Anda di halaman 1dari 23

ZIGOMIKOSIS

(Phycomycosis, mucormycosis, entomophthoromycsois , hyphomycosis,


subcutaneoupshycomycosis, rhinophycomycosis,
phycomycosisentomophthrae,
basidiobolomycosis, oomycosis, rhinoentomophthoromycosis)

PENDAHULUAN
Zigomrkosis adalah infeksi yang disebabkan oleh golongan filum
zygomicota. Infeksi ini sangat jarang pada manusia maupun hewan. Pada
umumnya kasus zigomikosis pada manusia dihubungkan dengan kondisi
imunologisnya (asidosismetabolik, imunosupresi, trauma). Pada hewan
kondisi demikian kurang jelas, tetapi kurangnya nutrisi dan hewan yang
dengan populasi padat dapat menjadi predisposisi terinfeksi jamur tersebut.
Istilah zigomikosis lebih disukai dibandingkan dengan mukormikosis dan
fikomikosis. Istilah fikomikosis dulu di gunakan ketika zigomikosis,
oomycetes, dan chytrid digolongkan bersama-sama kedalam divisi tunggal.
Taksonomi modern membuat kelompok ini tidak beranggota (kosong) dan
oleh sebab itu istilah fikomikosis tidak dipakai lagi. Kelas zigomikosis terdiri
atas dua ordo, yaitu mucorales dan entomophthorales. Mucorales biasanya
menyerang orang yang immunocompromised dan entomophthorales
menyerang orang imunokompeten. Beberapa penulis lebih rnenyukai
penggunaan istilah mukormikosis dan entomoftoromikosis, karena istilah
tersebut telah digunakan secara luas dan masih tetap digunakan sebagai judul
dalam indeks di National Library of Medicine di Amerika Serikat.

SEJARAH
Laporan tentang infeksi zigomycetes telah ada sejak lebih dari 150
tahun yang lalu, namun banyak kasus yang tidak didukung dengan
pemeriksaan mikologik. Tahun 1855, dilaporkan oleh Kurchenmeinster
adanya jamur mirip mucor pada kanker paru, berupa sporangia dan hifa tidak
bersekat. Padat ahun 1876, Fubringer melaporkan dua kasus mukormikosis
pulmoner, dengan ditemukannya infark hemoragik pada paru disertai hifa dan
beberapa sporangia. Fubringer menduga jamur.

tersebut termasuk Mucor mucedo, tetapi masih meragukan kemungkinan M.


circinelloides. Lindt kemudian mengindentifikasi jamur tersebut sebagai
Absidia corimbifera (Mucor corimbifera) pada tahun 1885. Paltauf pertama
kali melaporkan tentang mukormikosis generalisata yang didukung oleh
adanya filamen jamur pada berbagai organ. Walaupun tidak dilakukan ku
ltur jamur, tetapi Paltauf meyakini jamur penyebab adalah Mucor
corimbifera. Beberapa tahun kemudian dilaporkan pula kasus-kasus infeksi
zigomikosis. Pada tahun 1943, Gregory dkk, melaporkan tiga kasus
zigomikosis jenis rinoserebral dan melaporkan gejala, riwayat penyakit, dan
perkembangan penyakit dengan sangat akurat, sehingga menjadi acuan bagi
peneliti lainnya. Setelah tulisan tersebut, hampir 400 kasus dilaporkan. Sejak
tahun 1960, karena semakin banyak populasi dengan imunitas yang
terganggu, maka semakin sering pula ditemui kasus zigomikosis. Saat ini
zigomikosis merupakan infeksi oportunistik keempat tersering pada pasien
immunocompromised, setelah kandidiasis, aspergilosis dan kriptokokosis,
sebagai infeksi oportunistik. Lie Kiam Joe dkk, pada tahun 1956,melaporkan
tiga kasus pertama zigomikosis subkutan pada anak di Indonesia. Laporan
lainnya dari Asia Afrika dan Amerika Selatan juga menggambarkan anak-
anak dan dewasa muda yang pada umumnya sehat, terinfeksi jamur genera
Enthomopthorales. Infeksi ini lebih sering terjadi di daerah tropis dan subtro
pis dibandingkan dengan daerah lainnya.

EPIDEMIOLOGI
Jamur ini mempunyai distribusi yang luas di seluruh dunia dan merupakan
penyebab infeksi oportunistik yang dapat memberi gambaran klinis
bermacam- macam bergantung pada faktor predisposisinya. Juga tidak
dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, ras dan geografis. Pada umumnya
jamur ini tumbuh pada bahan yang mengandung karbohidrat. Jamur ordo
Mucorales dapat ditemukan dalam jumlah besar pada sayuran yang
membusuk, dan timbunan kompos. Jamur ini tumbuh cepat, kemudian
membentuk spora yang menyebar melalui udara dan dapat menjadi jamur
kontaminan di laboratorium atau infeksi nosokomial pada perban dan plester
di rumah sakit. Juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui alat suntik
yang terkontaminasi, kateter, jarum infus intravena, dan luka operasi. Bila
manusia mengkonsumsi maka
nan yang terkontaminasi spora jamur,
dapat terjadi zigomikosis primer pada saluran cerna.
2,3

Jamur ordo Entomophthorales juga dapat ditemukan pada sayuran dan buah-
buahan yang membusuk, tanah dan dalam saluran cerna hewan reptil, ikan,
binatang amfibi, dan kelewar. Diduga trauma kecil dan, sengatan serangga
dapat menjadi tempat masuknya jamur ini ke dalam tubuh manusia. Pada
umumnya infeksi lebih banyak terjadi pada pria muda. Di Uganda dilaporkan
perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2 dan di Negeria 3 : 1, sedangkan
Clark dan Martinson yang meneliti secara retrospektif kasus- kasus
konidiobolomikosis di Afrika dan Amerika Selatan, melaporkan rasio pria :
wanita sebesar 10 : 1.
Di Indonesia infeksi zigomikosis subkutan pernah dilaporkan di Semarang,
Jakarta dan Surabaya. Kasus yang ditemui hanya sedikit mungkin karena lesi
kecil dapat diobati dengan eksisi dan banyak kasus yang tidak terdiagnosis
dengan cepat.

ETIOLOGI
Zigomikosis biasanya disebabkan oleh jamur ordo Mucorales,misalnya :
Rhizomucor pussilus, Absidia corimbifEra, Cokeromyees recurvatus, Mucor
circinelloides, Mortierella wolfii, Cuninghamella bertholletiae, SaksanaeA
sp., dan Apophysomyces elegans. Jamur-jamur tersebut sering menginfeksi
pasien immunocompromised, sedangkan ordo Entomophthorales misalnya
Basidiobolus ranarum, Basidiobolus meristoporus, Canidiobolus coronatus,
Canidiobolus incongruus,lebih sering menginfeksi pasien imunokompeten.
Pernah dilaporkan infeksi Entomohpthoralespada pasien
immunocompromise, dengan invasi vaskuler dan trombosis seperti infeksi
oleh Mucorales. Demikian pula infeksi Mucorales dapat Terjadi pada pasien
imunokompeten, seperti yang dilaporkan oleh Prevood dkk
Rhizous arrhizus
Sinonimnya adalah R. Oryzae, terdapat 60% dari kasus penyakit manusia dan
±90% dari penyakit rhinocerebral. Seviour dkk, menyimpulkan bahwa
moriblogi, efek temperatur, dan lain-lain terlalu bervariasi untuk memisah-
misahkan spesies. Ellis menemukan 95% hubungan dengan hibridisasi DNA
antara strain. Roryzae dan R. arrhizus var arrhizus. Di Inggris, dua pasien
yang menerima kartikosteroid (karena nefitis) dari dokter yang sama,
keduanya kemudian menderita zigomikosis rhinoserebral. Dengan analisis
epidemiologi, organisme itu ditemukan dalam AC (Air Conditioner) di kantor
dokter itu.

Rhizopus rhizopodoformis Ditemukan dari infeksi kulit pada pasien DM


yang mendapat transplantasi ginjal dan dari penyakit rhinocerebral pasien
DM. Jumlahnya ± 10 – 15%. Termasuk etiologi yang paling sering dari
infeksi kulit dan GIT. Dapat juga diperoleh dari pakaian bedah yang
terkontaminasi. Namun, hanya sedikit infeksi organ ini yang serius. Absidia
corimbifbra Mungkin merupakan etiologi pada kasus zigomikosis pertama
yang dilaporkan Fubinger dan Paltauf. Urutan kedua setelah R. arrhizus pada
penyakit manusia, dan merupakan yang tersering pada mamalia dan burung.
Rhizomucor pusillus Jarang dilaporkan sebagai patogen manusia. Penyakit
rhinoserebral terjadi pada 3 pasien leukemia, dilaporkan Palacio-Hernanzdkk.
Ditemukan di udara dan dari permukaan alat-alat ruangan RS. Sering menjadi
penyebab infeksi kutan dan telah timbul dari endokarditis.
R. meihei
Adalah spesies termotoleran, patogen pada tikus tapi tidak didokumentasikan
sebagai penyebab infeksi natural. Beberapa strain R. pusillus (Ainsworth dan
Autswick, 1950-an) diidentifikasi sebagai. R . meihei. R. tauricus bersifat
termofilik (diatas 55oC) dan osmofilik tapi sejauh ini tidak ada kasus
dilaporkan.
Cokeromyces recurvatus
Diisolasi dari tanah dan kotoran binatang pengerat dan kadal. Terjadi pada
manusia pada 2 kasus. Yang pertama melibatkan kolonisasi di vagina dan
yang kedua kolonisasi pada vesica urinaria. Dalam kedua kasus ini,
bentuknya adalah “multiple budding yeast” dengan ∅15 – 25 mm.

Mucor circinelloides
Bersama dengan anggota genus Mucor lain, dapat menghasilkan bentuk
“yeast like” dalam pertumbuhannya, ditemukan dalam urine manusia. Ada
juga yang ditemukan pada spesimen feses, dan dari katak dalam bentuk
“yeast”. Infeksi pada manusia jarang.

Mortierella wolfill
Pada pertama kali diisolasi di India dari tanah, mirip penyebab pneumonia
dan aborsi dari sapi. Wabah penyakit ini terjadi di Selandia Baru, Australia,
Inggris, Amerika Serikat. Dibandingkan dengan spesies lain, relatif tidak
sangat virulen kecuali diberikan darirute intraserebral.

Cunninghamella bertholletiae
Ditemukan pertama kali pada pasien kanker (1959) dan sampai 1987 ada 9
kasus yang telah dilaporkan. Karakteristik adalah invasi vaskular yang
progresif dan agresif, trombosis dan infark jaringan. Kebanyakan
pasienadalah pasien yang sangat immunocompromised walaupun ada 2 pasi
en thalassemia dan 1 diabetes. Histopatologi dari penyakit kronis sepertinya
selalu bergabung dengan infeksi Basidiobolus dan Conidiobolus.

Saksenaea
Genus monotype Saksenaea ditemukan oleh Saksena (1953) berdasarkan
isolan dari tanah di India dan tempat lain. S Vasiformis dicatat dari infeksi
manusia tahun 1976, dimana pasiennya menderita trauma kepala yang parah,
dan infeksi suborbital berkembang ketika pasien mendapat steroid. Terapi
Amphotericin-B gagal. 3 kasus dilaporkan Ellis dan Kominski. Yang pertama
terjadi pada lengan atas kiri, berupa makula yang berulkus dan progresif,
Amphotericin B berhasil. Kasus kedua terjadi pada wanita Goth berupa
makula eritema di tungkai tanpa riwayat luka sebelumnya, dibutuhkan
amputasi karena terjadi kerusakan jaringan kutan yang progresif. Tidak ada
detail yang diberikan pada kasus ketiga.

Apophysomyces elegans
Didapat dari tanah di India. Ellis dan Ayelb menemukannya dari hapusan
bronkus pasien (1982). Winn dkk (1982) melaporkan 3 kasus pada manusia
dengan lesi invasif yang mengikuti trauma. Debridement yang agresif dan
Amphotericin B dibutuhkan; 1 pasien meninggal. Kasus Wiedendkk terjadi
pada pasien diabetes yang tidak terkontrol. Lawrence dkk melaporkan infeksi
sistemik pada host yang imunocompromised. Pada semua kasus,
jalanNmasuknya diperkirakan melalui kulit atau paru.

GAMBARAN KLINIS
Zigomikosis adalah penyakit yang sangat bergantung pada kondisi
imunologis tubuh pejamu dan kemampuan organisme penyebab untuk
tumbuh pada lingkungan tertentu. Dengan demikian infeksi dapat
berlangsung kronis bahkan dorman, tetapi dapat pula akut dan fulminan.
Demikianpula organ tubuh yang diserang dapat bermacam-macam,
bergantung pada tempat masuknya organisrne.

Zigomikosis rinoserebral akut


Etiologi tersering adalah Rhizopus sp.Pasien biasanya diabetes dengan
asidosis, leukemia atau dalam terapi imunosupresi. Infeksi dimulai di sinus
paranasal atau konka bagian atas. Kadang dapat pula dari faring dan palatum.

Gejala klinis pada hidung : dari hidung keluar sekret berwarna hitam dengan
sedikit bercak darah. Pada septum dan konka tampak bercak-bercak merah
kehitaman sebagai area nekrotik. Kerokan yang diambil dari sekret/nanah
hidung diperiksa dengan Potassium hydroxida yang akan menunjukkan
mivelium bersepta lebar dan jarang dan mengkonfirmasikan diagnosa. Ku
ltur juga harus dikerjakan, dan jika berhasil akan menunjukkan Rhizopus sp.
Jika sinus terlibat, penampakan berawan, dengan air fluid level pada
pemeriksaanX -Ray.

Gejala klinis pada mata :


Berupa rasa nyeri, terbatas yang gerakan mata, proptosis dan kehilangan
penglihatan. Dapat pula diikuti timbulnya selulitis orbita yang hebat, yang
merupakan tanda prognosis yang buruk. 1,2,3,4,5
Gejala klinis serebral :
Saraf otak ketujuh dapat diserang dan menyebabkan kelumpuhan wajah
ipsilateral. Bila terjadi invasi serebral lebih jauh
dapat menyebabkan gangguan neurologis sampai koma.

Zigomikosis rinofasial kronis


Dalam beberapa kepustakaan penyakiti ni dimasukkand aiam satu golongan
Entomophthorales, karena organisme penyebab adalah Conidiobolus sip. dari
ordo Entomophthorales. Baik pada manusia maupun hewan, infeksi dimulai
dari hidung dan melibatkan area-area yang berdekatan/berbatasan
dengankecenderungan kecil untuk menyebar. Tidak ada korelasi dengan
faktor predisposisi atau penyakit yang mendasari, dan pasien dalam keadaan
sehat. Biasanya terbentuk pembengkakan hidung di inferior yang lambat laun
akan tumbuh atau kadang-kadang melebar dengan cepat ke sutura
submukosa, ostium, foramina dan sinus paranasal. Penyakit ini
biasanyabilateral namun dapat juga unilateral. Massa yang melebar
mengakibatkan perubahan dari jaringan di atasnya ; namun, tidak
adakecenderungan untuk membentuk ulkus atau menjadi verukosa, dan lesi
itu tidak sakit. Massa itu dapat dipalpasi namun terikat ke struktur di
bawahnya dan tidak menempel ke dermis diatasnya. Area ini bisa akantotik
dan erotematos, dan kadang-kadang massa itu tidakrata dan tidak sama.
Massa yang pedunculated dan garnulomatous dapat diangkat dengan bedah.
Dalam satu kasus, terjadi obstruksi laring komplit yang memerlukan
Trakeostomi, edema yang terjadi dapat melebar ke pipi, dahi dan bibir.
Pembengkakan kelopak mata menyebabkan Leukoma mata. Pemeriksaan
rontgen menunjukkan antrum yang opaque, obliterasi dari ruangan udara di
hidung, penebalan mukosa. Tidak ada demam, jumlah darah tidak meningkat
dan pasien normal. Kelenjar getah bening sekitarnya dapat terinfeksi tetapi
kondisi kesehatan pasien tetap normal.

Zigomikosis Sub Kutan Kronis


Gejala klinis berupa massa subkutan yang tunggal, tidak nyeri, berbatas tegas
dan teraba keras. Ukuran bertambah besar mengikuti bertambahnya waktu.
Dengan palpasi massa dapat digerakkan dari dasarnya, tetapi melekuk pada
kulit. Konsistensinya keras seperti karet India (firm India rubber),
tidak melekuk bila ditekan dan tepinya licin membulat. Kadang kala tepi
dapat berbenjol-benjol, demikian pula dapat dijumpai bagian-bagian yang
lunak. Salah satu tanda yang khas, yaitu jari pemeriksaan dapat dimasukkan
ke bawah massa tersebut dan mengangkatnya. Kulit pada permukaan lesi
dapat normal atau hipotrofik disertai kelainan pigmentasi, tetapi tidak
terdapat ulserasi. Biasanya aktif berwarna kebiruan atau merah kebiruan.
Demam ringan kadang-kadang ditemukan. Rasa gatal dan
terbakar timbul, bila ada infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, juga
disertai feukositosis dan peningkatan laju endap darah. Rata-rata 250 kasus
dari penyakit ini telah tercatat, dan ketika dicatat, etiologinya adalah
Basidiobdus ranarum, walaupun cuminghamella bertholetiae dicatat
dilaporan. Kasus terbanyak berasal dari Uganda, Negeria, dan Indonesia, dan
selebihnya di India, Kosta Rika, Togo, Timur Dekat, Brazil dan sedikit di
Amerika Serikat. Seperti penyakit rhinofacial, tidak ada predisposisi yang
dapat didefinisikan. Infeksi mulai sebagai nodul sub kutan yang bertambah
ukurannya secara perlahan. Jalan masuk jamur tidak diketahui, tetapi pada
sedikit kasus, nyamuk atau gigitan serangga lain terjadi sebelum onset gejala,
mengindikasikan vektor arthropoda. Pengenalan agen penyebab dari GIT
telah disarankan karenakasus-kasus rnelibatkan omentum, usus, struktur
fascia dan peritaneum telah dilaporkan. Rute infeksi dari paru telah pula
diduga, satu kasus terjadi invasi ke palatum dan sinus maxiltaris, dan satu
lagi terjadi pada tempat suntikan.

Pembengkakan sub kutan mempunyai konsistensi yang keras dan berbatas


tegas ; tidak sakit dan tidak melekat ke kulit di atasnya, namun konsistensi
yang keras dan berbatas tegas ; tidak sakit dan tidak melekat ke kulit di
atasnya, namun terikat ke fascia otd di bawahnya. Biasanya terkandung di
dalam pamiculus. Kulit diatasnya cenderung menjadi atropi dan berubah
warna atau hiperpigmentasi tapi tidak berulcus. Massa terus tumbuh dan
kadang-adang melibatkan seluruh bahu, lengan, tubuh bagian atas, wajah dan
leher atauseluruh kaki tungkai dan bokong. Pada sedikit kasus, keterlibatan
organ di bawahnya seperti hati, usus dan otot telah diamati. Pasien biasanya
tidak mempunyai faktor predisposisi dan perjalanan penyakitnya ringan.
Beberapa laporan menyebutkan kasus - kasus fatal yang tidak lazim,
misalnya : seorang anak Brazil dengan infeksi intra-abdominal, pasien
diabetes yang tidak terkontrol dengan sinusitis maksilaris akut yang meluas
ke palatum dan konka, serta seorang pasien yang diobati dengan bermacam -
macam antibiotik, sehingga penyakitnya menjadi generalisata. Lokasi yang
paling sering adalah pada bokong atau paha, dapat pula pada ekstremitas dan
batang tubuh. Beberapa kasus infeksi diawali di leher dan wajah, menyebar
ke jaringan sekitarnya secara kontinuitatum. Tidak ada penyebaran
hematogen. Kelenjar getah bening regional biasanya membesar, tetapi
kadang kala dapat membesar dengan gambaran histopatologis yang hanya
menunjukkan hiperplasia dan sangat jarang ditemukan jamur.

Zigomikosis kutan
Zigomikosis kutaneus primer paling sering terjadi pada pasien
imunocompromised, misalnya :
-transplantasi ginjal yang diobatidengan azatioprin dan steroid.
-diabetes melitus
-kelainan hematologik
-granulositopenia yang lama
-penggunaan steroid yang lama
-terapi antibiotika spektrum luas
-terapi imunosupresi
-luka bakar stadium 2 dan 3
-trauma lokal karena kateter intravena, maserasi akibat plester dan keringat
yang berlebihan, serta gigitan serangga
-gagal ginjal kronis.

Fenuilhade de Chauvin dkk melaporkan padapasien transplantasi ginjal yang


mendapatkan lesi konfluen pada tempat penusukan kateter. Rhizopus
rhizodoformis ditemukan, dan pasien terapi dengan Amphotericin B dan
Ketoconazzle. Mereka membahas l8 kasus lain dengan gambaran sama. West
dkk melaporkan abses inguinal pada pasien tranplantasi ginjal yang lain yang
juga terinfeksi R. rhizopodofbrmis. Terapi dengan bedah dan Amphotericin B
berhasil. Pada potongan histologi dari kebanyakan kasus, reaksi
pyogranulomatus sampai nekrosis, biasanya kekurangan infiltrasi leukosit,
dicatat. Hifa hanya sedikit mempunyai halo eosinofilik, dan walaupun
pembuluh darah dapat terinvasi, invasinya tidak seperti pada tipe
rhinocerebral. Pada kebanyakan kasus Apophysomyces, kulit yang rusak
adalah jalan masuknya. Banyak dari kasus zigomikosis kutan primer
dihubungkan dengan perban yang terkontaminasi dan pakaian bedah. Lesinya
bervariasi tergantung morfologi, termasuk palque, ulkus, abses yang dalam,
dan gambaran nekrotik. Kebanyakan sembuh dengan sedikit terapi dan tidak
berhubungan dengan penyebaran.Dalam kasus yang dilaporkan oleh
Myskowski dkk, plaque subkutan berukuran 2 x 2 cm, lunak, eritematous,
dengan daerah tengah berindurasi ungu tua berkembang di anterior dari paha
kiri pada pasien transplantasi sumsum tulang. Pemeriksaan dada pada waktu
yang sama menunjukkan infiltrat pada lobus kanan bawah. Mycelium tidak
bersepta ditemukan dalam spesimen punch biopsi dari lesi, dan
R. rhizopodoformistumbuh.Dalam l0 kasus zigomikosis pada pasi
en transplantasi ginjal, Fischer dkk menemukan 2 kasus yang mempunyai
penyakit primer, 7 dengan penyakit rhinoserebral, 1 dengan keterlibatan paru-
paru dan hati, mengindikasikan bahwa kulit, paru, hidung dapat menjadi jalan
masuk. Semua pasien menerima Steroid dan Azathioprine. Penggunaan
Cyclosporin tampaknya mengurangi insidens zigomikosis pada pasien tipe
ini, dan tidak terlalu mesupresi imun.Bahkan pasien diabetes non-acidotik
terpapar kolonisasi dan infeksi kulit oleh karena zigomycetes. Reyes dan
Rippon dan Maliwan dkk menyebutkan ulkus zygomycetes primer di anggota
gerak, tumit dan kaki dari pasien diabetes. Ini juga diduga sebagai invasi
primer dari kulit yang utuh atau terjadi di area yang sebelumnya mengalami
trauma, seperti tabrakan. Kerusakan barrier lainnya yang menjadi
predisposisi untuk kolonisasi dan infeksi zygomycetes terjadi pada pasien
luka bakar yang parah. Kadang-kadang onset dan perjalanan penyakit cepat
dan dramatis dengan invasi pembuluh darah dan diseminasi ; namun, lesinya
bisa statis, indolent, dan mudah diatasi dengan eksisi.
Bentuk lesi bisa bermacam-macam, mulai dari lesi tunggal yang eritematosa,
indurasi dan sedikit nyeri seperti selulitis. Di bagian tengah timbul area yang
nekrotik berwarna kehitaman. Batas nekrosis tegas dan mirip gambaran
ektima gangrenosum atau necrotizing fasciitis. Lesi dapat disertai pustul dan
ulserasi dengan abses yang dalam dan bercak-bercak nekrosis. Sebagian ahli
membagi zigomikosis kutan dalam dua bentuk, yaitu :
-Superfisial ; sering terjadi karena plester (Elotoplast), lesi berupa eritema,
pustul dan vesikel, tidak ada invasi pembuluh darah.
-Gangrenosa ; bentuk lesi berupa ulkus, nekrosis, disertai eskar, ada invasi
vaskular. Bila pasien tersebut imunikompeten, maka infeksi menyembuh
dengan pengobatan ringan (krim tramsinolon asetonid, salap gentamisin
sulfat, dan kompres aluminium diasetat atau air) dan tidak menjadi
diseminata. Pada pasien imunocompromised, infeksi dapat menyebar, diduga
melalui jalan hematogen sampai ke paru dan susunan saraf pusat. Organisme
penyebab sering dari golongan Rhizopus, Saksenaea vasiformisdan
Apophysomyces elegans. Juga golongan Mucor ramosissimuspernah
dilaporkan. Etiologi tampaknya juga bergantung pada kondisi pasien. Infeksi
ini jugu dihubungkan dengan kondisi imunocompromisedyang disebabkan
oleh human imunodefiency virus(HIV). Delapan dari sepuluh pasien
zigomikosis yang juga penderita infeksi HIV, adalah pengguna obat-obatan
intravena. Hubungani ni sulit dijelaskan, tetapi ada dugaan penyuntikan
karbon koloidal dan zat besi ternyata meningkatkan patogenitas jamur ini.
Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kasus zigomikosis serebral pada
pasien kecanduan obat yang diberikan
secara parenteral, awal aupun tidak tampak adanya imunosupresi. Diduga
disfungsi sel T pada penderita HIV bukan merupakan faktor penting untuk
terjadinya zigomikosis. Neutrofil memegang peranan utama dalam
pertahanan tubuh terhadap jamur ini. Pertumbuhan jamur ini membutuhkan
adanya zat besi. Pasien yang menggunakan desferioksamin (obat yng
mengikat zat besi yang berlebihan di dalam tubuh), misalnya pasien gagal
ginjal kronis dengan dialisis, dapat mengalami zigomikosis. Diduga jamur ini
mengambil zat besi yang berikatan dengan desferioksamin tersebut untuk
pertumbuhannya.
a. Pasien diabetes dengan asidosis metabolik tidak memiliki aktivitas inhibisi
terhadap jamur Rhizopus arrhizusdalam serumnya. Bila asidosisnya telah
dikoreksi, maka aktivitas inhibisi ini dapat kembali normal.Zigomikosis
Pulmoner Dan Disseminata Infeksi primer paru terhadap hewan telah
didokumentasikan dengan baik sebagai hasil paparan spora aerosol da
lam jumlah besar dalam lingkungan tertutup. Hal ini dapat terjadi pada
manusia juga, bahkan jika tidak ada predisposisi, tetapi jarang sekali.
Sebagian besar kasus zigomikosis paru ada faktor yang mendasarinya yang
dapat dilihat/dibedakan. Pasien yang paling sering terkena infeksi paru adalah
mereka yang menderita leukemia dan lymfoma, walaupun dapat juga terjadi
pada pasien diabetes. Penyakitnya hampir selaluprimer dan merupakan hasil
menginhalasi spora. Sangat jarang merupakan akibat aspirasi material dari
penyakit rhinoserebral atau penyebaran milier dari gastrointestinatle, tapi
kasus seperti itu ada terjadi. Gejala pada manusia dimana terdapat kondisi
dasar yang lemah adalah bronchitis nonspesifik yang progresif dan
pneumonia dengan tanda-tanda " super imposed" dari trombosis dan infark.
Onset yang parah dan tiba-tiba dapat diikuti rasa sakit, friksi pluera, dan
sputum berdarah. Kavitas masif dapat terbentuk. Infiltrat nod
ular dan non spesifik muncul di lapangan paru dan menyerupai Aspergillosis
atau infeksi bakteri. Penyakit ini biasanya progresif sampai fatal dalam 3-30
hari. Beberapa pasien, bahkan dengan infeksi akut, telah bertahan dengan
terapiAmphotericin B. walaupun tipe ini paling banyak pada pasien leukemia
dan limfoma, faktor prediposisi lain termasuk transplantasi organ (kadang-
kadang terjadi sebagai infeksi nosokomial), diabetes, pembedahan dan
penggunaan stereoid. Gambaran histologi dideskripsikan seperti infeksi
oportunistik lain : invasi pembuluh darah, trombosis, infark. Ketika diisolasi,
Rhizopus arrhizus adalah penyebab tersering, tetapi sejumlah spesies lain
telah dilaporkan. Hanya 5 dari 38 pasien dengan penyakit paru bertahan, dan
tak satupun dari 21 dengan infeksi paru dan sistemik sembuh. Kolonisasi dari
zygomycetes membentuk kavitas di paru atau bronkus mengakibatkan
pembentukan pola-pola jamur yang analog dengan aspergilloma, (yang lebih
sering terlihat). Seperti dijumpai pada aspergilloma, bola-bola jamur
zygomycetes dapat indolen atau membesar perlahan dan mengkikis
pembuluh darah menyebabkan hemoptysis.
Zigomikosis Abdominal- Pelvis Dan Gaster Zigomikosis gastrointestinal
sering terjadi pada hewan seperti lembu dan babi, tetapi jarang pada manusia.
Seperti infeksi primer pada manusia, sering dihubungkan dengan pasien
bergizi rendah, terutama anak-anak. Dalam pembahasan 22 kasus, Neam dan
Rayner menemukan penyakit gastrointestinal parah yang mendasarinya
untuk menjadi faktor predisposisi. Termasuk didalamnya adalah kwashiokor,
kolitis amuba, thypus dan pell agra. Terdapat bukti dalam beberapa kasus
bahwa anak-anak memakan biji-bijian berjamur, yang menyebabkan infeksi.
Kondisi predisposisi lainnya termasuk leukemia, diabetes dan pembedahan.
Dalam kasus Gaster dari Bittencourt dkk, de Aguilar dkk, Schmidt dkk, agen
penyebabnya adalah Conidiobolus dan Basidiobolus spp, dan tampaknya
masuk melalui mukosa gaster. Pasien tidak mempunyai predisposisi yang
terdeteksi. Dalam kebanyakan kasus gaster lain dimana kulturnya telah
dibuat, absidia cosimbifera dapat diisolasi. Gejala zigomikosis abdominal
bervariasi tergantung dari tempat dan luas keterlibatan. Rasa sakit di
abdomen yang non spesifik, ulkus peptikuma tipik, diare, “coffee ground”
hematemesis, dan buang air besar darah dilaporkan. Ulcerasi dari mukosa
gaster dengan trombosis dan pembuluh darah yang berhubungan sering
diamati dalam suatu otopsi manusia. Dalam beberapa kasus ada penyebaran
hematogen ke sub mandibular node ; dalam kasus lain ada keterlibatan sistem
organ yang berdekatan. Tidak terdapat daerah yangkhusus, seperti daft
ar laporan di kolon, lambung, esofagusi, leum dan pelebaran ke vesica
urinaria, pankreas, limfa. Tanda-tanda peritonitis dapat menjadi bukti bahw
a umumnya lesi menyebabkan perforasi dinding gasrointestinal. Biasanya
perjalanan penyakit ini 70 hari. Penyebab kematian adalah shock karena
perdarahan usus, mengakibatkan peritonitis dan infeksi usus. Dalam situasi
biasa, bukti histologik dari invasi hifa kedinding pembuluh darah dan
lumennya ditemukan. Dalam kasus kronis (Bittencout dkk) hifa ditemukan
dalam jaringan yang terkena, dan mempunyai halo
eosinofilik. Durasi penyakit ini beberapa bulan. Pada pasien yang dijelaskan
oleh Aguilar dkk, suatu massa fibrotik mengelilingi lambung &
kolontransversum. Dalam kasus pertama yang dilaporkan dari
AmerikaSerikat, Schmidt dkk menjelaskan infeksi Basidiobolus ranarumpada
pasien diabetes berumur 69 tahun melibatkan massa yang melekat ke ileum
terminalis, caecum dan kolon ascendens. Sementara kebanyakan infeksi gasr
ointestinal pada manusia oleh zygomycosis dihubungkan dengan faktor
prediksi disposisi, hal ini tidak teradi pada binatang. Zygomycosis hewan
peliharaan lebih sering terlihat dalam dua pola. Yang lebih sering adalah
keterlibatan lymph nodemesenterika, bronkial, mediastinal atau submaksilar,
kadang - kadang hepar, paru dan ginjal ikut terkena. Ini merupakan proses
granulomatous yang dapat mengakibatkan kematian binatang. Bentuk kedua
dari penyakit binatang adalah ulcerasi gaster dan usus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sediaan langsung Sediaan langsung dengan KOH dapat memperlihatkan
organisme penyebab, berupa hifa lebar dengan sedikit septa. Bila pasien
imunokompeten, h asil ini lebih menunjang dibandingkan dengan kultur,
karenajamur ini sering sebagai kontaminan di laboratorium. Sediaan diambil
dari cairan ulkus, abses, cairan hidung, aspirasi sinns, atau sputum penderita.
Kultur Jamur golongan Mucor dan Entomophthorales tumbuh dengan cepat
pada sebagian besar media jamur. Jamur ini sensitif terhadap sikloheksamid,
sehingga media mycosel dan mycobiotic tidak dapat dipergunakan. Bahkan
kultur. Diinkubasi
pada suhu 25 - 30Codalam media Sabodrand dan jamur tumbuh dalam satu
sampai dua minggu. Dapat pula digunakan potato-glucose agar, malt agar
atau czapek solution agar.Biopsi Jaringan Biopsi jaringan yang terinfeksi
menunjukkan hifa lebar, dengan sedikit septa, bercabang dan caenositik. Pada
jamur golongan Mucorales, dapat dilihat invasi hifa ke dalam pembuluh
darah dan menyebabkan trombosis dan infark, sedangkan
lazimnya terdapat di dermis dan jaringan dibawahnya. Secara histopatologis
tampak jaringan granulomatosa yang menggantikan jaringan lemak,
walaupun kadang kadang masih dapat ditemukan jaringan lemak.
Disekeliling hifa jamur Basidiobolus dan Conidiobolus dapat dilihat halo-
eosinofilik (Splendore-Hoepple Phenomenon) yang merupakan petanda khas
jamur ini. Halo-eosinofilik ini tidak ditemukan pada jamur lain dalam kelas
zygomycetes. Substansi perihifa ini dahulu diduga merupakan area nekrotik
yang disebabkan oleh metabolit jamur, tetapi sekarang diduga merupakan
presipitat imun, walaupun pada Conidiobolus
coronatus tidak dapat ditemukan IgG. Untuk pewarnaan dapat dipakai
hematoksilin eosin atau PAS. Dengan pewarnaan PAS, haloeosinofilik akan
tampak jelas, sehingga memudahkan pencarian hifa. Pewarnaan
hematoksilin-eosin menampakan hifa yang berwarna biru tua.

Serologi
Pemeriksaan serologis tidak dilakukan pada golongan Mucorales, karena
spornya terdapat dimana- mana dan merupakan infeksi oportunistik. Bila
dilakukan tes suntikan intradermal, maka penderitamaupun orang normal
akan memberi reaksi yang sama. Untuk membedakan Basidiobolus ranarum
dengan Conidiobolus coranatus dapat dilakukan tes imunodifusi. Melalui tes
ini dapat dideteksi pita presipitin antigen spesifik dari masing masing genera.
Tes ini berguna untuk memonitor resolusi kedua penyakit tersebut.

DIAGNOSIS BANDING
Zigomikosis dengan keterlibatan sinus paranasalis harus didiagnosis banding
dengan sinusitis bakterial. Bila ada perluasan ke orbita, perlu dibedakan
dengan trombosis sinus kavenosus. Zigomikosis pulmonal sulit dibedakan
dengan aspergilosis dan pneumonia karena Pseudomonas aeruginosa
terutama pada pasien immunocompromised. Midline granuloma dan
granulomatosis wagner dapat
menimbulkan obstruksi hidung dan rinore, tetapi pada kelainan ini ada va
skulitis dan nekrolisis jaringan, yang tidak ada padazigomikosis. Zigomikosis
subkutan harus dibedakan dengan sarkoma jaringan lunak dan misetoma yang
mempunyai derajad indurasi yang sama. Perbedaanya terletak pada sinus-
sinus yang mengeluarkan sekret dan adanya fiksasi pada jaringan di
bawahnya, terutama bila ada perluasan ke tulang. Selulitis bakterial lebih
akut dan nyeri,sedangkan zigomikosis subkutan kronis dan tidak nyeri.
Semua kelainan di atas dapat disingkirkan dengan pemeriksaan langsung,
biopsi, dan kultur.
PENGOBATAN
Pengobatan tepat dan cepat dapat menyelamatkan penderita. Pengobatan
harus segera diberikan, terutama pada pasienimunocompromised.
Dapatdiobati dengan cara:
1.Operatif/debriedement
khususnya pada kasus zigomikosis kutan, perawatan luka sangat penting.
Pada beberapa kasus dapat terjadi penyembuhan tanpa pengobatan spesifik.
2.Kombinasi dengan amfoterisin B.
3.Kontrol penyakit yang mendasari. Bila diabetes dengan asidosis, maka
asidosis harus dikoreksi. Penggunaan steroid, azatiaprin dan obat-obat lain
yang imunosupresif harus dihentikan.
4 Menurut Prevo dkk, pengobatan dengan griseofulfin dan ketokonazol tidak
memberikan hasil yang memuaskan.Amfoterisin B diberikan secara intravena
dengan dosis I mg/kg berat badan sampai infeksi mereda. Setelah itu dapat
diturunkan 0,5-0,6 mg/kb berat badan atau dua kalinya setiap dua
hari.Peneliti lain memberikan amfoterisin B dengan
kombinasi rifampisin, karena bersifat sinergistik. Ada pula yang
mengkombinasikan amfoterisin B dengan golongan triazole, kare
na dalam satu laporan percobaan pada hewan dengan kandidiasis obat-obat
ini bekerja sinergistik. Kadang kala amfoterisin B resisten, tetapi masih tetap
dapat dipakai karena mempunyai efek menstabilkan dinding sel. Dengan
demikian obat golongan azol dapat masuk ke intrasel dan menghambat
enzym P-450 yang dibutuhkan oleh jamur untuk perbaikan dinding selnya.
Pengobatan dilanjutkan hingga 8- l0 minggu. Tidak ada patokan lama
pemakaian dan dosis amfoterisin B. pernah dilaporkan kekambuhan, tetapi
jarang.

Basidiobolus sp
. dapat diobati dengan larutan KJ dengan dosis 30 mg/kg
berat, diberikan sebagai dosis tunggal alau terbagi. Pembagian
biasanyadimulai dengan 3 x 3 tetes dan perlahan-lahan dinaikkan sampai
tampak tanda-tanda intoksikasi. Dosis maksimum tidak bergantung pada
usiadan bersifat perorangan. Pengobatan biasanya dilanjutkan 6 -12 bulan.
Bila tidak ada perbaikan, dapat diberi ketokonazol 400 mg, selama 1 bulan.
Laporanlainnya berhasil dengan trimetropim-sulfametoksasol, demikian pula
itrakonasol 100-200 mg/hari selama l-2 bulan.
Penyembuhan spontan pernah dilaporkan.3,4,8,9 Belum ada pengobatan yang
memuaskan untuk Conidiobulus. Pengobatan dengan amfoterisin
Bmemberikan hasil kurang baik dengan kekambuhan. Terapi operatif dapat
mengurangi gejala untuk sementara. Kalium yodida tidak memberikan hasil
baik pada infeksi oleh golongan Mucorales.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis tergantung kondisi pejamu dan cepatnya dimulai
pengobatan. Prognosis zigomikosis rinofasial belum ada pengobatan yang
sesuai.
PENUTUP
Zigomikosis merupakan infeksi jamur yang terjadi, tetapi dapat fatal.
Penyakit ini perlu diwaspadai terutama karena semakin banyaknya penderita
imunocompromised, misalnya penderita dengan transplantasi organ,
penggunaan obat-obat imunosupresif dan antibiotik spektrum luas. Akibat
kurangnya kasus, maka belum cukup penelitian terhadap obat-obat anti
jamur, terutama untuk pengobatan
zigomikosis karena golongan Canidiobolus.

Anda mungkin juga menyukai