Pedoman
Imunisasi Anak
diIndonesia
Penyunting
I G.N.Gde Ranuh
Hariyono Suyitno
Sri Rezeki S Hadinegoro
Cissy B Kartasasmita
Ismoedijanto
Soedjatmi ko
ISBN 978-979-8421-34-1
Disclaimer
Koordinator Penerbitan
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
ISBN 978-979-8421-34-1
Kata Sambutan Menteri Kesehatan
Halaman
Disclaimer
Prakata edisi 1
Prakata edisi 4
Daftar isi
Daftar singkatan
1. Jenis-jenis vaksin
2. Tata cara pemberian
3. Penjelasan kepada orangtua mengenai imunisasi
4. Catatan imunisasi
5. Safety injection
Glossary
Index
Endorsement :
Ketua PP
Martin Weber
Dirjen P2PL
Prof. DR Sumarmo P. Soedarmo, SpA (K)
Prof DR Samurizal D, Sp PD
Pengantar
Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi
kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian bayi dan
balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas.
Penurunan insidens penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang
lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur
dengan cakupan luas. Demikian juga di Indonesia; dinyatakan bebas penyakit
cacar tahun 1972 dan penurunan insidens beberapa penyakit menular secara
mencolok terjadi sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus,
pertusis, campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak
ditemukan lagi sejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang akan
datang Indonesia akan dinyatakan bebas polio. Sejarah imunisasi telah dimulai
lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner tahun 1798 pertama kali
menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegah penyakit cacar.
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan
(imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin. Dengan melakukan
imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan
pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi
tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi.
Sangat penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak
maupun orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran pada
masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam menyelamatkan jiwa dan
mencegah penyakit yang berat.
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta dan
ditengarai pula bahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat, tidak
sesuai dengan perhitungan semula. Menurut Haryono Suyono pengendalian
pertumbuhan penduduk hanya difokuskan pada pasangan usia subur yang
sangat miskin yang notabene jumlahnya kecil sekali, yaitu 19% dari total
jumlah pasangan usia subur di Indonesia
Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan
penduduk akan terus turun bahkan pada tahun 2020 – 2025
dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa ini laju
pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka yang cukup
tinggi 1,3%. Jumlah anak di bawah 15 tahun masih merupakan golongan
penduduk yang sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta (30,26%) dan
usia balita 23,7 juta (10,4%).
Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah
meningkatnya kurang gizi di berbagai pelosok Indonesia. Apabila gizi
kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai 19,3% pada tahun
2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil ditekan bahkan
setelah tahun 2002 berprevalensi untuk menjadi lebih dari 10% yang dapat
kita saksikan akhir-akhir ini. Penyebabnya adalah kurang berfungsinya
Posyandu di masyarakat pada masa lalu, yaitu sejak krisis moneter 1997,
bencana alam yang datang bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi
politik dan keamanan yang tidak kondusif.
Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi
kesehatan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan
kembali.BerkurangnyafungsiPosyandu,pemantauan
Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir
ini menunjukkan penurunan yang bermakna. Apabila pada tahun 1971
sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk menurunkan AKB dari 142
menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurun waktu
lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil
menurunkan AKB dari 71 menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah
menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan
Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka
kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000
kelahiran hidup.
rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu
pencegahan terhadap infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang
kondusif untuk itu mutlak harus dilakukan pada anak dalam tumbuh
kembangnya sedini mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup
yang prima menuju dewasa.
Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa
pencegahan adalah suatu cara perlindungan terhadap infeksi yang paling
efektif dan jauh lebih murah dari pada mengobati apabila sudah
terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah sakit.
Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja
yang akan menghambat tumbuh kembang anak, seperti cedera dan
keracunan karena kecelakaan, kekerasan pada anak, fisik, mental maupun
seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, dapat terlaksana
dalam tiga kategori, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier yang
dapat dilaksanakan selama masa tumbuh kembang sejak pra-konsepsi,
prenatal, masa neonatal, bayi, masa sekolah dan remaja menuju
dewasa.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya
sakit atau kejadian yang mengakibatkan seseorang sakit atau menderita
cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengan sanitasi lingkungan yang
baik, pengamanan terhadap segala macam cedera dan keracunan serta
vaksinasi atau imunisasi terhadap penyakit adalah rangkaian upaya
pencegahan primer.
Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui adanya
penyimpangan kesehatan seorang bayi atau anak sehingga intervensi atau
pengobatan perlu segera diberikan untuk koreksi secepatnya. Memberi
pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah suatu upaya pencegahan
sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu sampai
meninggal maupun meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental.
Sedangkan pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala
sisa tersebut dengan upaya pemulihan seorang pasien agar dapat hidup
mandiri tanpa bantuan orang lain, seperti contoh pada terapi rehabilitasi
medik
pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan dan
lain-lain sebab.
Vaksinasi atau lazim disebut dengan imunisasi merupakan suatu
teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999)
dikatakan sebagai ”sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang
pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu upaya kesehatan yang
paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan
lainnya.
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah
dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan extended program
on immunization (EPI) cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun
minimal sekitar 3 juta anak dapat terhindar dari kematian dan sekitar
750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian, masih ada satu
dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta
anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah
dengan vaksinasi.
Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak dan
lain-lainnya di dunia adalah sesuatu yang tidak mustahil sehingga setiap
anak dapat tumbuh kembang secara optimal. Perbaikan gizi anak disertai
penyehatan lingkungan tidak cukup untuk mencegah tertularnya anak
oleh kuman, virus maupun parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit
yangendemik dan erathubungannya dengan lingkungan hidup.
WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak 1994
dengan EPI dan kemudian lebih luas lagi dengan GPV (global programme for
vaccines and immunization), organisasi pemerintah dari seluruh dunia
bersama UNICEF, WHO dan World Bank. Ditambah lagi organisasi
perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine programme dan
Rockefeller Foundation.
Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah
tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh
dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh
secaraalamimaupun buatan.Imunpasif
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk,
yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan
imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh
dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit
tertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan
defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan
segeradancepat yangseringkali
Daftar Pustaka
1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public health
security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index. html.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan SosialRI.Sensus Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004.
5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004.
6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI.
7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.
Tujuan Imunisasi
Respos
imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu 1) mekanisme pertahanan nonspesifik
disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan
hanya untuk satu macam antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, 2)
mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan
khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat
dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan
telahterbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan
dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel
T untuk antigen TD (T dependent) sedangkan antigen TI (T
independent) akan langsung diproses oleh sel B
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang
disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada
individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas
selular hanya dapat dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi
penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft
versus-host-disease.
Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular Dikutip dan
dimodifikasi dari Abdul K Abbas, 2001
dapatdibantudenganmelibatkankomplemensehinggaterjadipenghancuran
Ag.
Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc.
Peristiwa ini disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city
(ADCC). Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel
memori yang kelak bila terpapar lagi dengan Ag serupa akan cepat
berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi.
Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi
spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam
waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi
alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam
sel dendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori
sewaktu-waktu di kemudian hari (Gambar 1.2)
Memori Imunologik
Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang
banyak. Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal.
Antigen asing yang sudah terikat dengan antibodi akan membentuk komplek
Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen (C). Komplek Ag-Ab-C akan
menempelpadaseldendrit
Keberhasilan Imunisasi
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status
imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas
vaksin.
Status
Imun Pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang
semasa janin mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak,
bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak
masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian
pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus
polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan
secara oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada
ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian
di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata
sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan.
Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral
diberikan pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari
setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan dahulu 2 jam
sebelum dan sesudah vaksinasi.
antigen
yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi
secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi
variasi respons imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat
adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya
agamaglobulinemia yang terangkai dengan kromosom X yang hanya
terdapat pada anak laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang
menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu
merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong
adanya peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yang
sebenarnya belum diketahui.
Persyaratan Vaksin
Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka
terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1)
mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi
interleukin, 2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori, 3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk
mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya
polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang persisten, mungkin dalam
sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga
dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk
antiboditerusmenerussehinggakadarnya tetap tinggi.
Daftar Pustaka
1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006.
2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO: Wolters
Kluwer Health, Inc., 2006.
4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated Microbes. Dalam: Abul
K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic Immunology,functions and disorders of the immune
system. Edisipertama. W.B.Saunders,2001.h.87-108.
5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of Antibodies.
Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic immunology, functions and
disordersof immunesystem. Edisipertama W.B.Saunders,2001.h.125-45.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit.
Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium,
biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin
campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi
untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun
dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara
serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun
1954.
Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated
harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien.
Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian
mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai
cukupbesaruntuk memberirangsangan suatu respons imun.
Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas
atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam
tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan vaksin
tersebut tidak efektif.
Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit,
umumnya bersifat ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu
dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event). Respons imun terhadap
vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan
oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu
infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan
virus liar.
Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi
bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin
polio hidup.
Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat
berkembang karena pengaruh dari antibodi yang beredar. Antibodi
yangmasukmelaluiplasentaatautransfusidapatmempengaruhiperkembangan
vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons. Vaksin
campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap
antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus
paling sedikit terkena pengaruh.
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan
bila kena panas atau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan
penyimpanan dengan baik dan hati-hati.
Vaksi n Inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau
virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia (biasanya formalin).
Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan
hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin
(misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus).
Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh
dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup,
antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang
beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam
sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang
dihasilkan darah).
Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada
umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif,
tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun
protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda
dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama
dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian
besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular.
Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa
waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis
suplemen (tambahan) secara periodik.
Vaksin Polisakarida
Vaksin Rekombinan
Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik.
Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis
vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa genetik yang saat ini telah
tersedia.
Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen
virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah
(modified) ini menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
Vaksintifoid(Ty 21a)adalah bakteria Salmonella typhiyang secara
genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.
• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah
rotavirus kera rhesus yang diubah (modified) secara genetik
menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka mengalami
replikasi.
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK., Penyunting. Red
Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke 25. Elk Grove
Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.
2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation Handbook.
9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson W,
Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine Preventable
Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services, CDC, 1999.h.4-8
5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
Pen gantar
Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang
mempunyai ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan
suhu. Oleh karena itu harus diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan
transportasi vaksin untuk menjamin potensinya ketika diberikan kepada
seorang anak. Bila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan maka vaksin
sebagai material biologis mudah rusak atau kehilangan potensinya untuk
merangsang kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian ikutan
pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal
yang tidak diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan
vaksin terhadap perbedaan suhu dan pemahaman rantai vaksin (cold –chain).
Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga sejak dari pabrik sampai saat
diberikan kepada pasien vaksin tetap terjamin kualitasnya. Selain itu perlu
pula mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi,
antara lain dari tanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan,
warna vaccine vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang
sudah dilarutkan.
Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80
C, di atas suhu +80 C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya
bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam 7
hari. aksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 2oC s/d
beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun)
bila disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, namun hanya bertahan 6 bulan
pada suhu +2oC s/d +80 C.
Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25oC
s/d -15oC, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2oC s/d +8o C, yaitu BCG
tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh
karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu
disimpan di -25 s/d -15 o C atau di dalamfreezer.
Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2oC s/d +8oC
juga, pada suhu dibawah +2oC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat
rusak. Bila beku dalam suhu -0.5oC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis
B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapi dalam suhu di atas 8o C vaksin
hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-hepatitis B kombinasi
sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5oC s/d – 10oC vaksin DPT, DT
dan TT akan rusak dalam 1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14
hari dalam suhu di atas 8oC.
Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya
berada di pabrik, distributor pusat, Departemen Kesehatan atau Dinas
Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5 –
100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu
kamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama untuk menyimpan
vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar beku berkisar antara
-25oC s/d -15oC, untuk menyimpan vaksin yang boleh beku, terutama
vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus
menerus, menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja bergantian.
Aliran listerik tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan
pembangkit listerik yang secara otomatis akan berfungsi bila listerik mati.
Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat
secara otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC, atau
diatas 8oC, atau listrik padam. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar
dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk membuat cool pack
atau cold pack, atau meletakkan benda-benda
Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas
Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas
1. Suhu tidak stabil. 1. Suhu lebih stabil.
Pada saat pintu dibuka Pada saat pintu dibuka ke atas,
kedepan, suhu dingin turun suhu dingin turun dari atas
dari atas kebawah dan keluar kebawah, tidak keluar
2. Bila listerik padam relatif 2. Bila listerik padam relatif bisa
tidak bertahan lama bertahan lebih lama
3. Jumlah vaksin yang bisa 3. Jumlah vaksin yang bisa
disimpan lebih sedikit disimpan lebih banyak
4. Susunan vaksin lebih mudah 4. Susunan vaksin lebih sulit
dilihat dari depan dikontrol karena bertumpuk sulit
dilihat dari atas
Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer).
Di dalam freezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat dibawah
freezer untuk meletakkan vaksin–vaksin hidup, karena tidak mati pada
suhu rendah. Rak yang lebih jauh darifreezer (rak ke 2 dan 3) untuk
meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak terlalu dekat freezer,
untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Muller
diletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3
Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa
vaksin hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh dari
pendingin (freezer)
Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah
(evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu
vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator).
Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari evaporator. Beri jarak antara
kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm). Letakkan
termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin
mati.
Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu
jauh dapat menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier
(termos). Cold box berukuran lebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter,
dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain untuk transportasi dapat pula
untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk mepertahankan suhu vaksin di
dalamkotakdinginatau termosdimasukkan cold pack atau cool pack.
A B C
Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s/d – 25 0 C selama
24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi
air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu +2 s/d +80 C selama
24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold
pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mepertahankan suhu
vaksin ketika membawa vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk
membawavakdinhidup dan vaksin mati (inaktif).
cold pack/cool
pack
Spon busa
semua jenis
vaksin
Daftar Pustaka
Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada suhu di
atas batas tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu
tertentu. Bila pengelolaan vaksin dan rantai vaksin tidak baik, maka vaksin
tidak mampu merangsang kekebalan tubuh secara optimal bahkan dapat
menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak
diharapkan. Oleh karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita kita perlu
memahami beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak
diberikan kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin
yang sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang
rumit.
warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna
kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut
kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas batas yang
diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera
dipergunakan.
B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar
Bila belum kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin.
Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran
dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar
suhu di atas batas yang diperkenankan, tidak boleh diberikan pada
pasien.
Pemilihan vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka
tetapi telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan),
vaksin dengan VVM B, vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat
(EEFO = early expire first out), vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan
segera (FIFO = first in first out).
Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa
diberikan pada pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat,
tidak melewati tanggal kadaluwarsa, disimpan dalam suhu +2 s/d +80 C,
tidak pernah terendam air, VVM A atau B, tidak lebih dari 3 - 4 minggu
setelah dibuka. Oleh karena itu sebaiknya selalu ditulis tanggal mulainya
penggunaan vaksin terebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang
dipakai diletakkan dalam satu wadah/tempat khusus (tray), sehingga
segera dapat dikenali.
Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih
singkat. Vaksin BCG yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam
suhu +2 s/d +80 C hanya stabil selama 3jam (WHO 6 jam). Vaksin campak
yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +8 0 C
hanya stabil selama 6 - 8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus
dibuang setelah 24 jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus
dibuang setelah 30 menit.
Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan
statis
Daftar Pustaka
Pengantar
Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan
potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk
harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin
harus didinginkan pada temperatur 2-8o C dan tidak membeku. Sejumlah
vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku.
Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi guna mendapatkan
informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV
dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara
rinci bagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya diuraikan
pada Bab II Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.
Pengenceran
Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus
dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila
Pembersihan kulit
Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan, namun
apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.
Pemberian suntikan
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau
subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV
diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal (dalam
kulit). Walaupun vaksin sebagian besar diberikan secara suntikan
intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugas kesehatan yang
kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan
memberikan dengan cara intra muskular.
Para petugas yang melaksanaan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan
petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran
infeksi dan trauma akibat suntukan yang salah. Pada tiap suntikan harus
digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril.
Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena risiko
infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada alternatif
vaksin dalam sediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan
menyuntik tidak
boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum harus
dibuang dalam tempat tertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek
dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau pemakaian ulang.
Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan
anak-anak. Diharapkan semua petugas kesehatan memahami benar
buku petunjuk ini.
Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot.
Penggunaan jarum yang pendek meningkatkan risiko terjadi suntikan
subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi masalah untuk
vaksin-vaksin yang inaktif (inactivated).
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi
ada perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut:
pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan
bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan
panjang 16 mm,
untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25
dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27
dengan panjang 12 mm,
untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang sangat gemuk
(obese) dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm,
untuksuntikan intradermalpadavaksinasi BCGdipakaijarum ukuran
25-27 dengan panjang 10 mm.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah
12 bulan adalah
Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah
gluteal.
Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk
menyerap suntikan secara adekuat.
Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila
disuntikkan di daerah gluteal.
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di
tempat suntikan yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian
anterior.
tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayiharus dibukabila menutupi otot vastus
lateralis sebagai lokasi suntikkan, bila tidak demikian vaksin akan
disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang menyilang
pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi
ini akan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya
lebih lancar.
Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997
Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntik
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997
Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari
pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu
separuh antara akromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum
suntik ditusukkan membuat sudut 45o-60o mengarah pada akromion. Bila
bagian bawah deltoid yang disuntik, ada risiko trauma saraf radialis karena
saraftersebut melingkardanmuncul dari otot trisep.
Penyuntikan subkutan
Akromio
n
Tempat
penyuntika
n
Penyuntikan intramuskular
Akromio
n
Tempat
penyuntika
n
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Vaccine administration. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red
Book 2000, Report Committee on Infect Dis. Edisi ke-25. Eik Grove Village: American Academy of
Pediatrics 2000.h.16-20.
2. Centers for Diseases Control and Prevention.Vaccine Safety. Dalam: Atkinson W, HumistonS,
Wolfe C, NelsonR., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases, edisi
ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC 1999. h.
277-89.
3. National Health and Medical Research Council. Standard vaccination procedures. Dalam: Walson
C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook, edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
e. Hakuntukmendapatkanadvokasi,perlindungandanupayapenyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundangundangan
Pasal 5. Kewajiban Konsumen adalah
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
a. Mengikuti upayapenyelesaianhukumsengketa perlindungan
konsumen secara patut
Pasal 7. Kewajiban Pelaku Usaha adalah
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
a. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan
a. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif
b. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
Keadaan Bayi/Anak
Manfaat vaksinasi
Reaksi KIPI
BCG
Hepatitis B
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam
tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan
pembengkakan, yang akan hilang dalam dua hari. Orangtua/ pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah),
jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol15 mg/kgbb setiap
3-4jambila diperlukan, maksimal6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup
disekadengan air hangat. Jika reaksi tersebut memberat dan menetap, atau
jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
DT
Polio oral
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa
tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi
gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari setelah penyuntikan selama kurang
dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsikulitkemerahanhalus/tipisyangtidak
menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi
sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan
untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres
air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila
diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka
dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau
jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
Daftar Pustaka
tuanya (misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan sehari
sebelum hari libur, mengingat apabila terjadi demam ibu berada di
rumah).
Pentingya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan jumlah
vaksin yang diberikan dan bagaimana pemberian vaksinasi selanjutnya untuk
pasien dengan imunisasi tidak lengkap dan cara mengejar (catch up)
imunisasi yang tertinggal.
Nama
Jenis kelamin
Tanggal lahir
Nama orag tua
Alamat (tilpon, kota)
Ya
Saya mohon nama anak yang tertera di atas untuk diimunisasi sesuai dengan
jadwal imunisasi yang telah direkomendasikan.
(Berikan tanda apabila ingin diimunisasi atau beri alasan apabila tidak boleh)
BCG
Polio oral
Hepatitis B
DPT
Campak, dst
Tidak
Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan pada saya mengenai
program imunisasi, namun saya tidak ingin anak saya diimunisasi.
Nama orang tua/ wali...............................................................
Kartu Imunisasi
Na m a Tanggal Te m p a t
No batch Paraf
Jenis Vaksin Vaksin Imunisasi Imunisasi
Mengapa? Terima kasth kepada Program Imunisasi, oleh karena pada saat
mi kejadian penyakit infeksi tersebut di Indonesia telah sangat menurun.
Hal mi bukan kemudian imunisasi tidak penting lagi. Bakteria dan virus
penyebab sampai saat mi masth berada di masyarakat, maka apabila
hanya sedikit yang diimunisasi akan mudah terjadi kejadian luar biasa
97 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
(wabah).
Kapan? Pemberian vaksinasi telah diatur dalam jadwal imunisasi (ithat Bab
Jadwal Imunisasi)
Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000, Report
Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics
2000.
3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C, Nelson R.,
penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisi ke-5. Atlanta:
Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, 1999.
botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia secara
luas.
Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot, Destrojet,
Univec, Terumo, K1 dan Medico inject. Beberapa merek sudah terpasang
jarum, namun ada merek dengan jarum terpisah. Sebelum menggunakan
semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan cermat cara penggunaannya,
karena berbeda-beda.
Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan kedepan
atau kebelakang satu kali saja, setelah itu macet, tidak dapat ditarik atau
patah, tergantung mereknya. Setelah mengeluarkan semprit dari
kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di dalam semprit, karena
setelah piston sampai ke ujung akan terkunci, sehingga bila ditarik untuk
menghisap vaksin piston akan macet atau patah. Oleh karena itu jangan
mendorong udara yang ada didalam semprit, langsung tusukkan jarum ke
dalam botol atau ampul vaksin, kemudian tarik piston untuk menghisap
vaksin. Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuang udara
yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya. Setelah
udara habis terbuang segera suntikan vaksin pada bayi/ anak, lakukan
aspirasi seperti biasa, kemudian dorong piston sampai vaksin habis, sehingga
piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi atau patah. Kemudian semprit
dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan
denganprosedurtertentu,untuk mencegah digunakan ulang
Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin oleh pabrik
sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan, setelah disuntikkan tidak
bisa diisi ulang sehingga tidak bisa dipakai lagi. Karena sudah diisi
dengan 1 dosis dari pabriknya, maka tidak perlu menghisap vaksin dari
botol atau ampul, sehingga menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat.
Contoh: vaksin Hepatitis B Uniject produksi Biofarma. Kemudian semprit
bekas harus dimasukkan ke dalam kotak limbah dan dihancurkan dengan
prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasi orang
lain.
4. Pre filled syringe (PFS), pre filled injection device (PID) bukan AD
Alat suntik ini sudah dilengkapi dengan jarum dan diisi vaksin oleh pabrik
sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan. Setelah disuntikan semprit
masih bisa berfungsi. Contoh: vaksin Hib, kombinasi DPaT- Hib, tipoid,
influenza, hepatitis A, pneumokokus. Untuk mencegah pemakaian ulang
semprit bekas, segera masukkan ke dalam wadah dan dihancurkan
dengan prosedur tertentu.
Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena sangat
berisiko terjadi kontaminasi dan penyebaran infeksi melalui semprit, jarum
atau vaksin yang telah terkontaminasi ketika menghisap vaksin.
8. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin tersebut.
Campur vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan semprit dan jarum
bukanAD,tetapisemprit danjarumyangtelahdigunakan untuk melarutkan
tidak boleh untuk menyuntikkan. Kocok vaksin sehingga larut homogen.
Tulistanggal dan jam melarutkan vaksin.
9. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan. Jangan
menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit. Jangan
meninggalkan jarum pada botol atau ampul vaksin untuk pengambilan
vaksin berikutnya.
12. Janganmencampursisavaksindari2botolatauampul,walaupun
vaksinnya sama.
13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak atau
memberontak ketika disuntik, terutama lengan atau paha yang akan
disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baik dalam gendongan orangtua/pengasuh,
dipeluk dengan posisi dada bayi menempel di dada orangtua/pengasuh.
Untuk bayi/anak yang sudah bisa duduk sebaiknya duduk dan dipeluk
dipangkuan orangtua dengan dada dan wajah menghadap ke dada
orangtua/pengasuh. Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak
orangtua/ pengasuhagartidakmudahberontak, keduakakidikepitdiantara
kedua paha orangtua/pengasuh, atau dipegang oleh orangtua/ pengasuh.
Bagian yang akan disuntik (paha, lengan) dipegang oleh penyuntik. Bila
anak cenderung berontak, penyuntik dapat meminta bantuan
orangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain untuk membantu
memegang siku atau lutut dekat bagian yang akan disuntik. Cara
memegang jangan membuat bayi/anak kesakitan atau ketakutan.
15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA (eutetic
mixture of local anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain topikal 10
menit sebelumnya, etil klorid spray beberapa detik sebelumnya, atau
ditekan dibagian yang akan disuntik selama 10 detik sebelum disuntikan.
Padabayibarulahirdapat diberikansukrosa. Manfaatnya bervariasi.
0.Untuk mengurangi rasa nyeri, otot harus dalam keadaan lemas, dengan
mengatur posisi lengan sedikit fleksi pada sendi siku, atau posisi
tungkai sedikit rotasi ke dalam. Selain itu kulit sebaiknya diregangkan
kesamping agar jarum mudah menembus kulit untuk mengurangi rasa
nyeri.
3.Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan desinfektan
agar darah tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa nyeri. Jangan menekan
luka berdarah dengan jari atau bahan tidak steril. Luka bekas suntikan
sebaiknya ditutup dengan plester.
22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan dalam
KMS atau buku imunisasi dan laporan imunisasi. Lebih baik bila
dilengkapi dengan nama dagang vaksin, nomor batch/
orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia dipasaran
dengan nama safety box berwarna kuning, terbuat dari karton tebal.
Namun boleh juga menggunakan barang-barang bekas seperti botol plastik
bekas air mineral, jeriken plastik untuk kotal limbah Gambar 16.
kotak tersebut untuk dipindahkan ke kotak lain. Jika sudah penuh, segera
ditutup rapat agar ketika dibawa ketempat penghancuran tidak tumpah
keluar.
Menimbunsempritdanjarumbekasdidalamlubangpembuangan
Gali lubang sedalam 2–3 meter di lokasi yang diperkirakan dalam 5 tahun
tidak akan digali. Masukkan semprit dan jarum bekas ke dalam lubang,
kemudian ditutup dengan tanah. Cara ini masih berbahaya karena bila ada
banjir, atau tergali, maka dapat melukai atau mengkontaminasi
lingkungan sekitarnya.
Daftar Pustaka
1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI; 2005.
2. DirektoratJenderalPPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.Jakarta :
Departemen Kesehatan RI. ; 2005
3. Direktorat JenderalPPM& PL. Modul Pelatihan Pengelolaan RantaiVaksin ProgramImunisasi.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.
4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
Pen gantar
Cakupan Imunisasi
dan
hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, dan
kabupaten bahkan di setiap desa. Seluruh propinsi (97% dari 302 kabupaten)
di Indonesia telah mencapai target UCI. Jumlah sasaran bayi di Indonesia
per tahun 4,6 juta sedang jumlah ibu hamil 5,1 juta.
Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988
mengajak seluruh dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000.
Eradikasi polio didefinisikan sebagai tidak ditemukan lagi kasus polio baru
yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun melihat kenyataan, maka
WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari regional Asia
Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada
tahun 2008. Adapun strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan
imunisasi rutin yang tinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi
tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturut-turut, (3) melaksanakan
survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan
akhirnya (5) sertifikasi polio.
Pekan
imunisasi nasional (PIN)
Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita umur
0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio oral, tanpa
melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio diberikan 2
kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu telah dilakukan berturut-turut
pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002, 2005 dan 2006 Indonesia telah
berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN telah diimunisasi
sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia.
Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah satu
dari 3 strategi eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan dari
Survailans AFP untuk mengetahui lokasi transmisi virus liar. Upaya untuk
menemukan kasus polio dilakukan dengan menemukan semua anak
berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak
tersebut serta kontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui
apakah kelumpuhan tersebut disebabkan oleh virus polio atau bukan.
Sejak dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun 1995 sampai tahun
2000, berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel,
yaitu kasus yang dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat
diperiksa atau tinja tidak adekuat. Namun sejak tahun 1997,
Indonesia menggunakan kriteria virologis dan penentuan polio
berdasar pada ada tidaknya virus polio liar pada pemeriksaan tinja. Hasil
pemeriksaan tiga laboratorium yang telah dikukuhkan WHO (Bio Farma di
Bandung, Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Depkes di Jakarta,
dan Balai Laboratorium Kesehatan di Surabaya) menunjukkan bahwa sejak
tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Virus
polio liar terakhir ditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang,
Probolinggo, Cilacap, Palembang dan Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri
atas virus
tipe 1,
2, dan 3. Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus
polio di Sukabumi Jawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium
Virologi Bio Farma Bandung dan Laboratorium Virologi Rujukan WHO di
Pure India, diketahui bahwa virus yang ditemukan pada penderita di
Cidahu adalah virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu
sebelumnya juga berjangkit di Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan
outbreak respons immunization mopping-up, dan PIN, sejak februari
2006 tidak lagi ditemukan virus polio liar di Indonesia.
Elimina
si tetanus neonatorum (ETN)
Reduksi campak
Maka
strategi yang disusun oleh Departemen Kesehatan adalah,
1. Cakupanimunisasicampak rutinminimalharus> 90%, kepadasasaran
campak diberikan juga vitamin A 100.000 IU.
2. Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9
bulan sampai 5 tahun di daerah kumuh perkotaan atau daerah kantung
cakupan. Upaya ini dicapai dengan mengadakan sweeping di desa dengan
cakupan rendah. Kegiatan sweeping diperlukan untuk membantu
Puskesmas dalam meratakan cakupan di tingkat desa.
3. Melakukan crash program campak untuk mencegah KLB,
a. Pada balita di daerah kantong cakupan rendah (daerah sulit
dicapai, pemukiman transmigrasi baru),
b. Anak usia < 12 tahun di tempat pengungsian,
Padakeduakegiatandiatas,vitaminAdosis100.000IUuntukbayi umur
6-11 bulan dan 200.000 IU diberikan pada umur 1-5 tahun
(kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A dalam 1 bulan
terakhir).
4. Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar desa
KLB, sasaran. umur 9 bulan-5 tahun atau sampai umur kasus tertua,
diberikan 1 dosis vaksin campak tanpa melihat status imunisasi
sebelumnya. Kegiatan ini untuk memutuskan transmisi bila
dilakukan dalam waktu 7-10 hari setelah onset KLB. Diberikan juga
vitamin A untuk anak 9- 11 bulan 100.000 IU sedangkan untuk usia
1-5 tahun 200.000 IU (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A
dalam 1 bulan terakhir).
5. Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di
seluruh Indonesia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan bertahap
dalam program BIAS (bulan imunisasi anak sekolah)(lihat Bab 4-4
Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan Dewasa).
Daftar
Pustaka
1. Penyakit Polio. Subdit Survailans Direktorat Jenderal PPM&PL, Departemen Kesehatan Rl.
Diunduh dari http i/www.depkes.go.id/index.php?option= news&task=viewarticle&
sid=1826&Itemid=2.
0. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Rl. Petunjuk pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi
Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM&PL, 2000.
1. WHO. Measles reduction. WHO SEARO, Geneva 2003.
2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccine and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
BCG
Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat
vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada
bayinya.
Jadwal imunisasi hepatitis B
Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir, mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis
B aktifdengan risikopenularan kepadabayinya sebesar 45%.
Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi
hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons
imun optimal, interval imunisasi HepB2 dengan hepB-3 minimal 2
bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada
umur 3-6 bulan.
Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan
status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg
yang tidak diketahui, (2) ibu HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg
negatif.
Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin
hepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan
dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan.
Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP
untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan
hepB-3 yang masih rendah.
Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui: HepB-1
harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan
pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status HbsAg ibu
tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui
bahwa ibu HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin
(HBIg)0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan vaksin
hepB-1dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam
setelah lahir.
Ulangan imunisasi hepatitis B
Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan
terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh
imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur 5 tahun, 90,7%
diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar anti
HBs >10 ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia
mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan
bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun belum diperlukan.
Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar anti HBs.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah
memperolehimunisasihepatitisB, makasecepatnyadiberikan
Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di
samping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang
telah dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan
secara bersamaan dalam jadwal imunisasi.
Jadwal imunisasi
Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak
boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8
minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1
diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3
pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu
tahun setelah DTP-3 yaitu pada
umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5
tahun.
Vaksinasi ulangan pada program BIAS
Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan
komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi
demam pasca imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa
muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat rendah
sehinggadapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak.
Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di
sekolah dasar (pada bulan imunisasi anak sekolah atau BIAS).
Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai
kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh depkes untuk
diubah ke vaksin dT (adult dose), buatan PT Bio Farma Indonesia.
Tetanus
Polio
Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV
dapat diberikan pada anak sehat maupun anak yang menderita
imunokompromais, dan dapat diberikan sebagai imunisasi dasar
maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan dengan vaksin
DTP, secara terpisah atau kombinasi.
Jadwal
Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan
untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini
diperlukan karena Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar
dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan). Mengingat OPV
berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah
sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus
polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV
dapat menjadi alternatif.
Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4,
dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4
minggu.
Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi
Polio (PIN) yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN
semua balita harus mendapat imunisasi OPV tanpa memandang status
imunisasinya (kecuali pasien imunokompromais diberikan IPV)
untuk memperkuat kekebalan di mukosa saluran cerna dan
memutuskan transmisi virus polio liar.
Dosis
OPV diberikan 2 tetes per-oral.
IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat
diberikantersendiri atau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV,
DTaP/Hib/IPV).
Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4,
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).
Campak
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu
vaksin Hib yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl
ribitol phosphate – konjugasi dengan protein tetanus) dan PRP-OMP
(PRP berkonjugasi dengan outer membrane protein complex).
Jadwal imunisasi
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan,
dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan.
+ Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi
(DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV)
Dosis
+ Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara
intramuskular.
+ Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV (vaksin
kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib PRP-T) dalam kemasan
prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
+ Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada
umur 18 bulan.
+ Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan
1 kali.
Pneumokokus
Cara pemberian
Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan bersama
vaksin PPV23 karena kelompok ini rentan terhadap semua serotipe
pneumokokus. Kelompok risiko tinggi adalah anak yang menderita penyakit
kronik seperti penyakit sickle cell, aslenia kongenital/didapat, disfungsi
limpa, infeksi HIV, defisiensi imun kongenital, penyakit jantung bawaan dan
gagal jantung, penyakit paru kronik termasuk asma yang diobati dengan
kortikosteroid oral dosis tinggi, cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik
termasuk sindrom nefrotik, penyakit yang berhubungan dengan pengobatan
imunosupresif atau radiasi termasuk penyakit keganasan dan
transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksin PCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi umur 24-59
bulan
Dosis sebelumnya Dosis PCV7 dan PPV23
4 dosis PCV7 Umur 24 bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah PCV7 dosis
terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah
PPV23 dosis pertama
1-3dosis PCV7 1 dosis vaksin PCV7
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir.
Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis
pertama
1 dosis PPV23 2 dosis vaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal 6-8 mgg
setelah PPV23 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23,
3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
Belum pernah 2 dosis vaksin PCV7 interval 6-8 mgg
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV dosis
terakhir.
Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis
pertama
Influenza
Vaksin influenza
Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus influenza subtipe
A yaitu H3N2 dan H1N1, serta virus influenza tipe B. Vaksin
influenza diproduksi dua kali setahun berdasarkan perubahan galur
virus influenza yang bersirkulasi di masyarakat.
WHO Global Influenza Program merekomendasikan komposisi
vaksin influenza yang berlaku untuk tahun berikutnya pada bulan
September dan Februari. Musim influenza pada terjadi bulan
Mei-Juni di belahan bumi Selatan (Southern hemisphere),
MMR
VaksinMMRdiberikanpadaumur15-18bulan,minimalinterval
6 bulan antara imunisasi campak (umur 9 bulan) dan MMR.
Dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan.
MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah
penyuntikan imunisasi lain.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur
12-18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan
pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan.
Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun.
Demam tifoid
Hepatitis A
Jadwal imunisasi
+ Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.
+ Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dari
12 bulan. Maka vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih
dari 12 bulan, terutama untuk catch-up immunisation yaitu mengejar
imunisasi pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi HepB
sebelumnyaatauimunisasiHepB yang tidak lengkap.
Dosis pemberian
+ Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml.
+ Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan
interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid
+ Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA
720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml
intramuskular.
+ Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units, dosis 1
ml, 2 dosis, interval 6-12 bulan.
Varisela
Kesepakatan pada rapat Satgas Imunisasi IDAI Maret 2007, telah ditentukan
perubahan umur pemberian vaksin varisela dari umur 10 tahun menjadi
5 tahun. Hal ini berdasarkan,
1. Efektifitas vaksin varisela tidak diragukan lagi, namun apabila cakupan
imunisasi belum tinggi dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa
anak ke dewasa (pubertas). Akibatnya angka kejadian varisela orang
dewasaakan meningkat dibandingkananak.
0. Dampak varisela pada dewasa lebih berat daripada anak, apalagi apabila
terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan sindrom varisela
kongenital dengan angka kematian yang tinggi.
3. Penularan terbanyak terjadi di sekolah (TK dan SD).
Daftar Pustaka
1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo; WB
Saunders, 2004.
Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang daya
perlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR, varisela, maka
keterlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah disepakati akan
mengakibatkan meningkatnya risiko tertular oleh penyakit yang ingin
dihindari. Setelah vaksin diberikan maka risiko terkena penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi tersebut akan hilang atau rendah sekali,
bahkan usia yang lebih tua saat
Polio oral Bila terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi
lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli
berapapun jarak waktu/ interval keterlambatan dari pemberian
sebelumnya.
Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker CL, Overturf
GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on Infectious Diseases.
Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB
Saunders, 2004.
Usia sekolah dan remaja saat memasuki usia merupakan kurun waktu
dengan paparan lingkungan yang luas dan beraneka ragam. Angka kematian
usia balita masih sekitar 56 per 1000 kelahiran hidup, masa usia sekolah
dan remaja menunjukkan grafik yang menurun dan meningkat lagi
pada usia yang lebih lanjut.
Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk di dalam imunisasi
nasional sudah sangat berkurang, seperti polio, difteria, tetanus, batuk rejan
dan campak, terutama karena dilaksanakannya program Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS) pada bulan November setiap tahunnya. Hanya
penyakit tuberkulosis paru yang justru menunjukkan peningkatan karena
imunisasi BCG ternyata kurang berhasil meskipun meningitis dan TB
sekunder lainnya seperti milier dan spondilitis TB sudah jauh
berkurang.
Dengan terjadinya transisi epidemiologik dalam dua dekade terakhir
ini, penyebab utama kesakitan dan kematian telah mengalami
perubahan seperti yang dilaporkan di dalam SKRT1995 dengan bergesernya
penyebab kematian karena infeksi ke penyakit kardiovaskuler, terjadinya
cedera dan keracunan karena kecelakaan, penyakit karena obat-obatan
terlarang, depresi, penyakit jiwa dan penyakit degeneratif. Namun demikian,
laporan dari rumah sakit. Puskesmas maupun UKS (usaha kesehatan sekolah),
penyakit infeksi seperti ISPA, (infeksi saluran pernafasan akut), diare akut
seperti kolera dan penyakit yang seringkali menunjukkan kejadian luar biasa
atau wabah, seperti demam berdarah dengue masih merupakan hambatan
utama dalam tumbuh kembang menuju dewasa.
Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak pada usia yang
seharusnya namun anak belum mencapai usia 8 tahun, perlu diberikan DTP
4 dosis (ke-1 sampai ke-3 berselang 1-2 bulan dan ke-4 diberikan 6
bulan’kemudian). Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun, diberikan
dT (adult tetanus diphthteria toxoid), kemudian booster diberikan setiap
10 tahun.
Imunitas terhadap pertusis pasca imunisasi berlangsung selama 10
tahun setelah dosis terakhir. Meskipun demikian seorang anak yang
telah menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinan terjangkitnya penyakit
batuk rejan masih dapat terjadi pada usia remaja. Kebutuhan booster
pertusispadausiaremajadandewasamasih menjadi lahan penelitian.
Apabila belum pernah mendapatkan vaksin MMR (measles, mumps,
rubella), imunisasi tersebut dapat diberikan pada semua umur di atas satu
tahun. Pada anak yang sudah pernah menderita penyakit campak maupun
gondongan bukan merupakan halangan untuk memberikan MMR, karena
dari anamnesis penyakit tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
Vaksin MMR terutama menjadi penting untuk wanita usia subur karena
komponen rubela yang ada di dalamnya dapat mencegah rubela kongetial
apabila wanita tersebut hamil. Apabila setelah pemberian MMR diperlukan
uji tuberkulin, maka perlu diperhatikan bahwa uji tuberkulin baru dapat
dilaksanakan sedikitnya sebulan kemudian karena vaksin campak yang
mengandungvirushidupdapatmengurangisensivitasterhadap tuberkulin.
Pemberian dua vaksin yang mengandung virus hidup tidak dapat
diberikan secara simultan pada hari yang sama atau kurang dari 14 hari.
Vaksin hidup yang kedua harus diberikan sedikitnya setelah 14 hari dari yang
pertama (rekomendasi Advisory Committee
on Immunization Practices).
Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster
untuk hampir semua jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini.
Masa tersebut sangat penting untuk dipantau dalam upaya
pemeliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap berbagai macam
penyakit infeksi yang disebabkan karena kuman, virus maupun parasit
dalam kehidupan menuju dewasa.
Pada umumnya penularan infeksi dapat melalui fekal-oral, pernafasan,
urin, maupun darah dan sekret tubuh lainnya. Di dalam lingkungan
sekolah, infeksi dapat terjadi di antara para siswa sekolah melalui jalan
nafas dan kontak langsung melalui kulit sebagai lahan penularan
penyakit. Namun pada lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) para siswa
mengalami perkembangan mental yang kurang, dapat terjadi
penularan melalui fekal-oral dan urin.
Guna menjaga penyebaran penyakit menular di sekolah, kiranya sekolah
harus memiliki catatan imunisasi saat siswa pertama kali masuk sekolah
terutama tentang penyakit yang masuk di dalam daftar PPI. Pada usia 6
tahun, booster harus sudah diberikan terhadap penyakit difteria, tetanus
danpolio. Secaraluastelahdilaksanakan sebagai program BIAS.
Hepatitis B tidakperlu diulang, namun apabila tidakmenunjukkan adanya
pembentukan antibodi atau kadar antibodi telah menurun di bawah
ambang pencegahan vaksinasi hepatitis B (kurang dari 10 µg/dl),
ulangan perlu diberikan. Perhatikan dan catat segera adanya peningkatan
antibodi. Data terakhir mengatakan bahwa kadar anti-HBs memang akan
mengurang dari tahun ke tahun, tetapi ternyata memori imunitas
(anamnestic anti-HBs response) tetap bertahan selamanya setelah
mendapatkan imunisasi. Meskipun kadar anti-HBs sudah menurun sekali
bahkan negatif seorang masih terlindungi dari sakit secara klinis dan sakit
kronis. Jadi dosis booster hepB tidak diperlukan lagi bagi orang yang jelas
telah memberikan respons yang baik setelah imunisasi.
Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan dewasa
Daftar Pustaka
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:Wolter Kluwer
Health, Inc. 2006.
Pen gantar
Terdapat tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin PPI. Cakupan vaksin PPI
di Indonesia telah mencapai lebih dari 80% kecuali hepatitis B ketiga.
Sesuai kesepakatan global, perlu diingat bahwa cakupan vaksin PPI
harus dipertahankan tetap tinggi di seluruhpelosoknegerisebelumpemerintah
memutuskanuntukmenambahkan vaksin lain dalam PPI.
Imunisasi BCG, walaupun saat ini diragukan manfaatnya WHO tetap
menganjurkan pemberian BCG sampai dihasilkan vaksin tuberkulosis yang
baru. Vaksin hepatitis untuk bayi baru lahir sangat dianjurkan untuk Indonesia
yang termasuk negara endemik tinggi hepatitis B. Untuk mengurangi KIPI
vaksin DTwP, vaksin DTaP telah banyak digunakan. Vaksin DTwP/DTaP dapat
diberikan secara tunggal (mono valen) maupun kombinasi dengan vaksin lain
(dengan hepatitis B atau Hib). Demikian pula vaksin polio oral maupun suntikan
(inaktif) dapat diberikan sebagai vaksin monovalen maupun kombinasi. Imunisasi
ulangan (penguat) vaksin campak diberikan pada saat masuk sekolah dasar,
namun apabila telah diberikan MMR pada umur setelah 15 bulan maka
ulangan campak tidak diperlukan lagi.
154 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Bab V-1
Tuberkulosis
Nastiti N.Rahajoe
Epidemiologi
Limfadenitis
BCG-itis diseminasi
Kontraindikasi BCG
Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
Menderita gizi buruk,
Rekomendasi
BCG diberikan pada bayi <2 bulan
Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan
asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien
kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Gerakan terpadu nasional penanggulangan
tuberkulosis nasional (Gerdunas TB). Jakarta: Depkes & Kesos, 2000.
2. Global tuberculosis control - surveillance, planning, financing. WHO Report 2006.
WHO/HTM/TB/2006.362 (http://www.who.int/tb/publications /global_report/2006/
pdf/full_report_correctedversion.pdf).
3. CDC. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in health-care
settings, 2005. MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-17).
4. CDC. Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious tuberculosis:
Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and CDC —
MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-15):1-37.
5. WHO. Tuberculosis and Air Travel: Guidelines for Prevention and Control (second edition). WHO
2006. WHO/HTM/TB/2006.363 (http://whqlibdoc.who.int/hq/2006/
WHO_HTM_TB_2006.363_eng.pdf)
6. CDC. The Role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the
United States. (ACET and ACIP). MMWR Recomm Rep. 1996;45(RR-4).
7. American Thoracic Society, CDC, and Infectious Disease Society of America. Treatment
of tuberculosis. MMWR Recommendation Report. 2003;52(RR-11).
Bab V-2
Hepatitis B (editing oleh Hartono
Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto
Epidemiologi
Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HBsAg
pada donor (1994) adalah 9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada Ibu hamil
3.6% (2.1 -6.7%). (tambah data prevalensi Hep B Julitasari
Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive. Secara
garis besar, upaya pencegahan terdiri dan preventif umum dan khusus
yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.
Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup
sterilisasi instrumen kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum
disposable ke tempat khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga
medis. Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex, penggunaan jarum
suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir),
menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3,
terutama ibu risiko tinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah
hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan
seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien VHB, kontak
seksual dengan pasien VHB).
Imunisasi Pasif
Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi
tubuh berbeda, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya
(85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas. Bila yang diberikan
hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%.
Imunisasi aktif
Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan Pemberian ketiga seri
vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan
terbentuknya respons protektif (anti HBs ≥ 10 mIU/mL) pada > 90%
dewasa, bayi, anak dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neona tus dan bayi
diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan
dewasa, diberikan di regio deltoid.
Siapa yang harus mendapat imunisasi hepatitis B?
Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu
Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
Pasien hemodialisis
Pasien koagulopati
yang membutuhkan transfusi berulang
Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat
hubungan seksual
Drug users
Homosexuals, bisexual, heterosexuals
Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia
2 bulan atau berat badan sudah mencapal 2 kg.
Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang
ringan dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan
demam ringan untuk 1-2 hari.
Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian
vaksin VHB. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.
Daftar Pustaka
0. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver Disease in
children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509.
1. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB, Halsey NA,
Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the committee on infectious
diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63.
2. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol 2001; 34 (6):
1225 -41.
5. CDC.Recommendedchildhoodandadolescent
immunizationschedule. MMWR2003,52(4): Q1-4.
6. MastE, MahoneyF,KaneM, et al.Hepatitis B vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, editors.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
7. CDC. Updated U.S. Public Health Service guidelines for the management of occupational
exposures to HBV, HCV and HIV and recommendations for postexposure prophylaxis. MMWR
Morbidity Mortality Weekly Report. 2001;50(RR-11):1-54.
0. CDC. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis B Virus
Infection in the United States. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) Part 1: Immunization of Infants, Children, and Adolescents. MMWR Morbidity
Mortality Weekly Report. 2005;54(RR16);1-23
8. European Consensus Group on Hepatitis B Immunity. Are booster immunisations needed for
lifelong hepatitis B immunity? Lancet. 2000;355:561-5.
9. Lok AS, McMahon BJ; Practice Guidelines Committee, American Association for the Study of Liver
Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.
2004:39:857-61.
Difteria
Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal
dari bahasa Yunani cfyo/jferayang berarti leather hide. Penyakit ini
diperkenalkan pertama kali oleh Hyppocrates pada abad ke 5 SM dan epidemi
pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama
kali pada pseudo membran pasien difteria tahun 1883 oleh Klebs. Anti-toksin
ditemukan pertama kali pada akhir abad ke 19 sedang toksoid dibuat
sekitar tahun 1920.
Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi toksin
terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag
yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya galur toksigenik yang dapat
menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3 galur bakteri yaitu, gravis,
intermedius dan mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin, tipe gravis
adalah yang paling virulen.
Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan
kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat
sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan
terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas.
Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam
aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat
komplikasi berupa miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan
proteinuria.
Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian
merupakan akibat langsung dari toksin difteria. Beratnya penyakit dan
komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainan lokal.
Pertusis
Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Ledakan kasus pertusis
pertama kali terjadi sekitar abad 16, menurut laporan Guillaume De Baillou
pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu baru dapat diisolasi pada tahun
1906 oleh Jules Bordet dan Octave Gengou. Sebelum ditemukan vaksinnya,
pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan
merupakan penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000
kematian terjadi setiap tahun).
Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif
dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Kuman ini
menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin pertusis (PT),filament
hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen fimbriae, adenil siklase,
endotoksin, dan trakea sitotoksin. Produk toksin ini berperan dalam
terjadinya penyakit pertusis dan kekebalan terhadap satu atau lebih
komponen toksin tersebut akan menyebabkan serangan penyakit yang
ringan (label 13). Terdapat bukti bahwa kekebalan terhadap B. pertussis
tidak bersifat permanen.
Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis
Komponen
toksinAktifitas biologik Peran antibodi
Pertusis toxin Memproduksi eksotoksin Mencegah kerusakan saluran
(PT) Sensitisasi histamin nafas dan intraserebral
pada binatang percobaan.
Mencegah gejala klinis pada
Limfositosis
Aktifasi sel pankreas
Merangsang sistem
imun
Filamentous Memegang peran untuk Mencegah kerusakan saluran
hemagglutinin melekatnya B. pertussis nafas tetapi tidak berperan
(FHA) pada sel epitel saluran intra serebral pada binatang
nafas percobaan
Pertactine 69- Nonfimbrial Memicu pencegahan
kDa OMP agglutinogen, infeksi pada saluran nafas
berhubungan dengan oleh 6. pertussis (binatang
kerja adenylcyclase percobaan)
Memicu pencegahan
Aglutinogen Surface antigen infeksi pada saluran nafas
berhubungan dengan oleh B. pertussis (binatang
fimbriae untuk melekatnya percobaan)
B. pertussis pada sel epitel
Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan oleh
eksotoksin yang diproduksi bakteri Clostridium tetani. Gejala
tetanus sudah mulai dikenal sejak abad ke 5 SM, namun baru pada tahun
1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien
tetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone. Pembuktian bahwa
toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasato
(1889), sedang Nocard (1897) mendemonstrasikan efek dari transfer
pasif anti toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif selama
perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan pada tahun 1924
oleh
Vaksin DTP
Toksoid difteria
Vaksinasi DTP
Vaksin DTP
Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan
kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria.
Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini
berkisarantara6,7-25Lf dalam dosis 0,5 ml.
Jadwal
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis
pada usia 2, 4, 6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis
ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3.
Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian
vaksin pertusis
Tosoid difteria
Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan
karena selama ini pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan
atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi
lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa)sering ditemukanlebihbanyak
dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadian tersebut sangat
ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Untuk
menekan kejadian ikutan akibat hipereaktifitas terhadap toksoid difteria, telah
dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut,
yaitu (1) meningkatkan kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein yang
tidak perlu, (2) melarutkan toksoid dalam garam aluminium dan (3)
mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukup
efektif untuk mendapatkan imunitas.
Toksoid Pertusis
ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan. Namun demikian antibodi ini
ternyata tidak memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis adalah
vaksin yang merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. Pada awalnya
vaksin ini sering tercemar dengan campuran mikroflora saluran nafas
lainnya. Vaksin wP (whole-cell pertussis) awalnya dibuat di Amerika Serikat
dengan standar yang berbeda-beda pada tiap pabrik. Umumnya vaksin
pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteria dan tetanus
(DTP). Campuran DTP ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak
1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan menggunakan
fraksi sel (aselular)yang bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata
memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat
dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris. Di Jepang telah dimulai
upaya untuk memurnikan vaksin pertusis dengan hanya mengambil
komponen toksin yaitu FHA, pertactine, pertussis train dan aglutinogen
untuk membuat vaksin pertusis aselular. Vaksin ini telah dipakai sejak
1981 di Jepang dengan hasil baik.
Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP
Indikasi kontra
Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak
terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu
Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya
Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya
Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus
(precaution). Misalnya sebelum pemberian vaksin pertusis
berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat
hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak
menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari
sesudah imunisasi DTP.
Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak
berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan
pasca imunisasi, atau alergi terhadap vaksin bukanlah
suatu indikasi kontra terhadap pemberianvaksin DTaP. Walaupun
demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus
Vaksin DTwP telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat ini
walaupun mempunyai efek samping baik lokal maupun sistemik. Adanya
data kejadian ikutan pasca imunisasi gejala susunan syaraf pusat yang
serius(termasukensefalopati)yang bersifat temporal association.
VaksinDTaP (pertusis aselular) dapatmemberikanimunogenisitas
terhadap anti PT, anti FHA, dan anti pertactine sama baiknya dengan
DTwP dalam berbagai jadwal imunisasi. Respons antibodi juga
tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan pada umur
15-18 bulan dan 5-6 tahun.
Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih
rendah daripada DTwP.
Tabel 5.6. KIPI sistemik (per 1.000 dosis) vaksinasi DTwP dan DtaP
Pembengkakan 90 260
Nyeri lokal 46 297
Iritabel 300 499
Demam > 38.0oC 72 406
> 40.0oC 0,36 2,4
Menangis > 3 jam 0,44 4,0
Hypotonic hyporesponsive 0,07 0,67
Sianosis - 0,15
Kejang 0,07 0,22
Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP
Di lain pihak, saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan
imunisasi pertusis tinggi masih melaporkan pasien pertusis.
Kemungkinan hal tersebut disebabkan orang dewasa yang non-imun
terhadap pertusis sebagai sumber penularan pada anak.
Vaksin DTwPdanDTaP dapat dipergunakansecaraoergantian
(interchangable) apabila keadaan mendesak
Vaksin DTwP dan DTaP dapat pula diberikan dalam bentuk vaksin
kombinasi (Bab VIII Vaksin Kombinasi).
Jadwal
DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6
minggu, disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak
optimal, sedang respons terhadap toksoid tetanus dan difteria cukup
baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal.
Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization. Dalam: Watson
C,penyunting.The Australian Immunisation Handbook.Edisi ke-9.Canberra: NHMRC 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, eds.
Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2006:277–81.
3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2004;53:46.
4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system: 2005
global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.
5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect Dis.
2000;181(suppl 1):S2-9.
6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.
10. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, Cortese MM, Murphy TV. Tetanus surveillance – United
States, 1998-2000. MMWR Surveill Summ 2003;52(SS-3):1-8.
11. Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurian M, Shaw C, Garnier S. Tetanus in developing
countries: an update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination Initiative. Vaccine.
2003;21:3442-5.
1. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus toxoid,
reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines. Recommendations of the Advisory
Committeeon Immunization Practices(ACIP). MMWRRecommRep. 2006;55(RR-3):1-34.
12. American Academy of Pediatrics. Pertussis. In: Pickering LK, editor. Red book: 2003 report of the
Committee on Infectious Disease. 26thed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003. p. 498-520.
13. Edwards KM, Decker MD. Pertussis Vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th
ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:471-528.
14. CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and posteexposure prophylaxis of
pertussis: 2005 CDC guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR14):1-16.
17. Vademicum PT Bio Farma, 1997.
Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin
yang berarti medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus
poliomyelitis pada medula spinalis yang secara klasik menimbulkan
kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yang berasal dari Inggris
pertama kali menulis tentang kelumpuhan anggota badan bagian bawah
(ekstremitis inferior) pada anak, yang kemudian dikenal sebagai
poliomielitis. Pada permulaan abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di
Eropa dan beberapa tahun kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat
itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim panas dan gugur. Pada
tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat
lebih dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara
drastis menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di
Amerika Serikat kasus terakhir virus polio liar ditemukan pada tahun 1979.
Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral polio vaccine
(OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun
1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).
Etiologi
Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili
Picornaviridae. Dikenal tiga macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3.
Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena panas, formaldehid,
klorin dan sinar ultraviolet.
Epidem
iologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi
virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negaranegara Barat,
eliminasi polio sejak tahun 1991. Program eradikasi polio global secara
dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia, kecuali
beberapa negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus polio liar
yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada
manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala.
Namun tidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali
padaorang yang menderita defisien sistem imun.
Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal.
Pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus
mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis
tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular,
pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat
serokonversi lebih dari 90%. Kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10
hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat
ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.
Dat
a dari Depkes secara nasional memang menunjukkan bahwa cakupan OPV
dapat dipertahankan pada tingkat 80%, namun di daerah-daerah
konflik dan terpencil cakupan imunisasinya rendah.
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) telah dilaksanakan berturutturut, yaitu
tahun 1995, 1996, 1997, 2002 yang dengan berhasil mencakup 100%
target sekitar 20 juta balita pada tiap NID. Pada hari PIN tersebut
telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh
Indonesia.
Setelah PIN, kasus polio menurun drastis; laporan terakhir
menunjukkan bahwa dari pemeriksaan laboratorium hanya
ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1, 2, dan 3) pada
tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan virus polio
liar.
Di daerah-daerah yang diduga terjadi transmisi polio liar telah
dilakukan mopping up pada tahun 1998 meliputi 52 kecamatan dan
pada tahun 1997 mencakup 5 kecamatan. Disamping itu masih
dilakukan PIN terbatas. Tahun 2001 di 5 provinsi dan 10 kecamatan
yang surveilans AFP-nya rendah.
Surveilans AFP dimulai tahun 1995 yang berusaha menemukan semua
kasus AFP pada anak di bawah 15 tahun untuk diidentifikasi dan
dilaporkan, yang kemudian tinjanya diambil dalam waktu 24 jam untuk
diperiksa. Kualitas surveilans dari tahun ke tahun terus meningkat
dengan AFP rate lebih dari 1, namun tahun 2000 turun menjadi 0,90
dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 0,83. Hal ini sebagai dampak
situasipolitik dan sosial ekonomi saat itu yang tidak stabil.
Pemantauan tinja menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai
saat ini tidak ditemukan lagi virus polio liar. Maka secara virologis
Indonesia telah bebas polio, namun hal ini belum cukup dan masih
harus melakukan surveilans AFP yang lebih baik. Hal ini berhasil
ditingkatkan, mulai tahun 2002 dan kemudian tahun 2003 AFP rate
meningkat kembali lebih dari 1.
Pa
da bulan Maret – 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB), yaitu kasus
lumpuh layuh pada anak laki-laki umur 20 bulan dari desa Giri
Jaya (kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi) yang belum pernah
mendapat imunisasi polio. Pada pemeriksaan tinja oleh
laboratorium Global Specific Laboratory (GSL) di Mumbai India,
menemukan virus polio liar (VPL) P1 dan merupakan strain
(galur) yang sama dengan strain (galur) virus Arab Saudi. Maka
disimpulkan bahwa VPL (virus polio liar) tersebut berasal dari luar
(impor).
Dengan adanya KLB tersebut terjadi clustering kasus AFP karena
transmisi setempat; antara bulan Maret – April 2005, di desa-desa
sekitarnya dijumpai 13 anak dengan onset lumpuh layuh hampir
bersamaan
Tahun 2005 merupakan tahunmunculnya kembalikasus polio (outbreak),
sejak Maret – Desember 2005 di seluruh Indonesia tercatat 303
kasusdenganVPLpositif,yangterbanyakpropinsiBanten dan Jawa Barat.
Tindakan untuk mengatasi ini ialah melakukan outbreak respons
immunization (ORI) di lokasi KLB, imunisasi mopping up di beberapa
desa/kecamatan berisiko, dan melaksanakan PIN sebanyak 5 putaran
(bulan Agustus, September, November 2005, dan bulan Februari, April
2006) serta melakukan Sub-Pin pada bulan Januari 2006 di seluruh
Indonesia.
Dengan tindakan penanggulangan tersebut diatas telah berhasil
menekan kasus polio, yang sepanjang tahun 2006 ini hanya
ditemukan 2 kasus dengan VPL positif, yaitu di Aceh (NAD) dan di
Jawa Timur masing-masing satu kasus. Disamping kasus AFP yang
disebabkan oleh VPL dilaporkan pula lumpuh layuh akut yang
disebabkan oleh VDPV (virus derived polio vaccine) di Madura.
Patog
enesis
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kaliterjadi
padatempatimplantasidalamfaringsdantraktusgastrointestinal. Virus tersebut
umumnya ditemukan di daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya
gejala. Satu minggu setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam
jumlah kecil di tenggorok, tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja
dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat,
masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf pusat.
Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior medula spinalis
dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan
manifestasi poliomielitis yang spesifik.
Gambaran klinis
hari.
Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung
dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh
sempurna.
Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala
kelayuhan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan
berlangsung 2-3 hari. Pada umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya
setelah suhu kembali normal. Pada fase prodromal dapat terjadi bifasik
terutama pada anak-anak dengan permulaan gejala ringan dipisahkan
oleh periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala
prodromal termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan
meningkatnya refleks tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan
spasme pada anggota tubuh dan punggung. Penyakit berlanjut dengan
paralisis flaksid disertai hilangnya refleks tendon dalam, keadaan ini
menetap sampai beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah
fase ini lewat, kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris
atau perubahan kesadaran. Banyak anak dengan poliomyelitis paralitik
dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali pada tingkat
tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya penyakit
pertama kali akan menderita dengan gejala sisa yang permanen.
Diagn
osis laboratorium
Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena
poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat
diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid akut
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara oligonucleotide
mapping (finger printing) atau genomic sequencing. Untuk menentukan
apakah virus tersebut termasuk virus liar atau virus vaksin.
Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang
menetralisasi (neutralizing antibody) yang muncul awal dan mungkin
ditemukan meningkat tinggi pada saat penderita masuk rumah sakit
oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidak diketahui.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio,
umumnya terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, yang
sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein ringan dari 40
sampai 50 mg/100ml.
Vaksi n
maupun
pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus
polio liar yang datang masuk kemudian. Dengan cara ini, maka frekuensi
eksresipolio virusliar dalam masyarakat dapat dikurangi.
Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang masuk
bersamaan, maka sangat berguna untuk mengendalikan epidemi. Jenis
vaksin virus polio ini dapat bertahan dalam tinja sampai 6 minggu
setelah pemberian OPV.
Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama
namun tiga dosis berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama
terhadap 3 tipe virus polio.
Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC.
Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi
disebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan
Departeman Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah
terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasa imunisasi masal)
harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHO membolehkan botol-botol
yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi
imunisasi,bilatigasyarat di bawah ini terpenuhi:
tanggal kadaluwarsa tidak terlampaui
vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2- 8oC)
botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah
dibuang oleh petugas Puskesmas.
Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur
<-20oC. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara
ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, dijaga agar
warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda
(sebagai indikator pH).
Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah
terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna
berubah dengan catatan dan tanggal kadaluwarsa harus selalu
diperhatikan.
Vaksin
polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV)
Rekomendasi
Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal,
sesuai dengan PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan
dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis
terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis
sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat
diberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib.
Bila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka
dosis tersebut perlu diulang.
Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak
dengan imunosupresi dan kontak mereka yang dekat harus diimunisasi
dengan IPV.
• Anak
yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus
vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak
yang belum diimunisasi. Untuk mereka yang berhubungan (kontak)
dengan bayi yang baru saja diberi OPV supaya menjaga kebersihan
dengan mencucitangan setelah mengganti popok bayi.
boleh
ada yang tertinggal. Dosis penguat
untuk
orangdewasa tidakdiperlukan,kecualimerekayangdalam risiko khusus,
misalnya
Bepergian ke daerah-daerah yang poliomielitis masih endemis atau
saat terjadi epidemi
Petugas-petugaskesehatanyangkemungkinan mendapat kontak
dengan kasus poliomyelitis.
Bagi mereka yang secara terus-menerus mengalami risiko infeksi,
dianjurkan diberikan dosis tunggal sebagai penguat 2 tetes setiap 10
tahun.
Untuk mereka yang vaksin virus hidup merupakan indikasi kontra, misalnya
mereka dengan imunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka
IPV dapat digunakan sebagai vaksinasi terhadap poliomyelitis. Hal ini juga
dipakai untuk saudara-saudara anak imunokompromais dan anggota
keluarga yang mendapat kontak. Sebagai vaksinasi dasar, diberikan suntikan
IPV sebanyak 3 dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atau
intramuskular dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan
yang jadwalnya sama dengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-positif dan
anggota keluarga serumah yang mendapat kontak harus menerima IPV.
kecil
pada poliomielitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini tidak boleh
diremehkan, namun tidak cukup menjadi alasan untuk mengadakan
perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut
terbukti sangat berguna. Harus ditekankan bahwa kebersihan
terhadap kontak penerima vaksin yang baru adalah sangat
penting.
Setelah vaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala
pusing, diare ringan, nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi
yang lain, semua gejala yang timbul setelah vaksinasi harus
dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.
Indikasi kontra
Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut,
Penyakit akut atau demam (suhu >38.5oC), vaksinasi harus
ditunda,
Muntah atau diare, vaksinasi ditunda,
Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang
diberikan oral maupun suntikan, juga yang mendapat pengobatan
radiasi umum ( termasuk kontak dengan pasien),
Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan
sistem retikuloendotelial (limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin)
dan yang mekanisme imunologisnya terganggu, misalnya pada
hipogamaglobulinemia,
Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak,
walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan,
OPV jangan diberikan kepada orang hamil pada 4 bulan pertama
kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak, misalnya bepergian
ke daerah endemis poliomyelitis,
Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin
inactivated dan virus hidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi
jangan bersama vaksin oral tifoid,
Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat
p
emberianOPV,karenaOPVmemacuimunitaslokaldanpembentukan
antibodi dengan cara replikasi dalam usus,
OPV dan IPVmengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin,
streptomisin) namun hal ini tidak merupakan indikasi kontra, kecuali
padaanakyang mempunyaibakat hipersensitif yang berlebihan,
Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita
imunosupresi jangan diberikan IPV, jangan OPV.
Daftar Pustaka
1. Dep Kes Republik Indonesia: Achmad U. F. Dirjen PPM dan PL: Laporan KLB Polio Sukabumi,
2006.
12. CDC.
Progress toward interruption of wild poliovirus transmission— Worldwide, January
2005–March 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:458-62.
13. World Health Organization. Conclusions and recommendations of the Advisory Committee
onPoliomyelitis Eradication, Geneva 11–12 October 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2005;80;410-6.
Etiologi
Epidem
iologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya epidemi
cenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi terjadi pada
permulaan musim hujan, mungkin disebabkan karena meningkatnya
kelangsungan hidup virus pada keadaan kelembaban yang relatif rendah.
Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitu setelah adanya kelompok baru
yang rentan terpajan dengan virus campak. Penyakit campak jarang bersifat
subklinis. Penyakit campak ditularkan secara langsung dari droplet infeksi
atau, agak jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread).
Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi campak
global hanya 20%, didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada pertengahan
tahun 1990, dengan angka cakupan80%, angka tersebut turun tajam sampai 20
juta kasus. Jadi, bahkan dengan angka cakupan 80%, masih sulit untuk
mencapai target eradikasi global.
World Health Organization (WHO) dengan programnya The Expanded
Programme on Immunization telah mencanangkan target global untuk
mereduksi insidens campak sampai 90,5% dan mortalitas sampai 95,5%
daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995. Beberapa negara berhasil hampir
mendekati fase eliminasi. Beberapa macam jadwal imunisasi dan strategi
telah digunakan, tetapi ada beberapa negara yang tidak berhasil.
Kegagalan ini biasanya disebabkan oleh kegagalan dalam
meng-implementasikan rencana strategi secara adekuat. Prioritas utama
untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakan program
imunisasi lebih efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan
rantai penularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara
teori adalah mungkin oleh karena tidak adanya binatang reservoir dan
pemberian imunisasi sangat efektif.
Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan imunisasi
masal pada anak umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2) meningkatkan cakupan
imunisasi rutin pada bayi umur 9 bulan, (3) melakukan surveilens secara
intensif dan (4) follow-up imunisasi
massal.
Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program
penatalaksanaan kasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran, misalkan
indikasi pemberian antibiotik, pemberian imunoglobulin intravena dan
risiko tuberkulosa sebagai komplikasi jangka panjang.
Gejala Klinis
Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima atau
keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva suhu
menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24 sampai 48 jam pertama
diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal selama periode satu hari
dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai
400C pada waktu ruam sudah timbul di seluruh tubuh. Pada kasus yang
tanpa komplikasi, suhu tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai
suhutubuhyang normal.
Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek, mata
merah selanjutnya di cari gejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum ruam timbul,
gejala Koplik’s spot yangmerupakan tanda pathognomonis dari penyakit campak,
dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh Koplik pada tahun 1896 sebagai
suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, pada
pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Mula-mula
didapatkan hanya dua atau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda
putih keabuan dan warna merah muda disekarnya merupakan tanda
patognomonik absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang noda putih
keabuan sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung
dan terang dapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar,
kuranglebih12jam,sehinggasukarterdeteksidanbiasanyaluput pada waktu
dilakukan pemeriksaan klinis.
Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari
timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapula eritematosa,
danmulaitimbulpadabagiansampingatasleher,daerah
belakang
telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi. Kemudian
menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam.
Seterusnya menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung,
mencapai kaki pada hari ketiga. Bagian yang pertama kena mengandung
lebih banyaklesi daripada yang terkena kemudian.Setelahtigaatauempathari,
lesi tersebut berubah menjadi berwarna kecoklatan. Hal ini kemungkinan
sebagai akibat dari perdarahan kapiler, dan tidak memucat dengan
penekanan. Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warna dari
ruam, yaitu menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian
disusuldengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan.
Imunisasi campak
Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak
a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston B)
b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang
berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam
aluminium)
Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang
dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin
hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah dapat
memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara
subkutan, walaupun demikian dapat diberikan secara
intramuskular.
Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak
masih tinggi dan seringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan
pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan. Untuk negara maju
imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur 12-15 bulan dan
kemudian imunisasi kedua (booster) juga dengan MMR dilakukan secara rutin
padaumur4-6tahun,tetapidapat juga diberikan setiap waktu semasa periode
anak dengan tenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi
pertama.
Imu
nisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi
primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ,
merekayangmendapat pengobatanimunosupresif jangka panjang atau anak
immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa
immunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa
mendapat imunisasi campak.
Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan yang
tinggi bersama-sama dengan keinginan untuk menunda pemberian
imunisasi sampai antibodi maternal hilang merupakan suatu hal yang berat
dalam pengendalian penyakit campak. Pada anak-anak di negara
berkembang, antibodi maternal akan hilang pada usia 9 bulan, dan pada
anak-anak di negara maju setelah 15 bulan.
Reaksi KIPI
Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi
ulang pada seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat
imunisasi dengan vaksin campak dari virus
yang
dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telahmenurundengan
digunakannya vaksin campak yang dilemahkan.
Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi pada
5%-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah
imunisasi dan berlangsung selama 2 hari.
Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian
peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang
demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipen, timbul pada hari ke 7-10
sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar
dibedakan dengan akibat imunisasi yang terjadi jika seseorang telah
memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami.
Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat
seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi, diperkirakan
risiko terjadinya kedua efek samping tersebut 30 hari sesudah
imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin.
Daftar Pustaka
8. Streb
el P, Cochi S, Grabowsky M, Bious J, Hersh BS, Okwo-BeleJM, Hoekstra E, Wright P, Katz S. 2003.
The unfinished measles immunization agenda. J Infect Dis. 187 Suppl 1: S1-7.
9. World Health Assembly 2003. Reducing global measles mortality. Fifty-sixth World Health
Assembly. 28 May 2003.
10. World Health Organization 2005a. Global measles and rubella laboratory network –
update. Wkly Epidemiol Rec 80: 384-388.
11. American Academy of Pediatrics. Measles. In: PickeringLK, ed. Red book: 2006 report of the
Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2006. p. 441-52.
12. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. Measles vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:389-440.
13. CDC.Recommended childhood and adolescentimmunization schedule—United States, 2006.
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
14. AtkinsonWL, PickeringLK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the
American Academyof FamilyPhysicians (AAFP). MMWRRecommRep.2002;51(RR02):1-36.
Pen gantar
Rubela
Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang ringan,
yang disebabkan oleh virus rubela yang termasuk ke dalam famili togavirus.
Penyebaran penyakit ini melalui udara dan droplet. Gejala klinis yang
mencolok adalah timbulnya ruam makulo-papular yang bersifat sementara
(kira-kira 3 hari), pembengkakan kelenjar post-auricular/dan sub-occipital.
Kadang-kadang disertai arthritis dan arthralgia. Walaupun jarang, dapat
terjadi komplikasi lain pada sistem syaraf dan trombositopenia. Apabila
rubela menjangkiti ibu hamil, maka dapat terjadi sindrom rubela
kongenital pada bayi yang dikandungnya.
Vaksi n
Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan vaksin
kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan
rubella), dosis 0.5 ml. Vaksin MMR merupakan vaksin kering yang
mengandung virus hidup, harus disimpan pada temperatur 2-8oC atau
lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan dalam
waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan
terlindung dari cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil
dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur
22-25oC, akan kehilangan potensi 50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37oC
vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
Dosis
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara
intra-muskular atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan
sero-konversi terhadap ketiga virus ini > 90% kasus. Diberikan pada umur
12-18 bulan.
Rekomendasi
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan dan rubella atau imunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi
yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah mendapat imunitas terhadap
salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.
Pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini,
imunisasi MMR dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain
pemberian vaksin MMR adalah
• Anakdenganpenyakitkronis sepertikistikfibrosis, kelainanjantung
bawaan,kelainanginjalbawaan, gagaltumbuh,sindrom Down.
Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day care
dan playgroups.
Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak
ditemukan kontra indikasi lainnya.
Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang harus
diberikan MMR dan kepada orang tua diberikan pengertian bahwa dapat
timbul demam 5-12 hari setelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi
demam dengan pemberian parasetamol.
Reaksi KIPI
Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2
tahun, dilaporkan setelah vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam
atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi yang
berlangsung selama 2-3 hari.
Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang
demampada 0,1% anak ensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000 dan
pembengkakan kelenjar parotis pada 1% anak berusia sampai 4 tahun,
biasanyaterjadipadaminggu ketiga dankadang-kadang lebih lama.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi
kira-kira 1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka
kejadian ini lebih kecil dibandingkan apabila menggunakan jalur
virus gondongan Jeryl Lyn.
Indikasi Kontra
Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau
gangguan imunitas, mereka yang mendapat pengobatan dengan
imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi
(ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon).
Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan,
sulit bernapas,hipotensi dan syok)terhadap gelatinatau neomisin.
Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda
sampai penyakit ini sembuh.
Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin
virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR
ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu
dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian
vaksin.
Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus
ditunda selama 2 bulan, seperti pada vaksin rubela.
Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood).
Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV).
Sebenarnya HIV bukan indikasi kontra, tetapi pada kasus tertentu,
dianjurkan untuk meminta petunjuk pada spesialis anak konsultan.
Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh
mendapat vaksin rubela, kalau boleh sampai 3 bulan setelah pemberian
imunoglobulinatauprodukdarahyangmengandung
Penggunaan Imunoglobulin
Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi,
kontak dengan pasien campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin
MMR sesegera mungkin (dalam waktu 72 jam). Alasannya ialah masa
inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih singkat dari masa inkubasi virus
campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak dengan imunokompromis,
vaksin MMR adalah kontra indikasi, imunoglobulin (human) dapat
diberikansegeramungkinsetelah paparan.
Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk
membuat sesuatu keputusan penggunaan imunoglobulin, oleh karena
imunisasi sebelumnya atau kadar serum antibodi yang rendah tidak
memberi jaminan imunitas terhadap campak pada individu
imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap campak juga akan
memperlambat pemberian imunoglobulin, akan tetapi pemeriksaan ini
mungkin mempunyai nilai untuk menegakkan diagnosa definitif
campak.
Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung
dengan pasien campak, mempunyai resiko yang tinggi untuk
berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada mereka harus segera
diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu 7 hari paparan,
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya campak. Kemudian vaksin
MMR harus diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, akan
tetapi dengan interval 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin.
Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak sehat
dan 0,5 ml/kgbb pada individu imunokompromis (dosis
maksimal 15 ml). Pada wanita hamil non imun yang terpapar dengan
campak dapat diberikan NIGH 0.2 ml/kgbb.
Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan setelah
terpapar dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika paparan tadi tidak
menimbulkan infeksi, vaksin akan memberikan perlindungan terhadap
infeksi berikutnya. Imunoglobulin tidak terlihat mempunyai nilai sebagai
profilaksis setelah terpapar dengan penyakit ini. Dari satu hasil
penelitian di Alaska menunjukkan bahwa, pemberian immunoglobulin
terhadap orang yang rentan tidak menunjukkan penurunan kejadian
mumps dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi. Antibodi maternal
yang ditransfer melewati plasenta dapat melindungi bayi selama 1
tahun kehidupan.
Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan terhadap
infeksi virus rubela dan pemakaian yang luas vaksin ini menyebabkan
sindrom rubela kongenital di Australia tidak ditemukan lagi. Pemakaian
imunoglobulin setelah terpapar dengan pasien rubela tidak memberikan
perlindungan, sehingga pemberian imunoglobulin nilainya kecil untuk
mencegahrubela pada wanita hamil.
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report of the Committee on
Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p.
441-68.
Meningitis
bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi dan
anak berumur kurang dari 5 tahun. Laporan dari negara-negara Asia
cenderung menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab meningitis
terbanyak bersama pneumokokus dan meningokokus, tetapi insidens
meningitis rendah.
Pneumonia
Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit
dibuktikan karena metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh lebih sulit.
Penelitian membuktikan bahwa pneumonia disebabkan oleh virus pada
25%-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya ditemukan pada kasus yang
berat. Bila kedua penyebab ditemukan, kemungkinan pneumonia pada
awalnya disebabkan oleh virus, kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian
umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkan
vaksin, H. influenzae tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang
penting. Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden
yang pasti tidak diketahui, diduga H.influenzae tipe b bertanggung jawab
terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Di negara yang telah berkembang,
imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae tipe b invasif sampai
lebih dari 95%, termasuk pneumonia.
Epidemiologi
Vaksin Hib
Daftar Pustaka
1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study on bacterial
meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S176-8
5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68.
6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program Network,
Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and Human Services;
2005.
7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in Africa:
implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75.
8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering LK, ed.
Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.
Epidemiologi
Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang terinfeksi dan
dikeluarkan melalui tinja dan urin. Masa inkubasi 3- 60 hari, terbanyak
7-14 hari. Insidens tertinggi demam tifoid pada anak terutama di daerah
endemis. Demam tifoid sering dijumpai di banyak negara berkembang
terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan
dan Bangladesh.
Patogenesis
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan setelah
berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus,
terutama pleksus Peyer dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah terjadi
proses peradangan dan nekrosis setempat, kuman melewati pembuluh
limfe masuk ke aliran darah (bakteremia primer) menuju organ dalam sistem
retikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman
difagosit oleh
Gejala klinis
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibagi dua:
1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi usus
dan peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia,
ensefalopati, kolesistitis, meningitis, miokarditis dan kronik karier.
lgA. Secara umum efektifitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral
yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai
reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama
Ty-21a.
+ Penyimpanan pada suhu 20C–80C
+ Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau
lebih.
+ Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3 dan 5, 1 jam
sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37oC. Kapsul
ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi turis.
+ Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman
dapat mati oleh asam lambung.
+ Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid,
atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
+ Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon
mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu
setelah pemberian terakhir dari vaksin tifus ini.
+ Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu
yang terus terekspose dengan infeksi Salmonella sebaiknya di
berikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun.
+ Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, maka yang sudah
divaksinasipun dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan
dan minuman.
2. Vaksin polisakarida parenteral
+ Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella
typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang
mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat
dan pelarut untuk suntikan.
+ Penyimpanan pada suhu 20C-80C, jangan dibekukan. +
Kadaluwarsa dalam 3 tahun.
+ Pemberian secarasuntikanintramuskular atausubkutan padadaerah
deltoid atau paha.
Daftar Pustaka
5. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health. Health
Information for International Travel, 2005-2006.
6. Crump JA,LubySP, MintzED. Theglobalburden of typhoid fever. BullWorld HealthOrgan.
2004;82(5):346-53.
7. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al. Typhoid fever
in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis. 2004;39:186-91.
8. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison of two
combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults. Vaccine.
2004;23:29-35.
Epidemiologi
Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan
oleh virus varisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus
sedangkan herpes zoster merupakan reaktivasi fase laten. Angka kematian
meningkat pada individu imunokompromais 7%-10% dibandingkan
dengan anak sehat 0,1%-0,4%.
Patogenesis
Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular selama
masa prodromal yang singkat dan pada fase awal erupsi. Masa inkubasi 14
sampai 16 hari. Apabila lesi telah berubah menjadi krusta, pasien tidak
menularkan penyakit.
Gejala Klinis
Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak begitu
tinggi dan lemah badan, diikuti dengan timbulnya lesi kulit
24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam bentuk erupsi makula
yang dapat disertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini hanya timbul dalam
beberapa jam, terasa gatal, vesikel berisi cairan jernih, dan menimbul dari
dasar; pada saat ini pada umumnya diagnosis mudah ditegakkan.
Perubahan lesi makula ke papul menjadi vesikel kemudian krusta,
berlangsung dalam kurun waktu 6 sampai 8 jam. Lesi kemudian berubah
menjadi krusta. Fase akut berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak
biasanya bersifat ringan dan berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa
sifatnya lebih berat dan dapat menyakibatkan penyakit yang serius serta
fatal, terutama apabila menyerang pasien defisiensi imun, anak yang
sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atau terapi kemostatik, tanpa
bergantung kepada golongan umur. Pada umur 12 tahun, sekitar 75% anak
telahterserang varisela. Limapersendiantaranyabersifat sub-klinis.
Herpes Zoster
Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa perinatal
akibat varisela dari ibu hamil. Sindrom varisela kongenital
dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada masa tengah
kehamilan dan dapat berakibat malformasi kongenital, parut kulit dan
anomali lain. Data terakhir dari Eropa mengindikasikan risiko yang tinggi
bila infeksi maternal muncul
Komplikasi
Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat mengakibatkan
terjadinya erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut. Infeksi stafilokokus dapat
terjadi pada vesikel dan menyebabkan pioderma atau impetigo bulosa.
Meski jarang, dapat terjadi komplikasi berat, seperti serebelitis,
meningitis aseptik, mielitis transversa, trombositopenia dan pneumonia.
Pada kasus lebih jarang lagi bahkan dapat menyerang organ dalam dan
sendi. Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi baru lahir serta
pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin atau
salisilat tidak boleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh karena
ditakutkan terjadinya sindrom Reye.
Vaksi n
Cara pemberian
Indikasi kontra
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung
limfosit kurang dari 1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti
selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi, pasien
yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari
atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien yang alergi pada
neomisin.
Daftar Pustaka
1. GershonAA, Takahashi M,White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein,penyunting.
Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507.
2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al. Varicella disease after
introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-2000. JAMA. 2002;287:606-11.
3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd 354
4/9/07 10:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.
4. CDC. Decline in annual incidence of varicella – Selected States, 1990-2001. MMWR Morbid
Mortal Wkly Rep. 2003;52:884-5.
5. Centers for Disease-Control. Prevention of varicella. Update. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
1999;48:1-6.
6. ACIP Provisional Recommendations for Prevention of Varicella (http://www.cdc.
gov/nip/vaccine/varicella/varicella acip recs prov june 2006.pdf).
7. Kuter B, Matthews H, Shinefi eld H, Black S, Dennehy P, Watson B, et al. Ten year follow-up of
healthy children who received one or two injections of varicella vaccine. Pediatr Infect Dis J.
2004;23:132-7.
0. Shinefield H, BlackS, Digilio L, Reisinger K, Blatter M, Gress JO, et al. Evaluation of a
quadrivalent measles, mumps, rubella and varicella vaccine in healthy children. Pediatr Infect
Dis J. 2005;24:665-9.
8. Seward JF. Update on varicella. Pediatr Infect Dis J. 2001;20:619-21.
9. ACIP Provisional recommendations for the use of zoster vaccine (http://www.cdc.
gov/nip/recs/provisional_recs/zoster-11-20-06. pdf).
10. CDC. A new product (VariZIG) for postexposure prophylaxis of varicella available under an
Investigational New Drug application expanded access protocol. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2006; 55(MM8):209-210
Epidemiologi
Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10 tahun, di
daerah prevalens sedang, infeksi terjadi pada usia remaja dan dewasa muda,
sedangkan di area prevalens rendah, infeksi terjadi pada dewasa dan
usia lanjut.
Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia < 9
tahun 39,6%, usia 10 - 19 tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50 tahun. Di
Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di rural Sulawesi 47,5%. Penelitian
lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial ekonomi tinggi di Jakarta
menunjukkanbahwa prevalensanti HAV
hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan perlu
imunisasi VHA.
Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia > 2
tahun antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan
sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap
makanan dan minuman yang tercemar.
Pasien PHK, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA. Kejadian
hepatitis fulminan pada pengidap VHB dan VHC 55% dan 33%.
Manifestasi klinis
Pencegahan
Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan dengan
pola hidup bersih/sehat dan imunisasi pasif maupun aktif.
Imunisasi pasif
≤2 <2 Ig
≥2 Ig dan vaksin
>2 <2 Ig
≥2 Vaksin
Keterangan: Ig=imunoglobulin
Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non endemis
Imunisasi aktif
Vaksin
Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine).
Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien.
Vaksindiberikan2kali,suntikankeduaatau booster bervariasiantara
6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk.
Vaksin diberikan pada usia ≥2 tahun.
Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas baik.
Efek Samping
Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal
merupakan efek samping tersering (21 %–54%) tetapi umumnya ringan.
Demam dialami 4% resipien.
Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat terhadap
infeksi masa lampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan pada individu
dengan gangguan imunologis termasuk PHK.
Lama proteksi
VaksinVHAtidakbolehdiberikankepadaindividuyangmengalamireaksi berat
sesudah penyuntikan dosis pertama.
Daftar Pustaka
1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta, Yayasan Penerbitan
Ikatan Dokter Indonesia, 2000.
0. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.
1. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan komprehensif
hepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.
2. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg M. The cost of
hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997. Hepatol 2000; 31: 469- 73.
Bahasa Latin untuk rabies adalah lyssa sedangkan rabies sendiri dari
bahasa Sangsekerta rabbas yang berarti kekerasan (to do violence).
Rabies merupakan subjek yang menarik perhatian karena menyebabkan
ketakutan dan siksaan berat sejak ditemukan dahulu kala sebelum Masehi
sampai sekarang setelah 125 tahun setelah Louis Pasteur berhasil
mencegah penyakit ini pada seorang anak laki-laki usia 9 tahun yang
bernama Joseph Meister penyakit masih tetap terabaikan. Rabies pada
manusia adalah infeksi virus pada susunan saraf pusat biasanya
ditularkan melalui luka yang terkontaminasi ludah binatang yang
terinfeksi virus rabies. Penyakit ini umumnya bersifat fatal tapi dapat
dicegah (preventable fatal disease) dengan profilaksis pasca paparan
(postexposure prophylaxis).
Epidemiologi
Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar maupun
domestik dan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada daerah ini.
Diperkirakan terdapat 50.000 kematian tiap tahun pada manusia oleh
karena rabies, dan sekitar 10 juta orang menerima vaksinasi pasca paparan.
Anak umur 5–15 tahun berada dalam risiko terhadap penyakit ini.
Sekitar 99% kematian terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, India
melaporkansekitar 30.000 kematian tiap tahunnya.
Sampai tahun 2007 di Indonesia hanya beberapa daerah yang
masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI, Banten, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan Rabies) . Pada tahun
2008 didapatkan kasus rabies di Bali yang sampai sekarang 2011 masih
terdapat kasus baru. Pada Tabel 6.4 tertera 6 provinsi tertinggi kasus
gigitan hewan tersangka rabies.
Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun 2008
s/d 2010
No Propinsi 2008 2009 2010
GHPR Rabies GHPR Rabies GHPR Rabies
1 Sumatera Utara 2660 7 2386 18 3714 35
2 Sumatera Barat 2374 7 2818 14 858 5
3 NTT 3414 25 3882 33 3023 20
4 Sulawesi Utara 1917 14 1859 12 1412 10
5 Maluku 844 3 1288 35 778 21
6 Sulawesi Barat 101 1 325 0 97 5
7 Maluku Utara 187 7 276 8 50 1
8 Bali 355 4 21806 28 6046 82
Seluruh Indonesia 21240 122 45466 195 7589 198
GHPR : Gigitan Hewan Pembawa Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). * Data Tahun
2008-2010
Etiologi
Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini berbentuk
peluru dengan panjang130-380nmdandiameter70-85 nm.
Patogenesis
Secara umum apabila virus memasuki luka, virus akan segera memasuki
sel otot didekatnya dan berkembang biak dalam sel otot dan segera
melekat di reseptor nikotinik asetilkholin pada neuromuscular junction.
Pada saat virus memasuki saraf, pertahanan tubuh tidak bisa lagi
melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam akson menuju susunan saraf
pusat dengan kecepatan bervariasi antara 12-24 mm perhari, untuk
sampai keganglionspinalis. Saatinigejala-gejalalokalpadatempatgigitanakan
djumpai berupa parastesi. Setelah dari ganglion spinalis kecepatan viru ini
mejadi 200-400 mm perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan
medula spinalis, hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini
olh karena terjadi kerusakan pada batang otak. Hidrophobi ini tidak ditemui
pada penyakit lain oleh karena hanya rabies yang mengenai batang otak
dengan kortekserebri intact sehingga tetap sadar.
Gambaran klinis
Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun dengan
mayoritas kasus antara 20-60 hari, masa inkubasi pendek bila gigitan di
daerah kepala bila dibandingkan ekstremitas. Masa inkubasi lebih pendek
pada anak karena jarak ke SSP lebih pendek jika dibandingkan dengan orang
dewasa. Pada masa inkubasi ini tidak ditemui gejala. Gejala dimulai pada
masa prodromal berupa malaise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan
demam. Nyeri dan parestesi di tempat gigitan atau eksposur ditemui
50%-80% kasus. Rasa takut, agitasi, iritabel, nervous, sukar tidur, dan depresi
menonjol pada masa ini. Masa prodromal ini berlangsung 2-10 hari.
Untuk orang yang terkontak dengan pasien rabies baik oleh karena
gigitan, air liur pasien pada selaput mukosa atau kulit yang tidak
utuh diharuskan mendapat vaksinasi pasca paparan (lihat
pencegahan).
Pengobatan (pencegahan)
Kasus gigitan
Anjing, kucing, kera
Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah
Segera beri Segera diberi Segera beri VAR Tidak diberi VAR
VAR & SAR VAR dan SAR Tunggu hasil obsv
VAR Stop
Spesimen otak hewan
Lanjutkan VAR
Diperiksa di Lab
Vaksin rabies
Vaksin rabies dahulu berasal dari jaringan saraf (nervus tissue vaksin)
yang mungkin masih ada pada beberapa negara tapi di Indonesia sudah
tidak dipakai lagi karena efek samping yang serius, dapat berupa
meningoensefalitis, meningoensefalomielitis, transverse mielitis dan
paralisis tipe Landry. Saat ini vaksin dari jaringan diploid manusia berupa
human diploid cell Vaccine (HDCV) misalnya imovax rabies vaccine dari
Aventis Pasteur dengan reaksi minimal. Di Eropa dan negara yang sedang
berkembang melisensikan vaksin dari kultur sel monyet vero disebut
purified vero cel vaccine (PVRV) dengan nama dagang Verorab dengan
hasil penggunaan vaksin vero dan HDCV setara. Di Indonesia saat ini
yang ada adalah Verorab.
Pemberian vaksin secara standar WHO intra muskular satu dosis 1 ml
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 245
Iskandar Syarif
atau 0,5 ml tergantung vaksin yang tersedia pada hari 0, hari ke-3,
hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28. Juga dapat diberikan reduksi
jumlah suntikan dengan 2 dosis pada hari 0, 1 dosis hari ke-7 dan satu
dosis hari ke-21 (regimen Zagreb yang dipakai di Indonesia), dapat
mengurangi kebutuhan satu vaksin dan waktu kunjungan lebih singkat.
Suntikan di regio deltoideus pada dewasa, paha lateral pada anak, dan
jangan di daerah gluteus yang akan menyebabkan serokonversi yang
rendah.
WHO berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat biaya
yang cukup tinggi dengan standar regimen secara im dapat diberikan
secara intradermal.
Untuk pemberian intra dermal diperlukan tenaga yang terlatih
pemberian intradermal dan tidak diberikan pada kasus yang
mendapat obat antimalaria kloroquin karena dapat menurunkan
pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan im 0,5
dan 0,2 bila sediaan im 1 ml.
Pemberian intra dermal dapat berupa two-site intradermal regimen
(2-2-2-0-1-1) yaitu 2 suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1
suntikan hari ke-28 dan ke-90 (Thailand red cross) bisa juga
disederhanakan dengan 2-2-2-0-2 tanpa hari ke 90. (WHO
regimen 1998).
Pemberian multi site intradermal regimen (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID
pada hari 2, 4 suntikan hari ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28
dan 90. Delapan suntikan ini masing -masing 2 regio deltoideus, 2
supra skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha lateral quadran bawah.
Empat suntikan hari ke-7 pada regio deltoideus dan paha kiri kanan.
Vaksin yang sudah dilarutkan dan tetap dalam suhu 2-8 derajat C, harus
dipakai dalam 6 jam berikutnya. Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand
(1995), Srilangka (1995), dan Filipina (1997), negara-negara maju hanya
mengadopsi suntikan im dengan dosis standar, kecuali untuk
pre-exposure prophylaxis. Pemberian secara intradermal tidak diberikan
pada orang-orang dengan penurunan daya tahan tubuh seperti
pemberian kortikosteroid dan anti malaria kloroquin.
Pemberian vaksinasi sebelum terpapar ini biasanya diberikan pada
orang yang berisiko tinggi terhadap rabies seperti dokter hewan,
petugas karantina hewan, pemburu, penangkap anjing, tenaga lab yang
berhubungan dengan virus rabies sedangkan pelancong ke daerah endemis
masih kontroversi. Dosis sama dengan vaksinasi pasca terpapar pada hari 0,
ke-7, ke-21 atau ke-28 baik im maupun ID. Booster dapat diberikan 1 kali
setelah 1 tahun, umumnya dapat diulang setelah 1 sampai 5 tahun. Orang ini
harus dicek titer antibodinya setiap 6 bulan bila berhubungan dengan virus
aerosol, dan yang lainnya setiap 2 tahun.
Studi di Vietnam memberikan imunogenisitas dan aman pemberian
vaksinasi pada anak secara im pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada
umur 2, 3, dan 4 bulan. WHO masih mempelajari pemberian vaksinasi awal
pada anak yang hidup di daerah dengan rabies merupakan problem
utama.
Daftar Pustaka
1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8.
2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson Text Book
of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4.
3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer
4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004.
0. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasusGigitan Hewan
tersangka Rabies.
5. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases. Lancet. 2004;363:959- 69.
6. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics for treatment and
prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59.
7. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et al. Re-evaluating
the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health Organ. 2005;83:360-8.
8. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for travel medicine
advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100.
9. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe fur Reisemedizin.
Travel vaccination recommendations for Central and Eastern European countries based on
country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr. 2005;117 Suppl4:11-9.
10.Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs Times.
2006;102:34-6.
11.Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et al. Management
of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3.
12.CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the Advisory
Committee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
1999;48(RR-1):1-21.
13.World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech Rep Ser.
2005;931:1-88.
14. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W, Chiraguna N,
et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposure regimen by eliminating
the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6.
15.Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of infection
prevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22.
16.Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J Med.
2004;351:2626-35.
17.Widianingsih C. Respon imun pasca vaksinasi anti rabies intra dermal dibandingkan
dengan vaksinasi anti rabies intra muskuler pada gigitan hewan penular rabies.
(Desertasi) FKM-UI Jakarta 2007.
Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh virus
influenza A dan virus influenza B. Penyakit ini sangat menular, yang dapat
mengakibatkan komplikasi serius. Namun demikian, seringkali
masyarakat dan dokter, memakai istilah “influenza” atau “flu” untuk
setiap penyakit infeksi saluran naf as dengan gejala demam, rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, apapun virus
penyebabnya, dikenal sebagai influenza like illness (ILI). Gejala tersebut
tidak spesifik, dan di masa lalu mungkin tidak penting untuk mendeteksi
virus penyebabnya, karena pengobatannya simtomatis. Pada saat ini
dengan adanya obat dan vaksin untuk pencegahan beberapa jenis virus,
perlu dipastikan virus penyebab penyakit tersebut.
Virologi
Antigenic shift
Antigenic drift
Epidemiologi
Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets) kontak
langsung dari seseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1- 2 hari sebelum
gejala timbul sampai 4-5 hari sesudahnya. Tak ada
Manifestasi Klinik
Secara umum flu merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang bisa
sembuh spontan. Virus influenza biasanya tidak menyebar kemana-mana
karena cenderung diam di epitel saluran nafas dan paru paru. Oleh karena
itu sangat jarang virus masuk ke sirkulasi darah atau organ lain. Masa
inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi antara I - 4 hari. Gejala klinis bisa
ringan atau berat tergantung virulensi virus. Gejala ditandai dengan demam
tinggi mendadak (38 – 400C), merupakan gejala utama, dapat disertai nyeri
kepala, nyeri otot (mialgia), lemas, nafsu makan hilang, lelah, muntah dan
diare. Gejala saluran pernafasan seperti pilek, hidung tersumbat, dan nyeri
menelan. Batuk yang mula mula kering berubah menjadi produktif dengan
sputum yang tidak banyak, dan bening kental (mukoid), namun bisa purulen.
Batuk terjadi sebagai akibat destruksi epitel trakea. Gejala demam dan
saluran nafas tersebut bisa berlangsung lima hari, namun bisa berlangsung
7 – 10 hari. Sedangkan rasa lemah dan batuk bisa menetap sampai 1 – 2
minggu kemudian. Perjalanan penyakit dapat lebih berat dan dapat
berisiko menyebabkan kematian pada lansia, pasien penyakit paru atau
jantung kronis.
Vaksinasi influenza
Vaksin influenza
Saat ini di Indonesia telah beredar 2 macam vaksin influenza yaitu Fluarix
(GSK) dan Vaxigrip (Aventis Pasteur ).
Indikasi Kontra
Antivirus
Antivirus untuk influenza harus diberikan dalam waktu 24-48 jam sejak
mulai sakit. Obat diberikan secara oral kecuali zanamivir secara inhalasi. Efek
samping berupa keluhan susunan saraf pusat seperti gelisah sulit konsentrasi,
sulit tidur, pusing, nyeri kepala dan jitteriness dan gangguan perut. Amantadin
dan mungkin rimantadin meningkatkan risiko terjadinya kejang pada anak
dengan riwayat pernah kejang.
Daftar Pustaka
Epidemiologi
Pneumokokus merupakan bagian dari flora normal saluran nafas atas pada
anak sehat, dan disebarkan dari manusia-ke-manusia melalui percikan
ludah.
o Dilaporkan bahwa laju pembawa kuman di nasofaring dewasa berkisar
antara 5%–30%, pada anak sehat 20%–50% dan 25%–75% bayi membawa
kuman pneumokokus setiap saat. Kolonisasi tertinggi didapatkan pada
bayi usia muda, laki-laki, anak yang tinggal di Panti dan anak yang
dititipkan di Tempat Penitipan Anak.
o Faktor risiko lain untuk kolonisasi
o bayi yang tidak dapat ASI,
o infeksi virus pada saluran nafas atas,
o perokok pasif,
o saudara yang dititipkan di tempat penitipan anak,
o negara 4 musim pada musim dingin.
o Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan bakteri di lingkungan
keluarga dan rumah tangga yaitu kepadatan hunian, cuaca, dan adanya
pasieninfeksisaluran pernafasanbagianatas,pnemonia, atau otitis.
o Risiko tinggi pada kelainan anatomi dan fungsi adalah: asplenia, defisiensi
imunoglobulin, sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS, gagal ginjal
kronik, transplantasi organ, dan keganasan
Vaksi n
Jenis vaksin
Vaksin PPV tidak dapat merangsang respon imunologik pada anak usia
muda dan bayi sehingga tidak mampu menghasilkan respon booster. Untuk
meningkatkan imunogenositas pada bayi, dikembangkan vaksin
pneumokokus konjugasi.
Efikasi PPV23 kebanyakan pada orang dewasa ≥18 tahun, terutama lansia di
atas 60 tahun atau anak ≥2 tahun dengan faktor risiko. Penelitian
case-control pada anak ≥2 tahun dengan risiko dan lansia ≥ 65 tahun di
Amerikamendapatkanefikasisebesar 81% (34%–94%)pasca vaksinasi.
Rekomendasi
Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal 15 Juni
2006
Reaksi KIPI
Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek samping
yang serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis pertama.
o Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri di bekas
tempat suntikan.
o Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah, pusing, tidur
tidak tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare, urtikaria. Demam
ringan sering timbul, namun demam tinggi di atas 39oC jarang dijumpai
dilaporkan setelah pemberian dosis ketiga.
o Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat jarang
ditemukan.
o Pernah jugadilaporkankejadian beratberupanefrotiksindrom,
limfadenopati, dan hiper- imunoglobulinemia.
o Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua, namun
berlangsung tidak lama, akan menghilang dalam 3 hari.
Daftar Pustaka
Epidemiologi
Patogenesis
Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare yang
terjadi merupakan resultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta
imatur dan defek transport akibat efek toksik protein virus (NSP4).
Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus telah mengalami
regenerasi.
Pengobatan
Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi rehidrasi
dan pemberian makanan sesegera mungkin dan ASI tetap diberikan
selama sakit.
Vaksi n
Daftar Pustaka
1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass Rl.
Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus in Indonesia.
Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen PPM & PL Departemen
Kesehatan, Jakarta Oktober 2004.
4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, De Vos B.
Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus vaccine in adults,
toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42.
5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar on Vaccinology
Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.
Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta
sertifikat vaksinasi kolera. Oleh karena vaksin yang beredar saat ini efikasinya
rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efek sampingnya, maka manfaat
vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman lambung merupakan daya
tangkal yang terpenting terhadap infeksi kolera. Oleh karena itu, vaksinasi
kolera dianjurkan pada turis yang mempunyai riwayat reseksi lambung,
aklorhidria, ulkus peptikum yang mendapat terapi inhibitor reseptor H2
(misalnya simetidine) dan proton pump inhibitor (misalnya omeprazol). Secara
epidemiologis daerah-daerah yang tercatat ditemukannya kolera ialah Asia,
Afrika,Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.
Vaksin Kolera
Rekomendasi
Indikasi Kontra
Pengelolaan Wabah
Daftar Pustaka
1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.
Penyakit yellow fever atau demam kuning disebabkan oleh virus yellow
fever yang termasuk famili flavivirus. Nama yellow diberikan karena
penyakit ini menyebabkan ikterus. Penyakit ini dapat ringan seperti
serangan flu dan dapat seberat hepatitis atau demam berdarah. Masa
inkubasi 2-5 hari. Pada infeksi yang khas, gejala awal berupa nyeri kepala,
nyeri perut, dan muntah. Kemudian diikuti dengan hepatitis virus berat
dengan gagal hati dan ginjal. Bila turis terserang, angka kematiannya cukup
tinggi sekitar 50 persen.
Vaksinasi terhadap yellow fever unik karena merupakan satusatunya
vaksinasi wajib yang disyaratkan oleh beberapa negara tujuan wisata.
Sangat dianjurkan bagi mereka yang mengunjungi Afrika dan Amerika
Selatan. Sejak Juli 1996, 18 negara meminta
Yellow International Certificate Vaccination bagi turis yang memasuki
negara mereka. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina Faso,
Kamerun, Republik Afrika Tengah, Kongo, Cote d’lvoire, Gabon, Ghana,Liberia,
Mail, Mauritania, Nigeria, Ruanda, Sao Tome, Senegal, Togo, Zaire di Afrika dan
French Guyana di Amerika Selatan.
Epidemiologi
Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk yang
ada diperkotaan (urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk tersebut baik
klinis maupun etiologis tidak berbeda. Yellow fever yang ditemukan di
pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang ditularkan dari orang ke
orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerahdaerah yang telah dilakukan
pemberantasan Aedes aegypti, maka yellow fever bentuk perkotaan dapat
menghilang.Bentukyangditemukandi
hutan
(jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara kera oleh
berbagai macam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia dapat
menyebabkan infeksi. Bila orang tersebut kemudian digigit oleh nyamuk Aedes
aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran yellow fever bentuk perkotaan.
Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di Afrika Selatan pada tahun
terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi di beberapa daerah di Afrika Barat
dan Timur, ditemukan baik di kota maupun di pedesaan. Tindakan
pencegahan terhadap yellow fever meliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti,
perlindungan terhadap gigitan nyamuk, dan vaksinasi. Yellow fever yang
ditemukandihutan hanyadapat dicegah dengan cara vaksinasi.
Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50 units.
Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan berisi tidak
lebih dari 2 IU neomisin dan 5 IU polimiksin; dikemas dalam vial untuk
5 dosis.
Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml berlaku untuk
semua umur dan dapat memberi proteksi sampai 10 tahun.
Vaksindiberikan dalam dosis tunggaldan perludiulang tiap10tahun.
Tidak bolehdiberikanpadaanak kurangdari1 tahun,ibuhamil,
imunokompromais, dan alergi telur.
Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki negara tersebut
dan berjarak sekurangnya 3 minggu dari vaksinasi kolera. Vaksinasi
hepatitis B dan campak dapat diberikan berturutan dengan
vaksinasi yellow fever.
Vaksinharusdilindungidari sinardandisimpan dalamkeadaanbeku di
bawah -5°C.
Setelahdiencerkan dengan cairan sodiumklorid,harusdisimpanpada
suhu 0°C dan dipakai dalam waktu 1 jam.
Rekomendasi
Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan
atau bertempat tinggal di daerah yellow fever (saat ini di beberapa
daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan) harus divaksinasi. Secara
rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat diperoleh dari petugas
kesehatan pusat vaksinasi negara yang bersangkutan.
Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan
perjalanan ke daerah di luar perkotaan yellow fever endemis. Perlu
waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yang belum sempat
dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum
divaksinasi.
Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus
dipertimbangkan untuk vaksinasi bila melakukan perjalanan ke daerah
risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat ditunda, dan pencegahan
terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan.
Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus yellow
fever juga harus divaksinasi.
Indikasi kontra
Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis lebih
rentan terhadap kejadian ikutan ensefalitis dibandingkan dengan anak
yang lebih besar.
Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko infeksi
yellow fever sangat besar. Walaupun belum ada informasi khusus
tentang kejadian ikutan terhadap perkembangan fetus, namun secara
teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda
Daftar Pustaka
1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15.
3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign travel Dalam:
Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC,
2008.
4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia:
WB Saunders; 1999. p. 815-80.
5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics. Clin Infect
Dis. 2002;34:1369-78.
6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—United States,
2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.
7. Marfi
n AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, eds.
Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier;
2006. p. 797-812.
8. Adhiyaman V,OkeA, CefaiC,Adhiyaman V, OkeA, CefaiC.Effects ofyellow fevervaccination.
Lancet. 2001;358:1907-8.
9. ChanRC,PenneyDJ, LittleD,Carter IW,RobertsJA,Rawlinson WD.Hepatitis and death following
vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2.
0. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk of fatal adverse events
associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol Infect. 2004;132:939-46.
Japanese ensefalitis (JE) adalah penyakit radang akut susunan syaraf pusat
yang disebabkan infeksi virus Japanese ensefalitis. JE adalah penyebab
utama penyakit ensefalitis yang disebabkan oleh virus di Asia. Japanese
ensefalitis ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Culex,
Anopheles dan Mansonia.
Epidemiologi
Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000 –
15.000 kematian terjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari mereka
adalah anak. Di daerah endemik, setiap tahunnya kejadian klinis yang
dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000 penduduk. Mayoritas orang
yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi oleh virus tersebut
sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama dicatat pada akhir abad ke
- 19, JE telah menyebar jauh dari daerah asalnya bahkan mencapai Australia
pada tahun 2000. Japanese ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan
Korea; 2) sub-benua India; 3) Negara Asia Tenggara seperti Kamboja,
Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan Vietnam. Di
Indonesia kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun
1968, Jakarta tahunApril1981 sampai Maret 1982,dan di Balitahun 1999.
Patogenesis
Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini
disebabkan oleh virus yang termasuk genus Flavivirus.
Manifestasi klinis
Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak dii dan
menimbulkan viemia sebelum menyebar ke sistem syaraf pusat, termasuk
otak dan sumsum tulang belakang. Gejala awal adalah flu disertai demam,
menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual, muntah dan penurunan kesadaran.
Perasaanbingung dangelisah, bahkan kejang serta koma dapat terjadi.
80%
ana
k
Am
erik
a dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang rangsang terjadi pada
15% pasien.
Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan pill
rolling, opsoklonus mioklonus, koreoatetosis, bizarre facial grimacing
dan lip smacking. Kelemahan saraf facial upper motor neuron (UMN)
terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas. Perubahan pola
pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic merupakan tanda
prognosis yang jelek.
Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihatkan
gejala lumpuh layu mendadak. Kelemahan lebih sering terjadi pada tungkai
dibanding lengan dan biasanya asimetris. Tiga puluh persen pasien menjadi
ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahun kemudian terdapat kelemahan
yang menetap.
Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak yang
berakibat fatal pada 30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan menyebabkan
kerusakan otak yang serius termasuk kelumpuhan dan retardasi mental.
Walaupun perawatan yang mendukung untuk ensefalitis dapat menurunkan
tingkat kematian, akan tetapi tidak ada obat yang dapat
menyembuhkan JE.
Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan mengalami
sekuele pada saraf dan kejiwaan termasuk kerusakan otak dan lumpuh.
Kebanyakan kematian dan gejala sisa pada saraf dan kejiwaan terjadi pada
anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi yang terjadi pada trimester pertama
dan kedua dari kehamilan dapat menyebabkan infeksi dalam rahim yang
berakibat pada keguguran. Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit
meninggal dan 1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi
lengan atas dan hiperekstensi tungkai dengan equine feet. Dua puluh persen
kasus mengalami gangguan kognitif berat dan gangguan bahasa. Gejala lain
berupa kesukaran belajar, masalah tingkah laku dan kelainan neurologis
yang ringan.
Dapat ditemukan peningkatan neutrofil dan hiponatremi.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 288
Japanese
Ensefalitis
Peningkatan tekanan intrakranial ditemukan pada 50% pasien dan
Diagnosis
Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium. Diagnosis
laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara
serologis, biologis, identifikasi virus JE dengan PCR, pemeriksaan darah, dan
cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus JE jarang berhasil, mungkin karena
rendahnya titer virus dan produksi antibodi netralisasi.1,2 Secara serologis
dapat dilakukan pemeriksaan secara uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji
komplemen fiksasi (CFT), uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody
(NA). Uji HI dan NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga
dapat mendeteksi JE pada stadium lebih lanjut.
Pencegahan
1. Terhadap vektor
Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis, kimia,
ekologis dan genetik.
2. Terhadap reservoir
Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui adanya
virus JE atau antibodi dalam tubuh reservoir, sehingga kemungkinan
wabah dapat terdeteksi secara dini.
Untuk turis, risiko terkena JE cukup rendah. Tidak lebih dari 1 kasus
per tahun yang terdiagnosis pada turis di seluruh dunia. Pengunjung yang
bepergian ke daerah pedesaan dan berada di alam terbuka atau daerah
endemik kemungkinan terkena terutama jika terjadi epidemi. Vaksinasi bisa
dipertimbangkan jika bepergian ke daerah pedesaan dan tinggal
selama lebih dari 2 minggu.
Imunisasi adalah cara yang paling baik untuk mencegah Japanese
ensefalitis. Walaupun vaksin JE sudah ada dan telah digunakan di
beberapa negara, tetapi vaksin tersebut memiliki banyak keterbatasan.
Vaksin tersebut merupakan inactivated mouse-brain derived vaccine, dan
diperlukan satu mencit/tikus untuk memproduksi setiap dosis vaksin
sehingga vaksin tidak dapat diproduksi sesuai dengan skala yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu diperlukan 3 dosis untuk mencapai
90% efektivitas dan suntikan tambahan diberikan setiap 3 tahun.
Vaksin JE
Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia, yaitu
vaksin inactivated yang dibuat dari kultur jaringan ginjal marmut, vaksin
inactivated galur Nakayama yang dibuat dari otak mencit dan vaksin hidup
yangdilemahkan dari kulturjaringan ginjal marmut.
Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada
hari 0, 7 dan 28. Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis yang
diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama.
Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1
ml 3 tahun kemudian.
Penelit
ian
terkontrol
yang
dilakukan
di dua daerah endemik menunjukkan bahwa vaksin JE ternyata efektif
dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius bagi vaksinasi selama
masa kanak-kanak. Seri tiga dosis vaksin berhasil mencegah penyakit JE
pada 9 dari 10 orang. Sampai saat ini tidak ada data tentang keampuhan
dan keamanan vaksin JE pada anak berusia di bawah 1 tahun.
KIPI VaksinasI JE
Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif terhadap
virus, dan obat anti virus yang efektif untuk mengatasi penyakit ini
belum dikembangkan. Tetapi perawatan pasien yang baik sangat
penting, dan dipusatkan pada pengobatan terhadap gejala dan
komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan, namun hasil
penelitian double blind plasebo kontrol tidak menunjukkan keuntungan
pemberian kortikosteoid. Isoquinolon efektif untuk in vitro dan antibodi
monoklonal efektif pada hewan percobaan.
Daftar Pustaka
1. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Japanese encephalitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry
2000; 68: 405-15.
2. Potula R, Badrinath S dan Srinivasan S. Japanese encephalitis in and around Pondicherry,
South India: a clinical appraisal and prognostic indicators for the outcome.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 292
Japanese
Ensefalitis
Epidemiologi
Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan
meningokoksemia, dan atau meningitis. Penyebabnya adalah Neisseria
meningitidis, suatu bakteri diplokokus gram negatif. Bakteri yang dapat
mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkan polisakarida dari
permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam 13 serogrup. Serogrup
tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135 dan L. Tidak ada hubungan yang
pasti antara serogrup atau tipe dengan virulensi bakteri. Di Amerika,
serogrup B dan C merupakan 45% dari kasus yang dilaporkan. Di tempat
lain di dunia, yang sering mengalami epidemi maka serogrup A sering sebagai
penyebabnya. Di Australia pada tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per 100.000
populasi, sebagian besar adalah serogrup B, dengan puncaknya pada usia 0-4
tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20, epidemi serogrup A terjadi secara
siklus setiap 5-10 tahun di daerah meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan
di sebelah timur, Gambia di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah
hujan tropis bagian selatan. Di Brazil, India utara, Mongolia dan Nepal
dilaporkan banyak epidemi dalam 10 tahun terakhir ini oleh serogrup A dan
C. Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang
dilaporkan di dunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135 dilaporkan
terjadi pada musim haji di Saudi Arabia pada tahun 2000, dan pada 2002
dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-135 di Afrika
Sub-Sahara.
Manifestasi klinis
Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya kurang
dari 4 hari. Onset penyakit muncul saat meningokoksemia, ditandai dengan
demam, menggigil, sangat lemah, prostration dan ruam yang pada
awalnya dapat berupa ruam makula, ruam makulopapular, atau petekie.
Pada kasus berat, purpura, koagulasi intravaskular deseminata, syok, koma,
dan kematian (sindrom Waterhouse-Friederichsen) dapat bermanifestasi
dalam beberapa jam, kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda klinis
meningitis meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat bakteri
patogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa artritis,
miokarditis, perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia.
Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan diberikan
kepada jemaah haji yang akan berada untuk waktu yang lama di daerah yang
kecil dengan jumlah orang yang sangat banyak serta padat. Arab Saudia
masuk dalam meningitis belt tersebut di atas yang sering terjadi siklus
epidemik meningokokus.
Vaksin tetravalen
Saat ini
belum
tersedi
a
vaksinu
ntuk mencegah anak dari penyakit serogrup B, karena vaksin yang
mengandung polisakarida kapsul bakteri yang dimurnikan dari serogrup B
secara imunogenik terlalu lemah untuk merangsang pembentukan
antibodi.
Imunitasyang memberi perlindungan bertahan selama 3 tahun.
Rekomendasi
Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalam
Vaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih. Pada 90%
penerima vaksin yang berusia 2 tahun atau lebih, vaksin tetravalen ini
menghasilkan antibodi dalam waktu 10-14 hari setelah pemberian
vaksin.
Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain asalkan pada
tempat yang berbeda
Vaksindisimpanpadatemperatur2oC-8oC dan tidakbolehbeku.
Indikasi
Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak dianjurkan
Imunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau lebih yang
mempunyai risiko tinggi.
Vaksindiindikasikanuntuk mengontrol kejadian luarbiasa oleh salah
satu serogrup yang dikandung oleh vaksin.
Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong yang menuju
daerah atau negara yang dikenal sebagai daerah hiperendemik
atau epidemik penyakit meningokok.
Imunisasi ulang
Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan selama
296 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Meningo
kokus
10 tahun, tetapi pada anak khususnya yang menerima vaksin pada usia di
bawah 4 tahun kadar antibodi dengan cepat menurun dalam kurun
waktu 3 tahun pertama.
A
p
a
b
i
la terpapar dengan risiko baru atau risiko yang terus menerus oleh
infeksi subgrup C, maka imunisasi ulang perlu diberikan setelah 1 tahun
kepada anak yang menerima imunisasi pada usia kurang dari 4 tahun dan
setelah 5 tahun kepada anak yang menerima imunisasi pada usia di
atas 4 tahun.
Imunisasi ulang pada orang dewasa sebelum 5 tahun dari imunisasi
pertama tampaknya tidak diperlukan, demikian pula apabila terjadi
paparan baru terhadap penyakit dalam kurun waktu tersebut.
Daftar Pustaka
3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, editor. Red book:
2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6.
4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-7):1-21.
5. Rosenstein NE,Perkins BA,Stephens DS, et al. Meningococcaldisease. N Engl J Med.
2001;344:1378-88.
6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup C meningococci 1
yearafter meningococcalC conjugatepolysaccharidevaccine. Lancet. 2002;359:1829-31.
7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcal conjugate
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 298
Meningo
kokus
vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWRMorbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:
364-6.
8. CDC.
Notice
to
Reader
s:
Recommendation from the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) for Use of
Quadrivalent Meningococcal Conjugate Vaccine (MCV4) in Children Aged 2-10 Years at
Increased Risk for Invasive Meningococcal Disease. MMWR 2007;56(48):1265-1266.
9. CDC. Notice to Readers: Revised Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices to Vaccinate All Persons Aged 11-18 Years with Meningococcal Conjugate Vaccine.
MMWR 2007;56(31):794-795.
Epidemiologi
Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim adalah
infeksi HPV menetap yang terjadi sejak usia muda. Sedangkan ko-faktor
yang mempengaruhi infeksi HPV menjadi kanker leher rahim adalah
hubungan seksual yang dimulai pada usia muda, berganti-ganti pasangan,
pemakaian alat kontrasepsi hormonal, tingginya frekuensi persalinan,
imunosupresi/ infeksi HIV (human immuno deficiency virus), koinfeksi
klamidia, koinfeksi HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau
pasif, faktor genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan
dan pendidikan rendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan
pelayanan kesehatan).
Vaksin HPV
o Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen menunjukkan
imunogenisitas yang tinggi.
o Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan teknologi
rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV.
o Terdapat 2 jenis vaksin HPV
o Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix@)
o Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil@),
o Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah kanker leher
rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin HPV telah disahkan
oleh Food and Drug Administration (FDA) dan Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) dan di Indonesia sudah mendapat izin
edar dari Badan POM RI.
Daftar Pustaka
Pen gantar
Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia. Daya
proteksi yang ditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi sangat
tergantung dosis, biasanya hanya bertahan beberapa minggu.
Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik.
Imunoglobulin yang normal berasal dari kumpulan plasma darah donor yang
mengandung antibodi terhadap virus yang banyak ditemukan di populasi
umum. Sedangkan immunoglobulin spesifik digunakan untuk proteksi
seseorang terhadap virus atau bakteri tertentu seperti CMV, hepatitis B,
rabies, tetanus dan varisela / zoster. Imunoglobulinnya didapatkan dari
darah penderita dengan penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor
yang barn mendapat imunisasi atau seseorang yang pada skrening
mempunyai titer antibodi tinggi.
Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami atau didapat. Transfer imunitas
pasif alami terjadi saat ibu hamil memberikan antibodi tertentu ke janinnya
melalui plasenta, terjadi di akhir trimester pertama kehamilan, dan jenis
antibodi yang ditransfer melalui plasenta adalah imunoglobulin G (IgG).
Transfer imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI),
jenis yang ditransfer adalah imunoglobulin A (IgA). Transfer imunitas pasif
didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang
3. Diperlukan antibodi siap pakai segera pada saat terpapar infeksi, yang
tidak dapat terpenuhi dengan pemberian vaksinasi, misalnya pada
neonatus dengan ibu HBsAg positif.
4. Sebagai pengobatan dalam menahan kerja toksin, misal pada kasus
difteri, tetanus.
5. Sebagai pengobatan anti inflamasi terhadap kerja toksin pada organ
tertentu, misal pada pasien penyakit Kawasaki.
Imunog
lobulin
(Ig)
Perhatia
n
khusus pada pemberian imunoglobulin
Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama dengan
pembuatan Ig, dengan modifikasi tertentu sehingga dapat diberikan secara
intravena. Sediaan IgIV yang direkomendasi, harus mengandung konsentrasi
antibodi minimal terhadap campak, difteri, polio dan hepatitis B. Konsentrasi
antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae bervariasi dari satu pruduk
dengan produk yang lain. Kandungan protein bervariasi tergantung
produsernya. Terdapat dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung
thimerosal.
1. Defisiensi antibodi
Dosis IgIV pada sindrom imunodefisiensi adalah 300-400 mg/ kg berat
badan, diberikan sekali sebulan, secara IV. Dosis efektif pada
masing-masing pasien berbeda, rata-rata 200-800 mg/ kg berat badan
per bulan. Konsentrasi IgG rumatan sebesar 500 mgdL (5 g/L) sudah
menghasilkan respon klinis yang baik.
2. Penyakit Kawasaki.
Pemberian IgIV pada 10 hari pertama perjalanan penyakit akan
mengurangi lamanya demam dan risiko timbulnya kelainan pada arteri
koronaria. Dosis yang dianjurkan adalah 2g/ kg berat badan, dosis tunggal
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 310
Imunisasi Pasif
diberika
n dalam
10-12
jam.
Efek
samping
pemberian imunoglobulin intravena
Pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi berat
jarang terjadi dan tidak ada indikasi kontra untuk pemberian berikutnya.
Beberapa efek samping yang sering terjadi,
Reaksi piogenik, ditandai dengan adanya demam tinggi,
menggigil dan gejala sistemik.
Reaksi sistemik ringan dengan gejala seperti nyeri kepala, mialgia,
kecemasan, mual atau muntah.
Gejalavasomotor ataukardiovaskularringanditandai dengan kulit
kemerahan, perubahan tekanan darah dan takikardia.
Meningitis aseptik.
Reaksi hipersensitifitas.
Gagal ginjal akut.
Antitoksin difteria
Imunogl
obulin
tetanus (human tetanus immune globulin)
Antitoksin Tetanus
Jika TIg tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari
serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului
dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar antara
50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah 20.000 U
dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan
IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara im pada paha antero lateral.
Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi
Infeksi Pencegahan Rekomen Pengobatan Rekomen-
dasi dasi
Infeksi Bakteri Terbukti Tidak Terbukti Tidak
Infeksi respirasi
(S.pneumoniae,
N.meningitis,
H. influenzae)
Difteri Tidak terbukti Tidak Terbukti
Pertusis Tidak terbukti Tidak Tidak Tidak
terbukti
Tetanus Terbukti Terbukti
Jenis clostridium
lain: Terbukti Terbukti
C.botulinum Tidak terbukti Tidak Mungkin
C.difficile bermanfaat
Infeksi antibiotik
Staphylococcus S.epidermidi Tida Tidak
Sindrom s pada terbukti
syok toksik neonatus k
Resisten Tidak
Tida
k
terbukti Mungkin
bermanfaat Mungkin
bermanfaat
Mungkin
bermanfaat
Belum ada
penelitian
Infeksi
dasi
Hepatitis
B Terbukti Tidak
bermanfaat
Hepatitis C Tidak Tidak Tidak
bermanfaat
HIV Tidak Tidak Tidak Tidak
terbukti
RSV Terbukti Tidak Tidak
terbukti
Virus Herpes
Tidak Tidak Mungkin
CMV Terbukti bermanfaat
Tidak Tidak Ti d a k Tidak
EBV Terbukti terbukti
Ti d a k Tidak
HSV Tidak
terbukti
VZV Ti d a k
terbukti
Parvovirus Tidak Tidak Terbukti Tidak
Enterovirus Terbukti Tidak Terbukti Tidak
Pada neonatus Tidak Mungkin
bermanfaat
Ebola Mungkin Tidak
bermanfaat terbukti
Rabies Terbukti Tidak
bermanfaat
Measles Terbukti Tidak
bermanfaat
Rubella Tidak Tidak Tidak
bermanfaat
Mumps Tidak Tidak Tidak
bermanfaat
Tick borne Mungkin Tidak
encephalitis bermanfaat bermanfaat
Vaccinia Terbukti Terbukti
Keller MA.,dan Stiehm ER. Clin.Microbiol.Rev. 2000.
Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai
lakukan terlebih dulu skin test untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis.
Skin test dilakukan dengan menyuntikkan antitoksin yang telah
diencerkan dengan garam fisiologis dengan perbandingan 1:100, sebanyak
0,02 cc intrakutan. Pada saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah
diisi dengan adrenaline. Skin test dengan larutan yang lebih encer (1:1000)
dilakukan terhadap pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan
suntikan antitoksin dari serum binatang. Sebagai kontrol di tempat lain
disuntikkan garam fisiologis intrakutan. Jika setelah 15 – 30 menit setelah
suntikan timbul benjolan di kulit yang dikelilingi oleh warna kemerahan
berupa eritema dengan ukuran 3 mm atau lebih dibandingkan dengan
kontrol maka lakukan desensitisasi terhadap pasien.
Imunoglobulin hepatitis A
Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah ada
paparan virus hepatitis A, secara im, dan perlindungan yang diperoleh
sebesar 85%. Karena tidak mengandung timerosal, dapat diberikan pada
wanita hamil dan bayi.
Imunogl
obulin
hepatitis B
Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki titer
tinggi anti-HBs dan bebas terhadap antibodi HIV dan virus Hepatitis C
(hyperimmunized donors). Titer tinggi yang dimiliki adalah 1:500.000,
sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya mengandung antibodi
terhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64.
Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk
memberikan perlindungan aktif terutama pada ibu dengan HBsAg positif,
yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta. Disamping itu juga
untuk individu yang berisiko tinggi tertular hepatitis B secara horizontal
misalnya pasien kontak seksual dengan pasien hepatitis B. Rekomendasi
pemberian Ig hepatitis B
Pada masa perinatal
- Berat lahir kurang dari 2000 gram
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara im pada
paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B
pertama yang diberikan merupakan dosis tambahan, tidak termasuk 3
dosis yang seharusnya diberikan. Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3
bulan setelah jadwal vaksinasi lengkap. Bila tidak terbentuk antibodi,
lakukan ulangan sesuai prosedur pasien yang tidak responsif pada
vaksinasi hepatitis B.
- Berat lahir lebih dari 2000 gram,
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara IM, pada
paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B
pertama yang diberikan merupakan bagian 3 dosis yang harus
diberikan serial sampai umur 6 bulan.
IgIV CMV diberikan untuk profilaksis kasus yang berisiko tinggi terhadap
infeksi CMV. Dosis awal adalah 150 mg/kg, dilanjutkan dengan dosis rumatan
setiap 2 minggu, diturunkan bertahap sampai 16 minggu. IgIV CMV efektif
untuk penderita transplantasi ginjal dan hati. Penggunaan pada neonatus
untuk mencegah penularan CMV secara vertikal pada neonatus masih
belum diketahui dengan pasti. Vaksin CMV masih dalam proses penelitian
terutama dalam pembuktian klinis pada sukarelawan dan penderita
transplantasi ginjal.
Imunoglobulin rabies
Dosis pemberian Ig rabies adalah 20 IU/kg berat badan (0,133 mL/ kg berat
badan), diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin rabies, dalam
upaya pencegahan pasca paparan dalam kurun waktu mulai awal terpapar
sampai terbentuknya antibodi aktif. Bila IgR tidak tersedia, vaksin dapat
diberikan diikuti dengan pemberian IgR pada 7 hari pertama setelah
pengobatan. Bila pemberian vaksin dan IgR terlambat, keduanya harus
diusahakan untuk memperpendek interval antara waktu paparan dengan
pengobatan. Dosis IgR 20 IU/kg berat badan, sebanyak-banyaknya
diberikan secara infiltrasi di sekitar luka. Sisanya diberikan im dengan alat
dan jarum suntik yang terpisah. Bila lukanya banyak, lakukan
pengenceran IgR dengan NaCl 0,9% agar volumenya cukup (diencerkan 2-3
kalinya). Pada anak dengan masa otot yang tipis, dianjurkan pemberian
IgR di tempat yang berbeda. Kemasan IgR manusia tersedia dalam vial 2 mL
(300IU) dan 10 mL (1500 IU). Antibodipasif dapat menghambat
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 321
Toto Wisnu Hendrarto
respon
vaksin
rabies;
oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih. Vaksin tidak
boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik yang sama. Reaksi
hipersensitifitas terhadap IgR jarang terjadi.
Antitoksindifteri
Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman
dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses
penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan
berdasarkan tempat infeksi
20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada
pharyng dan laryng dalam waktu 48 jam.
40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng
80.000-120.000 unit, iv,padainfeksilanjut dansudahtampak adanya
bull-neck.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 322
Imunisasi Pasif
T
es
hipe
rsensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk
mencegah timbulnya reaksi alergi/anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum
dosis diberikan 500 U, diberikan secara im.
Antitoksin tetanus
Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum
binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes
sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar antara
50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan dengan
dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitioksin
dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45
menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada
paha antero lateral.
Antitoksin botulinum
Reaksi
terhada
p serum hewan
Sebelum pemberian serum hewan, sebaiknya dilakukan anamnesis adanya
atopi seperti asma, rinitis alergika, urtikaria, atau riwayat pemberian
serum hewan sebelumnya. Bila didapatkan atopi tersebut, pemberian
serumhewan sangat berbahaya,kecuali padakondisi tertentu.
Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes atau tes
intradermal.
Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata dapat
diindikasikan sensitif. Tetapi bila hasilnya negatif tidak menjamin bebas
alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dan sensitifitas keduanya negatif,
dosis serum dapat diberikan secara Intramuskular. Pemberian iv dapat
dilakukan bila dosis antibodi yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih
tinggi secara cepat. Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang
diencerkan dengan 10 ml salin atau glukosa 5% diberikan secara intravena
sepelan mungkin dan ditunggu 30 menit untuk melihat reaksinya. Bila
reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali IV
dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit
Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan akan
diberikan apa tidak. Apabila pemberian harus tetap dilakukan dapat
digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakan epinefrin 1:1000 siap pakai
didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi sebagai berikut:
1. 0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan
2. 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
3. 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
4. 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
5. 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
6. 0.5mlserumtidakdiencerkandiberikansecaraintramuskular7.
sisanyaserumtidakdiencerkandiberikansecaraintramuskular
antipiretik.
2) Seru
m
sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3 minggu),
setelah terpapar proteinasing, yaitu demam, urtikaria,ras makulopapuler,
(90% kasus), arthritis atau artralgia, dan limfadenopati. Reaksi edem lokal
terjadi di tempat suntikan, sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema,
glomerulonefritis, sindromGuillain-Barré, neuritis perifer, dan miokarditis
juga dapat terjadi. Namun demikian serum sickness bisa timbul ringan
dan hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita
yang pernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko terjadi
serum sickness lebih cepat (terjadi dalam beberapa jam sampai 3 hari).
Antihistamin sangat membantu mengatasi gatal, edem, dan urtikaria.
Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis dapat diatasi dengan
pemberian asetosal atau anti inflamasi non steroid lainnya. Bila tidak
berhasil dapat diberikan kortikosteroid (prednison atau predisolon)
dengan dosis 1,5 sampai 2mg/kg per hari, diberikan 5 sampai 7 hari.
Tenaga medis yang memberikan produk biologis atau serum harus siap
menghadapi adanya reaksi anafilaksis. Obat-obatan, alat-alat
medis,danpersonel yangterampil dalamresusitasi kardiopulmonal
harus siap untuk menghadapi reaksi anafilaksis.
Epinefrin adalah obat utama dalammenghadapireaksi anafilaksis. Gejala
ringan seperti gatal, eritema, urtikaria dan angioedem diatasi
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: Pickering LK.,
penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke 27. Elk Grove
Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66.
2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious Diseases.
Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614.
3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007.
4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis: Wolters Kluwer
Health, Inc. 2006.
Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan vaksin
yang telah diperbaharui dengan teknologi canggih berada di pasaran.
Diperkenalkannya vaksin baru di Indonesia, berakibat pada penataan jadwal
imunisasi yang sudah cukup rumit. Dalam jadwal imunisasi rekomendasi IDAI
edisi tahun 1999, seorang anak sampai umur 5 tahun akan mendapat 13 kali
suntikan vaksinasi yang terpisah. Maka, untuk mengurangi jumlah suntikan
telah dicoba memberikan beberapa jenis vaksin secara bersama-sama pada
satu saat. Pemikiran tersebut menjadi dasar pembuatan vaksin kombinasi
(vaksin kombo, combined vaccine), yang merupakan salah satu alternatif
cara untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan ke fasilitas
kesehatan. Seperti telah diketahui bahwa tujuan akhir dari vaksinasi
adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi di pasaran berfungsi
sebagai pelengkap vaksin monovalen dan bukan sebaliknya.
V
aksin Kombinasi
Sri Rezeki S.Hadinegoro
Daya Proteksi
Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum dan
setelah diberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian
mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random dan
tersamar. Laporan beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi.
Beberapa hasil uji klinis pada vaksin kombinasi di Amerika dan Eropa,
mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau komponen) dari vaksin
kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan dengan vaksin terpisah.
Walaupun demikian kadar antibodi masih berada di atas ambang
pencegahan (protective level). Misalnya pada kombinasi DTwP/HepB titer
antiHBsAg lebih rendah dibandingkan vaksin monovalen walaupun titernya di
atas 10 IU/ml (ambang pencegahan dicapai bila titer anti HbsAg >10 IU/ml).
Titer antibodi anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan DTap/Hib/
IPV dijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah. Hal ini juga
tampak pada vaksin kombinasi MMR/V, kadar anti bodi anti varisella lebih
rendah dibandingkan vaksin varisela terpisah. Maka apabila
mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa memberikan vaksinasi
ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi Hib meningkat sama dengan
vaksinmonovalensetelah diberikan booster Hib pada umur 18 bulan.
Imunogenitas
Reaktogenitas
Angka Cakupan
Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage rate)
vaksin kombinasi DTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP dan hepB
terpisah. Pada dosis ketiga didapatkan daya cakupan yang lebih tinggi pada
vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian terpisah (84%). Sedangkan
pengalaman di Spanyol menggunakan vaksin kombinasi dapat mengurangi
total biaya 16% selama tahun 1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin
yaitu pengurangan jumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga
menurunkan biaya dapat menjadi sebab meningkatkan angka
cakupan.
Secara umum vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik
yang berbeda dapat diberikan secara bergantian pada seorang anak
sesuai dengan jadwal imunisasinya, khususnya untuk hepatitis B dan Hib.
Namun, untuk vaksin kombinasi apabila akan digunakan secara bergantian
dengan vaksin monovalen (interchangeability) sebaiknya memilih vaksin
dari pabrik yang sama. Demikian juga untuk vaksin kombinasi yang
mengandung DTaP, dianjurkan mempergunakan vaksin dari pabrik yang
sama oleh karena data penelitian dari pabrik yang berbeda sampai saat ini
belum ada, kecuali bila vaksin yang sama di negara tersebut tidak
beredar.
Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau antigen
padahal mereka telah imun (telah divaksinasi).
a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan ketiga
sebenarmya telah terlindung secara imunologik terhadap penyakit yang
bersangkutan. Namun oleh karena pengukuran
kadar antibodi tidak dilakukan (tidak praktis dan mahal), maka suntikan
ulangan diberikan tanpa diketahui kadar antibodi yang telah ada.
Pemberian suntikan ulangan diberikan berdasarkan pertimbanganklinisdan
aspek kesehatan masyarakat guna menurunkan jumlah anak yang rentan
(susceptible) sehingga meningkatkan daya pencegahan penyakit di
masyarakat.
b. Dosis antigen tambahan tersebut kadangkala diberikan secara tidak
sengaja oleh karena tidak ada catatan imunisasi atau pada saat
dilakukan program imunisasi masal.
c. Pada saat dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN), imunisasi polio dan
campak diberikan pada anak yang terindikasi tanpa memperhatikan
status imunisasinya.
d. Kadangkala vaksin kombinasi berisi beberapa antigen yang sebenarnya
tidak seluruhnya dibutuhkan, namun terpaksa diberikan oleh karena
vaksin yang berisi antigen monovalen yang diperlukan tidak tersedia.
Misalnya, karena di Indonesia tidak ada vaksin rubela monovalen maka
diberikan MMR yang merupakan vaksin kombinasi yang juga berisi
vaksin campak.
ApabilamempergunakanvaksinkombinasiDTwP/HibatauDTaP/Hib, maka
jadwal imunisasi dapat disusun sebagai berikut.
Tabel 8.4. Vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib dalam jadwal imunisasi
Vaksin kombinasi
Umur DTwP/Hib DTaP/ Hib
Saat lahir HepB + BCG + OPV HepB + BCG + OPV
2 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV
4 bulan DTwP/Hib + OPV DTaP/Hib + OPV
6 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV
DTwP/Hib = vaksin kombinasi DTwP dan Hib DTaP/Hib = vaksin kombinasi DTaP
dan Hib
Daftar Pustaka
3. UNICEF. Combination vaccine juggling with option. Geneva: Children’s Vaccine Initiative. 1998.
4. Decker MD, Edwards KM. Combination Vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer EA., penyunting.
Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 508 – 14.
5. Centers for Disease Control and Prevention U.S. Combination vaccines for chlidhood immunization.
Atlanta, Georgia: Department of Health & Human Services. Morbidity and Mortality Weekly
Report (MMWR) 1999; 48: RR-5.
6. World Health Organization. Combined vaccine for world’s children. Dalam: Ditmann, penyunting.
Progress towards implementing hepatitis B and Haemophillus influenzae type b into
childhood immunisation programmes. Geneva: WHO 1999.
0. Poovooravaan Y, Apiradee Theambooniers. Comparison study of combined DTwPHB vaccines
and separate administration of DTwP and HB vaccines in Thai children. Asian Paed. J. Allergy
Immunol 1999; 17:113-20.
7. Hadinegoro SR, Rusmil K, Mulyati S, Sampana E, Sundoro J, Kaligis B, Mahendra. Efficacy and
reactogenicity of DTwP/Hepatitis B (Bio Farma) combined vaccine. Dipresentasikan pada
Simposium Recent in Vaccinology. Bandung 4 September 2004.
Pen gantar
Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu yang
berisiko. Pada bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat
infeksi atau perhatian khusus untuk pemberian imunisasi berikut, diperlukan
panduan. Kelompok ini termasuk bayi/anak yang menderita defisiensi imun
seperti bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang
mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita
infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau
mereka yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah
imunisasi.
Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang
diderita terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan
saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khusus diperlukan pada ibu yang
menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.
Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi,
harus diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang
menderita imunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan
splenektomi serta bayi prematur, imunisasi harus diatur.
Pasien imunokompromais
Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit
defisiensi imun kongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder)
yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit
keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating
agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dan
transplantasi sumsum tulang.
Pengobatan kortikosteroid
dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan dini,vaksin
hidupakanmengaktifkansistimimunyangdapatmeningkatkan replikasi virus HIV
sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan
mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok
konjugasi (PCV7) diberikan pada anak dengan HIV (+). Pada umur kurang
dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kali dengan interval 2 bulan,
sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai risiko tinggi maka
diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin pnemumokok PCV23
(Tabel 9.1)
Penyakit Hodgkin
• Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang dewasa
(close contact) dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena
penderita ini berisiko terhadap kedua penyakit tersebut. Respons antibodi
palingbaikbilaimunisasidiberikan10-
kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons imun
kurang bila dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B,
sehingga pemberian vaksin hepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara
sebagai berikut:
Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan hepatitis B
bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam
waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke-3 dan
ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBs dan HbsAg
pada umur 9-15 bulan. Bila HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi
dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali
HbsAg dan anti-HBs.
Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin Hepatitis
B + HBIg pada 2 tempat suntikan yang berlainan dalam waktu 12
jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2 diberikan umur 1 bulan dan
berat badan mencapai 2000 g, selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6
bulan umur kronologis. Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur
9-15 bulan. Bila HbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3
dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan
anti-HBs.
Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B
dosis pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan
6 bulan umur kronologis.
Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama saat
berat badan telah mencapai 2000 g atau secara klinis keadaannya
stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada saat keluar dari
RS sebelum 30 hari.
umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2
bulan, 2-4 bulan dan 6-18 bulan umur kronologis.
Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g: diberikan
vaksin hepatitis B dalam 12 jam. Periksa HBsAg ibu segera. Bila hasil
positif ditambahkan HBIg dalam waktu
7 hari.
• Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g: diberikan vaksin
hepatitis B. Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan
dalam 12 jam, berikan HBIg dalam 12 jam.
Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP,
DTaP (DTP/HepB). Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur
kronologis setelah 6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan
sebagai imunisasi pertama pada bayi prematur.
Heptitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam
Tetanus 24 jam - Perlu aktif dan pasif
beberapa bulan
Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu
Daftar Pustaka
2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian
Immunization Handbook, edisi ke-9. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
Tabel 9.5. Skema Iimunoprofilaksis hepatitis B pada bayi berdasarkan status HBsAg
ibu.*
Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000 g Berat lahir <2000 g
Daftar Pustaka
1. DepartamenKesehatanR.I. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
perawat, bidan di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Kerja sama IDAI, MNHJHPIEGO, Departemen
Kesehatan R.I. 2003.
2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva:
WHO. 2002.
3. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, eds. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.;
2004:745-81.
Pen gantar
Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pasca
imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang
berat dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi
terjadi segera setelah dilakukan vaksinasi, namun bisa juga reaksi tersebut
muncul kemudian. Sebagai pelaksana kita harus mengetahui berapa besar
insidensi dan bentuk kejadian yang tidak diharapkan dari suatu imunisasi.
Pasien dan keluarga harus diberi informasi mengenai risiko dan keuntungan
vaksinasi dan tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan
tertulis dari pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain
diberi informasi juga diberi kesempatan untuk bertanya. Perlu dicatat
di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan.
Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada tempat
imunisasi diberikan bila terjadi reaksi pasca imunisasi yang serius, dan petugas
harus melaporkan kejadian pasca imunisasi yang serius ini ke instansi yang
berwenang di daerah tersebut dengan mengisi formulir KIPI yang telah
tersedia.
Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu dibuat
dan dikirimkan kepada Komite Daerah (Komda) PP KIPI yang
berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yang berkesinambungan, data
KIPIIndonesiadapat dibuat dengancermat oleh Komite Nasional (Komnas)
PP KIPI.
Definisi KIPI
Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan bahwa
kejadian ikutan pasca imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang
dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse
events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan
program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak
dapat ditentukan.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42
hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan
(infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi
campak, dan polio paralitik serta
Epidemiologi KIPI
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin
dalamjumlahbesar. Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan melalui
fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis
Klasifikasi KIPI
KomnasPengkajian danPenanggulangan KIPI(KomnasPP KIPI)
mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi,
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 ) untuk
petugas kesehatan di lapangan.
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat
terjadipadaberbagai tingkatanprosedurimunisasi, misalnya,
dosis antigen (terlalu banyak)
lokasi dan cara menyuntik
sterilisasi semprit dan jarum suntik
jarum bekas pakai
tindakan aseptik dan antiseptik
kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
penyimpanan vaksin
pemakaian sisa vaksin
jenis dan jumlah pelarut vaksin
tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk
pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain)
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang
sama.
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai
reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak
dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak
langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.
Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat
pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal,
Syncope/fainting
– Sering kali pada anak > 5 tahun ,
– Terjadi beberapa menit post imunisasi,
– Tidak perlu penanganan khusus.
– Hindari stres saat anak menunggu,
– Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk.
Hiperventilasi akibat ketakutan
– Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell,
pingsan.
– Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien
tersebut perlu diperiksa)
Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria.
Penting penjelasan dan penenangan
Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:
– Teknik penyuntikkan yang benar
– Suasana tempat penyuntikan yang tenang
– Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar
dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala
klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi
simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk
pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus,
perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya
termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini
harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana
imunisasi.
1. Reaksilokal
+ Rasanyeriditempatsuntikan.
+ Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 % +
Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
+ BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi
dan sembuh setelah beberapa bulan.
2. Reaksi sistemik
+ Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi
lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.
+ MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin.
Terjadi demam dan atau ruam dan konjungtivitis pada 5%-15% dan
lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada kasus
imunodefisiensi.
+ Pada mumps terjadireaksivaksin pembengkaan kelenjarparotis,
rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. + OPV
kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot.
3. Reaksi vaksin berat
Kejang
Trombositopenia
Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak
merupakan masalah jangka panjang
Anafilaksis,potential menjadi fataltetapidapat disembuhantanpa
dampak jangka panjang
Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP
Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi.
Indikatorfaktorkebetulanditandaidenganditemukannyakejadian yang sama di
saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik
serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.
2. Klasifikasi kausalitas
Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda
dengan laporan Comnittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar
klasifikasi saat ini, yaitu
Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated )
Buktitidak cukupuntuk menerima ataumenolak hubungankausal
(unlikely)
Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal
(probable)
Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya.Padaumumnyamakin cepat terjadiKIPI makin berat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini
disebabkanolehkarenapadaumumnyaprodukfarmasidiperuntukkan orang sakit
sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi
terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan untuk
orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek
samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu
diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI
(reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi
pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan
observasi selama 15 menit.
Pedoman Imunisasi328
di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 Pedoman Imunisasi di Indonesia365
Edisi Ketiga Tahun 2008
Arwin P. Akib, Asri Purwanti
Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI
Angka kejadian
KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka
kejadian reaksi anafilaktoid pada DTP diperkirakan 2 dalam 100.000
dosis , tetapi yang benar-benar reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus
diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih
banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode
hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat
terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi
pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine Information Statement
2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam
ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100
dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak
berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis,
kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius
1/1.000.000 dosis.
Keterangan :
(a)Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal (± 90
% anak yang menerima dosis kedua) anak umur di atas 6 tahun
jarang mengalami kejang demam.
(b)Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4
juta dosis), sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin selanjutnya 1
per 6,7 juta dosis.
(c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada riwayat
kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur.
Bab X-2
Pelaporan KIPI
Hindra Irawan Satari
Pelapor KIPI
Pelapor KIPI adalah
Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi.
Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan
kesehatan, rumah sakit serta sarana pelayanan kesehatan lain.
Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian
lapangan.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan
Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi,
petugas kesehatan harus dapat mengenal KIPI dan menentukan
apakahperlu dilaporkandanperlu tindakanlebih lanjut.
Pelapo ran
Riwayat imunisasi
Pemeriksaan penunjang yang berhubungan
2. Data pemberian vaksin
Nomor batch-vaccine
Masa kadaluwarsa
Nama pabrik pembuat vaksin
Kapan dan dari mana vaksin dikirim
Pemeriksaanpenunjangtentangvaksin,apabilaadaatauberhubungan
3. Data yang berhubungan dengan program
Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin,
+ Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluwarsa?
+ Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin
sebelum disuntikkan
+ Perlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin setelah
selesai pelaksanaan imunisasi?
Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi
+ Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?
+ Apakah pelarut steril?
+ Apakah dosis sudah benar?
+ Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?
Ketersediaan jarum dan semprit
+ Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu
orang?
+ Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan? 4.
Data sasaran lain
Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor batch
sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan berapa jumlah
pasien yang sakit serta bagaimana gejalanya.
Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain (dari
produsen sama atau berlainan) atau masyarakat yang tidak
diimunisasitetapiterkenapenyakit dengan gejalayangsama.
Waktu pelaporan
Kematian dan rawat inap merupakan kasus yang harus segera diperhatikan
dan dilaporkan. Meski demikian kasus lain, seperti abses, limfadenitis BCG dan
KIPI lain harus juga segera dilaporkan. Gunakan media komunikasi tercepat,
seperti telepon, faksimili dan lain-lain.
Cara pelaporan
Tindakan selanjutnya
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan pasca
imunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004.
2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of adverse events.
Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infectious Diseases. Edisi
ke-25. ElkGroveVillage: American Academy ofPediatrics 2000.h.30-1.
0. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke-4.
Philadelphia: W.B. Saunders 2004.
3. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions. Dalam: Watson C,
penyunting. TheAustralian Immunisation Handbook. Edisike-9. Canberra: NHMRC 2008.
Pen gantar
juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan transmisi
antar keluarga. Pengamatan insidens penyakit jangka panjang dapat
menerangkandampak vaksindalammenurunkanpenyakit.
Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang, menunjukkan
bahwa penghentian program imunisasi pertusis karena kekhawatiran
terhadap efek samping vaksin, menimbulkan dampak peningkatan penyakit.
Di Inggris, penurunan imunisasi pertusis pada tahun 1974 diikuti oleh
epidemi dengan lebih dari 100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun 1978.
Di Jepang pada kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan
cakupan imunisasi pertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan
peningkatan kasus pertusis dari 393 dan tanpa kematian pada tahun 1974
menjadi 13.000 kasus dan 41 meninggal pada tahun 1979. Di Swedia,
incidence rate per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus
pada tahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985.
Untuk penyakit difteria, dapat disajikan data dari propinsi Ontario
yang mempunyai data morbiditas, mortalitas dan case fatality rate untuk
kurun waktu 1880-1940. Sebelum ditemukan antitoksin difteria,
mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000 populasi pada masa
tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar 15 per 100.000 pada Perang
Dunia I, meskipun angka morbiditas tidak menurun. Setelah penggunaan
toksoid difteri secara luas pada akhir tahun 1920, penyakit difteria
menurun drastis.
Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih besar
daripadaperbaikansanitasi.Penghentianimunisasiakanmeningkatkan kembali
angka kejadian penyakit.
Pendapat yang salah ini sering dijumpai dalam rumor maupun dalam
literatur kelompok anti vaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB)
jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi mungkin lebih banyak
dibandingkanjumlahanaksakit danbelum diimunisasi.
Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat vaksin
Penyakit Vaksin
Rubela
Sindrom 1: 4
rubela ( j i k a ibu
kongenital terinfeksi
Difteria DTaP
Meninggal 1 : 20 Menangis terus lalu pulih
kembali
Tetanus Kejang/renjatan lalu
Meninggal 2: 10 pulih kembali
Ensefalopati akut
Pertussis Kematian
Pneumonia 1:8
Ensefalitis 1 : 20
Kematian 1 : 200
1:
1.000.000
1:1.00
1:14.0
4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di negara kita,
sehingga anak tidak perlu imunisasi
Angka kejadian beberapa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin memang
telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi
di negara lain. Siapapun, termasuk wisatawan, dapat membawa penyakit
itu secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah.
Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005
yang lalu. Sejak tahun 1995, tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh
virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Biofarma di Bandung
mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang
menderita lumpuh layu akut pada bulan Maret 2005 yang tidak pernah
diimunisasi polio sebelumnya. Virus polio selanjutnya menyebabkan wabah
merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat
349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV (vaccine derived polio virus) di
Madura dan 2 kasus yang terjadi pada tahun 2006. Dari analisis genetik
virus, diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria Sudan dan
sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman.
Dr. Andrew Wakefield bersama peneliti lain dari Royal Free Hospital
London, tahun 1993 melaporkan adanya hubungan antara virus campak
dan vaksin campak dengan Inflammatory Bowel Syndrome (IBD). Penelitian
dilakukan pada 25 anak dengan penyakit Crohn dibandingkan dengan 22
anak normal. Tahun 1998 peneliti yang sama melaporkan sindrom baru dari
IBD yang berhubungan dengan gangguan perkembangan seperti autism.
Peneliti menduga vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkan
absorpsi vitamin dan nutrien esensial dari saluran cerna, yang
selanjutnya menimbulkan autism. Hubungan kausal dalam penelitian
ini, dinilai lemah dan mengandung beberapa kekurangan. Kekurangan
pertama adalah penelitian dilakukan pada pasien yang sangat selektif
yaitu yang dirujuk ke Royal Free Hospita,lLondon; sehingga tidak mewakili
populasi pasien secara umum (bias rujukan atau referral bias). Seri kasus
tidak dapat menentukan adanya hubungan kausal. Kelemahan yang
terpenting adalah hubungan vaksin dan autisme dibuat berdasarkan
ingatan orangtua (parental recall). Orangtua cenderung menghubungkan
gangguan perilaku dengan kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi.
Tidak ada bukti ilmiah yang mendasari teori tersebut. Lebih lanjut, 4 dari 12
kasus,menunjukkan gangguan perilaku sebelum timbul gejala IBD.
Daftar Pustaka
5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants and Developmental
Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does Not Support a Causal
Association. Pediatrics 2004;114:577–83.
6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M. Madsen,
Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the Occurrence of Autism:
Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based Data. Pediatrics
2003;112;604-6.
7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States Public
Health Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9.
8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary vaccination of
infants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-inactivated polio virus and
Haemophilus influenzae type b vaccines given as either separate or mixed injections. J Pediatr
2000;137:304-12.
9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce distress and
are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6.
10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http://
www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.
imunisasi DTP karena menyebabkan reaksi panas. Setelah Perang Dunia II,
vaksin berkembang sangat pesat, sejalan dengan berkembangnya teknologi
biakan pada sel hidup yang semula dianggap tidak etis. Untuk beberapa
waktu keberhasilan imunisasi mencegah kejadian penyakit dan bahkan
mampu menghilangkan penyakit cacar dari
ini. Kelemahan metode imunisasi ini tidak berarti vaksin tersebut tidak aman.
Kelemahan ini mungkin baru terungkap setelah vaksin digunakan dalam
jangka waktu yang lama. Masalah yang kemudian muncul adalah siapa yang
berminat untuk membiayai penelitian yang membuktikan adanya efek
samping yang minimal setelah 20-40 tahun pemberian imunisasi? Vaksin
adalah substansi biologik hidup yang aman sampai suatu saat dapat
dibuktikan cacat. Kontroversi berasal dari
Resipien atau si-penerima vaksinasi yang sakit berat atau yang pertahanan
tubuhnya tidak normal besar kemungkinannya akan menjadi sakit, atau
menjadi karier sehat. Anak yang mendapat kortikosteroid, penderita HIV,
anak dengan malnutrisi berat, merupakan contoh anak bermasalah.
Imunisasi polio oral pada anak dengan defisiensi imun akan mengakibatkan
pengeluaran virus polio lebih lama dibanding dengan anak normal. Banyak
keadaan yang mempengaruhi kinerja vaksin dan terutama berakibat pada
rendahnya keberhasilan menggugah respon imun.
Pada sisi yang lain juga terdapat respon imun yang menyimpang sebagai
akibat kecenderungan genetik yang dimiliki bayi. Reaksi samping atau akibat
dari imun respon yang menyimpang ini, sering ditimpakan pada
kualitas atau kuantitas antigen (vaccine safety) dalam vaksin atau bahan
lain yang ada dalam vaksin, karena penapisan (screening) anak dengan
indikasi kontra masih belum dijalankan secara rutin, karena metode
pemeriksaan yang sederhana dan akurat belum ada. Sebaiknya sebelum
memberikan imunisasi, indikasi kontra dan kewaspadaan (precautions)
dibaca sekali lagi.
4.
Adanya
pemicu
Seringk
ali
suatu
masalah menjadi hangat kembali setelah ada pemicu yang hadir.
Beberapa pemicu masalah besar antara lain,
Autisme
Reaksi neurologik
Beberapa vaksin diduga menyebabkan reaksi pada susunan saraf. Reaksi ini
sangat jarang dan belum jelas patogenesisnya. Kelainan nerologik yang
diduga akibat vaksin terbagi menjadi:
demyelinating disease (ADEM dan GBS).
non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy,
brachial neuritis).
Reaksi imunologik
Autoimun
paradigma ini sudah dikenal, namun belum ada pengamatan jangka panjang
yang membuktikannya. Beberapa makalah biomolekuler menandai
kenaikan insidens penyakit autoimun searah dengan kenaikan cakupan
imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yang sahih mengenai pengaruh
perubahan gaya hidup dan lingkungan terhadap kenaikan insidens penyakit
autoimun.
Diabetes
Semula terdapat bukti bahwa ada hubungan sebab akibat antara infeksi
virus (gondong, rubella) dan IDDM (insuline dependent diabetic
mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan antara
IDDM dengan vaksin HB, MMR, DTP, HIb, pneumokokus. Selain
virus yang menyerang pankreas, juga terjadi proses autoimun yang
menyerang sel pankreas, sehingga terjadi gangguan produksi insulin.
Daftar Pustaka
3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass, darkly,
Adverse Drug React: 2000; 19:1-19.
4. DalesL, HammerSJ,Smith NJ. Timetrends in autism and MMRimmunization coveragein
California JAMA;285(9):1183-5.
5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism: nested case
control study using data from the UK general practice Research Database BMJ
2002;325:419-421.
0. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study of measles,
Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482
6. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med
347;19:1474-6.
7. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001
9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada anak. Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Pen gantar
Jadwal imunisasi
Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau
rumah sakit berbeda-beda ?
Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam jadwal
imunisasi, apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?
Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu imunisasi
campak dan DT (kelas 1), dan TT (kelas 2, 3, dan 6). Banyak anak yang
sudah divaksinasi campak ketika bayi ternyata pada umur 5 - 7 tahun 28.3%
masih terkena campak. Pada umur > 10 tahun masih banyak dijumpai kasus
difteri. Untuk pemberantasan tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan 5
kali suntikan tetanus toksoid sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan
pada umur dewasa akan berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV
tentangJadwal Imunisasi)
Boleh.Batukpilekringantanpademambolehdiimunisasi,kecualibilabayi
sangat rewel, imunisasi dapat ditunda 1 - 2 minggu kemudian.
Polio
Setelah pemberianvaksin poliotetes, apakah dapattimbul panas,
mencret ?
BerapalamajarakantarapemberianASIataususuformuladengan
pemberian vaksin polio oral ?
ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur lebih dari
1 minggu. Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi dengan titer tinggi
yang dapat mengikat vaksin polio oral. Susu formula boleh segera diberikan
setelah vaksinasi polio oral.
Mana yang lebih bagus : vaksin polio yang diteteskan di mulut (polio oral)
atau yang disuntikkan ?
Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang masih
hidup tetapi dilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak di usus, dan
dapat merangsang usus dan darah untuk membentuk zat kekebalan
(antibodi) terhadap virus polio liar. Artinya, bila ada virus polio liar masukke
dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus polio liar tersebut akan diikat dan
dimatikan oleh zat kekebalan tersebut yang dibentuk di usus dan di dalam
darah, sehingga tidak dapat berkembang biak, tidak membahayakan
bayi/anak tersebut, dan tidak dapat menyebar ke anak-anak
sekitarnya.
Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan di otot
lengan atau paha, sehingga tidak dapat berkembang biak diususdantidak
menimbulkan kekebalan diusus,namun dapat menimbulkan kekebalan di dalam
darah. Oleh karena itu, bila ada virus polio liar yang masuk ke dalam usus
bayi/anak yang disuntik vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa
berkembang biak di ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya)
tetapi ia tidak sakit, karena ada kekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena
virus polio liar masih bisa berkembang biak diususnya, maka bisa
menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat menyebabkan
kelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara atau
wilayah yang masih ada transmisi polio liar semua bayi dan anak balita harus
diberi virus polio yang diteteskan ke dalam mulut, agar ususnya mampu
mematikan virus polio liar, sehingga menghentikan proses penyebaran. Bila
selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan lagi virus polio liar, maka secara
bertahapdapat menggunakan viruspolio suntik.
Virus polio suntik boleh diberikan pada pasien yang kekebalannya rendah,
misalnyakarenasedangmendapat pengobatankortikosteroiddosis tinggi dalam
jangka lama, mendapat obat-obat anti kanker, menderita HIV AIDS, atau
didalam rumahnya ada pasien tersebut.
Hepatitis B
Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau
bengkak ?
Walaupun sangat jarang, tetapi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada
tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan
nyeri sendi. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih
banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi
tersebut menjadi berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir,
bawalah bayi/anak ke dokter.
BCG
Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul bisul yang
menjadi koreng ? Apakah itu akibat salah suntik ?
Bisul yang timbul 2 minggu setelah imunisasi BCG adalah normal, karena
merupakan reaksi tubuh terhadap vaksin BCG. Bisul kecil (papula)
dapat membesar dan terjadi korengi selama 2-4 bulan, kemudian
menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut. Bila ulkus
mengeluarkan cairan orangtua dapat mengkompres dengan cairan
antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin
membesar orangtua harus membawanya ke dokter.
Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh lebih
mahal ?
Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ?
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain demam
tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan
pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua/ pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah),
jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap
3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau
cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke
dokter.
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa
rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain
itu dapat
terjadi
gejala-ge
jala lain
yang
timbul 5
- 12 hari
setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi,
erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan
kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca
imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum
lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis,
bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika
reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa
khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
Bayi yang pernah sakit campak apakah perlu divaksin campak pada umur
9 bulan ?
Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi (jenis
imunisasi apapun) dapat menyebabkan autisme. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) maupun Departemen Kesehatan tetap merekomendasikan
pemberianimunisasisesuaijadwalyang telahditentukan.
Influenza
Bukan. Vaksin Hib adalah untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh
kuman Hib, yang dapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang paru
(pneumonia),infeksitelinga(otitismedia)dan lain lain.
Setelah divaksinasi Hib yang dapat mencegah meningitis dan pneumonia,
apakah tidak perlu divaksin pneumokokus ?
Vaksin Hib hanya dapat mencegah meningitis (radang otak) dan pneumonia
(radang paru) yang disebabkan oleh kuman Hib. Sedangkan meningitis dan
pneumonia yang disebabkan oleh kuman Pneumokokus tidak dapat dicegah
dengan vaksin Hib, tetapi harus dicegah vaksin Pneumokokus. Oleh karena
itu sebaiknya bayi mendapat kedua vaksin tersebut sesuai jadwal.
Tifoid
Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu divaksin
tifoid ?
Cacar air
Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah vaksinasi
cacar air untuk mencegah bertambah banyaknya gelembung cacar
air ?
Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air, berarti
anak tersebut sudah tertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air sudah
berkembangbiak dan menyebarkeseluruh tubuhanak, sehinggavaksinasi cacar
air tidak dapat menghentikan proses tersebut.
Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah anak lain
harus segera divaksin untuk mencegah penularan ?
Apabila belum lewat 48 jam anak sehat kontak dengan pasien cacar air
kemungkinan besar anak sehat tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi
cacar air agar tidak tertular. Tetapi bila lebih dari 48 jam, kemungkinan
anak sudah tertular virus cacar air tersebut, kemudian sudah mulai
berkembang biak di dalam tubuh anak tersebut, sehingga vaksinasi tidak
mampu mencegah kelanjutan penyakit tersebut.
Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ?
Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan mempunyai
kekebalan sampai dewasa, sehingga tidak perlu divaksin cacar air lagi
Daftar Pustaka
1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008.
2. PeterG, Lepow ML,McCracken GH, Phillips CF.Reportof theCommitteeon Infectious Diseases.
American Academy of Pediatrics, Illinois 2004.
3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni 2000.
BCG BCG
Polio
OPV Polio
IPV Imovax
DTwP
Mono DTP
DTaP
DT DT
TT TT
DT DT
dT
dT (adult
type
Hepatitis B
Mono Uniject Euvax-B Engerix
Hepavax-
Gene
Hepatitis B
(MDV)*
Kombo Twinrix
(Hep B~
Hep A)
Campak Campak