 1)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 30


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Pajanan Antigen pada Sel T


Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent antigen),
artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompoten bila sel ini
mendapat bantuan sel Th (T helper) melalui zat yang dilepaskan sel Th aktif.
Antigen TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen
yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak memerlukan sel T
(TI=T independent antigen) untuk menghasilkan antibodi dengan cara
langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya
sederhana dan berulang-ulang, biasanya merupakan molekul besar
dan menghasilkan IgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya
polisakarida komponen endotoksin yang terdapat pada dinding sel
bakteri. Endotoksin adalah TI antigen yang dapat merangsang aktivasi sel B
dan memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai stimulan sel B
poliklonal.
Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor intrinsik
Ag dan faktor-faktor lain seperti,
 Jumlah dosis antigen
 Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (id),
intramuskular (im), subkutan (sc), organ sasaran adalah kelenjar
limfoid regional. Secara intravenus (iv) berada di limpa, sedangkan
pemberian secara oral akan ke plaquePeyer’s, dan melalui
inhalasi berada di jaringan limfoid bronkhial.
 Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan antigen,
misalnya ajuvan atau antigen lain
 Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya
larutnya
 Faktor genetik pejamu
Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan bersama
molekul produk MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I & II yaitu
molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah
antigen diproses oleh sel makrofag akan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 31


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th sehingga


terjadi ikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen. Kemudian akan
terjadi diferensiasi menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor serta sel Th memori
dan sel Tc memori atas pengaruh sitokin berada di jaringan perifer. Sel Th
efektor mengaktivasi makrofag (Gambar 1.1). Peran utama dari sel Th
ialah membantu sel limfosit B menghasilkan antibodi.
Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang
dapat dibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi
efektornya. Misalnya Th1 mensekresi sitokin IL-2, IL-3, TNF-a, TNF-a, TNF-a
dan TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sedangkan peran utama
sel Tc atau sel CD8 ialah untuk mengenal dan kemudian melisis sel target
yang terinfeksi sehingga disebut juga sel cytotoxic T lymphocyte (CTLs) yang
berperan pada infeksi virus, bakteri dan parasit.

Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular Dikutip dan
dimodifikasi dari Abdul K Abbas, 2001

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 32


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Respon Imun Selular


Respons imun selular diperankan oleh sel limfosit T yang dapat langsung
melisis sel yang mengekspresikan Ag spesifik (sel Tc=sel T sitotoksik) atau
mensekresi sitokin yang akan merangsang terjadi proses inflamasi
(Th=sel T helper) hipersensitivitas tipe lambat. Sel Tc dan sel Th berperan
pada mikroorganisme intraselular seperti infeksi virus, parasit dan
beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan melisis sel yang mengandung
virus. Sel Th aktif juga merangsang sel Tc (sel T cytotoxic) untuk mengenal
antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat diperankan oleh sel Th1 yang
mensekresi sitokin bila dirangsang oleh Ag.

Respons Imun Humoral


Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi
dengan epitop antigen. Mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas
IgM dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG,
IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa.
Perkembangan ini tidak perlurangsangan antigen tertentu.

Pajanan Antigen pada Sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan


bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B,
sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk
sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B
tanpa bantuan sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga
virulensinya hilang, atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah
difagositosis oleh makrofag dalam proses opsonisasi. Kadang
fagositosis

33 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

dapatdibantudenganmelibatkankomplemensehinggaterjadipenghancuran
Ag.
Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc.
Peristiwa ini disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city
(ADCC). Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel
memori yang kelak bila terpapar lagi dengan Ag serupa akan cepat
berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi.
Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi
spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam
waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi
alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam
sel dendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori
sewaktu-waktu di kemudian hari (Gambar 1.2)

Gambar 1.2. Mekanisme imunitas humoral


Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.Abbas, 2001

34 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Respons antibodi terhadap antigen


Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan
pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons
imun primer kebanyakan adalah IgM dan IgG dengan titer yang lebih
rendah dibandingkan dengan respons imun sekunder, demikian pula dengan
afinitas serta lag phase lebih lama. Respons imun sekunder antibodi yang
dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitasnya lebih tinggi
serta phase lag lebih pendek (Gambar 1.3). Pada imunisasi, respons imun
sekunder inilah yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat bila
terpajanpada antigen yang serupa.

Memori Imunologik
Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang
banyak. Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal.
Antigen asing yang sudah terikat dengan antibodi akan membentuk komplek
Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen (C). Komplek Ag-Ab-C akan
menempelpadaseldendrit

Gambar 1.3. Respons imun primer dan sekunder Dikutip


dan dimodifikasi dari Abul K. Abbas 2001

35 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

folikel (FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di


permukaan sel dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B dan
akan terbentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel B memori
yang mempunyai afinitis antigen yang tinggi. Sel B memori akan berada di
sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi ke sumsum tulang. Bila sel B
memori kembali ke jaringan limfoid yang mempunyai antigen yang serupa
maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dengan
menghasilkan antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih
tinggi. Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting
effect) tergantung dari dosis antigen yang diberikan.
Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akan
mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersamasama molekul
MHC di jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T; bersamaan dengan ini akan
disekresi sitokin. Salah satu fungsi dari sitokin adalah proliferasi sel T dengan
Ag spesifik (clonal expansion) dan diferen-siasi yang menghasilkan sel efektor
dan sel T memori. Sel efektor akan meninggalkan jaringan limfoid dan berada
di sirkulasi dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untuk mengeliminasi infeksi
sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi untuk
jangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses di APC
menjadi peptida yang akan dikenal oleh molekul MHC kelas II. Sedangkan
Ag intraselular diproses di sitoplasma APC akan dikenal oleh molekul MHC
kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai fungsi memproduksi sitokin sel
helper untuk mengelimasi mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul
CD8+ yang mempunyai fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan
memusnahkan mikobakterium intrasel (Gambar 1).

Keberhasilan Imunisasi
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status
imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas
vaksin.

36 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Aspek Imunologi Imunisasi

Status
Imun Pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang
semasa janin mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak,
bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak
masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian
pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus
polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan
secara oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada
ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian
di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata
sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan.
Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral
diberikan pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari
setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan dahulu 2 jam
sebelum dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi


neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan
antigen karena ekspresi HLA (human leucocyte antigen) masih kurang pada
permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons kemotaktik
yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen
masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya.
Fungsi sel Ts (T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau
anak karena memang fungsi imun pada masa intra uterin lebih
ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi
dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang
kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum
bayiberumur2 bulan,jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 37


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang


mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau
menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti
pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan
vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra
pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu
tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit
infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi
pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas
humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-g normal atau
bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat
antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang
dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang
dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin
atau toksoid berkurang.

Faktor Genetik Pejamu

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.


Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik,
cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan
respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain
dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan
keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang
berada pada kompleks MHC (major histocompatibility complex) dan gen non
MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan
mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel
Td serta sel Th akan mengenal

38 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Aspek Imunologi Imunisasi

antigen
yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi
secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi
variasi respons imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat
adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya
agamaglobulinemia yang terangkai dengan kromosom X yang hanya
terdapat pada anak laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang
menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu
merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong
adanya peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yang
sebenarnya belum diketahui.

Kualitas dan Kuantitas Vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa


sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap
mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas
vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian,
dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis
vaksin.
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan
imunitas sistemik saja.
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun
yang diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel
imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,
karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan.
 Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder
menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 39


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun


yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk
segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut
sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan
dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus, yaitu bengkak
kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks
antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu
pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan
respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons
imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan
tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells)
untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin
yangakanmengaktifkanselimunokompeten lainnya.
 Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih
baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau
inactivated) atau bagian (komponen) dari mikroorganisme. Rangsangan
sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi, karena itu
dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi virus yang
mengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh dengan cara
atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme
yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi
diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi
anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada
pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat
pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi
untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

40 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Persyaratan Vaksin

Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka
terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1)
mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi
interleukin, 2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori, 3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk
mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya
polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang persisten, mungkin dalam
sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga
dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk
antiboditerusmenerussehinggakadarnya tetap tinggi.

Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja,


tergantung dari ada atau tidaknya variasi respons genetik yang nyata dan
respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat memenuhi keempat
persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya antibodi
yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya
infeksi, sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak
merupakan keharusan. Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yang
dibutuhkanadalahantibodi untuk netralisasi toksin.

Daftar Pustaka
1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006.
2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO: Wolters
Kluwer Health, Inc., 2006.
4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated Microbes. Dalam: Abul
K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic Immunology,functions and disorders of the immune
system. Edisipertama. W.B.Saunders,2001.h.87-108.
5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of Antibodies.
Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic immunology, functions and
disordersof immunesystem. Edisipertama W.B.Saunders,2001.h.125-45.

41 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab 1-3
Jenis Vaksin
Hariyono Suyitno

Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu


 Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
 Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak
aktif)
Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini
menentukan bagaimana vaksin ini digunakan.
Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan
modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan
masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri,
atau komponen (fraksi) dari kedua organisme tersebut. Vaksin komponen
dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida. Vaksin yang berbasis
protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk sub-unit
atau sub-vision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding
sel polisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine)
polisakarida adalah vaksin polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan
dengan protein; karenahubungan ini membuat polisakarida tersebut menjadi
lebih poten.

Vaksin Hidup Attenuated

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit.
Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium,
biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin
campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 42


Hariyono Suyitno

untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun
dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara
serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun
1954.
 Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated
harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien.
Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian
mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai
cukupbesaruntuk memberirangsangan suatu respons imun.
 Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas
atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam
tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan vaksin
tersebut tidak efektif.
 Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit,
umumnya bersifat ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu
dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event). Respons imun terhadap
vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan
oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu
infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan
virus liar.
 Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi
bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin
polio hidup.
 Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat
berkembang karena pengaruh dari antibodi yang beredar. Antibodi
yangmasukmelaluiplasentaatautransfusidapatmempengaruhiperkembangan
vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons. Vaksin
campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap
antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus
paling sedikit terkena pengaruh.
 Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan
bila kena panas atau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan
penyimpanan dengan baik dan hati-hati.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 43


Jenis
Vaksin

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


 Berasaldarivirus hidup: vaksincampak, gondongan (parotitis),rubela,
polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever).
 Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksi n Inactivated
 Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau
virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia (biasanya formalin).
Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan
hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin
(misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus).
 Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh
dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup,
antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang
beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam
sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang
dihasilkan darah).
 Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada
umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif,
tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun
protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda
dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama
dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian
besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular.
Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa
waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis
suplemen (tambahan) secara periodik.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 44


Jenis
Vaksin

 Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit


masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin
bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan
paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons
terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan
untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).
Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,
 Seluruhselvirusyang inactivated,contoh influenza,polio (injeksi
disuntikkan), rabies, hepatitis A
 Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
 Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B,
influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
 Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum
 Polisakaridamurni, contohpneumokokus, meningokokus,dan
Haemophillus influenzae tipe b
 Gabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b dan
pneumokokus)

Vaksin Polisakarida

 Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan


bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang molekulmolekul gula
yang membentuk permukaan kapsul bakteri tertentu. Vaksin
polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu
pneumokokus,meningokokus danHaemophillus influenzae type b.
 Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel T
independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini mampu memberi
stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper. Antigen sel T independen
termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu imunogenik pada anak umur
kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak memberi respons terhadap antigen
polisakarida; mungkin

45 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jenis
Vaksin

ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem


imunnya, terutama fungsi sel T.
 Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan respons
peningkatan (booster response). Dosis ulangan vaksin protein
inactivated menyebabkan titer antibodi menjadi lebih tinggi secara
progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpai pada antigen
polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh vaksin polisakarida
mempunyai aktifitas fungsional kurang dibandingkan dengan apabila
dibangkitkan oleh antigen protein. Hal ini karena antibodi yang dihasilkan
dalam respons terhadap vaksin polisakarida hanya didominasi IgM dan
hanya sedikit IgG yang diproduksi.
 Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah seperti di atas
dapat diatasi melalui proses yang disebut penggabungan atau konjugasi
(conjugation). Konjugasi mengubah respons imun dari sel T
independen menjadi sel T dependen yang menyebabkan
peningkatan sifat imunitas (immunogenicity) pada bayi dan respons
peningkatan antibodi terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida.
Conjugasi yang pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu
vaksin konjugasi lainnya ialah vaksin pneumokok.

Vaksin Rekombinan

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik.
Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis
vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa genetik yang saat ini telah
tersedia.
 Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen
virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah
(modified) ini menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
 Vaksintifoid(Ty 21a)adalah bakteria Salmonella typhiyang secara
genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.

46 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah
rotavirus kera rhesus yang diubah (modified) secara genetik
menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka mengalami
replikasi.

Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK., Penyunting. Red
Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke 25. Elk Grove
Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.
2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation Handbook.
9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson W,
Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine Preventable
Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services, CDC, 1999.h.4-8
5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.

47 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab II
Penyimpanan dan
Transportasi Vaksin
Bab II-1. Rantai vaksin Bab
II – 2. Kualitas vaksin

Pen gantar

Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang
mempunyai ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan
suhu. Oleh karena itu harus diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan
transportasi vaksin untuk menjamin potensinya ketika diberikan kepada
seorang anak. Bila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan maka vaksin
sebagai material biologis mudah rusak atau kehilangan potensinya untuk
merangsang kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian ikutan
pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal
yang tidak diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan
vaksin terhadap perbedaan suhu dan pemahaman rantai vaksin (cold –chain).
Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga sejak dari pabrik sampai saat
diberikan kepada pasien vaksin tetap terjamin kualitasnya. Selain itu perlu
pula mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi,
antara lain dari tanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan,
warna vaccine vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang
sudah dilarutkan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 48


Bab II-1
Rantai Vaksin
Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan


transportasi vaksin dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai
prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik sampai
diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin
di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat
pembawa vaksin, pentingnya alat-alat untuk mengukur dan
mempertahankan suhu.
Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral, BCG,
campak, MMR, varicella dan demam kuning) dan vaksin mati atauinaktif(DPT,
Hib, pneumokokus, typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Dampak
perubahan suhu pada vaksin hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus di ketahui
suhu optimum untuk setiap vaksin sesuai petunjuk pernyimpanan dari pabrik
masing-masing.

Suhu optimum untuk vaksin hidup

Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80
C, di atas suhu +80 C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya
bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam 7
hari. aksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 2oC s/d
beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun)
bila disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, namun hanya bertahan 6 bulan
pada suhu +2oC s/d +80 C.
Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25oC
s/d -15oC, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2oC s/d +8o C, yaitu BCG
tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh

49 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu
disimpan di -25 s/d -15 o C atau di dalamfreezer.

Suhu optimum untuk vaksin mati

Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2oC s/d +8oC
juga, pada suhu dibawah +2oC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat
rusak. Bila beku dalam suhu -0.5oC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis
B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapi dalam suhu di atas 8o C vaksin
hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-hepatitis B kombinasi
sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5oC s/d – 10oC vaksin DPT, DT
dan TT akan rusak dalam 1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14
hari dalam suhu di atas 8oC.

Kamar Dingin dan Kamar Beku

Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya
berada di pabrik, distributor pusat, Departemen Kesehatan atau Dinas
Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5 –
100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu
kamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama untuk menyimpan
vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar beku berkisar antara
-25oC s/d -15oC, untuk menyimpan vaksin yang boleh beku, terutama
vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus
menerus, menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja bergantian.
Aliran listerik tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan
pembangkit listerik yang secara otomatis akan berfungsi bila listerik mati.
Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat
secara otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC, atau
diatas 8oC, atau listrik padam. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar
dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk membuat cool pack
atau cold pack, atau meletakkan benda-benda

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 50


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

lain. Pembuatan cold pack dan cold pack menggunakan lemari


pendingin tersendiri

Lemari es dan freezer


Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak
lemari es dengan dinding belakang 10–15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi
udara disekitarnya harus baik. Lemari es tidak boleh terkena panas
matahari langsung.
Suhu di dalam lemari es harus berkisar +2oC s/d +8oC, digunakan
untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk
membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam
freezer berkisar antara -25oC s/d -15oC, khusus untuk menyimpan
vaksin Polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku).
Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga
suhunya berkisar antara +2oC s/d +8oC dan suhufreezer berkisar -15oC s/d
-25oC. Perubahan suhu dapat diketahui setelah 24 jam pengaturan
termostat, dengan melihat termometer Dial atau Muller yang
diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi
freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3, untuk memantau apakah
suhunya pernah mencapai dibawah 0 derajat.
Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya
termostat difiksasi dengan pita perekat (selotape) agar tidak
tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya pintu
lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil
vaksin dan mengembalikan sisa vaksin, sambil mencatat suhu
lemari es.
Pintu lemari es ada dua jenis : membuka ke depan dan membuka ke atas,
masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan
pintumembukake ataslebih dianjurkanuntuk penyimpanan vaksin.

51 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas
Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas
1. Suhu tidak stabil. 1. Suhu lebih stabil.
Pada saat pintu dibuka Pada saat pintu dibuka ke atas,
kedepan, suhu dingin turun suhu dingin turun dari atas
dari atas kebawah dan keluar kebawah, tidak keluar
2. Bila listerik padam relatif 2. Bila listerik padam relatif bisa
tidak bertahan lama bertahan lebih lama
3. Jumlah vaksin yang bisa 3. Jumlah vaksin yang bisa
disimpan lebih sedikit disimpan lebih banyak
4. Susunan vaksin lebih mudah 4. Susunan vaksin lebih sulit
dilihat dari depan dikontrol karena bertumpuk sulit
dilihat dari atas

Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya


udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di
freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan pencairan
(defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke
cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listerik lemari es, biarkan
pintu lemari es danfreezer terbuka selama 24 jam, kemudian
dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggu sampai
suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai + 80 C dan
suhufreezer – 15 0 C, masukkan vaksin sesuai tempatnya.

Susunan vaksin di dalam lemari es


Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda
terhadap suhu dingin, maka kita harus mengenali bagian yang
paling dingin dari lemari es. Kemudian kita meletakkan vaksin hidup
dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh
dari bagian yang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri
jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agar udara dingin bisa
menyebar merata ke semua kotak vaksin.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 52


Soedjatmiko, Dahlan Ali

34 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 200854


Rantai Vaksin

Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus


untuk meletakkan cool pack, untuk mempertahankan suhu bila listerik mati.
Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemari es atau freezer, karena akan
mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku. Penetes (dropper)
vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena
akan menjadirapuh, mudah pecah.
Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau
benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena akan mengganggu
stabilitas suhu karena sering dibuka.

Lemari es dengan pintu membuka kedepan

Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer).
Di dalam freezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat dibawah
freezer untuk meletakkan vaksin–vaksin hidup, karena tidak mati pada
suhu rendah. Rak yang lebih jauh darifreezer (rak ke 2 dan 3) untuk
meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak terlalu dekat freezer,
untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Muller
diletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3

Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa
vaksin hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh dari
pendingin (freezer)

55 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Lemari es dengan pintu membuka ke atas

Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah
(evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu
vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator).
Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari evaporator. Beri jarak antara
kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm). Letakkan
termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin
mati.

Gambar 2.2. Lemari es dengan pintumembuka keatas


Keterangan gambar: Kotak vaksin hidup boleh dekat pendingin, vaksin mati (inaktif) jauh dari
pendingin

56 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Wadah pembawa vaksin

Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu
jauh dapat menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier
(termos). Cold box berukuran lebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter,
dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain untuk transportasi dapat pula
untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk mepertahankan suhu vaksin di
dalamkotakdinginatau termosdimasukkan cold pack atau cool pack.

Gambar 2.3. Kotak Dingin, b) Vaksin Carrier, c) cool pack

A B C

Cold Pack dan Cool Pack

Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s/d – 25 0 C selama
24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi
air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu +2 s/d +80 C selama
24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold
pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mepertahankan suhu
vaksin ketika membawa vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk
membawavakdinhidup dan vaksin mati (inaktif).

57 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

cold pack/cool
pack
Spon busa

semua jenis
vaksin

58 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Gambar 2.4. Cara membawa vaksin dalam vaccine carrier

59 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Daftar Pustaka

1. DirektoratJenderalPPM & PL. Pedoman Teknis PengelolaanVaksin danRantaiVaksin. Jakarta :


Departemen Kesehatan RI; 2005
2. DirektoratJenderalPPM & PL. ModulPelatihan PengelolaanRantai Vaksin ProgramImunisasi.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
0. NationalHealth and Medical Research Council. NationalImmunization Program. TheAustralian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008.
0. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker CL, Overturf
GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on Infectious Diseases.
Edisike-26.ElkGroveVillage, IL: American AcademyofPediatrics; 2003.
4. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB
Saunders, 2004.
7. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 60


Bab II-2
Menilai Kualitas Vaksin
Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada suhu di
atas batas tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu
tertentu. Bila pengelolaan vaksin dan rantai vaksin tidak baik, maka vaksin
tidak mampu merangsang kekebalan tubuh secara optimal bahkan dapat
menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak
diharapkan. Oleh karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita kita perlu
memahami beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak
diberikan kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin
yang sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang
rumit.

Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa


Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi
vaksin harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan
di dalam lemari es atau freezer dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di
dalam kotak dingin atau twermos yang tertutup rapat, tidak terendam
air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati tanggal
kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze
watch/ tagbelum melampaui batas suhu tertentu.

VVM (vaccine vial monitor)


Vaccine vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah
terpaparsuhudiatasbatasyangdibolehkan,denganmembandingkan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 61


Menilai Kualitas Vaksin

warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna
kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut
kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas batas yang
diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera
dipergunakan.

A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar


 Bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN vaksin.

B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar
 Bila belum kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin.

C. Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar


 JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar


 JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.
Gambar 2.5. Perubahan warna Vaccine Vial Monitor

Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran
dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar
suhu di atas batas yang diperkenankan, tidak boleh diberikan pada
pasien.

Freeze watch dan freeze tag

Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpaparsuhu dibawah 00 C.


Bila dalam freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya
atau dalam freeze tag ada tanda silang (X), berarti vaksin pernah terpapar
suhu di bawah 0oC yang dapat merusak vaksin mati (inaktif).
Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 62


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Gamba r 2.6 . Freeze Watch Gambar 11. Freeze Tag

Warna dan kejernihan vaksin


Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis
untuk menilai stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye.
Bila warnanya berubah menjadi pucat atau kemerahan berarti pHnya
telah berubah, sehingga tidak stabil dan tidak boleh diberikan kepada
pasien.
Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna
putih jernih sedikit berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan
berarti sudah pernah beku, tidak boleh digunakan karena sudah rusak. Untuk
meyakinkandapat dilakukanuji kocokseperti dibawah ini.
Bilavaksin setelah dikocoktetapmenggumpal ataumengendap,maka
vaksin tidak boleh digunakan karena sudah rusak.

Gambar 2.7. Uji kocok (Shake test)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 63


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Pemilihan vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka
tetapi telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan),
vaksin dengan VVM B, vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat
(EEFO = early expire first out), vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan
segera (FIFO = first in first out).

Sisa vaksin di sarana pelayanan statis (Puskesmas, Klinik, Rumah


Sakit, praktek swasta)

Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa
diberikan pada pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat,
tidak melewati tanggal kadaluwarsa, disimpan dalam suhu +2 s/d +80 C,
tidak pernah terendam air, VVM A atau B, tidak lebih dari 3 - 4 minggu
setelah dibuka. Oleh karena itu sebaiknya selalu ditulis tanggal mulainya
penggunaan vaksin terebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang
dipakai diletakkan dalam satu wadah/tempat khusus (tray), sehingga
segera dapat dikenali.
Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih
singkat. Vaksin BCG yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam
suhu +2 s/d +80 C hanya stabil selama 3jam (WHO 6 jam). Vaksin campak
yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +8 0 C
hanya stabil selama 6 - 8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus
dibuang setelah 24 jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus
dibuang setelah 30 menit.

64 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan
statis

Vaksin Masa Pemakaian


POLIO 2 minggu
DPT 4 minggu
DT 4 minggu
TT 4 minggu
Hepatitis B 4 minggu

Sisa vaksin di sarana pelayanan luar gedung

Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus


diberi tanda khusus untuk segera dipergunakan pada pelayanan
berikutnya, selama semua syarat-syarat masih terpenuhi. Sisa vaksin
yang telah dibuka di lapangan sebaiknya dimusnahkan dengan
membakar di dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau
dikubur sedalam 2-3 meter.

Daftar Pustaka

1. DirektoratJenderalPPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.Jakarta :


Departemen Kesehatan RI; 2005
2. DirektoratJenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan RantaiVaksin ProgramImunisasi.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008. 5.
Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker
CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on
Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003.

65 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III
Prosedur Imunisasi
1. Tatacara pemberian imunisasi
2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi
0. Catatan imunisasi
0. Safety injection

Pengantar

Imunisasi sebagai upaya pencegahan primer yang sangat handal,


memerlukan pemahaman dan ketrampilan dari para pelakunya mengenai
prosedur-prosedur yang harus dilakukan sebelum, selama dan sesudah
melakukan imunisasi.
Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin,
mempersiapkan anak dan orangtua, tehnik penyuntikan yang aman,
pencatatan, pembuangan limbah, sampai pada teknik penyimpanan dan
penggunaan sisa vaksin dengan benar. Penjelasan kepada orang tua serta
pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perlu dipelajari pula.
Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan pada
bayi/anak perlu mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara
mengurangi ketakutan dan rasa nyeri pada anak juga perlu diketahui.
Imunisasi perlu dicatat dengan lengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan
pasca imunisasi.
Dengan prosedur imunisasi yang benar diharapkan akan diperoleh
kekebalan yang optimal, penyuntikan yang aman, kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) yang minimal, serta pengetahuan dan kepatuhan orangtua
pada jadwal imunisasi.

66 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III-1
Tata-Cara Pemberian Imunisasi
Qariyono Q7uyitno

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara seperti


berikut
 Memberitahukansecararinci tentangrisikoimunisasi danrisiko apabila
tidak divaksinasi.
 Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan
secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
 Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan
lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan
orangtua ataupengasuhnya sebelummelakukanimunisasi.
 Tinjaukembali apakahadaindikasi kontraterhadapvaksin yang akan
diberikan.
 Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila
diperlukan.
 Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah
disimpan dengan baik.
 Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda
perubahan. Periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa,
misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya
kerusakan.
 Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up
vaccination) bila diperlukan.
 Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai
pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi penerima vaksin.
 Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut. o
Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau

67 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara
Pemberian Vaksin

pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang


biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
o Catatimunisasidalamrekammedispribadidandalamcatatanklinis.
o Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas
KesehatanbidangPemberantasanPenyakit Menular( P2M ).
o Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar,
pelaksanaannya dapat bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di
atas yang berpegang pada prinsip-prinsip higienis, surat persetujuan yang
valid,dan pemeriksaan/penilaiansebelumimunisasi harus dikerjakan.

Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan
potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk
harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin
harus didinginkan pada temperatur 2-8o C dan tidak membeku. Sejumlah
vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku.
Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi guna mendapatkan
informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV
dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara
rinci bagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya diuraikan
pada Bab II Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.

Pengenceran
Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus
dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila

68 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan


(warna dan kejernihan). Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang
telah diencerkan cepat mengalami perubahan padasuhu kamar. Jarum ukuran
21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan
panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.

Pembersihan kulit
Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan, namun
apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.

Pemberian suntikan
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau
subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV
diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal (dalam
kulit). Walaupun vaksin sebagian besar diberikan secara suntikan
intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugas kesehatan yang
kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan
memberikan dengan cara intra muskular.

Teknik dan ukuran jarum

Para petugas yang melaksanaan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan
petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran
infeksi dan trauma akibat suntukan yang salah. Pada tiap suntikan harus
digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril.
Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena risiko
infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada alternatif
vaksin dalam sediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan
menyuntik tidak

69 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum harus
dibuang dalam tempat tertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek
dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau pemakaian ulang.
Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan
anak-anak. Diharapkan semua petugas kesehatan memahami benar
buku petunjuk ini.
Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot.
Penggunaan jarum yang pendek meningkatkan risiko terjadi suntikan
subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi masalah untuk
vaksin-vaksin yang inaktif (inactivated).
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi
ada perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut:
pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan
bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan
panjang 16 mm,
untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25
dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27
dengan panjang 12 mm,
untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang sangat gemuk
(obese) dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm,
untuksuntikan intradermalpadavaksinasi BCGdipakaijarum ukuran
25-27 dengan panjang 10 mm.

Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular

Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 450 sampai 600 ke


dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus
lateralis, jarum harus diarahkan ke arah lutut dan untuk deltoid jarum
harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular
dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900. Pada
suntikan dengan sudut jarum 450 sampai 600 akan mengalami
hambatan ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.

70 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara
Pemberian Vaksin

Tempat suntikan yang dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi-bayi dan anak-anak umur di bawah 12 bulan. Regio deltoid
adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar
(mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.
Sejak akhir tahun 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah
anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi
bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghidari risiko
kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). Buku pedoman ACIP dan AAP
dan buku pedoman Selandia Baru juga menganjurkan paha anterolateral
sebagai tempat suntikan vaksin. Buku pedoman Inggris mengajurkan paha
anterolateral ataulengan atas pada bayi sebagai tempat suntikan.
Risiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih
banyak dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot
lebih tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di
daerah gluteal dengan tidak disengaja menghasilkan suntikan subkutan
dengan reaksi lokal yang lebih berat. Vaksin hepatitis B dan rabies bila
disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk
semua umur.
Rekomendasi untuk penyuntikkan vaksin di daerah paha anterio
lateral sebenarnya telah diketahui, namun beberapa petugas kesehatan
masih segan meninggalkan praktek tradisionalnya dengan menyuntik
di daerah gluteal. Sehubungan dengan hal tersebut, dianjurkan untuk
selalu mengulang kembali dengan memberi peringatan bahwa bila
vaksin-vaksin tersebut disuntikkan di daerah gluteal harus hati-hati, yaitu
dengan memilih lokasi suntikan yang tepat untuk menghidari saraf
ischiadika. Sedangkan untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas
insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak
pundakmemberi risiko terjadinya keloid.

71 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Posisi anak dan lokasi suntikan


Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko
kerusakan saraf, pembuluh vaskular serta jaringan lainnya. Penting
bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik, walaupun demikian
cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan
sehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang
tua atau pengasuh untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus
diberitahuagar mereka memahami apa yang sedang dikerjakan.

Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah
12 bulan adalah
Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah
gluteal.
Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk
menyerap suntikan secara adekuat.
Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila
disuntikkan di daerah gluteal.
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di
tempat suntikan yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian
anterior.

Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan


Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian
anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga
otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan
padat. Jarum harus membuat sudut 45o-60o terhadap permukaan kulit,
dengan jarum ke arah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit
selebar ujung jari di atas (ke arah proksimal) batas hubungan bagian atas
dan sepertiga tengah otot.
Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang
tua/pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang

72 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara
Pemberian Vaksin

tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayiharus dibukabila menutupi otot vastus
lateralis sebagai lokasi suntikkan, bila tidak demikian vaksin akan
disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang menyilang
pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi
ini akan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya
lebih lancar.

Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntik
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

73 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Lokasi suntikan pada vastus lateralis


+ Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan
terlentang,
+ Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut,
+ Cari trochanter mayor femur dan condlylus lateralis dengan cara
palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat
suntikan vaksin ialah batas sepertiga bagian atas dan tengah pada garis
tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka lekukan yang
dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih
jelas)
+ Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara
sepertiga bagian atas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di atas
batas tersebut.

Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan


+ Posisiseoranganakyangpalingnyamanuntuksuntikandidaerah
deltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya.
+ Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi,
sementara lengan lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua
atau pengasuh.
+ Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi
berlangsung aman dan berhasil
+ Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak
benar dan meningkatkan risiko penetrasi saraf.

Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari
pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu
separuh antara akromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum
suntik ditusukkan membuat sudut 45o-60o mengarah pada akromion. Bila
bagian bawah deltoid yang disuntik, ada risiko trauma saraf radialis karena
saraftersebut melingkardanmuncul dari otot trisep.

74 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Pengambilan vaksin dari botol (Vial)


Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan,
harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang
terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum atau semprit yang telah
digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk mengambil
vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol
yang berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada
alternatif lain.

Penyuntikan subkutan

Tabel 3.1. Pedoman penyuntikan subkutan*

Umur Tempat Ukuran jarum


Bayi Paha daerah anterolateral Ukuran 23-25
(0-12 bln) Panjang 16-19 mm
1-3 tahun Paha daerah anterolateral atau Ukuran 23-25
daerah lateral lengan atas Panjang 16-19 mm
> 3 tahun Daerah lateral lengan atas Ukuran 16-19 mm
Panjang 16-19 mm
*Penyuntikan subkutan untuk imunisasi MMR, varisela, meningitis

Akromio
n

Tempat
penyuntika
n

Gam bar (a) Gam bar (b)


Paha daerah anterolateral Daerah lateral lengan

Gambar 3.3. Lokasi penyuntikkan subkutan


pada bayi (a) dan anak besar (b)

75 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno Tata -Cara Pemberian
Vaksin

Perhatian untuk suntikan subkutan


 Arah jarum 450 terhadap kulit
 Cubit tebal untuk suntikan subkutan
 Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan
 Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian

Penyuntikan intramuskular

Tabel 3.2. Pedoman penyuntikan


Umur Tempat Ukuran Jarum
Bayi Otot vastus lateralis Ukuran 22-25
pada paha daerah Panjang 22-25
(0-12 anterolateral mm
1-3 tahun Otot vastus lateralis Ukuran 22-25
pada paha daerah Panjang 16-32 mm
anterolateral sampai (panjang 16 mm untuk
masa otot deltoid cukup di deltoid umur 12-15
besar (pada umumnya bulan)
> 3 tahunOtot umur 3 th) di
deltoid, Ukuran 22-25
bawah akromion Panjang 25-32
*Penyuntikan intramuskular untuk DTP, DT, TT, Hib, mm
hepatitis A
& B, influenza

Akromio
n

Tempat
penyuntika
n

Gambar (a) Gambar (b)


Otot vastus lateralis paha daerah Otot deltoid, di bawah
anterolateral akromion
Gambar 3.4. Lokasi penyuntikkan
intramuskular
pada bayi (a) dan anak besar (b)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 55


Hariyono Suyitno

Perhatian untuk penyuntikan intramuskular


 Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot
 Suntik dengan arah jarum 45-600 , lakukan dengan cepat
 Tekan kulit sekitartempat suntikandengan ibujari dantelunjuk saat
jarum ditusukkan
 Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak
masuk ke dalam vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi
dengan suntikan baru.
 Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas
berbeda

Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama

Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh


diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup,
khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada
umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan
yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan
vaksin-vaksin DPT, Hib, hepatitis B, dan polio.
Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang
sama, tetapi apabila hanya satu macam yang diberikan. Vaksin virus hidup
yang kedua tidak boleh diberikankurang dari 2 minggu dari vaksin yang
pertama, sebab respons terhadap vaksin kedua mungkin telah banyak
berkurang. Sebagai tambahan perlu diperhatikan bahwa ada interaksi
spesifik antara vaksin demam kuning dan kolera, dan vaksin-vaksin tersebut
tidak boleh diberikan dalam jarak 4 minggu satu sama lain. Vaksin-vaksin
yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin
yang berbeda yang diberikan pada seseorang pada hari yang sama
harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan semprit
yang berbeda.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 77


Hariyono Suyitno

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 78


Hariyono Suyitno

79 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian Vaksin

80 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian Vaksin
Hariyono

60 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian Vaksin

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Vaccine administration. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red
Book 2000, Report Committee on Infect Dis. Edisi ke-25. Eik Grove Village: American Academy of
Pediatrics 2000.h.16-20.
2. Centers for Diseases Control and Prevention.Vaccine Safety. Dalam: Atkinson W, HumistonS,
Wolfe C, NelsonR., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases, edisi
ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC 1999. h.
277-89.
3. National Health and Medical Research Council. Standard vaccination procedures. Dalam: Walson
C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook, edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.

82 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III-2
Penjelasan Kepada Orangtua
Mengenai
Imunisasi
Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kedokteran termasuk imunisasi,


maka kita perlu memahami dan menyadari kedudukan pasien sebagai
konsumen dan dokter sebagai pemberi jasa. Untuk itu kita perlu mengetahui
dan melaksanakan Undang-undang RI nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang–undang no 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.

Hak dan kewajiban konsumen serta pemberi layanan (pelaku


usaha)
Di dalam UU tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Ketentuan Umum,
pasal 1, ayat 5 ditulis bahwa: Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Ayat 2: Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.

Bab III pasal 4 Hak Konsumen:


a. Hakataskenyamanan,keamanandankeselamatandalammengkonsumsi
barang dan/atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan
c. Hakatasinformasi yang benar, jelas danjujurmengenai kondisidan
jaminan barang dan/atau jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
83 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
dan/atau jasa yang digunakan

84 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penjelasan Kepada Orangtua
Mengenai Imunisasi

e. Hakuntukmendapatkanadvokasi,perlindungandanupayapenyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundangundangan
Pasal 5. Kewajiban Konsumen adalah
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
a. Mengikuti upayapenyelesaianhukumsengketa perlindungan
konsumen secara patut
Pasal 7. Kewajiban Pelaku Usaha adalah
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
a. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan
a. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif
b. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 85


dan/atau garansi atas barng dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 86


Penjelasan Kepada Orangtua
Mengenai Imunisasi

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian


akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa tersebut
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

Pasal 6. Hak Pelaku Usaha:


a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang tidak beritikad baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen
d. Hak untuk rehabiitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya

Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, pasal 9,


Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar : ayat 1c. dengan
menggunakan kata-kata berlebihan seperti : aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tan pa keterangan yang
lengkap.

Hak pasien dan kewajiban dokter


Di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 bahwa praktik
kedokteran berdasarkan kesepakatan dokter dan pasien untuk
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 87
Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe
DPT

Pasal 44 ayat 1 dan pasal 51 ayat (a); dalam menyelenggarakan praktik


kedokteran dokter wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran, sesuai
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien.
Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45
ayat 3.
Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45
ayat 3.
Di dalam pasal Pasal 45 ayat 1: setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap (ayat 2). Penjelasan tersebut
sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tatacara tindakan medis,
tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan (ayat 3). Persetujuan tersebut dapat diberikan tertulis maupun
lisan (ayat 4). Tindakan yang berisiko tinggi harus tertulis dan
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (ayat 5).
Tatacara mengenai persetujuan tindakan kedokteran tersebut diatur
oleh Peraturan Menteri (ayat 6). Peraturan menteri untuk tata cara
persetujuan tindakan kedokteran karena belum ada yang baru sementara
masihberdasarkan Permenkes no. 585 tahun 1989.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dokter berkewajiban
memberikan penjelasan secara profesional dan proporsional tentang
manfaat vaksin, kemungkinan kejadian ikutan pasca imunisasi dan
hal-hal lain seputar vaksinasi, sehingga keluarga pasien mendapat
informasi yang jelas dan benar agar tidak terjadi salah pengertian
dikemudian hari.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 88


Penjelasan Kepada Orangtua
Mengenai Imunisasi

Penjelasan kepada orangtua berdasarkan Peraturan Menteri


Kesehatan (Permenkes) no. 585 tahun 1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut (Pasal 1 ayat a). Informasi harus diberikan kepada pasien baik
diminta ataupun tidak diminta (Pasal 4 ayat 1). Semua tindakan medik
yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 2
ayat 1) secara tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat 2). Bila tindakan medik
dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya,
maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
surat izin praktek (Pasal 13).
Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam Permenkes tersebut
yang dimaksud dengan tindakan medik adalah tindakan diagnostik atau
terapeutik (Pasal 1, ayat b), sehingga banyak yang berpendapat bahwa
vaksinasi tidak perlu persetujuan tindakan medik. Namun, di Amerika dan
Australia persetujuan tindakan medik sebelum vaksinasi dianggap perlu,
walaupun tidak harus tertulis. The American Academy of Pediatrics (AAP)
menganjurkan pemberian penjelasan secara tertulis (berupa brosur) yang
disusun dan disediakan oleh pemerintah bekerjasama dengan AAP dan
produsen vaksin. Selain itu AAP menganjurkan agar setiap kali pemberian
imunisasi orangtua sebelumnya menandatangani pesetujuan tertulis,
atau dicatat dalam catatan medik bahwa penjelasan telah dilakukan
dan difahami oleh orangtua.
The Australian National Health and Medical Research Council
(NHMRC) juga menganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi diberikan
penjelasan tertulis disamping penjelasan lisan. Pada imunisasi
perorangan orangtua diberi daftar isian (kuesioner) dan keterangan
tertulis tentang perbandingan risiko imunisasi dan bahaya penyakit
yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 89


Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe
DPT

untuk dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Di Australia tidak ada


keharusan untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari orangtua,
cukup dicatat di dalam catatan medik bahwa orangtua telah diberikan
penjelasan. Namun beberapa klinik meminta persetujuan tertulis.
Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah ada persetujuan tertulis dari
orangtua. Namun jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan dari
orangtua, walaupun telah ada persetujuan tertulis pada imunisasi
sebelumnya.
Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat
serta kesadaran konsumen tentang hak-haknya, dihimbau kepada anggota
IDAI sebelum melakukan imunisasi sebaiknya memberikan penjelasan
kepada orangtua (sesuai maksud pasal 2 ayat 3 Permenkes 585/1989)
bahwa imunisasi dapat melindungi anak terhadap bahaya penyakit dan
mempunyai manfaat lebih besardibandingkandenganrisikokejadianikutanyang
dapat ditimbulkannya. Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan
dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien (sesuai Pasal2
ayat4Permenkes585/1989). Imunisasi yang harus dilaksanakan berdasarkan
program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (di Posyandu,
Puskesmas) tidak diperlukan persetujuan tindakan medik (sesuai pasal
14 Permenkes 585/1989).

Hal-hal yang harus dijelaskan atau ditanyakan kepada


orangtua/keluarga sebelum dilakukan imunisasi

Keadaan Bayi/Anak

Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberi


tahukan secara lisan atau melalui daftar isian tentang hal-hal yang
berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca
imunisasi tersebut di bawah ini,
pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat
(memerlukanpengobatankhususatauperluperawatandirumahsakit),

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 90


Penjelasan Kepada Orangtua
Mengenai Imunisasi

+ alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin


(misalnya neomisin),
+ sedangmendapat pengobatansteroidjangka panjang,radioterapiatau
kemoterapi,
+ menderitasakit yangmenurunkanimunitas(leukemia,kanker,
HIV/AIDS),
+ tinggalserumahdengan oranglain yang imunitasnyamenurun
(leukemia, kanker, HIV / AIDS),
+ tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas (radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)
+ pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup
(vaksin campak, poliomielitis, rubela),
+ pada3 bulan yang lalumendapat imunoglobulinatau transfusidarah,
+ menderita penyakit susunan syaraf pusat.

Pemberian Antipiretik sebelum dan sesudah imunisasi


Kepadaorangtuaataupengantar diberitahukanbahwa30 menit sebelum
imunisasiDTP/DT,MMR,Hib,hepatitisB dianjurkan memberikan
antipiretikparasetamol15 mg/kgbbkepadabayi/anak untuk mengurangi
ketidaknyamananpascavaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam
sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Jikakeluhanmasih
berlanjut,dimintasegerakembalikepadadokter.

Manfaat vaksinasi

Kepada pengantar atau orang tua sebaiknya dijelaskan secara profesional


dan proporsional manfaat vaksinasi yang akan dilakukan. Perlu dijelaskan
bahwa vaksin tidak melindunghi 100 %, tetapi dapat memperkecil risiko
tertulardanmemperingandampak bila terjadi infeksi.

91 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe
DPT

Reaksi KIPI

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat


timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa
keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut
umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan
hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan,
pembengkakan, gatal, nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat
mengurangi keadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang
agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak
perlu dilakukan tindakan apapun.

BCG

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah


imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar
dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian
menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut tanpa
pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat
mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau
korengsemakinmembesarorangtua harusmembawanya ke dokter.

Hepatitis B

Kejadian ikutan pasca imunisasi pada hepatitis B jarang terjadi. Segera


setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat
penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan
nyeri sendi. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih
banyak (ASI atau air buah). Jika demam pakailah pakaian yang tipis. Bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

92 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penjelasan Kepada Orangtua
Mengenai Imunisasi

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam
tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan
pembengkakan, yang akan hilang dalam dua hari. Orangtua/ pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah),
jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol15 mg/kgbb setiap
3-4jambila diperlukan, maksimal6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup
disekadengan air hangat. Jika reaksi tersebut memberat dan menetap, atau
jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

DT

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan,


pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri
dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya tidak perlu tindakan
khusus.

Polio oral

Sangat jarangterjadi reaksisesudah imunisasipolio, oleh karenaitu


orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.

Campak dan MMR

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa
tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi
gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari setelah penyuntikan selama kurang
dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsikulitkemerahanhalus/tipisyangtidak
menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi
sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan
untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika

93 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penjelasan Kepada Orangtua
Mengenai Imunisasi

demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres
air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila
diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka
dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau
jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 585/Menkes/Per/IX/ 1989 tentang


persetujuan tindakan medik. Depkes RI, Jakarta1990.
2. WatsonC (penyunting).TheAustralian ImmunisationHandbook,Edisike-9.NHMRC,2008.
3. PeterG, Lepow ML,McCracken GH, Phillips CF. Reportof theCommitteeon Infectious Diseases.
American Academy of Pediatrics, Illinois 1994.
4. StarkeJR, Munoz F. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-16. WB Saunders, Tokyo 2000.
0. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam : YLKI, Liku-liku perjalanan UUPK. YLKI, Jakarta
2001.
5. Undang-undang Republik Indonesia no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. CV Eko
Jaya, Jakarta 2004.

94 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III-3
Pencatatan Imunisasi
Jose RL. Batubara

Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti


kartu imunisasi yang dipegang oleh orang tua atau pengasuhnya.
Setiap dokter atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi
harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi
tersebut. Orang tua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau
paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu
imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi
 Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
 Tanggal melakukan vaksinasi
 Efek samping bila ada
 Tanggal vaksinasi berikut
 Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

Jika data vaksinasi tidak diberikan oleh tenaga medis/ paramedis


sebelumnya, maka data tentang hal-hal tersebut di atas harus
dilengkapi oleh petugas medis yang melanjutkannya. Sehingga kartu
imunisasi yang lengkap, baik jadwal maupun efek samping yang akan
merupakan informasi penting untuk dokter/paramedis yang akan
memberikan vaksin berikutnya. Kartu vaksinasi ini sebaiknya selalu
dipegang oleh orang tuanya. Diharapkan para dokter yang memberikan
vaksinasi mempunyai sistem untuk mengingatkan orang tua untuk
melakukan vaksinasi berikutnya sesuai dengan jadwal vaksinasi yang sudah
ditetapkan. Sebaiknya waktu imunisasi berikutnya dibicarakan dengan
orang

95 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pencatatan
Imunisasi

tuanya (misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan sehari
sebelum hari libur, mengingat apabila terjadi demam ibu berada di
rumah).
Pentingya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan jumlah
vaksin yang diberikan dan bagaimana pemberian vaksinasi selanjutnya untuk
pasien dengan imunisasi tidak lengkap dan cara mengejar (catch up)
imunisasi yang tertinggal.

Contoh Surat Persetujuan Imunisasi dan Kartu Vaksinasi

Surat Persetujuan Imunisasi

Nama
Jenis kelamin
Tanggal lahir
Nama orag tua
Alamat (tilpon, kota)

Ya
Saya mohon nama anak yang tertera di atas untuk diimunisasi sesuai dengan
jadwal imunisasi yang telah direkomendasikan.
(Berikan tanda apabila ingin diimunisasi atau beri alasan apabila tidak boleh)
 BCG
 Polio oral
 Hepatitis B
 DPT
 Campak, dst

Tanda tangan Tanggal / / /

Tidak
Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan pada saya mengenai
program imunisasi, namun saya tidak ingin anak saya diimunisasi.
Nama orang tua/ wali...............................................................

Tanda tangan Tanggal / / /

96 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pencatatan
Imunisasi
Jose RL. Batubara

Kartu Imunisasi
Na m a Tanggal Te m p a t
No batch Paraf
Jenis Vaksin Vaksin Imunisasi Imunisasi

Penjelasan Singkat Dalam Lampiran Kartu Imunisasi

Apa? Imunisasi merupakan upaya yang sederhana dan efektif untuk


melindungi anak bapak/ibu terhadap penyakit yang berbahaya. Terdapat
7 penyakit yang diwajibkan (vaksin PP1) untuk diimunisasi pada bayi/anak
(TBC, polio, hepatitis B, difteria, batuk rejan, tetanus, dan campak).
Saat mi telah bertambah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi yang tidak tergolong dalam vaksin PPI namun sangat dianjurkan
seperti, gondongan, rubela, demam tifoid, hepatitis A, cacar air.

Bagaimana? Tubuh tidak dapatmembuatkekebalan terhadap


penyakitinfeksi tersebut di atas. Namun, dengan imunisasi (suntikan
atau diminum) tubuh dapat membentuk kekebalan (antibodi) terhadap
penyakit infeksi tersebut. Imunisasi memberikan perlindungan 95%
apabila diberikan dengan cara yang tepat.

Mengapa? Terima kasth kepada Program Imunisasi, oleh karena pada saat
mi kejadian penyakit infeksi tersebut di Indonesia telah sangat menurun.
Hal mi bukan kemudian imunisasi tidak penting lagi. Bakteria dan virus
penyebab sampai saat mi masth berada di masyarakat, maka apabila
hanya sedikit yang diimunisasi akan mudah terjadi kejadian luar biasa
97 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
(wabah).

Dimana? Imunisasi yang diwajibkan oleh Departemen Kesehatan (PP1)


dapat diperoleh di semua fasiitas kesehatan sedangkan untuk vaksinasi lain
dapat diperoleh pada dokter pribadi anda.

Kapan? Pemberian vaksinasi telah diatur dalam jadwal imunisasi (ithat Bab
Jadwal Imunisasi)

98 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pencatatan
Imunisasi

Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.

2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000, Report
Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics
2000.
3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C, Nelson R.,
penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisi ke-5. Atlanta:
Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, 1999.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 99


Bab III-4
Penyuntikan yang Aman (Safety
Injection)
Soedjatmiko

Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imunitas tubuh agar


membentuk kekebalan humoral atau seluler terhadap antigen yang diberikan
melalui penetesan di mulut atau disuntikan. Namun proses ini dapat pula
menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan
bila berbagai prosedur dalam imunisasi tidak dilakukan dengan benar dan
baik. Upaya untuk mengoptimalkan pembentukan kekebalan tubuh dan
memperkecil KIPI dimulai dari prosedur produksi, penyimpanan,
transportasi dan penggunaan vaksin, penyediaan dan penggunaan alat
suntik, teknik penyuntikan yang aman (safety injection) dan penanganan
limbah.
Tujuan prosedur penyuntikan yang aman selain untuk
menghasilkan kekebalan yang optimal pada bayi/anak yang disuntik dan
menghindari KIPI, juga untuk menghindari kecelakaan atau penularan infeksi
pada bayi/anak tersebut, pada dokter/paramedis yang melakukan
penyuntikan atau pada masyarakat disekitarnya.

Jenis alat suntik (semprit)

1. Semprit auto-disable atau auto-destruct (AD)

Untuk imunisasi rutin atau masal WHO-UNICEF-UNFPA sejak tahun 1999


menganjurkan penggunaan semprit auto-disable (AD) yang hanya bisa
dipakai 1 kali kemudian otomatis terkunci, macet atau patah. Semprit ini
tidak dapat dipakai ulang, sehingga tidak akan menyebarkan partikel
patogen (misalnya hepatitis B atau HIV) yang masuk ke dalam semprit
ketika proses penyuntikan atau mengkontaminasi sisa vaksin ketika
menghisap vaksin dari
100 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia secara
luas.
Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot, Destrojet,
Univec, Terumo, K1 dan Medico inject. Beberapa merek sudah terpasang
jarum, namun ada merek dengan jarum terpisah. Sebelum menggunakan
semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan cermat cara penggunaannya,
karena berbeda-beda.
Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan kedepan
atau kebelakang satu kali saja, setelah itu macet, tidak dapat ditarik atau
patah, tergantung mereknya. Setelah mengeluarkan semprit dari
kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di dalam semprit, karena
setelah piston sampai ke ujung akan terkunci, sehingga bila ditarik untuk
menghisap vaksin piston akan macet atau patah. Oleh karena itu jangan
mendorong udara yang ada didalam semprit, langsung tusukkan jarum ke
dalam botol atau ampul vaksin, kemudian tarik piston untuk menghisap
vaksin. Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuang udara
yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya. Setelah
udara habis terbuang segera suntikan vaksin pada bayi/ anak, lakukan
aspirasi seperti biasa, kemudian dorong piston sampai vaksin habis, sehingga
piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi atau patah. Kemudian semprit
dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan
denganprosedurtertentu,untuk mencegah digunakan ulang

2. Semprit dan jarum sekali pakai (disposable) bukan AD

Semprit ini banyak digunakan untuk penyuntikan obat dan vaksinasi.


Beberapa merek yang sering digunakan antara lain Terumo dan BD.
Sebaiknya semprit jenis ini hanya digunakan untuk mencampur vaksin dan
pelarutnya. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam
wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah
digunakan ulang. Penyuntikan pada bayi dan anak sebaiknya dengan
semprit AD.

101 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

3. Pre filled syringe (PFS) auto disable (AD)

Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin oleh pabrik
sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan, setelah disuntikkan tidak
bisa diisi ulang sehingga tidak bisa dipakai lagi. Karena sudah diisi
dengan 1 dosis dari pabriknya, maka tidak perlu menghisap vaksin dari
botol atau ampul, sehingga menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat.
Contoh: vaksin Hepatitis B Uniject produksi Biofarma. Kemudian semprit
bekas harus dimasukkan ke dalam kotak limbah dan dihancurkan dengan
prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasi orang
lain.

4. Pre filled syringe (PFS), pre filled injection device (PID) bukan AD

Alat suntik ini sudah dilengkapi dengan jarum dan diisi vaksin oleh pabrik
sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan. Setelah disuntikan semprit
masih bisa berfungsi. Contoh: vaksin Hib, kombinasi DPaT- Hib, tipoid,
influenza, hepatitis A, pneumokokus. Untuk mencegah pemakaian ulang
semprit bekas, segera masukkan ke dalam wadah dan dihancurkan
dengan prosedur tertentu.

5. Semprit dan jarum yang bisa dipakai ulang

Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena sangat
berisiko terjadi kontaminasi dan penyebaran infeksi melalui semprit, jarum
atau vaksin yang telah terkontaminasi ketika menghisap vaksin.

102 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

Prosedur penyuntikan yang aman bagi bayi dan anak

1. Siapkan semua perlengkapan imunisasi ditempat yang berdekatan


(bundling) di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung:
a. Vaksin yang disimpan dan dibawa dengan benar dan baik (lihat
bab Rantai Vaksin)
b. Pelarut khusus untuk masing-masing vaksin, pemotong ampul
c. Semprit auto-disabled atau auto-destructed (AD)
d. Desinfektan/antiseptik
e. Kotaklimbahdiletakansedemikianrupahinggamudahmemasukkan
semprit bekas pakai
f. Alat/obatkedaruratan yaituadrenalin, jarumdan slang infus,cairan
infus, kortikosteroid
g. Blangko pencatatan imunisasi

2. Periksa kualitas penyimpanan dan transportasi vaksin, suhu, tanggal


kadaluwarsa, VVM (vaccine vial monitor), warna vaksin, gumpalan,
endapan, label dan indikator kualitas vaksin lainnya. Bila vaksin sudah
kadaluarsa, walaupun baru beberapa hari tidak boleh digunakan. Bila
ada gumpalan, endapan, perubahan warna vaksin, perubahan warna
VVM lsama atau lebih gelap da ri tepinya (kondisi C dan D), atau label
pernahterendamair, vaksin tidak boleh digunakan.

3. Tanyakan identitas bayi/anak apakah sesuai dengan nama yang


terdapat dalam KMS, kartu atau buku imunisasi, untuk menghindari
pemberian vaksin yang tidak sesuai.

4. Tanyakan kondisi bayi/anak sekarang dan beberapa hari sebelumnya,


imunisasi yang telah didapat, jarak dengan imunisasi sekarang, KIPI
yang pernah terjadi, dan informasi yang berkaitan dengan indikasi
kontra untuk vaksin yang

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 103


Soedjatmiko

akan diberikan. Sebaiknya disertai pertanyaan singkat rutin pediatrik:


asupan nutrisi,polatidur,miksi,defekasi dantumbuhkembang.

5. Berikan penjelasan vaksin yang akan diberikan, teknik


penyuntikan, manfaat, kemungkinan KIPI yang bisa terjadi, cara
mencegah dan pertolongan pertama bila terjadi KIPI (informed
consent).

6. Lakukan pemeriksaan fisik rutin untuk memeriksa kesehatan


bayi/anak secara umum, sambil mencari indikasi kontra imunisasi
dan memeriksa bagian tubuh yang akan disuntik.

7. Sebelum membuka bungkus semprit atau jarum, perhatikan apakah


kemasannya masih utuh dan rapat. Bila kemasan sobek, tidak utuh atau
rusak, sebaiknya jarum atau semprit tidak digunakan, segera dibuang
seperti semprit atau jarum bekas pakai.

0. Jangan menyentuh jarum sedikitpun. Buang jarum yang telah


tersentuh benda tidak steril kedalam kotak limbah kemudian
dihancurkan.

8. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin tersebut.
Campur vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan semprit dan jarum
bukanAD,tetapisemprit danjarumyangtelahdigunakan untuk melarutkan
tidak boleh untuk menyuntikkan. Kocok vaksin sehingga larut homogen.
Tulistanggal dan jam melarutkan vaksin.

9. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan. Jangan
menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit. Jangan
meninggalkan jarum pada botol atau ampul vaksin untuk pengambilan
vaksin berikutnya.

104 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

11. Jangan menggunakan semprit bekas untuk menghisap vaksin atau


menyuntikkan, walaupun sudah disterilkan ulang atau mengganti
dengan jarum baru yang steril.

12. Janganmencampursisavaksindari2botolatauampul,walaupun
vaksinnya sama.

13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak atau
memberontak ketika disuntik, terutama lengan atau paha yang akan
disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baik dalam gendongan orangtua/pengasuh,
dipeluk dengan posisi dada bayi menempel di dada orangtua/pengasuh.
Untuk bayi/anak yang sudah bisa duduk sebaiknya duduk dan dipeluk
dipangkuan orangtua dengan dada dan wajah menghadap ke dada
orangtua/pengasuh. Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak
orangtua/ pengasuhagartidakmudahberontak, keduakakidikepitdiantara
kedua paha orangtua/pengasuh, atau dipegang oleh orangtua/ pengasuh.
Bagian yang akan disuntik (paha, lengan) dipegang oleh penyuntik. Bila
anak cenderung berontak, penyuntik dapat meminta bantuan
orangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain untuk membantu
memegang siku atau lutut dekat bagian yang akan disuntik. Cara
memegang jangan membuat bayi/anak kesakitan atau ketakutan.

0. Untuk mengurangi ketakutan, alihkan perhatian anak dengan mengajak


bicara, atau bermain dengan mainan. Jangan diancam atau dipaksa
sehingga membuat anak ketakutan.

15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA (eutetic
mixture of local anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain topikal 10
menit sebelumnya, etil klorid spray beberapa detik sebelumnya, atau
ditekan dibagian yang akan disuntik selama 10 detik sebelum disuntikan.
Padabayibarulahirdapat diberikansukrosa. Manfaatnya bervariasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 105


Soedjatmiko

16. Bersihkan bagian yang akan disuntik dengan desinfektan/


antiseptik, tunggu sampai mengering

0.Untuk mengurangi rasa nyeri, otot harus dalam keadaan lemas, dengan
mengatur posisi lengan sedikit fleksi pada sendi siku, atau posisi
tungkai sedikit rotasi ke dalam. Selain itu kulit sebaiknya diregangkan
kesamping agar jarum mudah menembus kulit untuk mengurangi rasa
nyeri.

1.Penyuntikan menggunakan semprit dan jarum AD yang belum pernah


digunakan sama sekali. Penyuntikan menggunakan semprit yang
sudah diisi vaksin (PFS) dari pabrik vaksin (bukan AD), hanya sekali pakai,
langsungdimasukkan ke kotaklimbahkemudian dihancurkan.

0.Sudut penyuntikan disesuaikan dengan prosedur tiap vaksin:


intradermal (sekitar 15 derajat) , subkutan (45 derajat) atau intra muskular
(60 – 90 derajat). Kedalaman penyuntikan subkutan dan intra muskular
harus disesuaikan dengan ketebalan lemak dan otot bayi /anak.

2.Untuk mencegah vaksin keluar lagi setelah disuntikan, sebelum


penyuntikan kulit bayi/anak digeser kesamping (metode Z – tract),
setelah penyuntikan kulit dilepaskan lagi ke posisi semula sehingga vaksin
yangtelah masukke dalamotot atau subkutantidak dapat keluar lagi.

3.Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan desinfektan
agar darah tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa nyeri. Jangan menekan
luka berdarah dengan jari atau bahan tidak steril. Luka bekas suntikan
sebaiknya ditutup dengan plester.

22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan dalam
KMS atau buku imunisasi dan laporan imunisasi. Lebih baik bila
dilengkapi dengan nama dagang vaksin, nomor batch/

106 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

lot/serie, produsen, dosis, bagian tubuh yang disuntik, paraf


dokter/paramedis yang bertanggung jawab.

23. Setelah penyuntikan lebih baik bila bayi/anak tidak langsung


pulang, menunggu sekitar 15 menit untuk deteksi kemungkinan
terjadinya KIPI yang segera.

24. Sisa vaksin multidosis di pelayanan Puskemas, Klinik, Rumah


Sakit:
1 BCG setelah dilarutkan dapat dipakai dlm 3jam
2 Campak dan meningokokus ACW135Y setelah dilarutkan dapat
dipakai dalam 8 jam
3 Polio bisa dipakai dalam 2 minggu
4 DPT, DT, TT , hepatitis B, DPT-HepB, bisa dipakai dalam 4 minggu,

Sisa vaksin yang dibawa ke lapangan (Posyandu, PIN, crash program),


tetapi belum dibuka segera dipakai pada kegiatan berikutnya. Vaksin yang
sudahdibuka/dilarutkanharus dimusnahkan hari itu juga. Sisa vaksin tersebut di
atas masih bisa dipakai dengan syarat-syarat vaksin belum kadaluwarsa,
disimpan dalam suhu 2oC – 8oC, VVM warna segi empat lebih muda (kondisi
VVM A atau B),tidak pernah terendam air dan sterilitas terjaga.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi penyuntik


(paramedis, dokter)

1. Janganmenekan lukaberdarah akibat suntikandengan jari ataubahan


tidak steril.

2. Jangan mencabut jarum atau memasang kembali tutup jarum bekas


pakai, karena berisiko tertusuk dan terkontaminasi darah yang ada pada
jarum.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 107


Soedjatmiko

3. Selesai menggunakan semprit dan jarum segera masukkan ke dalam


kotak limbah tanpa mencabut atau menutup jarum.

4. Jika terpaksa memasang kembali penutup jarum karena imunisasi tertunda


akibat anak meronta-ronta, penutupan jarum dilakukan dengan teknik
satu tangan agar tidak menusuk jari tangan yang lain. Caranya : tutup
jarum diletakkan dimeja (jangan dipegang), dengan tangan kanan pegang
semprit, masukkan jarum kedalam tutupnya, dorong terus hingga
sebagian besar jarum bisa masuk kedalam tutupnya sehingga tutup
terdorong. Tekan tutup tegak lurus di atas meja, sehingga jarum
tertutup kuat. Masukkan semprit dan jarum tersebut ke dalam
kotak limbah.

5. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat


melukai dan mengkontaminasi penyuntik atau orangorang yang
berada dekat tempat penyuntikan.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi lingkungan

1. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena


dapat diambil atau melukai dan mengkontaminasi masyarakat yang
berada dekat tempat penyuntikan.

2. Buang dan hancurkan limbah imunisasi (semprit, jarum, kapas,


botol, ampul vaksin) sesuai dengan prosedur yang dianjurkan
(dikubur atau dibakar)

Mengamankan semprit dan jarum bekas

Semprit dan jarum setelah digunakan untuk melarutkan vaksin atau


untuk menyuntik harus segera dimasukkan kedalam kotak limbah. Kotak
ini harus mempunyai lubang kecil yang mudah untuk dimasuki semprit
bekas tetapi tidak mudah tumpah keluar lagi, tidak mudah tembus oleh
jarum (untuk mencegah menusuk

108 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia dipasaran
dengan nama safety box berwarna kuning, terbuat dari karton tebal.
Namun boleh juga menggunakan barang-barang bekas seperti botol plastik
bekas air mineral, jeriken plastik untuk kotal limbah Gambar 16.

Gambar 3.5. Tempat pembuangan limbah vaksinasi

Letakkan kotak ini dekat dengan penyuntik agar mudah


memasukkan semprit dan jarum bekas, namun letakkan ditempat yang
aman (misalnya di atas meja) sehingga tidak diambil, tertendang atau
terinjak oleh penyuntik atau orang lain yang ada disekitarnya. Semprit dan
jarum bekas jangan dikeluarkan lagi dari

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 109


Soedjatmiko

kotak tersebut untuk dipindahkan ke kotak lain. Jika sudah penuh, segera
ditutup rapat agar ketika dibawa ketempat penghancuran tidak tumpah
keluar.

Gambar 3.6. Cara pembuangan limbah vaksinasi

Membakar semprit dan jarum bekas

Sebaiknya spuit dan jarum bekas dibakar dalam insinerator (alat


pembakar) yang bersuhu lebih dari 800 derajat C, karena dapat
menghancurkan semprit dan jarum, serta mematikan
mikroorganisme yang mungkin terdapat dalam semprit/ jarum dari darah
bayi/anak. (Gambar 3.7)

Gambar 3.7. insinerator (alat pembakar)

110 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

Bila tidak ada insinerator, pembakaran dapat dilakukan di dalam


drum bekas yang diganjal dengan batu bata. Kotak limbah dimasukkan ke
dalam drum, api dinyalakan dibawah drum tersebut. Semprit dan jarum yang
sudah terbakar hancur kemudian ditimbun ditempat yang aman.
(Gambar 3.8)

Gambar 3.8. Alat pembakar sederhana

Bila terpaksa, pembakaran dapat dilakukan di dalam lubang, sebaiknya di


lahan yang jarang di olah dan jauh dari pemukiman. Gali lubang sedikitnya
sedalam 1 meter, masukkan kotak limbah ke dalam lubang, bakar kotak
limbah menggunakan kertas, minyak tanah atau bensin. Setelah semua
terbakar,timbunlubangdengan tanah. (Gambar 3.9)

Gambar 3.9. Pembakaran limbah vaksinasi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 111


Soedjatmiko

Membuang semprit dan jarum bekas ke dalam lubang khusus


Bila tidak mungkin dibakar, semprit dan jarum bekas dapat dibuang ke
dalam lubang khusus. Kedalaman lubang sedikitnya 2 meter, dengan
lebar 1 meter, diatasnya ditutup dengan beton, ditengahnya ada pipa besi.
Semprit dan jarum bekas dimasukkan kedalam lubang melalui pipa besi
tersebut tanpa dibakar. Cara ini masih kurang aman, bila banjir ada
kemungkinan mengkontaminasi lingkungan.

Menimbunsempritdanjarumbekasdidalamlubangpembuangan

Gali lubang sedalam 2–3 meter di lokasi yang diperkirakan dalam 5 tahun
tidak akan digali. Masukkan semprit dan jarum bekas ke dalam lubang,
kemudian ditutup dengan tanah. Cara ini masih berbahaya karena bila ada
banjir, atau tergali, maka dapat melukai atau mengkontaminasi
lingkungan sekitarnya.

Daftar Pustaka

1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI; 2005.
2. DirektoratJenderalPPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.Jakarta :
Departemen Kesehatan RI. ; 2005
3. Direktorat JenderalPPM& PL. Modul Pelatihan Pengelolaan RantaiVaksin ProgramImunisasi.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.
4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 112


Bab IV
Jadwal Imunisasi
Bab 4-1. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) 4-2.
Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 4-3. Jadwal
imunisasi yang tidak teratur
4-4. Imunisasi anak sekolah, remaja dan dewasa

Pen gantar

Pengembangan Program Imunisasi (PPI) merupakan program pemerintah


dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu
universal child immunization. Melalui PPI diharapkan beberapa masalah
penanggulangan penyakit infeksi dapat dilaksanakan seperti eradikasi
polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, reduksi campak,
peningkatan mutu pelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang
amandankeamanan pengelolaan limbah tajam.
Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2004 disusun lebih tegas,
kapan seorang bayi/anak sebaiknya mendapat imunisasi sehingga
didapatkan hasil maksimal. Dalam jadwal terbaru ini juga akan lebih mudah
apabila imunisasi diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi. Pada anak yang
mendapatkan imunisasi tidak sesuai dengan jadwal yang dianjurkan
dengan sebab lupa, tidak tahu, atau catatan hilang maka hendaknya
petugaskesehatanmembantu membuat jadwal imunisasi yang sesuai.
Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, maka imunisasi
diperuntukkan kepada seluruh kelompok umur. Tujuan imunisasi pada
kelompok anak sampai dewasa adalah sebagai penguat kadar antibodi yang
telah menurun atau untuk memberikan perlindungan pada penyakit yang
succeptible pada kelompok yang lebih tua.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 113


BabIV-1
Program Pengembangan Imunisasi
Sofyan Ismael

Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program


Imunisasi (PPI) atau expanded program on immunisation (EPI)
dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977. Program PPI merupakan
program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen
internasional yaitu universal child immunization pada akhir 1982. Program
UCI secara nasional dicapai pada tahun 1990,yaitucakupanDTP3,polio3dan
campakminimal80%sebelumumur 1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1,
polio 1 dan BCG minimal 90%. Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah
BCG, polio, DTP, campak, dan hepatitis B. Program imunisasi melalui PPI,
mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan komitmen
internasional yaitu,
 Eradikasi polio (ERAPO),
 Eliminasitetanusmaternaldanneonatal(maternal andneonatal
tetanus elimination - MNTE),
 Reduksi campak (RECAM),
 Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,
 Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe
injection practices),
 Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal w).

Cakupan Imunisasi

Target UCI 80-80-80 merupakan tujuan antara (intermediate goal), yang


berarti cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, polio, campak,

114 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Program Pengembangan Imunisasi

dan
hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, dan
kabupaten bahkan di setiap desa. Seluruh propinsi (97% dari 302 kabupaten)
di Indonesia telah mencapai target UCI. Jumlah sasaran bayi di Indonesia
per tahun 4,6 juta sedang jumlah ibu hamil 5,1 juta.

Tabel 4.1. Cakupan Imunisasi di Indonesia


Jenis Imunisasi Cakupan Cakupan
1996/1997 (%) 2003 (%)
1 dosis BCG 99,6 97,7
3 dosis DPT 90,9 90,8
4 dosis polio 85,0 90,4
3 dosis hep.B 62,0 79,4
1 dosis campak 91,7 90,4
2 dosis TT ibu hamil 73,3 71,5
Data: Subdit Imunisasi Ditjen PPM&PLP DepKes, 2004

Eradikasi Polio (ERAPO)

Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988
mengajak seluruh dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000.
Eradikasi polio didefinisikan sebagai tidak ditemukan lagi kasus polio baru
yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun melihat kenyataan, maka
WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari regional Asia
Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada
tahun 2008. Adapun strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan
imunisasi rutin yang tinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi
tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturut-turut, (3) melaksanakan
survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan
akhirnya (5) sertifikasi polio.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 115


Program Pengembangan Imunisasi

Pekan
imunisasi nasional (PIN)

Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita umur
0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio oral, tanpa
melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio diberikan 2
kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu telah dilakukan berturut-turut
pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002, 2005 dan 2006 Indonesia telah
berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN telah diimunisasi
sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.

Survailans acute flaccid paralysis (AFP)

Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah satu
dari 3 strategi eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan dari
Survailans AFP untuk mengetahui lokasi transmisi virus liar. Upaya untuk
menemukan kasus polio dilakukan dengan menemukan semua anak
berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak
tersebut serta kontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui
apakah kelumpuhan tersebut disebabkan oleh virus polio atau bukan.
Sejak dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun 1995 sampai tahun
2000, berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel,
yaitu kasus yang dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat
diperiksa atau tinja tidak adekuat. Namun sejak tahun 1997,
Indonesia menggunakan kriteria virologis dan penentuan polio
berdasar pada ada tidaknya virus polio liar pada pemeriksaan tinja. Hasil
pemeriksaan tiga laboratorium yang telah dikukuhkan WHO (Bio Farma di
Bandung, Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Depkes di Jakarta,
dan Balai Laboratorium Kesehatan di Surabaya) menunjukkan bahwa sejak
tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Virus
polio liar terakhir ditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang,
Probolinggo, Cilacap, Palembang dan Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri
atas virus

116 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Program Pengembangan Imunisasi

tipe 1,
2, dan 3. Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus
polio di Sukabumi Jawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium
Virologi Bio Farma Bandung dan Laboratorium Virologi Rujukan WHO di
Pure India, diketahui bahwa virus yang ditemukan pada penderita di
Cidahu adalah virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu
sebelumnya juga berjangkit di Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan
outbreak respons immunization mopping-up, dan PIN, sejak februari
2006 tidak lagi ditemukan virus polio liar di Indonesia.

Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up

Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus dilakukan


imunisasi polio masal lagi yang dikenal sebagai outbreak respons
immunization (ORI) mopping-up, dengan tujuan memutuskan sisa fokus
transmisi virus polio liar. Pelaksanaan ORI pada daerah outbreak,
sedangkan mopping-up dilakukan baik pada daerah tempat virus polio
liar ditemukan maupun pada virus polio yang kompatibel.

Masalah yang dihadapi

1. Krisis ekonomi dan konflik sosial politik yang melanda Indonesia


sejak tahun 1997 telah melemahkan kinerja program imunisasi rutin,
survailans AFP, serta suplemen vitamin A terutama di propinsi Aceh,
NTT, Maluku dan Irian Jaya.
0.Hal ini menyebabkan ancaman virus polio liar yang berasal dari negara lain
di dalam regional Asia Tenggara yang belum bebas polio (misalnya India,
Afganistan, dan China), dapat muncul kembali.
3. Pekan imunisasi telah dilakukan kembali di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan
Irian Jaya, dikenal sebagai Pekan Imunisasi Sub Nasional (Sub PIN) yang
dilaksanakan pada bulan September, Oktober 2006 dan februari 2007
bersamaan denganimunisasi campak.

117 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sofyan Ismael

Elimina
si tetanus neonatorum (ETN)

Tujuan umum eliminasi tetanus neonatorum adalah membebaskan


Indonesia dari penyakit tetanus neonatorum, sehingga tahun 2005
tetanus neonatorum tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi.
Sedangkan tujuan khususnya adalah (1) Secara epidemiologis berarti
menurunkan insidens tetanus neonatorum menjadi 1 per 10.000
kelahiran hidup di pulau Jawa-Bali pada tahun 1995 dan seluruh
Indonesia pada tahun 2000-2005. (2) Menekan angka kematian tetanus
neonatorum menjadi separuh dari CFR (case fatality rate) sebelumnya,
dengan jalan menemukan kasus dan mencari faktor risiko. Eliminasi
tetanus neonatorum di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1991.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan risiko yaitu meliputi
status imunisasi TT ibu hamil, pertolongan persalinan, dan perawatan tali
pusat. Untuk pelayanan imunisasi tetanus toksoid (TT) dilakukan pada
anak sekolah SD kelas VI, calon pengantin wanita, dan ibu hamil. WHO
merekomendasikan pemberian 5 dosis TT untuk mendapatkan kekebalan
seumur hidup, sedangkan untuk meningkatkan pertolongan
persalinan melalui peningkatan pelatihan dan pembinaan dukun bayi.

Reduksi campak

Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian campak,


yaitu penurunan 90% kasus dan 90% kematian akibat campak
dibandingkan dengan keadaan sebelum program imunisasi campak
mulai. Kendala yang timbul dalam reduksi campak ialah,
1. Imunisasicampak dalamPPI sejaktahun 1982secaranasionaltelah
mencapai cakupan 80%,
2. Namun angka kesakitan campak masih tinggi,
3. Pemberian imunisasi campak rutin 1 dosis ternyata tidak cukup.

118 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Program Pengembangan Imunisasi

Maka
strategi yang disusun oleh Departemen Kesehatan adalah,
1. Cakupanimunisasicampak rutinminimalharus> 90%, kepadasasaran
campak diberikan juga vitamin A 100.000 IU.
2. Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9
bulan sampai 5 tahun di daerah kumuh perkotaan atau daerah kantung
cakupan. Upaya ini dicapai dengan mengadakan sweeping di desa dengan
cakupan rendah. Kegiatan sweeping diperlukan untuk membantu
Puskesmas dalam meratakan cakupan di tingkat desa.
3. Melakukan crash program campak untuk mencegah KLB,
a. Pada balita di daerah kantong cakupan rendah (daerah sulit
dicapai, pemukiman transmigrasi baru),
b. Anak usia < 12 tahun di tempat pengungsian,
Padakeduakegiatandiatas,vitaminAdosis100.000IUuntukbayi umur
6-11 bulan dan 200.000 IU diberikan pada umur 1-5 tahun
(kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A dalam 1 bulan
terakhir).
4. Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar desa
KLB, sasaran. umur 9 bulan-5 tahun atau sampai umur kasus tertua,
diberikan 1 dosis vaksin campak tanpa melihat status imunisasi
sebelumnya. Kegiatan ini untuk memutuskan transmisi bila
dilakukan dalam waktu 7-10 hari setelah onset KLB. Diberikan juga
vitamin A untuk anak 9- 11 bulan 100.000 IU sedangkan untuk usia
1-5 tahun 200.000 IU (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A
dalam 1 bulan terakhir).
5. Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di
seluruh Indonesia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan bertahap
dalam program BIAS (bulan imunisasi anak sekolah)(lihat Bab 4-4
Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan Dewasa).

119 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sofyan Ismael

Daftar
Pustaka

1. Penyakit Polio. Subdit Survailans Direktorat Jenderal PPM&PL, Departemen Kesehatan Rl.
Diunduh dari http i/www.depkes.go.id/index.php?option= news&task=viewarticle&
sid=1826&Itemid=2.
0. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Rl. Petunjuk pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi
Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM&PL, 2000.
1. WHO. Measles reduction. WHO SEARO, Geneva 2003.
2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccine and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.

120 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab IV-2
Jadwal Imunisasi
Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk


penyempurnaan, departemen Kesehatan/ WHO, kebijakan global, dan
pengadaan vaksin di Indonesia.
 Jadwal imunisasi tahun 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan
jadwal tahun 2004 yang tertera pada buku imunisasi edisi kedua.
Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus
konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada
program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi
varisela yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun
2007), Pada jadwal 2008 ditambahkan vaksin rotavirus dan HPV (human
papilloma virus).
 Pemberian hepatitis B saat lahir sangat dianjurkan untuk
mengurangipenularan hepatitisB dariibuke bayinyasedini mungkin.
 Pemberian vaksin kombinasi, dengan maksud untuk
mempersingkat jadwal, mengurangi jumlah suntikan, dan
mengurangi kunjungan tetap dianjurkan. Selain vaksin kombinasi
DTP dengan Hib (baik DTwP/Hib maupun DTaP/ Hib, atau DTaP/Hib/IPV),
Departemen Kesehatan memberikan vaksin kombinasi DTwP dengan
Hepatitis B (DTwP/HepB) dalam PPI.
 Imunisasi campak yang hanya diberikan satu kali pada usia 9 bulan,
dalam kajian Badan Penelitian & Pengembangan Depkes ternyata kurang
memberikan perlindungan jangka panjang. Oleh karena itu, campak
diberikan penguat pada saat masuk sekolah dasar melalui program BIAS
(Bulan Imunisasi Anak Sekolah).

121 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

 Mengacu pada ketentuan WHO 2005 mengenai program eradikasi


polio, apabila di Indonesia tidak terdapat lagi virus polio liar (wild
polio virus) selama 3 tahun berturut-turut, besaran cakupan imunisasi
polio cukup tinggi (>90%), serta survailans AFP yang baik; maka
untuk imunisasi rutin (PPI) dapat diberikan eIPV (enhanced
inactivated polio vaccine, injectable poilo vaccine). Namun untuk PIN
vaksin polio oral tetap merupakan pilihan
 Jadwal imunisasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Departemen
Kesehatan yang baru tetap dapat dipergunakan, bersama jadwal
imunisasi IDAI.

Imunisasi Wajib (PPI)

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan


campak.

BCG

 Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk


mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan
menganjurkanpemberian imunisasiBCGpadaumurantara 0-12 bulan.
 Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk anak (>1
tahun). VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan
kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di
tempat lain (bokong, paha). Hal ini mengingat penyuntikan secara
intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (jaringan lemak
subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu struktur
otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau
paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis
apabila diperlukan.
 Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.

122 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

 Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat


mencegah komplikasinya.Parapakarmenyatakanbahwa
(1) efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit hanya 40%,
(2) sekitar 70% kasus TB berat (meningitis) ternyata mempunyai parut
BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA (bakteri tahan asam) positif di
Indonesia cukup tinggi (25%-36%) walaupun mereka telah mendapat
BCG pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, saat ini WHO sedang
mengembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif.
 Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan
steroid jangkapanjang,atau menderitainfeksi HIV).
 Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan
uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji
tuberkulin negatif.

Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat
vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada
bayinya.
Jadwal imunisasi hepatitis B
Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir, mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis
B aktifdengan risikopenularan kepadabayinya sebesar 45%.
Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi
hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons
imun optimal, interval imunisasi HepB2 dengan hepB-3 minimal 2
bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada
umur 3-6 bulan.
Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan

123 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg
yang tidak diketahui, (2) ibu HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg
negatif.
Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin
hepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan
dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan.
Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP
untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan
hepB-3 yang masih rendah.
Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui: HepB-1
harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan
pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status HbsAg ibu
tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui
bahwa ibu HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin
(HBIg)0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan vaksin
hepB-1dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam
setelah lahir.
Ulangan imunisasi hepatitis B
Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan
terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh
imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur 5 tahun, 90,7%
diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar anti
HBs >10 ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia
mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan
bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun belum diperlukan.
Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar anti HBs.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah
memperolehimunisasihepatitisB, makasecepatnyadiberikan

124 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kali pemberian (catch-up


vaccination).
Ulangan imunisasi hepatitis B (hepB-4) dapat dipertimbang kan pada
umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti
HBs <10 µg/ml).
Cakupan imunisasi hepatitis-B ketiga di Indonesia sangat rendah
apabila dibandingkan dengan DTP-3. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak
tahun 2006 imunisasi hep-B pada jadwal Departemen Kesehatan
dikombinasikan dengan DTwP (Tabel 4.2). Jadwal Depkes dapat
dipergunakan bersama jadwal imunisasi IDAI

Tabel 4.2. Pemberian imunisasi hepatitis B*


Umur Imunisasi Kemasan
Saat lahir HepB-0 Uniject (hepB-monovalen)
2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1
3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2
4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3
*Jadwal Departeman Kesehatan

DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelluler pertussis)

Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di
samping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang
telah dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan
secara bersamaan dalam jadwal imunisasi.
Jadwal imunisasi
Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak
boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8
minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1
diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3
pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu
tahun setelah DTP-3 yaitu pada

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 125


Sri Rezeki S.Hadinegoro

umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5
tahun.
Vaksinasi ulangan pada program BIAS
Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan
komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi
demam pasca imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa
muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat rendah
sehinggadapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak.
Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di
sekolah dasar (pada bulan imunisasi anak sekolah atau BIAS).
Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai
kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh depkes untuk
diubah ke vaksin dT (adult dose), buatan PT Bio Farma Indonesia.

Dosis vaksinasi DTP


DTwP atauDTaP atauDTadalah 0,5ml,intramuskular, baikuntuk
imunisasi dasar maupun ulangan.

Pemberian DTP kombinasi


Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu
DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwP/Hib, DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV sesuai
jadwal.

Tetanus

Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus


Neonatorum (ETN) tahun 2000 belum terlaksana sepenuhnya. Maka
pada pemberian vaksin tetanus beberapa hal perlu mendapat perhatian.
 Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi DTP
 Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.

126 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi

Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat


vaksin tetanus toksoid sebanyak lima kali untuk memberikan
perlindungan seumur hidup. Dengan demikian, setiap wanita usia
subur (WUS) telah mendapat perlindungan untuk bayi yang akan
dilahirkannya terhadap bahaya tetanus neonatorum (pemberian
vaksin TT WUS dan TT ibu hamil).

Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai


berikut.
Imunisasi DTP primer pada bayi 3 kali akan memberikan imunitas
selama 1-3 tahun. Tiga dosis toksoid pada bayi tersebut, setara
dengan 2 dosis toksoid pada dewasa.
Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan
memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7
tahun,padaumurdewasadihitungsetara3 dosistoksoid.
Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/ DT 5) bila diberikan pada usia
masuk sekolah, akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu
pada sampai umur 17-18 tahun; pada umur dewasa dihitung setara
4 dosis toksoid.
Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun
berikutnya di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang
imunitas 20 tahun lagi; pada umur dewasa dihitung setara 5
dosis toksoid.
Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada
anak sekolah melalui kegiatan BIAS.
 DosisvaksinDTP atauTTdiberikan dengandosis0,5 ml secara
intramuskular.

Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3.


 OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral.
 IPV (inactivated polio vaccine), in-aktif, suntikan.

127 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV
dapat diberikan pada anak sehat maupun anak yang menderita
imunokompromais, dan dapat diberikan sebagai imunisasi dasar
maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan dengan vaksin
DTP, secara terpisah atau kombinasi.
Jadwal
Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan
untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini
diperlukan karena Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar
dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan). Mengingat OPV
berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah
sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus
polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV
dapat menjadi alternatif.
Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4,
dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4
minggu.
Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi
Polio (PIN) yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN
semua balita harus mendapat imunisasi OPV tanpa memandang status
imunisasinya (kecuali pasien imunokompromais diberikan IPV)
untuk memperkuat kekebalan di mukosa saluran cerna dan
memutuskan transmisi virus polio liar.

Dosis
 OPV diberikan 2 tetes per-oral.
 IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat
diberikantersendiri atau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV,
DTaP/Hib/IPV).
 Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4,
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).

128 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Campak

 Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml


secara sub-kutan dalam, pada umur 9 bulan.
 Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan Dirjen PPM&PL
DepartemenKesehatanmengenaicampakdidapatkan,
Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolah
mempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan,
Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah,
Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa (KLB)
campak,
 Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi & eliminasi campak,
sebagai berikut. Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga
imunisasi campak kesempatan kedua (second opportunity pada crash
program campak) pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash
program campak ini telah dilakukan secara bertahap (5 tahap) di
semua provinsi pada tahun 2006 dan 2007.
 Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program
school based catch-up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah
SD kelas 1 dalam program BIAS.
 Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan
ulangan umur6 tahun;ulangan campak SDkelas1 tidakdiperlukan.

Imunisasi yang dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat


burden of disease namun belum masuk ke dalam program imunisasi
nasional sesuai prioritas. Imunisasi dianjurkan adalah Hib, pneumokokus,
influenza, MMR, tifoid, hepatitis A, varisela, rotavirus, dan HPV.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 129


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Haemophilus influenzae tipe b (Hib)

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu
vaksin Hib yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl
ribitol phosphate – konjugasi dengan protein tetanus) dan PRP-OMP
(PRP berkonjugasi dengan outer membrane protein complex).

Jadwal imunisasi
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan,
dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan.
+ Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi
(DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV)

Dosis
+ Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara
intramuskular.
+ Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV (vaksin
kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib PRP-T) dalam kemasan
prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
+ Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada
umur 18 bulan.
+ Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan
1 kali.

Pneumokokus

Sejak jadwal imunisasi edisi tahun 2007, vaksin pneumokokus


dimasukkan dalam kelompok imunisasi yang dianjurkan sesuai dengan
Rekomendasi Satgas imunisasi IDAI tanggal 30 April 2006.

130 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia,


yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23
serotipe disebut pneumococcus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin
pneumokokus generasi kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7
serotipe disebut pneumococcal conjugate vaccine (PCV7).

Tabel 4.3. Perbedaan PPV23 dan PCV7


Vaksin polisakarida (PPV23) Vaksin polisakarida konjungasi (PCV7)
 T cell independent • T cell dependent (memory cell)

 Imunogenik pada umur <2


 Tidak imunogenik pd umur <2 tahun
tahun  Indikasi: anak sehat dan anak
 Indikasi: umur> 2 thn, risiko tinggi risiko tinggi
 Umur 2 bulan-5 tahun
 Mempunyai imunitas jangka  Mempunyai imunitas jangka
pendek panjang
 Nama: Pneumo-23@ (Sanofi  Nama: Prevenar@ (Wyeth)
Pasteur)

Jadwal dan dosis PCV7

Vaksin PCV7 diberikansejakusia2 bulansampai9 tahun.Dosisdaninterval


pemberian sesuai umur tertera pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Jadwal dan dosis vaksin PCV7

Dosis pertama Imunisasi dasar Imunisasi


(bulan) ulangan*
2- 6 3 dosis, interval 6-8 mgg 1 dosis, 12-15 bulan
7-11 2 dosis, interval 6-8 mgg 1 dosis, 12-15 bulan
12-23 2 dosis, interval 6-8 mgg
≥24 1 dosis
*Imunisasi ulangan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir imunisasi dasar
Dikutip dengan modifikasi dari AAP, Committee on Infectious Diseases 2006.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 131


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Cara pemberian

Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml diberikan secara


intramuskular.
 Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu.
 Untuk bayi BBLR (≤1500 gram) vaksin diberikan setelah umur
kronologik 6 -8 minggu, tanpa memperhatikan umur atau apabila berat
badan telah mencapai > 2000gram.
 Dapat diberikan bersama vaksin lain misalnya DTwP, DTaP, TT, Hib,
HepB, IPV, MMR, atau varisela, dengan mempergunakan syringe terpisah.
Untuk setiap vaksin diberikan pada sisi badan yang berbeda.

Kelompok risiko tinggi

Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan bersama
vaksin PPV23 karena kelompok ini rentan terhadap semua serotipe
pneumokokus. Kelompok risiko tinggi adalah anak yang menderita penyakit
kronik seperti penyakit sickle cell, aslenia kongenital/didapat, disfungsi
limpa, infeksi HIV, defisiensi imun kongenital, penyakit jantung bawaan dan
gagal jantung, penyakit paru kronik termasuk asma yang diobati dengan
kortikosteroid oral dosis tinggi, cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik
termasuk sindrom nefrotik, penyakit yang berhubungan dengan pengobatan
imunosupresif atau radiasi termasuk penyakit keganasan dan
transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 132


Jadwal Imunisasi

Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksin PCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi umur 24-59
bulan
Dosis sebelumnya Dosis PCV7 dan PPV23

4 dosis PCV7 Umur 24 bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah PCV7 dosis
terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah
PPV23 dosis pertama
1-3dosis PCV7 1 dosis vaksin PCV7
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir.
Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis
pertama
1 dosis PPV23 2 dosis vaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal 6-8 mgg
setelah PPV23 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23,
3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
Belum pernah 2 dosis vaksin PCV7 interval 6-8 mgg
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV dosis
terakhir.
Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis
pertama

Influenza

Imunisasi influenza telah direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI sejak


April 2006 dan telah dimasukkan dalam kelompok vaksin yang dianjurkan,
sesuai jadwal Satgas Imunisasi IDAI periode 2006.

Vaksin influenza
 Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus influenza subtipe
A yaitu H3N2 dan H1N1, serta virus influenza tipe B. Vaksin
influenza diproduksi dua kali setahun berdasarkan perubahan galur
virus influenza yang bersirkulasi di masyarakat.
 WHO Global Influenza Program merekomendasikan komposisi
vaksin influenza yang berlaku untuk tahun berikutnya pada bulan
September dan Februari. Musim influenza pada terjadi bulan
Mei-Juni di belahan bumi Selatan (Southern hemisphere),

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 133


Sri Rezeki S.Hadinegoro

dan November-Desember untuk belahan bumi Utara (Northern


hemisphere).
 Untuk Indonesia dipilih vaksin formulasi dari belahan utara atau
selatan yang diproduksi oleh produsen vaksin sesuai dengan waktu
yangtepat (perhatikan tanggal kadaluarsavaksin tersebut).
Jadwal
 Rekomendasi WHO untuk tahun 2006/2007 komposisi vaksin belahan
utara adalah A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus; A/Wisconsin/6
7/2005 (H3N2)-like virus; dan B/Malaysia/2506/2004 like virus.
 Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6–23 bulan, baik anak
sehat maupun dengan risiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel
sickle, HIV, dan diabetes)
 Imunisasi influenza diberikan setiap tahun, mengingat tiap tahun terjadi
pergantian jenis galur virus yang beredar di masyarakat. Vaksin tahun
sebelumnyatidakbolehdiberikanuntuktahun sekarang.
 Indikasi lain: anak yang tinggal dengan kelompok risiko tinggi atau pekerja
sosial yangberhubungandengan kelompok risiko tinggi
Dosis dan cara pemberian
 Dosis tergantung umur anak,
umur 6-35 bulan: 0.25ml
umur ≥ 3 tahun : 0.5 ml
umur < 8 tahun : untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis
dengan interval minimal 4-6 minggu, pada tahun berikutnya
hanya diberikan 1 dosis.
 Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha
anterolateral atau deltoid.

134 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

MMR

 VaksinMMRdiberikanpadaumur15-18bulan,minimalinterval
6 bulan antara imunisasi campak (umur 9 bulan) dan MMR.
 Dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan.
 MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah
penyuntikan imunisasi lain.
 Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur
12-18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan
pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan.
 Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun.

Demam tifoid

Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan


(polisakarida) dan oral (bakteri hidup yang dilemahkan).
 Vaksin capsular Vi polysaccharide
diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan setiap 3
tahun.
kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara
intramuskular
 Tifoid oral Ty21a
diberikan pada umur lebih dari 6 tahun
dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang
sehari (hari 1,3, dan 5).
imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada
umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah
endemis tifoid.

Hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under


exposure). Di samping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal, saat
ini telah beredar vaksin kombinasi HepB/HepA.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 135


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jadwal imunisasi
+ Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.
+ Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dari
12 bulan. Maka vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih
dari 12 bulan, terutama untuk catch-up immunisation yaitu mengejar
imunisasi pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi HepB
sebelumnyaatauimunisasiHepB yang tidak lengkap.
Dosis pemberian
+ Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml.
+ Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan
interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid
+ Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA
720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml
intramuskular.
+ Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units, dosis 1
ml, 2 dosis, interval 6-12 bulan.

Varisela

Kesepakatan pada rapat Satgas Imunisasi IDAI Maret 2007, telah ditentukan
perubahan umur pemberian vaksin varisela dari umur 10 tahun menjadi
5 tahun. Hal ini berdasarkan,
1. Efektifitas vaksin varisela tidak diragukan lagi, namun apabila cakupan
imunisasi belum tinggi dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa
anak ke dewasa (pubertas). Akibatnya angka kejadian varisela orang
dewasaakan meningkat dibandingkananak.
0. Dampak varisela pada dewasa lebih berat daripada anak, apalagi apabila
terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan sindrom varisela
kongenital dengan angka kematian yang tinggi.
3. Penularan terbanyak terjadi di sekolah (TK dan SD).

136 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela


diberikan pada saat anak masuk sekolah Taman Kanak-kanak umur 5
tahun, kecuali terjadi kejadian luar biasa varisela, atau atas permintaan orang
tua dapat diberikan pada umur > 1 tahun.
Jadwal
 Imunisasi varisela diberikan pada anak umur ≥ 5 tahun.
 Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela,
imunisasi dapat mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam
setelahkontak (catatan: kontak harussegeradipisahkan).
Dosis
 Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali.
 Untuk umurlebih dari13 tahun ataudewasa, diberikan2 kali dengan
jarak 4-8 minggu.

Tabel 4.6. Ringkasan Jadwal Imunisasi Berdasarkan Umur Pemberian


Umur Vaksin Keterangan
Saat lahir Hepatitis B-1 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12
jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1
dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu
positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir
diberikan HBIg 0,5 ml bersamaan dengan
vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu
tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan
selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif
maka masih dapat diberikan HB-Ig 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari.

Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk


bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat
bayi dipulangkan (untuk menghindari
transmisi virus vaksin kepada bayi lain).
1 bulan Hepatitis B-2 HB-2 diberikan pada umur 1 bulan,
Interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

137 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Umur Vaksin Keterangan


0-2 bulan BCG BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila
BCG akan diberikan pada umur >3 bulan
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih
dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin
negatif.

2 bulan DTP-1 DTP diberikan pada umur lebih dari 6


minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP
atau diberikan secara kombinasi dengan Hib
(PRP-T).
Hib -1 Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2
bulan. Hib dapat diberikan secara terpisah
atau dikombinasikan dengan DTP.
Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan
dengan DTP-1.
PCV-1 PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan
4 bulan DTP -2 DT P - 2 (D T w P at a u DT a P ) da p a t
Hib -2 diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan
Hib-2 (PRP-T).
Polio-2
Polio-2 diberikan bersamaan dengan
PCV-2 DTP-2
PCV-2 diberikan pada umur 4 bulan
6 bulan DTP -3 DTP-3 dapat diberikan terpisah atau
dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).
H i b - 3 A p a b i l a m e m p e r g u n a k a n H i b - O M P , Hib-3
pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.
Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan dengan
DTP-3.
PCV-3 PCV-3 diberikan pada umur 6 bulan

6 bulan Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk


mendapat respons imun optimal interval HB-2
dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
6-23 bln Influenza Influenza dapat diberikan sejak umur 6
bulan

138 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Umur Vaksin Keterangan


9 bulan Campak Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan,
Campak-2 merupakan program BIAS pada SD
kl 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapat
MMR pada umur 15 bulan, Campak-2 tidak
perlu diberikan.
12 -15 bl PCV-7 Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15
bulan
15-18 MMR Apabila sampai umur 12 bulan belum
bulan mendapat imunisasi campak, MMR dapat
diberikan pada umur 12 bln
Hib-4 Hib-4 diberikan pada 15-18 bulan (PRP-T atau
PRP-OMP).
18 bulan DTP-4 DTP-4 (DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun
setelah DTP-3 atau kombinasi DTP/Hib
Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan dengan
DTP-4.
2 tahun Hepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada
umur >2 tahun, diberikan dua kali
dengan interval 6-12 bulan.
2-3 tahun Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direko-
mendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi
tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap
3 tahun.
5 tahun DTP-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun
(DTwP/DTaP)
Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan dengan
DTP-5
Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 5
tahun.
6 tahun MMR Diberikan untuk catch-up immuniza-
tion pada anak yang belum mendapat
MMR-1.
10 tahun dT/ TT Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5
(dT atau TT) diberikan untuk mendapat
imunitas selama 25 tahun.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 139


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Umur Vaksin Keterangan


10 thn HPV Vaksin HPV diberikan pada perempuan
berumur 10 tahun atau lebih sebanyak 3 kali,
dengan jadwal agak berbeda untuk vaksin
bivalen (HPV 16, 18) dan kuadrivalen (HPV 6,
11, 16, 18).
Vaksin bivalen kedua disuntikan 1 bulan
setelah suntikan pertama, suntikan ketiga
diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama.
Vaksin kuadrivalen kedua disuntikan 2
bulan setelah suntikan pertama, suntikan
ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan
pertama.

Daftar Pustaka

1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo; WB
Saunders, 2004.

2. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics. Illinois;


Amerika Serikat, 2006.

3. NationalHealth and MedicalResearch Council.NationalImmunisation Program:The Australian


Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
0. WorldHealthOrganization,TheWorldHealthReport2007.A saferfuture:globalpublic health
security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index.html.
4. Kassianos GC.Immunization Childhood and TravelHealth. Edisikeempat. London: Blackwell Science,
2001.
0. AAP, Committee on Infectious Diseases 2006
7. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2003

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 140


Bab IV-3
Jadwal Imunisasi Tidak
Teratur
Dahlan Ali Musa

Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai


dengan jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan
hambatan untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh
anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkan
respons imunologis sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mencapai
hasil yang optimal. Dengan perkataan lain, anak belum mempunyai
antibodi yang optimal karena belum mendapat imunisasi yang lengkap,
sehingga kadar antibodi yang dihasilkan masih di bawah ambang kadar
yang memberi perlindungan (protective level) atau belum mencapai kadar
antibodi yang bisa memberikan perlindungan untuk kurun waktu yang
panjang (life long immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap.
Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal imunisasi dengan
melengkapi imunisasi yang belum selesai.

Vaksin satu kali atau vaksin dengan daya lindung panjang

Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang daya
perlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR, varisela, maka
keterlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah disepakati akan
mengakibatkan meningkatnya risiko tertular oleh penyakit yang ingin
dihindari. Setelah vaksin diberikan maka risiko terkena penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi tersebut akan hilang atau rendah sekali,
bahkan usia yang lebih tua saat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 141


Dahlan Ali Musa

menerima vaksin akan menghasilkan kadar antibodi yang cukup baik


karena sistem imunitas tubuhnya sudah lebih matang.

Belum pernah mendapat imunisasi

Anak yang belum pernah mendapat imunisasi terhadap penyakit tertentu,


tidak mempunyai antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut.
Apabila usia anak sudah berada di luar usia yang tertera pada jadwal
imunisasi dan dia belum pernah diimunisasi maka imunisasi harus diberikan
kapan saja, pada umur berapa saja sebelum anak terkena penyakit tersebut,
karena dia sangat sedikit atau sama sekali belum punya antibodi.

Imunisasi multidosis dengan interval tertentu

Untuk imunisasi yang harus diberikan beberapa kali dengan interval


waktu tertentu agar kadar antibodi yang diinginkan tercapai (di atas
ambang perlindungan) seperti vaksin DPT, polio, Hib, pneumokok
konjugasi, hepatitis A atau hepatitis B, keterlambatan atau
memanjangnya interval tidak mempengaruhi respons imunologis
dalam membentuk antibodi. Jumlah pemberian imunisasi tetap harus
dilengkapi supaya kadar ambang perlindungan bisa dicapai dan anak terlindung
dari penyakit. Keterlambatan akan menunda tercapainya ambang kadar
antibodiyang memberikan perlindungan.
Terdapat beberapa jenis vaksin (umumnya vaksin inaktif) yang daya
perlindungannya terbatas hingga kurun waktu tertentu saja (setelah itu
kadar antibodi berada di bawah ambang perlindungan), sehingga
membutuhkan imunisasi ulang untuk meningkatkan kembali kadar
antibodinya. Bila imunisasi ulang terlambat atau tidak dilakukan, maka
kadar antibodi yang sudah rendah itu (terutama pada anak-anak yang
tidak pernah mendapat infeksi alamiah) akan meningkatkan risiko
terkena penyakit tersebut.

142 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

Status imunisasi tidak diketahui atau meragukan

Anak dengan status imunisasi yang tidak diketahui atau meragukan,


misalnya dokumentasi imunisasi yang buruk atau hilang,
menyebabkan ketidakpastian tentang imunisasi yang sudah dan belum
diberikan. Pada keadaan ini, anak harus dianggap rentan (susceptible) dan
harus diberikan imunisasi yang diperkirakan belum didapat. Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin MMR, varisela, Hib,
hepatitis-B, campak, DPT atau polio yang berlebih akan merugikan
penerima yang sudah imun.

Tabel 4.7. Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur

Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat


BCG Umur < 12 bulan, boleh diberikan kapan saja.
Umur > 12 bulan imunisasi kapan saja, namun sebaiknya dilakukan
terlebih dahulu uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG
dengan dosis 0.1 ml intrakutan

DPwT atau Bila dimulai dengan DPwT boleh dilanjutkam dengan


DPaT DPaT.
Berikan dT pada anak > 7 tahun, jangan DPwT atau DPaT
walaupun vaksin tersedia.
Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi
lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli
berapapun jarak waktu/interval keterlambatan dari pemberian
sebelumnya.
Bila belum pernah imunisasi dasar pada usia < 12 bulan, imunisasi
diberikan sesuai imunisasi dasar, baik jumlah maupun intervalnya.
Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-4, maka
pemberian ke-5 secepat-cepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila
pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, maka pemberian ke-5
tidak perlu lagi.

Polio oral Bila terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi
lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli
berapapun jarak waktu/ interval keterlambatan dari pemberian
sebelumnya.

143 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat


Campak Pada umur antara 9 – 12 bulan, berikan kapan saja saat
bertemu.
Bila umur anak > 1 tahun berikan MMR
Bila booster belum didapat setelah umur 6 tahun, maka vaksin
campak/MMR diberikan kapan saja saat bertemu melengkapi jadwal
MMR Bila sampai dengan umur 12 bulan belum mendapat vaksin campak,
MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur 1 tahun

Hepatitis B Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi


lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli
berapapun jarak waktu/interval dari pemberian sebelumnya.
Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada
masa bayi, bisa mendapat serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat
berkunjung.

Hib Umur saat ini Riwayat Rekomendasi


(bulan) vaksinasi imunisasi

6 – 11 1 dosis 1x umur 6–11 bulan


Ulang 1x setelah 2 bulan atau umur
12 – 15 bulan

12 – 14 1 dosis sebelum umur 12 bulan


Berikan 2 dosis, interval 2
bulan

15 – 59 Berikan Jadwal tidak lengkap


1 dosis

144 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi Tidak Teratur

P n e um o - Umur saat ini Dosis Keterangan


kokus (bulan) Vaksin
7 – 11 3 dosis 2 dosis, interval 4 minggu.
Dosis ke-3 setelah umur 12 bulan,
paling sedikit 2 bulan setelah dosis
ke-2

12 – 23 2 dosis Interval paling sedikit 2


bulan

>24 - 5th 1 dosis

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.

2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker CL, Overturf
GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on Infectious Diseases.
Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB
Saunders, 2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 145


Bab IV-4
Imunisasi Anak Sekolah,
Remaja dan Dewasa
I G N Ranuh

Usia sekolah dan remaja saat memasuki usia merupakan kurun waktu
dengan paparan lingkungan yang luas dan beraneka ragam. Angka kematian
usia balita masih sekitar 56 per 1000 kelahiran hidup, masa usia sekolah
dan remaja menunjukkan grafik yang menurun dan meningkat lagi
pada usia yang lebih lanjut.
Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk di dalam imunisasi
nasional sudah sangat berkurang, seperti polio, difteria, tetanus, batuk rejan
dan campak, terutama karena dilaksanakannya program Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS) pada bulan November setiap tahunnya. Hanya
penyakit tuberkulosis paru yang justru menunjukkan peningkatan karena
imunisasi BCG ternyata kurang berhasil meskipun meningitis dan TB
sekunder lainnya seperti milier dan spondilitis TB sudah jauh
berkurang.
Dengan terjadinya transisi epidemiologik dalam dua dekade terakhir
ini, penyebab utama kesakitan dan kematian telah mengalami
perubahan seperti yang dilaporkan di dalam SKRT1995 dengan bergesernya
penyebab kematian karena infeksi ke penyakit kardiovaskuler, terjadinya
cedera dan keracunan karena kecelakaan, penyakit karena obat-obatan
terlarang, depresi, penyakit jiwa dan penyakit degeneratif. Namun demikian,
laporan dari rumah sakit. Puskesmas maupun UKS (usaha kesehatan sekolah),
penyakit infeksi seperti ISPA, (infeksi saluran pernafasan akut), diare akut
seperti kolera dan penyakit yang seringkali menunjukkan kejadian luar biasa
atau wabah, seperti demam berdarah dengue masih merupakan hambatan
utama dalam tumbuh kembang menuju dewasa.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 146


Keterlambatan Imunisasi Dasar

Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak pada usia yang
seharusnya namun anak belum mencapai usia 8 tahun, perlu diberikan DTP
4 dosis (ke-1 sampai ke-3 berselang 1-2 bulan dan ke-4 diberikan 6
bulan’kemudian). Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun, diberikan
dT (adult tetanus diphthteria toxoid), kemudian booster diberikan setiap
10 tahun.
Imunitas terhadap pertusis pasca imunisasi berlangsung selama 10
tahun setelah dosis terakhir. Meskipun demikian seorang anak yang
telah menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinan terjangkitnya penyakit
batuk rejan masih dapat terjadi pada usia remaja. Kebutuhan booster
pertusispadausiaremajadandewasamasih menjadi lahan penelitian.
Apabila belum pernah mendapatkan vaksin MMR (measles, mumps,
rubella), imunisasi tersebut dapat diberikan pada semua umur di atas satu
tahun. Pada anak yang sudah pernah menderita penyakit campak maupun
gondongan bukan merupakan halangan untuk memberikan MMR, karena
dari anamnesis penyakit tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
Vaksin MMR terutama menjadi penting untuk wanita usia subur karena
komponen rubela yang ada di dalamnya dapat mencegah rubela kongetial
apabila wanita tersebut hamil. Apabila setelah pemberian MMR diperlukan
uji tuberkulin, maka perlu diperhatikan bahwa uji tuberkulin baru dapat
dilaksanakan sedikitnya sebulan kemudian karena vaksin campak yang
mengandungvirushidupdapatmengurangisensivitasterhadap tuberkulin.
Pemberian dua vaksin yang mengandung virus hidup tidak dapat
diberikan secara simultan pada hari yang sama atau kurang dari 14 hari.
Vaksin hidup yang kedua harus diberikan sedikitnya setelah 14 hari dari yang
pertama (rekomendasi Advisory Committee
on Immunization Practices).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 147


I G N Ranuh

Imunisasi Anak Sekolah, Remaja, dan Dewasa

Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster
untuk hampir semua jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini.
Masa tersebut sangat penting untuk dipantau dalam upaya
pemeliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap berbagai macam
penyakit infeksi yang disebabkan karena kuman, virus maupun parasit
dalam kehidupan menuju dewasa.
 Pada umumnya penularan infeksi dapat melalui fekal-oral, pernafasan,
urin, maupun darah dan sekret tubuh lainnya. Di dalam lingkungan
sekolah, infeksi dapat terjadi di antara para siswa sekolah melalui jalan
nafas dan kontak langsung melalui kulit sebagai lahan penularan
penyakit. Namun pada lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) para siswa
mengalami perkembangan mental yang kurang, dapat terjadi
penularan melalui fekal-oral dan urin.
 Guna menjaga penyebaran penyakit menular di sekolah, kiranya sekolah
harus memiliki catatan imunisasi saat siswa pertama kali masuk sekolah
terutama tentang penyakit yang masuk di dalam daftar PPI. Pada usia 6
tahun, booster harus sudah diberikan terhadap penyakit difteria, tetanus
danpolio. Secaraluastelahdilaksanakan sebagai program BIAS.
 Hepatitis B tidakperlu diulang, namun apabila tidakmenunjukkan adanya
pembentukan antibodi atau kadar antibodi telah menurun di bawah
ambang pencegahan vaksinasi hepatitis B (kurang dari 10 µg/dl),
ulangan perlu diberikan. Perhatikan dan catat segera adanya peningkatan
antibodi. Data terakhir mengatakan bahwa kadar anti-HBs memang akan
mengurang dari tahun ke tahun, tetapi ternyata memori imunitas
(anamnestic anti-HBs response) tetap bertahan selamanya setelah
mendapatkan imunisasi. Meskipun kadar anti-HBs sudah menurun sekali
bahkan negatif seorang masih terlindungi dari sakit secara klinis dan sakit
kronis. Jadi dosis booster hepB tidak diperlukan lagi bagi orang yang jelas
telah memberikan respons yang baik setelah imunisasi.

148 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa

 Campak diberikan pada program BIAS, SD kelas 1.


 Imunisasi terhadap demam tifoid pada usia sekolah diperlukan karena
adanya kebiasaan anak usia sekolah, terutama SD dan SMP untuk
membeli makanan dan pedagang kaki lima di sekolah yang tentunya
kurang dapat dijamin kebersihannya.
 Pada usia pra-remaja (10-14 tahun) khususnya anak perempuan
diperlukan vaksinasi ulang terhadap tetanus (dT), untuk mencegah
kemungkinan terjadi tetanus neonatorum pada bayi yang akan
dilahirkan.
 Pemberian imunisasi hepatitis A, dosis anak tetap berpedoman
pada usia dan tidak pada berat badan. Meskipun berat badan melebihi
orang dewasa dosis vaksin hepatitis A tetap dengan dosis anak seperti
halnya pada vaksin hepatitis B karena response rate ternyata lebih tinggi
dari orang dewasa meskipun berat badannya melebihi normal.
 Imunisasi influenza dan pneumokokus diberikan pada usia di
atas 50 tahun khususnya kepada orang yang berisiko tinggi seperti yang
bekerja di lingkungan kesehatan (dokter, perawat) dan menderita
penyakit kronik seperti diabetes melitus, asma. Imunisasi rubela diberikan
pada wanita usia subur (tidak sedang mengandung) terutama pada
mereka dengan seronegatif.
HPV
Mulai umur 10 tahun anak perempuan perlu diberikan imunisasi HPV,
untuk mencegah infeksi HPV yang menetap lama (persisten) pada
leher rahim yang dapat berkembang menjadi kanker leher rahim.

149 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa

Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan dewasa

Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra indikasi


Hepatitis B Individu berisiko Perlu 3 dosis Reaksi
Cacat mental Ad o l e s e n : 1/ 2 anafilaktik
Hemodialisis dosis dewasa
Remaja belum pernah Diberikan 2 kali (usia
me n d a p a t k a n 11-19 tahun)
imunisasi
Polio Remaja yang belum IPV: reaksi
Remaja/ dewasa
(IPV atau pernah imunisasi an a f i l a k t i k
yang sudah
OPV) Pe k e r j a ko n t a k imun: 2 dosis IPV setelah dosis
dengan pasien polio dengan interval se b e l u m n y a
Dewasa yang belum 4-8 minggu. Alergi terhadap
imun & anaknya Dosis ke-3: 6-12 streptomisin,
diberikan OPV bulan. polimiksin B,
Bagi yang belum neomisin
imun diberikan
dosis imunisasi
dasar

Varisela Semua usia yang <13th: 1 dosis  Alergi


belum vaksinasi 13 tahun: 2 dosis anafilaktik
/sakit interval 4-8 terhadap
 Seronegatif minggu gelatin/
 Guru TK, petugas Dosis: 0,5 ml (s.k) neomisin
TPA, mahasiswa  Menderita TB
kedokteran aktif
 Wanita usia subur  Mendapatkan
yang tidak hamil terapi
 Individu yang imunosupresif
seringkali ke luar  Imunodefisiensi
negeri  Menderita
kelainan
kongenital
 Wanita hamil

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 150


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa
Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra
indikasi
Hepatitis  Tinggal di daerah Peka terhadap
A Dosis 2 kali, aluminium &
endemik
s e l a n g
 Mengidap peny. bahan
6-1 2 bulan pengawet
kronik
Dewasa: 1,0 ml
 Mengidap gangguan
Usia 2-1 7
pembekuan darah ta h u n :
 Petugas saji/memasak
0,5ml
 Homoseksual
DTP /dT • Semua orang dewasa 2 dosis selang  Mempunyai
 Remaja 11 -12th/ 4-6 minggu penyakit
14-16 tahun apabila 5 Dosis: 0,5 ml syaraf
tahun sebelumnya (i.m)  Hypers
belum mendapat Booster setiap ensitif
DTP/dT 10 tahun berat
Influenza •P e t u g a s k e s e h a t a n Dosis: 0,5 ml Anafilaksis
•Usia > 6 bulan dengan (i.m) terhadap telur
kardiovaskular/paru kronik Diberikan
termasuk asma Usia > 6 sekali
•bulan dengan pe n y setiap tahun
me t a b o l i k (diabetes),
ggn fungsi ginjal,
hemolobinopati.

defisiensi imun
Ib u h a m i l tr i m e s t e r
•2 - 3 ( s a a t o u t b r e a k )
Usia 50 tahun ke-atas
•Usia 6 bln- 18 thn
mendapat terapi aspirin
jangka panjang

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 151


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa
Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra
indikasi
Pneumo  Usia 65 tahun ke-atas Perlu 1 dosis Hati-hati pada
kokus Dosis: 0,5 ml hamil trimester
 Anak >2 tahun dengan (i . m / s . k ) pertama
penyakit kardiovaskular/ paru Dosis ke-2
kronik, termasuk gagal perlu
jantung kongestif, sakit hati pada risiko
kronik. iabetes, alkohol, tinggi
kardiomiopati, COPD atau sedikitnya 5
emfisema Usia > 2 tahun tahun
dengan gangguan fungsi setelah
limpa, penyakit darah suntikan
berat. gagal ginjal, pertama
transplantasi organ, mengidap
HIV

Rubela • Khusus wanita yang


belum mendapatkan
imunisasi rubela Satu dosis Terapi imuno-
 Mereka dengan risiko Dosis: 0,5ml supresif
paparan penyakit rubela (s.k) Hamil
TB aktif
Campak & Remaja/ dewasa 2 dosis selang Terapi
Gondong Memiliki risiko tinggi 1 bln imunosu p r e s i
an (MMR) Dosis: 0,5ml, f Hamil
sub kutan TB aktif

HPV Wanita yang belum/ Diberikan Hamil


tidak terinfeksi HPV: dalam 3 kali Hipersensi
 Semua wanita usia 10-26 pemberian, tivitas
tahun pada bulan
 Semua wanita usia 26-55 0, (1-2), 6
tahun dengan hasil pap bulan secara
smear (-) intramuskular.
Tidak
diperlukan
booster.

152 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa

Daftar Pustaka

1. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC, 12/14/2001


2. Departemen Kesehatan R.I. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Jakarta, Depkes &
Kesos, 2004.

3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:Wolter Kluwer
Health, Inc. 2006.

4. HaroldMargolis,MD.andLindaMoyer.RN.VACCINATEADULTS,Spring/Summer2000, Ask the


Experts. http//www.immunize,org/va/ va6exprt.htm
5. Pickering LK, penyunting : American Academy of Pediatrics. Red Book. Report Committee on
Infectious Diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2006.
6. Watson C., penyunting: NationalHealth and MedicalResearch Council. TheAustralian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
7.WilliamL. Atkinson.MD.RN.Vaccinateadults. Spring/Summer2000, Ask theExperts. http//www.
immunize.org/va/va6exprt.htm

153 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V
Vaksin pada Program
Pengembangan
Imunisasi (PPI)
Bab 5-1. Tuberkulosis (BCG)
5-2. Hepatitis B
5-3. Difteria, tetanus, pertusis (DTP) 5-4.
Poliomielitis
5-5. Campak

Pen gantar

Terdapat tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin PPI. Cakupan vaksin PPI
di Indonesia telah mencapai lebih dari 80% kecuali hepatitis B ketiga.
Sesuai kesepakatan global, perlu diingat bahwa cakupan vaksin PPI
harus dipertahankan tetap tinggi di seluruhpelosoknegerisebelumpemerintah
memutuskanuntukmenambahkan vaksin lain dalam PPI.
Imunisasi BCG, walaupun saat ini diragukan manfaatnya WHO tetap
menganjurkan pemberian BCG sampai dihasilkan vaksin tuberkulosis yang
baru. Vaksin hepatitis untuk bayi baru lahir sangat dianjurkan untuk Indonesia
yang termasuk negara endemik tinggi hepatitis B. Untuk mengurangi KIPI
vaksin DTwP, vaksin DTaP telah banyak digunakan. Vaksin DTwP/DTaP dapat
diberikan secara tunggal (mono valen) maupun kombinasi dengan vaksin lain
(dengan hepatitis B atau Hib). Demikian pula vaksin polio oral maupun suntikan
(inaktif) dapat diberikan sebagai vaksin monovalen maupun kombinasi. Imunisasi
ulangan (penguat) vaksin campak diberikan pada saat masuk sekolah dasar,
namun apabila telah diberikan MMR pada umur setelah 15 bulan maka
ulangan campak tidak diperlukan lagi.
154 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Bab V-1
Tuberkulosis
Nastiti N.Rahajoe

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan


Mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paruparu,
tetapi dapat juga mengenai organ-organ lainnya seperti selaput otak,
tulang, kelenjar superfisialis, dan lain-lain. Seseorang yang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit tuberkulosis aktif.
Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi Mycobacterium tuberculosis
terjadi respons imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji
tuberkulin.

Epidemiologi

WHO report on tuberculosis epidemics tahun 1997 memperkirakan


terdapat 7.433.000 kasus TB di dunia dan terbanyak di Asia Tenggara.
Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakan tiga besar di dunia.
Berdasarkan Survei 1979-1982 didapat prevalensi TB BTA (+) sebesar
0,29%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986
mendapatkan bahwa TB adalah penyebab kematian ke empat. Sementara
itu, SKRT 1992 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab
kematian ke dua di negara kita, sesudah penyakit kardiovaskular. Dari
penelitian di 6 propinsi antara tahun 1983 – 1993 diperoleh angka prevalensi
antara 0,21% (DI Yogyakarta) dan 0,65% (NTB dan DI Aceh). WHO
memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian
akibat TB, dan terdapat 450.000 kasus TB baru setiap tahunnya. Tiga
perempat dari kasus TB ini berusia 15-49 tahun, separuhnya tidak terdiagnosis
danbarusebagiankasustercakupdalamprogrampemberantasan tuberkulosis
yang dilaksanakan pemerintah.

155 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Berdasarkan perhitungan DALY (disability adjusted life year) yang
diperkenalkan oleh world bank, TB merupakan 7,87% dari total disease
burden di Indonesia. Angka 7,7% ini lebih tinggi dari berbagai negara di Asia
lain sekitar 4%.
Belum diketahui prevalens TB pada anak., namun di berbagai rumah sakit
di Indonesia angka perawatan TB berat (TB milier, meningitis TB) masih
tinggi.

Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari


Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga
didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.
Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin. Masih banyak
perbedaan pendapat mengenai sensitivitas terhadap tuberkulin yang terjadi
berkaitan denganimunitasyang terjadi.
 Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG buatan PT. Biofarma
Bandung. Vaksin BCG berisi suspensi M. bovis hidup yang sudah
dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi
mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB
dan tuberkulosis milier.
 VaksinBCGdiberikan pada umur<2 bulan,sebaiknyapadaanakdengan
uji Mantoux (tuberkulin) negatif.
 Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan. Efek
proteksi bervariasi antara 0–80%, berhubungan dengan berhubungan dengan
beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan
Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan
lain-lain).
 Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml
untuk bayi baru lahir.
 Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu
2-8° C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus
dipergunakan dalam waktu 8 jam.

156 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tuberkulosis

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksinasi BCG


Penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus lokal
yang superfisial 3 minggu setelah penyuntikan. Ulkus tertutup krusta, akan
sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8
mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun
apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke
dalam (retracted).

 Limfadenitis

Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai


setelah penyuntikan BCG. Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan
galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak
perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula
maka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti
tuberkulosis oral. Pemberian obat anti tuberkulosis sistemik tidak
efektif.

 BCG-itis diseminasi

BCG-itis diseminasi jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan


imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis,
lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan
kombinasi obat anti tuberkulosis.

Kontraindikasi BCG
 Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
 Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
 Menderita gizi buruk,

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 157


Nastiti N. Rahajoe
 Menderita demam tinggi,

158 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


 Menderita infeksi kulit yang luas,
 Pernah sakit tuberkulosis,
 Kehamilan.

Rekomendasi
 BCG diberikan pada bayi <2 bulan
 Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan
asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien
kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.

BCGjangandiberikan padabayiatauanak dengan imunodefisiensi, misalnya


HIV, gizi buruk dan lain-lain.

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Gerakan terpadu nasional penanggulangan
tuberkulosis nasional (Gerdunas TB). Jakarta: Depkes & Kesos, 2000.
2. Global tuberculosis control - surveillance, planning, financing. WHO Report 2006.
WHO/HTM/TB/2006.362 (http://www.who.int/tb/publications /global_report/2006/
pdf/full_report_correctedversion.pdf).
3. CDC. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in health-care
settings, 2005. MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-17).
4. CDC. Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious tuberculosis:
Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and CDC —
MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-15):1-37.
5. WHO. Tuberculosis and Air Travel: Guidelines for Prevention and Control (second edition). WHO
2006. WHO/HTM/TB/2006.363 (http://whqlibdoc.who.int/hq/2006/
WHO_HTM_TB_2006.363_eng.pdf)
6. CDC. The Role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the
United States. (ACET and ACIP). MMWR Recomm Rep. 1996;45(RR-4).
7. American Thoracic Society, CDC, and Infectious Disease Society of America. Treatment
of tuberculosis. MMWR Recommendation Report. 2003;52(RR-11).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 159


Nastiti N. Rahajoe

Bab V-2
Hepatitis B (editing oleh Hartono
Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta


kematian/tahun. Saat ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta
kasus baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95%
akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau
karsinoma hepatoselular (KHS). Di negara endemis, 80% KHS disebabkan
oleh VHB. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Di lain
pihak, terapi antivirus belum mernuaskan, terlebih pada pengidap yang
terinfeksisecaravertikal atau pada usia dini.
Di kawasan yang prevalens infeksi VHBnya tinggi, infeksi terjadi pada
awal masa kanak-kanak baik secara vertikal maupun horisontal. OIeh karena
itu, kebijakan utama tata laksana VHB adalah memotong jalur transmisi sedini
mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan upaya yang paling
efektif dalarnmenurunkanprevalens VHB dan KHS.

Epidemiologi
Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HBsAg
pada donor (1994) adalah 9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada Ibu hamil
3.6% (2.1 -6.7%). (tambah data prevalensi Hep B Julitasari

Pen u laran (+ transmisi vertikal)

Semua orang yang mengandung HBsAg positif potensial infeksius. Transmisi


terjadi melalui kontak perkutaneus atau parenteral, dan melalui hubungan
seksual.Transmisiantaranakmerupakanmodus

160 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

yang sering terjadi di negara endemis VHB.


VHB dapat melekat dan bertahan di permukaan suatu benda selama kurang
lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular. Darah bersifat infeksius beberapa
minggu sebelum awitan, menetap selama fase akut berlangsung. Daya tular
pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila HBeAg positif.

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB

Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau


yang tidak memiliki antibodi anti-HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko
kronisitas dipengaruhi oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi.
Kronisitas dialami oleh 90% bayi yang terinfeksi saat lahir, oleh 25-50%
anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun, dan oleh 1-5% anak besar dan orang
dewasa.Infeksi VHB juga umumnya akan menjadi kronis bila mengenai pada
individu dengan defisiensi imun, baik kongenital maupun didapat (infeksi
HIV, terapi imunosupresi, hemodialisis).

Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive. Secara
garis besar, upaya pencegahan terdiri dan preventif umum dan khusus
yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.

Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup
sterilisasi instrumen kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum
disposable ke tempat khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga
medis. Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex, penggunaan jarum
suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir),
menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3,
terutama ibu risiko tinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah
hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan
seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien VHB, kontak
seksual dengan pasien VHB).

161 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Khusus. Program imunisasi


universal bayi baru lahir berhasil menurunkan prevalens infeksi VHB dan
KHS diTaiwan,Gambia,Alaska, Polynesia.

Imunisasi Pasif

Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera


memberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6
bulan).1,5,14
HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick injury,
kontak seksual, bayi dan ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau ke mata).
Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya
berlangsung lama.

Tabel 5.1. Kebijakan imunisasi pada needle stick injury

Kontak yg Tatalaksana bila sumber penularan


terpapar
HBsAg (+)) HBsAg
Imunisasi (-) HBIg & vaksin atau Vaksin atau periksa
Periksa anti HBs bila anti HBs bila tergolong
tergolong risiko tinggi * risiko tinggi
Imunisasi (+) Tidak perlu profilaksis Tidak perlu profilaksis
Responder
Imunisasi (+) Non HBIg 2x (jarak 1 bulan) Bila sumber penularan
responder atau risiko tinggi VHB,
HBIg & vaksin perlakukan seperti HBsAg
+ (*)
Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam 48 jam pertama setelah kontak

Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif, maka


22%-31% kontak mengalami hepatitis akut dan 37%-61% mengalami
sero-evidence infeksi VHB (Tabel 5.1). Kebijakan kontak seksual
tergantung kondisi sumber penularan (Tabel 5.2).

162 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Tabel 5.2. Kebijakan imunisasi pada kontak seksual


Kontak yg Sumber Penularan : Sumber Penularan:
terpapar VHB Akut Carrier
Imunisasi (-) atau HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg dan Vaksin atau
anti HBs HBIg vaksin atau periksa anti HBs bila
Periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi
risiko tinggi
Imunisasi (+) Tidak periu profilaksis Tidak perlu profilaksis

Lupa : periksa Anti HBs(-): Anti HBs(-):


anti HBs HBIg & vaksin HBIg & vaksin
Keterangan: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak
terakhir

Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi
tubuh berbeda, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya
(85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas. Bila yang diberikan
hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%.

Imunisasi aktif

Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan Pemberian ketiga seri
vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan
terbentuknya respons protektif (anti HBs ≥ 10 mIU/mL) pada > 90%
dewasa, bayi, anak dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neona tus dan bayi
diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan
dewasa, diberikan di regio deltoid.
Siapa yang harus mendapat imunisasi hepatitis B?
 Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu
 Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
 Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
 Pasien hemodialisis

163 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

 Pasien koagulopati
yang membutuhkan transfusi berulang
 Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat
hubungan seksual
 Drug users
 Homosexuals, bisexual, heterosexuals

Jadwal dan dosis. Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat


fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam
program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang
perlu diingat.
 Minimal diberikan sebanyak 3 kali
 Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
 Jadwalimunisasiyang dianjurkan adalah0,1,6 bulan karenarespons
antibodi paling optimal
 Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan.
Memperpanjang interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan
mempengaruhi imunogenisitas atau titer antibodi sesudah
imunisasi selesai (dosis ketiga).
 Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan
dosis booster. Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua
dengan imunisasi ketiga (4 - 12 bulan), semakin tinggi titer
antibodinya.
 Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan
imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan
jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua.
 Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah
memungkinkan.
Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menen tukan dosis
sesuai umur (age-specific dose) yang dapat menim bulkan respons antibodi yang
optimum. Oleh karena itu, dosis yang direkomendasikan bervariasi tergantung
produk danusiaresipien.Sedangkandosis padabayi, dipengaruhi pula oleh
status HBsAg ibu.
Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau
penambahan jumlah suntikan.

164 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hepa
titis B

Tabel 5.3. Imunisasi hepatitits B pada bayi baru lahir.


HBsAg ibu Imunisasi keterangan

Positif HBIg (0.5 ml) dan Dosis 1: <12 jam


Vaksin HB pertama
Negatif atau Vaksin HB Dosis I: Segera setelah
tidak diketahui* lahir
Status HBV ibu semula
tidak diketahui
tetapi bila dalam 7 hari
terbukti ibu
HBV, segera beri HBIg
Pada pasien koagulopati penyuntikan segera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi,
dengan jarum kecil (no ≤ 23). tempat penyuntikan ditekan minimal 2 menit.

Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia
2 bulan atau berat badan sudah mencapal 2 kg.

Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak atau


remaja yang belum pernah diimunisasi atau terlambat > dari 1 bulan dari
jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up
ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis pertama dan
kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu
atau16 minggu sesudahdosispentama.19

Efektivitas, lama proteksi. Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB


adalah 90%-95%. Memori sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun
pasca imunisasi sehingga pada anak normal, tidak dianjurkan untuk
imunisasi booster.5,12,17,18
Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal
dan mungkin hanya berlangsung selama titer anti HBs ≥ 10 mIU/ml.
Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan anti HBs
setiap tahun dan booster diberikan bila anti HBs turun menjadi <10
mIU/ml.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 165


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Non responder. Mereka yang


tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer, diberikan vaksinasi
tambahan (kecuali bila HBsAg positif). Tambahan satu kali vaksinasi
menyebabkan 15%-25% non responder memberikan respons antibodi yang
adekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat memben
tuk antibodi yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak
terjadiserokonversi, tidak perlu imunisasi tambahan lagi.

Uji serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pas-ca


imunisasi tidak dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada
yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan dan individu berisiko
tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi pas-ca irnunisasi perlu dilakukan
pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang memperoleh profilaksis
pasca paparan, dan pasien imunokompromis. Uji serologis, pasca imunisasi
ini dilakukan 1 bulan sesudah imunisasi ke-3.

Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang
ringan dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan
demam ringan untuk 1-2 hari.

Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian
vaksin VHB. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.

Daftar Pustaka

1. WHO. Department of Communicable Diseases Surveillance and Response. Hepatitis B. 2002.

0. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver Disease in
children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509.
1. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB, Halsey NA,
Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the committee on infectious
diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63.
2. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol 2001; 34 (6):
1225 -41.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 166


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

5. CDC.Recommendedchildhoodandadolescent
immunizationschedule. MMWR2003,52(4): Q1-4.
6. MastE, MahoneyF,KaneM, et al.Hepatitis B vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, editors.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
7. CDC. Updated U.S. Public Health Service guidelines for the management of occupational
exposures to HBV, HCV and HIV and recommendations for postexposure prophylaxis. MMWR
Morbidity Mortality Weekly Report. 2001;50(RR-11):1-54.
0. CDC. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis B Virus
Infection in the United States. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) Part 1: Immunization of Infants, Children, and Adolescents. MMWR Morbidity
Mortality Weekly Report. 2005;54(RR16);1-23
8. European Consensus Group on Hepatitis B Immunity. Are booster immunisations needed for
lifelong hepatitis B immunity? Lancet. 2000;355:561-5.
9. Lok AS, McMahon BJ; Practice Guidelines Committee, American Association for the Study of Liver
Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.
2004:39:857-61.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 167


Bab V-3
Difteria, Tetanus, Pertusis (DTP)
Alan Tumbelaka + Ismoedijanto

Difteria
Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal
dari bahasa Yunani cfyo/jferayang berarti leather hide. Penyakit ini
diperkenalkan pertama kali oleh Hyppocrates pada abad ke 5 SM dan epidemi
pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama
kali pada pseudo membran pasien difteria tahun 1883 oleh Klebs. Anti-toksin
ditemukan pertama kali pada akhir abad ke 19 sedang toksoid dibuat
sekitar tahun 1920.
Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi toksin
terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag
yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya galur toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3 galur bakteri yaitu, gravis,
intermedius dan mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin, tipe gravis
adalah yang paling virulen.
Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan
kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat
sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan
terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas.
Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam
aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat
komplikasi berupa miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan
proteinuria.
Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian
merupakan akibat langsung dari toksin difteria. Beratnya penyakit dan
komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainan lokal.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 168


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Angka kematian difteria sangat tinggi, dan kematian tertinggi pada


kelompok usia di bawah lima tahun. (data di Indonesia ?)
Anti-toksin untuk difteria pertama kali dibuat dari serum kuda di
Amerika Serikat pada tahun 1891. Pemberian antitoksin ini dimaksudkan
untuk mengikat toksin yang beredar dalam darah, dan tidak dapat
menetralisasi toksin yang sudah terikat pada jaringan tertentu. Pasien
dengan dugaan difteria harus segera mendapatkan pengobatan antitoksin
dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan teknik isolasi
ketat. Terapi penunjang untuk membantu pernafasan dan pembebasan jalan
perlu diberikansegerabila diperlukan.

Pertusis
Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Ledakan kasus pertusis
pertama kali terjadi sekitar abad 16, menurut laporan Guillaume De Baillou
pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu baru dapat diisolasi pada tahun
1906 oleh Jules Bordet dan Octave Gengou. Sebelum ditemukan vaksinnya,
pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan
merupakan penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000
kematian terjadi setiap tahun).
Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif
dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Kuman ini
menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin pertusis (PT),filament
hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen fimbriae, adenil siklase,
endotoksin, dan trakea sitotoksin. Produk toksin ini berperan dalam
terjadinya penyakit pertusis dan kekebalan terhadap satu atau lebih
komponen toksin tersebut akan menyebabkan serangan penyakit yang
ringan (label 13). Terdapat bukti bahwa kekebalan terhadap B. pertussis
tidak bersifat permanen.

169 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated, toksin


yang dihasilkan (melekat pada bulu getar saluran nafas atas) akan
melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga menyebabkan gangguan
aliran sekret saluran pernafasan, berpotensi menyebabkan sumbatan jalan
napas dan pneumonia.

Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis

Komponen
toksinAktifitas biologik Peran antibodi
Pertusis toxin Memproduksi eksotoksin Mencegah kerusakan saluran
(PT) Sensitisasi histamin nafas dan intraserebral
pada binatang percobaan.
Mencegah gejala klinis pada
Limfositosis
Aktifasi sel pankreas
Merangsang sistem
imun
Filamentous Memegang peran untuk Mencegah kerusakan saluran
hemagglutinin melekatnya B. pertussis nafas tetapi tidak berperan
(FHA) pada sel epitel saluran intra serebral pada binatang
nafas percobaan
Pertactine 69- Nonfimbrial Memicu pencegahan
kDa OMP agglutinogen, infeksi pada saluran nafas
berhubungan dengan oleh 6. pertussis (binatang
kerja adenylcyclase percobaan)
Memicu pencegahan
Aglutinogen Surface antigen infeksi pada saluran nafas
berhubungan dengan oleh B. pertussis (binatang
fimbriae untuk melekatnya percobaan)
B. pertussis pada sel epitel

Adenylcyclase Menghambat fungsi Belum diketahui


fagositosis
Tracheal Menyebabkan ciliary Belum diketahui
cytotoxin stasis dan cytopathic
effects pada mukosa
trakea
Sumber: Centre for Disease Control, 1994.

170 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Difteria, Pertusis,
Tetanus

Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir


dalam saluran nafas akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh
yang berakibat terjadinya batuk paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri
dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk seperti ini, pasien akan muntah
dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang. Keadaan ini dapat berlanjut
antara 1 sampai 10 minggu. Bayi di bawah 6 bulan dapat menderita batuk
namuntanpa disertai suara whoop.
Bayi dan anak prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk terkena
pertusis termasuk komplikasinya. Komplikasi utama yang sering ditemukan
adalah pneumonia bakterial, gangguan neurologis berupa kejang dan
ensefalopati akibat hipoksia. Komplikasi ringan yang sering ditemukan
adalah otitis media, anoreksia, dehidrasi, dan juga akibat tekanan
intraabdominal yang meningkat saat batuk antara lain epistaksis,
hernia, perdarahan konjungtiva, pneumotoraks dan lainnya.
Pengobatan pertusis secara kausal dapat dilakukan dengan antibiotik
khususnya eritromisin, dan pengobatan suportif terhadap gejala batuk
yang berat. Pemberian pengobatan eritromisin untuk pencegahan
pada kontak pertusis dapat dilakukan untuk mengurangi penularan.

Tetanus

Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan oleh
eksotoksin yang diproduksi bakteri Clostridium tetani. Gejala
tetanus sudah mulai dikenal sejak abad ke 5 SM, namun baru pada tahun
1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien
tetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone. Pembuktian bahwa
toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasato
(1889), sedang Nocard (1897) mendemonstrasikan efek dari transfer
pasif anti toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif selama
perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan pada tahun 1924
oleh

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 171


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Descombey dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada perang


dunia ke II.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat
anaerobik, gram positif yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk
drumstick. Kuman ini sensitif terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup
dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas,
dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Spora tetanus dapat tetap hidup
dalam autoklaf bersuhu 121 °C selama 10-15 menit. Kuman tetanus
terdapat di dalam kotoran dan debu jalan, usus dan tinja kuda,domba, anjing,
kucing, tikus dan lainnya. Kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia
melalui luka dan dalam suasana anaerob, kemudian menghasilkan toksin
(tetanospasmin) dan disebarkan melalui darah dan limfe. Toksin tetanus
kemudian akan menempel pada reseptor di sistem syaraf. Gejalautama
penyakit initimbul akibat toksin tetanus mempengaruhi pelepasan
neurotransmitter, yang berakibat penghambatan impuls inhibisi. Akibatnya
terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan
gangguan sistim syaraf otonom.
Tetanus selain dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus
tetanus neonatal yang bersifat fatal. Komplikasi tetanus yang sering terjadi
antara lain laringospasme, infeksi nosokomial, dan pneumonia ortostatik.
Pada anak besar sering terjadi hiperpireksi yang merupakan tanda tetanus
berat. Perawatan luka, kesehatan gigi, telinga (OMSK) merupakan
pencegahan utama terjadinya tetanus disamping imunisasi terhadap
tetanus baikaktif maupun pasif.

Vaksin DTP

Toksoid difteria

Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anaktahun 1891 dan


diproduksi secara komersial tahun 1892. Penggunaan kuda sebagai sumber
anti toksin dimulai tahun 1894. Pada mulanya anti toksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 172


Difteria, Pertusis,
Tetanus

difteria ini digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai


pencegahan diragukan. Banyak penelitian membuktikan bahwa efikasi
pemberian anti toksin untuk pengobatan difteria terutama dengan
mencegah terjadinya toksisitas terhadap kardiovaskular. Pemberian
antitoksin dini sangat mempengaruhi angka kematian akibat difteria, sesuai
laporan bahwa 1%-4% kematian terjadi pada kelompok yang menerima
antitoksin pada hari pertama dibandingkan dengan 15%-20% kematian pada
kelompok yang mendapatkan antitoksin pada hari ke-7 atau lebih. Era
pencegahan difteria dimulai dengan membuat kombinasi toksin dan
antitoksinsebagai ramuan imunisasi, yang ternyata tidak efektif.

Vaksinasi DTP

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria


(alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan toksoid
tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP.

Vaksin DTP

Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan
kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria.
Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini
berkisarantara6,7-25Lf dalam dosis 0,5 ml.

Jadwal
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis
pada usia 2, 4, 6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis
ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3.
Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian
vaksin pertusis

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 173


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata


memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif0.01
IU).Dalampenelitianterhadapbayiyangmendapatkanimunisasi DPT di Jakarta,
I Made Setiawan (1992) melaporkan bahwa (1) 71% - 94% bayi saat imunisasi
pertama belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria, (2) pasca
DTP 3 kali didapatkan 68% - 81% telah memiliki kadar antibodi protektif
terhadap difteria denganrata-rata 0.0378 Ill/ml. Dalam laporan program
pengembangan imunisasi, tahun 2003 didapatkan 98,45% bayi mempunyai
antibodi 0,1545 (0,1229-0,1936) setelah mendapat DTP-3. Lama kekebalan
sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan
masalah yang penting diperhatikan. Beberapa penelitian serologik
membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu
dan perlunya penguatan pada masa anak.

Tosoid difteria

Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan
karena selama ini pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan
atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi
lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa)sering ditemukanlebihbanyak
dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadian tersebut sangat
ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Untuk
menekan kejadian ikutan akibat hipereaktifitas terhadap toksoid difteria, telah
dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut,
yaitu (1) meningkatkan kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein yang
tidak perlu, (2) melarutkan toksoid dalam garam aluminium dan (3)
mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukup
efektif untuk mendapatkan imunitas.

Toksoid Pertusis

Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat


ditemukandalamserumneonatusdengankonsentrasisamadengan

174 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Difteria, Pertusis,
Tetanus

ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan. Namun demikian antibodi ini
ternyata tidak memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis adalah
vaksin yang merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. Pada awalnya
vaksin ini sering tercemar dengan campuran mikroflora saluran nafas
lainnya. Vaksin wP (whole-cell pertussis) awalnya dibuat di Amerika Serikat
dengan standar yang berbeda-beda pada tiap pabrik. Umumnya vaksin
pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteria dan tetanus
(DTP). Campuran DTP ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak
1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan menggunakan
fraksi sel (aselular)yang bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata
memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat
dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris. Di Jepang telah dimulai
upaya untuk memurnikan vaksin pertusis dengan hanya mengambil
komponen toksin yaitu FHA, pertactine, pertussis train dan aglutinogen
untuk membuat vaksin pertusis aselular. Vaksin ini telah dipakai sejak
1981 di Jepang dengan hasil baik.

Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP


 Reaksilokal kemerahan,bengkak,dan nyeripada lokasiinjeksiterjadi
pada separuh (42,9%) penerima DTP.
 Proporsi demam ringan dengan reaksi lokal sama dan 2,2% di
antaranya dapat mengalami hiperpireksia.
 Anakgelisah dan menangisterusmenerus selamabeberapajam pasca
suntikan (inconsolable crying).
 Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam (0,06%) sesudah
vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi.
 Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut
atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 175


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

pemberian vaksin pertusis (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP

Derajat Gejala klinis Resipien (%)

Ringan Reaksi lokal 10-50


Demam >38,5o C 10-50
Iritabel, lesu, sistemik 25-55
Berat Gejala klinis Onset
interval Per dosis Per juta
dosis
Menangis >3 jam 0-24 jam 1/5-1.000 1.000-
(inconsolable crying) 60.000
Kejang 0-2 hari 1/1750-12.500 80-570
Hypotonic hyporesponsive 0-24 jam 1/1000-33.000 30-990
Reaksi anafilaktik 1-1 1/50.000 20
Ensefalopati jam 1/50.000 20
1-2
hari

Indikasi kontra
Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak
terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu
 Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya
 Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya
 Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus
(precaution). Misalnya sebelum pemberian vaksin pertusis
berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat
hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak
menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari
sesudah imunisasi DTP.
Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak
berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan
pasca imunisasi, atau alergi terhadap vaksin bukanlah
suatu indikasi kontra terhadap pemberianvaksin DTaP. Walaupun
demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus

176 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan


keuntungan dan risiko pemberiannya.
Telah dibuktikan dalam penelitian, bahwa respons antibodi terhadap
imunisasi dasar dengan vaksin pertusis whole cell tergantung pada
kadar antibodi maternal yang didapat dari ibu. Sebaliknya respons yang
diperoleh setelah penyuntikan vaksin aselular memberikan hasil baik dan
tidak dipengaruhi oleh kadar antibodi maternal pravaksinasi. Made Setiawan
(1992) melaporkan serokonversi antibodi protektif terhadap pertusis pada
65,8% bayi setelah mendapat imunisasi DTP 3 kali, sedang peneliti lain di
Indonesia menemukan angka dengan kisaran 70%-80%.

Vaksin Pertusis a-seluler


Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen
spesifik toksin dari Bordettellapertusisyanq dipilih sebagai dasar yang
berguna dalam patogenesis pertusis dan perannya dalam memicu
antibodi yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara
klinis.

Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular

 Vaksin DTwP telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat ini
walaupun mempunyai efek samping baik lokal maupun sistemik. Adanya
data kejadian ikutan pasca imunisasi gejala susunan syaraf pusat yang
serius(termasukensefalopati)yang bersifat temporal association.
 VaksinDTaP (pertusis aselular) dapatmemberikanimunogenisitas
terhadap anti PT, anti FHA, dan anti pertactine sama baiknya dengan
DTwP dalam berbagai jadwal imunisasi. Respons antibodi juga
tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan pada umur
15-18 bulan dan 5-6 tahun.

177 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

 Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih
rendah daripada DTwP.
Tabel 5.6. KIPI sistemik (per 1.000 dosis) vaksinasi DTwP dan DtaP

Gejala KIPI DTaP DTwP

Pembengkakan 90 260
Nyeri lokal 46 297
Iritabel 300 499
Demam > 38.0oC 72 406
> 40.0oC 0,36 2,4
Menangis > 3 jam 0,44 4,0
Hypotonic hyporesponsive 0,07 0,67
Sianosis - 0,15
Kejang 0,07 0,22

Sumber: Greco, dkk. N Engl J Med, 1996

Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP

Vaksin Dosis Kejadian ikutan pasca imunisasi (%)

Nyeri Kemerahan Bengkak De m a m De m a m


>2 cm >2 cm >38,5OC >39oC
DTaP 1275 2,5 0,1 0 9,9 0,2
DTwP 455 19,1 1,1 1,3 42,2 1,3

Sumber: Wiersbitzsky S., dkk. Euro J Ped, 1993

 Di lain pihak, saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan
imunisasi pertusis tinggi masih melaporkan pasien pertusis.
Kemungkinan hal tersebut disebabkan orang dewasa yang non-imun
terhadap pertusis sebagai sumber penularan pada anak.
 Vaksin DTwPdanDTaP dapat dipergunakansecaraoergantian
(interchangable) apabila keadaan mendesak
 Vaksin DTwP dan DTaP dapat pula diberikan dalam bentuk vaksin
kombinasi (Bab VIII Vaksin Kombinasi).

178 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Difteria, Pertusis,
Tetanus

Toksoid Tetanus (TT)

Dosis dan kemasan

 Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU


dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid
difteria dan vaksin pertusis.
 Berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi
dengan toksoid difteria dan atau pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan
kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan hepatitis B.
 Sebagaimana toksoid lainnya, pemberian toksoid tetanus
memerlukan pemberian berseri untuk menimbulkan dan mempertahankan
imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian
ternyata terlambat, sebab sudah terbukti bahwa respons imun yang
diperoleh walaupun dengan interval yang panjang adalah sama dengan
interval yang pendek. Respons imun atau efikasi vaksin ini cukup
baik.
 Ibu yang mendapatkan TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan
proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal.
Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi
proteksi terhadap bayinya.

Jadwal

 Pemberian TT yang diberikan bersama DTP diberikan sesuai jadwal


imunisasi.
 Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali mencapai 0,01 IU
atau lebih, hal ini juga terbukti pada penelitian bayi-bayi di Indonesia.
 Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal, sangat
dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen
lain dalam kombinasi vaksin itu.

179 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

 DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6
minggu, disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak
optimal, sedang respons terhadap toksoid tetanus dan difteria cukup
baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal.

DT dan dT, Tdap


 Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap
vaksin pertusis, antara lain riwayat anafilaksis atau ensefalopati pada
pemberian sebelumnya. Hati-hati bila pada pemberian DTP
sebelumnya ada riwayat: hiperpireksia, hipotonik-hiporesponsif dalam
48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam atau lebih dan
riwayat kejang dalam 3 hari sesudah pemberian DTP.
 Vaksin dT (adult type) mengandung toksoid difteri yang lebih rendah
(4 Lf) daripada vaksin DTP (40 Lf), tetapi toksoid tetanusnya sama (15
Lf). Vaksin dT dianjurkan untuk anak umur lebih dari 7 tahun, untuk
memperkecilkemungkinan KIPIkarenatoksoid difteri.

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization. Dalam: Watson
C,penyunting.The Australian Immunisation Handbook.Edisi ke-9.Canberra: NHMRC 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, eds.
Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2006:277–81.
3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2004;53:46.
4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system: 2005
global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.
5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect Dis.
2000;181(suppl 1):S2-9.
6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.

180 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

7. CDC. General recommendations on immunizations: recommendations of the Advisory Committee


on Immunization Practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP).
MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR-2):1–35.
0. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus toxoid,
reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines: recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recommm Rep. 2006;55(RR-3):1–50.
8. CDC. ACIP Votes to Recommend Use of Combined Tetanus, Diphtheria and Pertussis (Tdap) Vaccine
for Adults. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/nip/vaccine/tdap/ tdap_adult_recs.pdf.
9. Wassilak SGF, Roper MH, Murphy TV, Orenstein WA. Tetanus toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA,
eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.; 2004:745- 81.

10. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, Cortese MM, Murphy TV. Tetanus surveillance – United
States, 1998-2000. MMWR Surveill Summ 2003;52(SS-3):1-8.
11. Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurian M, Shaw C, Garnier S. Tetanus in developing
countries: an update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination Initiative. Vaccine.
2003;21:3442-5.
1. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus toxoid,
reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines. Recommendations of the Advisory
Committeeon Immunization Practices(ACIP). MMWRRecommRep. 2006;55(RR-3):1-34.
12. American Academy of Pediatrics. Pertussis. In: Pickering LK, editor. Red book: 2003 report of the
Committee on Infectious Disease. 26thed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003. p. 498-520.

13. Edwards KM, Decker MD. Pertussis Vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th
ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:471-528.
14. CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and posteexposure prophylaxis of
pertussis: 2005 CDC guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR14):1-16.
17. Vademicum PT Bio Farma, 1997.

181 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V-4
Po l i o m i e l i t i s (+ I P V + ja d w a l
OP V / I P V )
Hariyono Suyitno + Ismoedijanto

Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin
yang berarti medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus
poliomyelitis pada medula spinalis yang secara klasik menimbulkan
kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yang berasal dari Inggris
pertama kali menulis tentang kelumpuhan anggota badan bagian bawah
(ekstremitis inferior) pada anak, yang kemudian dikenal sebagai
poliomielitis. Pada permulaan abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di
Eropa dan beberapa tahun kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat
itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim panas dan gugur. Pada
tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat
lebih dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara
drastis menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di
Amerika Serikat kasus terakhir virus polio liar ditemukan pada tahun 1979.
Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral polio vaccine
(OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun
1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).

Etiologi
Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili
Picornaviridae. Dikenal tiga macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3.
Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena panas, formaldehid,
klorin dan sinar ultraviolet.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 182


Hariyono Suyitno

Epidem
iologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi
virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negaranegara Barat,
eliminasi polio sejak tahun 1991. Program eradikasi polio global secara
dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia, kecuali
beberapa negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus polio liar
yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada
manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala.
Namun tidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali
padaorang yang menderita defisien sistem imun.
Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal.
Pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus
mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis
tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular,
pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat
serokonversi lebih dari 90%. Kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10
hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat
ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.

Eradikasi Polio (ERAPO)


Keinginan melaksanakan eradikasi polio secara global dimulai saat pertemuan
anggota WHO pada tahun 1988 yang mencanangkan bebas penyakit polio
tahun 2000. Dalam program ERAPO ini, pemerintah Indonesia membuat
kebijaksanaan dengan mengambil strategi,
 meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutin
 melaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN)
 melakukan moppingup didaerah-daerahyang masihdijumpai
transmisi virus polio liar (wild virus) dan
 melaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh layuh)
yang mantap.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 183


Hariyono Suyitno

Dat
a dari Depkes secara nasional memang menunjukkan bahwa cakupan OPV
dapat dipertahankan pada tingkat 80%, namun di daerah-daerah
konflik dan terpencil cakupan imunisasinya rendah.
 Pekan Imunisasi Nasional (PIN) telah dilaksanakan berturutturut, yaitu
tahun 1995, 1996, 1997, 2002 yang dengan berhasil mencakup 100%
target sekitar 20 juta balita pada tiap NID. Pada hari PIN tersebut
telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh
Indonesia.
 Setelah PIN, kasus polio menurun drastis; laporan terakhir
menunjukkan bahwa dari pemeriksaan laboratorium hanya
ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1, 2, dan 3) pada
tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan virus polio
liar.
 Di daerah-daerah yang diduga terjadi transmisi polio liar telah
dilakukan mopping up pada tahun 1998 meliputi 52 kecamatan dan
pada tahun 1997 mencakup 5 kecamatan. Disamping itu masih
dilakukan PIN terbatas. Tahun 2001 di 5 provinsi dan 10 kecamatan
yang surveilans AFP-nya rendah.
 Surveilans AFP dimulai tahun 1995 yang berusaha menemukan semua
kasus AFP pada anak di bawah 15 tahun untuk diidentifikasi dan
dilaporkan, yang kemudian tinjanya diambil dalam waktu 24 jam untuk
diperiksa. Kualitas surveilans dari tahun ke tahun terus meningkat
dengan AFP rate lebih dari 1, namun tahun 2000 turun menjadi 0,90
dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 0,83. Hal ini sebagai dampak
situasipolitik dan sosial ekonomi saat itu yang tidak stabil.
 Pemantauan tinja menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai
saat ini tidak ditemukan lagi virus polio liar. Maka secara virologis
Indonesia telah bebas polio, namun hal ini belum cukup dan masih
harus melakukan surveilans AFP yang lebih baik. Hal ini berhasil
ditingkatkan, mulai tahun 2002 dan kemudian tahun 2003 AFP rate
meningkat kembali lebih dari 1.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 184


Poliomielitis

 Pa
da bulan Maret – 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB), yaitu kasus
lumpuh layuh pada anak laki-laki umur 20 bulan dari desa Giri
Jaya (kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi) yang belum pernah
mendapat imunisasi polio. Pada pemeriksaan tinja oleh
laboratorium Global Specific Laboratory (GSL) di Mumbai India,
menemukan virus polio liar (VPL) P1 dan merupakan strain
(galur) yang sama dengan strain (galur) virus Arab Saudi. Maka
disimpulkan bahwa VPL (virus polio liar) tersebut berasal dari luar
(impor).
 Dengan adanya KLB tersebut terjadi clustering kasus AFP karena
transmisi setempat; antara bulan Maret – April 2005, di desa-desa
sekitarnya dijumpai 13 anak dengan onset lumpuh layuh hampir
bersamaan
 Tahun 2005 merupakan tahunmunculnya kembalikasus polio (outbreak),
sejak Maret – Desember 2005 di seluruh Indonesia tercatat 303
kasusdenganVPLpositif,yangterbanyakpropinsiBanten dan Jawa Barat.
Tindakan untuk mengatasi ini ialah melakukan outbreak respons
immunization (ORI) di lokasi KLB, imunisasi mopping up di beberapa
desa/kecamatan berisiko, dan melaksanakan PIN sebanyak 5 putaran
(bulan Agustus, September, November 2005, dan bulan Februari, April
2006) serta melakukan Sub-Pin pada bulan Januari 2006 di seluruh
Indonesia.
 Dengan tindakan penanggulangan tersebut diatas telah berhasil
menekan kasus polio, yang sepanjang tahun 2006 ini hanya
ditemukan 2 kasus dengan VPL positif, yaitu di Aceh (NAD) dan di
Jawa Timur masing-masing satu kasus. Disamping kasus AFP yang
disebabkan oleh VPL dilaporkan pula lumpuh layuh akut yang
disebabkan oleh VDPV (virus derived polio vaccine) di Madura.

185 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Patog
enesis
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kaliterjadi
padatempatimplantasidalamfaringsdantraktusgastrointestinal. Virus tersebut
umumnya ditemukan di daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya
gejala. Satu minggu setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam
jumlah kecil di tenggorok, tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja
dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat,
masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf pusat.
Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior medula spinalis
dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan
manifestasi poliomielitis yang spesifik.

Gambaran klinis

Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari dengan


kisaran 3-35 hari. Respons terhadap infeksi virus polio sangat
bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk manifestasi
klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio termasuk sub-klinis
tanpa gejala atau asimtomatis. Menurut estimasi rasio penyakit yang
tanpa gejala terhadap penyakit yang paralitik bervariasi dari 50: 1
sampai 1000: 1 (rata-rata 200 : 1). Pasien yang terkena infeksi tanpa
gejala mengeluarkan virus bersama tinja dan dapat menularkan virus ke
orang lain. Sekitar 4% - 8% dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan
yang non spesifik tanpa bukti klinis atau laboratorium dari invasi dalam
sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitis abortif dengan ciri
khaspenyembuhan sempurnadanberlangsung kurangdari seminggu.

Meningitis aseptis non paralitik

Kejadianiniterjadipada1%–2 % dari infeksi polio,yang didahuluioleh gejala


prodomal penyakit ringan yang berlangsung beberapa

186 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Poliomielitis

hari.
Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung
dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh
sempurna.

Paralisis flaksid atau lumpuh layuh

Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala
kelayuhan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan
berlangsung 2-3 hari. Pada umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya
setelah suhu kembali normal. Pada fase prodromal dapat terjadi bifasik
terutama pada anak-anak dengan permulaan gejala ringan dipisahkan
oleh periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala
prodromal termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan
meningkatnya refleks tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan
spasme pada anggota tubuh dan punggung. Penyakit berlanjut dengan
paralisis flaksid disertai hilangnya refleks tendon dalam, keadaan ini
menetap sampai beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah
fase ini lewat, kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris
atau perubahan kesadaran. Banyak anak dengan poliomyelitis paralitik
dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali pada tingkat
tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya penyakit
pertama kali akan menderita dengan gejala sisa yang permanen.

Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok,


1. Polio spinal, yang paling sering terjadi (79%) dari kasus paralitik yang
tercatat dari tahun 1969–1979 di Amerika Serikat. Terjadi paralisis
asimetris yang sering pada tungkai bawah.
2. Polio bulbar, tercatat sekitar 2% dari semua kasus paralitik mengakibatkan
kelumpuhanotot-otot yangdilayani oleh sarafkranial
3. Polio bulbospinal, tercatat 19% dari kasus paralitik dan
merupakan kombinasi antara paralisis bulbar dan spinal.

187 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Diagn
osis laboratorium

 Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena
poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat
diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
 Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid akut
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara oligonucleotide
mapping (finger printing) atau genomic sequencing. Untuk menentukan
apakah virus tersebut termasuk virus liar atau virus vaksin.
 Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang
menetralisasi (neutralizing antibody) yang muncul awal dan mungkin
ditemukan meningkat tinggi pada saat penderita masuk rumah sakit
oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidak diketahui.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio,
umumnya terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, yang
sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein ringan dari 40
sampai 50 mg/100ml.

Vaksi n

Vaksin Virus Polio Oral (oral polio vaccine = OPV)


 Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma Bandung,
berisi virus polio tipe 1,2, dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup
tetapi sudah dilemahkan(attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan
jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiap dosis (2 tetes
= 0,1 ml) mengandung virus tipe 1: 106,0 CCID50, tipe 2: 105,0
CCID50 dan tipe 3 : 105,5 CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2
mcg, serta kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
 Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2
tetes oral. Virus vaksin ini kemudian menempatkan diri di usus dan
memacu pembentukan antibodi baik dalam darah

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 188


Poliomielitis

maupun
pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus
polio liar yang datang masuk kemudian. Dengan cara ini, maka frekuensi
eksresipolio virusliar dalam masyarakat dapat dikurangi.
 Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang masuk
bersamaan, maka sangat berguna untuk mengendalikan epidemi. Jenis
vaksin virus polio ini dapat bertahan dalam tinja sampai 6 minggu
setelah pemberian OPV.
 Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama
namun tiga dosis berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama
terhadap 3 tipe virus polio.
 Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC.
 Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi
disebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan
Departeman Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah
terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasa imunisasi masal)
harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHO membolehkan botol-botol
yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi
imunisasi,bilatigasyarat di bawah ini terpenuhi:
tanggal kadaluwarsa tidak terlampaui
vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2- 8oC)
botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah
dibuang oleh petugas Puskesmas.
 Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur
<-20oC. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara
ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, dijaga agar
warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda
(sebagai indikator pH).
 Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah
terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna
berubah dengan catatan dan tanggal kadaluwarsa harus selalu
diperhatikan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 189


Hariyono Suyitno

Vaksin
polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV)

 Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel


vero ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formaldehid. Pada vaksin
tersebut dijumpai dalam jumlah kecil selain formaldehid juga ada
neomisin, streptomisin dan polimiksin B.
 Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-80C dan
tidak boleh dibekukan.
 Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan
dalam tiga kali berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara
masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka panjang (mukosal
maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio.
 ImunitasmukosalyangditimbulkanolehIPVlebihrendahdibandingkan
dengan yang ditimbulkan oleh OPV.

Rekomendasi

Imunisasi primer bayi dan anak

 Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal,
sesuai dengan PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan
dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis
terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis
sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat
diberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib.
Bila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka
dosis tersebut perlu diulang.
 Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak
dengan imunosupresi dan kontak mereka yang dekat harus diimunisasi
dengan IPV.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 190


Poliomielitis

• Anak
yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus
vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak
yang belum diimunisasi. Untuk mereka yang berhubungan (kontak)
dengan bayi yang baru saja diberi OPV supaya menjaga kebersihan
dengan mencucitangan setelah mengganti popok bayi.

- Rekomendasi OPV + IPV : dalam masa transisi ERAPO .

Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi


Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum lengkap
vaksinasinya dan mendapat kontak anak-anak yang mendapat
vaksinasi OPV, harus ditawarkan vaksinasi dasar OPV pada waktu yang
bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini tidak boleh diberikan IPV,
mengingat risiko infeksi yang didapat dari anak dapat terjadi sebelum
antibodi terbentuk sebagai respons terhadap IPV. Kepada orang dewasa
yang telah mendapat imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi
penguat (booster). Interval minimal antara dua dosis vaksinasi dapat
diperpanjang dan dapat menyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang
lagi.

Imunisasi penguat (booster)

Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu


bersamaan pada saat dosis DPT diberikan sebagai penguat; dosis OPV
berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun atau sebelum
meninggalkan sekolah. Sejak tahun 2007 semua calon jemaah haji dan
umroh di bawah umur 15 tahun, harus mendapat 2 tetes OPV

Imunisasi polio untuk orang dewasa


Untuk orang dewasa, sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberi kan
3 dosis berturut-turut 2 tetes OPV dengan jarak 4-8 minggu. Semua
orang dewasa seharusnya divaksinasi terhadap poliomyelitis dan tidak
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 191
Hariyono Suyitno

boleh
ada yang tertinggal. Dosis penguat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 192


Poliomielitis

untuk
orangdewasa tidakdiperlukan,kecualimerekayangdalam risiko khusus,
misalnya
 Bepergian ke daerah-daerah yang poliomielitis masih endemis atau
saat terjadi epidemi
 Petugas-petugaskesehatanyangkemungkinan mendapat kontak
dengan kasus poliomyelitis.
Bagi mereka yang secara terus-menerus mengalami risiko infeksi,
dianjurkan diberikan dosis tunggal sebagai penguat 2 tetes setiap 10
tahun.

Vaksinasi untuk anak imunokompromais

Untuk mereka yang vaksin virus hidup merupakan indikasi kontra, misalnya
mereka dengan imunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka
IPV dapat digunakan sebagai vaksinasi terhadap poliomyelitis. Hal ini juga
dipakai untuk saudara-saudara anak imunokompromais dan anggota
keluarga yang mendapat kontak. Sebagai vaksinasi dasar, diberikan suntikan
IPV sebanyak 3 dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atau
intramuskular dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan
yang jadwalnya sama dengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-positif dan
anggota keluarga serumah yang mendapat kontak harus menerima IPV.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi
pada resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak
(VAPP=vaccine associated polio paralytic).
 Diperkirakan terdapat 1 kasus poliomielitis paralitik yang berkaitan
dengan vaksin terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV yang diberikan.
 Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding
dengan dosis-dosis berikutnya. Risiko yang relatif

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 193


Hariyono Suyitno

kecil
pada poliomielitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini tidak boleh
diremehkan, namun tidak cukup menjadi alasan untuk mengadakan
perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut
terbukti sangat berguna. Harus ditekankan bahwa kebersihan
terhadap kontak penerima vaksin yang baru adalah sangat
penting.
 Setelah vaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala
pusing, diare ringan, nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi
yang lain, semua gejala yang timbul setelah vaksinasi harus
dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.

Indikasi kontra
Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut,
 Penyakit akut atau demam (suhu >38.5oC), vaksinasi harus
ditunda,
 Muntah atau diare, vaksinasi ditunda,
 Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang
diberikan oral maupun suntikan, juga yang mendapat pengobatan
radiasi umum ( termasuk kontak dengan pasien),
 Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan
sistem retikuloendotelial (limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin)
dan yang mekanisme imunologisnya terganggu, misalnya pada
hipogamaglobulinemia,
 Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak,
 walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan,
OPV jangan diberikan kepada orang hamil pada 4 bulan pertama
kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak, misalnya bepergian
ke daerah endemis poliomyelitis,
 Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin
inactivated dan virus hidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi
jangan bersama vaksin oral tifoid,
 Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat

194 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Poliomielitis

p
emberianOPV,karenaOPVmemacuimunitaslokaldanpembentukan
antibodi dengan cara replikasi dalam usus,
 OPV dan IPVmengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin,
streptomisin) namun hal ini tidak merupakan indikasi kontra, kecuali
padaanakyang mempunyaibakat hipersensitif yang berlebihan,
 Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita
imunosupresi jangan diberikan IPV, jangan OPV.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Summaries of infectious diseases. Polio infections. Dalam:


Pickering LK., penyunting. 2000 Red Book: Report of the Committee On Infectious Diseases. Edisi
ke-25ElkGroveVillage: American AcademyofPediatrics, 2000.h.465-70.
0. Dept. Of Health, Republic of Indonesia, Subdirectorate of Epidemiology: AFP Surveilance
data Bulletin. 2006-2007.

1. Dep Kes Republik Indonesia: Achmad U. F. Dirjen PPM dan PL: Laporan KLB Polio Sukabumi,
2006.

2. Ismoediyanto M, Soebagyo, Endarwati L, Ratgono A. An outbreak of acute paralysis caused by VDPV


in Madura, Indonesia. ThirdAsian Congress of Pediatric Infectious Diseases, March, 2006
3. CDC. Poliomyelitis. In: Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S, eds. Epidemiology
and prevention of vaccine-preventable diseases. 9th ed. Washington, DC: Public Health
Foundation; 2006. p. 97-110.
4. Alexander LN, Seward JF, Santibanez TA, et al. Vaccine policy changes and
epidemiology of polio in the United States. JAMA. 2004;292:1696-701.
5. CDC. Imported vaccine-associated paralytic poliomyelitis — United States, 2005. MMWR
Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55;97-9.
6. CDC. Poliovirus infections in four unvaccinated children — Minnesota, August– October,
2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54;1053-5.
7. Kew OM, Sutter RW, de Gourville EM, Dowdle WR, Pallansch MA. Vaccine-derived polioviruses
and the endgame strategy for global polio eradication. Annu Rev Microbiol.
2005:59;587-635.
8. CDC. Update on vaccine-derived polioviruses. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2006;55:1093-7.
11. CDC. Resurgence of wild poliovirus type 1 transmission and consequences of importations —21
countries, 2002–2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:145-50.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 195


Hariyono Suyitno

12. CDC.
Progress toward interruption of wild poliovirus transmission— Worldwide, January
2005–March 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:458-62.
13. World Health Organization. Conclusions and recommendations of the Advisory Committee
onPoliomyelitis Eradication, Geneva 11–12 October 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2005;80;410-6.

196 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V-5
Campak
Soegeng Soegijanto + Harsono Salimo

Penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus


campak yang sangat menular pada anak-anak, ditandai dengan panas,
batuk, pilek, konjungtivitis dan ditemukan spesifik enantem (Koplik’s spot),
diikuti dengan erupsi makulopapular yang menyeluruh. Bertahun-tahun
kejadian penyakit campak terjadi pada anak-anak balita meminta banyak
korban tetapi masyarakat belum menyadari bahayanya; bahkan ada mitos
jangan memberikan obat apa saja pada penderita sebelum bercak-bercak
merah pada kulit keluar.
Bahaya penyulit penyakit campak di kemudian hari adalah (1) kurang gizi
sebagai akibat diare berulang dan berkepanjangan pasca campak; (2)
Sindrom subakut panensifilitis (SSPE) pada anak> 10 tahun; (3) Munculnya
gejala penyakit tuberkulosis paru yang lebih parah pasca mengidap penyakit
campak yang berat yangdisertaipneumonia.

Etiologi

Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus campak


termasuk didalam famili paramyxovirus. Virus campak sangat sensitif
terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu 370C. Toleransi terhadap
perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap eter, cahaya, dan trysine.
Virus mempunyai jangka waktu hidup yang pendek (short survival time)
yaitu kurang dari 2 jam. Apabila disimpan pada laboratorium, suhu
penyimpanan yangbaikadalah pada suhu -70oC.

197 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soegeng Soegijanto

Epidem
iologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya epidemi
cenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi terjadi pada
permulaan musim hujan, mungkin disebabkan karena meningkatnya
kelangsungan hidup virus pada keadaan kelembaban yang relatif rendah.
Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitu setelah adanya kelompok baru
yang rentan terpajan dengan virus campak. Penyakit campak jarang bersifat
subklinis. Penyakit campak ditularkan secara langsung dari droplet infeksi
atau, agak jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread).
Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi campak
global hanya 20%, didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada pertengahan
tahun 1990, dengan angka cakupan80%, angka tersebut turun tajam sampai 20
juta kasus. Jadi, bahkan dengan angka cakupan 80%, masih sulit untuk
mencapai target eradikasi global.
World Health Organization (WHO) dengan programnya The Expanded
Programme on Immunization telah mencanangkan target global untuk
mereduksi insidens campak sampai 90,5% dan mortalitas sampai 95,5%
daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995. Beberapa negara berhasil hampir
mendekati fase eliminasi. Beberapa macam jadwal imunisasi dan strategi
telah digunakan, tetapi ada beberapa negara yang tidak berhasil.
Kegagalan ini biasanya disebabkan oleh kegagalan dalam
meng-implementasikan rencana strategi secara adekuat. Prioritas utama
untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakan program
imunisasi lebih efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan
rantai penularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara
teori adalah mungkin oleh karena tidak adanya binatang reservoir dan
pemberian imunisasi sangat efektif.
Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan imunisasi
masal pada anak umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2) meningkatkan cakupan
imunisasi rutin pada bayi umur 9 bulan, (3) melakukan surveilens secara
intensif dan (4) follow-up imunisasi

198 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soegeng Soegijanto

massal.
Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program
penatalaksanaan kasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran, misalkan
indikasi pemberian antibiotik, pemberian imunoglobulin intravena dan
risiko tuberkulosa sebagai komplikasi jangka panjang.

Gejala Klinis
Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima atau
keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva suhu
menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24 sampai 48 jam pertama
diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal selama periode satu hari
dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai
400C pada waktu ruam sudah timbul di seluruh tubuh. Pada kasus yang
tanpa komplikasi, suhu tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai
suhutubuhyang normal.
Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek, mata
merah selanjutnya di cari gejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum ruam timbul,
gejala Koplik’s spot yangmerupakan tanda pathognomonis dari penyakit campak,
dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh Koplik pada tahun 1896 sebagai
suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, pada
pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Mula-mula
didapatkan hanya dua atau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda
putih keabuan dan warna merah muda disekarnya merupakan tanda
patognomonik absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang noda putih
keabuan sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung
dan terang dapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar,
kuranglebih12jam,sehinggasukarterdeteksidanbiasanyaluput pada waktu
dilakukan pemeriksaan klinis.
Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari
timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapula eritematosa,
danmulaitimbulpadabagiansampingatasleher,daerah

199 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soegeng Soegijanto

belakang
telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi. Kemudian
menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam.
Seterusnya menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung,
mencapai kaki pada hari ketiga. Bagian yang pertama kena mengandung
lebih banyaklesi daripada yang terkena kemudian.Setelahtigaatauempathari,
lesi tersebut berubah menjadi berwarna kecoklatan. Hal ini kemungkinan
sebagai akibat dari perdarahan kapiler, dan tidak memucat dengan
penekanan. Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warna dari
ruam, yaitu menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian
disusuldengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan.

Imunisasi campak
Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak
a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston B)
b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang
berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam
aluminium)
Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang
dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin
hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah dapat
memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara
subkutan, walaupun demikian dapat diberikan secara
intramuskular.
Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak
masih tinggi dan seringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan
pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan. Untuk negara maju
imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur 12-15 bulan dan
kemudian imunisasi kedua (booster) juga dengan MMR dilakukan secara rutin
padaumur4-6tahun,tetapidapat juga diberikan setiap waktu semasa periode
anak dengan tenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi
pertama.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 200


Campak

Imu
nisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi
primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ,
merekayangmendapat pengobatanimunosupresif jangka panjang atau anak
immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa
immunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa
mendapat imunisasi campak.
Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan yang
tinggi bersama-sama dengan keinginan untuk menunda pemberian
imunisasi sampai antibodi maternal hilang merupakan suatu hal yang berat
dalam pengendalian penyakit campak. Pada anak-anak di negara
berkembang, antibodi maternal akan hilang pada usia 9 bulan, dan pada
anak-anak di negara maju setelah 15 bulan.

Dosis dan cara pemberian

 Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang


dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml.
 Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 mungkin sudah
dapat memberikan hasil yang baik.
 Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan
walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular.
 Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara.
Salah satu indikator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah
penurunan angka kejadian kasus campak sesudah pelaksanaan
program imunisasi.
 Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah SD
(program BIAS)

Reaksi KIPI
 Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi
ulang pada seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat
imunisasi dengan vaksin campak dari virus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 201


Soegeng Soegijanto

yang
dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telahmenurundengan
digunakannya vaksin campak yang dilemahkan.
 Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi pada
5%-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah
imunisasi dan berlangsung selama 2 hari.
 Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian
peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang
demam.
 Ruam dapat dijumpai pada 5% resipen, timbul pada hari ke 7-10
sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar
dibedakan dengan akibat imunisasi yang terjadi jika seseorang telah
memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami.
 Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat
seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi, diperkirakan
risiko terjadinya kedua efek samping tersebut 30 hari sesudah
imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin.

Daftar Pustaka

1. Abbas AKand LichtmanAH. 2005. Antibodies and antigen. in Cellularand MolecularImmunology


fifth ed. Elsevier Saunders, International Edition page 43-65.
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2006. National Immunization
Program .The Pink Book. 9 edition. Global Laboratory Networks.
3. Duke T, Mgone CS. 2003. Measles : not just another viral exanthem. Lancet 361 (9359) :
763-73.
4. Featherstone D, Brown D, Sanders R. 2003. Development of the global measles
laboratory network. J Infect Dis 187(Suppl):264-269.
5. Maldonado Y, 2003. Measles. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. TextBook of
Pediatrics. 17 ed. Philadelphia. WB Saunderss Company pp. 1026-1031.
6. MMWR 2004. Epidemiology of Measles, United States 2001-2003. Morb Mortal WklyRep.
August 13;53(31):713-716.
7. Otten MW Jr, Okwo-Bele JM, Kezaala R, Biellik R, Eggers R, Nsimirimana D. 2003. Impact of
alternative approaches to accelerated measles control : experience in the African region,
1996-2002. J Infect Dis 187 Suppl 1:S36-43.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 202


Campak

8. Streb
el P, Cochi S, Grabowsky M, Bious J, Hersh BS, Okwo-BeleJM, Hoekstra E, Wright P, Katz S. 2003.
The unfinished measles immunization agenda. J Infect Dis. 187 Suppl 1: S1-7.
9. World Health Assembly 2003. Reducing global measles mortality. Fifty-sixth World Health
Assembly. 28 May 2003.

10. World Health Organization 2005a. Global measles and rubella laboratory network –
update. Wkly Epidemiol Rec 80: 384-388.
11. American Academy of Pediatrics. Measles. In: PickeringLK, ed. Red book: 2006 report of the
Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2006. p. 441-52.

12. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. Measles vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:389-440.
13. CDC.Recommended childhood and adolescentimmunization schedule—United States, 2006.
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
14. AtkinsonWL, PickeringLK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the
American Academyof FamilyPhysicians (AAFP). MMWRRecommRep.2002;51(RR02):1-36.

203 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI
Vaksin yang Dianjurkan
(non PPI)
1. Campak, gondong, rubella (Measles, Mumps, Rubella)
0. Haemophillus influenzae tipe b (Hib)
2. Demam tifoid
0. Varisela
1. Hepatitis A
3. Rabies dan vaksin anti rabies
4. Influenza
5. Pneumokokus
2. Rotavirus
6. Kolera dan ETEC (enterotoxigenic Escherichia coli)
7. Yellow fever
8. Japanese ensefalitis (JE)
9. Meningokokus
1. Human Papilloma Virus (HPV)

Pen gantar

Vaksin untuk tujuan khusus adalah vaksin-vaksin yang tidak termasuk


vaksin PPI, namun penting diberikan pada bayi/anak di Indonesia
mengingat burden of diseases dari masing-masing penyakit tersebut.
Untuk vaksin-vaksin tersebut, perlu diketahui mengenai indikasi
pemberiannya. Pertimbangan umum dalam memberikan vaksin-vaksin
tersebut antara lain adalah insidens penyakit, kelompok susceptible,
mortalitas, komplikasi, dan sekuele yang mungkin diakibatkan oleh penyakit
tersebut;disampingimunogenisitas dan keamanan vaksin, serta harga vaksin.
Dalam Edisi ketiga, ditambahkan penjelasan mengenai Rotavirus dan
204 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Human Papilloma Virus (HPV) serta vaksinnya.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 205


Bab VI-1
Campak, Gondongan & Rubela
(Measles, Mumps, Rubella = MMR)
Syahril Pasaribu

Cam pak (measles, morbilli, rubeola) - lihat Bab V-5

Gondongan (mumps, parotitis)

Gondongan adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh


paramyxovirus, dengan predileksi pada kelenjar dan jaringan syaraf.
Pada gondongan, paling sering terjadi pembengkakan pada kelenjar ludah,
terutama kelenjar parotis. Penyebaran penyakit ini adalah melalui
droplet dan terutama terjadi pada anak dengan insidens puncak pada usia
5-9 tahun. Masa inkubasi 12-25 hari, gejala prodromal tidak spesifik
ditandai dengan mialgia, anoreksia, malaise, sakit kepala dan demam
ringan. Setelah itu timbul pembengkakan unilateral/bilateral kelejar
parotis. Gejala ini akan berkurang setelah 1 minggu dan biasanya
menghilang setelah 10 hari. Namun pada beberapa keadaan infeksi
terjadi tanpa gejala sama sekali. Tanda rangsangan meningeal dapat
terjadi pada 15% kasus, tetapi gejala sisa yang permanen jarang ditemukan.
Ketulian adalah salah satu komplikasi yang serius tetapi jarang terjadi
(1: 500 kasus yang dirawat di rumah sakit). Penularan terjadi sejak 6
hari sebelum timbulnya pembengkakan parotis sampai 9 hari kemudian.
Orkitis (biasanya unilateral) dilaporkan sampai 20% pada kasus
gondongan lelaki dewasa, tetapi keadaan steril jarang ditemukan.
Imunisasi dengan live attenuated vaccine sangat berhasil. Di USA telah
terjadi reduksi 98% dari kasus yang dilaporkan di antara tahun 1967
(ketika vaksin pertama kali diperkenalkan dan tahun 1985).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 206


Syahril Pasaribu

Rubela
Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang ringan,
yang disebabkan oleh virus rubela yang termasuk ke dalam famili togavirus.
Penyebaran penyakit ini melalui udara dan droplet. Gejala klinis yang
mencolok adalah timbulnya ruam makulo-papular yang bersifat sementara
(kira-kira 3 hari), pembengkakan kelenjar post-auricular/dan sub-occipital.
Kadang-kadang disertai arthritis dan arthralgia. Walaupun jarang, dapat
terjadi komplikasi lain pada sistem syaraf dan trombositopenia. Apabila
rubela menjangkiti ibu hamil, maka dapat terjadi sindrom rubela
kongenital pada bayi yang dikandungnya.

Sindrom rubela kongenital

Pencegahan sindrom rubela kongenital (SRK) merupakan tujuan utama


pemberian imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang mendatangkan
malapetaka apabila terjadi pada awal kehamilan, karena dapat
menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur dan cacat bawaan.
Abortus dan lahir mati merupakan kejadian yang sering ditemukan. Berat
ringannya dampak virus rubella terhadap janin tergantung kapan infeksi ini
terjadi. Sampai 85% bayi yang terinfeksi pada kehamilan trimester pertama
akan mempunyai gejala setelah lahir. Meskipun infeksi dapat terjadi
sepanjang kehamilan, jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi setelah
kehamilan di atas 20 minggu. Infeksi kongenital virus rubela dapat mengenai
semua sistem organ bayi. Tuli merupakan gejala paling sering terjadi dan
kadang-kadang merupakan manifestasi tunggal infeksi rubela kongenital.
Kelainan lain yang dapat timbul adalah kelainan pada mata berupa katarak,
glaukoma, retinopati dan mikroftalmia. Kelainan pada jantung berupa
patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VSD), stenosis dan
retardasi mental. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah lesi pada
tulang, spenomegali, hepatitis, trombositopenia dan purpura. Manifestasi
SRK inidapat baru tampak pada umur 2-4 tahun.

207 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Syahril Pasaribu

Vaksi n
Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan vaksin
kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan
rubella), dosis 0.5 ml. Vaksin MMR merupakan vaksin kering yang
mengandung virus hidup, harus disimpan pada temperatur 2-8oC atau
lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan dalam
waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan
terlindung dari cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil
dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur
22-25oC, akan kehilangan potensi 50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37oC
vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.

Dosis
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara
intra-muskular atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan
sero-konversi terhadap ketiga virus ini > 90% kasus. Diberikan pada umur
12-18 bulan.

Rekomendasi
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan dan rubella atau imunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi
yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah mendapat imunitas terhadap
salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

Bayi dan anak berisiko infeksi campak

Pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini,
imunisasi MMR dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain
pemberian vaksin MMR adalah
• Anakdenganpenyakitkronis sepertikistikfibrosis, kelainanjantung
bawaan,kelainanginjalbawaan, gagaltumbuh,sindrom Down.

208 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Syahril Pasaribu

 Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day care
dan playgroups.
 Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak
ditemukan kontra indikasi lainnya.

Vaksinasi MMR yang terlambat


Vaksin MMR diberikan pada anak yang berusia > 12 bulan. Bila imunisasi
dasar tidak lengkap sampai waktu pemberian MMR, maka dapat diberikan
secara bersamaan dengan menggunakan alat untuk dan tempat yang
berbeda.

Anak dengan riwayat kejang

Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang harus
diberikan MMR dan kepada orang tua diberikan pengertian bahwa dapat
timbul demam 5-12 hari setelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi
demam dengan pemberian parasetamol.

Reaksi KIPI
 Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2
tahun, dilaporkan setelah vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam
atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi yang
berlangsung selama 2-3 hari.
 Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang
demampada 0,1% anak ensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000 dan
pembengkakan kelenjar parotis pada 1% anak berusia sampai 4 tahun,
biasanyaterjadipadaminggu ketiga dankadang-kadang lebih lama.
 Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi
kira-kira 1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka
kejadian ini lebih kecil dibandingkan apabila menggunakan jalur
virus gondongan Jeryl Lyn.

209 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Syahril Pasaribu

 Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang


dihubungkan dengan komponen rubela dari MMR. Kepada orang
tua harus dijelaskan tentang kemungkinan gejala yang bakal timbul dan
diberikan petunjuk untuk mengurangi demam, termasuk penggunaan
parasetamolpadamasa 5-12 harisetelahimunisasi.

Indikasi Kontra
 Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau
gangguan imunitas, mereka yang mendapat pengobatan dengan
imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi
(ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon).
 Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan,
sulit bernapas,hipotensi dan syok)terhadap gelatinatau neomisin.
 Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda
sampai penyakit ini sembuh.
 Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin
virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR
ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu
dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian
vaksin.
 Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus
ditunda selama 2 bulan, seperti pada vaksin rubela.
 Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood).
 Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV).
Sebenarnya HIV bukan indikasi kontra, tetapi pada kasus tertentu,
dianjurkan untuk meminta petunjuk pada spesialis anak konsultan.
 Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh
mendapat vaksin rubela, kalau boleh sampai 3 bulan setelah pemberian
imunoglobulinatauprodukdarahyangmengandung

210 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Campak, Gondongan
& Rubela

imunoglobulin (darah, plasma). Dengan alasan yang sama


imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah
vaksinasi.
Disebabkan oleh karena komponen rubela, wanita hamil tidak dianjurkan
mendapat imunisasi MMR dan dianjurkan untuk tidak hamil selama
3 bulan setelah mendapat suntikan.

Penggunaan Imunoglobulin
Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi,
kontak dengan pasien campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin
MMR sesegera mungkin (dalam waktu 72 jam). Alasannya ialah masa
inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih singkat dari masa inkubasi virus
campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak dengan imunokompromis,
vaksin MMR adalah kontra indikasi, imunoglobulin (human) dapat
diberikansegeramungkinsetelah paparan.
Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk
membuat sesuatu keputusan penggunaan imunoglobulin, oleh karena
imunisasi sebelumnya atau kadar serum antibodi yang rendah tidak
memberi jaminan imunitas terhadap campak pada individu
imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap campak juga akan
memperlambat pemberian imunoglobulin, akan tetapi pemeriksaan ini
mungkin mempunyai nilai untuk menegakkan diagnosa definitif
campak.
Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung
dengan pasien campak, mempunyai resiko yang tinggi untuk
berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada mereka harus segera
diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu 7 hari paparan,
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya campak. Kemudian vaksin
MMR harus diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, akan
tetapi dengan interval 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin.
Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak sehat
dan 0,5 ml/kgbb pada individu imunokompromis (dosis

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 211


Syahril Pasaribu

maksimal 15 ml). Pada wanita hamil non imun yang terpapar dengan
campak dapat diberikan NIGH 0.2 ml/kgbb.
Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan setelah
terpapar dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika paparan tadi tidak
menimbulkan infeksi, vaksin akan memberikan perlindungan terhadap
infeksi berikutnya. Imunoglobulin tidak terlihat mempunyai nilai sebagai
profilaksis setelah terpapar dengan penyakit ini. Dari satu hasil
penelitian di Alaska menunjukkan bahwa, pemberian immunoglobulin
terhadap orang yang rentan tidak menunjukkan penurunan kejadian
mumps dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi. Antibodi maternal
yang ditransfer melewati plasenta dapat melindungi bayi selama 1
tahun kehidupan.
Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan terhadap
infeksi virus rubela dan pemakaian yang luas vaksin ini menyebabkan
sindrom rubela kongenital di Australia tidak ditemukan lagi. Pemakaian
imunoglobulin setelah terpapar dengan pasien rubela tidak memberikan
perlindungan, sehingga pemberian imunoglobulin nilainya kecil untuk
mencegahrubela pada wanita hamil.

Kontroversi seputar imunisasi MMR


 Pernah dikatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit Crohn
dan kolitis ulserativa dengan MMR. Pada penelitian ini terlihat adanya
risiko relatif kasus yang mendapat MMR akan menjadi penyakit Crohn
sebanyak 2,95 dan kolitis ulserativa 2,05. Namun setelah ditelusuri
ternyata desain penelitian ini tidak benar. Kemudian dilakukan penelitian
yang sama dengan skala besar secara internasional dan hasilnya tidak
terdapat hubungan kejadian penyakit ini dengan MMR.
 Adanyahubungan antara autismdanMMRdiperolehdariprogram
televisi Denmark pada tahun 1993, yang berasal dari seorang ibu yang
anaknya kembar, salah satu diantaranya menderita autism dan diklaim
bahwa penyebabnya MMR.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 212


Campak, Gondongan
& Rubela

Kemudian pernyataan ini ditindak lanjuti oleh Danish National


Department of Epidemiology dan UK Joint Committee on Vaccination and
Immunization. Ternyata tidak ada satupun data biologi dan
epidemiologi yang menyokong pernyataan ini.
 NationalAutisticSociety menyatakan bahwatidakadapeningkatankasus
autistic spectrum disorders dengan pemberian MMR.
 Penelitian yang dilakukan di Swedia mengikuti kejadian autism selama 10
tahun. Penelitian ini mempunyai data yang baik dan konsisten. Mereka
mengikuti insiden autism di Gothenburg selama 10 tahun sewaktu
vaksin MMR diperkenalkan sebagai program imunisasi pada anak.
Terbukti bahwa kejadian autism tidak meningkat sehubungan dengan
pelaksanaan imunisasi MMR.
 Situasi yang sama juga terjadi pada asma. Ternyata tidak ada satupun
penelitian yang menyokong adanya hubungan asma dengan vaksin
MMR.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report of the Committee on
Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p.
441-68.

2. WorldHealthOrganization. Globalstatus of mumps immunizationandsurveillance. Wkly


Epidemiol Rec. 2005;80:418-24, 707-43.
3. CDC. Notice to readers: Updated recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) for the Control and Elimination of Mumps. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2006;55:629-630.
4. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders;2003:389-469.
5. Harling R, White JM, Ramsay ME, Macsween KF, van den Bosch C. The effectiveness of the
mumps component of the MMR vaccine: a case control study. Vaccine. 2005;23:4070-4.
6. KatzSL, HinmanAR.Summaryand conclusions: measles eliminationmeeting,16-17 March 2000. J
Infect Dis. 2004;189(Suppl 1): S43-S47.
7. CDC. Epidemiology of measles—United States, 2001-2003. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2004;53:713-6.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 213


Campak, Gondongan
& Rubela

8. CDC.Recommended childhood andadolescentimmunization schedule—United States, 2006.


MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
0. AtkinsonWL, Pickering LK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the
American Academyof FamilyPhysicians (AAFP). MMWRRecommRep.2002;51(RR02):1-36.
9. CDC.Licensureof a combined live attenuated measles, mumps, rubella,and varicella vaccine.
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54:1212-14.
0. Reef SE, Frey TK, Theall K, Abernathy E, Burnett CL, Icenogle J, et al. The changing epidemiology of
rubella in the 1990s: on the verge of elimination and new challenges for control and
prevention. JAMA. 2002;287:464-72.
12. Robertson SE, Featherstone DA, Gacic-Dobo M, Hersh BS. Rubella and congenital rubella
syndrome: global update. Rev Panam Salud Pública. 2003;14:306-15.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 214


Bab VI-2
Haemophillus Influenza tipe b
Hardiono D.Pusponegoro

Haemophyllus influenzae tipe b (Hib) bukan virus influensa, tetapi


merupakan suatu bakteri Gram negatif. Haemophyllus influenzae terbagi
atas jenis yang berkapsul dan tidak berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul
umumnya tidak ganas dan hanya menyebabkan infeksi ringan misalnya
faringitis atau otitis media. Jenis yang berkapsul terbagi dalam 6
serotipe dari a sampai f. Di antara jenis yang berkapsul, tipe b
merupakan tipe yang paling ganas dan merupakan salah satu penyebab
tersering dari kesakitan dan kematian pada bayi dan anak berumur kurang
dari 5 tahun.
Infeksi Hib menyebabkan meningitis (radang selaput otak) dengan
gejala demam, kaku kuduk, penurunan kesadaran, kejang dan kematian.
Penyakit lain yang dapat terjadi adalah pneumonia, selulitis, artritis dan
epiglotitis.

Meningitis

Di negara barat, Hib menyebabkan penyakit pada 20-200 per 100.000


penduduk. Perbedaan angka kejadian tersebut disebabkan perbedan teknik
pemantauan/surveilans, teknik pengambilan materi pemeriksaan, teknik
pemeriksaan laboratorium, dan pola penggunaan antibiotik. Beberapa
faktor risiko misalnya umur kurang dari 5 tahun, tingginya pembawa
kuman di tenggorok (karier), penyebaran infeksi di tempat penitipan anak,
lingkungan yang padat, dan bayi tidak mendapat ASI. Laporan dari
Asia menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab terpenting
meningitis. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada 33% di
antarakasusmeningitis. Padapenelitianlanjutan didapatkan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 215


Haemophillus Influenza tipe b

bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi dan
anak berumur kurang dari 5 tahun. Laporan dari negara-negara Asia
cenderung menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab meningitis
terbanyak bersama pneumokokus dan meningokokus, tetapi insidens
meningitis rendah.

Pneumonia
Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit
dibuktikan karena metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh lebih sulit.
Penelitian membuktikan bahwa pneumonia disebabkan oleh virus pada
25%-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya ditemukan pada kasus yang
berat. Bila kedua penyebab ditemukan, kemungkinan pneumonia pada
awalnya disebabkan oleh virus, kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian
umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkan
vaksin, H. influenzae tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang
penting. Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden
yang pasti tidak diketahui, diduga H.influenzae tipe b bertanggung jawab
terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Di negara yang telah berkembang,
imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae tipe b invasif sampai
lebih dari 95%, termasuk pneumonia.

Epidemiologi

Haemophyllus influenzae hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran terjadi


melalui droplet dari individu yang sakit kepada orang lain. Sebagian besar
orang yang mengalami infeksi tidak menjadi sakit, tetapi menjadi
pembawa kuman karena Hib menetap ditenggorok. Prevalensi karier yang
lebih dari 3% menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penelitian
pendahuluan di Lombok menunjukkan prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%,
suatu angka yang cukup tinggi. Bila prevalensi pembawa kuman cukup
banyak, kemungkinan kejadian meningitis dan pneumonia akibat Hib
biasanyajugatinggi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 216


Haemophillus Influenza tipe b

Walaupun demikian, dampak Hib secara keseluruhan baru dapat dipastikan


setelah adanya suatu penelitian populasi di lapangan. Penelitian populasi
sedang dilakukan di Lombok.

Vaksin Hib

Bagian kapsul Hib yang disebut polyribosyribitol phosphate (PRP)


menentukan virulensi dari Hib. Vaksin Hib dibuat dari kapsul tersebut.
Vaksin awal yang terbuat dari PRP murni ternyata kurang efektif,
sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP dengan protein dari berbagai
komponen bakteri lain. Vaksin yang beredar di Indonesia adalah vaksin
konjugasi dengan membran protein luar dari Neisseria meningitidis yang
disebut sebagai PRP-OMP dan konjugasi dengan protein tetanus yang
disebut sebagai PRP-T. Kedua vaksin tersebut menunjukkan efikasi dan
keamanan yang sangat tinggi. Kedua vaksin tersebut boleh digunakan
bergantian baik monovalen atau kombinasi.

Jadwal dan dosis


 Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan.
 PRP-OMP diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3 kali dengan
jarak waktu 2 bulan.
 Penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi sudah terbentuk setelah
suntikan pertama PRP-OMP dan setelah dua kali suntikan PRP-T, sedangkan
titer antibodi yang tertinggi ditemukan setelah 3 kali suntikan PRP-T.
 Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan PRP-OMP.
 Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan
terakhir.
 Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6 bulan–1 tahun, 2
kali suntikan sudah menghasilkan titer protektif; sedangkan setelah
1 tahun cukup 1 kali suntikan tanpa memerlukan booster. Hal ini
dokter sering menunda pemberian

217 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Haemophillus Influenza tipe b

vaksin Hib sehingga memerlukan dosis yang lebih sedikit. Pendapat


ini salah, karena Hib lebih sering menyerang bayi kecil. Dua puluh enam
persen terjadi pada bayi berumur 2-6 bulan dan 25% pada bayi
berumur 7-11 bulan (CDC). Kasus termuda di Jakarta berumur 3
bulan.
• Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan karena bayi
tersebut belum dapat membentuk antibodi.
Penelitian mengenai infeksi Hib di populasi di Lombok, juga meneliti
manfaat imunisasi Hib terhadap kejadian dan kematian pneumonia pada
balita. Data yang ada menunjukkan bahwa Hib memang merupakan
penyebab meningitis yang terbanyak. Saat ini vaksin Hib digolongkan dalam
vaksin yang dianjurkan, diharapkan 1-2 tahun mendatang dapat masuk
dalam program nasional.

Daftar Pustaka
1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study on bacterial
meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S176-8

2. Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, dkk. A population-based survey of Haemophylus influenzae


type b nasopharyngeal carriage prevalence in Lombok Island, Indonesia. Pediatr Infect Dis J, 1998;
17:S179-82.

3. Petola. Need for Haemophyllus influenzae type b vaccination in Asia as evidenced by


epidemiology of bacterial meningitis. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S148-51.

4. Levine, Schwartz B. Pierce N, Kane M. Development, evaluation and implementation of


Haemophylus influenzae type b vaccines for young children in developing countries: current
status and priority actions. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S95-113.

5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68.

6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program Network,
Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and Human Services;
2005.

7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in Africa:
implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75.

8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering LK, ed.
Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.

218 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-3
Demam Tifoid
T. H. Rampengan

Salmonella typhi merupakan kuman patogen pada manusia yang menyebabkan


infeksi invasif, ditandai dengan demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi
atau diare. Bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian pada
10%-20% kasus karena perforasi usus, perdarahan, toksemia dan karena
komplikasi lain. Virulensi Salmonella typhi untuk melakukan sirkulasi ke
dalam sirkulasi sebagian berhubungan dengan antigen permukaan
Vi.

Epidemiologi
Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang terinfeksi dan
dikeluarkan melalui tinja dan urin. Masa inkubasi 3- 60 hari, terbanyak
7-14 hari. Insidens tertinggi demam tifoid pada anak terutama di daerah
endemis. Demam tifoid sering dijumpai di banyak negara berkembang
terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan
dan Bangladesh.

Patogenesis
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan setelah
berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus,
terutama pleksus Peyer dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah terjadi
proses peradangan dan nekrosis setempat, kuman melewati pembuluh
limfe masuk ke aliran darah (bakteremia primer) menuju organ dalam sistem
retikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman
difagosit oleh

219 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Demam
Tifoid

sel fagosit RES, sedangkan kuman yang tidak difagosit kembali


masuk ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia
sekunder). Sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa dan
kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari
kandungempedukeronggaususdanmenyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakteremia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan
kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Demam tifoid
disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis
dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Selanjutnya zat pirogen yang beredar dalam aliran darah
mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang
mengakibatkan timbul gejala demam. Makrofag akan menghasilkan
substansi aktif yang di sebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat
menyebabkan nekrosis selular dan merangsang sistem imun, menyebabkan
instabilitaskapiler,depresisumsum tulang dan demam.

Gejala klinis

Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih


bervariasi dibandingkan dengan dewasa. Dengan demikian maka
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak,
terutama usia muda. Gejala demam tifoid pada anak bervariasi yaitu
demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan
gangguan kesadaran.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat.

220 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


T. H. Rampengan

Demam tidak selalu khas seperti pada orang dewasa, kadang –


kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39-410C) serta dapat pula bersifat
ireguler terutama pada bayi.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam meningkat
dengan tanda–tanda antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal,
di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi tampak
lebih kemerahan dan bila penyakit lebih progresif maka akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lidah lebih prominen.
Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama dan
permulaan minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol
dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat, serta hilang pada
penekanan. Roseola ini karena emboli kuman pada kapiler kulit dan
terutama dijumpai di daerah perut, dada, kadang–kadang di bokong
maupun bagian fleksor lengan atas.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibagi dua:
1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi usus
dan peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia,
ensefalopati, kolesistitis, meningitis, miokarditis dan kronik karier.

Vaksin Demam Tifoid

1. Vaksin demam tifoid oral


Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur
non patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan
mengalami siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3
hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respons
imun padavaksin ini termasuk sekretorik

221 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


T. H. Rampengan

lgA. Secara umum efektifitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral
yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai
reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama
Ty-21a.
+ Penyimpanan pada suhu 20C–80C
+ Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau
lebih.
+ Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3 dan 5, 1 jam
sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37oC. Kapsul
ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi turis.
+ Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman
dapat mati oleh asam lambung.
+ Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid,
atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
+ Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon
mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu
setelah pemberian terakhir dari vaksin tifus ini.
+ Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu
yang terus terekspose dengan infeksi Salmonella sebaiknya di
berikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun.
+ Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, maka yang sudah
divaksinasipun dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan
dan minuman.
2. Vaksin polisakarida parenteral
+ Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella
typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang
mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat
dan pelarut untuk suntikan.
+ Penyimpanan pada suhu 20C-80C, jangan dibekukan. +
Kadaluwarsa dalam 3 tahun.
+ Pemberian secarasuntikanintramuskular atausubkutan padadaerah
deltoid atau paha.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 222


T. H. Rampengan

Imunisasi ulangan tiap 3 tahun


Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala,pusing, nyeri
sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang di jumpai. Sangat
jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit dan
urtikaria.
Indikasi kontra: alergi terhadap bahan–bahan dalam vaksin. Juga
pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik
progresif.
Daya proteksi 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan
untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Daftar Pustaka

1. Krugman S, Katz L.: Infectious diseases of children, Philadelphia; Mosby 2004.


2. Sood SK. Immunization for Children Travelling Aboard. Pediatrics Clin North Am 2000: 47;
435-48.
3. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering L:K,Baker,CJ,Overturf GD, Prober CG,
Penyuting. Red book. 2003 Report of commitee on Infectious Diseases. Edisi ke-26. Elk Grove:
2003. h. 541-7.
4. Lutwick LI, Rubin LG, Childhood immunizations. WB Saunders Company. Ped Clin of N Am 47,
April 2000.

5. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health. Health
Information for International Travel, 2005-2006.
6. Crump JA,LubySP, MintzED. Theglobalburden of typhoid fever. BullWorld HealthOrgan.
2004;82(5):346-53.
7. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al. Typhoid fever
in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis. 2004;39:186-91.
8. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison of two
combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults. Vaccine.
2004;23:29-35.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 223


Bab VI-4
Varisela
Hindra Irawan Satari

Vaksin varisela hidup yang dilemahkan (live attenuatted varicella vaccine)


dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi, yang dikenal dengan
strain Oka. Di Amerika mendapat lisensi untuk dipegunakan pada anak sejak
tahun 1995. Vaksin berasal dari VZV liar yang diisolasi dari seorang anak yang
bernama belakang Oka, berusia 3 tahun. Hasil penelitian klinis di Amerika
Serikat pada anak sehat menunjukkan bahwa vaksin aman dan mempunyai
efektivitastinggi untuk mencegah varisela yang berat.

Epidemiologi
Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan
oleh virus varisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus
sedangkan herpes zoster merupakan reaktivasi fase laten. Angka kematian
meningkat pada individu imunokompromais 7%-10% dibandingkan
dengan anak sehat 0,1%-0,4%.

Patogenesis
Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular selama
masa prodromal yang singkat dan pada fase awal erupsi. Masa inkubasi 14
sampai 16 hari. Apabila lesi telah berubah menjadi krusta, pasien tidak
menularkan penyakit.

Gejala Klinis
Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak begitu
tinggi dan lemah badan, diikuti dengan timbulnya lesi kulit

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 224


Hindra Irawan Satari

24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam bentuk erupsi makula
yang dapat disertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini hanya timbul dalam
beberapa jam, terasa gatal, vesikel berisi cairan jernih, dan menimbul dari
dasar; pada saat ini pada umumnya diagnosis mudah ditegakkan.
Perubahan lesi makula ke papul menjadi vesikel kemudian krusta,
berlangsung dalam kurun waktu 6 sampai 8 jam. Lesi kemudian berubah
menjadi krusta. Fase akut berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak
biasanya bersifat ringan dan berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa
sifatnya lebih berat dan dapat menyakibatkan penyakit yang serius serta
fatal, terutama apabila menyerang pasien defisiensi imun, anak yang
sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atau terapi kemostatik, tanpa
bergantung kepada golongan umur. Pada umur 12 tahun, sekitar 75% anak
telahterserang varisela. Limapersendiantaranyabersifat sub-klinis.

Herpes Zoster

Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi akibat


reaktivasi virus varisela-zoster laten, akan timbul pada saat
menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemui sebelum umur 12
tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun (81 %). Herpes
zoster sering berupa penyakit yang serius pada usia lanjut dan individu yang
menderita imunokompromais; sehingga dapat menjadi herpes zoster
menyeluruhyang meliputiorgan dalam,susunan syaraf dan paru.

Sindrom varisela kongenital

Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa perinatal
akibat varisela dari ibu hamil. Sindrom varisela kongenital
dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada masa tengah
kehamilan dan dapat berakibat malformasi kongenital, parut kulit dan
anomali lain. Data terakhir dari Eropa mengindikasikan risiko yang tinggi
bila infeksi maternal muncul

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 225


Hindra Irawan Satari

pada masa kehamilan 0-12 minggu (2%-4%). Bayi yang terinfeksi


intrauterin juga mempunyai risiko (0,8%-1,7%) untuk terjadinya herpes
zoster pada masa bayi, risiko meningkat apabila paparan terjadi pada
kehamilan 25-36 minggu. Masa awitan pada wanita hamil berlangsung 5
hari sebelum kelahiran sampai 2 hari pasca kelahiran dan diperkirakan
akan berakibat varisela berat pada 17% -30% bayi yang dilahirkan.

Komplikasi
Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat mengakibatkan
terjadinya erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut. Infeksi stafilokokus dapat
terjadi pada vesikel dan menyebabkan pioderma atau impetigo bulosa.
Meski jarang, dapat terjadi komplikasi berat, seperti serebelitis,
meningitis aseptik, mielitis transversa, trombositopenia dan pneumonia.
Pada kasus lebih jarang lagi bahkan dapat menyerang organ dalam dan
sendi. Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi baru lahir serta
pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin atau
salisilat tidak boleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh karena
ditakutkan terjadinya sindrom Reye.

Vaksi n

 Vaksin virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang


dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk-kering (lyophilised). Bentuk
ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain, sehingga
memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin harus disimpan
sesuai dengan petunjuk pabrik. Vaksin variselazoster yang beredar di
Indonesia dapat disimpan pada suhu 2oC-8oC.
 Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu
imunokompromais serta remaja (sama atau di atas 13 tahun) dan
dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 226


Varisela

 Serokonversi didapat pada 97% individu yang


divaksinasi dan sekitar 70% terlindungi apabila terpapar infeksi oleh
anggauta keluarga. Infeksi setelah terpapar apabila telah divaksinasi dapat
terjadi pada 1 %-2% kasus setahun, tetapi infeksi pada umumnya bersifat
ringan.
 Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR.
 American Academy of Pediatrics merekomendasikan vaksin ini
diberikan 2 kali bagi anak berumur di bawah 13 tahun, suntikan pertama
diberikan pada umur 12-15 bulan, sedangkan suntikan ulangan pada umur
4-6 tahun. Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dengan jarak antar
suntikan 3 bulan.

Cara pemberian

Mengingat (1) kejadian varisela di Indonesia terbanyak terjadi pada anak


yang telah bergaul dengan anak seumurnya (awal sekolah) dan (2)
penularan varisela (kepada adik atau anggota keluarga yang lain) terbanyak
terjadi pada saat usia sekolah, maka Satgas Imunisasi pada tahun 2007
merekomendasikan:
 Vaksin varisela diberikan mulai umur masuk sekolah 5 tahun, dosis
0,5 ml secara subkutan, dosis tunggal.
 Atas pertimbangan tertentu vaksinasi varisela dapat diberikan setelah
umur >1 tahun.
 Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali
selang 1 bulan.
 Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk
pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam setelah
penularan(denganpersyaratan:kontakdipisah/tidakberhubungan).
Mengingat infeksi alamiah masih tinggi sehingga imunisasi pada
sekelompok anak tertentu tidak mengubah epidemiologi penyakit ini,
seperti peningkatan insiden pada golongan umur yang lebih tua.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 227


Hindra Irawan Satari

Kejadian ikutan pasca imunisasi


 Reaksi simpang jarang terjadi.
 Reaksi KIPI dapat bersifat lokal (1%), demam (1%), dan ruam
papula-vesikel ringan.
 Pada individu imunokompromais:
Reaksi sistemik muncul lebih sering (sekitar 12%-40% pada pasien
leukemiadalampengobatanrumatan)daripadareaksi lokal.
Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imuno kompromais
dapat timbul penyulit varisela.
Pada pasien leukemia yang mendapat vaksinasi varisela dapat
muncul ruam pada 40% kasus setelah vaksinasi dosis pertama, 4%
diantaranya dapat terjadi varisela berat yang memerlukan
pengobatan asiklovir.

Indikasi kontra
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung
limfosit kurang dari 1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti
selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi, pasien
yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari
atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien yang alergi pada
neomisin.

Daftar Pustaka

1. GershonAA, Takahashi M,White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein,penyunting.
Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507.
2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al. Varicella disease after
introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-2000. JAMA. 2002;287:606-11.
3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd 354
4/9/07 10:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.

228 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hindra Irawan Satari

4. CDC. Decline in annual incidence of varicella – Selected States, 1990-2001. MMWR Morbid
Mortal Wkly Rep. 2003;52:884-5.
5. Centers for Disease-Control. Prevention of varicella. Update. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
1999;48:1-6.
6. ACIP Provisional Recommendations for Prevention of Varicella (http://www.cdc.
gov/nip/vaccine/varicella/varicella acip recs prov june 2006.pdf).
7. Kuter B, Matthews H, Shinefi eld H, Black S, Dennehy P, Watson B, et al. Ten year follow-up of
healthy children who received one or two injections of varicella vaccine. Pediatr Infect Dis J.
2004;23:132-7.
0. Shinefield H, BlackS, Digilio L, Reisinger K, Blatter M, Gress JO, et al. Evaluation of a
quadrivalent measles, mumps, rubella and varicella vaccine in healthy children. Pediatr Infect
Dis J. 2005;24:665-9.
8. Seward JF. Update on varicella. Pediatr Infect Dis J. 2001;20:619-21.
9. ACIP Provisional recommendations for the use of zoster vaccine (http://www.cdc.
gov/nip/recs/provisional_recs/zoster-11-20-06. pdf).
10. CDC. A new product (VariZIG) for postexposure prophylaxis of varicella available under an
Investigational New Drug application expanded access protocol. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2006; 55(MM8):209-210

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 229


Bab VI-5
HEPATITIS A
Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

Infeksi virus hepatitis A (VHA) bersifat global dengan variasi demografis


sesuai tingkat higiene-sanitasi dan sosial-ekonomi suatu negara. VHA
bersifat self limiting namun potensial menimbulkan dampak epidemiologis
dan klinis. Indonesia merupakan daerah endemis hepatitis virus baik VHA
maupun hepatitis virus B dan C (VHBdanVHC).Sulit untukmengetahuiinsidens
pasti VHA karena pada sebagian kasus infeksinya bersifat asimtomatis
terutama pada anak berusia < 6 tahun. Kelompok asimtomatis ini
merupakan reservoir infeksi bagi komunitasnya, termasuk orang tua.
Pasien penyakit hati kronis (PHK) mempunyai morbiditas dan mortalitas
lebih tinggi. Virus hepatitis A tergolong picornavirus (berukuran 27
nanometer). Terdiri dan satu rantai RNA linear yang dibungkus 3 protein
yaitu VPI VP2, VP3. Neutralisasi termasuk oleh neutralizing antibody pasca
imunisasi, ditujukan terhadap VPI-3. Virus HA sangat stabil pada suhu
tinggi maupun pada pH 3–10.

Epidemiologi
Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10 tahun, di
daerah prevalens sedang, infeksi terjadi pada usia remaja dan dewasa muda,
sedangkan di area prevalens rendah, infeksi terjadi pada dewasa dan
usia lanjut.
Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia < 9
tahun 39,6%, usia 10 - 19 tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50 tahun. Di
Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di rural Sulawesi 47,5%. Penelitian
lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial ekonomi tinggi di Jakarta
menunjukkanbahwa prevalensanti HAV

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 230


Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan perlu
imunisasi VHA.

Transmisi. Transmisi VHA terjadi melalui penularan fekal-oral dalam


bentuk penularan antar individu (kontak erat) dan penularan melalui
makanan atau minuman yang tercemar. Transmisi terjadi selama ekskresi
virus di tinja masih berlangsung yaitu sejak 2-3 minggu sebelum sampai
dengan 8-19 hari sesudah gejala klinis rnuncul. Transmisi dalam kontak erat
terbukti dengan terjadinya penularan intrafamilial satu rumah (26%), di
tempat penitipan anak (TPA, 11%), di lembaga retardasi mental, dan di
kalangan homoseksual (l5%). Meskipun jarang, transrnisi dapat pula
terjadi di rumah sakit. Transmisi antar anak di sekolah bukan merupakan
modus transmisi yang kerap. Infeksi VHA di sekolah merefleksikan adanya
infeksi di populasi.
Wabah akibat makanan (tidak dimasak atau yang dibekukan), jarang
terjadi tetapi dapat menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Di
beberapa negara berkembang, kejadian wabah VHA cukup tinggi
akibat air kolarn renang yang tercemar atau tidak diklorinisasi dengan
adekuat. Meskipun jarang, penularan dapat juga terjadi melalui transfusi
darah/komponen darah dan donor yang sedang berada pada fase viremia.
Selain itu, transmisi juga terjadi pada pengguna obat terlarang (10%), serta
padawisatawanmancanegara (14%).

Populasi risiko tinggi tertular VHA

Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia > 2
tahun antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan
sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap
makanan dan minuman yang tercemar.

Pasien PHK, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA. Kejadian
hepatitis fulminan pada pengidap VHB dan VHC 55% dan 33%.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 231


Hepa
titis A

Kelompok lain, yaitu pria homoseksual, pasien koagulopati, pengguna


narkotik intravena, pekerja dengan primata, dan kelompok
sosioekonomi tinggi. Penelitian pada anak kelompok sosioekonomi tinggi
di Jakarta menunjukkan persentase rendah anak sekolah kelompok sosio
ekonomitinggiyangsudahmemiliki proteksi alamiah.

Manifestasi klinis

Masa inkubasi HVA bervariasi antara 15 - 50 hari. Infeksi dapat simtomatik


atau asimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimtomatis dialami 70% anak
usia < 6 tahun sedangkan 85% anak besar dan dewasa simtomatis dan
umumnya memerlukan rawat inap. Gejala berlangsung < 2 bulan, tetapi 10%
- 15% pasien mengalami prolonged atau relapsing hepatitis selama 6 bulan.
Sebagian besar hepatitis akut yang dirawat di rumah sakit adalah
infeksi HVA.
Virus bereplikasi di hati, diekskresi dan menumpuk di tinja.
Selama 2 minggu sebelum ikterik atau sebelum terjadinya peningkatan
SGPT, daya tular sangat tinggi karena konsentrasi virus di tinja sangat tinggi.
Pada fase ikterik, konsentrasi virus di tinja jauh berkurang tetapi telah
dilaporkan fecal shedding bisa berlangsung beberapa bulan. Viremia
berlangsung singkat, sebagian kecil saja yang masih viremia pada awal
masa penyembuhan.

HVA dapat menimbulkan komplikasi (1) hepatitis fuiminan (± 0.1%) yang


pada VHB dan VHC meningkat (55% dan 33%); (2) prolong hepatitis (12-18
minggu); dan (3) relapsing hepatitis (3,8% - 20%), biasanya kekambuhan
Iebih dan satu kali.

Pencegahan
Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan dengan
pola hidup bersih/sehat dan imunisasi pasif maupun aktif.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 232


Hepa
titis A

Imunisasi pasif

Normal human immune globulin (NIHG) setiap milimiternya


mengandung 100 IU anti HAV Diberikan sebagai upaya pencegahan setelah
kontak (kontak serumah, kontak seksual, saat epidemi) atau upaya
profilaksis pasca paparan. Diberikan pula sebagai upaya profilaksis pra
paparan atau sebelum kontak (pengunjung dari daerah non endemis ke
daerah endemis). Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2 minggu
setelah paparan.
Imunoglobulin (Ig) diberikan secara intramuskular dalam dengan
dosis 0,002 ml/kg berat badan, pada anak besar dan dewasa ≤5 ml,
sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak melebihi 3 ml.

Tabel 6.1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA.


Saat paparan (minggu) Usia (tahun) Rekomendasi

≤2 <2 Ig
≥2 Ig dan vaksin
>2 <2 Ig

≥2 Vaksin
Keterangan: Ig=imunoglobulin

Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non endemis

Umur Lama Rekomendasi Keterangan


(thn) kunjungan
<2 < 3 bulan Ig 0.02ml/kg 1 kali
3 - 5 bulan Ig 0.06 ml/kg 1 kali
Jangka panjang Ig 0.06 ml/kg saat berangkat, di-
ulang setiap 5 bln
≥2 <3 bulan Vaksin atau Ig 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal
3 - 5 bulan Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg imunisasi aktif lihat
Jangka panjang Vaksin di bagian perihal
imunisasi aktif
Keterangan: Ig=imunoglobulin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 233


Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

Imunisasi aktif

Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies


terhadap epitop permukaan virus. Kandidat vaksinasi VHA berdasarkan
rekomendasi ACIP tertera pada Tabel 6.3. Kebijakan imunisasi hepatitis A
lebih bersifat individual. Imunisasi hepatitis A diberikan pada anak
berusia ≥ 2 tahun.

Tabel 6.3. Indikator kandidat vaksinasi HVA


Kandidat vaksinasi HVA
Imunisasi rutin Anak di daerah endemis HVA atau daerah
dengan wabah periodik
Risiko tinggi VHA Pengunjung ke daerah endemis
Pria homoseksual dengan pasangan ganda IVDU
Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII Staf
TPA, staf dan penghuni institusi untuk cacat mental
Pekerja dengan primata bukan manusia
Staf bangsal neonatologi
Risiko hepatitis fulminan Pasien penyakit hati kronis
Risiko menularkanYHA Penyaji makanan, anak usia 2-3 tahun di TPA

Vaksin
 Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine).
 Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien.
 Vaksindiberikan2kali,suntikankeduaatau booster bervariasiantara
6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk.
 Vaksin diberikan pada usia ≥2 tahun.
 Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas baik.

Efek Samping

Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal
merupakan efek samping tersering (21 %–54%) tetapi umumnya ringan.
Demam dialami 4% resipien.

234 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hepa
titis A

Uji serologi pra-pasca vaksinasi

Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat terhadap
infeksi masa lampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan pada individu
dengan gangguan imunologis termasuk PHK.

Lama proteksi

Lama proteksi antibodi anti HVA diperkirakan menetap selama ≥ 20 tahun.


Proteksi jangka panjang terjadi akibat antibodi protektif yang menetap
atau akibat anamnestic boosting infeksi alamiah.

Pemberian bersama vaksin lain

Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain tidak


mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan tidak
meningkatkan frekuensi efek samping.

Indikasi kontra dan kondisi yang memerlukan perhatian khusus

VaksinVHAtidakbolehdiberikankepadaindividuyangmengalamireaksi berat
sesudah penyuntikan dosis pertama.

Daftar Pustaka
1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta, Yayasan Penerbitan
Ikatan Dokter Indonesia, 2000.

0. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.
1. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan komprehensif
hepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.
2. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg M. The cost of
hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997. Hepatol 2000; 31: 469- 73.

235 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hepa
titis A

5. RosenthalP.Cost-effectiveness ofhepatitis A vaccinationin children,adolescents, and adults.


Hepatol 2003; 37 (1): 44-51.
6. Averhoff F, Shapiro CN, Bell BP, Hyams I. Burd L. Deladisma A, Simard EP. Nalin D, Kuter B. Ward
C, Lundberg M, Smith N. Margolis HS. Control of hepatitis A through routine vaccination of
children. JAMA 2001; 286 (23): 296S-73.
7. Werzberger A, Mensch B. Nalin DR, Kuter BJ. Effectiveness of hepatitis A vaccine in a former
frequently affected community: 9 years’ follow up after the Monroe field trial of VAQTA®.
Letter to Editor. Vaccine 2002; 20: 1699-701.
0. CDC. Prevention of hepatitis A through active or passive immunization: recommendations of
the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2006; RR 55:1-23.
8. Bell BP, FeinstoneSM. Hepatitis A vaccine. dalam: Plotkin SA, Orenstein WA,editors. Vaccines. 4th
edition. Philadelphia: W.B. Saunders, 2004.
9. Mutsch M, Spicher VM, Gut C, Steffen R. Hepatitis A virus infections in travelers, 1988-2004.
Clin Infect Dis. 2006;42:490-7.
10. BacanerN,StaufferB,BoulwareDR,WalkerPF,KeystoneJS. Travel medicine considerations for North
American immigrants visiting friends and relatives. JAMA. 2004;291:2856-64.
11. CDC. Hepatitis Surveillance Report No. 61.2005. Atlanta: U.S. Department of Health
and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. 2006.
13. van Damme P, BanatvalaJ, Fay O, IwarsonS, McMahonB, VanHerckK, dkk. Hepatitis
A booster vaccination: is there a need? Lancet. 2003;362:1065–71.

236 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-6
Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies
Iskandar Syarif

Bahasa Latin untuk rabies adalah lyssa sedangkan rabies sendiri dari
bahasa Sangsekerta rabbas yang berarti kekerasan (to do violence).
Rabies merupakan subjek yang menarik perhatian karena menyebabkan
ketakutan dan siksaan berat sejak ditemukan dahulu kala sebelum Masehi
sampai sekarang setelah 125 tahun setelah Louis Pasteur berhasil
mencegah penyakit ini pada seorang anak laki-laki usia 9 tahun yang
bernama Joseph Meister penyakit masih tetap terabaikan. Rabies pada
manusia adalah infeksi virus pada susunan saraf pusat biasanya
ditularkan melalui luka yang terkontaminasi ludah binatang yang
terinfeksi virus rabies. Penyakit ini umumnya bersifat fatal tapi dapat
dicegah (preventable fatal disease) dengan profilaksis pasca paparan
(postexposure prophylaxis).

Epidemiologi

Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar maupun
domestik dan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada daerah ini.
Diperkirakan terdapat 50.000 kematian tiap tahun pada manusia oleh
karena rabies, dan sekitar 10 juta orang menerima vaksinasi pasca paparan.
Anak umur 5–15 tahun berada dalam risiko terhadap penyakit ini.
Sekitar 99% kematian terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, India
melaporkansekitar 30.000 kematian tiap tahunnya.
Sampai tahun 2007 di Indonesia hanya beberapa daerah yang
masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI, Banten, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan Rabies) . Pada tahun
2008 didapatkan kasus rabies di Bali yang sampai sekarang 2011 masih
terdapat kasus baru. Pada Tabel 6.4 tertera 6 provinsi tertinggi kasus
gigitan hewan tersangka rabies.

237 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun 2008
s/d 2010
No Propinsi 2008 2009 2010
GHPR Rabies GHPR Rabies GHPR Rabies
1 Sumatera Utara 2660 7 2386 18 3714 35
2 Sumatera Barat 2374 7 2818 14 858 5
3 NTT 3414 25 3882 33 3023 20
4 Sulawesi Utara 1917 14 1859 12 1412 10
5 Maluku 844 3 1288 35 778 21
6 Sulawesi Barat 101 1 325 0 97 5
7 Maluku Utara 187 7 276 8 50 1
8 Bali 355 4 21806 28 6046 82
Seluruh Indonesia 21240 122 45466 195 7589 198
GHPR : Gigitan Hewan Pembawa Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). * Data Tahun
2008-2010

Jumlah gigitan hewan tersangka rabies untuk seluruh Indonesia tahun


2008-2010 yang telah terdata sebanyak 139.580, sedangkan jumlah kasus
rabies sebanyak 515 orang (0,37% dari jumlah gigitan) dan yang
mendapatkan vaksin anti rabies 76,1 %. Daerah yang menyatakan bebas rabies
Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan NTB.

Etiologi
Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini berbentuk
peluru dengan panjang130-380nmdandiameter70-85 nm.

Gambar 2. Virus rabies (www.rabies.net/_img)

Terdapat 7 galur (strain)Lyssavirus,

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 238


Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

galur 1 Caninerabies virus rabies klasik


galur 2 Pada kelelawar di Lagos Nigeria
galur 3 Makola virus juga pada kelelawar di Nigeria galur 4
Duvenahage virus pada manusia (Afrika Selatan) galur 5
Lyssavirus kelelawar Eropa 1 (kasus manusia di Rusia)
galur 6 Lyssavirus kelelawar Eropa 2 (2 kasus di Finlandia) galur 7
Baru terisolasi di kelelawar Australia

Patogenesis
Secara umum apabila virus memasuki luka, virus akan segera memasuki
sel otot didekatnya dan berkembang biak dalam sel otot dan segera
melekat di reseptor nikotinik asetilkholin pada neuromuscular junction.
Pada saat virus memasuki saraf, pertahanan tubuh tidak bisa lagi
melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam akson menuju susunan saraf
pusat dengan kecepatan bervariasi antara 12-24 mm perhari, untuk
sampai keganglionspinalis. Saatinigejala-gejalalokalpadatempatgigitanakan
djumpai berupa parastesi. Setelah dari ganglion spinalis kecepatan viru ini
mejadi 200-400 mm perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan
medula spinalis, hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini
olh karena terjadi kerusakan pada batang otak. Hidrophobi ini tidak ditemui
pada penyakit lain oleh karena hanya rabies yang mengenai batang otak
dengan kortekserebri intact sehingga tetap sadar.

Penemuan patologi berupa negri bodies di jaringan otak yang merupakan


hallmark dari rabies ini saat ini hanya pada sekitar 50% kasus sehingga
tidak ditemuinya negri bodies ini tidak memastikan diagnosis. Saat ini
dikembangkan direct flurescent antibody test (DFAT) dengan sensitivitas
yanglebih baikmendekati100%.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 239


Iskandar Syarif

Akhir-akhir ini pemerikaan dengan RT-PCR didapatkan 100% positif pada


ludah dan pemeriksaan virus antigen pada biopsi otak didapatkan juga 100%
sedangkan pada biopsy kulit tengkuk sekitar 67% pada hapusan kornea 25%.
Isolasi virus dari air ludah sekitar 6o%, sedangkan pemeriksaan antibody
rabies dari serum sekita 56% dan dari LCS sekitar hanya 15%. Selain luka
gigitan dari binatang yang sakit, virus dapat juga melalui mukus membran
dan kulit yang aberasi, transplantasi jaringan (kornea atau lainya) dan
inhalasi dari eksreta kelelawar.

Gambaran klinis

Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun dengan
mayoritas kasus antara 20-60 hari, masa inkubasi pendek bila gigitan di
daerah kepala bila dibandingkan ekstremitas. Masa inkubasi lebih pendek
pada anak karena jarak ke SSP lebih pendek jika dibandingkan dengan orang
dewasa. Pada masa inkubasi ini tidak ditemui gejala. Gejala dimulai pada
masa prodromal berupa malaise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan
demam. Nyeri dan parestesi di tempat gigitan atau eksposur ditemui
50%-80% kasus. Rasa takut, agitasi, iritabel, nervous, sukar tidur, dan depresi
menonjol pada masa ini. Masa prodromal ini berlangsung 2-10 hari.

Setelah masa prodromal akan terjadi masa neurologik akut yang


dapat berupa bentuk furious (hebat) dan bentuk paralitik yang akan
berlangsung 2-21 hari atau 2-12 hari. Bentuk furious ditandai dengan
hidrophobi, aerophobi, hiperaktif yang mendadak, disorientasi,
kelakuan yang aneh (bizarre) diselingi lusid interfal. Pada fase lusid ini
penderita dapat mengutarakan apa yang terjadi dan yang dirasakan
serta ditakutkan. Pada fase ini juga ditandai dengan disfungsi saraf
otonom berupa dilatasi pupil danhipersalivasi.

Bentuk paralitik pasien tetap sadar dengan gambaran seperti sindrom


Gullain Barre, dengan gejala paralitik asending yang simetris, bentuk ini
ditemui pada sekitar 20% kasus terutama setelah digigit kelelawar.
Beberapa pasien dengan gejala meningismus sampai epistotonus
dengan LCS normal atau gejala iritasi meningeal dengan peningkatan
sel limfosit dan protein. Apabila pasien tidak meninggal dalam periode
akut akibat kegagalan kardiorespirasi, pasien akan jatuh ke stadium koma.
Walaupun dengan tersedianya perawatan intensif dapat memperpanjang hidup
sementara pasien dengan komplikasi miokarditis, gangguan hipofise
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 240
Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

dan syndrome inappropriate antidiuretic hormon (SIADH).

Gambar Penderitas Rabies (courtesy Iskandar Syarif FK Unand/RS.


Dr. M. Djamil, (Padang)

Pasien infeksius sekitar 1 minggu sebelum muncul gejala sampai


sekitar 5 minggu setelahnya. Walaupun pada prinsipnya manusia
dapat menularkan penyakit ini tetapi sampai saat ini belum ada
laporan penularan antar manusia kecuali pada transplantasi kornea
dari pasien yang sebelumnya tidak terdiagnosis sebagai rabies.

Untuk orang yang terkontak dengan pasien rabies baik oleh karena
gigitan, air liur pasien pada selaput mukosa atau kulit yang tidak
utuh diharuskan mendapat vaksinasi pasca paparan (lihat
pencegahan).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 241


Iskandar Syarif

Umumnya pasien yang telah menunjukkan gejala rabies akan


meninggal karena tidak ada pengobatannya sampai saat ini,
walaupun ada beberapa laporan yang selamat (4 kasus) tetapi
semuanya telah mendapat pencegahan secara parsial setelah
terpapar, hanya 1 kasus di USA yang hidup setelah mendapatkan
gigitan kelelawar di India dan pada kasus ini dilakukan induksi
koma dengan anestesi umum dan mendapatkan juga berbagai
macam antiviral. Untuk kasus-kasus setelahnya dengan memakai
metode ini juga belum ada yang selamat, mungkin karena daya
tahan yang bersangkutan atau virus dari kelelawar lebih kurang
virulence.

Pengobatan (pencegahan)

Pengobatan pasca paparan berupa pengobatan luka dan pemberian imun


globulin dan vaksinasi. Pengobatan luka merupakan bagian penting dari
tatalaksana pasca gigitan yakni mencuci luka dengan air yang mengalir
sekurang-kurangnya 10-15 menit.dan diberi sabun atau deterjen. Luka juga
dapat diberikan povidone-iodine, alkohol 40%-70%, bila luka cukup besar
perlu dipasang kateter untuk irigasi dan jahitan hanya jahitan situasi.
Pemberian anti tetanus serum dan antibiotika untuk pengobatan luka dari
infeksi perlu diberikan.

Profilaksis setelah terpapar akan tergantung pada keadaan anjing yang


menggigit apa hewannya telah diimunisasi atau tidak atau anjing liar yang
dapat ditangkap atau lari. Subdit Zoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes RI (2000)
memberikan bagan alur sebagai berikut :

242 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif

BAGAN ALUR PENATALAKSANAAN


GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES

Kasus gigitan
Anjing, kucing, kera

Hewan penggigit lari/ hilang Hewan penggigit dapat


& tidak dapat ditangkap, mati ditangkap & diobservasi
atau dibunuh 10-14 hari

Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah

Segera beri Segera diberi Segera beri VAR Tidak diberi VAR
VAR & SAR VAR dan SAR Tunggu hasil obsv

Spesimen otak hewan


Dapat diperiksa Hewan Hewan Hewan Hewan
Di Labor Sehat mati mati sehat

Positif Negatif Stop Beri/lanjutkan VAR Tidak


VAR diberi

VAR Stop
Spesimen otak hewan
Lanjutkan VAR
Diperiksa di Lab

Jika tidak dapat diperiksa


Lanjutkan VAR Positif Negatif

VAR Stop VAR


lanjutkan

Sumber : SubditZoonosisDitjenPPM& PLP Depkes RI (2000)


Keterangan : VAR = Vaksin Anti Rabies
SAR = Serum Anti Raies

243 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif

Pedoman di Amerika Serikat (untuk postexposure


rabies prophylaxis/ treatment PEP/PET) sebagai berikut.

1. Setiapseranganhewantanpa diprovokasi terlebih dahuluberisiko tinggi


rabies.
0.Setiap gigitan atau kontak ludah pada membrane mukosa dengan hewan
domestik yang telah diimunisasi sebelumnya dan pemiliknya dapat
menjamin hewannya selama 10 hari maka PEP dapat ditunda.
0. Pada hewan dengan gejala rabies, hewan tersebut segera dimatikan dan
diperiksa otaknya di laboratorium hewan segera untuk melihat ada atau
tidaknya rabies.
0. Human rabies immunoglobulin dan vaksin diberikan pada kasus risiko tinggi
kecuali pada orang yang telah divaksinasi sebelum terpapar dan antibody
terhadap dapat dideteksi, hanya diberikan vaksin ulangan tanpa
imunoglobulin.

Tabel 6.5. Petunjuk untuk post exposure treatment menurut WHO


Kategori Tipe kontak dengan hewan Pengobatan yang dianjur-
yang diduga kan
I Kontak atau memberi makan Tidak diterapi
hewan, jilatan pada kulit
yang utuh
II Nibbling pada kulit yang
tidak utuh, garutan kecil atau Berikan vaksin segera
aberasi kulit tanpa Stop terapi jika hewan
perdarahan , jilatan pada kulit tetap sehat selama
yang tidak utuh observasi 10 hari atau
jika hewan dibunuh dan
hasil pemeriksaan rabies
negatif pada labora-torium
yang dipercaya
III Satu atau lebih gigitan atau
garutan pada kulit Kontaminasi Berikan VAR dan SAR segera.
air liur pada membran mukosa, Hentikan terapi jika hewan
misalnya jilatan tetap sehat selama 10 hari
observasi atau jika hewan
dibunuh hasil pemeriksaan
rabies negatif pada
laboratorium yang dipercaya

244 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Pemberian serum anti rabies (SAR)/Rabies imun globulin (RIG) yang


berasal dari manusia dengan dosis 20 IU/kg BB, sedangkan yang berasal
dari kuda dengan dosis 40 IU/kg BB. Reaksi anafilaksis jarang terjadi
tetapi uji kulit diperlukan pada serum yang berasal dari kuda. Pemberian SAR
ini diinfiltrasikan sebanyak mungkin di sekitar luka dan sisanya intramuskular
dengan jarum dan tempat yang berbeda dari vaksin. Pemberian SAR dapat
diberikan dalam 7 hari setelah pemberian vaksin dan tidak diperlukan
lagi setelahnya. Serum imunglobulin dari kuda saat ini dibuat
dengan pemurnian lebih baik sehingga efek sampingnya lebih
sedikit atau lebih ringan
Bila uji kulit positif perlu dipertimbangkan bila ada indikasi dapat
tetap diberikan dengan pretreatmen dengan adrenalin/ epinefrin im dan
antihistamin dan pasien diperlukan tinggal 1 jam setelah pemberian,
test kulit negatif untuk serum dari kuda ini tidak menjamin tidak akan
ada reaksi anafilaksis karenanya tetap disediakan adrenalin dengan
dosis anak 0,01/kg BB dan dewasa 0,5 ml subkutan atau im. Di
Indonesia sampai tahun 2009 tersedia rabies immunoglobulin dari
serum manusia (Imogam dari Aventis Pasteur), setelah tahun ini
tidak tesedia lagi oleh karena kendala biaya. Sedangkan
immunoglobulin dari serum kuda yang dimurnikan juga belum
tersedia.

Vaksin rabies

Vaksin rabies dahulu berasal dari jaringan saraf (nervus tissue vaksin)
yang mungkin masih ada pada beberapa negara tapi di Indonesia sudah
tidak dipakai lagi karena efek samping yang serius, dapat berupa
meningoensefalitis, meningoensefalomielitis, transverse mielitis dan
paralisis tipe Landry. Saat ini vaksin dari jaringan diploid manusia berupa
human diploid cell Vaccine (HDCV) misalnya imovax rabies vaccine dari
Aventis Pasteur dengan reaksi minimal. Di Eropa dan negara yang sedang
berkembang melisensikan vaksin dari kultur sel monyet vero disebut
purified vero cel vaccine (PVRV) dengan nama dagang Verorab dengan
hasil penggunaan vaksin vero dan HDCV setara. Di Indonesia saat ini
yang ada adalah Verorab.
Pemberian vaksin secara standar WHO intra muskular satu dosis 1 ml
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 245
Iskandar Syarif

atau 0,5 ml tergantung vaksin yang tersedia pada hari 0, hari ke-3,
hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28. Juga dapat diberikan reduksi
jumlah suntikan dengan 2 dosis pada hari 0, 1 dosis hari ke-7 dan satu
dosis hari ke-21 (regimen Zagreb yang dipakai di Indonesia), dapat
mengurangi kebutuhan satu vaksin dan waktu kunjungan lebih singkat.
Suntikan di regio deltoideus pada dewasa, paha lateral pada anak, dan
jangan di daerah gluteus yang akan menyebabkan serokonversi yang
rendah.
WHO berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat biaya
yang cukup tinggi dengan standar regimen secara im dapat diberikan
secara intradermal.
 Untuk pemberian intra dermal diperlukan tenaga yang terlatih
pemberian intradermal dan tidak diberikan pada kasus yang
mendapat obat antimalaria kloroquin karena dapat menurunkan
pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan im 0,5
dan 0,2 bila sediaan im 1 ml.
 Pemberian intra dermal dapat berupa two-site intradermal regimen
(2-2-2-0-1-1) yaitu 2 suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1
suntikan hari ke-28 dan ke-90 (Thailand red cross) bisa juga
disederhanakan dengan 2-2-2-0-2 tanpa hari ke 90. (WHO
regimen 1998).
Pemberian multi site intradermal regimen (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID
pada hari 2, 4 suntikan hari ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28
dan 90. Delapan suntikan ini masing -masing 2 regio deltoideus, 2
supra skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha lateral quadran bawah.
Empat suntikan hari ke-7 pada regio deltoideus dan paha kiri kanan.
Vaksin yang sudah dilarutkan dan tetap dalam suhu 2-8 derajat C, harus
dipakai dalam 6 jam berikutnya. Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand
(1995), Srilangka (1995), dan Filipina (1997), negara-negara maju hanya
mengadopsi suntikan im dengan dosis standar, kecuali untuk
pre-exposure prophylaxis. Pemberian secara intradermal tidak diberikan
pada orang-orang dengan penurunan daya tahan tubuh seperti
pemberian kortikosteroid dan anti malaria kloroquin.

246 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif


Pemberian vaksinasi sebelum terpapar ini biasanya diberikan pada
orang yang berisiko tinggi terhadap rabies seperti dokter hewan,
petugas karantina hewan, pemburu, penangkap anjing, tenaga lab yang
berhubungan dengan virus rabies sedangkan pelancong ke daerah endemis
masih kontroversi. Dosis sama dengan vaksinasi pasca terpapar pada hari 0,
ke-7, ke-21 atau ke-28 baik im maupun ID. Booster dapat diberikan 1 kali
setelah 1 tahun, umumnya dapat diulang setelah 1 sampai 5 tahun. Orang ini
harus dicek titer antibodinya setiap 6 bulan bila berhubungan dengan virus
aerosol, dan yang lainnya setiap 2 tahun.
Studi di Vietnam memberikan imunogenisitas dan aman pemberian
vaksinasi pada anak secara im pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada
umur 2, 3, dan 4 bulan. WHO masih mempelajari pemberian vaksinasi awal
pada anak yang hidup di daerah dengan rabies merupakan problem
utama.

Regimen Intramuskular Standar WHO

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus Hari


0 3 7 14 28

Dengan SAR/RIG* hari ke 0

Regimen Suntikan Intramuskular pada beberapa tempat dengan


jumlah vaksin dikurangi (2-1-1)

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus


Hari 0 7 21
Jumlah 2 x 1x 1x

Dengan SAR/RIG* hari 0

247 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif
Regimen Suntikan Intradermal pada 8 tempat
(8-0-4-0-1 -1)

Dosis: 0,1 ml intradermal pertempat suntikan


Hari 0 7 28 90
Jumlah 8x 4x 1x 1
Dengan SAR/RIG hari ke 0

Regimen Suntikan Intradermal pada 2 tempat (2-2-2-0-1 -1)

Dosis: dosis intradermal 1/5 dari dosis intramuskular (0,1


atau 0,2 ml) pertempat
Hari 0 3 7 28 90
Jumlah 2x 2x 2x 1x 1x

Dengan SAR/RIG hari ke 0


Atau dapat juga regimen (2-2-2-0-2)

Vaksinasi intradermal (ID)


Berdasarkan penelitian di beberapa negara dan
mengingat biaya yang cukup tinggi dengan standar regimen
secara IM, vaksin dapat diberikan secara intradermal. Suatu
penelitian mengenai pemberian dengan cara intradermal seperti
Windiyaningsih di Indonesia menemukan kadar antibodi protektif
dengan pemberian intradermal pada hari ke-7 paska VAR adalah
0,59+0,17 IU/m, lebih tinggi dibanding IM (0,18+0,05 IU/ml),
namun setelah hari ke-7, tidak terdapat perbedaan bermakna
kadar antibodi pada pemberian ID atau IM.
Keuntungan pemberian intradermal adalah kadar
antibodi yang lebih cepat timbul dan lebih ekonomis, sedangkan
kelemahannya adalah memerlukan petugas yang terlatih
pemberian intradermal dan tidak diberikan pada penderita yang
mendapat obat antimalaria kloroquin karena dapat menurunkan
pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan IM
0,5 dan 0,2 bila sediaan IM 1 ml.
Pemberian intra dermal dapat berupa 2-site intradermal regiment
(2-2-2-0-1-1) yaitu 2 suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1
suntikan hari ke-28 dan ke-90. Pemberian multisite intradermal
regiment (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID pada hari 0, 4 suntikan hari
ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28 dan 90. Delapan

248 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

suntikan ini masing-masing 2 regio deltoideus, 2 supra skapula, 2 regio


abdomen dan 2 paha lateral kuadran bawah. Empat suntikan hari ke-7
pada regio deltoideus dan paha kiri kanan. Vaksin yang sudah dilarutkan
dan tetap dalam suhu 2-80C, harus dipakai dalam 6-8 jam berikutnya,
namun suatu penelitian di Thailand menyimpulkan bahwa vaksin yang
telah dilarutkan selama 7 hari masih bisa menimbulkan titer antibodi
protektif , baik disuntikan ID 2-2-2-0-1-1 ataupun dengan modifikasi
2-2-2-0-2.
Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand (1995) Srilangka (1995), dan
Filipina (1997), negara-negara maju hanya mengadopsi suntikan IM dengan
dosis standar, kecuali untuk pre-exposure prophylaxis. Pemberian vaksin
secara ID untuk post-exposureprophylaxis lebih effisien bila terdapat
banyak yang akan diberikan vaksin misalnya 5 atau 50 kasus pada satu
tempat pelayanan.
WHO masih mempelajari pemberian vaksinasi lebih awal pada anak yang
hidup di daerah di mana rabies merupakan problem utama. Studi di
Vietnam memberikan imunogenesitas dan aman pemberian vaksinasi pada
anak secara IM pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada umur 2, 3
dan 4 bulan.

Pencegahan pada binatang


Saat ini di negara maju semua binatang peliharaan yang berpotensi
menularkan rabies diberikan imunisasi terhadap rabies, bahkan pada
hewan liar dengan daerah yang sangat luas diberikan umpan yang
ditebarkan dengan pesawat udara (imunisasi secara oral). Bila 80%
populasi anjing dapat divaksinasi sudah cukup untuk menghambat penularan.
Pemusnahan hewan liar terutama anjing dapat menurunkan penyebaran
penyakit ini di Cina, Indonesia, Thailand dan Vietnam.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 249


Iskandar Syarif

Daftar Pustaka

1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8.
2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson Text Book
of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4.
3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer
4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004.
0. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasusGigitan Hewan
tersangka Rabies.
5. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases. Lancet. 2004;363:959- 69.
6. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics for treatment and
prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59.
7. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et al. Re-evaluating
the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health Organ. 2005;83:360-8.
8. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for travel medicine
advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100.
9. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe fur Reisemedizin.
Travel vaccination recommendations for Central and Eastern European countries based on
country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr. 2005;117 Suppl4:11-9.
10.Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs Times.
2006;102:34-6.
11.Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et al. Management
of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3.
12.CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the Advisory
Committee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
1999;48(RR-1):1-21.
13.World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech Rep Ser.
2005;931:1-88.
14. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W, Chiraguna N,
et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposure regimen by eliminating
the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6.
15.Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of infection
prevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22.
16.Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J Med.
2004;351:2626-35.
17.Widianingsih C. Respon imun pasca vaksinasi anti rabies intra dermal dibandingkan
dengan vaksinasi anti rabies intra muskuler pada gigitan hewan penular rabies.
(Desertasi) FKM-UI Jakarta 2007.

250 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


18.WHO Recommendation for rabies post-exposure treatment and correct technique of
intra dermal immunization against rabies 1996.
19.Canada communicable Desease up-date on rabies vaccines 2005.
20.Khowplod P, Wilde H, Tantawichien T. at all. Potency, sterility and immunogenesiti of
rabies tissue culture vaccine after reconstitution and refrigerated storage for 1 week.
Vaccine; 20:. 2240-2.
21.Manning SE, Rupprecht CE, Fishbein D, et all. Human rabies prevention in US 2008.
Recommendation of advisory committee on immunization practice 2008.
22.Montalban CS, Bravo L, Compos-Caoli JD, et all. Handbook on Rabies and dog bites.
Philiphine 2005
23.Plotkin SA, Clark HF, Rupprecht CE. Rabies virus in Feigin RD, Demmler- Harrison GJ,
Cherry JD, Kaplan SL editors Textbook of Pediatric Infeksius Disease edisi ke 6, 2009;
2494-2511.
24.Bourhy H, Dautry-Versat A, Hortez PJ, Salomon J. Rabies, Still Neglected after 125 years
of vaccination. Plos neglected tropical disease, 2010; http://www,plosntds.org
25.Gompf SG et-all. Rabies diakses dari http;//emedicine.medscape.com/article/220967
last up-dated Jan 12, 2011.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 251


Bab VI-7
INFLUENZA
Cisy Kartasasmita

Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh virus
influenza A dan virus influenza B. Penyakit ini sangat menular, yang dapat
mengakibatkan komplikasi serius. Namun demikian, seringkali
masyarakat dan dokter, memakai istilah “influenza” atau “flu” untuk
setiap penyakit infeksi saluran naf as dengan gejala demam, rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, apapun virus
penyebabnya, dikenal sebagai influenza like illness (ILI). Gejala tersebut
tidak spesifik, dan di masa lalu mungkin tidak penting untuk mendeteksi
virus penyebabnya, karena pengobatannya simtomatis. Pada saat ini
dengan adanya obat dan vaksin untuk pencegahan beberapa jenis virus,
perlu dipastikan virus penyebab penyakit tersebut.

Pemberian vaksin influenza yang dilemahkan (inactivated influenza vaccine)


kepada individu yang berisiko timbulnya komplikasi infeksi, merupakan
satu-satunya cara untuk pencegahan atau mengurangi infeksi influenza
serta mencegah kematian pada saat epidemi. Setelah vaksinasi hampir
semua orang dewasa yang divaksinasi mempunyai titer antibodi yang dapat
melindunginya dari galur (strain) virus yang ada di dalam vaksin. Sebagai
tambahan, individu tersebut juga diproteksi terhadap berbagai varian. Bayi,
orang usia lanjut, dan pasien dengan gangguan kekebalan, akan
menghasilkan titer antibodi yang rendah setelah vaksinasi. Dengan perkataan
lain vaksin influenza lebih efektif untuk mencegah komplikasi saluran nafas
bawah atau komplikasi lain, daripada mencegah infeksi. Harus diingat bahwa
vaksin influenza tidak mencegah infeksi primer akibat virus lain maupun
bakteri patogen dalam saluran nafas.

252 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Cissy Kartasasmita

Virologi

Virus influenza merupakan virus bersampul (enveloped viruses), termasuk


kelompok Orthomyxoviridae. Gambaran karakteristik virus yaitu
mempunyai glikoprotein dipermukaannya, yaitu hemaglutinin (HA)
dan neuraminidase (NA). Dijumpai 3 tipe virus yaitu A, B dan C. Influenza tipe
A terdiri dari beberapa sub-tipe, yang dibedakan berdasarkan surface
antigen HA dan NA. Telah dapat diidentifikasikan 15 HA dan 9 NA subtipe
yang berbeda. Tiga tipe hemagglutinin (H1, H2, dan H3) dan 2 tipe NA (N1
dan N2) dapat diidentifikasi pada virus influenza manusia. Antigen HA
berperan terhadap penempelan virus (virus attachment) pada sel
manusia, dan sebagai mediator untuk reaksi bersatunya sampul virus dan
membran sel, melalui persatuan ini kemampuan akses virus ke bagian
dalam sel meningkat. Sedangkan neuraminidase (N1 dan N2) berperan
terhadap penetrasi virus ke dalam sel manusia. Variasi kedua glikoprotein
eksternal HA dan NA, adakalanya secara periodik berubah, hal ini
menyebabkan perubahan antigenisitas. Virus yang sudah berada dalam
sel, maka RNA akan replikasi dan protein virus disintesis menghasilkan
ribuan partikel virus baru per sel. Akibat infeksi tersebut sel pejamu
mati. Proses lisis sel parenkim paru dan saluran nafas, mengakibatkan
deskuamasi epitel saluran nafas.

Antigenic shift

Antigenic shift merupakan perubahan besar (major) salah satu antigen


permukaan (HA dan atau NA), sehingga dihasilkan subtipe virus dengan HA
baru (dan/atau NA baru). Menurut informasi yang mutakhir reservoar
alamiah untuk virus influenza adalah burung, semua subtipe 15HA dan 9 NA
dapat diidentifikasi pada burung. Bila terjadi proses antigenic shift subtipe
virus influenza baru akan diperkenalkan ke manusia. Berbagai jalan bisa
menghasilkan subtipe virus baru.

253 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Cissy Kartasasmita

Pertama, melalui genetic reassortment antara virus manusia dan unggas


(avian), yaitu virus manusia yang bersirkulasi mengubah segmen gen-nya
dengan virus avian. Hal ini terjadi kalau sel pejamu terinfeksi oleh 2 virus
influenza A. Segmen RNA kedua virus bereplikasi dalam nukleus sel,
sehingga dihasilkan galur virus ketiga yang baru. Binatang yang diyakini
selama ini bisa sebagai intermediate host tempat genetic reassortment
adalah babi, karena babi mempunya mixing vessels yang ideal, selain babi
bisa terinfeksi baik oleh virus manusia maupun unggas. Akhir-akhir ini
diduga pada manusia juga bisa terjadi karena tersedianya mixing vessels
tersebut.
Kedua, transmisi langsung dari unggas ke manusia tanpa melalui
langkah reassortment, seperti terbukti penularan flu burung di Hongkong
tahun 1997. Saat itu virus yang diidentifikasi pada manusia dan ayam
sama jenisnya, yaitu H5N1. Pada kejadian tersebut 18 orang terinfeksi
dan 6 diantaranya meninggal. Begitu pula penyebaran avian influenza di
berbagai negara termasuk di Indonesia.
Ketiga, virus “lama” yang pernah bersirkulasi pada manusia beberapa
waktu lalu beredar kembali, seperti yang terjadi di Rusia (Russian flu)
tahun1977. Virus Rusia tersebut (H1N1) pernah bersirkulasi sebelum tahun
1957 dan mengakibatkan epidemik besar tahun 1950. Karena populasi secara
imunologi naif terhadap subtipe virus tersebut, infeksi dapat segera
menyebar dan mengakibatkan tingginya morbiditas dan mortalitas di seluruh
populasi.Biasanyadiasosiasikan dengan pandemik.
Tiga influenza pandemik utama di dunia terjadi di abad ke 20.
Pertama adalah Spanish flu, yang disebabkan oleh virus H1N1 influenza A,
terjadi tahun 1918 -1919, setelah Perang Dunia I menyebabkan kematian
sedikitnya 40 juta orang. Kedua terjadi tahun 1957, dikenal sebagaiAsian flu,
disebabkan oleh virus H2N2 dan ketiga Hong Kong flu, terjadi tahun 1968
akibat virus H3N2.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 254


Cissy Kartasasmita

Antigenic drift

Antigenic drift merupakan perubahan kecil (minor) pada antigen


permukaan yang timbul akibat mutasi viral genome, sehingga terjadi
substitusi asam amino pada tempat antigenik. Antigenic drift akan
menghasilkan varian/galur baru yang berbeda secara parsial dengan galur
terdahulu. Tergantung dari mutasinya, subtipe baru kemungkinan masih bisa
dikenal secara parsial oleh pertahanan imun pejamu. Akibat dari
perubahan antigenic drift dapat terjadi epidemi influenza yang baru. Di
negara empat musim biasanya terjadi epidemi saat musim dingin. Namun
adakalanya antigenic drift sangat dominan sehingga galur yang baru sangat
berbeda dengan induknya, hal ini menyerupai antigenic shift, akibatnya bisa
terjadi pandemi seperti yang terjadi di Hongkong tahun 1968.
Influenza A dapat menyebabkan penyakit yang sedang maupun berat
pada semua umur. Selain menyebabkan penyakit pada manusia juga pada
binatang seperti babi dan burung. Influenza B umumnya menyebabkan
penyakit yang lebih ringan dibandingkan yang tipe A, dan terutama
menyerang anak-anak. Influenza B lebih stabil dari influenza A, dengan
sedikit antigenic drift dan menyebabkan immunitas yang cukup stabil. Virus
ini hanya menyerang manusia. Virus influenza B mungkin dapat dihubungkan
dengan sindom Reye. Influenza C sangat jarang dilaporkan menyebabkan
penyakit pada manusia, mungkin karena pada umumnya bermanifestasi
subklinis. Tidak pernah dihubungkan dengan epidemi. Nomenklatur untuk
mendeskripsi kan tipe virus influenza berdasarkan urutan sebagai berikut (1)
tipe virus, (2) tempat dimana virus pertama kali di isolasi, (3) nomor galur,
(4) tahun isolasi, (5) subtipe virus.

Epidemiologi
Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets) kontak
langsung dari seseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1- 2 hari sebelum
gejala timbul sampai 4-5 hari sesudahnya. Tak ada

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 255


Cissy Kartasasmita

status karier. Virus influenza seringkali menyebabkan kejadian luar biasa(KLB),


baik berupa epidemi maupun pandemi influenza. Setiap kurun waktu tertentu,
sepuluh tahun atau mungkin lebih, sub-tipe influenza A baru muncul, dan
menyebabkan pandemik, seperempat atau lebih populasi dunia akan
terserang pada satu periode jangka pendek. Sporadik KLB dapat terlokalisasi
dikeluarga, sekolah,dankomunitas yang terisolasi.
Jaringan Intemasional WHO untuk surveilans influenza meliputi
110 National Influenza Centers di 83 negara, memonitor aktivitas
inluenza di dunia. Data surveilans setiap tahun dipergunakan sebagai
rekomendasi panduan untuk komposisi vaksin. Penyakit influenza
timbul terutama pada musim dingin dan mencapai puncaknya dari
Desember sampai Maret di daerah yang beriklim subtropis, tetapi dapat
timbul lebih awal atau lebih lambat. Selama tahun 1976-2001, di
Amerika Serikat aktivitas puncak timbul paling sering pada bulan
Januari (24%) dan Februari (40%) dan rata-rata terjadi 20.000
kematian per tahun. Pada daerah tropis influenza dapat timbul setiap
saat selama setahun. Pada anak usia 0-4 tahun, angka perawatan
rumah sakit adalah 500 per 100.000 orang yang berisiko tinggi dan
100 per 100.000 orang yang tidak berisiko tinggi. Dalam kelompok usia
0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit tertinggi adalah anak umur
0-1 tahun dan angka ini sama dengan angka yang ditemukan pada
orang usia ≥ 65 tahun.

Kematian akibat influenza dapat disebabkan oleh pneumonia,


ataupun eksaserbasi penyakit kardiopulmonal dan penyakit kronis
lainnya. Pada penelitian epidemi influenza yang terjadi dari tahun
1972-1973 sampai 1994-1995, kematian terjadi selama 19 dari 23
musim epidemi influenza. Selama 19 musim influenza tersebut,
perkiraan angka kematian akibat influenza kira-kira 30 sampai > 150
kematian per 100.000 orang usia ≥ 65 tahun. Lebih dari 90% kematian
pada lansia karena pneumonia dan influenza.

256 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Influenza

Manifestasi Klinik

Secara umum flu merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang bisa
sembuh spontan. Virus influenza biasanya tidak menyebar kemana-mana
karena cenderung diam di epitel saluran nafas dan paru paru. Oleh karena
itu sangat jarang virus masuk ke sirkulasi darah atau organ lain. Masa
inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi antara I - 4 hari. Gejala klinis bisa
ringan atau berat tergantung virulensi virus. Gejala ditandai dengan demam
tinggi mendadak (38 – 400C), merupakan gejala utama, dapat disertai nyeri
kepala, nyeri otot (mialgia), lemas, nafsu makan hilang, lelah, muntah dan
diare. Gejala saluran pernafasan seperti pilek, hidung tersumbat, dan nyeri
menelan. Batuk yang mula mula kering berubah menjadi produktif dengan
sputum yang tidak banyak, dan bening kental (mukoid), namun bisa purulen.
Batuk terjadi sebagai akibat destruksi epitel trakea. Gejala demam dan
saluran nafas tersebut bisa berlangsung lima hari, namun bisa berlangsung
7 – 10 hari. Sedangkan rasa lemah dan batuk bisa menetap sampai 1 – 2
minggu kemudian. Perjalanan penyakit dapat lebih berat dan dapat
berisiko menyebabkan kematian pada lansia, pasien penyakit paru atau
jantung kronis.

Vaksinasi influenza

Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza


virus), diproduksi dari virus yang tumbuh pada embrio ayam. Formulasi
vaksin influenza di-review secara berkala, sehingga perubahan komposisi
menyesuaikan dengan antigenic shifts dan antigenic drift. Vaksin influenza
mengandung antigen dari 2 subtipe virus influenza A dan satu galur virus
influenza B, subtipe-nya setiap tahun direkomendasikan oleh WHO.
Rekomendasi WHO berdasarkan virus yang bersirkulasi pada suatu musim
influenza, yang didapat dengan melakukan surveilans aktif galur influenza
baru di dunia. Rekomendasi WHO ada 2 setiap tahun untuk dunia belahan
utara (northern hemisphere) dan belahan selatan (southern hemisphere).
Namun pada umumnya tidak banyak beda antara

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 257


Cissy Kartasasmita

galur untuk kedua belahan bumi tersebut. Galur tersebut akan di


rekomendasikan untuk vaksin di tahun yang akan datang. Untuk periode
2006–2007 WHO merekomendasikan untuk belahan utara vaksin
influenza berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin
/67/2005 (H3N2)-like virus dan B/Malaysia/2506/2004- like virus.
Sedangkan untuk belahan bumi selatan berisi A/New
Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin/67/2005(H3N2)-like virus
dan B/Malaysia/2506/2004-like virus, untuk kedua belahan bumi tidak
banyak perbedaan galur virusnya. Untuk daerah sekitar katulistiwa dapat
menyesuaikan.

Vaksin influenza

o Terdapat dua macam vaksin yaitu whole-virus vaccine dan split-virus


vaccine.
o Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus menerus, maka
perlu dilakukan vaksinasi secara kontinu teratur setiap tahun, menggunakan
vaksinyang mengandung galuryangmutakhir.
o Vaksinasi influenza menunjukkan keefektifan tinggi.
o Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenisitas tinggi.
o Vaksininfluenzaharusdisimpandalamlemari esdengan suhu 2oC-8oC.
Tidak boleh dibekukan.

Saat ini di Indonesia telah beredar 2 macam vaksin influenza yaitu Fluarix
(GSK) dan Vaxigrip (Aventis Pasteur ).

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI (15 Juni 2006)


o Imunisasi influenza untuk anak sehat usia 6–23 bulan
o Semua orang usia ≥ 65 tahun
o Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal,
kelemahan sistim imun
o Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk
diabetes, penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan
imunodefisiensi

258 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Influenza

o Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko


tinggi mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti
petugas kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang
sekitarnya, semua orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia
6–23 bulan, dan orangorang yang melayani atau erat dengan orang yang
mempunyairisiko tinggi.

Jadwal dan Dosis


o Dosis untuk <3 tahun 0,25 ml dan untuk ≥ 3 tahun 0,5 ml.
o Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza trivalen
(TIV) usia ≤ 8 tahun vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu
minimal4 minggu, kemudianimunisasi diulangsetiap tahun.
o Vaksin influenza diberikan secara suntikan intramuskular di otot deltoid
pada orang dewasa dan anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi
dapat diberikan di paha anterolateral.
o Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan 2 dosis dengan
jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang
memuaskan.
o Bila anak usia 9 tahun atau lebih cukup satu kali saja, teratur, setiap
tahun satu kali.

KIPI vaksin influenza

Efek samping minimal berupa ruam makula/papula, 9%


menunjukkan reaksi lokal ringan dan transien serta 28% reaksi sistemik
ringan.
o Padaanakusiaantara6 bulan sampai5 tahundidapatkan reaksidemam
18%.
o Reaksi lokal nyeri, eritema dan indurasi pada tempat suntikan, pada
15%-20% resipien, terjadi selama 1–2 hari
o Gejalasistemik tidak spesifik pada <1% resipienberupa demam,lemas
dan mialgia (flu-like symptoms), yang timbul beberapa jam

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 259


Cissy Kartasasmita

setelah penyuntikkan, terutama pada anak usia muda, timbul setelah 6


- 12 jam pasca vaksinasi, selama 1 atau 2 hari.
o Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angiooedema,
asma, sistemik anafilaktis) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respons
alergi terhadap komponen vaksin, seperti protein telur. Pasien dengan
riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanya respons alergi
terhadapprotein telurjangandiberi vaksin influenza.

Indikasi Kontra

o Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin


influenza sebelumnya dan komponen vaksin seperti telur jangan diberi
vaksinasi influenza.
o Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur
mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas
akut atau pingsan.
o Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang
sedang menderita penyakit demam akut yang berat.
o Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui.

Antivirus

Obat antivirus generasi pertama adalah amantadin dan rimantadin,


keduanya merupakan M2 inhibitor. Sedangkan oseltamivir dan zanamivir
adalah golongan neuramidase inhibitor. Obat antivirus dapat dibedakan
menjadi obat-obat untuk pengobatan penyakit influenza (amantadin,
rimantadin dan oseltamivir), dan obat untuk pencegahan influenza
(amantadin, rimantadin, oseltamivir dan zanamivir). Hanya oseltamivir dan
zanamivir efektif untuk influenza B. Oseltamivir merupakan salah satu
pilihan utama mengingat resistensi virus influenza A terhadap amantadin
dan rimantadin meningkat. Oseltamivir dan oseltamivir carboxylase dapat
diberikan pada anak. Penelitian baru dilakukan pada anak usia 3 – 12 tahun
dan 5 – 16 tahun.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 260


Cissy Kartasasmita

Indikasi pemberian anti virus untuk penyakit influenza

1. Pasien yangberisikodan orangserumahyang belum mendapat


imunisasi pada waktu infeksi influenza terjadi didaerahnya.
2. Untuk mengendalikan kejadian luarbiasadikomunitasterisolasiatau
semi isolasi.
3. Pasien yangberisikokarenaadanya riwayat alergitelur (sehinggatidak
dapat diimunisasi).
0. Adanya ketidakcocokan vaksin dan virus yang bersirkulasi. 5.
Ancaman pandemik dan vaksin tidak tersedia.

Antivirus untuk influenza harus diberikan dalam waktu 24-48 jam sejak
mulai sakit. Obat diberikan secara oral kecuali zanamivir secara inhalasi. Efek
samping berupa keluhan susunan saraf pusat seperti gelisah sulit konsentrasi,
sulit tidur, pusing, nyeri kepala dan jitteriness dan gangguan perut. Amantadin
dan mungkin rimantadin meningkatkan risiko terjadinya kejang pada anak
dengan riwayat pernah kejang.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


2. CDC. Press release, October 2003. The advisory committee onuimmunization practice vote to
recommend influenza vaccination for children aged 6 to 23 months. http://www.
cdc.gov/od/oc/media/pressel/r031016.htm.
3. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003.
0. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S, Wolfe
C, Nelson R. Eds. 5th edition. Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC,
January 1999.
4. The Australian Immunisation Handbook. 6th edition. National Health and Medical Research
Council (NHMRC), 1997.
5. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics,
2006.

6. Yee TT and Ee AL. What to know about Influenza. Newsletter, 2000.


1. WHO. http://www.who.int/csr/disease/influenza/update/en/index.html.

261 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Influenza

9. Gonzales M, Pirez MC, Dibarboure, Garcia A, Picolet H. Safety and immunogenicity of


paediatric presentation of an influenza vaccine.Ach Dis.Child. 83:488-491, 2000.
10. GoodmanMJ, NordinJD, Harper P, DeFor T, Zhou XZ. The safety of trivalent Infuenza Vaccine among
Healthy Children 6 – 24 months of age. Peasitrics,117:pp:e821-e826, 2006.
11. Wilschut J, McElhaney JE. Influenza. Mosby. Elsevier Limited. The Neherland, 2005.

262 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-8
PNEUMOKOKUS
Cisy Kartasasmita

Pneumokokus dan H influenzae adalah bakteri gram positif diplokokus


merupakan penyebab terpenting penyakit infeksi saluran nafas pada
masa anak. Diduga di negara berkembang, setiap tahun sedikitnya 1
juta anak meninggal karena penyakit infeksi pneumokokus. Pneumokokus
selain merupakan penyebab utama pneumonia, juga menyebabkan
meningitis, bakteremia, sepsis, sinusitis, otitis media, dan konjungtivitis
terutama pada anak usia di bawah 2 tahun dan lansia. Sebagian
pneumokokus dapat ditemukan sebagai flora normal saluran nafas atas,
sedangkan yang lain merupakan kuman yang berhubungan dengan penyakit
invasif. Kemampuan pneumokokus untuk mengadakan invasi karena
peran polisakarida. Pneumokokus menyebabkan penyakit invasif maupun
non-invasif. Penyakit akibat infeksi pneumokokus invasif antara lain adalah
pneumonia, meningitis, bakteremia dan infeksi di tempat lain
dikelompokkan sebagai Invasive Pneumococcal Diseases (IPD). Risiko untuk
seorang anak menderita IPD dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko
yaitu umur, jenis kelamin, keadaan lingkungan, dan berbagai penyakit
kronis.

Serotipe pneumokokus ditentukan oleh polisakarida yang


melingkari dinding sel. Sampai saat ini telah dapat diidentifikasikan lebih dari
90 serotipe. Namun hanya beberapa serotipe menyebabkan penyakit yang
serius seperti IPD. Serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F merupakan
penyebab terbanyak IPD pada anak di Amerika. Sedangkan serotipe 6B, 9V, 14,
19A, 19F, dan 23F merupakan isolat yang tersering yang dihubungkan
dengan penisilin resistensi. Kapsul polisakarida melingkari dinding sel
dan merupakan

263 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pneumo
kokus

komponen utama antigenik kuman, dan merupakan faktor yang


menentukan virulensi kuman. Virulensi pneumokokus ditandai oleh
jumlah polisakarida yang dihasilkan, semakin banyak menghasilkan
polisakarida semakin virulen. Setelah bakteri melakukan invasi kapsul
polisakarida akan memproteksi kuman dengan cara menginhibisi
fagositosis neutrofil dan pemusnahan bakteri yang klasik melalui sistim
komplemen. Faktor penting untuk terjadinya penyakit pneumokokus
termasuk kemampuan kuman menyerang sistem imun dan tidak adanya
antibodispesifik terhadap pneumokokus.

Epidemiologi

Pneumokokus merupakan bagian dari flora normal saluran nafas atas pada
anak sehat, dan disebarkan dari manusia-ke-manusia melalui percikan
ludah.
o Dilaporkan bahwa laju pembawa kuman di nasofaring dewasa berkisar
antara 5%–30%, pada anak sehat 20%–50% dan 25%–75% bayi membawa
kuman pneumokokus setiap saat. Kolonisasi tertinggi didapatkan pada
bayi usia muda, laki-laki, anak yang tinggal di Panti dan anak yang
dititipkan di Tempat Penitipan Anak.
o Faktor risiko lain untuk kolonisasi
o bayi yang tidak dapat ASI,
o infeksi virus pada saluran nafas atas,
o perokok pasif,
o saudara yang dititipkan di tempat penitipan anak,
o negara 4 musim pada musim dingin.
o Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan bakteri di lingkungan
keluarga dan rumah tangga yaitu kepadatan hunian, cuaca, dan adanya
pasieninfeksisaluran pernafasanbagianatas,pnemonia, atau otitis.
o Risiko tinggi pada kelainan anatomi dan fungsi adalah: asplenia, defisiensi
imunoglobulin, sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS, gagal ginjal
kronik, transplantasi organ, dan keganasan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 264


Pneumo
kokus

limfoid, penyakit kardiovaskular kronis dan penyakit paru kronis,


diabetes melitus, alkoholisme, sirosis hepatis dan pasien dengan
kebocorancairan serebrospinalakibat trauma ataupasca operasi.

Di seluruh dunia 10% dari 12 juta kematian yang diperkirakan pada


balita setiap tahun, disebabkan karena infeksi pneumokokus. Dari Amerika
Serikat dilaporkan insidensi bakteriemia 15- 19/100.000, meningitis
1-2/100.000, kematian 10-30%. Sebelum imunisasi pneumokokus
diberlakukan, setiap tahun di Amerika Serikat dilaporkan sebanyak 4 juta
anak menderita infeksi telinga, 125.000 anak dirawat dengan pneumonia,
2500 kasus meningitis dan 30.000 sepsis. Di Australia pada suku Aborigin
insidensi infeksi pneumokokus dilaporkan mencapai 200/100.000 per tahun,
dengan kematian 10%. Di Papua New Guinea, hampir 50% kematian akibat
infeksi saluran nafas pada anak berhubungan dengan S.
pneumoniae.
Hasil penelitian di Ujung Berung, Bandung pada 698 balita dengan
pneumonia tidak berat, didapatkan isolat positif 25,4% dan 67,8%
diantaranya positif S.pneumoniae. Penelitian lanjutan di Majalaya dari 1012
spesimen apus nasofaring, 59,9% isolat positif untuk pneumokokus dan
42% positif H.influenzae. Penelitian lain di Ujung Berung, Bandung, pada
bayi baru lahir yang diikuti sampai usia 2 bulan didapatkan 1 isolat positif
pneumokokus pada bayi baru lahir dan 2.8%, 9,3%, 12%, dan 13,9%
pada minggu ke 2, ke 4, ke 6 dan ke 8. Pada saat yang sama didapatkan
57,1% saudara bayi tersebut menunjukkan isolat positif juga, yang
kemungkinan besar merupakan sumber penularan. Penelitian Soewignyo
dkk. yang dilaksanakan di Lombok pada 484 anak umur < 24 bulan,
didapatkan pada 48 kasus S pneumoniae positif, dengan peningkatan dengan
bertambahnya umur. Hasil penelitian pada 169 isolate ditemukan
serotipe 6, 23, 33, 15, 12, 19, 14, 9, 18, 4, 10, 22, dan 7.
Hal lain yang penting adalah meningkatnya resistensi isolat pneumokokus
terhadap berbagai antibiotik. Di Amerika Serikat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 265


Cissy Kartasasmita

didapatkan resistensi pneumokokus terhadap penisilin sebesar 25%, dan


79% diantaranya multi drug resistance. Adanya peningkatan resistensi ini
merupakan salah alasan perlunya imunisasi.

Vaksi n

Salah satu kesulitan dalam membuat vaksin pneumokokus karena ada 90


serotipe yang berbeda yang dapat menyebabkan penyakit. Namun, hanya 7
serotipe pneumokokus yang mempunyai kontribusi terhadap 80% infeksi
pada anak.

Jenis vaksin

Terdapat 2 macam vaksin pneumokokus


Vaksin pneumokokus polisakarida (pneumococcal polysaccharide vaccine
= PPV). Vaksin PPV 23 valen mengandung 23 serotipe ( 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F,
8, 9N, 9V, 10A, 11A, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19A, 19F, 20, 22F, 23F, dan 33F)
yang bertanggung jawab terhadap 85%–95% IPD pada anak dan dewasa di
Amerika.VaksinPPV23yangtersediadi Indonesia adalah Pneumo-23®.

Vaksin PPV tidak dapat merangsang respon imunologik pada anak usia
muda dan bayi sehingga tidak mampu menghasilkan respon booster. Untuk
meningkatkan imunogenositas pada bayi, dikembangkan vaksin
pneumokokus konjugasi.

Vaksin pneumokokus polisakarida konjugasi (pneumococcal conjugate


vaccine = PCV). Vaksin PCV pertama berisi 7-valen, mengandung serotipe
4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F. Ketujuh serotipe PCV penyebab hampir
90% penyakit pneumokokal invasif pada anak usia muda di Amerika Serikat
dan Canada, dan 75% anak di Eropa. Vaksin PCV7 yang saat ini beredar di
Indonesia adalah Prevenar®.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 266


Pneumo
kokus

Tabel 6.6. Perbedaan antara PPV-23 dan PCV-7


PPV-23 PCV-7
o Polisakarida bakteri o Konyugasi polisakarida dengan
o T- independent antigen protein difteri
o Tidak imunogenik pada < 2 o T-dependent
tahun, rekomendasi untuk > 2 o Imunogenik pada anak < 2
tahun tahun
o Imunitas jangka pendek, tidak o Mempunyai memori jangka
ada respon booster panjang
o Mengandung 23 serotipe o Imunitas jangka panjang, respon
14,6B,19F 18C, 23F, 4, 9V, 19A, booster positif
6A, 7F, 3, 1, 9N, 22F, 18B, 15C, o Me n g a n d u n g 7 se r o t i p : 4,
12F, 11A, 18F, 33F, 10A, 38, 13 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F
(Pneumo-23®) (Prevenar®)

Impak dari pemberian vaksin

Efikasi PPV23 kebanyakan pada orang dewasa ≥18 tahun, terutama lansia di
atas 60 tahun atau anak ≥2 tahun dengan faktor risiko. Penelitian
case-control pada anak ≥2 tahun dengan risiko dan lansia ≥ 65 tahun di
Amerikamendapatkanefikasisebesar 81% (34%–94%)pasca vaksinasi.

Efikasi vaksin PCV7 telah diteliti secara luas di banyak negara.


o Penurunan episode pneumonia paling besar pada umur ≤ 2 tahun,
32,2% tahun pertama dan 23,4% tahun kedua. Efikasi 100% vaksin
PCV7 untuk bayi LBW dan prematur,
o Efek samping sistemik maupun lokal berupa bengkak di tempat suntikan,
nyeri pada rabaan dan demam ≥ 380C tidak berbeda antara bayi BBLR
dan bayi berat badan normal.
o Efikasi untuk OMA hasilnya baik, penurunan episode OMA
yang disebabkan serotipe yang ada dalam vaksin menurun 34%
(21 %–45%).Penurunan51% terhadap OMA yangkarenaserotipe
sejenis dalam vaksin.
o Efektif menurunkan 95% sepsis dan meningitis.
o Mengurangi kunjungan berobat.
o Menurunkan kolonisasi di nasofaring.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 267


Cissy Kartasasmita

o Menurunkan kejadian OMA dan IPD, penurunan kejadian penyakit


pada umur < 1 tahun 77%, umur 1 tahun 83%, 2 tahun 73% dan umur 4
tahun 49%. Penurunan kejadian bakteriemia 66%, pneumonia 39%
dan meningitis 56%.
o Penurunan resistensi S. pneumonia terhadap penisilin 40%
o Menimbulkan herd effects 40% –55% artinya anak dan orang dewasa
yang tidak diimunisasi akan terlindungi dari paparan.
o Menurunkan insiden serotipe vaksin sebesar 73% - 94%.

Rekomendasi
Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal 15 Juni
2006

Vaksin pneumokokus polisakarida (PPV 23) diberikan pada,


 Lansia di atas 65 tahun.
 Diberikan pada anak >2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD yaitu
anak dengan asplenia (kongenital atau didapat), penyakit sickle cell,
splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu
sebelum splenektomi.
 Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin,
dan transplantasi organ.
 Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita
penyakit kronis yaitu penyakit jantung kronis, penyakit paru atau
ginjal kronis, diabetes.
 Pasien umur >2 tahun kebocoran cairan serebrospinal.
Catatan: Pasien risiko tinggi tersebut seyogyanya mendapat imunisasi PCV7 sesuai
umur dan pengulangan imunisasi PPV23 setelah 3–5 tahun.

Vaksin polisakarida konjugat (PVC7) direkomendasikan untuk anak di


atas 2 bulan.
 Semua anak sehat usia di atas 2 bulan sampai 5 tahun.
 Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia
baikkongenital ataudidapat, termasukanak dengan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 268


Pneumo
kokus

penyakit sickle cell, splenic dysfucntion dan HIV. Imunisasi


diberikan 2 minggu sebelum splenektomi.
 Pasien dengan immunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom
nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin,
keganasan lain dan transplantasi organ.
 Pasien dengan immunokompeten yang menderita penyakit kronis
yaitu penyakit jantung kronis, penyakit paru atau ginjal kronis,
diabetes.
 Pasienkebocoran cairan serebrospinal.
 Selainjuga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang
huniannya padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering
terserang akut otitis media.

Catatan: Anak yang tergolong imunokompeten hanya perlu 1 dosis sedangkan


dengan imunokompromais harus mendapat 2 dosis dengan jarak minimal 2 bulan,
diikuti dengan pemberian PPV23 2 bulan kemudian.

Dosis & cara pemberian


o Vaksin PPCV7 diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan, dan diulang
pada umur 12-15 bulan.
o Pemberian PCV7 minimal umur 6 minggu,
o Interval antara dua dosis 4-8 minggu,
o Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga.
Apabila anak datang setelah berumur > 7 bulan maka diberikan jadwal
dan dosis seperti tertera pada Tabel 6.7.
Tabel 6.7. Dosis pemberian PVC7 pada bayi ≥ 7 bulan
Umur datang pertama kali Dosis vaksin yang diberikan
7-11 bulan 3 dosis*
12-23 bulan 2 dosis#
≥ 24 bulan sampai 5 tahun 1 dosis
Keterangan:
* 2 dosis interval 4 minggu, dosis ketiga diberikan setelah 12 bulan, paling sedikit 2 bulan
setelah dosis kedua
# 2 dosis paling sedikit interval 2 bulan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 269


Cissy Kartasasmita

Imunisasi untuk anak risiko tinggi

Meskipun data terbatas namun kesempatan untuk memberikan vaksin


dengan serotipe yang lebih banyak menjadi dasar pemikiran pemberian
kombinasi ini.
o Setelahpemberian imunisasiPCV7,diberikan lanjutanimunisasiPPV23.
o Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2
tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu
suntik ≥ 2 bulan setelah PCV terakhir.

Reaksi KIPI
Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek samping
yang serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis pertama.
o Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri di bekas
tempat suntikan.
o Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah, pusing, tidur
tidak tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare, urtikaria. Demam
ringan sering timbul, namun demam tinggi di atas 39oC jarang dijumpai
dilaporkan setelah pemberian dosis ketiga.
o Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat jarang
ditemukan.
o Pernah jugadilaporkankejadian beratberupanefrotiksindrom,
limfadenopati, dan hiper- imunoglobulinemia.
o Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua, namun
berlangsung tidak lama, akan menghilang dalam 3 hari.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


0. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S, Wolfe
C, NelsonR. Eds.5th edition. Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC,
January 1999.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 270


Cissy Kartasasmita

3. McIntyre P. Pneumococcal vaccines. In Vaccine: Children & Practice 2000;l3:15-17.


4. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003.
5. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of
Pediatric, 1997.
6. DaganR. Can we identify pneumonia that may be reduced by pneumococcal conjugate vaccines?.
In Proceeding of Pneumococcal diseases in Asian Children. Seoul Korea, 2003.
7. Durbin WJ. Pneumococcal infections. Pediatrics in Review, 25: 2004.
8. Kaplan SL, Mason O, Wald ER, Schutze GS, Bradley JS, Tan TQ, Hoffman JA, Givner LB, Yogev
R, Barson WJ. Decrease of invasive pneumococcal infections in children among 8 Children’s
Hospitals inthe United Statesafter the introduction of the 7-valent Pneumococcal Conjugate
Vaccine. Pediatrics; 113:443-449, 2004.
9. Bridy-Pappas, Margolis MB, Center KJ, Isaacman DJ. Streptococcus pneumoniae: Description
of the Pathogen, Disease Epidemiology, Treatment, and Prevention. Pharmacotherapy
25(9):1193-1212, 2005.
10. Poehling KA, Talbot TR, Griffin MR, Craig AS, Whitney CG, Mstat EZ, Lexau CA, Thomas AR,
HarrisonLH, Reingold AL, Hadler JL, Farley MM, AndersonBJ, Schaffner W. Invasive
Pneumococcal Disease among infants before and after introduction of Pneumococcal
Conjucate Vaccine. JAMA; 295:1668-74. 2006.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 271


Bab VI-9
Rotavirus
Agus Firmansyah

Epidemiologi

Infeksi rotavirus terjadi di seluruh dunia. Pada daerah dengan empat


musim, umumnya terjadi pada musim dingin. Di Indonesia, puncak kejadian
diare karena rotavirus terjadi pada musim panas yaitu sekitar bulan
Juli-Agustus. Diare karena rotavirus terjadi pada usia 6-24 bulan, dengan
puncaknya pada usia 9-12 bulan.
Sepertiga kasus diare yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia
disebabkan oleh rotavirus dengan angka kematian 600.000 pertahun. Angka
tersebut mencerminkan 20-25% dari seluruh kematian akibat diare dan 6% dari
seluruh kematian pada balita. Di Indonesia dilaporkan angka kejadian diare
rotavirus di poliklinik rumah sakit atau Puskesmas berkisar 36-61% dari kasus
diarepadabalita.Namun laporandatasurvailansditiga rumahsakit di Jogyakarta
danPurworejo mendapatkanrotavirus sebagai penyebabdiare mencapai 53,4%
dari 1321 sampel tinja yang diperiksa dan kasus terbanyak berumur 24 bulan.
Genotipe terbanyak adalah G1 57,4%, diikuti oleh G4 14,9%, G2 10,9%, dan
campuran (mixed infection) G1 dan G2 7,9%.

Patogenesis

Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare yang
terjadi merupakan resultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta
imatur dan defek transport akibat efek toksik protein virus (NSP4).
Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus telah mengalami
regenerasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 272


Gejala klinis
Infeksi rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa inkubasi
antara 24-72 jam dan gejala yang timbul didahului oleh demam dan
muntah dan diare berair yang menyebabkan dehidrasi berat dan kematian.
Diare oleh rotavirus berlangsung selama 4-7 hari, 5% kasus disertai
kejang demam.

Pengobatan
Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi rehidrasi
dan pemberian makanan sesegera mungkin dan ASI tetap diberikan
selama sakit.

Vaksi n

VaksinRotavirus(RV)yangtelah ada di pasaranberasaldari humanRV


vaccine R/X 4414, dengan sifat sebagai berikut.
 Live, attenuated, berasal dari human RV /galur 89-12.
 Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai neutralizing epitope
yang sama dengan RV tipe G1, G3, G4, dan G9 yang merupakan
mayoritas isolat yang ditemukan pada manusia.
 Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer dalam
kemasannya.
 Pemberiandalam2 dosispadaumur6-12minggudenganinterval8
minggu.
 Faktor-faktor yang mengurangi imunogenisitas vaksin RV,
o Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio oral)
o Masih terdapatnya antibodi maternal
o Adanya bakteri enterik patogen di dalam usus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 273


Agus Firmansyah
Rotavirus

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Dari laporan penelitian vaksin RV di Finlandia, Amerika Selatan, dan
Singapura, tidak ditemukan kejadian intususepsi pada vaksin RV baru.
Kejadian ikutan yang dilaporkan adalah diare 7,5%, muntah 8,7%, dan
demam 12,1%.

Daftar Pustaka

1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass Rl.
Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus in Indonesia.
Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen PPM & PL Departemen
Kesehatan, Jakarta Oktober 2004.
4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, De Vos B.
Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus vaccine in adults,
toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42.
5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar on Vaccinology
Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 274


BabVI-10
Kolera dan Enterotoxigenic Escherichia
coli
(ETEC)
Agus Firmansyah

Kolera disebabkan oleh infeksi enterotoksin yang dihasilkan oleh Vibrio


cholerae serotipe O1 dan O139 dengan gejala-gejala khas, yaitu
serangan mendadak berupa diare cair yang menyemprot yang
kemudian diikuti oleh dehidrasi, asidosis metabolik, dan hipotensi. Kolera
dapat bersifat ringan dan subklinis, namun pada kasus berat bila tidak
diobati dengan cepat dan tepat, separuhnya akan meninggal. Penyakit ini
umumnya ditularkan lewat air atau makanan yang tercemar dengan tinja
manusia, walaupun Vibrio cholerae dapat pula berkembang biak di air
laut dan air tawar. Meskipun 75% infeksi bersifat asimtomatis atau
ringan, infeksi Vibrio cholerae dapat menimbulkan diare berair yang masif
yang menyebabkan syok dan kematian. Infeksi Vibrio cholerae terjadi
melalui makanan. Penyembuhan nya pada umumnya dengan resusitasi
cairan dan antibiotik akan berhasil baik.

Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta
sertifikat vaksinasi kolera. Oleh karena vaksin yang beredar saat ini efikasinya
rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efek sampingnya, maka manfaat
vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman lambung merupakan daya
tangkal yang terpenting terhadap infeksi kolera. Oleh karena itu, vaksinasi
kolera dianjurkan pada turis yang mempunyai riwayat reseksi lambung,
aklorhidria, ulkus peptikum yang mendapat terapi inhibitor reseptor H2
(misalnya simetidine) dan proton pump inhibitor (misalnya omeprazol). Secara
epidemiologis daerah-daerah yang tercatat ditemukannya kolera ialah Asia,
Afrika,Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 275


Kolera & Enterotoxigenic
Escherichia coli

Vaksin Kolera

Vaksin kolera-CSL (suspensi V. cholerae klasik serotipe O1 Inaba dan


Ogawa) yang telah dimatikan lewat pemanasan dengan
penambahan fenol 0,5% sebagai pengawet. Vaksin ini memberi
perlindungan terhadap kolera beberapa bulan, vaksin juga tidak efektif
terhadap Vi cholerae O139. Pada uji klinis yang dirancang dengan baik di
Banglades dan Filipina, efektivitas kolera hanya 50-70% dengan lama
perlindungannya antara 3-6 bulan.
Vaksin kolera hidup yang dilemahkan diberikan 1 kali suntikan dan
efektif selama 3 tahun. Efek samping berupa anoreksia, diare dan
muntah terjadi pada kurang dari 10% resipien dan berlangsung sementara.
Vaksinkolerahiduporalsedangdalampengembangan.

Rekomendasi

 Di beberapa negara kolera bersifat endemis, namun vaksinasi rutin


tidak dianjurkan. Kepada orang yang melakukan perjalanan dianjurkan
lebih baik hati-hati memilih makanan dan minuman, dipandang lebih
penting dari pada vaksinasi.
 Sejak tahun 1973, WHO telah menghapuskan peraturan
tentang vaksinasi kolera. Walaupun demikian, masih ada pejabat
imigrasi beberapa negara yang meminta sertifikat vaksinasi sebagai
syarat. Untuk hal ini orang yang mengadakan perjalanan telah
dinasehatkan mendapat dosis tunggal vaksin sehingga memiliki
sertifikat sebelum berangkat (ini lebih baik daripada dipaksa mendapat
vaksinasi di perbatasan suatu negara)
 Kenyataan menunjukan bahwa pengawasan perlintasan
perbatasansangatlemah,makanasehatdiatasmasihperludipertanyakan, dan
harus ditekankan bahwa tak ada dasar medis untuk melakukan vaksinasi
kolera secara rutin untuk mereka yang melakukan perjalanan ke luar
negeri.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 276


Kolera & Enterotoxigenic
Escherichia coli
Agus Firmansyah

 Dosis vaksin kolera


Dosis tunggal, diberikan secara intra muskular dalam
Dosis dewasa 0,5 ml
Dosis anak umur 5-9 tahun 0,3 ml
Dosis bayi 0,1 ml
Dosis kedua diberikan 7-28 hari kemudian, untuk memperkuat
respons imun, tetapi tidak direkomendasikan kecuali ada risiko
terpajan yang substantif.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Pembengkakan dan indurasi dapat terjadi pada tempat suntikan, sedangkan


gejala lain seperti demam, malaise dan reaksi serius jarang terjadi.

Indikasi Kontra

 Jangan menggunakan vaksin untuk orang-orang yang diketahui


hipersensitif terhadap dosis yang diberikan sebelumnya atau
 Bayi berumur kurang dari 6 bulan
 Anak-anak yang sering sakit
 Kehamilan merupakan indikasi kontra yang relatif.

Pengelolaan Wabah

Vaksin kolera tidak ada manfaatnya dalam pengawasan kejadian wabah.

Daftar Pustaka

1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.

2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 277


3. Jiang ZD, Mathewson JJ, Ericsson CD, Svennerholm AM, Pulido C, DuPont HL. Characterization
of enterotoxigenic Escherichia coli strains in patients with travelers’ diarrhea acquired in
Guadalajara, Mexico, 1992-1997. J Infect Dis. 2000;181:779-82.
4. Adachi JA, Jiang ZD, Mathewson JJ, Verenkar MP, Thompson S, Martinez-Sandoval F, et al.
Enteroaggregative Escherichia coli as a major etiologic agent in traveler’s diarrhea in 3 regions
of the world. Clin Infect Dis. 2001;32:1706-9.
5. Shlim DR. Update in traveler’s diarrhea. Infect Dis Clin North Am. 2005;19:137-49.
0. Connor BA. Sequelae of traveler’s diarrhea: focus on postinfectious irritable bowel syndrome.
Clin Infect Dis. 2005;41:S577-86.
6. DuPont HL, Jiang ZD, Ericsson CD, Adachi JA, Mathewson JJ, DePont MW, et al. Rifaximin versus
ciprofloxacin for the treatment of traveler’s diarrhea: a randomized double blind clinical trial.
Clin Infect Dis. 2001;33:1807-15.
7. World Health Organization. Cholera, 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2006;81:297-308. 9.
Griffith DC, Kelly-Hope LA, Miller MA. Review of reported cholera outbreaks worldwide,
1995-2005. Am J Trop Med Hyg. 2006;75 973-7.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 278


BabVI-11
Yellow Fever
Agus Firmansyah

Penyakit yellow fever atau demam kuning disebabkan oleh virus yellow
fever yang termasuk famili flavivirus. Nama yellow diberikan karena
penyakit ini menyebabkan ikterus. Penyakit ini dapat ringan seperti
serangan flu dan dapat seberat hepatitis atau demam berdarah. Masa
inkubasi 2-5 hari. Pada infeksi yang khas, gejala awal berupa nyeri kepala,
nyeri perut, dan muntah. Kemudian diikuti dengan hepatitis virus berat
dengan gagal hati dan ginjal. Bila turis terserang, angka kematiannya cukup
tinggi sekitar 50 persen.
Vaksinasi terhadap yellow fever unik karena merupakan satusatunya
vaksinasi wajib yang disyaratkan oleh beberapa negara tujuan wisata.
Sangat dianjurkan bagi mereka yang mengunjungi Afrika dan Amerika
Selatan. Sejak Juli 1996, 18 negara meminta
Yellow International Certificate Vaccination bagi turis yang memasuki
negara mereka. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina Faso,
Kamerun, Republik Afrika Tengah, Kongo, Cote d’lvoire, Gabon, Ghana,Liberia,
Mail, Mauritania, Nigeria, Ruanda, Sao Tome, Senegal, Togo, Zaire di Afrika dan
French Guyana di Amerika Selatan.

Epidemiologi

Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk yang
ada diperkotaan (urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk tersebut baik
klinis maupun etiologis tidak berbeda. Yellow fever yang ditemukan di
pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang ditularkan dari orang ke
orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerahdaerah yang telah dilakukan
pemberantasan Aedes aegypti, maka yellow fever bentuk perkotaan dapat
menghilang.Bentukyangditemukandi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 279


Yellow Fever

hutan
(jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara kera oleh
berbagai macam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia dapat
menyebabkan infeksi. Bila orang tersebut kemudian digigit oleh nyamuk Aedes
aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran yellow fever bentuk perkotaan.
Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di Afrika Selatan pada tahun
terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi di beberapa daerah di Afrika Barat
dan Timur, ditemukan baik di kota maupun di pedesaan. Tindakan
pencegahan terhadap yellow fever meliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti,
perlindungan terhadap gigitan nyamuk, dan vaksinasi. Yellow fever yang
ditemukandihutan hanyadapat dicegah dengan cara vaksinasi.

Vaksinasi untuk perjalanan international


Syarat vaksinasi untuk perjalanan internasional tergantung pada negara
yang akan dikunjungi dan jalur perjalanan yang dilalui. Persyaratan ini
dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga semua orang
yang dalam perjalanan harus mencari informasi dari pejabat kesehatan
negara yang bersangkutan. Orangorang yang tak memenuhi persyaratan
untuk vaksinasi yellow fever harus dikarantina. Semua orang yang
berumur lebih dari 1 tahun, yang dalam 6 hari saat tiba di suatu negara
telah bepergian dari daerah infeksi sebagai yang tertera dalam daftar WHO,
harus memiliki sertifikat vaksinasi international yang baru (yang masih
berlaku). Sertifikat vaksinasi yellow fever berlaku sampai 10 tahun, yaitu
berlaku sejak 10 hari setelah tanggal vaksinasi atau pada kasus revaksinasi
sebelum masa kadaluwarsa sertifikat yang sebelumnya telah dimiliki
sampai tanggal revaksinasi.

Vaksin yellow fever


• Vaksin yellow fever adalah CSL dari galur 17D, merupakan vaksin live
attenuated, berbentuk vaksin kering beku (freezed dried vaccine), aman
digunakan, dan efektif.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 280


Yellow Fever

 Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50 units.
 Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan berisi tidak
lebih dari 2 IU neomisin dan 5 IU polimiksin; dikemas dalam vial untuk
5 dosis.
 Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml berlaku untuk
semua umur dan dapat memberi proteksi sampai 10 tahun.
 Vaksindiberikan dalam dosis tunggaldan perludiulang tiap10tahun.
 Tidak bolehdiberikanpadaanak kurangdari1 tahun,ibuhamil,
imunokompromais, dan alergi telur.
 Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki negara tersebut
dan berjarak sekurangnya 3 minggu dari vaksinasi kolera. Vaksinasi
hepatitis B dan campak dapat diberikan berturutan dengan
vaksinasi yellow fever.
 Vaksinharusdilindungidari sinardandisimpan dalamkeadaanbeku di
bawah -5°C.
 Setelahdiencerkan dengan cairan sodiumklorid,harusdisimpanpada
suhu 0°C dan dipakai dalam waktu 1 jam.

Rekomendasi
 Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan
atau bertempat tinggal di daerah yellow fever (saat ini di beberapa
daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan) harus divaksinasi. Secara
rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat diperoleh dari petugas
kesehatan pusat vaksinasi negara yang bersangkutan.
 Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan
perjalanan ke daerah di luar perkotaan yellow fever endemis. Perlu
waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yang belum sempat
dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum
divaksinasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 281


Agus Firmansyah

 Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus
dipertimbangkan untuk vaksinasi bila melakukan perjalanan ke daerah
risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat ditunda, dan pencegahan
terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan.
 Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus yellow
fever juga harus divaksinasi.

Kejadian ikutan pasca imunisasi

 Reaksi terhadap vaksin yellow fever galur 17D pada umumnya


bersifat ringan; sekitar 2- 5% penerima vaksin merasa pusing, mialgia,
demam atau gejala ringan lainnya yang terjadi 5-10 hari setelah
vaksinasi.
 Reaksi berat yang sampai mengganggu aktivitas sehari-hari
terjadi pada 20% kasus.
 Reaksi hipersensitivitas vaksin seperti ruam, urtikaria, atau serangan
asma sangat jarang terjadi, yaitu kurang dari 1 dalam 1 juta dosis pada
umumnyaterjadipadaseseorang dengan riwayat alergi telur.
 Lebih dari 34 juta dosis vaksin telah didistribusikan, namun
hanya 2 kasus ensefalitis yang ada hubungannya dengan vaksinasi
yellow fever yang telah dilaporkan di Amerika Serikat. Dari satu kasus
yang meninggal, dari jaringan otaknya telah diisolasi virus galur 17D.

Indikasi kontra
 Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis lebih
rentan terhadap kejadian ikutan ensefalitis dibandingkan dengan anak
yang lebih besar.
 Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko infeksi
yellow fever sangat besar. Walaupun belum ada informasi khusus
tentang kejadian ikutan terhadap perkembangan fetus, namun secara
teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 282


Yellow Fever

perjalanan ke daerah yang ditemukan yellow fever sampai setelah


persalinan.
 Gangguan status imun. Virus vaksin yellow fever akan memperberat
penyakit leukemia, limfoma, infeksi HIV simtomatis, penyakit keganasan
pada umumnya, dan juga mereka yang respons imunnya tertekan oleh
kortikosteroid, obat-obat lainnya dan radiasi.
 Hipersensitivitas. Vaksin yellow fever adalah virus hidup yang dikembangkan
dalam embrio ayam dan tidak boleh diberikan kepada anak yang
hipersensitif terhadap telur. Bila seseorang mempunyai pengalaman
hipersensitif terhadap telur, harus dilakukan uji intradermal terlebih
dahulu dengan pengawasan medis. Juga terhadap pasien yang sudah
jelas hipersensitif terhadap neomisin dan polimiksin tidak diberikan
vaksinasi.
 Pemberian vaksin lain pada hari yang sama. Vaksin virus hidup,
misalnya campak dan kolera tidak boleh diberikan bersama-sama dengan
vaksin yellow fever, diperlukan waktu 4 minggu interval untuk vaksin
tersebut apabila diberikan berurutan.
 Tidak ada data yang menunjukan adanya kemungkinan
pengaruh vaksin lain misalnya tifoid, hepatitis B, rabies, dan Japanese
ensefalitis dengan yellow fever.

Daftar Pustaka
1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.

2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.

3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign travel Dalam:
Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC,
2008.

4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia:
WB Saunders; 1999. p. 815-80.

5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics. Clin Infect
Dis. 2002;34:1369-78.

6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—United States,
2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 283


Yellow Fever

7. Marfi
n AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, eds.
Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier;
2006. p. 797-812.
8. Adhiyaman V,OkeA, CefaiC,Adhiyaman V, OkeA, CefaiC.Effects ofyellow fevervaccination.
Lancet. 2001;358:1907-8.
9. ChanRC,PenneyDJ, LittleD,Carter IW,RobertsJA,Rawlinson WD.Hepatitis and death following
vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2.
0. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk of fatal adverse events
associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol Infect. 2004;132:939-46.

10. Troillet N, Laurencet F. Effects of yellow fever vaccination. Lancet. 2001;358:1908-9.


11. CetronMS, MarfinAA, Julian KG, Gubler DJ, Sharp DJ, Barwick RS, et al. Yellow fever vaccine.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2002.
MMWR Recomm. Rep. 2002;51(RR-17):1-11.
12. Khromava AY, Eidex RB, Weld LH, Kohl KS, Bradshaw RD, Chen RT, et al. Yellow fever vaccine: An
updated assessment of advanced age as a risk factor for serious adverse events. Vaccine.
2005;23: 3256-63.
13. World Health Organization. International Health Regulations. 2005. Geneva. Diunduh
dari http://www.who.int/csr/ihr/en/.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 284


Bab VI-12
Japanese Ensefalitis
Q)skandar Qyarif

Japanese ensefalitis (JE) adalah penyakit radang akut susunan syaraf pusat
yang disebabkan infeksi virus Japanese ensefalitis. JE adalah penyebab
utama penyakit ensefalitis yang disebabkan oleh virus di Asia. Japanese
ensefalitis ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Culex,
Anopheles dan Mansonia.

Epidemiologi
Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000 –
15.000 kematian terjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari mereka
adalah anak. Di daerah endemik, setiap tahunnya kejadian klinis yang
dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000 penduduk. Mayoritas orang
yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi oleh virus tersebut
sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama dicatat pada akhir abad ke
- 19, JE telah menyebar jauh dari daerah asalnya bahkan mencapai Australia
pada tahun 2000. Japanese ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan
Korea; 2) sub-benua India; 3) Negara Asia Tenggara seperti Kamboja,
Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan Vietnam. Di
Indonesia kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun
1968, Jakarta tahunApril1981 sampai Maret 1982,dan di Balitahun 1999.

Patogenesis
Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini
disebabkan oleh virus yang termasuk genus Flavivirus.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 285


Japanese
Ensefalitis

Virus JE disebarkan melalui nyamuk yang telah terinfeksi. Jenis nyamuk


spesifik yang menularkan virus JE adalah nyamuk Culex tritaeniochynchus, yang
berkembang biak di perairan tanaman padi, rawa-rawa dan juga pada air
menggenangyang terdapat di kolamkolam tempat penanaman padi.
Pola penularan JE berbeda-beda antar daerah, bahkan antar negara,
dan dari tahun ke tahun. Di kebanyakan daerah, masa penularan dimulai
pada bulan April dan Mei dan berlangsung hingga bulan September
atau Oktober.
Babi dan burung air, seperti bangau dan lain-lain yang sering
berpindah-pindah mengikuti musim dari belahan bumi Utara ke
Selatan dan sebaliknya adalah host virus yang utama. Sekali binatang
tersebut terinfeksi, virus akan mampu bertahan di dalam darah mereka
tanpa mengakibatkan penyakit yang serius. Virus ini dapat dengan
mudah menyebar pada setiap nyamuk yang belum terinfeksi yang
menggigit binatang yang telah terinfeksi dan kemudian melanjutkan siklus
penularan. Binatang setempat, kelelawar, ular dan katak dapat juga
terinfeksi JE. Manusia dan kuda merupakan pejamu akhir dari virus dan
tidak berkontribusi pada siklus penularan.
Kira-kira 1 dalam 25 sampai 1 dalam 1000 anak yang terinfeksi dengan
virus JE akan memperlihatkan gejala klinis. Dari yang ringan sampai berat.
Faktor yang menentukan hal ini tidak diketahui. Diduga adalah jalan
masuk virus, jumlah virus, keganasan virus, faktor pejamu, usia, genetik,
keadaan umum dan imunitas.

Manifestasi klinis
Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak dii dan
menimbulkan viemia sebelum menyebar ke sistem syaraf pusat, termasuk
otak dan sumsum tulang belakang. Gejala awal adalah flu disertai demam,
menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual, muntah dan penurunan kesadaran.
Perasaanbingung dangelisah, bahkan kejang serta koma dapat terjadi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 286


Japanese
Ensefalitis

Sebagian besar infeksi tidak dapat dideteksi secara klinis, hanya


menimbulkan gejala-gejala ringan atau bahkan tanpa gejala sedikitpun.
Gejala penyakit diperkirakan terjadi pada rata-rata 1 dari 300 infeksi.
Gejala-gejala ini biasanya timbul dalam waktu 4-14 hari setelah terjadinya
infeksi dan ditandai dengan gejala seperti sakit flu, disertai demam
mendadak, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, mual, dan muntah. Pada
anak tahap awal dari penyakit dapat didominasi oleh nyeri perut dan
gangguan pada fungsi pencernaan. Setelah 3-4 hari tanda-tanda gangguan
pada saraf akan muncul disertai perubahan pada tingkat kesadaran dimulai
darilimbung hingga koma.
Masa inkubasi sesudah gigitan nyamuk bervariasi, 5-15 hari dengan
gambaran klinis dibagi atas 3 stadium.
1. Stadium prodromal. Pasien tiba-tiba demam tinggi, disertai dengan
nyeri kepala, lemas, mual, muntah. Gejala ini berlangsung
dalam 1-6 hari.
2. Stadium ensefalitis akut. Demam yang terus menerus, tanda
rangsangan meningeal, kejang, spastis dan gejala piramidal. Stadium
ini berlangsung selama 2 minggu.
3. Stadium akhir atau sekuele, dengan lamanya waktu biasanya demam
berkurang, gejala neurologis menetap, gejala sisa menetap seperti
kerusakan mental, emosi labil, lesi motor neuron dan afasia.

Beberapa pasien sembuh spontan dan yang lainnya menjadi


meningitis aseptik. Kejang terjadi pada 85% anak dan pada 10% dewasa.
Beberapa anak mengalami kejang yang diikuti perbaikan kesadaran dengan
cepat sehingga didiagnosis kejang demam. Kejang umum tonik klonik
lebih sering terjadi daripada kejang fokal. Kejang berulang atau kejang lama
menandakan prognosis yang jelek. Gejala lain kejang subtle, twitching
jari-jari, mata dan mulut, nistagmus, deviasi mata atau pernafasan
tidak teratur.
Gambaran klasik JE adalah wajah dull flat mask-like dengan mata tidak
berkedip, tremor, hipertonus dan kaku. Didapatkan pada 70-

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 287


Iskandar Syarief

80%
ana
k
Am
erik
a dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang rangsang terjadi pada
15% pasien.
Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan pill
rolling, opsoklonus mioklonus, koreoatetosis, bizarre facial grimacing
dan lip smacking. Kelemahan saraf facial upper motor neuron (UMN)
terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas. Perubahan pola
pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic merupakan tanda
prognosis yang jelek.
Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihatkan
gejala lumpuh layu mendadak. Kelemahan lebih sering terjadi pada tungkai
dibanding lengan dan biasanya asimetris. Tiga puluh persen pasien menjadi
ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahun kemudian terdapat kelemahan
yang menetap.
Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak yang
berakibat fatal pada 30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan menyebabkan
kerusakan otak yang serius termasuk kelumpuhan dan retardasi mental.
Walaupun perawatan yang mendukung untuk ensefalitis dapat menurunkan
tingkat kematian, akan tetapi tidak ada obat yang dapat
menyembuhkan JE.
Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan mengalami
sekuele pada saraf dan kejiwaan termasuk kerusakan otak dan lumpuh.
Kebanyakan kematian dan gejala sisa pada saraf dan kejiwaan terjadi pada
anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi yang terjadi pada trimester pertama
dan kedua dari kehamilan dapat menyebabkan infeksi dalam rahim yang
berakibat pada keguguran. Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit
meninggal dan 1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi
lengan atas dan hiperekstensi tungkai dengan equine feet. Dua puluh persen
kasus mengalami gangguan kognitif berat dan gangguan bahasa. Gejala lain
berupa kesukaran belajar, masalah tingkah laku dan kelainan neurologis
yang ringan.
Dapat ditemukan peningkatan neutrofil dan hiponatremi.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 288
Japanese
Ensefalitis
Peningkatan tekanan intrakranial ditemukan pada 50% pasien dan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 289


Japanese
Ensefalitis

mempunyai prognosis buruk. Terdapat pleositosis 10-100 sel/mm3 dengan


limfosit predominan, protein 50-200 mg% dan glukosa normal.
Diagnosis banding adalah ensefalitis virus lain (arbovirus, herpes,
enterovirus, postinfeksi dan postvaksinasi encepalomielitis), infeksi susunan
saraf pusat (SSP) lain (meningitis bakteri, TBC, malaria serebral,
leptospirosis, tetanus, abses), infeksi lain dengan manifestasi SSP (tifoid
ensefalopati, kejang demam), dan penyakit noninfeksi (tumor, Reye sindrom,
epilepsi,ensefalopatitoksik danalkoholik).

Diagnosis
Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium. Diagnosis
laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara
serologis, biologis, identifikasi virus JE dengan PCR, pemeriksaan darah, dan
cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus JE jarang berhasil, mungkin karena
rendahnya titer virus dan produksi antibodi netralisasi.1,2 Secara serologis
dapat dilakukan pemeriksaan secara uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji
komplemen fiksasi (CFT), uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody
(NA). Uji HI dan NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga
dapat mendeteksi JE pada stadium lebih lanjut.

Pencegahan

1. Terhadap vektor
Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis, kimia,
ekologis dan genetik.
2. Terhadap reservoir
Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui adanya
virus JE atau antibodi dalam tubuh reservoir, sehingga kemungkinan
wabah dapat terdeteksi secara dini.

290 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Japanese
Ensefalitis

3. Pencegahan terhadap manusia


 mencegah terjadinya gigitan nyamuk.
 memberikan kekebalan dengan suntikan pencegahan.

Untuk turis, risiko terkena JE cukup rendah. Tidak lebih dari 1 kasus
per tahun yang terdiagnosis pada turis di seluruh dunia. Pengunjung yang
bepergian ke daerah pedesaan dan berada di alam terbuka atau daerah
endemik kemungkinan terkena terutama jika terjadi epidemi. Vaksinasi bisa
dipertimbangkan jika bepergian ke daerah pedesaan dan tinggal
selama lebih dari 2 minggu.
Imunisasi adalah cara yang paling baik untuk mencegah Japanese
ensefalitis. Walaupun vaksin JE sudah ada dan telah digunakan di
beberapa negara, tetapi vaksin tersebut memiliki banyak keterbatasan.
Vaksin tersebut merupakan inactivated mouse-brain derived vaccine, dan
diperlukan satu mencit/tikus untuk memproduksi setiap dosis vaksin
sehingga vaksin tidak dapat diproduksi sesuai dengan skala yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu diperlukan 3 dosis untuk mencapai
90% efektivitas dan suntikan tambahan diberikan setiap 3 tahun.

Vaksin JE
 Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia, yaitu
vaksin inactivated yang dibuat dari kultur jaringan ginjal marmut, vaksin
inactivated galur Nakayama yang dibuat dari otak mencit dan vaksin hidup
yangdilemahkan dari kulturjaringan ginjal marmut.
 Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada
hari 0, 7 dan 28. Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis yang
diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama.
 Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1
ml 3 tahun kemudian.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 291


Iskandar Syarief

Penelit
ian
terkontrol
yang
dilakukan
di dua daerah endemik menunjukkan bahwa vaksin JE ternyata efektif
dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius bagi vaksinasi selama
masa kanak-kanak. Seri tiga dosis vaksin berhasil mencegah penyakit JE
pada 9 dari 10 orang. Sampai saat ini tidak ada data tentang keampuhan
dan keamanan vaksin JE pada anak berusia di bawah 1 tahun.

KIPI VaksinasI JE

Kemungkinan efek samping dari pemberian vaksin mencakup, tempat


suntikan menjadi kemerahan dan bengkak, demam, nyeri kepala, bercak
pada kulit, menggigil, pusing, mual dan muntah, serta sakit perut. Juga
dapat terjadi reaksi alergi. Saat ini secara resmi vaksin ini belum masuk ke
Indonesia,tapi dibeberapatempat seperti Bali, vaksin ini tersedia.

Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif terhadap
virus, dan obat anti virus yang efektif untuk mengatasi penyakit ini
belum dikembangkan. Tetapi perawatan pasien yang baik sangat
penting, dan dipusatkan pada pengobatan terhadap gejala dan
komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan, namun hasil
penelitian double blind plasebo kontrol tidak menunjukkan keuntungan
pemberian kortikosteoid. Isoquinolon efektif untuk in vitro dan antibodi
monoklonal efektif pada hewan percobaan.

Daftar Pustaka

1. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Japanese encephalitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry
2000; 68: 405-15.
2. Potula R, Badrinath S dan Srinivasan S. Japanese encephalitis in and around Pondicherry,
South India: a clinical appraisal and prognostic indicators for the outcome.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 292
Japanese
Ensefalitis

Journal of Tropical Pediatrics 2003; 49: 48-53.


3. Marfin AA, Gubler DJ. Japanese encephalitis: the need for more effective vaccine. Didapat
dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
4. Masloman N, Widarso HS, Cicilia W. Japanese encephalitis in children. Pediatrica Indonesiana
2005; 44: 46-8.
5. Harad W, Kuwabara M, Kuwayama M dkk. The clinical features about 5 cases of Japanese
encephalitis reported in Japan 2002. Kansenshogaku Zasshi 2004; 78(12): 1020-5.
0. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Seizures and raised intracranial pressure in Vietnamese
patients with Japanese encephalitis. Brain 2002; 125: 1084-93.
6. Sarkar N, Roy BK, Dass SK dkk. Bilateral intracerebral haemorrhages: an atypical presentation
of Japanese encephalitis. J Assoc Physicians India 2005; 53: 144-6.
7. Ohrr H, Tandan JB, Sohn YM dkk. Effect of single dose of SA 14-14-2 vaccine 1 year after
immunisation in Nepalese children with Japanese encephalitis: a case control study. Didapat
dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
8. Halstead SB, Tsai TF. Japanese encephalitis vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, editors.
Vaccines, 4th edition. Philadelphia: Saunders;2004:919-58.
9. Halstead SB, Jacobson J. Japanese encephalitis. Adv Virus Res. 2003;61:103-38.
10. Marfin AA, Barwick Eidex RS, Kozarsky PE, Cetron MS. Yellow fever and Japanese encephalitis
vaccines: Indications and complications. Infect Dis ClinN Am. 2005;19:151- 168.
11. Solomon T. Flavivirus encephalitis. N Engl J Med. 2004;351:370-378.
12. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines: current vaccines and future prospects. Curr
Top Microbiol Immunol. 2002;267:105-38.
13. PlesnerAM.AllergicreactionstoJapaneseencephalitisvaccine.ImmunolAllergyClinNorth Am.
2003;23:665-97.
15. Takahashi H, Pool V, Tsai T, ChenRT, and the VAERS Working Group. Adverse events after
Japanese encephalitis vaccination: review of post-marketing surveillance data from Japan and
theUnited States. The VAERS Working Group. Vaccine 2000;18:2963- 2969.

293 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-13
Meningokokus
Dahlan Ali Musa

Epidemiologi
Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan
meningokoksemia, dan atau meningitis. Penyebabnya adalah Neisseria
meningitidis, suatu bakteri diplokokus gram negatif. Bakteri yang dapat
mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkan polisakarida dari
permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam 13 serogrup. Serogrup
tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135 dan L. Tidak ada hubungan yang
pasti antara serogrup atau tipe dengan virulensi bakteri. Di Amerika,
serogrup B dan C merupakan 45% dari kasus yang dilaporkan. Di tempat
lain di dunia, yang sering mengalami epidemi maka serogrup A sering sebagai
penyebabnya. Di Australia pada tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per 100.000
populasi, sebagian besar adalah serogrup B, dengan puncaknya pada usia 0-4
tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20, epidemi serogrup A terjadi secara
siklus setiap 5-10 tahun di daerah meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan
di sebelah timur, Gambia di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah
hujan tropis bagian selatan. Di Brazil, India utara, Mongolia dan Nepal
dilaporkan banyak epidemi dalam 10 tahun terakhir ini oleh serogrup A dan
C. Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang
dilaporkan di dunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135 dilaporkan
terjadi pada musim haji di Saudi Arabia pada tahun 2000, dan pada 2002
dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-135 di Afrika
Sub-Sahara.

Di masyarakat, pengidap karier Neisseria meningitidis di saluran


nafas yang asimtomatik terdapat sekitar 20%, prevalensi akan meningkat
pada penduduk yang hidup berkelompok di

294 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Meningo
kokus

suatu lingkungan yang sempit. Infeksi cenderung terjadi di kelompok


yang terlokalisasi, sering diantara anggota keluarga serumah, kelompok
anak-anak prasekolah atau unit militer, dimungkinkan karena
penyebaran organisme galur ganas di dalam kelompok.

Manifestasi klinis
Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya kurang
dari 4 hari. Onset penyakit muncul saat meningokoksemia, ditandai dengan
demam, menggigil, sangat lemah, prostration dan ruam yang pada
awalnya dapat berupa ruam makula, ruam makulopapular, atau petekie.
Pada kasus berat, purpura, koagulasi intravaskular deseminata, syok, koma,
dan kematian (sindrom Waterhouse-Friederichsen) dapat bermanifestasi
dalam beberapa jam, kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda klinis
meningitis meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat bakteri
patogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa artritis,
miokarditis, perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia.
Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan diberikan
kepada jemaah haji yang akan berada untuk waktu yang lama di daerah yang
kecil dengan jumlah orang yang sangat banyak serta padat. Arab Saudia
masuk dalam meningitis belt tersebut di atas yang sering terjadi siklus
epidemik meningokokus.

Vaksin tetravalen

 Vaksin tetravalen mengandung lyophilized purified polysaccharides dari


N.meningitidis serogrup A,C,W-135 dan Y, masing-masing antigen 50
mcg di dalam 0.5 ml dengan fenol 25% sebagai preservasi.
 Tersedia dalam vial 0.5 ml dosis tunggal dengan larutan garam faali
sebagai pelarut dalam botol yang terpisah dan vial 10 dosis dengan vial
pelarut yang terpisah.

295 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

 Saat ini
belum
tersedi
a
vaksinu
ntuk mencegah anak dari penyakit serogrup B, karena vaksin yang
mengandung polisakarida kapsul bakteri yang dimurnikan dari serogrup B
secara imunogenik terlalu lemah untuk merangsang pembentukan
antibodi.
 Imunitasyang memberi perlindungan bertahan selama 3 tahun.

Rekomendasi
 Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalam
 Vaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih. Pada 90%
penerima vaksin yang berusia 2 tahun atau lebih, vaksin tetravalen ini
menghasilkan antibodi dalam waktu 10-14 hari setelah pemberian
vaksin.
 Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain asalkan pada
tempat yang berbeda
 Vaksindisimpanpadatemperatur2oC-8oC dan tidakbolehbeku.

Indikasi
 Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak dianjurkan
 Imunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau lebih yang
mempunyai risiko tinggi.
 Vaksindiindikasikanuntuk mengontrol kejadian luarbiasa oleh salah
satu serogrup yang dikandung oleh vaksin.
 Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong yang menuju
daerah atau negara yang dikenal sebagai daerah hiperendemik
atau epidemik penyakit meningokok.

Imunisasi ulang
 Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan selama
296 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Meningo
kokus

10 tahun, tetapi pada anak khususnya yang menerima vaksin pada usia di
bawah 4 tahun kadar antibodi dengan cepat menurun dalam kurun
waktu 3 tahun pertama.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 297


Dahlan Ali Musa

 A
p
a
b
i
la terpapar dengan risiko baru atau risiko yang terus menerus oleh
infeksi subgrup C, maka imunisasi ulang perlu diberikan setelah 1 tahun
kepada anak yang menerima imunisasi pada usia kurang dari 4 tahun dan
setelah 5 tahun kepada anak yang menerima imunisasi pada usia di
atas 4 tahun.
 Imunisasi ulang pada orang dewasa sebelum 5 tahun dari imunisasi
pertama tampaknya tidak diperlukan, demikian pula apabila terjadi
paparan baru terhadap penyakit dalam kurun waktu tersebut.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Reaksi sangat jarang terjadi setelah imunisasi
 Apabila ada sangat ringan, berupa rasa sakit lokal dan
kemerahan lokal selama 1-2 hari.
 Kadang terjadi neuritis brakialis pada lengan yang disuntik

Daftar Pustaka

1. NationalHealth and Medical Research Council. NationalImmunization Program.The Australian


Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB
Saunders, 2004.

3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, editor. Red book:
2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6.
4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-7):1-21.
5. Rosenstein NE,Perkins BA,Stephens DS, et al. Meningococcaldisease. N Engl J Med.
2001;344:1378-88.
6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup C meningococci 1
yearafter meningococcalC conjugatepolysaccharidevaccine. Lancet. 2002;359:1829-31.
7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcal conjugate
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 298
Meningo
kokus
vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWRMorbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:
364-6.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 299


Dahlan Ali Musa

8. CDC.
Notice
to
Reader
s:
Recommendation from the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) for Use of
Quadrivalent Meningococcal Conjugate Vaccine (MCV4) in Children Aged 2-10 Years at
Increased Risk for Invasive Meningococcal Disease. MMWR 2007;56(48):1265-1266.
9. CDC. Notice to Readers: Revised Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices to Vaccinate All Persons Aged 11-18 Years with Meningococcal Conjugate Vaccine.
MMWR 2007;56(31):794-795.

300 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-14
HUMANPAPILLOMAVIRUS
Kusnandi Rusmil

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada genitalia merupakan suatu


infeksi yang sering terjadi dan bersifat asimtomatik. Infeksi HPV dapat
sembuh sempurna, namun apabila menetap lebih dari 2 tahun (persistent
infection) dapat berkembang menjadi lesi pra-kanker disebut CIN= cervical
intraepithelial neoplasia, dalam 9-15 tahun akan menjadi kanker serviks
(kanker leher rahim) dengan kejadian 1/625 infeksi HPV. Terbukti hasil
pemeriksaan patologi dari spesimen pasien kanker serviks 99,7% ditemukan
HPV DNA, tipe risiko tinggi atau disebut tipe onkogenik, 70% terdiri dari tipe
16 dan 18.

Epidemiologi

Secara global kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab


kematian wanita akibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510.000 kasus baru,
288.000 kasus meninggal, atau setiap dua menit seorang wanita meninggal
oleh karena penyakit ini. Kejadian kanker leher rahim 80% kasus dijumpai di
negara yang sedang berkembang. Di Asia Pasifik setiap empat menit
seorang wanita meninggal dunia sedangkan di Indonesia angka kejadian
kanker leher rahim merupakan penyebab kematian pertama kanker pada
perempuan. Diperkirakan terdapat 80-100 kasus baru kanker leher rahim
per 100.000 penduduk pertahun.
Angka kejadian infeksi diperkirakan 6,2 juta kasus baru pertahun. Kejadian
infeksi pada wanita berkisar 50%-80% selama hidupnya, 50% diantaranya
merupakan tipe onkogenik. Kanker leher rahim merupakan manifestasi
klinis dari infeksi (HPV) persisten.

301 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kusnandi Rusmil

Risikotertinggi infeksi HPVterjadipadausia remajadan kankerleher


rahim bisa mengenai wanita mulai umur 15 tahun.

Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim adalah
infeksi HPV menetap yang terjadi sejak usia muda. Sedangkan ko-faktor
yang mempengaruhi infeksi HPV menjadi kanker leher rahim adalah
hubungan seksual yang dimulai pada usia muda, berganti-ganti pasangan,
pemakaian alat kontrasepsi hormonal, tingginya frekuensi persalinan,
imunosupresi/ infeksi HIV (human immuno deficiency virus), koinfeksi
klamidia, koinfeksi HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau
pasif, faktor genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan
dan pendidikan rendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan
pelayanan kesehatan).

Vaksin HPV
o Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen menunjukkan
imunogenisitas yang tinggi.
o Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan teknologi
rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV.
o Terdapat 2 jenis vaksin HPV
o Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix@)
o Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil@),
o Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah kanker leher
rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin HPV telah disahkan
oleh Food and Drug Administration (FDA) dan Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) dan di Indonesia sudah mendapat izin
edar dari Badan POM RI.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 302


Human Papilloma Virus

KIPI vaksin HPV


o Efeksamping lokal vaksin HPVbivalen dan kuadrivalen adalah
nyeri, reaksi kemerahan dan bengkak pada tempat suntikan.
o Efek samping sistemik vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah
demam, nyeri kepala dan mual.

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI


o Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak
umur > 10 tahun.
o Dosis 0,5 mL, diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid.
o Jadwal
 Vaksin HPV bivalen, jadwal 0, 1 dan 6 bulan,
 Vaksin HPV kuadrivalen, jadwal 0, 2 dan 6 bulan.

Tabel 6.8. Spesifikasi vaksin bivalen dan quadrivalen


Vaksin HPV 16/18 Vaksin HPV
6/11/16/18
Volume Per dosis 0.5 mL Per dosis 0,5 mL
Adjuvant A SO4 Garam aluminium 225
Al(OH)3 500 ug ug
MPL 50 ug
Antigen L1 HPV 16 20 ug L1 HPV 6 40 ug
L1 HPV 18 20 ug L1 HPV 11 20 ug
L 1 H P V 1 6 4 0 u g L1
HPV 18 20 ug
Expression system Hi- 5 Baculovirus Ragi (yeast)
Jadwal pemberian 0,1,6 bulan intramuskular 0,2,6 bulan intramuskular Umur pra
remaja(>10 th) Umur pra remaja (>10 th)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 303


Kusnandi Rusmil

Daftar Pustaka

1. WHO. Developmnet of new vaccine. dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/


fs289/en/html.
2. Daley MF, Liddon N, Crane LA, Beaty BL, Barrow J. A national survey of pediatrician knowledge
and attitudes regarding human papillomavirus vaccination. Pediatrics 2006;118:2280-9.
0. Andrijono. Kanker serviks. Edisi pertama. Divisi Onkologi, Departemen ObstetriGinekologi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta 2007.
3. Pagliusi SR, Aguado MT. Vaccine. 2004;23:569–78.
5. McIntosh N. JHPIEGO strategy paper. 2000.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 304


Bab VII-1
Imunisasi Pasif

Pen gantar
Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia. Daya
proteksi yang ditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi sangat
tergantung dosis, biasanya hanya bertahan beberapa minggu.
Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik.
Imunoglobulin yang normal berasal dari kumpulan plasma darah donor yang
mengandung antibodi terhadap virus yang banyak ditemukan di populasi
umum. Sedangkan immunoglobulin spesifik digunakan untuk proteksi
seseorang terhadap virus atau bakteri tertentu seperti CMV, hepatitis B,
rabies, tetanus dan varisela / zoster. Imunoglobulinnya didapatkan dari
darah penderita dengan penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor
yang barn mendapat imunisasi atau seseorang yang pada skrening
mempunyai titer antibodi tinggi.

305 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VII-1
Imunisasi Pasif
Toto Wisnu Hendrarto

Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien,


dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa
harus memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan
tubuhnya. Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya
pencegahan atau pengobatan terhadap infeksi, baik untuk infeksi
bakteri maupun virus. Mekanisme kerja antibodi terhadap infeksi
bakteri melalui netralisasi toksin, opsonisasi, atau bakteriolisis. Kerja
antibodi terhadap infeksi virus melalui netralisasi virus, pencegahan
masuknya virus ke dalam sel dan promosi sel natural-killer untuk
melawan virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan
menimbulkan efek proteksi segera. Imunisasi pasif tidak melibatkan sel
memori dalam sistem imunitas tubuh, proteksi bersifat
sementara selama antibodi masih aktif di dalam tubuh resipien,
dan perlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk
memori terhadap patogen/ antigen spesifik.

Jenis imunisasi pasif

Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami atau didapat. Transfer imunitas
pasif alami terjadi saat ibu hamil memberikan antibodi tertentu ke janinnya
melalui plasenta, terjadi di akhir trimester pertama kehamilan, dan jenis
antibodi yang ditransfer melalui plasenta adalah imunoglobulin G (IgG).
Transfer imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI),
jenis yang ditransfer adalah imunoglobulin A (IgA). Transfer imunitas pasif
didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang

306 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Pasif

mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan tubuhnya.


Jenis imunisasi pasif atau seroterapi tergantung dari cara pemberian dan
jenis antibodi yang diinginkan, yaitu
 Imunoglobulin (Ig)
 Imunoblobulin yang di berikan secara intravena (IgIV)
 Imunoglobulin spesifik (hyperimmune)
 Antiserum (antibodi dari binatang)
 Plasma manusia

Indikasi imunisasi pasif


Tujuan pemberian imunisasi pasif adalah untuk pencegahan bila antibodi
diberikan pada pasien defisiensi sistem imun dan untuk pengobatan bila
antibodi diberikan terhadap infeksi tertentu. Indikasi pemberian
imunisasi pasif,

1. Adanya gangguan pada limfosit B, baik kongenital maupun didapat.


Kelainan tersebut dapat murni gangguan pada limfosit B sendiri, dapat
juga kombinasi gangguan/ defisiensi sistem imun lainnya.
2. Adanya risiko menderita infeksi atau komplikasi lebih berat bila terpapar
oleh infeksi tertentu karena adanya imunokompromis, misalnya pasien
leukemia yang terpapar infeksi campak atau cacar air.

3. Diperlukan antibodi siap pakai segera pada saat terpapar infeksi, yang
tidak dapat terpenuhi dengan pemberian vaksinasi, misalnya pada
neonatus dengan ibu HBsAg positif.
4. Sebagai pengobatan dalam menahan kerja toksin, misal pada kasus
difteri, tetanus.
5. Sebagai pengobatan anti inflamasi terhadap kerja toksin pada organ
tertentu, misal pada pasien penyakit Kawasaki.

307 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Pasif

Imunog
lobulin
(Ig)

Imunoglobulin (Ig) adalah derivat plasma pasien dewasa yang diproses


melalui fraksinasi alkohol, steril dan tidak tercemar oleh virus hepatotropik,
HIV atau jenis infeksi lain. Sekitar 16,5% atau 165 mg/mL merupakan
komposisi protein tertentu berasal dari plasma populasi yang sembuh/
pernah terpapar satu infeksi atau telah mendapat vaksinasi tertentu,
sehingga memiliki antibodi spesifik terhadap infeksi tersebut. Fraksi yang
dikandung95% IgG,sisanya IgA dan IgM.
Cara pemberian secara intra muskular (im), di regio gluteal pada anak
yang lebih besar atau paha bagian anterior lateral pada pasien anak lebih kecil
atau bayi. Jumlah maksimal yang dapat diberikan pada setiap kali suntikan
adalah 5 ml pada anak lebih besar, dan 1-3 ml pada anak lebih kecil atau bayi.
Khusus kasus defisiensi imun diberikan subkutan, tidak direkomendasikan
pemberian intrakutan, sedangkan pemberian intravaskular merupakan
kontraindikasi. Untuk mengurangi rasa nyeri pada bekas suntikan, Ig
diberikan pada suhu kamar.
Kadar antibodi dalam serum mencapai puncak terjadi dalam 48-72
jam setelah pemberian, dengan waktu paruh 3-4 minggu.

Indikasi pemberian Imunoglobulin

1. Terapi defisiensi antibodi


Dosis 100 mg/ kg berat badan (0,66 ml/ kg berat badan), secara intra
muskular (im) per bulan. Dosis awal dibagi dalam dua dosis, selanjutnya
diberikan dengan interval 2-4 minggu. Pada pasien dewasa dapat
diberikan subkutan, sehingga dapat dilakukan secara rawat jalan di
rumah. Reaksi alergi sistemik terjadi pada 1% kasus, dan reaksi
jaringan lokal biasanya ringan.
2. Profilaksis hepatitis A
Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit hepatitis
A bila diberikan dalam 14 hari setelah terpapar. Semua

308 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Pasif

wisatawan yang bepergian ke daerah endemis tinggi atau sedang, termasuk


Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Selatan,
perlu diberikan Ig atau vaksin hepatitis A sebelum keberangkatan. Ig
dalam dosis tunggal 0.02 ml/kg, atau 2 ml diberikan untuk orang dewasa,
yang akan terpajan lebih dari 3 bulan, untuk pemajanan yang lebih lama,
diberikan 0.06 ml/kg atau 5 ml dan diulang setiap 4-6 bulan apabila proses
pemajanan terus berlangsung.
3. Profilaksis campak
Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit campak bila
diberikan dalam 6 hari setelah terpapar.

Efek samping Imunoglobulin

1. Rasa nyeri pada tempat suntikan, yang akan berkurang bila Ig


diberikan pada suhu kamar. Reaksi lain dan jarang terjadi adalah muka
kemerahan (flushing), nyeri kepala, menggigil dan mual.
0. Reaksi yang berat jarang timbul, misalnya nyeri dada, sesak nafas, reaksi
anafilaksis dan renjatan. Risiko terjadi reaksi sistemik meningkat bila
diberikan secara intra vena (iv). Pemberian Ig dosis berulang dapat
menimbulkan reaksi sistemik seperti demam, menggigil, berkeringat,
perasaan tidak nyaman dan renjatan.
2. Pada pasien defisiensi IgA selektif, kadar IgA dalam Ig sedikit,
menimbulkan antibodi anti-IgA yang memberikan reaksi pada
pemberian Ig berikutnya, tranfusi darah lengkap (whole blood) atau
plasma Gejala sistemik yang timbul adalah menggigil, dengan gejala
mirip renjatan. Untuk mengurangi risiko ini dianjurkan pemberian
IgIV tanpa IgA.
3. Risiko pembentukan antibodi terhadap IgG heterolog dapat terjadi,
dan bisa menimbulkan reaksi sistemik, tetapi jarang terjadi.
5. Sebagian preparat Ig tidak mengandung thimerosal.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 309


Toto Wisnu Hendrarto

Perhatia
n
khusus pada pemberian imunoglobulin

1. Hati-hatimemberikan Ig pada pasienyangalergi padapemberianIg.


2. Harustersediaobat danperalataankedaruratan untukmengatasi reaksi
sistemik akut atau anafilaksis, meskipun jarang terjadi.
3. Ig diindikasikan kontra pada pasien dengan trombositopeni berat dan
gangguankoagulasi.PadakasusinidianjurkanpemberianIgIV
4. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.

Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama dengan
pembuatan Ig, dengan modifikasi tertentu sehingga dapat diberikan secara
intravena. Sediaan IgIV yang direkomendasi, harus mengandung konsentrasi
antibodi minimal terhadap campak, difteri, polio dan hepatitis B. Konsentrasi
antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae bervariasi dari satu pruduk
dengan produk yang lain. Kandungan protein bervariasi tergantung
produsernya. Terdapat dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung
thimerosal.

Indikasi pemberian imunoglobulin intravena

1. Defisiensi antibodi
Dosis IgIV pada sindrom imunodefisiensi adalah 300-400 mg/ kg berat
badan, diberikan sekali sebulan, secara IV. Dosis efektif pada
masing-masing pasien berbeda, rata-rata 200-800 mg/ kg berat badan
per bulan. Konsentrasi IgG rumatan sebesar 500 mgdL (5 g/L) sudah
menghasilkan respon klinis yang baik.
2. Penyakit Kawasaki.
Pemberian IgIV pada 10 hari pertama perjalanan penyakit akan
mengurangi lamanya demam dan risiko timbulnya kelainan pada arteri
koronaria. Dosis yang dianjurkan adalah 2g/ kg berat badan, dosis tunggal
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 310
Imunisasi Pasif

diberika
n dalam
10-12
jam.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 311


Toto Wisnu Hendrarto

3. Infeksi HIV pada anak


Rekomendasi pemberian IgIV adalah sebagai berikut,
 Adanyainfeksibakteri berulang,meskipun sudah diberikan
profilaksis antibiotik.
 Tidak responsif terhadap pemberian vaksin campak, meskipun
sudah diberikan 2 kali, terutama bagi pasien yang tinggal di daerah
endemis campak.
 Adanyatrombositopenimeskipunsudahmendapatterapiantiretroviral
 Masihadanyabronkiektasismeskipunsudahmendapatterapi
pulmonal dan antibiotik.
4. Hipogamaglobulinemia pada pasien leukemia limfositik kronis, untuk
mengurangi timbulnya infeksi bakterial berulang.
5.Untuk mengurangi angka infeksi dan kematian pada pasien
transplantasi sumsum tulang. Pada pasien dewasa untuk
menurunkan insidensi pneumonia interstisial terutama yang
disebabkan oleh sitomegalovirus.
0.Pemberian profilaksis sepsis pada bayi prematur tidak terbukti aman dan
efektif dalam penelitian metaanalisis. Sehingga IgIV tidak
direkomendasikan diberikan rutin untuk mencegah sepsis awit lambat.
0. Kasus sindrom Guillain Barre
6.Mungkin bermanfaat pada pasien anemia karena infeksi Parvovirus
B-19, mieloma multipel, resipien organ dari pasien dengan
sitomegalovirus positif, neonatus dengan hipogamaglobulinemia
yang berisiko infeksi, intractable epilepsy, sindrom vaskulitis
sistemik, anemia hemolitik autoimun, trombositopenia aloimun
pada neonatal yang tidak berespon terhadap pengobatan,
immune-mediated neutropenia, miastenia gravis dekompensata,
dermatomiositis, polimiositis dan trombositopenia berat yang
tidak berespon terhadap terapi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 312


Imunisasi Pasif

Efek
samping
pemberian imunoglobulin intravena
Pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi berat
jarang terjadi dan tidak ada indikasi kontra untuk pemberian berikutnya.
Beberapa efek samping yang sering terjadi,
 Reaksi piogenik, ditandai dengan adanya demam tinggi,
menggigil dan gejala sistemik.
 Reaksi sistemik ringan dengan gejala seperti nyeri kepala, mialgia,
kecemasan, mual atau muntah.
 Gejalavasomotor ataukardiovaskularringanditandai dengan kulit
kemerahan, perubahan tekanan darah dan takikardia.
 Meningitis aseptik.
 Reaksi hipersensitifitas.
 Gagal ginjal akut.

Perhatian khusus pada pemberian IgIV

1. Hati-hati memberikan IgIV pada pasien dengan riwayat alergi pada


pemberian imunoglobulin.
2. Harus tersedia obatdanperalataan kedaruratan untuk mengatasi
reaksi sistemik akut, meskipun jarang terjadi.
0.Risiko efek samping dikurangi dengan menurunkan kecepatan maupun
volume pemberian. Pasien dengan reaksi berat berulang yang tidak
berespons dengan cara tersebut, berikan hidrokortison 1-2 mg/kg berat
badan secara IV selama 30 menit sebelum pemberian IgIV, atau berikan
preparat IgIV lain, tambahkan difenhidramin, aseaminofen atau aspirin
sebelum pemberian IgIV.
3. Komplikasi vasomotor dan kardiovaskular seperti hipertensi dan
gagal jantung sering terjadi saat memberikan IgIV dengan volume
besar pada pasien sakit berat.
5. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 313


Toto Wisnu Hendrarto

Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan antitoksin


Imunogobulin S (IgS, hyperimmune globulins) secara farmakologi
maupun karakteristik biologi berbeda dengan imunoglobulin normal.
Perbedaan yang bermakna terdapat pada kandungan antibodi spesifiknya.
Sediaan ini diambil dari kumpulan darah pasien pada masa penyembuhan
dari penyakit tertentu atau setelah pemberian vaksinasi tertentu,
sehingga darahnya mengandung titer antibodi sangat tinggi terhadap
penyakit tersebut. Untuk itu IgS diindikasikan untuk pencegahan infeksi
bakteri spesifik seperti difteri, pertusis, tetanus dan kuman clostridium
lain, infeksi saluran nafas, stafilokokus, streptokokus invasif, dan
pseudomanas. Pencegahan infeksi virus seperti hepatitis A, B, C;
TORCH, HIV, ebola, rabies, dan MMR. Pada tabel 1 diuraikan ringkasan
kegunaan IgS pada pencegahan dan pengobatan infeksi.

Antitoksin difteria

Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman


dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses
penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan
berdasarkan tempat infeksi
 20.000-40.000 unit diberikan IV, bila infeksi terjadi pada
pharing dan laring dalam waktu 48 jam.
 40.000-60.000 unit, IV, bila infeksi terjadi pada nasopharing
 80.000-120.000unit,IV,padainfeksilanjutdansudahtampak
adanya bull-neck.
Uji hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin
difteri untuk mencegah timbulnya reaksi alergi/ anafilaksis. Kasus
tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikan secara
intramuskular.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 314


Imunisasi Pasif

Imunogl
obulin
tetanus (human tetanus immune globulin)

Pemberian Ig tetanus dan antitoksin tetanus diindikasikan untuk


pencegahan pada luka dalam yang kotor, yang tidak akan terlindungi
hanya dengan pemberian vaksin saja, riwayat imunisasinya tidak
jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi dasarnya tidak lengkap.
Disamping itu, juga diindikasikan untuk pengobatan dalam upaya
netralisasi toksin yang bekerja sistemik. Dosis pemberian Ig tetanus untuk
pencegahan adalah 250 unit, diberikan secara im. Untuk pengobatan,
dosisnya adalah 3.000- 6.000 unit, im. Pada kasus tetanus neonatorum
dosis diberikan 500 U, diberikan secara im.

Antitoksin Tetanus

Jika TIg tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari
serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului
dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar antara
50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah 20.000 U
dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan
IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara im pada paha antero lateral.

315 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Toto Wisnu Hendrarto

Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi
Infeksi Pencegahan Rekomen Pengobatan Rekomen-
dasi dasi
Infeksi Bakteri Terbukti Tidak Terbukti Tidak
Infeksi respirasi
(S.pneumoniae,
N.meningitis,
H. influenzae)
Difteri Tidak terbukti Tidak Terbukti
Pertusis Tidak terbukti Tidak Tidak Tidak
terbukti
Tetanus Terbukti Terbukti
Jenis clostridium
lain: Terbukti Terbukti
 C.botulinum Tidak terbukti Tidak Mungkin
 C.difficile bermanfaat
Infeksi antibiotik
Staphylococcus  S.epidermidi Tida Tidak
 Sindrom s pada terbukti
syok toksik neonatus k
 Resisten Tidak
Tida
k

Penyakit Tidak terbukti Tidak Mungkin


streptococcal
bermanfaa
t
invasif
Neonatus risiko Mungkin Tidak Mungkin
tinggi bermanfaat bermanfaat
Pasien ICU Mungkin Tidak Tidak
dengan syok bermanfaat
terbukti
dan trauma
Infeksi
Pseudomonas Tidak Tidak
Tidak
 Pasien bermanfaa
t Tidak
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 316
bermanfaat
Infeksi virus Tidak
Imunisasi Pasif

terbukti Mungkin
bermanfaat Mungkin
bermanfaat
Mungkin
bermanfaat
Belum ada
penelitian

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 317


Toto Wisnu Hendrarto

Infeksi
dasi
Hepatitis
B Terbukti Tidak
bermanfaat
Hepatitis C Tidak Tidak Tidak
bermanfaat
HIV Tidak Tidak Tidak Tidak
terbukti
RSV Terbukti Tidak Tidak
terbukti
Virus Herpes
Tidak Tidak Mungkin
 CMV Terbukti bermanfaat
Tidak Tidak Ti d a k Tidak
 EBV Terbukti terbukti
Ti d a k Tidak
 HSV Tidak
terbukti
 VZV Ti d a k
terbukti
Parvovirus Tidak Tidak Terbukti Tidak
Enterovirus Terbukti Tidak Terbukti Tidak
Pada neonatus Tidak Mungkin
bermanfaat
Ebola Mungkin Tidak
bermanfaat terbukti
Rabies Terbukti Tidak
bermanfaat
Measles Terbukti Tidak
bermanfaat
Rubella Tidak Tidak Tidak
bermanfaat
Mumps Tidak Tidak Tidak
bermanfaat
Tick borne Mungkin Tidak
encephalitis bermanfaat bermanfaat
Vaccinia Terbukti Terbukti
Keller MA.,dan Stiehm ER. Clin.Microbiol.Rev. 2000.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 318


Imunisasi Pasif

Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai
lakukan terlebih dulu skin test untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis.
Skin test dilakukan dengan menyuntikkan antitoksin yang telah
diencerkan dengan garam fisiologis dengan perbandingan 1:100, sebanyak
0,02 cc intrakutan. Pada saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah
diisi dengan adrenaline. Skin test dengan larutan yang lebih encer (1:1000)
dilakukan terhadap pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan
suntikan antitoksin dari serum binatang. Sebagai kontrol di tempat lain
disuntikkan garam fisiologis intrakutan. Jika setelah 15 – 30 menit setelah
suntikan timbul benjolan di kulit yang dikelilingi oleh warna kemerahan
berupa eritema dengan ukuran 3 mm atau lebih dibandingkan dengan
kontrol maka lakukan desensitisasi terhadap pasien.

Imunoglobulin botulin um (human botulinum immune globulin)

Pemberian Ig botulinum diindikasikan untuk netralisasi neurotoksin yang


menyebar secara sistemik yang akan berikatan dengan reseptor di
presinaptik neuro-endplate, sehingga menimbulkan konstipasi, gangguan
menelan, letargi, kelumpuhan saraf kranial sampai kelumpuhan umum.
Dosis Ig botulinum adalah 50 mg/kg berat badan, diberikan secara IV.

Imunoglobulin hepatitis A
Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah ada
paparan virus hepatitis A, secara im, dan perlindungan yang diperoleh
sebesar 85%. Karena tidak mengandung timerosal, dapat diberikan pada
wanita hamil dan bayi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 319


Toto Wisnu Hendrarto

Imunogl
obulin
hepatitis B
Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki titer
tinggi anti-HBs dan bebas terhadap antibodi HIV dan virus Hepatitis C
(hyperimmunized donors). Titer tinggi yang dimiliki adalah 1:500.000,
sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya mengandung antibodi
terhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64.
Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk
memberikan perlindungan aktif terutama pada ibu dengan HBsAg positif,
yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta. Disamping itu juga
untuk individu yang berisiko tinggi tertular hepatitis B secara horizontal
misalnya pasien kontak seksual dengan pasien hepatitis B. Rekomendasi
pemberian Ig hepatitis B
Pada masa perinatal
- Berat lahir kurang dari 2000 gram
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara im pada
paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B
pertama yang diberikan merupakan dosis tambahan, tidak termasuk 3
dosis yang seharusnya diberikan. Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3
bulan setelah jadwal vaksinasi lengkap. Bila tidak terbentuk antibodi,
lakukan ulangan sesuai prosedur pasien yang tidak responsif pada
vaksinasi hepatitis B.
- Berat lahir lebih dari 2000 gram,
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara IM, pada
paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B
pertama yang diberikan merupakan bagian 3 dosis yang harus
diberikan serial sampai umur 6 bulan.

Pada kasus kontak seksual hepatitis B

Pemberian Ig hepatitis B dilakukan dalam 14 hari setelah terjadi kontak


dengan dosis 0,06 mL/kg berat badan atau 5 mL. Berikan vaksinasi hepatitis B
sesuai jadwal yang dianjurkan, pada pasien yang belum pernah
diberikan vaksinasi.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 320
Imunisasi Pasif

Kontak serumah dengan pasien hepatitis B:


Pasien berumur kurang dari 12 tahun mendapat dosis 0,5 ml, diberikan
secara im. Dosis bagi pasien lebih tua umurnya atau dewasa diberikan dengan
dosis 0,06 mL/ kg berat badan atau 5 mL.

Imunoglobulin cytomegalovirus (CMV)

IgIV CMV diberikan untuk profilaksis kasus yang berisiko tinggi terhadap
infeksi CMV. Dosis awal adalah 150 mg/kg, dilanjutkan dengan dosis rumatan
setiap 2 minggu, diturunkan bertahap sampai 16 minggu. IgIV CMV efektif
untuk penderita transplantasi ginjal dan hati. Penggunaan pada neonatus
untuk mencegah penularan CMV secara vertikal pada neonatus masih
belum diketahui dengan pasti. Vaksin CMV masih dalam proses penelitian
terutama dalam pembuktian klinis pada sukarelawan dan penderita
transplantasi ginjal.

Imunoglobulin rabies

Dosis pemberian Ig rabies adalah 20 IU/kg berat badan (0,133 mL/ kg berat
badan), diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin rabies, dalam
upaya pencegahan pasca paparan dalam kurun waktu mulai awal terpapar
sampai terbentuknya antibodi aktif. Bila IgR tidak tersedia, vaksin dapat
diberikan diikuti dengan pemberian IgR pada 7 hari pertama setelah
pengobatan. Bila pemberian vaksin dan IgR terlambat, keduanya harus
diusahakan untuk memperpendek interval antara waktu paparan dengan
pengobatan. Dosis IgR 20 IU/kg berat badan, sebanyak-banyaknya
diberikan secara infiltrasi di sekitar luka. Sisanya diberikan im dengan alat
dan jarum suntik yang terpisah. Bila lukanya banyak, lakukan
pengenceran IgR dengan NaCl 0,9% agar volumenya cukup (diencerkan 2-3
kalinya). Pada anak dengan masa otot yang tipis, dianjurkan pemberian
IgR di tempat yang berbeda. Kemasan IgR manusia tersedia dalam vial 2 mL
(300IU) dan 10 mL (1500 IU). Antibodipasif dapat menghambat
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 321
Toto Wisnu Hendrarto

respon
vaksin
rabies;
oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih. Vaksin tidak
boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik yang sama. Reaksi
hipersensitifitas terhadap IgR jarang terjadi.

Plasma dari Manusia


Plasma dari manusia dapat digunakan untuk mengatasi infeksi walaupun
terbatas karena resiko tercemar hepatitis. Biasanya digunakan pada
pasien luka bakar, untuk mengatasi hilangnya protein dan adanya penelitian
untuk mencegah infeksi pseudomonas. Pemberian plasma bermanfaat pula
untuk pasien defisiensi antibodi IgG, karena plasma juga mengandung
Ig.

Antibodi hewan (antisera hewan)

Dibuat dari serumkuda, dengan caramengendapkanfraksi globulinserum


dengan amonium sulfat. Digunakan pada penyakit berikut:
 Antitoksinbotulism,trivalen (jenisA,B,E)
 Antitoksindifteri
 Antitoksintetanus
 Globulinrabies

Antitoksindifteri
Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman
dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses
penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan
berdasarkan tempat infeksi
 20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada
pharyng dan laryng dalam waktu 48 jam.
 40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng
 80.000-120.000 unit, iv,padainfeksilanjut dansudahtampak adanya
bull-neck.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 322
Imunisasi Pasif

T
es
hipe
rsensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk
mencegah timbulnya reaksi alergi/anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum
dosis diberikan 500 U, diberikan secara im.

Antitoksin tetanus

Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum
binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes
sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar antara
50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan dengan
dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitioksin
dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45
menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada
paha antero lateral.

Antitoksin botulinum

Dosis untuk anti toksin botulinum tergantung tingkat beratnya penyakit,


pada pasien dewasa dapat diberikan antara 2-4 vial, secara im atau iv.
Sebelum pemberian anti toksin botulinum harus dilakukan uji
sensitifitas yaitu pertama dilakukan scratch, prick, atau puncture test. Bila
hasilnya negatIf dilanjutkan dengan tindakan kedua yaitu dengan
melakukan tes intradermal, yang menunjukan hasil positif bila
terbentuk indurasi selebar 3 mm dalam waktu 15-20 menit setelah tes
dilakukan. Bila hasil tes positif dan didapat riwayat alergi, antitoksin
botulinum diberikan melalui desensitisasi.

Indikasi antisera hewan

Penggunaan produk yang mengandung antibodi dari serum hewan


demikian terbatas dan dengan indikasi yang kuat, yaitu bila preparat Ig dari
manusia tidak tersedia, (misalnya untuk difteria dan botulism).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 323


Toto Wisnu Hendrarto

Reaksi
terhada
p serum hewan
Sebelum pemberian serum hewan, sebaiknya dilakukan anamnesis adanya
atopi seperti asma, rinitis alergika, urtikaria, atau riwayat pemberian
serum hewan sebelumnya. Bila didapatkan atopi tersebut, pemberian
serumhewan sangat berbahaya,kecuali padakondisi tertentu.

Tes sensitivitas terhadap serum hewan

Tes Intradermal harus dilakukan sebelum pemberian serum hewan. Tes


Intradermal (ID) dilakukan dengan penyuntikan 0,02-0.1 ml dari serum yang
diencerkan dengan Nacl 0,9% 1:100, dan dibaca setelah 10 sampai 30
menit. Hasil positif bila terdapat pembengkakan. Pada penderita yang
berbakat alergi, cara yang dilakukan adalah memberikan 0,05 ml serum yang
diencerkan dengan Salin 1:1000 secara intradermal. Tes intradermal dapat
menimbulkan kematian, oleh karena itu persiapkan tindakan terapi
reaksi anafilaksis dengan mempersiapkan semprit yang berisi 1 ml 1:1000
epinefrin yang secara cepat dapat diberikan, serta tersedianya personil yang
trampil, dan dapat memberikan medikasi/cairan infus secara intravena
bila diperlukan.
Bila tes kulit intradermal (id) berakibat fatal, cara lain yang cukup aman
adalah scratch test. Scratch, prick atau puncture test dilakukan dengan
pemberian satu tetes 1:100 serum yang diencerkan dengan Salin pada kulit
yang digores secara superfisial dan ditunggu 15–30 menit. Hasil yang positif
menunjukkan kemerahan atau indurasi.
Cara lama yang pernah dilakukan dan sekarang mulai
ditinggalkan adalah tes mata. Tes mata dilakukan dengan cara meneteskan
satu tetes serum yangdiencerkan dengan salin 1:10 padasatu mata, sementara
mata sisi lainnya diberi satu tetes Salin sebagai kontrol. Hasil tes positif,
apabila terdapat produksi airmata yang berlebihan dan adanya reaksi
kemerahan atau konjungtifitis setelah 10 sampai 30 menit pada sisi mata
yang diberi serum. Beberapa ahli

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 324


Imunisasi Pasif

Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes atau tes
intradermal.
Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata dapat
diindikasikan sensitif. Tetapi bila hasilnya negatif tidak menjamin bebas
alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dan sensitifitas keduanya negatif,
dosis serum dapat diberikan secara Intramuskular. Pemberian iv dapat
dilakukan bila dosis antibodi yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih
tinggi secara cepat. Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang
diencerkan dengan 10 ml salin atau glukosa 5% diberikan secara intravena
sepelan mungkin dan ditunggu 30 menit untuk melihat reaksinya. Bila
reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali IV
dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit
Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan akan
diberikan apa tidak. Apabila pemberian harus tetap dilakukan dapat
digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakan epinefrin 1:1000 siap pakai
didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi sebagai berikut:
1. 0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan
2. 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
3. 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
4. 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
5. 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
6. 0.5mlserumtidakdiencerkandiberikansecaraintramuskular7.
sisanyaserumtidakdiencerkandiberikansecaraintramuskular

Jenis reaksi terhadap serum hewan

Reaksi yang terjadi dengan pemberian serum hewan melibatkan antibodi


IgE, yang dapat diprediksi dengan melakukan tes kulit. 1) Reaksi demam
tiba-tiba, biasanya ringan karena semua serum
sudah dibuat tes pirogenisitas dan dapat diatasi dengan
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 325
Toto Wisnu Hendrarto

antipiretik.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 326


Imunisasi Pasif

2) Seru
m
sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3 minggu),
setelah terpapar proteinasing, yaitu demam, urtikaria,ras makulopapuler,
(90% kasus), arthritis atau artralgia, dan limfadenopati. Reaksi edem lokal
terjadi di tempat suntikan, sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema,
glomerulonefritis, sindromGuillain-Barré, neuritis perifer, dan miokarditis
juga dapat terjadi. Namun demikian serum sickness bisa timbul ringan
dan hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita
yang pernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko terjadi
serum sickness lebih cepat (terjadi dalam beberapa jam sampai 3 hari).
Antihistamin sangat membantu mengatasi gatal, edem, dan urtikaria.
Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis dapat diatasi dengan
pemberian asetosal atau anti inflamasi non steroid lainnya. Bila tidak
berhasil dapat diberikan kortikosteroid (prednison atau predisolon)
dengan dosis 1,5 sampai 2mg/kg per hari, diberikan 5 sampai 7 hari.

0) Anafilaksis. Timbulnya dapat cepat dalam beberapa menit setelah


terpapar zat allergen. Semakin cepat timbul, semakin berat gejala yang
terjadi. Gejala utamanya adalah pada kulit gatal, merah, urtikaria, dan
angioedem. Gangguan pernapasan seperti serak dan stridor, batuk,mengi,
sesak nafas dan sianosis. Sistem kardiovaskular: nadi cepat dan lemah,
hipotensi, dan aritmia. Gangguan pencernaan spasme dinding perut,
muntah, diare, dan mulut kering.

Anafilaksis sebagai kegawatan medis

Pengobatan reaksi anafilaksis

Tenaga medis yang memberikan produk biologis atau serum harus siap
menghadapi adanya reaksi anafilaksis. Obat-obatan, alat-alat
medis,danpersonel yangterampil dalamresusitasi kardiopulmonal
harus siap untuk menghadapi reaksi anafilaksis.
Epinefrin adalah obat utama dalammenghadapireaksi anafilaksis. Gejala
ringan seperti gatal, eritema, urtikaria dan angioedem diatasi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 327


Imunisasi Pasif

dengan injeksi epinephrin subkutan atau intramuskular, diikuti oleh suntikan


difenhidramin atau antihistamin lain yang diberikan per oral atau
parenteral. Pemberian epinefrin dapat diulang setiap 5-15 menit, sampai
kondisi pasien membaik dan tanda vitalnya stabil.
Pengobatan anafilaksis sistemik berat dan mengancam jiwa dengan
gejala spasme bronkus, edem laring, renjatan dan gangguan kardiovaskuler
memerlukan tindakan lanjut. Lakukan tindakan resusitasi dengan
mempertahankan jalan nafas, beri oksigen, jaga sirkulasi dengan
memberikan cairan infuse. Bila perlu pemberian tetesan cepat larutan
kristaloid seperti garam fisiologis atau ringer laktat dilakukan untuk
mengatasi adanya renjatan. Epinefrin yang diencerkan 1:1000, diberikan IV,
merupakan indikasi pada keadaan ini. Obat-obatan lain yang diperlukan
adalah aminofilin IV untuk mengatasi spasme bronkus, golongan inotropik
seperti dopamine untuk mempertahankan tekanan darah, kombinasi
antihistamin reseptor H1, H2 yang dapat memberikan efek sinergis,
serta kortikosteroid walaupun efeknya tidak diharapkan segera. Semua
penderita dengan gejala anafilaksis harus diobservasi antara 4 sampai
24 jam, karena adanya reaksi berulang. (lihat bab Cara mengatasi syok
anafilaksis)

Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: Pickering LK.,
penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke 27. Elk Grove
Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66.

2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious Diseases.
Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614.

3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007.

4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis: Wolters Kluwer
Health, Inc. 2006.

328 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VIII-1

Vaksin Kombinasi (vaksin kombo)


Pen gantar

Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan vaksin
yang telah diperbaharui dengan teknologi canggih berada di pasaran.
Diperkenalkannya vaksin baru di Indonesia, berakibat pada penataan jadwal
imunisasi yang sudah cukup rumit. Dalam jadwal imunisasi rekomendasi IDAI
edisi tahun 1999, seorang anak sampai umur 5 tahun akan mendapat 13 kali
suntikan vaksinasi yang terpisah. Maka, untuk mengurangi jumlah suntikan
telah dicoba memberikan beberapa jenis vaksin secara bersama-sama pada
satu saat. Pemikiran tersebut menjadi dasar pembuatan vaksin kombinasi
(vaksin kombo, combined vaccine), yang merupakan salah satu alternatif
cara untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan ke fasilitas
kesehatan. Seperti telah diketahui bahwa tujuan akhir dari vaksinasi
adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi di pasaran berfungsi
sebagai pelengkap vaksin monovalen dan bukan sebaliknya.

329 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VIII-1

V
aksin Kombinasi
Sri Rezeki S.Hadinegoro

Vaksin kombinasi adalah


 Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk
antigen untuk mencegah penyakit yang berbeda. Misalnya vaksin
kombinasi DTP/Hib adalah gabungan antigen-antigen D-T-P dengan
antigen Hib untuk mencegah penyakit difteria, pertusis, tetanus,
dan Hib.
 Gabungan dari antigen dari galur (strain) multipel suatu organisme
penyebab penyakit yang sama. Misalnya vaksin polio terdiri dari
antigen polio-1, polio-2, dan polio-3 untuk pencegahan penyakit
poliomielitis (galur 1, 2, dan 3).

Dasar vaksin kombinasi


Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah,
 Kemasan vaksin kombinasi lebih praktis dibandingkan dengan
vaksin vaksin monovalen, sehingga mempermudah pemberian
maka dapat lebih meningkatkan cakupan imunisasi,
 Mengurangi frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan
sehingga mengurangi biaya pengobatan,
 Mengurangi biaya pengadaan vaksin,
 Memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program
imunisasi yang telah ada,
 Untuk mengejar imunisasi yang terlambat (catch-up
immunization), dan
 Biaya lebih murah. Apabila dihitung seluruh pengeluaran termasuk
biaya berobat, transportasi, kecemasan anak dan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 330


Sri Rezeki S.Hadinegoro

orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan vaksin, maka


vaksin kombinasi lebih murah dibandingkan apabila beberapa vaksin
monovalen diberikan secara terpisah.

Di samping keuntungan tersebut, vaksin kombinasi mempunyai beberapa


kekurangan.
 Terjadinya incompatibility (ketidakserasian) kimiawi maupun fisis,
sebagai akibat percampuran beberapa antigen beserta ajuvan, zat
preservasi dan bufer.
 Sulit dihindari adanya perubahan respons imun (imunogenitas), sebagai
akibat interaksi antara antigen dengan antigen lain atau antara antigen
dengan ajuvan yang berbeda.
 Pemakaian vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam
menyusun jadwal imunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari
pabrik yang berbeda.

Diharapkan apabila seorang dokter akan mempergunakan vaksin


kombinasi, perlu membuat perencanaan dalam jadwal imunisasi.

The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), the


American Academy of Pediatrics (AAP) dan the American Academy of
Family Physicians (AAFP), merekomendasikan lebih baik
mempergunakan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik daripada
memberikan dua jenis vaksin monovalen yang diberikan secara terpisah
pada saat bersamaan. Vaksin kombinasi yang dianjurkan adalah vaksin
yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah negara masing-masing,
di Indonesia melalui izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan
DepartemenKesehatanRI (BPOM Depkes).

Daya Proteksi
Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum dan
setelah diberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian

331 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random dan
tersamar. Laporan beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi.
Beberapa hasil uji klinis pada vaksin kombinasi di Amerika dan Eropa,
mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau komponen) dari vaksin
kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan dengan vaksin terpisah.
Walaupun demikian kadar antibodi masih berada di atas ambang
pencegahan (protective level). Misalnya pada kombinasi DTwP/HepB titer
antiHBsAg lebih rendah dibandingkan vaksin monovalen walaupun titernya di
atas 10 IU/ml (ambang pencegahan dicapai bila titer anti HbsAg >10 IU/ml).
Titer antibodi anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan DTap/Hib/
IPV dijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah. Hal ini juga
tampak pada vaksin kombinasi MMR/V, kadar anti bodi anti varisella lebih
rendah dibandingkan vaksin varisela terpisah. Maka apabila
mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa memberikan vaksinasi
ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi Hib meningkat sama dengan
vaksinmonovalensetelah diberikan booster Hib pada umur 18 bulan.

Imunogenitas

Imunogenisitas dan efikasi vaksin berhubungan dengan titer antibodi


yang terbentuk sehingga dapat mencegah penyakit. Pada pemberian
vaksin monovalen, antibodi yang terbentuk akan mengenal antigen melalui
epitop protein atau polisakarida. Pada vaksin kombinasi, akibat
pembuatannya terjadi modifikasi epitop antigen sel B sehingga secara teori
dapat mengurangi kemampuan vaksin membuat antibodi untuk mengikat
antigen. Hal tersebut akan mengurangi imunogenisitas yang berakibat
mengurangi efikasi vaksin. Sebagai contoh, komponen toksin pertusis
akan menjadi tidak aktif sebagai akibat proses kimiawi dari ajuvan
formaldehid, aluminium hidroksida, atau aluminium fosfat. Dapat pula
karena pada vaksin berisi antigen pertama dan ajuvan setelah ditambah
antigen lain kedua, respons imun antigen kedua akan

332 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Vaksin Kombinasi

berubah. Demikian juga buffer, stabilizer atau komponen lain akan


mempengaruhi komponen vaksin lain.
Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti dari hasil
beberapa penelitian mengenai vaksin kombinasi. Penelitian di
Thailand menyimpulkan bahwa pada vaksin kombinasi DTwP/hepB
atau vaksin pentavalen DTwP/hepB/Hib terbukti memberikan
imunogenisitas yang tinggi terhadap semua antigen (anti difteria, anti
pertusis, anti tetanus, antiHBsAg, dan anti PRP) tanpa mempengaruhi
respons imun satu sama lainnya. Khususnya antiHBsAg pada vaksin
kombinasi DTwP/HepB memberikan respons antibodi lebih baik daripada
diberikan terpisah, sesuai dengan penelitian Bio Farma Bandung. Diduga
DTwP menjadi ajuvan pada vaksin kombinasi DTwP/HepB sehingga
akan membantu meningkatkan kadar antibodi . Dalam penelitian di
Mexico, Santos J. melaporkan bahwa imunogenisitas vaksin kombinasi
DTwP/ HepB dibandingkan dengan pemberian terpisah pada umur 3, 4,
dan 5 bulan. Setelah pemberian dosis kedua, proporsi titer antibodi anti
HbsAg pada kelompok DTP/hepB lebih tinggi (94,9%) dibandingkan
pemberian terpisah (66,1%). Dilaporkan juga bahwa pada penelitian serupa
dari kelompok vaksin DTwP/ hepB/Hib mempunyai seroconversion rate (94,4%)
sebanding dengan kelompok vaksin DTwP/hepB terpisah dengan Hib
(95,7%).

Reaktogenitas

Badan POM DepKes RI memberikan rekomendasi untuk peredaran vaksin


kombinasi di Indonesia berdasarkan studi imunogenitas dan keamanan
(reaktogenitas) vaksin kombinasi tersebut, dibandingkan dengan vaksin
monovalen atau kombinasi lain yang telah beredar sebelumnya. Dari laporan
beberapa uji kilins didapatkan bahwa reaktogeni sitas yang timbul lebih
banyak disebabkan oleh ajuvan dari pada antigen yang berada di dalamnya.
Kejadian ikutan pasca imunisasi baik pada vaksin kombinasi DTwP/hepB tidak
berbedadengan pemberian DTwP dan hepB terpisah. Pada pemberian

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 333


Sri Rezeki S.Hadinegoro

vaksin kombinasi DTwP/Hib didapatkan lebih banyak reaksi lokal daripada


DTwP dan Hib terpisah; sedangkan pada vaksin kombinasi MMR/V, jumlah
ruam morbili form akan lebih banyak dijumpai walaupun jumlah ruam tidak
lebih banyak dibandingkan vaksin yang diberikan terpisah.

Angka Cakupan
Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage rate)
vaksin kombinasi DTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP dan hepB
terpisah. Pada dosis ketiga didapatkan daya cakupan yang lebih tinggi pada
vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian terpisah (84%). Sedangkan
pengalaman di Spanyol menggunakan vaksin kombinasi dapat mengurangi
total biaya 16% selama tahun 1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin
yaitu pengurangan jumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga
menurunkan biaya dapat menjadi sebab meningkatkan angka
cakupan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan


Vaksin kombinasi dari jenis pabrik vaksin yang berbeda

Secara umum vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik
yang berbeda dapat diberikan secara bergantian pada seorang anak
sesuai dengan jadwal imunisasinya, khususnya untuk hepatitis B dan Hib.
Namun, untuk vaksin kombinasi apabila akan digunakan secara bergantian
dengan vaksin monovalen (interchangeability) sebaiknya memilih vaksin
dari pabrik yang sama. Demikian juga untuk vaksin kombinasi yang
mengandung DTaP, dianjurkan mempergunakan vaksin dari pabrik yang
sama oleh karena data penelitian dari pabrik yang berbeda sampai saat ini
belum ada, kecuali bila vaksin yang sama di negara tersebut tidak
beredar.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 334


Vaksin Kombinasi

Respons serologi vaksin kombinasi


Pemakaian jenis vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik
yang berbeda secara bergantian ditentukan oleh respons serologi penyakit
tersebut. Walaupun vaksin hepB, hepA, dan Hib telah terbukti dapat
diberikan bergantian dari pabrik yang berbeda, komponen Hib akan
menentukan dapat atau tidaknya vaksin tersebut dipakai secara
bergantian. Dari beberapa studi yang telah dilakukan, ternyata komponen
utama vaksin Hib dalam vaksin kombinasi adalah PRP-T (polyribosyl ribitol
phosphate konjugasi dengan toksoid tetanus) dan bukan PRP-OMP
(polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan outer membrane protein),
jadi apabila suntikanpertamaPRP-OMPmakasuntikankeduasebaiknyaPRP-T,
sedangkan suntikan ketiga boleh jenis vaksin Hib yang mana saja.

Pengadaan dan penyimpanan vaksin


Setiap fasilitas kesehatan seyogianya menyediakan semua jenis vaksin
yang telah direkomendasikan dalam jadwal imunisasi. Namun dalam hal
penyediaan, vaksin monovalen atau kombinasi seringkali terjadi tumpang
tindih maka perlu dipertimbangkan halhal sebagai berikut, (a) apabila terlalu
banyak variasi vaksin yang disediakan, dapat membingungkan petugas
imunisasi (khususnya perawat) atau malahan dapat terjadi kesalahan dalam
pengambilan dan pemberian, (b) vaksin yang jarang dipergunakan akan
mudah kadaluwarsa, (c) memerlukantempat penyimpanan lebih luas, dan (d)
memerlukan pendanaan yang lebih besar.

Pemberian dosis antigen berlebih

Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau antigen
padahal mereka telah imun (telah divaksinasi).
a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan ketiga
sebenarmya telah terlindung secara imunologik terhadap penyakit yang
bersangkutan. Namun oleh karena pengukuran

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 335


Sri Rezeki S.Hadinegoro

kadar antibodi tidak dilakukan (tidak praktis dan mahal), maka suntikan
ulangan diberikan tanpa diketahui kadar antibodi yang telah ada.
Pemberian suntikan ulangan diberikan berdasarkan pertimbanganklinisdan
aspek kesehatan masyarakat guna menurunkan jumlah anak yang rentan
(susceptible) sehingga meningkatkan daya pencegahan penyakit di
masyarakat.
b. Dosis antigen tambahan tersebut kadangkala diberikan secara tidak
sengaja oleh karena tidak ada catatan imunisasi atau pada saat
dilakukan program imunisasi masal.
c. Pada saat dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN), imunisasi polio dan
campak diberikan pada anak yang terindikasi tanpa memperhatikan
status imunisasinya.
d. Kadangkala vaksin kombinasi berisi beberapa antigen yang sebenarnya
tidak seluruhnya dibutuhkan, namun terpaksa diberikan oleh karena
vaksin yang berisi antigen monovalen yang diperlukan tidak tersedia.
Misalnya, karena di Indonesia tidak ada vaksin rubela monovalen maka
diberikan MMR yang merupakan vaksin kombinasi yang juga berisi
vaksin campak.

Bagaimana KIPI pada dosis vaksin yang berlebih?

 Secara teori dikhawatirkan antigen tambahan (ekstra) yang


sebenarnya tidak diperlukan berhubungan dengan risiko terjadinya
KIPI. Namun, dari laporan penelitian yang ada tidak dijumpai KIPI yang
serius.
 Pemberian vaksin kombinasi pada umur yang tidak tepat dapat
menimbulkan KIPI. Misalnya, pemberian vaksin kombinasi
DTP/hepB-atau DTP/Hib tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu
mengingat antigen DTP atau Hib (PRP-T) mengandung tetanus toksoid
yangtidak direkomendasikandiberikan sebelumumur 6 minggu.
 Studi lain melaporkan ternyata pemberian dosis ekstra vaksin yang
berisi virus hidup yaitu vaksin OPV, MMR, varisela, dan rotavirus yang
telah dilemahkan pada anak imunokompeten

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 336


Sri Rezeki S.Hadinegoro

yang pernah mendapat imunitas baik dari vaksin sebelumnya atau


infeksi alamiah, tidak menunjukkan peningkatan KIPI.
 Berbeda dengan vaksin mati atau vaksin subunit yang pada
umumnya mengandung ajuvan garam aluminium. Pada
pemberian dosis tambahan jenis vaksin ini, harus
dipertimbangkan mengenai keuntungan dan kerugian
sehubungan dengan reaktogenisitas yang dapat timbul.
 Secara klinis tampak efek samping ringan timbul pada pemberian dosis
tambahan vaksin hepB atau Hib dari komponen vaksin kombinasi.
Pemberian dosis tambahan dari vaksin yang mengandung ajuvan
garam aluminium dapat meningkatlan reaksi hipersensitivitas,
misalnya pemberian DT pada anak, dT atau TT pada dewasa.
Pemberian dosis tambahan komponen toksoid tetanus yang ada di
dalam vaksin sebaiknya diberikan atas pertimbangan khusus, misalnya
seorang anak yang semula mendapat DToleh karena di kemudian hari harus
diberikan perlindungan terhadap pertusis maka berikan DPT oleh karena
tidak tersedia antigen pertusis monovalen sehingga anak tersebut
kelebihan antigen difteria dan tetanus.

Jenis Vaksin Kombinasi


Jenis vaksin kombinasi dibuat berdasarkan 4 kategori,
1. Pengembangan vaksin kombinasi yang paling lama diproduksi yaitu
DTwP (komponen whole-cell pertussis), disebut vaksin kombinasi
tradisional.
2. Vaksin kombinasi dengan dasar vaksin campak atau MMR.
3. Vaksin kombinasi dengan dasarDTaP (DTP dengan komponen a-cellular
pertussis) atau hepatitis B.
0. Vaksin kombinasi lain yang sedang dikembangkan.

30 0 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jenis vaksin kombinasi tertera pada Tabel 8.1

Tabel 8.1. Jenis vaksin kombinasi


Vaksin Kombinasi Jenis Vaksin

1 Pe n g e m b a n g a n v a k s i n D T w P (DTP DTwP /hepB


DTwP /Hib
dengan komponen whole-cell pertussis)
2 Penambahan vaksin baru pada campak
Campak/ yellow fever
atau MMR MMR /varisela
3 Pertusis a-sellular (DTaP) atau hep-B sebagai dasar kombinasi
a. Dasar kombinasi pertusis a-selular DT a P /h e p B
(DTaP) DTaP/Hib
DTaP/IPV
DTaP/hepB/Hib
DTaP/Hib/IPV
DTaP/hep-B/Hib/IPV
b. Dasar kombinasi hepatitis B Hep-B/ Hib
Hep-B/hep-A
4 Vaksin kombinasi lain (sedang DPwT/ Men
dikembangkan) DPaT/Men
IPV/Pneumo
IPV/Pneumo/Men
Hib/Pneumo/Men
Keterangan: DTwP = DTP whole cell , DTaP = DTP a-celluler, Hep-B = hepatitis B, Hib =
Haemophilus influenzae tipe b, IPV = inactived polio vaccine, Hep-A = hepatitis A,
Pneumo = pneumokokus, Men = meningitis

Jadwal Imunisasi pada Vaksin Kombinasi

Pemberian vaksin kombinasi DTwP/hepB, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV dapat


dimasukkandalam jadwalimunisasiIDAI denganbeberapa pilihan jadwal.

a. Vaksin kombinasi DTwP/hepB

Apabilaakan mempergunakanvaksin kombinasiDTwP/HB,maka jadwal


imunisasi dapat disusun sebagai berikut.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 338


Vaksin Kombinasi

Tabel 8.2. Vaksin DTwP/hepB dalam jadwal imunisasi PPI Depkes


Umur Pemberian vaksin Keterangan
Saat lahir HepB+BCG+OPV
2 bulan DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB diberikan ≥ 6
minggu
3 bulan DTwP/hepB+OPV
4 bulan DTwP/hepB+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB

Tabel 8.3. Vaksin kombinasi DTwP/hepB


Saat pemberian
Umur Pilihan 1 Pilihan 2
Saat lahir HepB+BCG+OPV HepB+BCG+OPV
2 bulan DTwP/ DTwP/hepB+Hib+OPV
hepB+Hib+OPV
4 bulan DTwP+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV
6 bulan DTwP/hepB+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV
DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB

b. Vaksin kombinasi DTP/Hib

ApabilamempergunakanvaksinkombinasiDTwP/HibatauDTaP/Hib, maka
jadwal imunisasi dapat disusun sebagai berikut.

Tabel 8.4. Vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib dalam jadwal imunisasi
Vaksin kombinasi
Umur DTwP/Hib DTaP/ Hib
Saat lahir HepB + BCG + OPV HepB + BCG + OPV
2 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV
4 bulan DTwP/Hib + OPV DTaP/Hib + OPV
6 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV
DTwP/Hib = vaksin kombinasi DTwP dan Hib DTaP/Hib = vaksin kombinasi DTaP
dan Hib

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 339


Vaksin Kombinasi

c. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV

Tabel 8.5. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV dalam jadwal imunisasi


Umur Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV
Saat lahir HepB + BCG + IPV
2 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB
4 bulan DTaP/Hib/IPV
6 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB
DTaP/Hib/IPV = vaksin kombinasi DTaP, Hib (PRP-T), dan IPV

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Combination vaccines for childhood immunisation:


recommendations of the Advisory Committee on Immunisation Practices, the American of
Pediatrics and the American Academy of Family Physicians. Pediatrics 1999; 103:1064-8.
2. Bogaaerts H. Clinical experience with a combined DTPw-HB vaccine in healthy infants. Satellite
symposium and regional meeting. The 9th Asian Congress of Pediatrics, Hongkong, 24 Maret
1997.

3. UNICEF. Combination vaccine juggling with option. Geneva: Children’s Vaccine Initiative. 1998.
4. Decker MD, Edwards KM. Combination Vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer EA., penyunting.
Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 508 – 14.
5. Centers for Disease Control and Prevention U.S. Combination vaccines for chlidhood immunization.
Atlanta, Georgia: Department of Health & Human Services. Morbidity and Mortality Weekly
Report (MMWR) 1999; 48: RR-5.
6. World Health Organization. Combined vaccine for world’s children. Dalam: Ditmann, penyunting.
Progress towards implementing hepatitis B and Haemophillus influenzae type b into
childhood immunisation programmes. Geneva: WHO 1999.
0. Poovooravaan Y, Apiradee Theambooniers. Comparison study of combined DTwPHB vaccines
and separate administration of DTwP and HB vaccines in Thai children. Asian Paed. J. Allergy
Immunol 1999; 17:113-20.
7. Hadinegoro SR, Rusmil K, Mulyati S, Sampana E, Sundoro J, Kaligis B, Mahendra. Efficacy and
reactogenicity of DTwP/Hepatitis B (Bio Farma) combined vaccine. Dipresentasikan pada
Simposium Recent in Vaccinology. Bandung 4 September 2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 340


Bab IX
Imunisasi Kelompok
Berisiko
1. Imunisasi bayi berisiko
0. Imunisasi bayi pada Ibu berisiko

Pen gantar
Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu yang
berisiko. Pada bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat
infeksi atau perhatian khusus untuk pemberian imunisasi berikut, diperlukan
panduan. Kelompok ini termasuk bayi/anak yang menderita defisiensi imun
seperti bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang
mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita
infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau
mereka yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah
imunisasi.
Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang
diderita terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan
saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khusus diperlukan pada ibu yang
menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 341


Bab IX-1
Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko
Sjawitri P. Siregar

Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi,
harus diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang
menderita imunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan
splenektomi serta bayi prematur, imunisasi harus diatur.

Pasien imunokompromais
Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit
defisiensi imun kongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder)
yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit
keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating
agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dan
transplantasi sumsum tulang.

Defisiensi imun primer


Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer selular dan
kombinasi defisiensi keduanya seperti pada penyakit X-linked
agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, ataxia telangiectasia dan
sindrom di George , kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup.
Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin spesifik atau
dengan IGIV.
Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik
hidup ataupun vaksin kuman mati/dilemahkan sedangkan pada defisiensi
fagosit misalnya pada penyakit granulomatosis, tidak boleh diberikan
vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk divaksinasi terhadap penyakit
influenza dan pneumokokus.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 342
Sj awitri P. Si re gar

Defisiensi imun sekunder


1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama
atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kgBB/hari dengan lama
pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lama pengobatan >1
bulan.
0. Pengobatandengan alkylating agents, antimetabolik danradioterapi.
Untuk penyakit keganasan seperti leukemia, dan limfoma.
Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh diberikan
imunisasi vaksin hidup karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman
akan bereplikasi hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya.
Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG. Vaksinasi dengan
mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan
imunosupresif minimal 3 bulan.
Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat
segera diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza danHib, dosis
samadengananaksehat.Responsimunyangtimbultidaksamadengananaksehat,
sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif
dengan normal immunoglobulin (human) NIGH dosis 0.2 ml/kgBB intramuskular.
Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0.4-1.0 ml/kgBB, bila mungkin
sebaiknya diberikan imunisasi profilaksis (spesifik) dengan varicella-zoster
immunoglobulin (VZIG), namun pada saat ini belum ada di Indonesia.

Pengobatan kortikosteroid

 Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau


obat semprot hidung, paru, salep kulit, salep mata, injeksi lokal intra
artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yang diberikan setiap hari atau
selangsehari,dapat diberikanimunisasidengan vaksin hidup.
 Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis
tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14
hari, dapat diberikan vaksinasi dengan vaksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 343


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

hidup segera setelah penghentian pengobatan, namun ada


pendapat yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari.
 Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap
hari atau selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan vaksin hidup
setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup
dapat diberikan pada pasien yang telah menghentikan pengobatan
imunosupresi selama 3 bulan atau 6 bulan dengan pertimbangan bahwa
status imun sudah mulai membaik dan penyakit primernya sudah
dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.
 Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung
(serumah) dianjurkan untuk mendapatkan vaksinasi polio inaktif
(inactivated polio vaccine), varisela dan MMR. Vaksin varisela sangat
dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena walaupun
dapat terjadi penularan tranmisi virus varisela pada pasien tetapi
gejala lebih ringan dari pada bila infeksi alamiah yang akan
berakibat lebih buruk dan dapat fatal.
 Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam
keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus
hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan
varisela keadaannya dapat fatal.
 Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat,
imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal yang diinginkan,
sehingga dianjurkan memeriksa titer antibodi serum setelah imunisasi
diberikan sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

Infeksi human immunodefisiensi virus (HIV)

Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi


sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi
kurang optimal. Yang menjadi pertanyaan, kapan pasien HIV harus
diberikan imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna
karenapenyakitsudahlanjut

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 344


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan dini,vaksin
hidupakanmengaktifkansistimimunyangdapatmeningkatkan replikasi virus HIV
sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan
mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok
konjugasi (PCV7) diberikan pada anak dengan HIV (+). Pada umur kurang
dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kali dengan interval 2 bulan,
sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai risiko tinggi maka
diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin pnemumokok PCV23
(Tabel 9.1)

Tabel 9.1. Rekomendasi imunisasi untuk HIV anak

Vaksin Rekomendasi Keterangan

I P V Ya Pasien dan keluarga serumah Sesuai


D P T Ya dengan jadwal anak sehat Secepat
Hib Ya mungkin
Hepatitis B* Ya Sesuai jadwal anak sehat
Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat
MMR** Ya Diberikan umur 12 bulan
Influenza Ya Tiap tahun diulang
Pneumokokus Ya Secepat mungkin
BCG ** Ya Dianjurkan untuk Indonesia
Varisela ** Ya/tidak Tergantung berat penyakit
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004
* Ada yang menganjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan 2 X
** MMR, BCG dan Varisela dapat diberikan pada pasien HIV asimptomatik atau gejala HIV ringan.
Tidak diberikan pada kasus HIV berat dan kadar limfosit CD4+ <25%

Penyakit Hodgkin
• Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang dewasa
(close contact) dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena
penderita ini berisiko terhadap kedua penyakit tersebut. Respons antibodi
palingbaikbilaimunisasidiberikan10-

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 345


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

14 hari sebelum dilakukan imunoterapi. Apabila diberikan bersama dengan


imunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah
kemoterapi atau radioterapi dihentikan.
 Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi
pneumokok dan Hib sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis
antibiotik dengan penisilin dianjurkan untukpenderita anemi sickle cell,
thalasemia terhadap infeksi pneumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125
mg sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 kali 250 mg sehari untuk
anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20 mg/kg
sehari.
 Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat
profilaksis antibiotika anaknya masih dapat menderita infeksi oleh
kuman lain, sehingga bila demam harus segera berobat untuk
menghindarkan sepsis.
 Pada pasien keganasan seperti leukemia dan limfoma sebelum memulai
pengobatan dengan kemoterapi sebaiknya diberikan dahulu imunisasi
(Tabel 9.2)

Tabel 9.2. Rekomendasi imunisasi pada pasien kanker

Vaksin Rekomendasi Keterangan

DPT Ya Penderita kanker anak


Polio (IPV)* Ya Penderita kanker
Pneumokok Ya Untuk limfoma
Hib Ya Penderita kanker anak
Influenza** Ya Tergantung musim**
Varisela* Ya Penderita seronegatif
MMR* Tidak
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA,2004
* Keluarga dekat / serumah juga harus diimunisasi dengan IPV,varisela & MMR
** Untuk daerah yang tidak tergantung musim, vaksin influenza diberikan pada bulan
Agustus-September tiap tahun

Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)


Resipien transplantasi sumsumtulang (TST)alogenik akan menjadidefisiensi
imundisebabkan4komponen(1)pengobatanimunosupresi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 346


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang diberikan


pada pejamu (3) reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu,
serta (4) pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah tranplantasi
dilakukan. Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otolog hanya
komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang dianjurkan pada
pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 9.3. Pada TST
alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan
imunisasi polio dan DTP terlebih dahulu; karena terbukti setelah transplantasi,
imunitas terhadap virus polio, tetanus dan difteri hampir tidak ada.
Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteri
dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu
diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan
memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan
vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated
polio vaccine).
Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan
pejamu, sehingga regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya infeksi
pun tidak seperti pada transplantasi alogenik. Pada transplantasi TST
alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih
dahulu kepada resipien.
Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelahtransplantasi, dan
diulangi setiap tahun sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B
diberikan setelah 1 tahun transplantasi. Pasien berumur diatas 12 tahun yang
akan mendapat organ transplantasi sebaiknya diperiksa terlebih dahulu titer
antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko tinggi harus
mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu
terbaik adalah 1 bulan sebelum transplantasi dilakukan. Titer antibodi
setelah setahun transplantasi sebaiknya diperiksa. Pada mereka yang
rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubela
sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin dan bila mungkin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 347


Sja witri P. Si re gar

titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data


mengenai imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai
pengalaman dan cara yang berbeda.

Tabel 9.3. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang

Vaksin Transplantasi Transplantasi SST Keterangan


alogenik SST otologus
DPT Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12 bulan
transplantasi.
Polio (IPV) Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12 bulan
transplantasi.
Campak Epidemik Hanya pada Tidak diberikan dalam 24
campak penderita bulan setelah tranplantasi.
anak Tidak pada GVHD.
Terutama wanita.
Rubela 2 dosis mulai 6-12 bulan
Ya setelah transplantasi.
Hib Ya
Ya 12 bulan setelah transplantasi.
Ya Hasil tidak baik pada GVHD.
Hepatitis B Tidak dalam masa 24 bulan
Pneumokok Ya Ya setelah trans-plantasi. Tidak
Ya ? pada GVHD.
Varisela
Tidak Anak dan
dewasa muda
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004.
Keterangan: TST = transplantasi sumsum tulang GVHD = graft versus host disease

Bayi prematur dan berat lahir rendah


Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan
dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DTwP atau
DTaP, Hib dan OPV diberikan pada umur 2 bulan. Bila bayi masih
dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan
OPV sebaiknya pemberian ini harus ditunda sampai saat bayi akan
dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindarkan
penyebaran viruspolio

348 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons imun
kurang bila dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B,
sehingga pemberian vaksin hepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara
sebagai berikut:
 Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan hepatitis B
bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam
waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke-3 dan
ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBs dan HbsAg
pada umur 9-15 bulan. Bila HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi
dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali
HbsAg dan anti-HBs.
 Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin Hepatitis
B + HBIg pada 2 tempat suntikan yang berlainan dalam waktu 12
jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2 diberikan umur 1 bulan dan
berat badan mencapai 2000 g, selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6
bulan umur kronologis. Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur
9-15 bulan. Bila HbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3
dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan
anti-HBs.
 Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B
dosis pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan
6 bulan umur kronologis.
 Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama saat
berat badan telah mencapai 2000 g atau secara klinis keadaannya
stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada saat keluar dari
RS sebelum 30 hari.
 umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2
bulan, 2-4 bulan dan 6-18 bulan umur kronologis.
 Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g: diberikan
vaksin hepatitis B dalam 12 jam. Periksa HBsAg ibu segera. Bila hasil
positif ditambahkan HBIg dalam waktu
7 hari.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 349


Sja witri P. Si re gar

• Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g: diberikan vaksin
hepatitis B. Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan
dalam 12 jam, berikan HBIg dalam 12 jam.
Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP,
DTaP (DTP/HepB). Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur
kronologis setelah 6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan
sebagai imunisasi pertama pada bayi prematur.

Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis

Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga harus


diberikan imunisasi seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi defisiensi imun
sekunder. Sangat dianjurkan untuk imunisasi terhadap influenza dan
pneumokokus.

Tabel 9.4. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi


Paparan infeksi Inkubasi Pemberian vaksinasi

Campak 8-12 hari 0-72 jam paparan


Varisela 14-16 hari 0-72 jam paparan
Rubela 14-23 hari Tidak perlu
Gondongan 12-25 hari Tidak perlu

Heptitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam
Tetanus 24 jam - Perlu aktif dan pasif
beberapa bulan
Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu

Vaksinasi pada anak dengan reaksi efek samping


Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah
imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan
pengawasan dokter.

350 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sj awitri P. Si re gar

Air susu ibu dan imunisasi


Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang menyusui bila ibunya
diberikan imunisasi baik dengan kuman atau virus hidup dan kuman yang
dilemahkan. Sebaliknya air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi
untuk mendapatkan imunisasi.

Daftar Pustaka

1. Atkinson W, Walfe C, Hamiston S, dkk. general recommendations on immunization. Dalam:


Atkinson W, penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases; edisi ke-6.
Atlanta, 2000; 18-20.

2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian
Immunization Handbook, edisi ke-9. 2008.

4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 351


Bab IX-2
Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko
Toto Wisnu Hendrarto

Ibu menderita hepatitis B


Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat
menularkan hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi
ditentukan oleh status HBsAg ibu sebagaimana tertulis pada tabel 9.5
berikut ini.

Tabel 9.5. Skema Iimunoprofilaksis hepatitis B pada bayi berdasarkan status HBsAg
ibu.*
Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000 g Berat lahir <2000 g

HBsAg positif Vaksin Hepatitis B + HBIg Vaksin Hepatitis B + HBIg


(dalam umur 12 jam) (dalam umur 12 jam)
Imunisasi dengan 3 dosis Imunisasi dengan 4 dosis vaksin
vaksin pada 0, 1, dan 6 pada 0, 1, 2-3, dan 6 bulan
bulan umur kronologis. umur kronologis.
Periksa anti-HBs dan Periksa anti-HBs dan
HBsAgpadaumur9–15bulan + HBsAgpadaumur9–15bulan +
Bila HBsAg dan anti-HBs Bila HBsAg dan anti-HBs
negatif, reimunisasi dengan 3 negatif, reimunisasi dengan 3
dosis, dengan interval 2 bulan, dosis, dengan interval 2 bulan,
dan periksa kembali HBsAg dan dan periksa kembali HBsAg
anti-HBs. dan anti-HBs.

HBsAg tidak Vaksin Hepatitis B (dalam 12


diketahui jam) + HBIg (dalam 7 hari) bila Vaksin Hepatitis B + HBIg
hasil pemeriksaan HBsAg ibu (dalam 12 jam)
positif
Periksa HBsAg ibu segera
Periksa HBsAg ibu segera, bila
tidak dapat dilakukan dalam
12 jam, berikan HBIg.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 352


Toto Wisnu Hendrarto

Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000 g Berat lahir <2000 g

HBsAg negatif Dianjurkan vaksin Hepatitis Vaksin Hepatitis B dosis


B saat lahir. 1 dalam 30 hari umur
kronologis, bila secara klinis
keadaannya stabil, atau pada
saat keluar dari RS sebelum 30
hari umur kronologis.
HBsAg negatif Imunisasi Hepatitis B Imunisasi Hepatitis B
dalam 3 dosis pada umur dalam 3 dosis pada umur
0–2, 1–4, dan 6–18 bulan 1–2, 2–4, dan 6–18 bulan
umur kronologis. umur kronologis.
Bila vaksinasi kombinasi Bila vaksinasi kombinasi
mengandung Hepatitis B, mengandung Hepatitis B,
berikan saat usia 6–8 berikan saat usia 6–8
minggu umur kronologis minggu umur kronologis
Evaluasi anti-HBs dan Evaluasi anti-HBs dan
HBsAg tidak perlu HBsAg tidak perlu
dilakukan dilakukan
 Saat pemberian dosis vaksin Hepatitis B tidak mempertimbangkan masa gestasi dan berat lahir.
+ Pendapat lain menganjurkan melakukan pemeriksaan serologis 1-3 bulan sesudah pemberian
jadwal vaksinasi Hepatitis B selesai.
Yakinkan ibu tetap menyusui ASI, apabila vaksin Hepatitis B sudah diberikan.

Ibu menderita tuberkulosis


Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah
lahir, dan mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak
cukup terlindungi dengan vaksinasi BCG. Tindakan yang dilakukan,
 Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.
 Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari
per oral.
 Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan
lakukanpemeriksaanujituberkulindanfotodadabilamemungkinkan.
Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 353


Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

pengobatananti TBsesuaikan program pengobatanTB padabayi.


Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan
pencegahan dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.
Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai.
Bila BCG sudahterlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu
setelah pengobatan INH selesai.
Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan
bayi tiap 2 minggu.

Ibu menderita HIV


 Tidakadatanda spesifik HIV yangdapat ditemukanpadabayisaat lahir.
 Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun
uji antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk
menentukan status HIV bayi.
 Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada
keluarga rawat bayi seperti bayi yang lain dan perhatian khusus pada
pencegahan infeksi. Bayi tetap diberi imunisasi rutin seperti
layaknya bayi sehat lain.

Daftar Pustaka

1. DepartamenKesehatanR.I. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
perawat, bidan di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Kerja sama IDAI, MNHJHPIEGO, Departemen
Kesehatan R.I. 2003.
2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
3. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, eds. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.;
2004:745-81.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 354


Bab X
Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi
1. Klasifikasi KIPI
0. Pelaporan KIPI

Pen gantar
Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pasca
imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang
berat dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi
terjadi segera setelah dilakukan vaksinasi, namun bisa juga reaksi tersebut
muncul kemudian. Sebagai pelaksana kita harus mengetahui berapa besar
insidensi dan bentuk kejadian yang tidak diharapkan dari suatu imunisasi.
Pasien dan keluarga harus diberi informasi mengenai risiko dan keuntungan
vaksinasi dan tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan
tertulis dari pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain
diberi informasi juga diberi kesempatan untuk bertanya. Perlu dicatat
di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan.
Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada tempat
imunisasi diberikan bila terjadi reaksi pasca imunisasi yang serius, dan petugas
harus melaporkan kejadian pasca imunisasi yang serius ini ke instansi yang
berwenang di daerah tersebut dengan mengisi formulir KIPI yang telah
tersedia.
Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu dibuat
dan dikirimkan kepada Komite Daerah (Komda) PP KIPI yang
berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yang berkesinambungan, data
KIPIIndonesiadapat dibuat dengancermat oleh Komite Nasional (Komnas)
PP KIPI.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 355


Bab X-1
Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)
adverseeventsfollowing immunization (AEFI)
Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah


medikolegal vaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990, sehingga
mulai dibentuklah KOMNAS pengkajian penanggulangan KIPI/PP KIPI yang
merupakan badan independen yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan
dengan anggotanya terdiri dari IDAI, Subdit Imunisasi Depkes, BPOM dan
lain-lain. Pembentukan itu kemudian diikuti oleh organisasi tingkat provinsi
(Komda PP KIPI)bahkan di tingkat kabupaten. Seiring dengan kewaspadaan
terhadap aspek medikolegal, imunisasi telah diakui sebagai upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif yang berdampak terhadap
peningkatan kesehatan masyarakat.
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam
pembuatan vaksin adalah keseimbangan antara imunogenisitas (daya
membentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpang
vaksin). Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi vaksin harus berisi
antigen yang efektif untuk merangsang respons imun resipien sehingga
tercapai nilai antibodi di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu yang
cukup panjang. Vaksin harus diupayakan agar tidak menimbulkan efek
simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinis
penyakit secara alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar
ideal, namun dengan kemajuan bioteknologi saat ini telah dapat dibuat
vaksin yang efektif dan relatif aman.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga
meningkat, dan akibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga
meningkat.Dalam menghadapi hal tersebut

31 356 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin


yang diberikan ataukah secara kebetulan.
Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik
yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau akibat
kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang
tidak dapat ditentukan.
Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari vaksin
yang disebabkan Kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi
vaksin, kesalahan prosedur, kesalahan teknik imunisasi, atau
kebetulan.
Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan
pencatatan dan pelaporan dari semua reaksi simpang yang timbul setelah
pemberian imunisasi (yang merupakan kegiatan dari surveilans KIPI).
Surveilans KIPI tersebut sangat membantu program imunisasi, khususnya
untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi
sebagaiupaya pencegahanpenyakit yang paling efektif.

Definisi KIPI
Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan bahwa
kejadian ikutan pasca imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang
dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse
events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan
program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak
dapat ditentukan.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42
hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan
(infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi
campak, dan polio paralitik serta

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 357


infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau
resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan
reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi
akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat
berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi,
reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit
dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping, serta
reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri,
sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur
vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap
protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning),
antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang
terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi
karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta
penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi,
atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan.
Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap
semua kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai
reaksi alergi terhadap vaksin. Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine
Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa
sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian
yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan
prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic errors).

Epidemiologi KIPI
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin
dalamjumlahbesar. Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan melalui
fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis

358 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada


manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity
and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga dilakukan uji
efektivitas (imunogenisitas) vaksin.
Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak,
maka untuk menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar
yang dikenal sebagai post-marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah
untuk memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian
yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data PMS
dapat memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI (terutama
KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan. Sebaliknya akan
merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah
KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek
samping vaksin dengan segala akibatnya.
Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the
Institute of Medicine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI
oleh karena,
 Mekanisme biologis gejala KIPI kurang difahami
 Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat
 Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh
 Surveilans KIPI belum dilakukari untuk jangka panjang
 PublikasiKIPIdalamjumlahkasusyang besarmasihkurang.
Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI
yang sebenarnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai berat,
terutama pada imunisasi masal atau setelah penggunaan lebih dari
10.000 dosis.

Klasifikasi KIPI
KomnasPengkajian danPenanggulangan KIPI(KomnasPP KIPI)
mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi,
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 ) untuk
petugas kesehatan di lapangan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 359


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah


Komnas PP KIPI.

1. Klasifikasi lapangan (WHO Western Pasific 1999)


Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai
kriteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok
penyebab, yaitu kesalahan program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden,
dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk
pencatatan dan pelaporan KIPI.
a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat
terjadipadaberbagai tingkatanprosedurimunisasi, misalnya,
 dosis antigen (terlalu banyak)
 lokasi dan cara menyuntik
 sterilisasi semprit dan jarum suntik
 jarum bekas pakai
 tindakan aseptik dan antiseptik
 kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
 penyimpanan vaksin
 pemakaian sisa vaksin
 jenis dan jumlah pelarut vaksin
 tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk
pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain)
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang
sama.

Mencegah program error (VSQ 1996)


 Alat suntik steril utk setiap suntikan
 Pelarut vaksin yg sudah disediakan oleh produsen vaksin
 Vaksin yg sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

360 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

 lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin


 Pelatihan vaksinasi dan supervisi yg baik
 Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yg sama
b. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai
reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak
dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak
langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.
Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat
pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal,
 Syncope/fainting
– Sering kali pada anak > 5 tahun ,
– Terjadi beberapa menit post imunisasi,
– Tidak perlu penanganan khusus.
– Hindari stres saat anak menunggu,
– Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk.
 Hiperventilasi akibat ketakutan
– Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell,
pingsan.
– Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien
tersebut perlu diperiksa)
 Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria.
 Penting penjelasan dan penenangan
Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:
– Teknik penyuntikkan yang benar
– Suasana tempat penyuntikan yang tenang
– Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)


GejalaKIPI yangdisebabkan induksivaksin umumnyasudahdapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 361


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala
klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi
simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk
pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus,
perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya
termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini
harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana
imunisasi.

1. Reaksilokal
+ Rasanyeriditempatsuntikan.
+ Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 % +
Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
+ BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi
dan sembuh setelah beberapa bulan.
2. Reaksi sistemik
+ Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi
lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.
+ MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin.
Terjadi demam dan atau ruam dan konjungtivitis pada 5%-15% dan
lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada kasus
imunodefisiensi.
+ Pada mumps terjadireaksivaksin pembengkaan kelenjarparotis,
rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. + OPV
kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot.
3. Reaksi vaksin berat
 Kejang
 Trombositopenia
 Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
 Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak
merupakan masalah jangka panjang
 Anafilaksis,potential menjadi fataltetapidapat disembuhantanpa
dampak jangka panjang
 Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 362


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

Pencegahan terhadap reaksi vaksin


 Perhatikan indikasi kontra.
 Vaksin hiduptidakdiberikan kepadaanakdengan defisiensi
imunitas.
 Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yg ringan dan
dianjurkan segera kembali apabila ada reaksi yg
mencemaskan.
 Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala
demam dan rasa nyeri.
 Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis.
 Lainnyadisesuaikandengan reaksi ringan/berat yangterjadiatau
harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap.

d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi.
Indikatorfaktorkebetulanditandaidenganditemukannyakejadian yang sama di
saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik
serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.

a. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat


dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara
dimasukkan ke dalam keiompok ini sambi! menunggu informasi lebih lanjut.
Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.
World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded
programme on immunisation (EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI
dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang yang paling
penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi
programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik,
alat yang sekali pakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan
yang benar sehingga transmisi patogen melalui darah dapat
dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 363


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian


pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.

2. Klasifikasi kausalitas

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda
dengan laporan Comnittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar
klasifikasi saat ini, yaitu
 Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated )
 Buktitidak cukupuntuk menerima ataumenolak hubungankausal
(unlikely)
 Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
 Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal
(probable)
 Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)

Gejala klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya.Padaumumnyamakin cepat terjadiKIPI makin berat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini
disebabkanolehkarenapadaumumnyaprodukfarmasidiperuntukkan orang sakit
sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi
terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan untuk
orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek
samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu
diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI
(reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi
pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan
observasi selama 15 menit.

364 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti
Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Pedoman Imunisasi328
di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 Pedoman Imunisasi di Indonesia365
Edisi Ketiga Tahun 2008
Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 366


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap


sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala
klinis (Tabel 10.2).

Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI

Jenis vaksin Gejala klinis KIPI Saat timbul


KIPI
Toksoid tetanus Syok anafilaktik 4 jam
(DPT,DT.TT) Neuritis brakialis 2-28 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter-
dan kematian catat
Pertusis whole-cell Syok anaphilaktik 4 jam
(DPwT) Ensefalopati 72 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter-
dan kematian catat
Campak Syok anafilaktik 4 jam
Ensefalopati 5-15 hari
Trombositopenia 7-30 hari
Klinis campak pada resipien imuno- 6 bulan
kompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan
kematian Tidak
Polio hidup Polio paralisis tercatat
(OPV) Polio paralisis pada resipien imuno- 6 bulan
kompromais
Komplikasi akut termasuk keca Tidak ter-
catan dan kematian catat
Hepatitis B Syok anafilaktik 4 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan Tidak
kematian tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 367


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Angka kejadian
KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka
kejadian reaksi anafilaktoid pada DTP diperkirakan 2 dalam 100.000
dosis , tetapi yang benar-benar reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus
diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih
banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode
hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat
terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi
pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine Information Statement
2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam
ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100
dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak
berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis,
kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius
1/1.000.000 dosis.

Tabel 10.3 dapat digunakan,


 Untuk mengantisipasi reaksi imunisasi.
 Mengidentifikasi kejadian yang tidak berhubungan dengan
immunisasi.
 Sebagai perbandingan kejadian/rates untuk kepentingan
pelaporan dan penyelidikan bila ternyata lebih besar
kejadiannya.

368 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Tabel 10.3. Reaksi Vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI.


Vaksin Reaksi Interval Rasio per
kejadian juta dosis
BCG Limfadenitis supuratif 2-6 bulan 100-1000
BCG-osteitis 1-12 bulan 1-700
BCG-it is deseminata 1-12 bulan 2
Hib Tidak diketahui - -
Hepatitis B Anafilaktik

Measles Kejang demam 0-4 jam 1-2


Trombositopenia 5-12 hari 333
OPV Anafilaktik 15-35 hari 33
0-1 jam 1-50
Tetanus VAPP (vaccine associated 4-30 hari 1,4-3,4 (b)
paraliytic poliomyelitis)
Neuritis Brakialis 2-28 hari 5-10
Anafilaktik 0-4 jam 1-6
Abses Steril 1-6 minggu 6-10
TD Sama dengan tetanus - -
DTP Persistent-inconsolable 0-24 jam 1000-60.000
screaming (menangis
berkepanjangan lebih dari 3
jam) demam
Kejang 0-3 hari 570 (c)
Episode hipotenik
hiporesponsif (ENH) 0-24 jam 570
Anafilaktik 0-4 jam 20
Ensefalopati 0-3 hari 0-1
Dikutip dari: Background rates of adverse events following immunization, supplementary
information on vaccine safety. Part 2 tahun 2000; WHO

Keterangan :
(a)Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal (± 90
% anak yang menerima dosis kedua) anak umur di atas 6 tahun
jarang mengalami kejang demam.
(b)Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4
juta dosis), sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin selanjutnya 1
per 6,7 juta dosis.
(c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada riwayat
kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 369


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Imunisasi pada kelompok berisiko


Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah
resipien termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan
kelompok risiko adalah,
1. Anakyangmendapatreaksisimpangpadaimunisasiterdahulu.
0. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang
bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
pada bayi kurang bulan.
a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari
pada bayi cukup bulan.
a. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda
dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2
bulan, kecuali untuk irnunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu
yang HBs Ag positif.
c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin
polio yang diberikan adaiah suntikan IPV bila vaksin tersedia,
sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus vaksin polio
melalui tinja
3. Pasien imunokompromais
Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit
dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi,
kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi
kontra untuk pasien imunokompromais, untuk polio dapat diberikan
IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan
kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek.
Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid
sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari
selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan
kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian
kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immuno globulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk
menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

370 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi


kasus HIV memerlukan imunisasi. Ada pertimbangan bila
diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena
penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau
kurang. Apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan
sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga
memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan
mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati Sesuai jadwal
anak sehat.

Tabel 10.4. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak


Vaksin Rekomendasi Keterangan
IPV Ya Pasien dan keluarga serumah
DPT Ya Pasien dan keluarga serumah
Hib Ya Pasien dan keluarga serumah
Hepatitis B * Ya Sesuai jadwal anak sehat
Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat
MMR ** Ya Diberikan umur 12 bulan
Influenza Ya Tiap tahun diulang
Pneumokok Ya Secepat mungkin
BCG *** Ya Dianjurkan untuk Indonesia
Varisela Tidak
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004.
Keterangan:
* Ada yang menganjurkan dosis hepatitis B dilipatgandakan dua kali
** MMR dapat diberikan pada pasien HIV yang asimtomatik atau HIV dengan gejala ringan.
*** Tidak diberikan pada HIV yang berat.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 371


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Tabel 10.5. Indikasi Kontra dan perhatian khusus untuk Imunisasi


Indikasi kontra dan perhatian khusus Bukan indikasi kontra
(imunisasi dapat dilaku-
kan)
Berlaku umum untuk semua vaksin DPT,
Polio, Campak, dan Hepatitis B
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya
Perhatian khusus
Demam >40,5 C dalam 48 jam pasca DPT Demam <40,5 C pasca
sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan DPT sebelumnya
penyebab lain Riwayat kejang dalam
Kolaps dan keadaan seperti syok (episode keluarga
hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca Riwayat SIDS dalam
DPT sebelumnya keluarga
Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya Riwayat KIPI dalam kelu-
Menangis terus>3 jam dalam 48 jam pasca DBT arga pasca DPT
sebelumnya
Sindrom guillain-barre dalam 6 minggu pasca
vaksinasi
Vaksin polio
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Infeksi HIV atau kontak HIV serumah Menyusui
Imunodefisiensi (keganasan hermatelogi atau Sedang balam terapi anti
tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi biotik
imunosupresan jangka panjang) Diare ringan
Imunodefisiensi penghuni serumah
Perhatian khusus
Kehamilan
Campak
Perhatian khusus
Mendapat transfusi darah/produk darah atau
imunoglobulin (dalam 3-11 bulan, tergantung produk
darah dan dosisnya)
Trambositopenia
Riwayat purpura trombositopenia
Hepatitis B
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Reaksi anafilaktoid terhadap ragi Kehamilan
Dikutip dari rekomendasi ACIP dan AAP dalam JC Watson, G. Petr, 1999.
Keterangan:
D = vaksin difteria DT = vaksin difteria dan tetanus
T = vaksin tetanus untuk anak Td = vaksin tetanus untuk dewasa
P = vaksin pertusis whole cell aP = vaksin pertusis aselular
SIDS = sudden infant death syndrome KIPI = kejadian ikutan pasca imunisasi
HIV = human immunodeficiency virus PPD = purified protein derivative

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 372


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

373 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 337


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

375 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti
Kejadian pasca Imunisasi

376 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Daftar Pustaka

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan


KejadianIkutanPaska Imunisasi, DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2005.
2. Reporting and Compensation Tables, National Childhood Vaccine Injury Act 1986, Comittee from
the Institute of Medicine, National Academy of Science USA, dalam Atkinson W, Wolfe CS,
Humiston S, Nelson R,2000.
3. WHO: Background rates of adverse events following immunization, supplementary information
on vaccine safety. Part 2 , 2000.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 377


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Bab X-2
Pelaporan KIPI
Hindra Irawan Satari

Vaksinasi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat terhadap


serangan penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin
mutakhir cenderung lebih aman walaupun demikian tidak ada vaksin
yang tanpa risiko. Maka walaupun jarang, sebagian orang dapat
mengalami reaksi ringan sampai mengancam jiwa setelah imunisasi. Pada
beberapa kasus reaksi disebabkan oleh vaksin, pada kasus lain
penyebabnya adalah kesalahan pemberian vaksin, tetapi sebagian besar
umumnya tidak berhubungan dengan vaksin. Apapun penyebabnya, apabila
timbul kejadian ikutan pasca imunisasi masyarakat selalu bersikap menolak
untuk pemberian imunisasi berikutnya, sehingga anak tersebut akan
rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, sehingga
dapat timbul kecacatan/kematian. Untuk itu, pelaporan KIPI yang cepat dan
tepat diikuti dengan tindak lanjut yang benar dapat membantu pelaksana
program mengatasi masalah di lapangan sehingga masyarakat tidak resah
dantetap mendukung program imunisasi.

Deteksi dan pelaporan KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi


setelah imunisasi dan dianggap disebabkan oleh imunisasi. Komnas
Pengkajian dan Penanggulangan KIPI menetapkan bahwa KIPI adalah
semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1 bulan setelah
imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden
medik setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden
umumnya terjadi

378 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hindra Irawan Satari

secara kebetulan (koinsiden). Sebagian yang


beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab
sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah.
Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan
dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan


Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti:
 Abses pada tempat suntikan.
 Semua kasus limfadenitis BCG.
 Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau
masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
 Semuakasus rawat inap,yang didugaoleh petugaskesehatan atau
masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
 Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas
kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.

Pelapor KIPI
Pelapor KIPI adalah
 Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi.
 Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan
kesehatan, rumah sakit serta sarana pelayanan kesehatan lain.
 Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian
lapangan.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan
 Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi,
petugas kesehatan harus dapat mengenal KIPI dan menentukan
apakahperlu dilaporkandanperlu tindakanlebih lanjut.

379 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pelapor
an KIPI

 Petugas harusmengetahui faktorpencetusdan harusmampu


menggunakan definisi kasus.
 Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan
memberi nasehat pada orang tua untuk mengobati pasien. Reaksi
ringan, seperti limfadenitis BCG dan abses kecil pada tempat suntikan,
tidak perlu dilaporkan kecuali apabila tingkat kepedulian orang
tua cukup bermakna.
 Para orang tua dan anggota masyarakat harus mengetahui reaksi
yang diharapkan terjadi setelah imunisasi dan dianjurkan untuk
melapor serta membawa dengan segera anak yang sakit yang
dikhawatirkan ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan.

Pelapo ran

 Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang


disediakan.
 Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat Kabupaten/ Daerah
Tingkat II, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang
berkedudukan di provinsi.
 Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi kejadian serta
menetapkan kasus tersebut termasuk KIPI atau tidak, serta
meneruskannya ke Instansi Kesehatan Propinsi / Daerah Tingkat I sampai
ke Subdit Imunisasi Dirjen PPM & PLP Depkes dengan tembusan
kepada KOMNAS PP KIPI.
 Dalamhalmendesak,pelaporandapatdisampaikan melalui tele-
pon atau faxsimili, formulir pelaporan harus diisi kemudian.
 Data demografi

Data yang harus dilaporkan


1. Data pasien
 Riwayat perjalanan penyakit
 Riwayat penyakit sebelumnya

380 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pelapor
an KIPI

 Riwayat imunisasi
 Pemeriksaan penunjang yang berhubungan
2. Data pemberian vaksin
 Nomor batch-vaccine
 Masa kadaluwarsa
 Nama pabrik pembuat vaksin
 Kapan dan dari mana vaksin dikirim
 Pemeriksaanpenunjangtentangvaksin,apabilaadaatauberhubungan
3. Data yang berhubungan dengan program
 Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin,
+ Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluwarsa?
+ Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin
sebelum disuntikkan
+ Perlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin setelah
selesai pelaksanaan imunisasi?
 Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi
+ Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?
+ Apakah pelarut steril?
+ Apakah dosis sudah benar?
+ Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?
 Ketersediaan jarum dan semprit
+ Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu
orang?
+ Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan? 4.
Data sasaran lain
 Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor batch
sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan berapa jumlah
pasien yang sakit serta bagaimana gejalanya.
 Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain (dari
produsen sama atau berlainan) atau masyarakat yang tidak
diimunisasitetapiterkenapenyakit dengan gejalayangsama.

381 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hindra Irawan Satari

Waktu pelaporan

Kematian dan rawat inap merupakan kasus yang harus segera diperhatikan
dan dilaporkan. Meski demikian kasus lain, seperti abses, limfadenitis BCG dan
KIPI lain harus juga segera dilaporkan. Gunakan media komunikasi tercepat,
seperti telepon, faksimili dan lain-lain.

Cara pelaporan

 Semua kolom formulir yang dapat diisi, harus dilengkapi. Apabila


perlu, jangan ragu untuk menuliskan laporan tambahan pada formulir
tersebut.
 Laporan bulanan harus dibuat, sekalipun tidak ada kasus
(tuliskan jumlah kasus 0, zero report).
 PetugaskesehatanditingkatII/kabupatenharusmengidentifikasimasalah
dan menilai, sehingga dapat terlihat,
Apakah kejadian iniberlangsung di Puskesmas/tempat yangsama
setiap bulan.
Apakah beberapa Puskesmas/tempat yang berbeda
melaporkan hal yang sama.
Bagaimana perbandingan laporan yang dibuat oleh
Puskemas/tempat yang berbeda dilaporkan.

Tindakan selanjutnya

Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda.


Pelacakan dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh
supervisor yang melihat pola tertentu di daerah binaannya. Di lain fihak,
dalam beberapa keadaan untuk KIPI tertentu tidak perlu dilakukan
tindak lanjut, seperti penyakit yang tidak berhubungan dengan imunisasi,
seperti pneumonia setelah penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila
orang tua pasien atau fihak keluarga menganggap kejadian tersebut
berhubungan dengan imunisasi, berikan kesempatan kepada mereka untuk
mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan.

382 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pelapor
an KIPI
Bab 10
-2. Pelap

Diisi oleh KOMNAS PP KIPI


FORM ULIR PELAPORAN Kode .................................
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI) Tanggal terima................... :
Pasien
Nama Tanggal lahir .../.../.... Dokter penanggung jawab
Nama orang  Laki-laki Alamat (RS, Puskesmas, Klinik)
tua Alamat:  Perempuan 0 RT/RW: Kel:
Kota: Wanita usis subur (WUS) Kota Kode pos:
Provinsi.:  Hamil 0 Provinsi:
Tilpon:  Tidak hamil 0 Pemberi imunisasi: dokter/ bidan/ perawat/ jurim
Daftar vaksin yang pernah diberikan 4 minggu terakhir, termasuk imunisasi terakhir
Pemberian
Nomer Tetes oral/ Tempat
Jenis vaksin Pabrik Jumla Tanggal
Batch subkutan i.m/ Imunisasi (*)
intrakutan h dosis imunisasi
1
2
(*) 1. RS 2. RB 3. Puskesmas 4. Dokter praktek 5. Bidan praktek 6. Balai Pengobatan
7. Posyandu 8. Balai imunisasi 9. Sekolah
Manifestasi kejadian ikutan
Waktu
Keluhan, gejala klinis gejalati Lama gejala Keterangan lanjutan/ Hasil akhir
mbul menit jam hari
Reaksi alergi Tindakan darurat
* gatal Rawat inap/jalan
* bengkak bibir Sembuh/tidak
* urtikaria Meninggal (tgl..... )
Muntah Gejala sisa
Diare Diagnosis
Pingsan Ensefalitis/ ensefalopati
Kejang Sindrom Guillain-Barre
Sesak nafas Hipotensif hiporesponsif
Demam tinggi (>39°C) Abses
Bengkak Neuritis brakhialis
Pembesaran kel limf Syok anafilaksis
Kelemahan/ kelumpuhan Polio paralitik
Kesadaran menurun Trombositopenia purpura
Riwayat reaksi simpang obat/ vaksin yang pernah dialami
Obat-obatan yang diberikan bersamaan 0......................... 0 Data laboratorium (bila ada)
Penyakit yang diduga diderita pada saat imunisasi (spesifik) Diagnosis dokter ..........................
Pengobatan yang diberikan 0 0 0

Penerimaan laporan KIPI ............... tanggal / /


Tanggal: / / Tanda tangan pelapor,

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 383


Pelapor
an KIPI

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan pasca
imunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004.
2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of adverse events.
Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infectious Diseases. Edisi
ke-25. ElkGroveVillage: American Academy ofPediatrics 2000.h.30-1.
0. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke-4.
Philadelphia: W.B. Saunders 2004.
3. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions. Dalam: Watson C,
penyunting. TheAustralian Immunisation Handbook. Edisike-9. Canberra: NHMRC 2008.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 384


Bab XI
Miskonsepsi dan
Kontroversi
Dalam Vaksinasi
1.Miskonsepsi
2.Kontroversi

Pen gantar

Tak dapat diragukan bahwa imunisasi telah membawa perubahan yang


sangat dramatik di dunia kedokteran. Suatu program kesehatan yang paling
efektif dan efisien dalam menurunkan angka kematian dan angka
kesakitan. Namun demikian, ternyata masih banyak kontroversi yang
berasal dari faktor program imunisasi, vaksin atau resipien yang
menerimaimunisasi. Pada suatu saat masalah tersebut menjadi sangat intens,
pada saat lain menyurut, tergantung pada adanya pemicu yang timbul di
masyarakat. Masalahnya makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada
anak yang sehat, sehingga bila terjadi reaksi betapapun kecilnya, akan
memicu rasa tidak aman pada orang tua. Cara pemberian imunisasi
sebenarnya menirukan kejadian sakit karena suatu infeksi secara alamiah,
sehingga menimbulkan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya, namun
cukup menyiapkan respon imun dan kekebalan. Dengan demikian apabila
ada paparan penyakit yang sesungguhnya anak tidak menjadi sakit.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 385


Bab XI-1
Miskonsepsi Imunisasi
Hartono Gunardi, Ismoedijanto

Di masyarakat sering terdengar pendapat yang salah atau miskonsepsi


mengenai imunisasi. Tidak jarang dijumpai orangtua yang ragu atau
bahkan menolak imunisasi dengan berbagai alasan. Ketakutan atau
penolakan imunisasi mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofis
tertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah. Alasan lain
adalah berhubungan dengan keamanan dan efikasi vaksin atau pandangan
bahwa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksinasi tidak menimbulkan
masalah kesehatanyang berbahaya.
Keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi perlu ditanggapi
secara aktif. Apabila orangtua mendapat jawaban akurat dan informasi
yang benar, maka orangtua dapat membuat keputusan yang benar
tentang imunisasi.

Miskonsepsi imunisasi yang sering dijumpai,

1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan, akibat


perbaikan sanitasi dan higiene.

Pengamatan difteria di Eropa setelah perang dunia ke II menunjukkan adanya


penurunan insidens penyakit, sejalan dengan perbaikan sanitasi dan
higiene. Namun penurunan kejadian penyakit yang permanent baru
tampak setelah program imunisasi dijalankan secara luas. Kondisi sosial
ekonomi yang membaik mempunyai dampak positif bagi penyakit. Nutrisi
yang cukup, penemuan antibiotik dan pengobatan lain, telah meningkatkan
angka harapan hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang,
telah menurunkan transmisi penyakit. Angka kelahiran yang menurun

386 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan transmisi
antar keluarga. Pengamatan insidens penyakit jangka panjang dapat
menerangkandampak vaksindalammenurunkanpenyakit.
Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang, menunjukkan
bahwa penghentian program imunisasi pertusis karena kekhawatiran
terhadap efek samping vaksin, menimbulkan dampak peningkatan penyakit.
Di Inggris, penurunan imunisasi pertusis pada tahun 1974 diikuti oleh
epidemi dengan lebih dari 100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun 1978.
Di Jepang pada kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan
cakupan imunisasi pertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan
peningkatan kasus pertusis dari 393 dan tanpa kematian pada tahun 1974
menjadi 13.000 kasus dan 41 meninggal pada tahun 1979. Di Swedia,
incidence rate per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus
pada tahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985.
Untuk penyakit difteria, dapat disajikan data dari propinsi Ontario
yang mempunyai data morbiditas, mortalitas dan case fatality rate untuk
kurun waktu 1880-1940. Sebelum ditemukan antitoksin difteria,
mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000 populasi pada masa
tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar 15 per 100.000 pada Perang
Dunia I, meskipun angka morbiditas tidak menurun. Setelah penggunaan
toksoid difteri secara luas pada akhir tahun 1920, penyakit difteria
menurun drastis.
Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih besar
daripadaperbaikansanitasi.Penghentianimunisasiakanmeningkatkan kembali
angka kejadian penyakit.

2. Mayoritas anak yang sakit telah divaksinasi

Pendapat yang salah ini sering dijumpai dalam rumor maupun dalam
literatur kelompok anti vaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB)
jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi mungkin lebih banyak
dibandingkanjumlahanaksakit danbelum diimunisasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 387


Miskonsepsi
Imunisasi

Ketimpangan ini dapat diterangkan dengan 2 faktor, yaitu tidak ada


vaksin yang efektif 100%. Supaya aman, maka bakteri atau virus dimatikan
atau dilemahkan (attenuated) terlebih dahulu. Efektivitas sebagian besar
vaksin pada anak adalah sebesar 85%- 95%, tergantung respon individu.
Faktor kedua adalah jumlah anak yang diimunisasi lebih banyak dibanding
jumlah anak yang belum diimunisasi di negara telah yang menjalankan
program imunisasi. Bagaimana kedua faktor terebut berinteraksi
diilustrasikandalamcontoh hipotetis sebagai berikut.
Satu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah
diimunisasi campak 2 kali, kecuali 10 yang tidak pernah sama sekali.
Ketika semua murid terpapar campak, 10 murid yang belum diimunisasi,
semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2
kali, sakit 25 orang. Kelompok anti imunisasi akan mengatakan bahwa
persentase murid yang sakit adalah 71,4% (25/35) dari kelompok yang
pernah imunisasi dan 28,6% (10/35) dari kelompok yang tidak pernah
imunisasi. Padahal bila dihitung efek proteksi, maka imunisasi memberikan
perlindungan sebesar (990– 25)/990 = 97,5%. Yang tidak diimunisasi, efek
proteksi sebesar 0/10 = 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak
mendapat imunisasi akan sakit campak; dibanding kurang dari 2% murid
yang mendapat imunisasi campak 2 kali akan menderita sakit campak.
Dengandemikian jelasbahwaimunisasibergunauntuk melindungi anak.

3. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan dan


bahkan kematian.

Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek


simpang vaksin bersifat ringan dan sementara seperti nyeri di lengan pada
bekas suntikan atau demam ringan. KIPI secara definitif mencakup semua
kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum
dalam KIPI dengan sendirinya hampir sama dengan prevalensi dan jenis
sakit dalam keadaan seharihari tanpa adanya program imunisasi.
Hanya sebagian kecil yang

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 388


Miskonsepsi
Imunisasi

memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar akan


bersifat ko-insidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit.
Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI
pada tahun 1990 – 1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan
vaksin. Institute of Medicine tahun 1994 menyatakan bahwa risiko kematian
akibat vaksinadalah amat rendah (extra-ordinarily low).
Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila
satu efek simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada
manfaat vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi akan
lebih jelas bila risiko penyakit dibandingkan dengan risiko vaksin seperti
yang terlihat pada Tabel 11.1.

Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat vaksin

Penyakit Vaksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 389


Hartono Gunardi, Ismoedijanto
Campak M
Pneumonia: 6: 100 E
Ensefalitis: 1 : 1.000 a
Meninggal: 2: 1.000

Rubela

Sindrom 1: 4
rubela ( j i k a ibu
kongenital terinfeksi

390 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi Imunisas

Difteria DTaP
Meninggal 1 : 20 Menangis terus lalu pulih
kembali
Tetanus Kejang/renjatan lalu
Meninggal 2: 10 pulih kembali
Ensefalopati akut
Pertussis Kematian
Pneumonia 1:8
Ensefalitis 1 : 20
Kematian 1 : 200

1:

1.000.000

1:1.00

1:14.0

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 391


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

Fakta menunjukkan bahwa penyakit lebih banyak menimbulkan risiko


komplikasi maupun kematian pada anak dibanding imunisasi. Anak akan
menderita lebih banyak sakit jika tidak mendapat imunisasi.

4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di negara kita,
sehingga anak tidak perlu imunisasi

Angka kejadian beberapa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin memang
telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi
di negara lain. Siapapun, termasuk wisatawan, dapat membawa penyakit
itu secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah.
Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005
yang lalu. Sejak tahun 1995, tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh
virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Biofarma di Bandung
mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang
menderita lumpuh layu akut pada bulan Maret 2005 yang tidak pernah
diimunisasi polio sebelumnya. Virus polio selanjutnya menyebabkan wabah
merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat
349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV (vaccine derived polio virus) di
Madura dan 2 kasus yang terjadi pada tahun 2006. Dari analisis genetik
virus, diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria Sudan dan
sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman.

Dari pengalaman tersebut, terbukti bahwa anak tetap harus mendapat


imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus diindungi.
Meskipun risiko terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak
yang tidak terproteksi tetap masih dapat terinfeksi. Alasan kedua imunisasi
anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah
anak yang tidak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap
komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respon
terhadap

392 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi
Imunisasi

imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan


perlindungan yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak
sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya.

5. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) untuk berbagai penyakit


pada waktu tertentu meningkatkan risiko efek simpang yang
berbahaya dan dapat membebani sistem imun

Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat


membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan
terpapar oleh sejumlah bakteri yang hidup di mulut dan hidung. Infeksi
saluran napas bagian atas akan menambah paparan 4-10 antigen,
sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan
25-50 antigen. Tahun 1994 Institute of Medicine menyatakan bahwa dalam
keadaan normal, penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin
akan memberikan beban tambahan pada sistem imun dan tidak
bersifat imunosupresif. Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi
simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal.
Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)
dan American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of
Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi
untuk imunisasi anak. Keuntungan pemberian vaksin kombinasi adalah
mengurangi jumlah suntikan yang diperlukan untuk melindungi anak
terhadap penyakit infeksi. Keuntungan lain adalah mengurangi biaya
penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi biaya kunjungan ke fasilitas
kesehatan dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam
program imunisasi.

Kombinasi vaksin menjadi satu tidak meningkatkan efek simpang


secara keseluruhan. Vaksin kombinasi misalnya dengan DTaP, frekuensi
efek simpang lebih rendah disbanding vaksin diberikan terpisah. Schmitt
dkk membandingkan respon antibodi dan efek simpang vaksin pada
kelompok anak yang mendapat vaksin DTaP-HBV-IPV-Hib dalam satu
suntikan dengan kelompok

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 393


Miskonsepsi
Imunisasi

anak yang mendapat Hib dalam suntikan berbeda. Tidak ditemukan


perbedaan bermakna dalam efek simpang vaksin pada regimen yang
berbeda.
Dua alasan praktis dalam memberikan beberapa vaksin dalam
satu kunjungan, yaitu anak mendapat perlindungan sedini mungkin
dalam awal kehidupannya. Alasan lain adalah pemberian vaksin simultan
akan menghemat waktu dan biaya serta mungkin kurang traumatis
bagi anak.

6. Vaksin MMR menyebabkan autisme

Autisme adalah kelainan perkembangan kronis yang ditandai dengan


gangguan interaksi, komunikasi serta perhatian dan aktivitas yang
repetitif dan restriktif.

Dr. Andrew Wakefield bersama peneliti lain dari Royal Free Hospital
London, tahun 1993 melaporkan adanya hubungan antara virus campak
dan vaksin campak dengan Inflammatory Bowel Syndrome (IBD). Penelitian
dilakukan pada 25 anak dengan penyakit Crohn dibandingkan dengan 22
anak normal. Tahun 1998 peneliti yang sama melaporkan sindrom baru dari
IBD yang berhubungan dengan gangguan perkembangan seperti autism.
Peneliti menduga vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkan
absorpsi vitamin dan nutrien esensial dari saluran cerna, yang
selanjutnya menimbulkan autism. Hubungan kausal dalam penelitian
ini, dinilai lemah dan mengandung beberapa kekurangan. Kekurangan
pertama adalah penelitian dilakukan pada pasien yang sangat selektif
yaitu yang dirujuk ke Royal Free Hospita,lLondon; sehingga tidak mewakili
populasi pasien secara umum (bias rujukan atau referral bias). Seri kasus
tidak dapat menentukan adanya hubungan kausal. Kelemahan yang
terpenting adalah hubungan vaksin dan autisme dibuat berdasarkan
ingatan orangtua (parental recall). Orangtua cenderung menghubungkan
gangguan perilaku dengan kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi.
Tidak ada bukti ilmiah yang mendasari teori tersebut. Lebih lanjut, 4 dari 12
kasus,menunjukkan gangguan perilaku sebelum timbul gejala IBD.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 394


Miskonsepsi
Imunisasi

Wakefield dan kawan-kawan, mempublikasi penelitian lain tentang


pemeriksaan virus campak pada pasien inflammatory bowel disease, dugaan
mekanisme terjadinya autism setelah vaksin MMR, yang mengandung
vaksin campak, tidak terbukti karena tidak mengandung virus campak.
Telaah yang dilakukan oleh pakar Kanada dan WHO
menyimpulkan bahwa dari data epidemiologi yang ada saat sekarang,
tidak menunjukkan adanya hubungan kausal antara virus campak dan IBD.
Tahun 1998, para pakar kedokteran Inggris, WHO dan internasional
berkumpul untuk membahas masalah tersebut dan berkesimpulan bahwa
berdasarkan bukti yang ada saat itu, tidak ada hubungan antara campak,
vaksincampakdenganpenyakitCrohn (IBD) ataupun autisme.

7. Thimerosal menimbulkan gangguan perkembangan

Thimerosal (disebut thiomersal di Inggris dan di negara


persemakmuran) merupakan preservasi (pengawet) vaksin yang
mengandung etilmekuri, suatu senyawa organik yang dimetabolisme
menjadi merkuri. Thiomersal mengandung 49,6% merkuri, dan berguna
untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada vaksin multidosis.
Thimerosaltelah digunakan didalamvaksin sejak tahun 1930an.
Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thimerosal, pada bayi
baru lahir terutama bayi kurang bulan, secara teoritis dapat meningkatkan
kadar merkuri dalam darah. Namun penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan kadar merkuri itu masih dalam rentang ‘normal’ yang diacu
oleh US Department of Health & Human Services. Sejauh ini tidak ada bukti
ilmiah bahwa thimerosal vaksin mengakibatkan gangguan perkembangan
anak. Penelitian di Denmark yang membandingkan insidens autism dalam
periode waktu pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam
periode pemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu
saat pemberian vaksin bebas thimerosal, insidens autisme meningkat tajam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vaksin dengan

395 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di Inggris


yang melibatkan lebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin mengandung
thimerosal, menunjukkan bahwa tidak ada bukti tentang paparan thimerosal
pada umur dini menimbulkan efek buruk pada perkembangan saraf
maupun psikologis.
Namun demikian, pada tahun 1999 Food and Drug Authority (FDA)
menghimbau semua produsen vaksin agar menghilangkan atau mengurangi
thimerosal dari vaksin. Demikian pula American Academy of Pediatrics (AAP)
dan United States Public Health Service (USPHS) mengeluarkan pernyataan
bersama untuk mengurangi atau menghilangkan thimerosal dari vaksin. Pada
tahun 2000 diluncurkan vaksin hepatitis B baru tidak mengandung
thimerosal.
Selain miskonsepsi yang dikemukakan oleh WHO dan CDC di atas, ada
beberapa pandangan salah yang sering dijumpai pada masyarakat
Indonesia. Dapat diketahui pada bab Tanya Jawab Orangtua Mengenai
Imunisasi.
8. Bilaanaktidakdemamsetelahdivaksinasi,berartivaksinnyatidak
bekerja

Perlu dibedakan antara imunogenitas vaksin dan reaktogenitas vaksin.


Imunogenitas adalah kemampuan vaksin tertentu untuk
membentuk imunitas atau kekebalan pada individu yang menentukan daya
proteksi vaksin. Reaktogenitas adalah respons tubuh yang tidak nyaman
yang timbul setelah imunisasi.
Penelitian imunogenitas atau daya proteksi vaksin DTP setelah
penyuntikan pertama kali adalah 6%-29%, dan setelah penyuntikan ketiga
adalah 68%-81%. Reaktogenitas vaksin DTP menyebabkan demam
menetap setelah penyuntikan sekitar 46,9%.

9. Setelahimunisasi vaksinpolio oral, bayi tidakbolehminumASI


selama beberapa jam

Dalam masyarakat termasuk di kalangan paramedis, terdapat isu bahwa


setelah imunisasi polio oral, pemberian ASI perlu ditunda untuk jangka
waktu tertentu. Ada yang menganjurkan untuk

396 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi
Imunisasi

menunda 15 menit, ada yang menganjurkan penundaan sampai 1 jam.


Pendapat tersebut tidak beralasan.
Efek ASI pada serokonversi terhadap vaksin polio oral diteliti oleh John
dan kawan-kawan, pada 300 bayi berusia 6 - 51 minggu di India. Bayi
dibagi dalam 6 kelompok dan mendapat vaksin polio oral (OPV) trivalen. Grup
pertama mendapat ASI on demand, namun wajib mendapat ASI dalam
interval 30 menit sebelum sampai 15 menit sesudah OPV. Pada grup kedua,
tiga, empat, lima pemberian ASI ditunda selama 3, 4, 5 dan 6 jam sesudah
dan sebelum OPV. Grup ke enam mendapat susu formula. Sampel
darah diambil pada saat sebelum imunisasi dan dari 227 bayi pada 4
minggu setelah OPV pertama dan/atau OPV ketiga. Dilakukan pengukuran
antibodi terhadap virus polio tipe 1,2 dan 3 setelah dosis pertama dan
ketiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons rate sama pada
seluruh kelompok yang mendapat ASI, tidak tergantung pada jadwal
pemberian ASI, demikian pula pada kelompok susu formula. Dengan
demikian, ASI tidak memperlihatkan hambatan pada pembentukan
antibodi terhadap OPV pada bayi setelah periode neonatus.

Daftar Pustaka

1. WHO. Six common misconceptions about immunization. Diunduh dari http://www.


who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions/en/print.html tanggal
19 Februari 2007.
2. CDC Publications. Six Common Misconceptions about vaccination and how to respond to them.
Diunduh dari : http://www.cdc.gov/nip/publications/6mishome.htm tanggal 19 Februari 2007.
3. McKinnon NE. Diptheria prevented. Dalam: Cruickshank R(ed). Control of the common
fevers. Lancet: 1942; 41-56. Dikutip dari Wharton M, Vitek CR. Diphtheria Toxoid. Dalam
Plotkin SA, Orenstein WA (eds) Vaccines. Philadelphia, Saunders, 2004:211-28.
4. Macintyre CR, Gidding H. Myths & Realities. Responding to arguments against immunization. A
guide for provider. Edisi ke-3. Canbera, Department of Health and Aged Care, 2001.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 397


Miskonsepsi
Imunisasi

5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants and Developmental
Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does Not Support a Causal
Association. Pediatrics 2004;114:577–83.
6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M. Madsen,
Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the Occurrence of Autism:
Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based Data. Pediatrics
2003;112;604-6.
7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States Public
Health Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9.
8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary vaccination of
infants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-inactivated polio virus and
Haemophilus influenzae type b vaccines given as either separate or mixed injections. J Pediatr
2000;137:304-12.
9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce distress and
are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6.
10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http://
www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 398


Bab XI-2
Kontroversi dalam Imunisasi
Ismoedijanto

Imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik di dunia


kedokteran. Program kesehatan yang paling efektif dan efisien dalam
menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Namun demikian, masih
banyak kontroversi yang muncul dari faktor penerapan program imunisasi,
vaksin dan bahan di dalamnya atau resipien penerima imunisasi. Pada suatu
saat sangat intens, pada saat lain menyurut, tergantung pada ada-tidaknya
pemicu yang timbul di masyarakat Masalahnya dapat makin mencuat,
karena imunisasi dilakukan pada anak yang sehat, sehingga betapapun
kecilnya reaksi yang terjadi akan memicu rasa tidak aman pada orang tua.
Konsep imunisasi pada dasarnya adalah menggugah respons tubuh dengan
sengaja, agar anak kebal terhadap paparan penyakit yang dituju di kemudian
hari. Pada perjalanan sejarah imunisasi, keseimbangan antara imunitas dan
reaktogenitas ini sering berubahubah, tergantung pada vaksin ataupun
interaksi yang terjadi antara vaksin dan resipiennya. Perubahan
keseimbangan ini dapat memicu kontroversi imunisasi, terutama bila skala
besaran program menjadi sangat besar, misalnya imunisasi global.
Meskipun proporsi reaktogenitas tetap, namun besaran program
menyebabkan jumlah kasus menjadi lebih menonjol, dan menjadi lebih
menakutkan.

Imunisasi jangan hanya diperlakukan sebagai upaya klinik saja namun


harus dipandang sebagai tindakan epidemiologik dan dinilai keberhasilannya
dengan parameter epidemiologik, yaitu berapa banyak kasus dan berapa
banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Masalah epidemiologik yang berbeda pada setiap benua bahkan setiap
negara,mengakibatkanperbedaankebutuhanakanimunisasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 399


Kontroversi dalam Imunisasi

Beban penyakit di suatu negara atau region tertentu merupakan acuan


utama pada saat kita merencanakan dan memutuskan upaya imunisasi.
Selanjutnya berkembang praktek imunisasi yang menekankan pada
perlindungan individu, selaras dengan konsep penghargaan pada individu di
negaraBarat.Praktekimunisasimenggunakan segala teknologi kedokteran yang
ada, vaksin yang efektif dan efisien, yang menurunkan probabilitas
kemungkinan menjadi sakit.
Kenyataan bahwa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
masih berada di sekitar kita, mengancam kematian dan kecacatan,
merupakan alasan menempatkan imunisasi sebagai ujung tombak
kesehatan anak. Setiap anak harus mendapat manfaat imunisasi, sampai
ada bukti ilmiah yang menghentikannya. Kembali keseimbangan akan
imunitas dan reaktogenitas merupakan pertimbangan yang harus dikaji,
melebihi pertimbangan lain seperti pertimbangan keuntungan dan
sebagainya.

Beberapa kontroversi yang timbul


1. Pelaksanaan program imunisasi

Perbedaan pendapat seringkali terjadi di antara para ilmuwan dengan


para penentu kebijakan di masa yang lampau dan bahkan sampai saat ini.
Dari sejarah kita ketahui adanya pertentangan program imunisasi di
masyarakat, yaitu sejak masa Pasteur mengenalkan imunisasi rabies,
sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian
pula penentang imunisasi cacar di Inggris yang sampai membawa masalah
tersebut ke parlemen, bahkan perseteruan juga terjadi saat imunisasi
telah menjadi program global. Para ibu di Jepang dan Inggris menolak
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 400
Kontroversi dalam Imunisasi

imunisasi DTP karena menyebabkan reaksi panas. Setelah Perang Dunia II,
vaksin berkembang sangat pesat, sejalan dengan berkembangnya teknologi
biakan pada sel hidup yang semula dianggap tidak etis. Untuk beberapa
waktu keberhasilan imunisasi mencegah kejadian penyakit dan bahkan
mampu menghilangkan penyakit cacar dari

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 401


Ismoedijanto

bumi, telah menenangkan para penentang imunisasi, yang kemudian muncul


kembali pada permulaan tahun 2000-an, yaitu dengan masih banyaknya
orang tua yang menentang program imunisasi melalui media massa. Vaksin
DTaP yang kurang menyebabkan panas dapat meredam sikap anti
imunisasi sampai timbul kasus autisme yang menurut penelitian
Montgomery disebabkan oleh karena suntikan MMR. Kelompok
penentang imunisasi pada saat ini menggunakan media maya (internet)
untuk memicu isu-isu anti imunisasi dengan bukti ilmiah yang tingkat
evidence-nyarendah namun sensasional

Masalah yang dilontarkan adalah:


a. Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah telah merampas hak
warganegara untuk memilih tidak diimunisasi (hak untuk sakit
dan menjadi sumber penularan). Khusus di Indonesia, Undang
Undang Wabah memberikan sanksi pada siapapun yang melalaikan
atau menghalangi pelaksanaan penganggulangan wabah.
a. Imunisasi pada anak mementingkan kekebalan jangka pendek terhadap
beberapa penyakit menular tertentu dan menggangu kekebalan jangka
panjang, penyakit tersebut pindah ke usia yang lebih tua.
c. Imunisasi memindahkan satu penyakit dari satu masa ke penyakit
lain pada usia lain dan juga menghilangkan satu penyakit tetapi
menimbulkan penyakit lain. Bagi para ilmuwan yang menghargai
hak hidup kuman dan virus di bumi, isu ini bukan merupakan
masalah baru.

2. Vaksin dan keamanannya

Vaksin adalah suatu bahan yang dapat merangsang kekebalan dan


dibuat dengan menggunakan teknologi kedokteran yang paling maju.
Vaksinologi telah menyerap begitu banyak teknologi kedokteran yang
terbaik, sehingga sulit mencari tandingan vaksin ini. Bahkan Katz, 1999,
menyebutnya sebagai the best science can give. Meskipun minimal ada
kelemahan dari metode imunisasi

402 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

ini. Kelemahan metode imunisasi ini tidak berarti vaksin tersebut tidak aman.
Kelemahan ini mungkin baru terungkap setelah vaksin digunakan dalam
jangka waktu yang lama. Masalah yang kemudian muncul adalah siapa yang
berminat untuk membiayai penelitian yang membuktikan adanya efek
samping yang minimal setelah 20-40 tahun pemberian imunisasi? Vaksin
adalah substansi biologik hidup yang aman sampai suatu saat dapat
dibuktikan cacat. Kontroversi berasal dari

a. Jenis dan bahan vaksin


Vaksin digolongkan menjadi beberapa jenis (vaksin mati-hidup, vaksin
polisakarida, vaksin rekombinan) semuanya dibuat dengan cara yang
berbeda dan memberikan “kelemahan” yang berbeda pula. Vaksin hidup
paling banyak menuai tuduhan, karena atenuasi atau proses
pelemahan yang kurang kuat akan menyebabkan penyakit atau
menyimpangnya respon imun penerima.

a. Bahan dalam vaksin


Bahan dalam vaksin terutama adalah bahan pengawet, bahan antibeku,
bahan pewarna dan bahan yang ikut dalam proses pembuatan vaksin.
Bahan ini bermanfaat untuk penyimpanan vaksin dosis multipel,
sehingga biaya imunisasi dapat ditekan. Bahan merkuri merupakan
bahan yang paling digunjingkan merusak otak, seperti kasus keracunan
merkuri di Minimata.
Tiomersal mengandung 49.6% Hg dari beratnya, dalam tubuh
dimetabolisir menjadi etilmerkuri dan thiosalisilat. Waktu paruh
tubuh adalah 50 hari. Paparan merkuri secara menahun bersifat
neurotoksik dan nefrotoksik, Meskipun bahan ini dalam vaksin selama
imunisasi sampai usia 6 bulan (150 mcg) masih lebih rendah dari batas

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 403


Ismoedijanto

minimal yang direkomendasikan oleh WHO, bahan ini akan dihilangkan


dengan risiko harga vaksin akan per dosis meningkat. Vaksin yang
bebas merkuri adalah
MMR, OPV, campak,BCG dan HB yang dosis tunggal dan DTaP
dosis tunggal. Bahan yang ada dalam vaksin lainnya adalah

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 404


Ismoedijanto

sisa formaldehid, bahan antibeku etilen glikol, gelatin dan glutamat


pada vaksin cacar air, neomisin dan streptomisin untuk mencegah
tumbuhnya kuman dalam biakan sel, dan sebagainya. Bahan ini dianggap
beracun, namun perlu informasi ambang kadarnya yang berbahaya.
Bahan makanan dan minuman yang dikomsumsi sehari-hari mungkin
juga mengandung bahan ini, tergantung pada kondisi lingkungannya.
Formaldehid sisa tidak boleh lebih dari 0.02% w/v (British Pharmacopeia)
atau 0.004%
w/v (Australia Therapeutic Good Administration).
c. Manfaat dan efikasi vaksin:

Efikasi vaksin harus lebih besar dari reaktogenisitas vaksin, dinyatakan


pada perbandingan besaran outcome dan besaran reaksi imunisasi.
Outcome atau komplikasi yang terjadi pada penyakit campak di
negara berkembang adalah kejadian pneumonia 1 kasus dari tiap
25 kasus klinik dan ensefalitis 1 kasus setiap 2000 kasus atau 500
kasus setiap 1.000.000 penderita. Reaksi samping yang terjadi pada
suntikan campak adalah bengkak tempat suntikan , demam, meriang 1
diantara 10 suntikan, ruam pada 1 anak diantara 100 suntikan
dan kemungkinan ensefalitis 1 diatara 1.000.000 dosis. Pada penyakit
gondongan komplikasi mungkin terjadi kasus ensefalitis 1 kasus
tiap 200 kasus atau 15.000 kasus diantara 3.000.000 kasus,
sementara pada imunisasi kemungkinanan ensefalitis kasus terjadi
pada 1 kasus diantara 3.000.000 dosis . Komplikasi pada rubella yang
paling berat adalah adanya sindrom rubela kongenital pada 9 kasus
diantara 10 kehamilan bila serangan terjadi pada 10 minggu pertama,
inflamasi otak pada 1 diantara 6000 pasien, nyeri sendi pada 1 diantara 2
pasien yang sudah remaja, sementara bengkak, demam, meriang
mungkin terjadi pada 1 kasus setiap 10 dosis, kemungkinan terjadinya
nyeri sendi, pembesaran kelenjar pada 5 kasus setiap 100 dosis. Angka
diatas menunjukkan manfaat lebih besar dari risiko imunisasi.

405 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Ismoedijanto

d. Kecenderungan genetik yang menyimpang


Tiap individu mempunyai probabilitas hidup dengan pola genetik
yang menyimpang, sehingga seringkali tidak dapat memberikan
respons imun yang diharapkan. Semakin tinggi cakupan imunisasi,
semakin banyak pula populasi yang tercakup dalam imunisasi yang
mempunyai kecenderungangenetiktidak semestinya.
KIPI yang merupakan rekaman kasus apapun setelah imunisasi sangat
bermanfaat untuk memperbaiki kualitas program imunisasi namun
peningkatan kasus KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) akan
menyebabkan peningkatan sikap anti imunisasi, menurunkan angka
cakupan danakan menaikkan risikowabah kembali.

3. Respon imun penerima vaksin

Resipien atau si-penerima vaksinasi yang sakit berat atau yang pertahanan
tubuhnya tidak normal besar kemungkinannya akan menjadi sakit, atau
menjadi karier sehat. Anak yang mendapat kortikosteroid, penderita HIV,
anak dengan malnutrisi berat, merupakan contoh anak bermasalah.
Imunisasi polio oral pada anak dengan defisiensi imun akan mengakibatkan
pengeluaran virus polio lebih lama dibanding dengan anak normal. Banyak
keadaan yang mempengaruhi kinerja vaksin dan terutama berakibat pada
rendahnya keberhasilan menggugah respon imun.
Pada sisi yang lain juga terdapat respon imun yang menyimpang sebagai
akibat kecenderungan genetik yang dimiliki bayi. Reaksi samping atau akibat
dari imun respon yang menyimpang ini, sering ditimpakan pada
kualitas atau kuantitas antigen (vaccine safety) dalam vaksin atau bahan
lain yang ada dalam vaksin, karena penapisan (screening) anak dengan
indikasi kontra masih belum dijalankan secara rutin, karena metode
pemeriksaan yang sederhana dan akurat belum ada. Sebaiknya sebelum
memberikan imunisasi, indikasi kontra dan kewaspadaan (precautions)
dibaca sekali lagi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 406


Kontroversi dalam Imunisasi

4.
Adanya
pemicu

Seringk
ali
suatu
masalah menjadi hangat kembali setelah ada pemicu yang hadir.
Beberapa pemicu masalah besar antara lain,

Autisme

Wakefield dan Montgomerry telah mengajukan laporan penelitian


yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin
MMR dan kejadian autisme pada anak. Banyak hipotesis yang
diajukan, hipotesis mekanisme imunologik, biologik, opioid excess,
autoimmune, virus campak dalam usus. Kebanyakan hipotesis yang
diajukan tidak menggunakan paradigma epidemiologik, tetapi paradigma
imunologi atau biomolekuler dan belum memberikan bukti yang sahih.
Penelitian epidemiologik menunjukkan tidak jelas
ada hubungan antara suntikan MMR dengan autism. Penelitian
dan pengamatan epidemiologik tidak dapat menyokong adanya
hubungan sebab-akibat antara ASD (autistic syndrome disorder) dan
MMR, pengamatan juga tidak mendapatkan dukungan hubungan temporal
antara awitan ASD dan pemberian suntikan MMR., tidak memberikan
dukunganhubungan suntikanMMR dengan kejadian
regresi, tidak jelas hubungan patogenetik yang berbasis bukti antara
suntikan MMR dan kejadian ASD. Adanya genome virus campak
belum disertai bukti bahwa virus itu berasal dari vaksin campak
monovalen atau MMR atau virus campak liar.
IBD (inflammatory bowel disease) akibat infeksi persisten bisa
terjadi secara alamiah, pada anak dengan kelainan genetic, seperti adanya
kelainan kromosom 7. Jenis bahan apa saja yang lolos lewat usus dan
menyebabkan gangguan perilaku, belum dapat ditentukan. Hubungan
yang diyakini ada baru sebatas gagasan hipotetik yang perlu bukti lebih
lanjut. Berapa jumlah bahan yang akan menyebabkan kelainan perilaku
belum mendapat kesepakatan yang jelas. Berapa proporsi anak yang
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 407
Ismoedijanto

mempunyai infeksi virus campak yang persisten setelah imunisasi dan


berapa proporsi anak yang dengan IBD menjadi autis, perlu pengamatan lebih
lanjut. Bukti

408 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Ismoedijanto

hasil penelitian baru sepotong-potong yang belum utuh, belum dapat


dirangkai menjadi kesimpulan yang sahih. Banyak bagian dari jigsaw puzzle
ilmiah yang belum terisi. Baik pengadilan London maupun redaksi majalah
yang memuat tulisan Wakefield akhirnya menyesal dan menyatakan bukti
yang diajukan lemah dan kabur.

Reaksi neurologik

Beberapa vaksin diduga menyebabkan reaksi pada susunan saraf. Reaksi ini
sangat jarang dan belum jelas patogenesisnya. Kelainan nerologik yang
diduga akibat vaksin terbagi menjadi:
 demyelinating disease (ADEM dan GBS).
 non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy,
brachial neuritis).

Reaksi imunologik

Vaksin dapat menimbulkan penyimpangan respons imun sebagai reaksi


tubuh terhadap bahan tambahan maupun bahan dasar vaksinnya sendiri.
Reaksi pasca imunisasi terutama mengarah pada hipersensitivitas, dari
tipe 1-4, dari reaksi anafilaksis, reaksi antibodi dengan antigen jaringan,
reaksi Arthus dan delayed type hypersensitivity. Reaksi pasca imunisasi
seharusnya dapat diketahui dengan memperhatikan butir-butir
kewaspadaan dan indikasi kontra sebelum memberikan imunisasi.

Autoimun

Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian autoimun


dengan kenaikan cakupan vaksin. Perimbangan Th1 dan Th2 dicoba
dipakai sebagai alat untuk menjelaskan hubungan ini. Namun sampai kini
belum jelas model mana yang pasti dan mempunyai evidence-based yang
tinggi yang cukup dipakai sebagai alasan menghentikan imunisasi dan
memberikan metode lain untuk mencegah wabah penyakit menular.
Menggugah respon imun yang berlebihan akan menyebabkan beberapa
bagian dari komponen imunologik menyerang bagian dari tubuh sendiri.
Meskipun

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 409


Ismoedijanto

paradigma ini sudah dikenal, namun belum ada pengamatan jangka panjang
yang membuktikannya. Beberapa makalah biomolekuler menandai
kenaikan insidens penyakit autoimun searah dengan kenaikan cakupan
imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yang sahih mengenai pengaruh
perubahan gaya hidup dan lingkungan terhadap kenaikan insidens penyakit
autoimun.

Diabetes

Semula terdapat bukti bahwa ada hubungan sebab akibat antara infeksi
virus (gondong, rubella) dan IDDM (insuline dependent diabetic
mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan antara
IDDM dengan vaksin HB, MMR, DTP, HIb, pneumokokus. Selain
virus yang menyerang pankreas, juga terjadi proses autoimun yang
menyerang sel pankreas, sehingga terjadi gangguan produksi insulin.

Jalan keluar dan anjuran apa yang harus dilakukan


Masalah yang dikemukakan tersebut telah memicu beberapa perdebatan
danperbedaanpendapatantarapadapakaryangmakinmembingungkan orangtua. Ada
beberapa tip yang bisa membantu para sejawat mencari jalan keluar
masalah kontroversi imunisasi.

• Penjelasan yang jujur


Penjelasan yang jujur dan benar kepada orang tua sangat diperlukan
untuk mengimbangi segala informasi penentang imunisasi yang
seolah-olah berdasar alasan yang kuat dan disertai dengan riset yang
mendalam. Penjelasan harus dilakukan secara proaktif, diberikan pada
setiap orang tua bayi yang akan diimunisasi dengan vaksin tertentu,
meskipun orangtua tidak menanyakannya secara aktif. Selain
membangun komunikasi yang baik antara dokter dan orang tua,
kesempatan ini akan memancing mereka sehingga mampu atau tidak
malu-malu menanyakan perihal imunisasi. Penjelasan mencakup
manfaat

410 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

imunisasi dan kemungkinan adanya reaksi samping. Bilamana orangtua


menunjukkan penolakan atau keraguan, sebaiknya imunisasi ditunda
dulu sampai orang tua yakin akan tindakan yang kita lakukan pada
bayinya.
 Me n u n j u kka n em p at i da n pe r h at ia n ya n g be sa r
Membeberkan kelemahan alasan anti-imunisasi saja tidak cukup,
orangtuaharusdiyakinkanbahwadokterjugasangatmemperhatikan dan
membantu orang tua dalam upaya membesarkan anak. Kepercayaan
padadokterakanmemperkuat penerimaanorangtuapadaimunisasi,
sehinggakeraguandankemungkinan ikut hanyut secara emosional
pada kelompok penentang imunisasi dapat dibatasi.

 Menghindari pertempuran emosi


Pertempuran emosi akan mengurangi kemampuan analitis dan
rasional. Menghadapi orangtua yang kecewa atau marah dengan
kegeraman kita atas tidak rasionalnya pikiran yang digunakan sangat
tidak bermanfaat. Sebaliknya mendengarkan akan membawa hasil
yang lebih baik.
 Membekali diri dengan pengetahuan
Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup perihal pokokpokok
dasar imunisasi. Termasuk diantaranya pengetahuan tentang sifat
tiap vaksin yang kita gunakan.

Daftar Pustaka

1. Stratton KR, Gable A, Shetty P, McCormick, M (editor) Immunization safety review:


411 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Measles-Mumps-Rubella vaccine and autism , Immunization Safety Review Committee,
Institute of Medicine, national Academy Press, Washington DC, 2001
2. Chen RT, De Stefano F, Mootrey G, Kramarz P, Hibbs B. Vaccine recommendation challenges
and controversies, challenges and controversies in immunization safety. Infectious Disease
Clinic of North America 2001; 15: 1-16.

412 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass, darkly,
Adverse Drug React: 2000; 19:1-19.
4. DalesL, HammerSJ,Smith NJ. Timetrends in autism and MMRimmunization coveragein
California JAMA;285(9):1183-5.
5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism: nested case
control study using data from the UK general practice Research Database BMJ
2002;325:419-421.
0. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study of measles,
Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482
6. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med
347;19:1474-6.
7. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001
9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada anak. Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003.

413 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

Pen gantar

Setiap pemberi imunisasi harus siap untuk menerangkan dengan jelas


kepada orang tua atau anak yang telah besar mengenai berbagai hal yang
ditanyakan. Pemberi imunisasi harus selalu siap dengan jawaban yang sering
ditanyakan oleh mereka. Pengetahuan mengenai imunisasi pada umumnya
terutama keuntungan yang didapatkan oleh si anak, akan jauh lebih besar
daripada kerugian apabila dia harus menderita penyakit. Pada umumnya
efek samping merupakan hal yang terbanyak ditanyakan, namun adanya
isu-isu negatif terhadap imunisasi perlu mendapat perhatian para dokter.
Kunci komunikasi dalam advokasi imunisasi adalah dengarkan pertanyaan
dan keluhan mereka dengan penuh perhatian, kemudian jelaskan dengan
bahasa awam yang mudah dimengerti.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 414


Kontroversi dalam Imunisasi

Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Jadwal imunisasi
Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau
rumah sakit berbeda-beda ?

Perbedaan jadwal imunisasi pada kurun waktu yang berbeda di beberapa


praktek dokter antara lain karena: sumber rujukan yang berbeda, adanya
modifikasi untuk memudahkan orangtua, atau pertimbangan khusus
berdasarkan keadaan bayi dan anak pada saat itu. Sebaiknya menggunakan
jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI,
karena dievaluasi secara periodik dengan mempertimbangkan perubahan
epidemiologipenyakit tertentu, adanya vaksin-vaksin baru yang resmi beredar
di Indonesia dan negara tetangga serta memperhatikan anjuran dari WHO
(Badan Kesehatan Dunia),

Jadwal imunisasi mana yang terbaik ?


Jadwal yang terbaik adalah yang masih di dalam rentang umur Jadwal
Imunisasi PPI Depkes maupun Rekomendasi Satgas Imunisasi PP IDAI (baca Bab
IV tentang Jadwal Imunisasi). Namun harus dipertimbangkan pula hal-hal
lain: keadaan dan riwayat bayi/anak yang berkaitan dengan indikasi kontra
atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi, serta permintaan orangtua
(misalnya vaksinasi cacar air sebelum umur 10 tahun). Berdasarkan
pertimbanganpertimbangan tersebut dokter dapat melakukan
penyesuaian untuk kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan kepada
orangtua.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 415


Tanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam jadwal
imunisasi, apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?

Boleh, tidak berbahaya, karena anak yang belum mendapat imunisasi


sesuai jadwal, berarti belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit
tersebut. Tetapi kalau umurnya sudah terlewat jauh beberapa tahun, untuk
beberapa penyakit tertentu mungkin kurang penting, karena kemungkinan
tertular semakin kecil. Tetapi ada penyakit tertentu yang tetap penting,
walaupun sudah terlewat jauh. Untuk itu diskusikan dengan dokter, untuk
mengejarimunisasiyang terlewatkan.

Jika sudah diimunisasi lengkap pada usia balita, apakah di sekolah


perlu diimunisasi lagi ? Mengapa perlu ?

Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu imunisasi
campak dan DT (kelas 1), dan TT (kelas 2, 3, dan 6). Banyak anak yang
sudah divaksinasi campak ketika bayi ternyata pada umur 5 - 7 tahun 28.3%
masih terkena campak. Pada umur > 10 tahun masih banyak dijumpai kasus
difteri. Untuk pemberantasan tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan 5
kali suntikan tetanus toksoid sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan
pada umur dewasa akan berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV
tentangJadwal Imunisasi)

Bayi prematur, apakah imunisasi harus ditunda ?


Ya, vaksin polio oral sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur berumur
2 bulan, demikian pula DTP, hepatitis B dan Hib.

Bayi/anak sedang sakit atau sedang dalam pengobatan Bayi/anak


sedang pilek batuk bolehkah diimunisasi ?

Boleh.Batukpilekringantanpademambolehdiimunisasi,kecualibilabayi
sangat rewel, imunisasi dapat ditunda 1 - 2 minggu kemudian.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 416


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Jika sedang minum antibiotik bolehkah diimunisasi ?


Boleh, karena antibiotik tidak mengganggu potensi vaksin. Yang harus
dipertimbangkan adalah penyakit dan keadaan bayi/anak sesuai
pedoman umum vaksinasi.

Jika sedang minum obat lain apakah boleh diimunisasi ?


Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/ hari,
dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan.

Jikasering menggunakan steroid inhalasi bolehkah diimunisasi ?


Boleh,karenasteroidinhalasitidak menekansistemimun, asalkan
digunakan sesuai dosis yang dianjurkan.

Penderita epilepsi bolehkan diimunisasi ?


Kelainan neurologik yang stabil dan riwayat kejang atau epilepsi di dalam
keluarga bukanlah indikasi kontra untuk memberikan vaksinasi DPT.
Orangtua atau pengasuh harus diingatkan bahwa sesudah vaksinasi dapat
timbul demam, oleh karena itu dianjurkan untuk segera memberikan obat
penurun panas. Harus diingatkan pula bahwa demam pasca vaksinasi
campak barutimbul 5 - 10harisetelah imunisasi.

Penderita alergi bolehkah diimunisasi ?


Pasien asma, eksim dan pilek alergi boleh diimunisasi, tetapi kita harus
sangat berhati-hati jika anak alergi berat terhadap telur. Jika ada
riwayat reaksi anafilaktik terhadap telur (urtikaria luas, pembengkakan
mulut atau tenggorok, kesulitan bernapas, mengi, penurunan tekanan darah
atau syok) merupakan indikasi kontra untuk vaksin influenza, demam kuning
dan demam Q. Sedangkan untuk vaksin MMR karena kejadian reaksi
anafilaktik sangatjarang,masih boleh diberikan dengan pengawasan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 417


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Bengkak, kemerahan setelah disuntik vaksin apakah akibat salah suntik ?


Atau vaksinnya kadaluarsa ? Apakah berbahaya ?

Setelah penyuntikkan vaksin dapat timbul reaksi lokal di tempat


penyuntikan misalnya bengkak, kemerahan, gatal, nyeri, selama 2 sampai 3
hari. Hal itu tidak berbahaya karena merupakan reaksi normal dari tubuh
terhadap vaksin yang bersifat individual. Kompres hangat dapat
mengurangi keadaan tersebut. Kadangkadang teraba benjolan kecil yang
agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu
dilakukan tindakanapapun.
Terkadang diserta reaksi umum berupa demam, rewel, tergantung
pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh
orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1 - 2 hari.

Obat penurun panas, bolehkah diberikan sebelumdan sesudah imunisasi ?


Apakah tidak mengurangi potensi vaksin ?

Boleh. Sebaiknya 30 menit sebelum imunisasi suntik, terutama DPT/DT,


boleh diberikan obat penurun panas (berisi parasetamol) kepada bayi/anak
untuk mengurangi nyeri dan demam pasca vaksinasi. Kemudian
dilanjutkan setiap 3-4 jam bila masih panas atau nyeri, maksimal 6 kali
dalam 24 jam. Obat penurun panas tidak menmpengaruhi potensi vaksin.
Jikakeluhan masihberlanjut,diminta segera kembali kepada dokter.

Kekebalan setelah diimunisasi


Sesudah diimunisasi apakah pasti tidakakan tertular penyakit tersebut ?

Bayi/anak yang telah diimunisasi masih dapat tertular penyakit tersebut,


namun jauh lebih ringan dibanding terkena penyakit secara alami.

418 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

Apabila bayi/anaksudahpernahsakitcampak, rubelaatau batukrejan


bolehkah di imunisasi untuk penyakit-penyakit tersebut?

Boleh, walaupun ada riwayat pernah menderita penyakit tersebut vaksinasi


tidaklah berbahaya. Vaksinasi bayi/anak dengan riwayat pernah sakit
campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak menimbulkan risiko.
Diagnosis campak dan rubella tanpa konfirmasi laboratorium banyak yang
meragukan. Anak dengan riwayat pernah sakit tersebut sebaiknya tetap
diberikan MMR.

Polio
Setelah pemberianvaksin poliotetes, apakah dapattimbul panas,
mencret ?

Walaupunsangat jarangterjadi,tetapikadang-kadang dapatterjadi mencret


ringan, tanpa demam.

Pemberian vaksin polio lebih dari 2 tetes apakah berbahaya ?


Tidak berbahaya, karena virus vaksin polio sudah dilemahkan, artinya tidak
dapat menimbulkan kelumpuhan, tetapi masih bisa berkembang biak dan
bisa merangsang kekebalan didalam usus maupun di dalam darah bayi dan
anak. Namun bila meneteskan terlalu banyak sebaiknya dicatat identitas
bayi/anak, kemudian dilakukan pengamatan selama beberapa
minggu.

BerapalamajarakantarapemberianASIataususuformuladengan
pemberian vaksin polio oral ?

ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur lebih dari
1 minggu. Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi dengan titer tinggi
yang dapat mengikat vaksin polio oral. Susu formula boleh segera diberikan
setelah vaksinasi polio oral.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 419


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Bagaimana jika bayi memuntahkan vaksin polio ?


Jika muntah terjadi sebelum 10 menit segera berikan lagi vaksin polio
dengan dosis sama. Jika muntah berulang, berikan lagi pada keesokan
harinya.

Mana yang lebih bagus : vaksin polio yang diteteskan di mulut (polio oral)
atau yang disuntikkan ?

Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang masih
hidup tetapi dilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak di usus, dan
dapat merangsang usus dan darah untuk membentuk zat kekebalan
(antibodi) terhadap virus polio liar. Artinya, bila ada virus polio liar masukke
dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus polio liar tersebut akan diikat dan
dimatikan oleh zat kekebalan tersebut yang dibentuk di usus dan di dalam
darah, sehingga tidak dapat berkembang biak, tidak membahayakan
bayi/anak tersebut, dan tidak dapat menyebar ke anak-anak
sekitarnya.
Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan di otot
lengan atau paha, sehingga tidak dapat berkembang biak diususdantidak
menimbulkan kekebalan diusus,namun dapat menimbulkan kekebalan di dalam
darah. Oleh karena itu, bila ada virus polio liar yang masuk ke dalam usus
bayi/anak yang disuntik vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa
berkembang biak di ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya)
tetapi ia tidak sakit, karena ada kekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena
virus polio liar masih bisa berkembang biak diususnya, maka bisa
menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat menyebabkan
kelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara atau
wilayah yang masih ada transmisi polio liar semua bayi dan anak balita harus
diberi virus polio yang diteteskan ke dalam mulut, agar ususnya mampu
mematikan virus polio liar, sehingga menghentikan proses penyebaran. Bila
selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan lagi virus polio liar, maka secara
bertahapdapat menggunakan viruspolio suntik.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 420


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Virus polio suntik boleh diberikan pada pasien yang kekebalannya rendah,
misalnyakarenasedangmendapat pengobatankortikosteroiddosis tinggi dalam
jangka lama, mendapat obat-obat anti kanker, menderita HIV AIDS, atau
didalam rumahnya ada pasien tersebut.

Hepatitis B
Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau
bengkak ?

Walaupun sangat jarang, tetapi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada
tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan
nyeri sendi. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih
banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi
tersebut menjadi berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir,
bawalah bayi/anak ke dokter.

BCG
Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul bisul yang
menjadi koreng ? Apakah itu akibat salah suntik ?

Bisul yang timbul 2 minggu setelah imunisasi BCG adalah normal, karena
merupakan reaksi tubuh terhadap vaksin BCG. Bisul kecil (papula)
dapat membesar dan terjadi korengi selama 2-4 bulan, kemudian
menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut. Bila ulkus
mengeluarkan cairan orangtua dapat mengkompres dengan cairan
antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin
membesar orangtua harus membawanya ke dokter.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 421


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh lebih
mahal ?

Vaksin DTP dan DTaP kedua-duanya untuk mencegah penyakit difteri,


pertusis dan tetanus. Perbedaan utama pada komponen antigen untuk
pertusis. Vaksin DTP berisi sel bakteri Pertusis utuh yang berisi ribuan
antigen, termasuk antigen yang tidak diperlukan, sehingga sering
menimbulkan reaksi panas tinggi, bengkak, merah, nyeri ditempat suntikan.
Sedangkan vaksin DTaP berisi bagian bakteri pertusis yang tidak utuh dan
hanya mengandung sedikit antigen yang dibutuhkan saja, sehingga
jarang menimbulkan reaksi tersebut. Karena proses pembuatan DTaP lebih
rumit,makaharganya jauh lebih mahal.

Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain demam
tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan
pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua/ pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah),
jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap
3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau
cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke
dokter.

Campak dan MMR


Setelah vaksinasi campak dan MMR, apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa
rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain

422 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


DTPTanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

itu dapat
terjadi
gejala-ge
jala lain
yang
timbul 5
- 12 hari
setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi,
erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan
kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca
imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum
lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis,
bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika
reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa
khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Bayi yang pernah sakit campak apakah perlu divaksin campak pada umur
9 bulan ?

Boleh. Karena beberapa penyakit virus lain gejalanya mirip campak,


sehingga orangtua bahkan dokter keliru, bahwa penyakit yang
disebabkan oleh virus lain dianggap sebagai campak. Seandainya
benar-benar pernah menderita campak, bayi tetap boleh diberikan
vaksin campak, tidak merugikan bayi, karena kekebalannya hanya
bertahan beberapa tahun. Oleh karena itu semua anak balita dan
usia sekolah di daerah yang banyak kasus campak dan cakupan
imunisasinya masih rendah harus mendapat imunisasi campak
ulangan (penguat) agar kekebalannya bisa berlangsung lama.

Apakah imunisasi MMR menyebabkan anak menderita autisme ?

Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi (jenis
imunisasi apapun) dapat menyebabkan autisme. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) maupun Departemen Kesehatan tetap merekomendasikan
pemberianimunisasisesuaijadwalyang telahditentukan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 423


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Influenza

Setelah mendapat vaksinasi influenza apakah anak tidak akan batuk


pilek lagi ?

Imunisasi Influenza hanya untuk mencegah penyakit influenza berat


yang disebabkan oleh virus Influenza A dan B jenis tertentu yang
berbahaya. Vaksin influenza tidak dapat mencegah batuk pilek karena alergi,
iritasi atau oleh virus lain yang tidak berbahaya.

HIB (haemophilus influenza tipe B) Apakah

vaksin Hib untuk mencegah influenza ?

Bukan. Vaksin Hib adalah untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh
kuman Hib, yang dapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang paru
(pneumonia),infeksitelinga(otitismedia)dan lain lain.
Setelah divaksinasi Hib yang dapat mencegah meningitis dan pneumonia,
apakah tidak perlu divaksin pneumokokus ?

Vaksin Hib hanya dapat mencegah meningitis (radang otak) dan pneumonia
(radang paru) yang disebabkan oleh kuman Hib. Sedangkan meningitis dan
pneumonia yang disebabkan oleh kuman Pneumokokus tidak dapat dicegah
dengan vaksin Hib, tetapi harus dicegah vaksin Pneumokokus. Oleh karena
itu sebaiknya bayi mendapat kedua vaksin tersebut sesuai jadwal.

Tifoid

Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu divaksin
tifoid ?

Perlu, karena kekebalan setelah sembuh dari demam tifoid tidak


berlangsung lama.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 424


Tanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

Cacar air
Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah vaksinasi
cacar air untuk mencegah bertambah banyaknya gelembung cacar
air ?

Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air, berarti
anak tersebut sudah tertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air sudah
berkembangbiak dan menyebarkeseluruh tubuhanak, sehinggavaksinasi cacar
air tidak dapat menghentikan proses tersebut.

Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah anak lain
harus segera divaksin untuk mencegah penularan ?

Apabila belum lewat 48 jam anak sehat kontak dengan pasien cacar air
kemungkinan besar anak sehat tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi
cacar air agar tidak tertular. Tetapi bila lebih dari 48 jam, kemungkinan
anak sudah tertular virus cacar air tersebut, kemudian sudah mulai
berkembang biak di dalam tubuh anak tersebut, sehingga vaksinasi tidak
mampu mencegah kelanjutan penyakit tersebut.

Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ?

Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan mempunyai
kekebalan sampai dewasa, sehingga tidak perlu divaksin cacar air lagi

Jarak antar vaksinasi dan bagian tubuh yang disuntik


Apabila jarak antar imunisasi lebih lama dari jarak yang dianjurkan,
apakah vaksinasi perlu diulang ?

Tidak perlu diulang, karena sistem imunitas tubuh dapat “mengingat”


rangsangan vaksin terdahulu. Lanjutkan dengan vaksinasi yang belum
diberikan dengan jarak sesuai anjuran.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 425


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Apabila anak diberi beberapa jenis vaksin sekaligus apakah tidak


berbahaya?

Tidak berberbahaya, asalkan imunisasi dilakukan di bagian tubuh


yang letaknya berjauhan, menggunakan alat suntik yang berlainan dan
memperhatikanketentuanumum tentangpemberian vaksin.

Beberapa dokter menyuntikkan vaksin di tempat yang berbeda


walaupun vaksinnya sama. Apakah ada perbedaan kekebalan?
(Misalnya penyuntikan vaksin BCG ada yang dilengan atau pinggul,
campak, hepatitis B, Hib, DTP di lengan atau paha).

Pemilihan tempat penyuntikan vaksin berdasarkan beberapa


pertimbangan antara lain untuk mendapatkan kekebalan optimal, cedera
yang minimal pada jaringan, pembuluh darah, saraf di sekitarnya,
memperkecil kemungkinan rasa tidak nyaman pada bayi dan anak
akibat gerakan, tekanan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat
berjalan, atau sekedar pertimbangan estetis. Perbedaan tempat
penyuntikan tidak menimbulkan perbedaan kekebalan, asalkan kedalaman
penusukan jarum atau jaringan yang disuntik vaksin sesuai dengan
ketentuan untuk setiap jenis vaksin (intrakutan, subkutan,
intramuskular).

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)


Jika pada imunisasi terdahulu timbul kejadian ikutan pasca imunisasi,
bagaimana jadwal vaksinasi selanjutnya ?

Jika kejadian ikutan pasca imunisasi hanya ringan, vaksinasi berikutnya


dilanjutkan sesuai jadwal. Jika mengalami KIPI berat sebaiknya dosis
berikutnya tidak dilanjutkan. Jika kejadian ikutan pasca imunisasi DTP
cukup berat,dosisberikutnya menggunakanvaksin DT.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 426


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Untuk mengurangi kemungkinan KIPI, apakah dibenarkan mengurangi


dosis menjadi setengahnya atau menjadi dosis terbagi (split doses) ?

Pengurangan dosis menjadi setengahnya, atau membagi dosis sangat


tidak dibenarkan, karena tidak mengurangi kemungkinan KIPI dan
kekebalan yang ditimbulkan tidak memadai.

Daftar Pustaka

1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008.
2. PeterG, Lepow ML,McCracken GH, Phillips CF.Reportof theCommitteeon Infectious Diseases.
American Academy of Pediatrics, Illinois 2004.
3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni 2000.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 427


Daftar Vaksin yang Beredar di Indonesia
Vaksin
Nama Dagang dari Produsen Vak
Sanofi
Bio Farma Pasteur GSK BERNA MSD
Wyeth

BCG BCG

Polio

OPV Polio

IPV Imovax

DTwP

Mono DTP

Kombo DTP-HB* Tetract-Hib

DTaP

Mono Tripacel Infanrix


Pediacel
(DTaP-Hib- Infanrix
Kombo IPV) / Hib
(DTaP
Hib)

DT DT

TT TT
DT DT
dT
dT (adult
type

Hepatitis B
Mono Uniject Euvax-B Engerix
Hepavax-
Gene
Hepatitis B
(MDV)*

Kombo Twinrix
(Hep B~
Hep A)

Campak Campak

MMR Trimofax MMR II

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 428


Wyeth
Vaksin Bio Farma Sanofi GSK BERNA MSD
Pasteur
Hib

PRP-T Act-Hib Hiberix


Tifoid Typhim-Vi Thypherix
Avaxim Havrix
Hepatitis A
720

Varisela Okavax Varilrix

Influenza Vaxigrip Fluarix

Pneumo- Pneumo 23 Prevenar


kokus (PPV) (PCV)
Meningo-
kokus Mencevax
Kolera
Kolera

Rabies Rabies Verorab

HPV Cervarix Gardasil

Ket* MDV = multidose vial

429 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008

Anda mungkin juga menyukai