Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan


gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang
berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan penyakit kulit.1
Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter,
dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut
tidak dapat menentukan penyebabnya.2
Kelainan kulit yang terjadi dapat berupa eritema, vesikel/bula, dan disertai
purpura. Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya
Ektoderma Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema
Multiformis tipe Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna.
Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1
Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan
diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap
sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang
ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan
golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan
di negara timur, obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan
karbamazepin.3 Selain itu, obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab tersering
terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan,
dan Hongkong.4
Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya
Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang
sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%),
karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti
amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5
Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome
seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada

1
pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja
kepada pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini
terjadi pada pasien.

2
BAB II

KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. N
Usia : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Langensari, Kota Banjar
Tanggal Masuk RS : 5 September 2016

1. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Bercak-bercak kecoklatan disertai gelembung-gelembung berisi cairan
disertai rasa perih dan panas hampir diseluruh tubuh sejak 3 hari SMRS.

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan timbul bercak-bercak kecoklatan disertai
gelembung-gelembung berisi cairan hampir diseluruh tubuh sejak 3 hari
SMRS. Pasien mengatakan keluhan bercak kecoklatan disertai rasa perih.
Bercak kecoklatan semakin meluas keseluruh tubuh, menyerang ke bagian
wajah dan gelembung-gelembung berisi cairan semakin bertambah.
Keluarga pasien mengatakan, pasien merupakan pasien post rawat inap
disalah satu klinik Kota Banjar karena keluhan sakit kepala selama 4 hari,
setelah itu pasien melakukan pengobatan rawat jalan. Pengobatan rawat jalan
dilakukan setiap 1 minggu, setelah abis obat pasien melakukan kontrol. 2 hari
setelah kontrol yang kedua pasien merasakan demam, sakit kepala dan pegal-
pegal pada badan, punggung, tangan dan kaki. Awalnya timbul bercak-bercak

3
merah sebesar uang logam disertai dengan timbul melenting-melenting sebesar
biji kacang hijau di daerah tungkai bawah, kemudian keesokan harinya bercak
meluas hampir keseluruh tubuh dengan gelembung-gelembung yang berisi
cairan. Keluhan tersebut disertai rasa perih dan panas. Pasien menyangkal
bercak disertai dengan rasa gatal. Pasien mengeluh adanya demam dan sakit
kepala, perih pada kedua mata dan sedikit sulit dibuka, penglihatan ganda
disangkal, penurunan tajam penglihatan juga disangkal. Pasien juga
mengeluhkan sulit untuk membuka mulut, dikarenakan bibir pasien lecet dan
kering. Nafsu makan pasien juga berkurang, pasien mengeluh sulit menelan
dan tidak enak disekitar lidah. Sesak nafas disangkal, batuk dan pilek
disangkal, BAK dalam batas normal dan tidak ada keluhan, dan belum BAB
sejak masuk 2 hari yang lalu.
Keluarga pasien mengatakan tidak ada yang mengalami keluhan seperti
ini dirumah, sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
dan tidak ada riwayat penyakit kronis yang diderita oleh pasien. Riwayat
penyakit keluarga juga disangkal.
Pasien seorang Ibu rumah tangga, sehari-hari hanya bekerja mengurusi
rumah. Tidak ada riwayat konsumsi obat-obatan dalam jangka panjang.
Pasien mengatakan untuk keluhan ini belum dilakukan pengobatan,
pasien hanya melanjutkan obat-obat yang diberikan Dokter dalam pengobatan
jalan pasien. Obat-obat yang diberikan berupa obat tablet yaitu Hibafion
berupa Vitamin dan mineral, Triminex berisi kandungan Trimetoprim dan
Sulfametoktazol.
Riwayat alergi makanan, obat, dan cuaca disangkal.

2. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Tanda-tanda vital
TD : 120/60 mmHg
Nadi : 100x/menit

4
RR : 20x/menit
Suhu : 38◦C

Status Generalis
Kepala Normocephal, rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut.
Mata Konjungtiva hiperemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), Reflek Pupil (+/+),
Isokor, d= 3 mm, edema palpebra (-/-), sekret (+/+), pegerakan mata
ke segala arah baik.
Hidung septum deviasi (-), sekret (-/-), mukosa hidung lecet (+/+)
Telinga Normotia, nyeri tekan daun telinga (-/-), serumen (-/-).
Mulut Mukosa bibir kering (+), krusta kehitaman (+), lecet (+)
Leher Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks Simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada, suara napas vesikuler
(+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-), bunyi jantung I dan II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen Datar, supel, BU (+), perkusi timpani, nyeri tekan abdomen (-).
Ekstremitas Akral hangat (+), sianosis (-), edema (-/-), CRT < 2 dtk, onikolisis (-)

Status Dermatologis
Distribusi Generalisata
A/R Hampir seluruh tubuh (wajah, badan, kedua lengan, dan kedua
kaki)
Lesi Multiple, sebagian diskret, sebagian konfluens, Sirkumskrip,
sebagian menimbul, sebagian tidak menimbul, ukuran
bervariasi 0,5x2 cm, 4x5 cm, dan 8x13 cm, lesi kering.
Efloresensi Makula kecoklatan, makula hiperpigmentasi, vesikel, bula,
krusta kehitaman.

5
Foto Klinis Pasien

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal dan Satuan
Hasil
Hemoglobin 10,8 10-18 gr/dl
Leukosit 11,2 4,0-11,0 ribu/mm3
Trombosit 176 150-450 ribu/mm3
Hematokrit 33 30-55 %

6
Eritrosit 4,91 4,76-6,95 juta/uL
MCV 85 80-90 μm3

MCH 28 26,5 – 33,5 L pg


MCHC 33 31,5 – 35,0 g/dL
GDS 83 80-150 mg/dl

4. RESUME
Wanita 26 tahun datang dengan keluhan timbul bercak-bercak
kecoklatan disertai gelembung-gelembung berisi cairan hampir diseluruh tubuh
sejak 3 hari SMRS. Pasien mengatakan keluhan bercak kecoklatan disertai rasa
perih. Bercak kecoklatan semakin meluas keseluruh tubuh, menyerang ke bagian
wajah dan gelembung-gelembung berisi cairan semakin bertambah.
Keluarga pasien mengatakan, pasien merupakan pasien post rawat inap
disalah satu klinik Kota Banjar karena keluhan sakit kepala selama 4 hari,
setelah itu pasien melakukan pengobatan rawat jalan. Pengobatan rawat jalan
dilakukan setiap 1 minggu, setelah abis obat pasien melakukan kontrol. 2 hari
setelah kontrol kedua pasien merasakan demam, sakit kepala dan pegal-pegal
pada badan, punggung, tangan dan kaki. Awalnya timbul bercak-bercak merah
sebesar uang logam disertai dengan timbul melenting-melenting sebesar biji
kacang hijau di daerah tungkai bawah, kemudian keesokan harinya bercak
meluas hampir keseluruh tubuh dengan gelembung-gelembung yang berisi
cairan. Keluhan tersebut disertai rasa perih dan panas. Pasien mengeluh adanya
demam dan sakit kepala, perih pada kedua mata dan sedikit sulit dibuka. Pasien
juga mengeluhkan sulit untuk membuka mulut, dikarenakan bibir pasien lecet
dan kering. Nafsu makan pasien juga berkurang, pasien mengeluh sulit menelan
dan tidak enak disekitar lidah.
Pasien mengatakan untuk keluhan ini belum dilakukan pengobatan,
pasien hanya melanjutkan obat-obat yang diberikan Dokter dalam pengobatan
jalan pasien. Obat-obat yang diberikan berupa obat tablet yaitu Hibafion berupa
Vitamin dan mineral, Triminex berisi kandungan Trimetoprim dan
Sulfametoktazol.

7
Pemeriksaan Fisik :
Mata : Konjungtiva hiperemis (+/+), Sekret (+/+)
Hidung : Mukosa hidung lecet (+/+)
Mulut : mukosa bibir kering (+), krusta kehitaman (+)

Status Dermatologis :
Distribusi universal, A/R Hampir seluruh tubuh (wajah, badan, kedua lengan,
dan kedua kaki), lesi Multiple, sebagian diskret, sebagian konfluens,
Sirkumskrip, sebagian menimbul, ukuran bervariasi 0,5x2 cm, 4x5 cm, dan 8x13
cm, lesi kering. Dan efloresensi Makula kecoklatan, makula hiperpigmentasi,
vesikel, bula, krusta kehitaman.

5. DIAGNOSIS BANDING
 Sindrom Steven Johnson
 Nekrolisis Epidermal Toksik

6. DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Steven Johnson

7. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentaso
- Edukasi kepada pasien menganai penyakit tersebut
- Hindari konsumsi obat-obatan yang bukan dari dokter
- Berikan informasi kepada pasien bahwa penyakit ini bersifat lama atau
kronik
- Menjelaskan kepada pasien cara penggunaan obat.

Medikamentosa

- Infus D5%
- Metil Prednisolon Inj 2 x 1 ½ ampul
- Kompres Nacl untuk bibir kering 10 x 5 menit setiap hari.

8
8. PROGNOSIS
- Quo Ad Vitam : Bonam
- Qua Ad Functionam : Bonam
- Qua Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

9
BAB III
PEMBAHASAN

II.1 Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) (sinonim epidermal necrolysis, Lyell’s
disease) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi mukokutan
akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas
sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis dan
histopatologis, faktor risiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini
digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahan
saja. Pada SSJ, terdapat epidermolisis sebesar < 10% luas permukaan badan
(LPB), sedangkan pada NET > 30%. Keterlibatan 10%-30% LPB disebut
sebagai overlap SSJ-NET.6
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai
oleh trias kelainan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala
umum berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-
mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.
Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat
sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.
Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara
simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa
tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.4

II.2 Epidemiologi
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insidens SSJ
adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta

10
penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka
kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi
peningkatan risiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat inap
RSCM menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan
rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.6

II.3 Etiologi
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun
penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu
reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam
tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema
Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga
dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan
25% karena infeksi dan penyebab lainnya. Paparan obat dan reaksi
hipersensitivitas yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yangsangat besar
dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling
umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang
menerima dosis harian setidaknya 200 mg.7
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan
antipiretik (penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat
menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin,
Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat
Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis,
Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin,
Karbamazepin dan jamu-jamuan.1

11
2. Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr,
enterovirus, HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok,
lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri,
brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan
tifus.
c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan
histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.7
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.7
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins,
Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.1

12
II.4 Patofisiologi
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui.Pada
lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas.Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK
dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin
terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu : IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-
L, granulisin, perforin, granzim-B.6
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat.Berbagai obat
dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET.Obat-obat yang sering menyebabkan
SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan aromatik, alopurinol, anti-
inflamasi non-steroid dan nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya
karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA berperan pada
proses terjadinya SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus eritema
multiforme, misalnya infeksi virus dan Mycoplasma.6
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)
yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan
antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi
sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan
endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor

13
penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat
infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat
mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan
akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan
dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya.
Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.4

II.5 Manifestasi Klinis


Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan
obat.Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya
demam, sakit kepala, batuk/pilek, dan malaise selama 1-3 hari.Lesi kulit tersebar
secara simetris pada wajah, badan dan bagian proksimal ekstremitas, berupa
makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target.Dengan
bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik,
sehingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif.Keparahan dan
diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami
epidermolisis.Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai
minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi
di mukosa genital. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang,
misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal.6

14
Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang
sangat akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala,
batuk berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat
berlangsung selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai
gejala awal.4 Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih
berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju
pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.1 Adapun 3 kelainan utama
yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-
Johnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema,
papula, vesikel, dan bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul
adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada
sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya
memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula
purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh penderita
sindrom Stevens-Johnson.8 Lesi yang muncul dapat pecah dan
meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi sekunder.4
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan
tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh
yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila
pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk
sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome
– Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area
tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).8,9

15
16
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian
genital.10 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema,
edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah,
dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya
bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.1
Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk
bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria
sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.9

17
c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka
dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga
dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak
mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea
mata.4,10,11

II.6 Diagnosis
Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang
kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan
konsumsi obat tersangka; dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis
SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan pada < 10% LPB, NET bila
epidermolisis > 30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30%
LPB.6
Untuk mengonfirmasi diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan biopsi.12
Infiltras sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas
di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui
pada pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain
dari kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:

18
a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolarlecet
subepidermal
b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular
c. Apoptosis keratinosit
d. CD4+T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8+T limfosit mendominasi
di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar
disusupi oleh CD8+T limfosit.4
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:
a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan
sel-sel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar
dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T
Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif
dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

II.7 Diagnosis Banding


Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya:
Staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption,
acute generalized exanthematous pustulosis, graft versus host disease dan lupus
eritematosus bulosa. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang cermat. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
histopatologis kulit untuk memastikan diagnosis.6
Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema multiforme
mayor. Pada keadaan ini, anamnesis tentang obat sebagai penyebab,
pemeriksaan klinis untuk menentukan epidermolisis akan sangat membantu,
sebelum dibutuhkan pemeriksaan histopatologis.6

19
20
II.8 Penatalaksanaan
SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan
tatalaksana yang optimal berupa : deteksi dini dan penghentian segera obat
tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan untuk
merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan khusus.6
Perawatan suportif mencakup : mempertahankan keseimbangan cairan,
elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30oC, nutrisi sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara aseptik
tanpa debridement, perawatan mata dan mukosa mulut. Berbagai terapi spesifik
telah dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang

21
jelas karena sulitnya mengadakan uji klinis.Penggunaan kortikosteroid sistemik
sampai saat ini hasilnya sangat beragam, sehingga penggunaannya belum
dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus
SSJ-NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka kematian pada periode
2010-2013 sebesar 10,5%.6
IVIg, siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis, dan hemodialisis juga
telah digunakan di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi.6
Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu
dan zat aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak
menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari.Kalau keadaan
umunya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan
pasien harus dirawat-inap.Pengggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan
life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam
beberapa hari.Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang
pasien SSJ yang berat, harus segera di rawat-inap dan diberikan deksametason 6
x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi,
keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak
mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan
dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.5
Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan
dosis setara.Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit
dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan kerja sedang,
sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih
mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat
pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek
sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya

22
penyebab SSJ ialah eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun
(endogen), misalnya pemfigus.5
Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin
antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul
lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan
lain kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi
kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah
kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dengan kasa steril
selama ½ jam untuk menghindari kontaminasi.5
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul
miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis
kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.5
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan
berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik.
Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang
rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk
mencegah sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya
siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas
sering digunakan karena juga efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg
iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2
gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya diingat obat tersebut akan memberikan
sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotik beta
laktam. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang
miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik.
Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat
penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per os.5
Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun.

23
Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat
ringer berbanding 1 : 1 :1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.5
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-
turut.Efek transfusi darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila
terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi
leukosit cepat menjadi normal.5
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meninggikan daya tahan.Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan
TEN yang dilakukan ialah :
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari
belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari
dan TEN 40 mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan
karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat naik
sedikit, namun cepat turun.5
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg sehari iv.5
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik.Pada daerah erosi dan
ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat
diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya
krim urea 10%.Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat
garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
terjadinya kekeringan pada bola mata.5

II.9 Prognosis
Pada pasien yang mengalami penyembuhan re-epitelisasi terjadi dalam
waktu rerata 3 minggu.Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan

24
gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan
pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku.6
Bastuji-Garin dkk. (2000) mengajukan cara menilai prognosis SSJ-NET
berdasarkan Scorten yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia > 40
tahun, denyut jantung > 120/menit, terdapat kanker atau keganasan hematologik,
epidermolisis > 10% LPB, kadar urea serum > 10 mM/L (> 28 mg/dL), kadar
bikarbonat serum < 20 mEq/L, kadar gula darah sewaktu > 14 mM/L (> 252
mg/dL). Nilai SCORTEN ini dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke-1 dan ke-
3.Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang
mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure.6

25
BAB III
KESIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan


gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang
produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan
kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.
Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan
kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit
kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated
hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana
kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat
paparan fisik lain kepada pasien.
Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS
sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa
diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan
terhadap luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara
lain, obat penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan reaksi hipersensitivitas,
antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk mengobati peradangan kulit.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada tingkat
pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka
prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia
penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan
tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah, Mochtar, et al. Sindrom Stevens-Johnson dalam : Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: FKUI; 2008. p.163-165
2. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome in Drug Alert. Department of
Pharmacology. JIPMER. 2006; 2(1). Didapat dari: http://www.jipmer.edu/
[Diakses pada tanggal 11 September 2016]
3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of Severe Cutaneous Adverse Drug
Reactions: The Emerging Value of Pharmacogenetic Screening. CMAJ.
2010;182(5):476-80.
4. Foster CS. Stevens-Johnson Syndrome. Medscape. Didapat dari:
http://emedicine.medscape.com/ [Diakses pada tanggal 12 September 2016]
5. Djuanda, Adhi. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
5. Jakarta: FKUI; 2007. p. 163-165.
6. Effendi, Evita H. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik
dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI; 2015. p.
199-200
7. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff
A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is The Most Common
Cause of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in Europe
and Israel. J Am Acad Dermatol; 2008, 58:25-32.
8. Mockenhaupt M. The Current Understanding of Stevens-Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Review Clinical Immunology.
2011;7(6):803-15.
9. Klein PA. Dermatologic Manifestation of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. Medscape. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/
[Diakses pada tanggal 16 September]
10. Harr T, French LE. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome.
Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.
11. Gerull R, et al. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome: A
review. Critical Care Medicine. 2011;39:1521
12. Wolff, Klaus. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Seventh Edition
Volumes 1 & 2. Amerika: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 349-355

Anda mungkin juga menyukai