Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gagal Jantung


Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gangguan fungsi jantung
ditinjau dari efek-efeknya terhadap perubahan 3 penentu utama dari fungsi miokardium
yaitu preload (beban awal) yaitu derajat peregangan serabut miokardium pada akhir
pengisian ventrikel atau diastolik. Afterload (beban akhir) yaitu besarnya tegangan dinding
ventrikel yang harus dicapai selama sistol untuk memompa darah. Kontraktilitas
miokardium yaitu perubahan kekuatan kontraksi.

2.2. Patofisiologi gagal jantung


Bila jantung tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, maka
jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa yang mengakibatkan terjadinya
gagal jantung. Pada kebanyakan penderita gagal jantung disfungsi sistolik dan disfungsi
diastolik ditemukan bersama. Pada disfungsi sistolik kekuatan kontraksi ventrikel kiri
terganggu sehingga ejeksi darah berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang. Pada
disfungsi diastolik relaksasi dinding ventrikel terganggu sehingga pengisian darah
berkurang menyebabkan curah jantung berkurang. Gangguan kemampuan jantung sebagai
pompa tergantung pada bermacam-macam faktor yang saling terkait. Menurunnya
kontraktilitas miokard memegang peran utama pada gagal jantung. Bila terjadi gangguan
kontraktilitas miokard atau beban hemodinamik berlebih diberikan pada ventrikel normal,
maka jantung akan mengadakan sejumlah mekanisme untuk meningkatkan kemampuan
kerjannya sehingga curah jantung dan tekanan darah dapat dipertahankan. Adapun
mekanisme kompensasi jantung yaitu:

2.2.1. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis


Menurunnya stroke volume pada gagal jantung akan membangkitkan respon
simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangsang
pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut
jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat secara maksimal untuk mempertahankan
curah jantung. Selain itu terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan
arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang
rendah metabolismenya (seperti kulit dan ginjal) agar perfusi ke jantung dan otak dapat
dipertahankan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam
sirkulasi untuk mempertahankan kerja ventrikel.

2.2.2. Aktivasi Rennin-Angiotensin-Aldosteron


Aktivasi Rennin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) bertujuan untuk mempertahankan
tekanan darah, keseimbangan cairan dan elektrolit. Renin merupakan suatu enzim yang
sebagian besar berasal dari jaringan ginjal. Sekresi renin akan menghasilkan angiotensin II
(Ang II), yang memiliki 2 efek utama yaitu sebagai vasokonstriktor kuat dan sebagai
perangsang produksi aldosteron di korteks adrenal. Efek vasokonstriksi oleh aktivitas
simpatis dan Ang II akan meningkatkan beban awal (preload) dan beban akhir (afterload)
jantung, sedangkan aldosteron menyebabkan retensi air dan natrium yang akan menambah
peningkatan preload jantung. Tekanan pengisian ventrikel (preload) yang meningkat akan
meningkatkan curah jantung.

2.2.3. Hipertropi Miokardium dan Dilatasi Ventrikel


Jika ventrikel tidak mampu memompakan darah keseluruh tubuh maka darah yang
tinggal dalam ventrikel kiri akan lebih banyak pada akhir diastole. Oleh karena itu kekuatan
untuk memompa darah pada denyut berikutnya akan lebih besar. Jantung akan melakukan
kompensasi untuk meningkatkan curah jantung yang berkurang berupa hipertropi
miokardium yaitu pembesaran otot-otot jantung sehingga dapat membuat kontraksi lebih
kuat dan dilatasi atau peningkatan volume ventrikel untuk meningkatkan tekanan dinding
ventrikel. Jika penyakit jantung berlanjut, maka diperlukan peningkatan kompensasi untuk
menghasilkan energi dalam memompa darah, hingga pada suatu saat kompensasi tidak lagi
efektif untuk menghasilkan kontraksi yang lebih baik dan jantung akan gagal melakukan
fungsinya.
Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung

2.3. Faktor resiko


a. Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun gagal jantung
dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua seseorang maka
akan semakin besar kemungkinan menderita gagal jantung karena kekuatan pembuluh
darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya penyakit jantung yang lain pada usia
lanjut yang merupakan faktor resiko gagal jantung. Menurut penelitian Siagian di Rumah
Sakit Haji Adam Malik (2009) proporsi penderita gagal jantung semakin meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia yaitu 9,6% pada usia ≤ 15tahun, 14,8% pada usia 16-
40 tahun dan 75,6% pada usia > 40 tahun.
b. Jenis kelamin
Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantung daripada
perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai hormon estrogen yang
berpengaruh terhadap bagaimana tubuh menghadapi lemak dan kolesterol. Menurut
menurut panelitian Whelton dkk di Amerika (2001) laki-laki memiliki resiko relatif
sebesar 1,24 kali (P=0,001) dibandingkan dengan perempuan untuk terjadinya gagal
jantung.
c. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner dalam Framingham study dikatakan sebagai penyebab
gagal jantung 46% pada laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes
dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal
jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL
juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Menurut
Whelton dkk di amerika (2001) penyakit jantung koroner memiliki resiko reatif sebesar 8,11
(P=0,001) untuk terjadinya gagal jantung.
d. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan darah yang tinggi
terus-menerus. Ketika tekanan darah terus di atas 140/80, jantung akan semakin kesulitan
memompa darah dengan efektif dan setelah waktu yang lama, risiko berkembangnya
penyakit jantung meningkat. Penurunan berat badan, pembatasan konsumsi garam, dan
pengurangan alkohol dapat membantu memperoleh tekanan darah yang menyehatkan.
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk
hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel
kirisistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung. Menurut Whelton dkk di amerika (2001) hipertensi memiliki
resiko reatif sebesar 1,4 (P=0,001) untuk terjadinya gagal jantung.
e. Penyakit katup jantung
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral
dan regurgitasi aorta menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload)
sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Menurut
Whelton dkk di amerika (2001) penyakit katup jantung memiliki risiko relatif sebesar
1,46 (P=0,001) untuk terjadinya gagal jantung.
f. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya
gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan
janin. Penyakit jantung bawaan bisa terdiagnosis sebelum kelahiran atau sesaat setelah
lahir, selama masa anak-anak, atau setelah dewasa. Penyakit jantung bawaan dengan
adanya kelainan otot jantung akan mengarah pada gagal jantung.
g. Penyakit Jantung Rematik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah
suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa
penyempitan, atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai
akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik. Demam rematik akut dapat
mneyebabkan peradangan pada semua lapisan jantung. Peradangan endokardium
biasanya mengenai endotel katup, dan erosi pinggir daun katup bila miokardium
terserang akan timbul nodular yang khas pada dinding jantung sehingga dapat
menyebabkan pembasaran jantung yang berakhir pada gagal jantung.
h. Aritmia
Aritmia adalah berkurangnya efisiensi jantung yang terjadi bila kontraksi atrium
hilang (fibrilasi atrium,AF). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung
dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi.
i. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit jantung kongenital, ataupun penyakit
katup jantung. Kardiomiopati ditandai dengan kekakuan otot jantung dan tidak
membesar sehingga terjadi kelainan fungsi diastolik (relaksasi) dan menghambat fungsi
ventrikel.
j. Merokok dan Konsumsi Alkohol
Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit jantung. Merokok
mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam membawa dan
mengirimkan oksigen, menurunkan level HDL-C (kolesterol baik) di dalam darah, serta
menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel penggumpalan darah. Pengumpalan
cenderung terjadi pada arteri jantung, terutama jika sudah ada endapan kolesterol di
dalam arteri. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari
kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-
obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan
obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik
langsung terhadap otot jantung.

2.4. Klasifikasi Gagal Jantung


2.4.1 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan manifestasi klinis
 Gagal Jantung Kiri dan Gagal Jantung Kanan
Gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan dapat terjadi secara tersendiri karena
pemompaan ventrikel yang terpisah satu dengan yang lain. Gagal jantung kiri dapat
terjadi akibat disfungsi ventrikel kiri yang tidak mampu memompakan darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan vena pulmonalis sehingga
menyebabkan edema paru yang pada akhirnya dapat mengakibatkan sesak napas, batuk,
dan kadang hemoptisis. Gagal jantung kanan terjadi akibat disfungsi ventrikel kanan
yang tidak mampu menangani pengembalian darah dari sirkulasi sistemik dan pada
akhirnya dapat mengakibatkan edema perifer karena darah terbendung dan kembali ke
dalam sirkulasi sistematis. Gangguan pada salah satu fungsi ventrikel dapat menghambat
fungsi ventrikel yang lain dimana volume darah yang dipompa dari masing-masing
ventrikel bergantung pada volume darah yang diterima oleh ventrikel tersebut.
 Gagal Jantung High Output dan Low Autput
Apabila curah jantung normal atau melebihi normal tetapi tidak mampu
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh akan darah teroksigenasi disebut gagal jantung
high output. Tanda khas dari gagal jantung high output adalah mudah lelah dan lemah.
Apabila curah jantung menurun di bawah nilai normal disebut gagal jantung low output.
Tanda khas dari gagal jantung low output adalah edema karena terjadi aliran balik darah
akibat gagal ventrikel.
 Gagal Jantung Akut dan Kronik
Gagal jantung akut disebabkan bila pasien secara mendadak mengalami penurunan
curah jantung dengan gambaran klinis dispnea, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih
berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Sedangkan gagal jantung kronik terjadi jika
terdapat kerusakan jantung yang disebabkan oleh iskemia atau infark miokard, hipertensi,
penyakit jantung katup dan kardiomiopati sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung
secara bertahap.
 Gagal jantung Forward dan backward
Gagal jantung forward terjadi oleh karena suplai darah tidak cukup ke aorta. Rasa
lelah terutama sewaktu melakukan pekerjaan adalah gejala yang khas pada gagal jantung
forward. Gagal jantung backward terjadi apabila ventrikel kiri tidak mampu memompakan
darah yang datang dari vena vulmonalis dan atrium kiri sehingga terjadi pengisian yang
berlebihan di paru-paru. Gagal jantung backward biasanya mangakibatkan edema paru.

2.4.2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kemampuan fungsional


Gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA) diklasifikasikan menjadi:
a. Kelas I
Penderita gagal jantung yang tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
b. Kelas II
Penderita gagal jantung yang dikategorikan ringan dengan sedikit batasan aktivitas fisik
karena akan timbul gejala pada saat melakukan aktivitas tetapi nyaman pada saat istrahat.
c. Kelas III
Penderita gagal jantung yang dikategorikan sedang dengan adanya batasan aktivitas fisik
bermakna karena akan timbul gejala pada saat melakukan aktivitas ringan.
d. Kelas IV
Penderita gagal jantung yang dikategorikan berat dimana penderita tidak mampu
melakukan aktivitas fisik karena gejala sudah dirasakan pada saat istrahat.

2.5. Gejala Gagal Jantung


Beberapa gejala atau keluhan yang sering ditemukan pada penderita gagal jantung
adalah:
1. Dispnea
Dispnea atau perasaan sulit bernapas pada saat beraktivitas merupakan
manifestasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea diakibatkan karena terganggunya
pertukaran oksigen dan karbon dioksida dalam alveoli serta meningkatnya tahanan aliran
udara.
2. Ortopnea
Yaitu kesulitan bernafas apabila berbaring telentang. Ortopnea disebabkan oleh
redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh ke jantung dan paru-paru. Penurunan
kapasitas vital paru-paru merupakan suatu faktor penyebab yang penting.
3. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Yaitu dispnea yang timbul secara tiba-tiba pada saat tidur. Paroxysmal Nocturnal
Dyspnea (PND) terjadi karena akumulasi cairan dalam paru ketika sedang tidur dan
merupakan manifestasi spesifik dari gagal jantung kiri.
4. Batuk
Penderita gagal jantung dapat mengalami keluhan batuk pada malam hari, yang
diakibatkan bendungan pada paru-paru, terutama pada posisi berbaring. Batuk yang
terjadi dapat produktif, tetapi biasanya kering dan pendek. Hal ini bisa terjadi karena
bendungan mukosa bronkial dan berhubungan dengan adanya peningkatan produksi
mukus.
5. Rasa mudah lelah
Penderita gagal jantung akan merasa lelah melakukan kegiatan yang biasanya
tidak membuatnya lelah. Gejala mudah lelah disebabkan kurangnya perfusi pada otot
rangka karena menurunya curah jantung. Kurangnya oksigen membuat produksi adenisin
tripospat (ATP) sebagai sumber energi untuk kontaksi otot berkurang. Gejala dapat
diperberat oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sehingga dapat disertai
kegelisahan dan kebingungan.
6. Gangguan pencernaan
Gagal jantung dapat menimbulkan gejala-gejala berupa gangguan pada
pencernaan seperti kehilangan napsu makan (anoreksia), perut kembung, mual dan nyeri
abdomen yang disebabkan oleh kongesti pada hati dan usus. Gejala ini bisa diperburuk
oleh edema organ intestinal, yang bisa menyertai peningkatan menahun dalam tekanan
vena sistemik.
7. Edema (pembengkakan)
Pada penderita gagal jantung dapat ditemukan edema, misalnya pada pergelangan
kaki. Edema kaki dapat terjadi pada venderuta yang mengalami kegagalan ventrikel
kanan. Edema paru timbul bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih
banyak dari yang bisa dikeluarkan. Akumulasi cairan ini akan berakibat serius pada
fungsi paru oleh karena tidak mungkin terjadi pertukaran gas apabila alveoli penuh terisi
cairan. Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi suatu aliran keluar yang kontinyu
dari cairan dan protein dalam pembuluh darah ke jaringan interstisial dan kembali ke
sistem aliran darah melalui saluran limfe. Pada individu normal tekanan kapiler pulmonal
(“wedge” pressure) adalah sekitar 7 dan 12 mm Hg. Karena tekanan onkotik plasma
berkisar antara 25 mmHg, maka tekanan ini akan mendorong cairan kembali ke dalam
kapiler. Tekanan hidrostatik bekerja melewati jaringan konektif dan barier seluler, yang
dalam keadaan normal bersifat relatif tidak permeabel terhadap protein plasma. Paru
mempunyai sistem limfatik yang secara ekstensif dapat meningkatkan aliran 5 atau 6 kali
bila terjadi kelebihan air di dalam jaringan interstisial paru. Edema paru akan terjadi bila
mekanisme normal untuk menjaga paru tetap kering terganggu seperti tersebut di bawah
ini (Flick, 2000; Alpert 2002) :
- permeabilitas membran yang berubah.
- tekanan hidrostatik mikrovaskuler yang meningkat.
- tekanan peri mikrovaskuler yang menurun.
- tekanan osmotik / onkotik mikrovaskuler yang menurun.
- tekanan osmotik / onkotik peri mikrovaskuler yang meningkat.
- gangguan saluran limfe.

2.6 Diagnosis gagal jantung


1. Anamnesis
Anamnesis merupakan cara untuk mendapatkan keterangan dan data klinis
tentang keadaan penyakit pasien melalui tanya jawab. Keluhan pasien merupakan
gejala awal gagal jantung. Pengambilan anamnese secara teliti penting untuk
mendeteksi gagal jantung.

2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti

Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria besar atau 1


kriteria utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor.

Kriteria Mayor:
1. Paroksismal nocturnal dyspnea
2. Distensi vena pada leher
3. Rales
4. Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
5. Edema paru akut
6. S3 ( Suara jantung ketiga )
7. Peningkatan tekanan vena jugularis (> 16 cm H2O di atrium kanan)
8. Hepatojugular refluks
Kriteria Minor:
1. Bilateral ankle edema
2. Batuk nokturnal
3. Dyspnea pada aktivitas biasa
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
7. Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)

3. Rontgen thorax
Rontgen toraks dapat menunjukkan adanya pembesaran ukuran jantung
(kardiomegali) yang ditandai dengan peningkatan diameter tranversal lebih dari 15,5
cm pada pria dan lebih 14,5 cm pada wanita, hipertensi vena, atau edema paru.
Rata-rata pada orang dewasa dengan bentuk tubuh yang normal, rasio itu
berkisar antara 45-50%. Rasio ini tidak selalu bermakna patologik, seseorang dengan
rasio yang normal masih ada kemungkinan menderita penyakit jantung. Rasio yang
lebih dari 50% sering dijumpai pada orang yang gemuk dan pendek, karena letak
jantung mendatar (horizontal), tanpa ada kelainan pada jantungnya.
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan foto thorax. Radiograph
(foto thorax) yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung
dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column,
dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih
gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding
dada. Foto thorax yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-
kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan
opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang
minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian
dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun mungkin memberikan
informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)

Gambar 2. X-foto Thorax Gagal Jantung Kongestif

2.7 Pencegahan gagal jantung


2.7.1. Pencegahan primordial
Pencegahan primordial ditujukan pada masyarakat dimana belum tampak adanya
resiko gagal jantung. upaya ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang sehat agar
tetap sehat dan terhindar dari segala jenis penyakit termasuk penyakit jantung. cara hidup
sehat merupakan dasar pencegahan primordial penyakit gagal jantung seperti
mengkomsumsi makanan sehat, tidak merokok, berolah raga secara teratur, meghindari
stress, seta memelihara lingkungan hidup yang sehat.
2.7.2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ditujukan pada masyarakat yang sudah menunjukkan adanya
faktor risiko gagal jantung. Upaya ini dapat dilakukan dengan membatasi komsumsi
makanan yang mengandung kadar garam tinggi, mengurangi makanan yang mengandung
kolesterol tinggi, mengontrol berat badan dengan membatasi kalori dalam makanan sehari-
hari serta menghindari rokok dan alkohol.
2.7.3. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada orang yang sudah terkena gagal
jantungbertujuan untuk mencegah gagal jantung berlanjut ke stadium yang lebih berat. Pada
tahap ini dapat dilakukan dengan diagnosa gagal jantung, tindakan pengobatan dengan tetap
mempertahankan gaya hidup dan mengindari faktor resiko gagal jantung.

2.8 Terapi Gagal Jantung


2.8.1 Terapi Non Farmakologi
1. Diet
Pasien gagal jantung dengan obesitas harus diberi diet yang sesuai untuk
menurunkan gula darah, lipid darah darah dan berat badannya. Asupan NaCl harus
dibatasi menjadi 2-3 gr/ hari untuk gagal jantung ringan atau < 2 gr/hari untuk gagal
jantung berat.
2. Merokok harus dihentikan.
3. Aktifitas Fisik
Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal
jantung yang stabil (NYHA kleas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
4. Istirahat
Istirahat dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil (NYHA kelas IV).

2.8.2 Terapi Farmakologik

 Angiotensin converting enzyme (ACEI)


Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung
dan meningkatkan angka keselamatan.

Pasien yang harus mendapatkan ACEI :


- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi Memulai pemberian
ACEI :
- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.
- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal
atau hyperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat.
 Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF <
40% yang masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker serta
antagonis aldosteron. Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel
dan kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung. ARB direkomendasikan sebagai pilihan lain pada
pasien yang tidak toleran terhadap ACEI. ARB menurunkan risiko kematian
dengan penyebab kardiovaskular.

Pasien yang harus mendapatkan ARB :


- LVEF < 40%
- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
- Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:


- periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan
secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

 Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda
klinis/ gejala kongesti.

Memulai pemberian diuretik :


- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum
- Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide karena
efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis
- Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian
dan tanda klinis lainnya dari retensi cairan.

 Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada terapi
yang sudah ada, termasuk dengan ACEI. Jika tidak ada kontraindikasi, aldosteron
antagonis ditambahkan pada keadaan LVEF <35% dengan gejala gagal jantung yang
berat.

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :


- LVEF < 35%
- Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :


- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan dosis
jika terjadi pernurukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

 Beta bloker
Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik dan
LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup pasien, menurunkan angka masuk RS untuk perburukan gagal
jantung dan meningkatkan harapan hidup. Terapi beta bloker seharusnya sudah
dimulai di RS sebelum pasien dipulangkan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:


- Mengurangi detak jantung : memperlambat pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard.
- Meningkatkan LVEF
- Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure
Pasien yang harus mendapatkan beta bloker :
- LVEF <40%
- Gejala ringan sampai berat
- ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal
- Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari dosis
diuretik).
Memulai pemberian beta bloker :
- Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada pasien yang
dikompensasi dengan hati-hati.
- Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Jangan
meningkatkan dosis jika terdapat tanda-tanda perburukan gagal jantung, hipotensi
gejala atik (perasaan melayang) atau bradikardi berat (nadi < 50 x / menit) pada tiap
kunjungan.

 Glikosida jantung
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas
dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium
intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi

kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.


Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan
untuk mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Pada penderita gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi dengan
digoksin (sebagai tambahan ACEI) memperbaiki fungsi ventrikel, mengurangi angka
masuk RS karena perburukan gagal jantung namun tidak berpengaruh terhadap
survival.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri.
- Menstimulasi baroreseptor jantung
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.
- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal
tone.
- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit, dan saat
aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%) yang
mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.

 Senyawa Amin Simpatomimetik


Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat
digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan agonis
beta1 selektif yang dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan
pengisian ventrikel.
- efek inotropik positif
- efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload
Efek dopamin sangat tergantung dosis:
- dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan
diuresis
- dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung
dan detak jantung
- dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan
meningkatkan tekanan darah.
Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi

 Terapi vasodilator
A. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki
efek inotropik negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung. Amlodipin
merupakan satu-satunya antagonis kalsium yang dapat menurunkan mortalitas
pada gagal jantung.
B. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida
Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung dan
kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan dalam afterload

menimbulkan peningkatan curah jantung.


Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya kondisi
hipotensi. Karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan
infark miokard akut. Pada saat memberikan nitroprusid, sebaiknya dilakukan
monitoring tekanan darah intra arteri.

 Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)


Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko
kematian, angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan
memperbaiki fungsi ventrikel dan kapasitas latihan.
Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN
- Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun sudah
mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis aldosteron.
Memulai pemberian H-ISDN :
Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis
pada hipotensi yang simtomatis.

 Peptida natriuretik
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa
peptida ini bekerja menyebabkan :
- Natriuresis.
- Diuresis.
- Dilatasi vena dan arteri.
- Penghambatan sistem saraf simpatis.
- Antagonis protein pada rantai RAAS.
- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular.

 Trombolitik
A. Antiplatelet
Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan. Aspirin
memperlihatkan perburukan gagal jantung berdasarkan pada proses penghambatan
prostaglandin. Penelitian lain memperlihatkan bahwa efikasi ACEI dapat menurun
jika diberikan bersamaan dengan aspirin.
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita
dengan gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa
kontraindikasi terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan
risiko komplikasi tromboemboli termasuk stroke.

B. Antikoagulan
Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan:
- Fibrilasi atrial
- Riwayat tromboembolik
- Trombus pada ventrikel kiri
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita
dengan gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa
kontraindikasi terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan
risiko komplikasi tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat
Bukti A). Antikoagulan juga direkomendasikan pada penderita dengan trombus
intrakardiak yang dideteksi dengan imaging atau bukti emboli sistemik.

Tabel 1. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung


Obat Dosis awal Dosis target
ACEI
Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg
Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg
Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg
Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg
ARB
Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg
Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg
Beta bloker
Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg
Metoprolol succinat 1 x 12,5 – 25 mg 200 mg
Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Hidralazin – ISDN
Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg
Antagonis aldosteron
Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg
Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg
DAFTAR PUSTAKA

1. Karim, S. Kabo, P. 2002. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit


Jantung untuk Dokter Umum. Jakarta : Balai Penerbit UI
2. Purwohudoyo, S. 1984. Pemeriksaan Kelainan-Kelainan Kardiovaskular
Dengan Radiografi Polos. Jakarta : UI Press
3. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6. Jakarta. EGC
4. Hess OM, Carrol JD. Clinical assessment of heart failure. In : Libby P, Bonow
RO, Mann DL, Zipes DP. In : Braunwald’s heart disease. A textbook of
cardiovascular medicine. 8th. Ed.Saunders company, 2007: 561-580
5. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008.European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

6. ACC/AHA guideline for the diagnosis and management of heart failure in


adults; 2009.http://circ.ahajournal.org/cgi/content/full/119/14/ 1977.

7. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi II. Jakarta : FK UI


8. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, jilid I. Jakarta:
FK UI

Anda mungkin juga menyukai