atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8
juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak
18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini juga yang
mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi
buruk.
Dr Damayanti Rusli S SpAK Phd anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP
IDAI mengatakan, faktor utama tingginya masalah stunting di Indonesia salah
satunya adalah buruknya asupan gizi sejak janin masih dalam kandungan (masa
hamil), baru lahir, sampai anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada dua tahun
pertama kehidupan dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat lagi
diperbaiki. Investasi gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan merupakan kewajiban
yang tak bisa ditawar.
Prof Dr Dodik Briawan MCN, pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat,
FEMA IPB menambahkan, intervensi gizi perlu dilakukan dalam bentuk edukasi
secara berkesinambungan kepada masyarakat, terutama orang tua. Orang tua
harus paham betul kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik, tidak
terpengaruh gaya hidup yang serba instan serta iklan-iklan produk makanan anak
yang kadang menjanjikan hal yang berlebihan, ujar Dodik Briawan.
Siti Masrifah Chifa, anggota komisi IX DPR RI, menilai penanganan gizi buruk yang
dialami anak-anak saat ini harus segera menjadi prioritas pemerintah, hal ini terkait
dengan masa depan anak yang kelak menjadi estafet pembangunan bangsa ini.
"Tantangan pemerintah saat ini cukup besar, tingginya angka stunting menjadi
indicator tingginya kejadian gizi buruk di negara ini," jelasnya. Dia berharap.
pemerintah mulai menggalakan program-program penanganan gizi buruk yang
melibatkan masyarakat secara luas.