Anda di halaman 1dari 9

Aulia Dwi Nastiti | 0906561452 | Komunikasi Media

“Banyak yang tidak menyadari bahwa untuk bisa menjadi pemimpin yang baik sebenarnya harus
pernah membuktikan dirinya pernah menjadi orang yang dipimpin.”

--- Dahlan Iskan

Itulah sepenggal kalimat yang diucapkan Dahlan Iskan, Menteri BUMN Republik
Indonesia. Dari petikan tersebut, tersirat bahwa Dahlan ialah sosok pemimpin yang

mengawali karirnya dari bawah. Memang benar kata-kata tersebut ialah cerminan
perjalanan hidupnya: seorang anak buah yang dipimpin menjadi seorang pemimpin.

Dari Lulusan SMA, Bos Media, sampai Penguasa BUMN

Lahir di sebuah desa di Magetan, 17 Agustus 1952, Dahlan kecil dibesarkan dalam
keluarga yang serba kekurangan. Tentang tanggal lahirnya, orang tua Dahlan tak

ingat tanggal berapa anaknya dilahirkan. Akhirnya, Dahlan sendiri yang memilih
tanggal 17 Agustus agar sama dengan tanggal lahir Indonesia. Pendidikan Dahlan

hanya sampai SMA. Selepas lulus pada tahun 1975, ia mengawali karir menjadi
reporter surat kabal kecil di Samarinda. Setahun kemudian Dahlan diterima bekerja di

Tempo sebagai wartawan. Keluar dari Tempo, sejak 1982, ia memimpin surat kabar
Jawa Pos. Di tangannya, Jawa Pos yang sempat hampir gulung tikar, bangkit dan

menjadi salah satu jaringan surat kabar terbesar (Jawa Pos News Network).

Menjadi seorang punggawa yang membesarkan sebuah grup media membuat


karakter kepemimpinan Dahlan Iskan menjadi perhatian. Di Jawa Pos, Dahlan

terkenal sebagai pemimpin yang sigap dan bertindak cepat dalam mneghadapi
masalah. Mungkin ini juga yang membuat SBY, Presiden RI, menunjuk Dahlan
sebagai Direktur Utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar yang banyak dikritik

karena terlalu banyak pemadaman listrik di Jakarta. Di perusahaan BUMN ini Dahlan
melakukan reformasi korporasi dengan berbagai gerakan dan pembangunan, antara

lain Bebas Byar Pet se-Indonesia dalam waktu 6 bulan, Gerakan Sehari Sejuta
Sambungan, Pembangunan Pembangkit Listrik di 100 Pulau 2011, dll. Di bawah

Dahlan, PLN menjadi salah satu perusahaan plat merah yang berprestasi dan
mengundang apresiasi.

Pada tanggal 17 Oktober 2011, ketika terjadi reshuffle cabinet, Dahlan dipanggil ke
Istana Negara untuk menjadi Menteri BUMN menggantikan Mustafa Abubakar yang

sakit. Berat hati ia meninggalkan PLN, perusahaan yang dulu ia benci setengah mati,
tetapi berhasil membuatnya merasa kembali muda karena semangat transformasi

yang biasanya sulit dilakukan di korporasi besar. Ia pun menulis dalam catatan
personal yang dimuat dalam blog Catatan Dahlan Iskan,

“Saya sudah telanjur jatuh cinta setengah mati kepada orang yang dulu saya benci: PLN.
Tapi, belum lagi saya bisa merayakan bulan madunya, saya harus meninggalkannya.
Inikah yang disebut kasih tak sampai?”

Sepak Terjang Dahlan di Kementrian

Sebagai seroang pemimpin berbagai perusahaan yang menafkahi hajat hidup orang
banyak, kepemimpinan Dahlan Iskan di Kementrian BUMN memang menjadi sorotan.

Sejak menduduki jabatan baru ini, Dahlan telah melakukan beberapa gebrakan yang
tak lazim dilakukan oleh seorang menteri. Selepas dilantik, ia menolak memakai

mobil dinas dan tidak menggunakan kantor Direktur yang terlalu besar, berjalan kaki
untuk rapat ke Kementrian ESDM, menumpang KRL untuk rapat kabinet di Bogor,

menumpang ojek sampai Istana Bogor, sampai menginap di Perumnas.

Berbagai media pun ramai memberitakan tindakan spontan Dahlan Iskan. Tak cukup

dengan itu, minggu lalu Dahlan ramai diperbincangkan media, sampai menjadi

worldwide trending topic di Twitter. Apa pasalnya? Tengoklah headline media:


“Dahlan Iskan Ngamuk di Loket Jalan Tol” (Metro TV, 20 Maret 2012). Aksinya
merupakan teguran kepada petugas tol Jasa Marga yang karena terlambat berjaga

mengakibatkan kemacetan panjang di jalan tol Semanggi. Dia membuang kursi


penjaga, membuka dua gerbang tol yang kosong, dan membiarkan mobil-mobil

lewat tanpa membayar. Pagi itu Dahlan menjadi pengatur lalu lintas dadakan.

Meski dibutuhkan waktu untuk menilai efektivitas gebrakan Dahlan di Kementerian

BUMN; tapi setidaknya dengan pola yang sama, Jawa Pos telah dibawanya menjadi
raja media di Indonesia. Berbagai tindakannya yang tak populer justru menjadikan
Menteri BUMN ini semakin populer sebagai idola baru di masyarakat. Banyak pihak
yang menganggap kesederhanaan dan kedekatannya dengan masyarakat bisa

menjadi contoh bagi pejabat-pejabat lain (Tempo.co, 21 Maret 2012).

Sebagai seorang salah satu birokrat garda depan pemerintahan, Dahlan pun kini
menjadi sorotan media massa. Televisi, koran, maupun media online ramai

memberitakan sosoknya, mengisahkan profilnya, atau menunggu cerita baru dalam


jabatan sehari-harinya. Tingginya publisitas media terhadap Dahlan membuat gaya

kepemimpinan dan retorika yang ditampilkan Dahlan Iskan menarik untuk ditelaah
dalam kajian Retorika dan Komunikasi Politik mengingat ‘kekhasan aksi’-nya di
tengah banyaknya politisi dan personel pemerintahan yang lebih senang berwacana.
Pertunjukan Retorika Aksi Dahlan Iskan

Teori Retorika dicetuskan 2500 tahun lalu oleh Aristoteles untuk memahami
dinamika komunikasi di depan khalayak luas. Fokus teori ini terletak pada konsep

Retorika yang berarti cara-cara yang digunakan dalam persuasi. Namun, dasar teori
retorika sebenarnya telah diletakkan oleh Socrates, pendahulu Aristoteles, yang

menyebut bahwa beretorika berarti mencari kebenaran. Sedangkan Cicero, seorang


filsuf Romawai yang juga orator ulung menawarkan konsep yang lebih spesifik:

retorika sebagai keindahan bahasa.

Jika merujuk pada para filosofi retorika Cicero, maka gaya bicara dan tindak-tanduk
Dahlan Iskan yang ditampilkan dalam media pastilah sulit diterima logika sebagai

sebuah retorika. Jika diperhatikan, tutur kata Dahlan justru spontan, dengan bahasa
yang ringan, kadang diselingi gurauan. Sebagai mantan wartawan, keindahan bahasa

mungkin hanya bisa ditemukan dalam tulisannya saja. Blog pribadi Catatan Dahlan
Iskan adalah buktinya. Penampilannya pun jauh dari necis dan parlente. Celana

panjang, kemeja dengan lengan dilipat, atau sweater menjadi gaya busana favortinya.
Ia selalu setia dengan sepatu kets-nya meskipun setelan jas tersematkan sebagai

busananya, seperti pada saat dilantik sebagai menteri (TV One, 18 Oktober 2011).

Namun, jangan lupa pepatah berkata “Act speaks louder than words”. Pepatah ini
sangat sesuai dengan Dahlan Iskan. Retorika Dahlan bukanlah kata-kata indah, tetapi

aksi yang menggugah. Jika Aristoteles menyebut retorika sebagai cara persuasi,
maka Dahlan percaya bahwa upaya paling efektif untuk mempengaruhi adalah

memberi contoh atau leading by action. Sejak memimpin Jawa Pos, karakter Dahlan
ialah selalu turun langsung ke lapangan hingga lapis bawah dan hampir semua

dilakukan tanpa rencana. Hanya saja ketika naik menjadi Dirut PLN atau Menteri
BUMN, langkahnya jadi lebih terekspos media. Mendampingi dan mengawal setiap

pembangunan pembangkit listrik (Politikana, 2010), memilih naik KRL atau mengojek,
menginap di rumah susun, sampai menolak kehadiran media saat pasar murah
(Metro TV News, Desember 2011).
Maka tak heran bila Dahlan ‘ngamuk’ di jalan tol. Kemarahan Dahlan bukan marah

mendadak spontan karena sudah tiga bulan ia minta Jasa Marga memperbaiki
pelayanan jalan tol. Dalam tanggapannya melalui telepon di Headline News Metro TV,

(Rabu, 21 Maret 2012), Dahlan berkata:

“Hampir setiap minggu saya SMS direksi jasa marga mengingatkan komitmen kepada
masyarakat yang harus kita penuhi. Setiap kali saya masuk gerbang tol yang antre panjang
saya selalu SMS kepada direksi Jasa Marga. Tapi kok tidak ada tindakan nyata,” tegasnya.

“Saya tidak henti-hentinya mengingatkan itu. Pelayanan itu harus baik. Apalagi ini
melayani orang yang mau membayar. Kalau melayani orang yang mau bayar saja tidak
baik, bagaimana melayani masyarakat kecil yang tidak punya uang?”

Ketika langkah-langkah persuasif dan akomodatif tidak mampu menggerakkan.


Dahlan mengambil tindakan tegas. Mengejutkan sekaligus menggerakkan datangnya
solusi nyata dari Jasa Marga. Dirut Jasa Marga, Adityawarman, merespon kemarahan

Dahlan tersebut sebagai cambuk Jasa Marga untuk mewujudkan antrian maksimal
lima mobil di pintu tol. Aksi ‘koboi’ Dahlan pun mengudang liputan media secara

luas dan membuat Jasa Marga secara resmi meminta maaf melalui Direktur Operasi.

Dari sini dapat dilihat bagaimana kekuatan retorika aksi terbukti lebih mampu
mempersuasi dan mempengaruhi dibanding hanya keindahan kata dan wacana.

Bayangkan bila Dahlan hanya sibuk berkomentar di media, meminta, dan


mengharapkan Jasa Marga melakukan perbaikan tanpa menindak tegas. Bisa jadi,

penjaga tol Jasa Marga tidak akan merasa tertampar dan tetap tidak disiplin.

Komunikasi Dahlan: Manajemen Harapan dan Supportive Style

Kajian retorika tak pernah bisa dilepaskan dari diskursus komunikasi politik.

Membahas retorika dalam komunikasi politik tentu kita tak bisa melupakan Laswell,
pakar komunikasi politik. Dalam artikel klasik berjudul The Structure and Function of
Communication in Society (1948), Laswell merumusakn sebuah terminologi yang kini
tersohor sebagai salah satu fundamen dalam Ilmu Komunikasi, khususnya: “Who says
what in what channel to whom with what effect”.
Berkaca pada terminologi tersebut, aksi-aksi ‘koboi’ Dahlan Iskan sebenarnya dapat

kita bedah menjadi elemen-elemen komunikasi seperti yang dikatakan Laswell.

Pertama, elemen Who atau subjek penyampai pesan (sender) yaitu, Dahlan Iskan.

Dalam komunikasi yang disampaikannya, Dahlan Iskan bukan hanya berbicara


sebagai subjek personal, tetapi mengusung identitas sebagai seorang tokoh

pemerintahan (Dirut PLN atau Menteri BUMN). Struktur dan peran sosial inilah yang
menjadi legitimasi Dahlan Iskan untuk melakukan tindakan komunikasi politik terkait

dengan permasalahan pelayanan BUMN, seperti berkomentar, menegur,


menginspeksi, atau bahkan ‘mengamuk’.

Menurut Aristoteles, dalam beretorika, seorang figur publik yang bertujuan

mempersuasi khalayak secara efektif haruslah memperhatikan tiga bukti retoris: logos
(logika), pathos (emosi), dan ethos (kredibilitas). Sebagai seorang sender, Dahlan Iskan

dinilai punya ketiganya. Logikanya rasional, taktis, dan pragmatis, mungkin karena
pengaruh kuat latar belakangnya sebagai entrepreneur. Kredibilitas tak perlu

diragukan, telah sukses membawa perkembangan di Jawa Pos dan perubahan PLN.
Hanya saja, emosi Dahlan Iskan yang seringkali tidak terlalu tertata dengan baik. Hal

ini terlihat dari nada bicaranya yang seringkali naik turun, dan tindakannya yang
ingin semua serba cepat, khas pengusaha.

Kedua, elemen What, atau pesan atau informasi yang disampaikan, baik secara verbal

melalui kata-kata ataupun non-verbal melalui gestur, mimik, tempo, dan intonasi.
Secara verbal, gaya bicara Dahlan Iskan di media sendiri terkadang justru sering

terkesan mengulang-ulang pernyataan yang menjadi penekanannya, serta terkadang


selalu self-centered, sering menceritakan informasi tentang dirinya sendiri sebagai

background ketika menjawab pertanyaan. Namun, yang khas dari Dahlan ialah cara
bicara yang straight to the point dan solution-oriented, berkomentarnya santai tapi

cukup tajam, dan tanpa tedeng aling-aling. Contohnya, komentarnya saat


menanggapi penjelasan dari Direktur Operasi Jasa Marga dalam Headline News
Metro TV (20 Oktober 2012):
“Sudahlah semua orang tahulah, maksimal kok masih belum lancar ya itu namanya ndak
maksimal. Namanya maksimal itu ya mengatasi persoalan, kalo ini belum teratasi ya
jangan bilang berusaha maksimal. Sudahlah ndak usah tipu-tipu, dilapori macem-macem.

Saya sudah tahulah, saya biasa memimpin perusahaan besar. Untuk perusahaan besar
seperti jasa Marga, yang penting sudah disadari ini kelemahan, gak usah banyak

beralasan dan memberi penjelasan, yang penting berubah. Bagi saya itu sudah cukup ”

Sedangkan secara non-verbal, gaya bicara Dahlan Iskan cenderung santai, nonformal,
kental dialek Surobayan, dan bicaranya cukup cepat dengan diiringi senyum dan

tawa ringan. Seperti saat reporter Metro TV melakukan liputan Mengenal Dahlan
Iskan dalam Metro Siang (Minggu, 23 Oktober 2011) ataupun saat Dahlan diundang

dalam Jakarta Lawyers Club sebagai Dirut PLN saat heboh Kasus Nazaruddin. Dalam
kedua acara tersebut, Dahlan berbicara santai dengan tertawa-tawa, dan terasa sekali

logat Jawa-nya. Akan tetapi nada riang ini hilang ketika Dahlan dimintai tanggapan
tentang aksinya di loket tol dalam Headline News, ketika di situ Dahlan terdengar

marah. Artinya, salah satu pesan non-verbal Dahlan Iskan yang dominan ialah
emosinya (pathos) yang sangat terlihat ketika ia berbicara.

Ketiga, adalah elemen Channel, atau saluran

berlangsungnya komunikasi tersebut. Pada


dasarnya, retorika dapat berlangsung secara

langsung (tatap muka) ataupun melalui media


massa. Dalam kasus ini, retorika aksi Dahlan Iskan

dikomunikasikan melalui liputan media massa


yang kini intens menyorot Menteri BUMN ini.

Sebelumnya, Dahlan Iskan memang cukup banyak


mendapatkan tempat di media ketika dia masih

menjabat sebagai Dirut PLN. Hanya saja, publisitasnya di media sebatas tentang hasil
perubahan atau berita seremonial tentang kinerja PLN. Penampilannya di media juga

lumrah, seperti menjadi narasumber atau tamu undangan dalam talkshow (Sentilan
Sentilun Metro TV, Jakarta Lawyers Club TV One).
Meskipun demikian, terjadi perubahan perlahan sejak dia diangkat menjadi Menteri

BUMN. Tindakan kecil Dahlan selalu terekspos rombongan pers yang setia mencari
berita dari Kementrian BUMN. Karena personalitasnya yang lain daripada menteri

lainnya, perlahan-lahan Dahlan Iskan pun naik daun menjadi media darling. Media
menempatkan Dahlan sebagai sosok pemimpin idola yang sederhana dan merakyat

(Metro Siang, 30 Maret 2012). Meskipun Dahlan sendiri sebenarnya tak terlalu ambil
pusing dengan kehadiran media, melihat latar belakangnya sebagai wartawan senior

yang sudah tentu memahami pencitraan lewat media. Hal ini membuktikan bahwa
retorika yang efektif untuk ditampilkan secara positif di media massa ialah retorika

yang berorientasi pada aksi, bukan pada pengaturan tutur kata penuh curahan hati.

Keempat, elemen Whom yang berarti penerima informasi atau audiens. Dalam

retorika Dahlan Iskan, yang menjadi objek penerima tindakan komunikasinya secara
umum ialah masyarakat luas, dan secara khusus adalah jajaran birokrat dalam

Kementrian BUMN. Melalui retorika aksinya, Dahlan membuat masyarakat sadar


bahwa dalam jajaran kabinet terdapat seorang menteri dengan pendekatan unik dan

membuat jajaran BUMN di bawahnya tercambuk agar sewaktu-waktu tak dibuat

malu seperti Jasa Marga karena hobi Dahlan turun lapangan secara impulsif.

Pendekatan unik Dahlan disebut juga Manajemen Harapan yaitu pilihan untuk

berorientasi aksi daripada sekedar berkeluh-kesah dan mencari pembenaran untuk


ketidakberdayaan. Ketika di PLN, Dahlan tahu bahwa PLN memiliki citra buruk di

mata publik. Namun, Dahlan tidak mencari kambing hitam atas masalah dan nasib
buruk yang ada, tetapi kita mencari solusi dan berfokus pada apa yang bisa kita

lakukan. Salah satunya dengan mengamblikan komitmen jajaran internal PLN sampai
ada slogan “Kerja, kerja kerja!”.

Kelima, elemen Effect atau dampak yang terjadi pada audiens terhadap pesan yang

disampaikan sender. Dampak yang terjadi bisa terjadi dalam tiga tataran, kognitif
(persepsi), afektif (preferensi), dan konatif (perilaku), dan bisa bersifat positif maupun
negatif. Retorika aksi yang dilakukan Dahlan menimbulkan dampak di ketiga level
tersebut dan kesan positif maupun negatif, meskipun sebagian besar cenderung

positif. Selepas cukup banyak gebrakan dan tindakan tak terduga-duga yang
dilakukan Dahlan Iskan, mengalir banyak dukungan dan sanjungan yang disematkan.

Salah satu dampak dalam tataran perilaku positif adalah gerakan yang dicetuskan
Peter F. Gontha, Begawan bisinis ternama, untuk menggalang dukungan bagi Dahlan

Iskan untuk maju sebagai calon presiden 2014 melalui surat elektronik. Dalam
semalam sejak Peter mengungkapkan niatnya, sudah ada ratusan email masuk. Selain

itu, aksinya di loket tol Semanggi juga menimbulkan efek luar biasa di dunia maya,
ketika ‘Dahlan Iskan’ menjadi worldwide trending topic. Dalam birokrasi internal

BUMN, aksi-aksi penuh kejutan dari Dahlan Iskan sendiri mengundang decak kagum
sekaligus semangat perbaikan seperti yang ditunjukkan PT KAI atau Perumnas.

Meskipun tetap ada beberapa dampak negative berupa komentar yang mengkritisi
publisitas berlebihan terhadap personalitas Dahlan yang mengarah ke pencitraan.

Menurut pakar komunikasi politik, Effendi Ghazali, kepemimpinan Dahlan sangat

berbeda jika dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin yang lain di Indonesia.


Effendi menilai bahwa Dahlan memiliki supportive style, yaitu berani melakukan aksi

yang pasti didukung rakyat (Effendi Ghazali, dalam Tempo.co, 21 Maret 2012).
Seperti contohnya ketika Dahlan membuka dan menggratiskan loket tol. Tindakan

Dahlan wajar sebagai pengguna jalan yang marah, tetapi karena sadar posisinya
sebagai pemimpin perusahaan yang bertanggungjawab, Dahlan berani melakukan

terobosan yang patut diapresiasi.

Dari serangkaian tindakan, gaya bicara, dan retorikanya, dapat disimpulkan bahwa
Dahlan bukanlah tokoh di balik meja yang hanya mendengarkan laporan bawahan

tanpa verifikasi. Kepada orang yang dipimpin dibawahnya, gaya retorika dan
kepemimpinan Dahlan Iskan mengajari dua hal: cara menjadi pemimpin yang baik

dan cara menjadi anak buah yang baik. Dahlan Iskan membuktikan bahwa ia adalah
seorang man of action, pemimpin yang mengutamakan tindakan karena ia pernah
merasakan bagaimana rasanya bertindak di bawah kepemimpinan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai