Anda di halaman 1dari 34

REFLEKSI KASUS

Dengue Syok Syndrom


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Di RSUD dr.Soedjati Purwodadi

Disusun oleh :
Syarifa
301.0120.6817

Pembimbing :
Dr. Kurnia Dwi Astuti, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. R P
Usia : 11 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Lebak, Grobogan

Nama ayah : Tn. S


Usia : 49 tahun
Pekerjaan : Petani

Nama ibu : Ny. K


Usia : 30 tahun
Pekerjaan : IRT
Bangsal : bougenville
Masuk RS : 8 Juni 2016
Keluar RS : 11 Juni 2016

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien
yang dilakukan pada hari Sabtu, 11 Juni 2016 pukul 15.40 WIB di bangsal
Bougenville dengan didukung oleh catatan medis.
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : mimisan, muntah, nyeri kepala, ke dua tangan dingin

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami demam. Demam
dirasakan terus-menerus sepanjang hari. Keluhan demam disertai dengan rasa pegal-
pegal pada tungkai dan sakit kepala. Lalu pasien dibawa oleh orang tuanya untuk
periksa ke Puskesmas dan di rawat inap 2 malam . Keesokan harinya keluhan pasien
masih sama dengan hari sebelumnya, beberapa jam setelah pasien mengeluhkan nyeri
kepala kepada ibu, tiba-tiba pasien mengalami mimisan, mimisan terjadi sampai 3
kali, lalu ibu pasien memegang tangan pasien dirasakan tangan pasien sangat dingin.
 Pasien juga mengeluh muntah terus-menerus. Pasien juga mengeluhkan gusi
pasien berdarah 1 kali. sejak demam sebelum masuk rumah sakit, pasien juga
mengeluhkan batuk pilek. Kaki dan tangan teraba dingin sejak 3 jam SMRS.
Riwayat perdarahan dari hidung (+), gusi (+),saluran cerna (-). Buang air kecil
dan warna biasa, terakhir 2 jam SMRS sekitar ½ botol aqua ukuran sedang,
tidak keluhan nyeri saat buang air kecil. Lalu pasien diantar oleh orang tuanya
untuk periksa ke poli anak RSUD dr. Soedjati Grobogan Purwodadi oleh
keluarganya dan oleh dokter anak pasien disarankan untuk dirawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pernah sakit seperti ini sebelumnya
 Ada Riwayat DBD sebelumnya pada bulan Maret 2016

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.

Riwayat Kehamilan dan Pemeliharaan Prenatal


Ibu mengaku hanya 1 kali memeriksakan kehamilan di bidan hingga bayi
lahir. Ibu juga mengaku belum pernah mendapat suntikan TT. Ibu mengaku tidak
pernah menderita penyakit selama kehamilan, riwayat perdarahan selama
kehamilan disangkal, riwayat trauma selama kehamilan disangkal, riwayat
minum obat tanpa resep dokter dan jamu disangkal. Obat–obatan yang diminum
selama masa kehamilan adalah vitamin dan obat penambah darah.

Kesan: riwayat kehamilan dan pemeliharaan prenatal kurang baik

Riwayat Persalinan
Anak perempuan lahir dari ibu G2P1A0 hamil 40 minggu. Antenatal care
teratur, penyakit kehamilan tidak ada, masa gestasi cukup bulan, lahir secara
spontan, anak lahir langsung menangis. Berat badan lahir 2900 gram.
Kesan : Neonates Aterm, Lahir secara Spontan

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan postnatal dilakukan di posyandu dan anak dalam keadaan sehat.

Kesan : Riwayat pemeliharaan postnatal baik

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


BB lahir : 2900 gram
BB saat ini : 30 kg
TB saat ini : 125 cm
BMI saat ini : 19,23
Kesan : normoweight, perawakan normal

Riwayat Perkembangan
 Senyum : 1 bulan
 Miring : 3 bulan
 Tengkurap : 5 bulan
 Duduk : ibu lupa
 Berdiri : 10 bulan
 Berjalan : 12 bulan

Riwayat Imunisasi Dasar


0 bulan : Hb0
1 bulan : BCG dan Polio 1
2 bulan : DPT, HB,Hib, Polio 2
3 bulan :DPT, HB,Hib, Polio 3
4 bulan :DPT, HB,Hib, Polio 4
9 bulan : Campak
18 bulan : Hib, DPT, HB, Polio
24 bulan : Campak

Kesan : imunisasi lengkap sesuai usia

Riwayat Keluarga Berancana


Ibu mengikiuti program keluarga berencana yaitu suntik 3 bulan.

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai petani dan ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Biaya pengobatan ditanggung BPJS
Kesan ekonomi : kurang.

Riwayat Sosial dan Lingkungan


Lingkungan sekitar pasien tidak ada yang menderita keluhan serupa dengan
pasien

.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pertama dilakukan pada tanggal 08 Juni 2016 dan dilanjutkan sampai
tanggal 11 Juni 2016. Anak perempuan usia 11 tahun, berat badan 30 kg, tinggi badan
125 cm
Keadaan umum : Tampak gelisah,sakit sedang

1. Status Generalis
 Kulit : ptekie (-)
 Kepala : mesocephal, rambut hitam terdistribusi merata dan
tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak terdapat kelainan
 Mata : Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/ 3mm, refleks
cahaya +/+, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebral
(+/+)
 Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
 Telinga : Bentuk normal, tanda peradangan (-/-), sekret (-/-)
 Mulut : Lidah typhoid (-), bibir kering (-), bibir sianosis (-),
stomatitis (-)
 Leher : Trakea simetris, tidak teraba pembesaran KGB
 Tenggorok : T1-T1 mukosa hiperemis (-), mukosa faring hiperemis
(-), kripte melebar (-), detritus (-)

 Thorax :
 Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis teraba dengan 1 jari di ICS V 2 cm
ke medial linea midclavicula sinistra, pulsus parasternal (-),
pulsus epigastrium (-)
o Perkusi :

1. Kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra


2. Atas jantung : ICS 2 linea parasternal sinistra
3. Pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra
4. Kiri jantung : ICS 5 linea midclavicula 2 cm
ke medial

o Auskultasi : Bunyi jantung I - II regular, murmur (-), gallop


(-)

 Paru :
o Inspeksi : Gerakan hemithorax dalam keadaan statis dan
dinamis simetris, retraksi suprasternal (-), epigastrium (-),
intercostalis (-)
o Palpasi : Stem fremitus dextra et sinistra sama kuat
o Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
 Abdomen
o Inspeksi : penonjolan massa (-), abdomen lebih
tinggi dari dinding dada, agak cembung
o Auskultasi : Peristaltik (+) normal, bising usus (+)
o Perkusi : hipertimpani, regio kanan atas pekak, shifting dullness
(-)
o Palpasi : hepar teraba 3 cm bawah arcus costa dan 5 cm bawah
proc.xiphoideus, tepi tajam,permukaan rata,konsistensi kenyal,nyeri
tekan (+),nyeri tekan epigastrium (+),lien tak teraba

i. Ekstremitas
Superior Inferior
Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Akral dingin +/+ +/+
Capillary refill time <2”/ <2” < 2”/ < 2”

Kesan : akral dingin

 Pemeriksaan Penunjang
a. 08 Juni 2016 (Lab PKM)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13,2 gr/dl 12 – 16 gr/dl
Hematokrit 40 % 36 – 47 %
Lekosit 10.000 4000-10000/mm3
Trombosit 148.000 150– 450 x 103/ul

Kesan : Trombositopenia,peningkatan konsentrasi HT

b. 08 Juni 2016 (Lab RSUD Soedjati)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,0 gr/dl 12 – 16 gr/dl
Hematokrit 35,1 % 36 – 47 %
Lekosit 9.600 4000-10000/mm3
Trombosit 200.000 150– 450 x 103/ul
Eosinofil 0 1-5
Basofil 0 0-1
N. Batang 0 3-5
N.Segmen 91 37-50
Limfosit 8 25-40
Monosit 1 1-6
Eritrosit 4,46 x 106 4,5-5,5 x 106

Kesan : Shift to the right, limfositopenia

Pemeriksaan IgM IgG


Dengue Blood (-) Negatif (+) Positif

Kesan : Infeksi dengue sekunder

c. 09 Juni 2016 (Lab RSUD Soedjati)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,6 gr/dl 12 – 16 gr/dl
Hematokrit 36,7 % 36 – 47 %
Trombosit 179.000 150– 450 x 103/ul

Kesan : dalam batas normal

d. 10 Juni 2016 (Lab RSUD Soedjati)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,6 gr/dl 12 – 16 gr/dl
Hematokrit 37,7 % 36 – 47 %
Trombosit 257.000 150– 450 x 103/ul

Kesan : dalam batas normal


D. DAFTAR MASALAH
a. Demam 4 hari
b. Sakit kepala
c. Sakit perut
d. Mual
e. Muntah
f. Batuk pilek
g. Udem palpebra
h. Mimisan
i. Perdarahan Gusi
j. HR : 120 x / menit
k. Hepatomegali
l. Trombositopenia
m. Peningkatan HT
n. Limfositopenia
o. Infeksi dengue sekunder
p. Shift to the right
q. IgG Positif

E. DIAGNOSIS BANDING
 DSS
 DHF
 Syok hipovolemik
 Syok septik

F. DIAGNOSIS SEMENTARA
Dengue Syok Syndrom

G. INITIAL PLANNING
 Initial Diagnosis:
- Foto thorax RLD
- USG
- Albumin
- Elektrolit

 Initial Terapi:
 Oksigen 2 lt/mnt
 Infus RL 20 ml/KgBB bolus selama 10-15 menit
o 20 x 30 = 600 cc/10-15 menit (maksimal pemberian 30 menit)
 Bila syok teratasi dilanjutkan
o RL 10 ml/KgBB/jam10 x 30 = 300 cc/jam  75 tetes/menit  80 tpm
(selama 4 jam)
 Kondisi stabil maka cairan diturunkan menjadi
o RL 7 ml/KgBB/jam  7 x 30 = 210 cc/jam  52,5 tetes/menit  50 tpm
 Kondisi stabil maka cairan diturunkan menjadi
o RL 5 ml/KgBB/jam  5 x 30 = 150 cc/jam  37,5 tetes/menit  30 tpm
 Kondisi stabil maka cairan diturunkan menjadi
o RL 3 ml/KgBB/jam  3 x 30 = 90 cc/jam  22,5 tetes/menit  20 tpm
o (maintenance)
 Injeksi Kalnex 3 x 250 mg
 Asetaminofen 3 x ¾ tab PO k/p
 Ranitidin 2 x 30 mg PO
 Lapifed Ekspektoran 3 x 1 cth

 Initial Monitoring
o Monitor TTV tiap 15-30 menit.
o Monitor diuresis
o Observasi Ht dan trombosit tiap 4-6 jam

 Initial Edukasi
o Minum air putih sedikit tapi sering
o Edukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan
3M yaitu menutup,mengurasdan mengubur barang-barang yang dapat
menampung air

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
TABEL FOLLOW UP PASIEN R.P (8 Juni – 11 Juni 2016)

TANGGAL P S M TINDAKAN Info Lain


8 Juni 2016 37,3 39,5 38,2 ~ Pengelolaan jalan nafas Batuk (+)
120 120 100 ~ Terapi cairan RL 20 Pilek (+)
36 26 28 cc/KgBB bolus 10-15 Akral dingin
110/ 120/ 110/ menit Mimisan 3x
70 70 70 ~ Pamol 3 x ¾ tab PO Perdarahn gusi
~ Motivasi untuk minum 1x
banyak Hepatomegali
~ Monitor Vital Sign Edem palpebra
~ Injeksi Asam Nyeri
Traneksamat 3x250 mg epigastrium
~ Lanifet expektoran 3 x 1 BB : 30 Kg
cth TB : 125 cm
9 Juni 2016 37,3 37,7 36,8 ~ Terapi cairan RL 7 Batuk (+)
90 90 93 cc/KgBB dalam 2 – 4 jam Pilek (+)
24 20 18 ~ Pamol 3 x ¾ tab PO Hepatomegali
110/ 110/ 110/ ~ Motivasi untuk minum Edem palpebra
80 80 70 banyak Nyeri
~ Monitor Vital Sign epigastrium
~ Injeksi Asam Mual muntah
Traneksamat 3x250 mg BB : 30 Kg
~ Lanifet expektoran 3 x 1 PB 125 cm
cth
~ Ranitidin 2 x 30 mg
10 Juni 2016 37,3 37,7 36,8 ~ Terapi Cairan RL 3 Batuk (+)
90 84 93 cc>KgBB untuk Pilek (+)
22 26 20 maintenance Nyeri
110/ 110/ 110/ ~ Pamol 3 x ¾ tab PO epigastrium
80 80 70 ~ Motivasi untuk minum Mual muntah
banyak BB : 30 Kg
~ Monitor Vital Sign PB 125 cm
~ Lanifet expektoran 3 x 1
cth
~ Ranitidin 2 x 30 mg
11 Juni 2016 37 PL PL ~ INFUS OFF Batuk (+)
95 G G ~ Lanifet expektoran 3 x 1 Pilek (+)
20 cth Mual Muntah
100/ ~ Ranitidin 2 x 30 mg
70
BAB II
PEMBAHASAN

I. SINDROM SYOK DENGUE


DEFINISI
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai
dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan
merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, yang dapat berakibat
fatal.

ETIOLOGI
Penyebabnya adalah virus dengue (genus Flavivirus, famili flaviridae). Terdapat 4 serotipe
virus ini yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan di Indonesia
dimana DEN-3 adalah serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe tersebut, sedangkan antibodi terhadap serotipe lain sangat kurang
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya.

Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes aegypti dan Aedes
albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes dapat menerima virus
dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus yang
berada di kelenjar liurnya tersebut akan berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum akhirnya dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovarian transmission). Sekali virus masuk dan berkembang biak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5
hari setelah demam timbul.
EPIDEMIOLOGI
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas paling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan
angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa.
Sampai akhir tahun 2005, DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 35
Kabupaten/Kota telah melaporkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Incidence Rate
meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000
penduduk pada akhir tahun 2005.

Gambar 1. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada
suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan dapat
bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban
tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat
terus hingga kasus terbanyak pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu :
1) Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke
tempat lain
2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin
3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk

PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan SSD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis immune
enhancement.

Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien


yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai
resiko yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks
antigen-antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog, maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh
sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dalam waktu beberapa hari, terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti-dengue. Terbentuknya kompleks virus antigen-
antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes
ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan
hipovolemia hingga syok.

Gambar 2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue


Gambar 3. Patogenesis terjadinya syok pada DBD

Hipotesis kedua yaitu antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
perembesan plasma kemudian terjadi hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).

Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi, baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.

Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan


agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit, mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada
saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi
akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman hingga terjadi aktivasi sistem kinin lalu memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.

Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

Gambar 4. Patogenesis Perdarahan pada DBD

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus, sehingga infeksi dapat bersifat
asimptomatik, atau berupa demam yang tidak khas (undifferentiated fever), demam dengue
(DD), demam berdarah dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD).

Saat masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa lemas.
Gambar 5. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue

Demam Dengue
Gejala klasiknya ialah demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle-back fever),
nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan
timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2
hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari
ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekie.
Pada keadaan wabah, telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan
perdarahan seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan
menoragi.

Demam Berdarah Dengue


Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka
kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan
muntah sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan
di bawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple
leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena.
Kebanyakan kasus, petekie halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan
palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan
perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan
pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm
di bawah arcus costae kanan.

Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam. Pada saat ini terjadi penurunan suhu
yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-
ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi minimal dan
sementara, sedangkan pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.

Sindrom Syok Dengue


Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit
ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang
ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <
20 mmHg, hipotensi, pengisian kapiler terlambat dan produksi urin yang berkurang.
Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Bila
terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan
berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, infeksi
(pneumonia, sepsis, flebitis), terlalu banyak cairan (overhidrasi), manifestasi klinik infeksi
virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Pada masa penyembuhan yang
biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan
timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan
kembalinya nafsu makan.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.
Parameter laboratori yang dapat diperiksa:
- Leukosit: dapat normal atau menurun.
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat depresi
sumsum tulang.
- Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3.
- Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
- Imunoserologi
~ Pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM
IgM IgG Interpretasi
+ - Infeksi primer
+ + Infeksi sekunder
- + Riwayat terpapar/ dugaan infeksi
sekunder
- - Bukan infeksi Flavivirus, ulang
3-5 hari bila curiga.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
~ Uji HI: ≥ 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus
- Protein/Albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
- SGOT/SGPT dapat meningkat.
- Ureum, Kreatinin: dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.
- Gas darah: terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan
pasien.
- Elektrolit: sebagai parameter pemberian cairan.
- Golongan darah dan cross match: dilakukan sebelum tindakan tranfusi darah untuk
keamanan pasien.

2. Pemeriksaan Radiologis
- Pemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama pada
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto dada dilakukan atas indikasi dalam keadaan
klinis ragu-ragu dan pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
- USG: untuk mendeteksi adanya asites dan juga efusi pleura.

DIAGNOSIS DAN PENENTUAN DERAJAT PENYAKIT


Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria WHO:
Demam Dengue
1. Probable
Demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai
berikut:
o Nyeri kepala.
o Nyeri retro-orbital.
o Mialgia / Atralgia.
o Ruam kulit.
o Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif).
o Leukopenia, dan pemeriksaan serologi dengue positif.

2. Confirmed
Kasus dengan konfirmasi laboratorium berupa deteksi antigen dengue, peningkatan titer
antibodi > 4 kali pada serum akut dan serum konvalesens, dan/atau isolasi virus.

Demam Berdarah Dengue


Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium.
Kriteria Klinis:
o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus
selama 2-7 hari, biasanya bifasik.
o Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk *uji bendung positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan / melena.
o Hepatomegali.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset
pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif
bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).

Kriteria Laboratorium:
o Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml).
o Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit >20% menurut standar
umur dan jenis kelamin.
Diagnosis: dua kriteria klinis pertama + trombositopenia dan hemokonsentrasi, serta
dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.

Sindrom Syok Dengue


Seluruh kriteria DBD disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin-lembab

PENENTUAN DERAJAT PENYAKIT


Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu ditentukan
sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.

Gambar 6. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue


Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut:

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dibedakan berdasarkan proses yang mendasari yaitu kebocoran plasma.
Pedoman tatalaksana DD, DBD dan SSD berbeda dari segi resusitasi cairan dan indikasi
perawatan di RS. Pasien DD dapat berobat jalan, sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi (SSD) diperlukan perawatan
intensif.
Demam Dengue
Pada fase demam pasien dianjurkan untuk:
• Tirah baring, selama masih demam.
• Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, dll.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Semua
pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu
turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan sulit membedakan antara DD dan DBD
pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan, sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).

Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue


Tidak ada terapi spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi suportif
yaitu pemeliharaan volume cairan sirkulasi akibat kebocoran plasma. Tersangka DBD di
UGD dilakukan pemeriksaaan darah lengkap, minimal Hb, Ht, leukosit dan trombosit. Bila
hasil trombosit normal atau turun sedikit (100.000 – 150.000) pasien dipulangkan, wajib
kontrol 24 jam berikut atau bila memburuk segera harus kembali ke UGD. Bila hasil Hb dan
Ht normal, trombosit <100.000, pasien dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat, trombosit
normal atau turun, pasien dirawat.

Gambar 7. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok

Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan masif dan tanpa syok, diberi
cairan infus kristaloid dengan rumus volume cairan yang diperlukan per hari:
1500 + (20 x (BB dalam kg – 20)
Monitor Hb, Ht, leukosit dan trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-20%
dan trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan monitor per 12 jam.
Bila hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan pemberian cairan
sesuai protokol di bawah.

Gambar 8. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%.
Terapi awal pemberian cairan yaitu infus kristaloid dengan dosis 6-7ml/kg/jam. Monitor
dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter nilai perbaikan adalah kadar Ht,
frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila didapatkan tanda perbaikan maka dosis
cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila 2 jam kemudian keadaan tetap dan ada
perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap membaik dalam 24-
48 jam kemudian, pemberian cairan infuse dapat dihentikan. Bila keadaan tidak membaik
setelah terapi awal maka dosis cairan infus naik menjadi 10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan
membaik, cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15
ml/kgBB/jam. Bila tanda syok (+) masuk ke protokol syok.
Gambar 9. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah epistaksis, perdarahan
saluran cerna (hematemesis, melena atau hematoskesia), saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak, dan yang tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda vital,
Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam disertai pemeriksaan trombosis dan hemostasis. Heparin
diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi
bila Hb <10 g/dl. Trombosit hanya diberi pada pasien perdarahan spontan masif dengan kadar
trombosit <100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi
faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang).
Gambar 10. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok hipovolemia pada SSD.
Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu evaluasi 15-30 menit kemudian. Bila
renjatan telah teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120
menit keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120
menit kemudian tetap stabil, dosis menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil selama 24-48 jam,
hentikan infus karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi terjadi
(ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi hipervolemi, edema paru
dan gagal jantung.

Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan darah perifer
lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin. Harus dilakukan pengawasan dini
terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48 jam karena proses patogenesis
penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid hanya menetap 20% dalam pembuluh darah
setelah 1 jam pemberian. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.

Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB
evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatikan nilai Ht. Bila ht
meningkat, perembesan plasma masih berlangsung, maka pilihan cairan koloid. Bila Ht
menurun, kemungkinan perdarahan dalam (internal bleeding) maka dapat diberikan transfusi
darah segar 10 cc/kgBB (dpt diulang sesuai kebutuhan). Tanda hemodinamik masih belum
stabil dengan nilai Ht lebih dari 30°C dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan
koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.
Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB, evaluasi setelah 10- 30
menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang tidak
menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat
disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu
sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Pada
kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka penatalaksanaan
selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500 cc.
Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan. Sasaran tekanan vena sentral 15-
18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatian dan koreksi ganggguan asam basa,
elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID dan infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral sudah
sesuai dengan target namun renjatan belum teratasi, maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor (dopamin, dobutamin, atau epinephrine).

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan infeksi


sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian
antibiotik pada DBD yaitu bila didapatkan infeksi sekunder di tempat/organ lainnya, dan
antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem
pembekuan.
Gambar 11. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Gambar 12. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)


Kristaloid
- Larutan ringer laktat (RL), larutan ringer asetat (RA), larutan garam faali (GF)
- Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/RA), dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
Catatan: Untuk resusitasi syok digunakan larutan RL atau RA, tidak boleh larutan
yang mengandung dekstran

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD


Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan
kekurangan masing-masing, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl starch (HES).

Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan
larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan
ekstravaskular. Efek volume Dekstran 70 6% dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek
volume Dekstran 40 10% dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat
menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000
ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan KID.

Golongan Gelatin (hemacell dan gelafundin) merupakan larutan gelatin yang mempunyai
sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak
mengganggu mekanism pembekuan darah.

Hydroxy ethyl starch (HES): 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah
larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan
hiponkotik. Efek volume 6%/10% HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan
6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme
pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500 cc/24 jam, dan efek ini terjadi
karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.

Kriteria Memulangkan Pasien


Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini:
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

Komplikasi.
o Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun tanpa syok.
o Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
o Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.

Langkah Promotif / Preventif.


Pencegahan /pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan sarangnya dengan
melakukan tindakan 3M, yaitu:
 Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate).
 Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
 Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air.
BAB III
PENUTUP

Dengue syok sindrome pada anak disebabkan oleh virus dengue yang ditransmisikan
melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopticus. Virus dengue masuk ke sirkulasi
perifer manusia melalui gigitan nyamuk. Virus akan berada di dalam darah sejak fase akut
atau fase demam hingga klinis menghilang.

Dengue shock syndrome didiagnosis berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium dari
WHO. Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif dan simptomatik yang berupa pemberian
terapi cairan yang disesuaikan dengan bagan terapi cairan pada DSS (sesuai dengan literatur).
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi demam
dengan dosis sebanyak injeksi 3 x 500 mg (apabila suhu > 38 C). Karena pasien ini
mengeluhkan adanya mual muntah maka juga diberikan injeksi ondansentron dengan dosis 2
mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali sehari.

Pasien pulang dalam kondisi kesehatan yang membaik. Dengan demikian penegakan
diagnosis dan tatalaksana kasus pada pasien ini telah sesuai dengan tinjauan literature
mengenai penenganan pada dengue shock syndrome.

Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling


memadai saat ini. Maka, diberikan penjelasan dan mengeduksi keluarga pasien untuk
melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang-
barang yang dapat menampung air, menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk
mencegah gigitan nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutaryo. Masalah Demam Berdarah di Indonesia. Jakarta. 2002. Hal 32-42.


2. Djajadiman, Gatot. Perubahan Hematologi pada Infeksi Dengue. Jakarta. 1999. Hal 44-
53.
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke 3. Jakarta. 2000. Hal 65-70.
4. A.V. Hoffbrand. Kapita Selekta Hematologi, edisi ke 2. Jakarta. 2005. Hal 30-5.
5. Berhman, RE; Kliegman, RM; Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi 15.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. Hal 1708-12.
6. Markum. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1. Jakarta: FKUI. 1991. Hal 331.
7. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal Medicine,
volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006, page 134-138.
8. Arijanty, Luszy; Nasar S sri; Sari pediatri vol. 5 No.1. http://www.idai.or.id/
saripediatri/pdfile/5.1.5.pdf. Juni 2003, hlm 21-26.
9. Depkes RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
10. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta:
Depkes RI.
11. Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I. 2004. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
12. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal 64-9.

Anda mungkin juga menyukai