Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)


DAN HEMODIALISA

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal


Ruang Hemodialisa RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:
Novelia Ayudita Hafna Bahri
NIM. 180070300111030
Kelompok 2A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
“Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Acute Lung Oedema (ALO) dan
Hemodialisa”

A. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


1. DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD merupakan perkembangan gagal
ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun (Brunner &
Suddarth, 2002).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible (Mansjoer, dkk, 2009).
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit ginjal tahap akhir yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (Smeltzer dan Bare,
2009).

Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau


penurunan GFR <60 ml/menit/1.73m2 selama ≥3 bulan. Kerusakan ginjal yang
dimaksud adalah adanya abnormalitas patologis atau adanya marker kerusakan
ginjal, termasuk abnormalitas pada pemeriksaan darah, urine, atau imaging.
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai
berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Chonchol, 2005)

2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Penyebab GGK menurut Price & Wilson (2006) dibagi menjadi delapan kelas,
antara lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal
6. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
8. Nefropati obstruktif

Faktor predisposisi:
1) Diabetes
2) Usia lebih dari 60 tahun
3) Penyakit ginjal congenital
4) Riwayat keluarga penyakit ginjal
5) Autoimmune (lupus erythematosus
6) Obstruksi renal (BPH dan prostitis)
7) Ras

Faktor presipitasi:
1) Paparan toksin dan beberapa medikasi yang berlebih
2) Gaya hidup (hipertensi, atherosclerosis)
3) Pola makan (diet)

3. KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(KDOQI) pada tahun 2002 yaitu:
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test)
dapat digunakan rumus :
Clearance creatinin (ml/ menit) = (140-umur ) x berat badan (kg)
72 x creatinin serum
*) Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

a. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya belum merasakan
gejala yang mengindikasikan kerusakan pada ginjal. Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100% sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal
tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya
seperti diabetes dan hipertensi.

b. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2
juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik,
walaupun dengan GFR yang mulai menurun.
c. Stadium 3
Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan GFR
moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini
akumulasi sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut
uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.
d. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan
menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi
dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada
stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah
tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit
kardiovaskular lainnya.
e. Stadium 5
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis)
atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.

Gambar 1. Tingkatan Gagal Ginjal Kronis

4. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Smeltzer dan Bare (2009) manifestasi klinik gagal ginjal kronik
adalah:
Pasien dengan CKD menunjukkan manifestasi yang berbeda-beda,
tergantung pada stadium CKD yang dialami.
1) Stadium 1
Seseorang dengan CKD stadium 1 biasanya belum merasakan gejala yang
menandakan kerusakan ginjal karena ginjal masih dapat berfungsi dengan
normal.
2) Stadium 2
Seseorang dengan CKD stadium 2 biasanya juga belum merasakan gejala yang
menandakan kerusakan ginjal walaupun sudah terdapat penurunan GFR ringan,
yaitu sebesar 60-89.
3) Stadium 3
Pada stadium ini, gejala- gejala terkadang mulai dirasakan seperti:
 Fatigue: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal
tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini
membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang
penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
 Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang ahli
ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik
serta terapi – terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju penurunan
fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta bantuan ahli
gizi untuk mendapatkan perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada
stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan protein namun
tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena
menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi kelangsungan
fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi asupan kalsium
apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium
kecuali didapati kadar dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat
biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes.
Mengontrol minuman diperlukan selain pembatasan sodium untuk penderita
hipertensi.
4) Stadium 4
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama dengan
stadium 3, yaitu:
 Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal
tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini
membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang
penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi
5) Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain:
 Kehilangan nafsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Kram otot
 Perubahan warna kulit

5. PATOFISIOLOGI
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin
akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan
meningkat.
Gangguan klirens renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens (substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
Dari salah satu fungsi ginjal yaitu mengendalikan kadar gula dalam darah
yaitu ada dua hormon yang berperan di ginjal untuk mengendalikan kadar gula
dalam darah yaitu hormon insulin dan hormon adrenalin, hormon insulin berfungsi
sebagai penurun kadar gula dalam darah sedangkan hormon adrenlin sebagai
peningkatan gula dalam darah. Ketika ginjal mengalami gangguan, dua hormon
tersebut tidak dapat bekerja seperti fungsinya masing-masing, etika gagal ginjal
terjadi seseorang resiko terhadap komplikasi hipoglikemi.
Gejala dari gagal ginjal yang mengalami hipoglikemi adalah mual muntah,
ketika ginjal mengalami gangguan menyebabkan sekresi protein terganggu
sehingga terjadi sindrome uremia, dan menjadi gangguan keseimbangan asam
basa sehingga produksi asam meningkat menyebabkan asam lambung naik terjadi
iritasi lambung dan mual muntah.
Tidak adanya asupan nutrisi kedalam tubuh juga merupakan salah satu
penyebab dari hipogikemi, karena asupan glukosa di dalam darah tidak terpenuhi,
bagi penderita gagal ginjal akan semakin mempersulit ketika asupan nutrisi yang
kandungan di dalamnya adalah glukosa tidak dapat difungsikan oleh ginjal untuk
mengeluarkan hormon adrenalin untuk merangsang peningkatan kadar glukosa di
dalam darah.
Hipoglikemia harus segera mendapat pengelolaan yang memadai. Di
berikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung
gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan
ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon deberikan pada
pasien hipoglikemia berat. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien
perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan
jumlah makanan (karbohidrat)
Retensi cairan dan natrium. Ginjal kehilangan kemampuan untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Terjadi penahanan
cairan dan natrium; meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif
dan hipertensi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adequate, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan
kecenderungan untuk terjadi perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran GI.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan yang saling timbal balik, jika salah satunya meningkat,
yang lain akan turun. Dengan menurunnya GFR, maka terjadi peningkatan kadar
fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar kalsium.
Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi paratormon, namun
dalam kondisi gagal ginjal, tubuh tidak berespon terhadap peningkatan sekresi
parathormon, akibatnya kalsium di tulang menurun menyebabkab perubahan pada
tulang dan penyakit tulang.
Penyakit tulang uremik (osteodistrofi). Terjadi dari perubahan kompleks
kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
( Smeltzer dan Bare, 2009).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium yang umumnya dianggap menunjang,
kemungkinan adanya suatu Gagal Ginjal Kronik :
a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia.
b. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang rendah.
c. Ureum dan kreatinin : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum
dan kreatinin lebih kurang 20 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh
karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan
steroid, dan obstruksi saluran kemih.
d. Perbandingan ini berkurang : Ureum lebih kecil dari Kreatinin, pada diet
rendah protein, dan Tes Klirens Kreatinin yang menurun.
e. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
f. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
g. Hipokalsemia dan Hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis
1,24 (OH)2 vit D3 pada GGK.
h. Fosfatase lindi meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
Isoenzim fosfatase lindi tulang.
i. Hipoalbuminemis dan Hipokolesterolemia; umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
j. Peninggian Gula Darah , akibat gangguan metabolisme karbohidrat
pada gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan
ferifer)
k. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan,
peninggian hiormon inslin, hormon somatotropik dan menurunnya
lipoprotein lipase.
l. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang
menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal
ginjal.
2. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan
abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

3. Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena
batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut.
4. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
5. Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
7. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
8. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.

7. PENATALAKSANAAN
a) Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil
pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika
terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai
biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai
asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan
diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan
dari Karbohidrat dan lemak. Pemberian vitamin juga penting karena pasien
dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.
b) Simptomatik
1. Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan
cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobutamine dan dialisis.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
2. Anemia
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-
stimulating agents (ESAs) dapat memperbaiki kondisi pasien CKD dengan
anemia secara signifikan. ESAs harus diberikan untuk mencapai dan
mempertahankan konsentrasi hemoglobin 11.0 sampai 12.0 gr/dL. Pasien
juga harus menerima suplemen zat besi selama menerima terapi ESA karena
erythropoiesis yang diinduksi secara farmakologis dibatasi oleh supply zat
besi, ditunjukkan dengan kebutuhan ESA yang lebih sedikit setelah pasien
menerima suplemen zat besi. Selain itu, karena tubuh membentuk banyak sel
darah merah, tubuh juga memerlukan banyak zat besi sehingga dapat terjadi
defisiensi zat besi. Serum ferritin dan persen transferrin saturation mengalami
penurunan setelah 1 minggu terapi ESA pada pasien dengan CKD yang
menerima dialysis. Karena pasien CKD mengalami gangguan metabolism zat
besi, serum ferritin dan persen transferrin saturation harus dipertahankan lebih
tinggi daripada individu normal. Maintenance serum ferritin yang disarankan
yaitu ≥200 ng/mL, dan persen transferrin saturation ≥20%. Sebagian besar
pasien CKD membutuhkan suplementasi zat besi parenteral untuk mencapai
kadar zat besi yang disarankan.
c) Terapi Pengganti
1. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara
pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik
utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu
sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons
terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran
selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin
dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan
perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia
adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi
sebagai ginjal buatan.
2. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal
karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik
dan menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal
merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain
kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi
kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya.
Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi
abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal
yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin
seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan
berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja
meninggal (donor kadaver).

8. KOMPLIKASI CKD
i. Hiperkalemia
Tingginya kandungan kalium di dalam darah. Dan tingginya kandungan
kalium di dalam darah dapat menimbulkan kematian mendadak, jika tidak
ditangani dengan serius.
ii. ALO (Acute Lung Oedem)
Natrium mempunyai peranan penting dalam penimbunan cairan akut. Urine
pada orang sehat biasanya mengandung natrium dengan jumlah milli-
ekuivalen yang tepat sama dengan milli ekuivalen natrium di dalam makanan,
sehingga orang tersebut mempunyai balance natrium yang seimbang. Pada
glomerulonefritis akut (gagal ginjal kronis yang lama), natrium tidak lagi dapat
dieksresikan oleh ginjal yang sakit. Jika penderita tetap makan garam dalam
jumlah yang sama seperti saat sehat, maka jumlah natrium di dalam tubuh
akan meningkat dan tetap tinggal di ruang ekstraseluler. Hal inilah yang akan
menarik air dengan tenaga osmotiknya, sehingga di dalam tubuh terjadi dua
peningkatan volume cairan yaitu ekstraseluler dan darah yang bersirkulasi.
Cairan berlebih inilah yang kemudian menuju ke paru-parubdan dapat
menyebabkan ALO juga dapat menyebabkan gagal jantung.
1. Tanda gejala CKD dengan ALO
Gejala yang paling umum CKD dengan ALO adalah sesak
napas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika
prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai
penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut.
Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat
mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang
biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea),
kepeningan, atau kelemahan, dapat pula terjadi perikarditis yang
disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat
gangguan elektrolit
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin
terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh,
atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, mungkin akan
terdengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles
(suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama
bernapas).
2. Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3
stadium:
a. Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit
meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur
dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak
sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 2006).
3. Hipertensi
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam / peningkatan aktivitas
system rennin angiotensin – aldosterone.
4. Anemia
Penurunan fungsi ginjal dapat mempengaruhi kadar eritroprotein dalam
darah hal inilah yang akan menyebabkan anemnia (kekurangan darah).
Maka dari itu CKD dengan anemia harusditransfusi darah.
5. Penyakit tulang
Akibat kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D
abnormal.
6. Dehidrasi
Akibat kerusakan ginjal tidak mampu mensekresikan air terjadilah
dehidrasi.
7. Kulit (Integument)
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
8. Gastrointestinal :
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
9. Endokrin
- Laki laki : kehilangan libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta
motilitas sperma
- Wanita : kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan
infertilisasi
- Anak anak : retardasi pertumbuhan
- Dewasa : kehilangan massa otot
10. Neurologis dan Pisikatri : kelelahan,kehilangan kesadaran, koma, iritasi
neurologis (tremor, ateriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot
bkejang).

B. ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)


1. DEFINISI
 Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar
ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara
akut. Pada keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan
interstisial melalui kapiler endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali,
kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena
pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick, 2000; Hollenberg, 2003).
 Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut adalah terjadinya
penumpukan cairan secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien
berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas (Gumiwang,
2007).
 Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru
yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan
intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi
gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan
hipoksia (Harun dan Sally, 2009)

2. ETIOLOGI
a. Ketidakseimbangan Starling Forces
1) Peningkatan tekanan kapiler paru
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).
 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri.
 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
 Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-
losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan
juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang
sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yang sering menjadi etiologi adalah:
 Pengambilan terlalu cepat pneumotoraks atau efusi pleura
(unilateral).
 Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran
napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume
(asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
 Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun
klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu
yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini
daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2,
dsb).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7) Disseminated Intravascular Coagulation.
8) Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9) Shock lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis perdarahan akut.
c. Insufisiensi Limfatik
1) Post Lung Transplant
2) Lymphangitic Carcinomatosis
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema
2) Neurogenic Pulmonary Edema
3) Narcotic overdose
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post Cardioversion.
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass.
(Harun & Sally, 2009)

3. FAKTOR RISIKO
Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak
setiap kasus adalah karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema
paru meliputi:
 Tekanan darah tinggi
 Diabetes
 Penyakit jantung koroner atau katup
 Kegemukan
 Cedera sistem saraf
 Infeksi

4. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik
dan non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat
berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri
apapun sebabnya. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada
penderita Payah Jantung Kiri Cronic
1. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
 Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques).
 Kardiomiopati
Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak
mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung
memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak
mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-
paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-
paru (flooding).
 Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
 Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
(Harun dan Sally, 2009).
2. Edema paru non kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi
paru itu sendiri. Edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan
dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru
nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah
lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma.
Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau
tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar
untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat
acute lung injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan
penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al,
2005).

3. PATOFISIOLOGI
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari
sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke
ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat
rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan
dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem
limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar
tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari
mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkotik protein.
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik yang cepat dalam kapiler paru menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvascular. Peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena
pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan
tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (18 – 25 mmHG)
menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang ruang intersisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih ti nggi (>25) maka
cairan edema akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus. Kejadian
tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses
sebagai berikut :
- Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya
pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi
jantung.
- Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan
tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan
semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostati k
maka sebaliknya, edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan
dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru
nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah
lebih permeable untuk dilewati oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema
ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru
dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.

4. MANIFESTASI KLINIS
 Serangan khas terjadi pada malam hari setelah berbaring selama beberapa jam
dan biasanya di dahului dengan rasa gelisah, ansictas dan tidak dapat tidur.
 Awitan sesak nafas mendadak dan rasa akfiksia (seperti kebiasaan nafas)
tangan menjadi dingin dan basah, bantalan kuku menjadi sianotik dan warna
kulit menjadi abu-abu.
 Nadi cepat dan lemah, vena leher distensi
 Batuk hebat menyebabkan peningkatan jumlah sputum mokoid.
 Dengan makin berkembangnya edema paru, ansietas berkembang menjadi
mendekati, pasien muali bingung, kemudian stopor.
 Nafas menjadi bising dan basah (dapat tenggelam oleh cairan sendiri)
 Heomamptec (batuk darah)
 Ronchi
+ +
+ +
+
 Tekanan darah menurun
 Takhikardi

Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik


ALO kardiogenik ALO non kardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadi kuat
(-)
Tak meningkat
JVP Meningkat Kering
Ronki Basah Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
Keterangan:
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Harun dan Nasution,2006)

5. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan pada penyakit edema paru di arahkan terhadap penyakit
primer yang menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan
suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi
hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja
dengan baik bila terjadi gagal multiorgan.
Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan menghilangkan
rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat dicapai paling baik dengan
memberikan tekanan positif terputus-putus.
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan menurunkan tekanan
arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler paru.
Caranya ialah dengan retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator
pulmonal (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan yang penting yaitu
mempertahankan keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang
rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat
untuk mempertahankan perfusi jaringan dan transport oksigen yang optimal.
Apabila sudah ditemukan gagal ginjal, dilakukan perawatan konservatif
berupa diet rendah protein. Apabila gagal ginjal sudah lanjut, diperlukan dialysis
bahkan transplantasi ginjal.
C. HEMODIALISA
1. DEFINISI
Hemodialysis adalah bentuk dialysis yang menggunakan mesin (alat
dialysis ginjal) untuk membuang kelebihan cairan, bahan kimia dan produk sisa dari
darah. (Litin, 2009)
Hemodialysis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut,
gagal ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalui mesin. Hemodialysis termasuk
jenis membrane dialysis selain cangkok ginjal. Kelebihan dengan hemodialysis
adalah pasien hanya datang ke rumah sakit minimal 2 kali perminggu sedangkan
cangkok ginjal hanya dapat digantikan dengan ginjal asli yang diberikan oleh donor
ginjal. (Rizal, 2011)
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tingkat tinggi sebagai terapi
pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin,
asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permeable sebagai pemisah
darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis
dan ultra filtrasi.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hemodialisa
adalah suatu terapi pengganti ginjal yang menggunakan mesin ginjal buatan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dalam tubuh kita, dimana menggantikan
ginjal yang sudah tidak dapat berfungsi dengan baik lagi.
2. TUJUAN
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah yang
penuh dengan toksik dan sisa nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser
tempat darah tersebut di bersihkan dan kemudian di kembalikan lagi ke tubuh
pasien.
1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam
urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah
dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif
(penghisap) dalam kompartemen dialisat.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
3. INDIKASI
1. Gagal ginjal akut
2. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
3. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
4. Ureum lebih dari 200 mg/dl
5. PH darah kurang dari 7,1
6. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
7. Intoksikasi obat dan zat kimia
8. Sindrom Hepatorenal
4. PRINSIP KERJA
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi.
 Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
 Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan
dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi
(tubuh pasien) ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini dapat
di tingkatkan meleui tekanan negatif yang di kenal dengan ultrafiltrasi. Tekanan
negatif ini di terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran
dan memfasilitasi pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari
kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia(keseimbangan cairan).

5. PROSES HEMODIALISA
Mekanisme proses pada mesin hemodialisa, darah dipompa dari tubuh
masuk kedalam mesin dialysis lalu dibersihkan pada dialyzer (ginjal buatan), lalu
darah pasien yang sudah bersih dipompakan kembali ke tubuh pasien.
Mesin dialysis yang paling baru telah dilengkapi oleh system komputerisasi
dan secara terus menerus memonitor array safty-critical parameter, mencangkup
laju alir darah dan dialysate, tekanan darah, tingkat detak jantung, daya konduksi,
pH dan lain-lain. Bila ada yang tidak normal, alarm akan berbunyi. Dalam
hemodialysis memerlukan akses vascular (pembuluh darah) hemodialysis (AVH)
yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah yang cukup besar, yaitu
diperlukan kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit secara kontinyu selama
hemodialysis 4 – 5 jam.
AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh darah vena di leher
atau paha yang bersifat temporer. Untuk yang peramanen dibuat hubungan antara
arteri dan vena, biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula, lebih
populer bila disebut (brescia) cimino fistula. Kemudian darah dari tubuh pasien
masuk ke dalam sirkulasi darah mesin hemodialysis yang terdiri dari selang
inlet/arterial (ke mesin) dan selang outlet/venous (dari mesin ke tubuh), kedua
ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk ke pembuluh darah pasien.
Darah setelah melalui selang inlet masuk ke dialisar. Jumlah darah yang menempati
sirkulasi darah di mesin berkisar 200 ml. Dalam dialiser darah dibersihkan, sampah-
sampah secara kontinyu menembus membrane dan menyeberang ke kompartemen
dialisat, di pihak lain cairan dialisat mengalir dalam mesin hemodialysis dengan
kecepatan 500 ml/menit masuk ke dalam dialiser pada kompartemen dialisat.
Cairan dialisat merupakan cairan yang pekat dengan bahan utama elektrolit dan
glukosa, cairan ini dipompa masuk ke mesin sambil dicampur dengan air bersih
yang telah mengalami proses pembersihan yang rumit (water treatment). Selama
proses hemodialysis, darah pasien diberi heparin agar tidak membeku bila berada di
luar tubuh yaitu dalam sirkulasi darah mesin.
Prinsip hemodialysis sama seperti metoda dialysis. Melibatkan difusi zat
terlarut ke sembarang suatu selaput semipermeable. Prinsip pemisahan
menggunakan membran ini terjadi pada dialyzer. Darah yang mengandung sisa-sisa
metabolisme dengan konsentrasi yang tinggi dilewatkan pada membrane
semipermeable yang terdapat dalam dialyzer, dimana dalam dialyzer tersebut
dialirkan dialysate dengan arah yang berlawanan (counter current).
Driving force yang digunakan adalah perbedaan konsentrasi zat yang
terlarut berupa racun seperti partikel-parttikel kecil, seperti urea, kalium, asam urea,
fosfat dan kelebihan khlorida pada darah dan dialysate. Semakin besar konsentrasi
racun tersebut di dalam darah dan dialisat maka proses difusi semakin cepat.
Berlawanan dengan peritoneal dialysis, dimana pengangkutan adalah antar
kompartemen cairan yang statis, hemodialysis bersandar pada pengangkutan
konvektif dan menggunakan konter mengalir, dimana bila dialysate mengalir ke
dalam berlawanan arah dengan mengalir axtracorporeal sirkuit. Metode ini dapat
meningkatkan efektifitas dialysis.
Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang sudah
disterilkan, urea dan sisa metabolisme lainnya, seperti kalium dan fosfat, berdifusi
ke dalam dialysate. Selain itu untuk memisahkan yang terlarut dalam darah
digunakan prinsip ultrafiltrasi. Driving force yang digunakan pada ultrafiltrasi ini
adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dan dialyzer. Tekanan darah
yang lebih tinggi dari dialyzer memaksa air melewati membrane. Jika tekanan dari
dialyzer diturunkan maka kecepatan ultrafiltrasi air dan darah akan meningkat.
Jika kedua proses ini digabungkan, maka akan didapatkan darah yang
bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah yang digunakan pada mesin
hemodialysis modern, sehingga keefektifannnya dalam menggantikan peran ginjal
sangat tinggi. (Rizal, 2011).

6. PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS JANGKA


PANJANG
 Diet dan massalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu
mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini
akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin
yang di kenal dengan gejala uremik.
 Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di
pertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

7. KOMPLIKASI
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
8. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CKD DENGAN ALO
A. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu
pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD
dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan
penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk /
berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air
minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,glomerulonefri
tis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus
urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
b. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit
parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter.
Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung
kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah
dihindari.
c. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan
air naik atau turun.
d. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan
darah dan suhu.
e. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien
tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
f. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
g. Pola persepsi dan kognitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan
jelas.
h. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
i. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan
kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat
berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
j. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema,
citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan
percaya diri.
k. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan
dengan tepat, mudah terpancing emosi.
l. Pola kepercayaan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan
kegiatan agama seperti biasanya.
4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien
dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
TD naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi,
atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid
pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada
paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan
pada jantung.
g. Abdomen : terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Genital : kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang,
dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialysis.
2. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis,
perikarditis
3. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan
natrium.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
5. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive
6. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d kurangnya
informasi kesehatan.

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi


1 Intoleransi aktivitasSetelah dilakukan askep ...NIC: Toleransi aktivitas
b.d jam Klien dapat menoleransi1. Tentukan penyebab intoleransi
ketidakseimbangan aktivitas & melakukan ADL aktivitas & tentukan apakah
suplai & kebutuhandgn baik penyebab dari fisik, psikis/motivasi
O2 Kriteria Hasil: 2. Kaji kesesuaian aktivitas&istirahat
 Berpartisipasi dalam klien sehari-hari
aktivitas fisik dgn TD, HR,3. Peningkatan aktivitas secara
RR yang sesuai bertahap, biarkan klien berpartisipasi
 Warna kulit dapat perubahan posisi,
normal,hangat&kering berpindah&perawatan diri
 Memverbalisasikan 4. Pastikan klien mengubah posisi
pentingnya aktivitas secara bertahap. Monitor gejala
secara bertahap intoleransi aktivitas
 Mengekspresikan 5. Ketika membantu klien berdiri,
pengertian pentingnya observasi gejala intoleransi spt mual,
keseimbangan latihan & pucat, pusing, gangguan
istirahat kesadaran&tanda vital
 Peningkatan toleransi6. Lakukan latihan ROM jika klien tidak
aktivitas dapat menoleransi aktivitas
2 Pola nafas tidakSetelah dilakukan askep .....Monitor Pernafasan:
efektif b.djam pola nafas klien1. Monitor irama, kedalaman dan
hiperventilasi, menunjukkan ventilasi yg frekuensi pernafasan.
penurunan energi,adekuat dg kriteria :
2. Perhatikan pergerakan dada.
kelemahan  Tidak ada dispnea 3. Auskultasi bunyi nafas
 Kedalaman nafas normal 4. Monitor peningkatan
 Tidak ada retraksi dada / ketidakmampuan istirahat,
penggunaan otot bantuan kecemasan dan sesak nafas.
pernafasan
Pengelolaan Jalan Nafas
5. Atur posisi tidur klien untuk
maximalkan ventilasi
6. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
7. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sesuai kebutuhan
8. Auskultasi bunyi nafas
9. Bersihhkan skret jika ada dengan
batuk efektif / suction jika perlu.
3 Kelebihan volumeSetelah dilakukan askep .....Fluit manajemen:
cairan b.d.jam pasien mengalami1. Monitor status hidrasi (kelembaban
mekanisme keseimbangan cairan dan membran mukosa, nadi adekuat)
pengaturan melemah elektrolit. 2. Monitor tnada vital
Kriteria hasil: 3. Monitor adanya indikasi
 Bebas dari edema overload/retraksi
anasarka, efusi 4. Kaji daerah edema jika ada
 Suara paru bersih
 Tanda vital dalam batasFluit monitoring:
normal 5. Monitor intake/output cairan
6. Monitor serum albumin dan protein
total
7. Monitor RR, HR
8. Monitor turgor kulit dan adanya
kehausan
9. Monitor warna, kualitas dan BJ urine
4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askepManajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari…..jam klien menunjukan1. kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh status nutrisi adekuat
2. Kaji adanya alergi makanan.
dibuktikan dengan kriteria
hasil 3. Kaji makanan yang disukai oleh klien.
 BB stabil 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk
penyediaan nutrisi terpilih sesuai
 Tidak terjadi malnutrisi, dengan kebutuhan klien.
 Tingkat energi adekuat 5. Anjurkan klien untuk meningkatkan
 Masukan nutrisi adekuat asupan nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
7. Berikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi dan pentingnya bagi tubuh
klien

Monitor Nutrisi
8. Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
9. Monitor respon klien terhadap situasi
yang mengharuskan klien makan.
10. Monitor lingkungan selama makan.
11. Jadwalkan pengobatan dan tindakan
tidak bersamaan dengan waktu klien
makan.
12. Monitor adanya mual muntah.
13. Monitor adanya gangguan dalam
proses mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan, bengkak dsb.
14. Monitor intake nutrisi dan kalori
6 Resiko infeksi b/dSetelah dilakukan askep ...Kontrol infeksi
tindakan invasive,jam risiko infeksi terkontrol1. Ajarkan tehnik mencuci tangan
penurunan dayadg KH:
tahan tubuh primer  Bebas dari tanda-tanda2. Ajarkan tanda-tanda infeksi
infeksi 3. laporkan dokter segera bila ada tanda
 Angka leukosit normal infeksi
 Pasien mengatakan tahu4. Batasi pengunjung
tentang tanda-tanda dan5. Cuci tangan sebelum dan sesudah
gejala infeksi merawat ps
6. Tingkatkan masukan gizi yang cukup
7. Anjurkan istirahat cukup
8. Pastikan penanganan aseptic daerah
IV
9. Berikan PEN-KES tentang risk infeksi
Proteksi infeksi:
10. Monitor tanda dan gejala infeksi
11. Pantau hasil laboratorium
12. Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi
13. Monitor Vital Sign
6 Kurang pengetahuanSetelah dilakukan askep …Pendidikan : proses penyakit
tentang penyakit danjam Pengetahuan klien /2. Kaji pengetahuan klien tentang
pengobatannya b.d.keluarga meningkat dg KH: penyakitnya
kurangnya sumberPasien mampu:
3. Jelaskan tentang proses penyakit
informasi
 Menjelaskan kembali (tanda dan gejala), identifikasi
penjelasan yang kemungkinan penyebab.
diberikan 4. Jelaskan kondisi klien
 Mengenal kebutuhan5. Jelaskan tentang program
perawatan dan pengobatan dan alternatif
pengobatan tanpa cemas pengobantan
 Klien / keluarga6. Diskusikan perubahan gaya hidup
kooperatif saat dilakukan yang mungkin digunakan untuk
tindakan mencegah komplikasi
7. Diskusikan tentang terapi dan
pilihannya
8. Eksplorasi kemungkinan sumber
yang bisa digunakan/ mendukung
9. instruksikan kapan harus ke
pelayanan
10. Tanyakan kembali pengetahuan klien
tentang penyakit, prosedur perawatan
dan pengobatan

DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Nursing care plans:
Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:
Kariasa,I.M. Jakarta: EGC.
Fauci et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. United
States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653.
Lorraine et al. 2005. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med.;353:2788-96.
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : Media
Aeusculapius FKUI.
Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease: Causes, diagnosis, treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 73(3): 289-97
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2001. Brunner & Suddarth Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-
proses Penyakit. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai