Anda di halaman 1dari 3

Selingkuh

Oleh SEPTIAWAN SANTANA K.

KETIKA di umur empat puluh mulai "gatal" melihat gadis-gadis muda, saya pun lalu
melempar diskusi tentang "kalau aku selingkuh". Obrolan dilempar ke milis buatan
mahasiswa. Milis ini beranggotakan mahasiswa dan lulusan dari fakultas yang sama.
Anggotanya, walau kebanyakannya mahasiswa tapi diikuti pula oleh orang-orang
yang sudah lulus, dan beberapa dosen. Macam-macam tanggapannya. Ini adalah
petikannya.

Seorang mantan mahasiswa yang sudah sarjana, dan berstatus "menikah, satu anak",
melihatnya dari motif "sebelum menikah". Ia bilang, "Awal sebab perselingkuhan,
pasti dari kesalahan motif seseorang ketika akan melangsungkan perkawinan." Ia
tidak mau membayangkan "gimana ruwetnya ngurus rumah tangga, ngurus anak
orang," yang "mumetnya minta ampun".

"Nah, kalau udah kebayang gitu," tonjoknya, "kenapa memutuskan untuk menikah?
Lha kalau sudah menikah ternyata hati menjadi tidak lebih bahagia, lalu terjadi
perselingkuhan, yang salah siapa? Apakah kita yang dulu salah memutuskan untuk
menikah? Atau pasangan kita yang ternyata tidak bisa membahagiakan kita?"

Ia pun lalu beramsal. "Kalau teman-teman (yang belum menikah) menganggap bahwa
aktivitas seksual suami-istri bisa menghibur, dan mengendurkan urat syaraf,
mengencangkan urat yang lain, pendapat itu nggak sepenuhnya terbukti." Dan,
dengan enteng, ia berkata, "Percaya deh, secara natural, ada fase menurunnya
excitement, atau kegairahan kita, dalam beraktivitas seksual."

"Kalau cuma itu motifnya, ya pasti muncul perselingkuhan, bosen dengan pasangan
sendiri, atau tergoda untuk 'mencoba' yang lain," katanya. "Bagaimanapun, aktivitas
seksual just a game, sama seperti kalau kita libur kerja lalu kita terpaksa harus
mengantar istri belanja, atau main bola dengan anak kita yang baru berusia balita. Ini
akhirnya menjadi sekadar rutinitas."

"Sex is not fun anymore, it's your responsibility," tandasnya.

Lalu, ia meminta kita mencari motif lain.

"Motif kita menikah adalah untuk menstabilkan pola hidup kita, agar lebih terjaga.
Ingin melangsungkan keturunan, juga satu motif. Ingin lebih dihargai oleh
masyarakat, juga satu motif yang tidak jelek. Atau, ingin menghabiskan sisa hidup
dengan orang yang kita cintai, with or without sex, juga bagus."

"Setidaknya," tambahnya, "motif-motif tadi lebih akan bertahan lama, dibanding


motif pemenuhan hasrat seksual."

Di akhir email, ia pun berseloloroh, "Buat yang belum nikah, benerin lagi deh
motivasinya. Nikah itu bukan satu-satunya hal luhur yang harus selalu dicapai oleh
manusia. Buat yang udah nikah lalu bosen dan nyesel, saya ucapkan kaciaaan deh
Lu..!!"
:: repository.unisba.ac.id ::
Pendapat lain bermunculan. Masing-masing mengirimkan berbagai sudut pandang.
Dan, saling melempar-jawab, dengan cara yang enjoy, tanpa beban.

Dari sisi agama, misalnya. Seorang wanita, sudah sarjana, sudah kerja, belum
married, mengajak saya untuk menyimak kalimat ini, "Kalau iman seseorang tidak
digantungkan pada Allah, tapi pada fenomena kehidupan yang materialis-hedonis,
maka selingkuh menjadi sesuatu yang excited, yang menarik untuk dicoba dan
dilakukan," serunya.

"Tentu berbeda kalau iman seseorang digantungkan pada Allah, selingkuh akan
menjadi sesuatu yang dahsyat ancamannya hingga orang akan berpikir berulang-ulang
kali untuk melakukannya."

Di kiriman email yang lain, ia menegaskan, "Setia itu indah loh..."

Tapi, pendapat itu ditanggapi oleh rekan wanitanya juga, serta sudah lulus dan kerja
juga - dan, secara lebih rapih dan utuh, pendapatnya bisa dibaca di situs yang ia buat,
www.vitarlenology.blogspot.com. "Waduhh....untuk bisa ngerasain indahnya
setia...harus babak belur dulu," pintanya. "Namanya juga manusia biasa,...gak
selingkuh badan, ya selingkuh pikiran mah, pasti setiap orang pernah ngalamin..."
Apalagi, menurutnya, "biasanya, pikiran kalau direpresi, malah semakin menggila...."

Karena itulah, ia mengusulkan. "Jadi, kenapa soal selingkuh ini gak kita sikapi secara
terbuka." Misalnya, "...dibicarakan dengan pasangan secara terbuka." Sebab
keterbukaan itu, menurutnya, "bisa mempererat hubungan loh." Tentu saja, "kalau
masing-masing pihak bisa membicarakannya dengan pikiran terbuka juga..."

Di soal keterbukaan ini, rupanya ada kesepakatan. Yang diamini, secara nyaman dan
sentilan, dengan email macam ini, "Yup, keterbukaan itu perlu," cetusnya. Dengan
catatan, "...omongin juga kalau pasangan mau selingkuh atau tidak. Jangan terbuka
pada urusan dapur doang...hahahaha......!!!!"

**

DI tengah diskusi, yang saling lempar pikiran penuh gurau dan haha-hihi - tanpa
kekakuan di ruang kuliah yang konon harus dibuat angker itu - tiba-tiba nyelonong
masuk kiriman email yang dengan nyeleneh, mengajak tertawa tapi cukup memilin
niat para "selingkuher" pacar atau pasangan nikahnya. Pengirimnya, seorang
mahasiswa tingkat akhir yang sudah kerja jadi wartawan, dan dengan setia menanti
pacarnya yang "bersekolah" di negeri tetangga. Di awal tulisan, dengan gagah dan
bijak ia menulis, "Keterbukaan pada pasangan itu perlu, Saudara. Kalau sudah biasa
terbuka, insya Allah, Anda bisa menghindari perselingkuhan."

Tapi, kemudian, ia membuat satir. Ia mengejek orang-orang yang mau berselingkuh,


melalui kutipan (dari sebuah milis "tetangga", katanya), mengenai "cara berselingkuh
yang efektif". Ia beri judul "10 tips berselingkuh dengan aman." Isinya cukup
memukau. Tiap rinciannya merefleksikan realitas zaman yang - seperti disiarkan
gosip-gosip infotainment di televisi, penuh hitungan rasionalitas yang hanya mengejar
syahwat sensasional. Juga, pemuasan keliaran hasrat biologis, dan psikologis, serta

:: repository.unisba.ac.id ::
ekonomis, yang coba ditertibkan secara politis dan moralis, agar tidak mengandung
"aib-is".

Kutipan satir 10 tips ini, menurut si mahasiswa-pengirim, "Sekadar tips, buat yang
mau selingkuh, hehehe...." Lalu, diberi keterangan, "...biar makin seru diskusinya...."
Bunyinya begini, (1) Jangan melakukan lebih 2 kali, karena kalau lebih dari 2 kali
perasaan Anda akan berbicara. Kalau udah begini tahi kuda bisa serasa cokelat.
Keluarga di rumah bisa nggak diingat; (2) Cari partner selingkuh yang sejajar baik
dari segi ekonomi maupun mental. Kalau partner selingkuh Anda ekonomi lemah,
Anda akan diporoti habis-habisan. Anda akan ditelefon 57 kali sehari. Kursi yang
Anda duduki bisa terasa panas bagai bara.

(3) Bila partner selingkuh sudah menunjukkan gejala-gejala cinta, segera tinggalkan.
Kalau Anda terlambat maka partner selingkuh Anda akan berubah jadi "ingus". Kalau
udah nempel di tangan, dikibas-kibas kagak mau lepas... ampuuun; (4) Jangan
mengobral harapan, terutama kalau partner Anda termasuk wajah cantik/ganteng tapi
IQ jongkok. Anda bisa dikejar terus dengan janji Anda yang mau mengawini,
membelikan ini, itu dan lain-lain;

(5) Bikin perjanjian di depan, semacam pre-nuptial agreement begitu. Bahwa


hubungan ini hanya akan begini dan begitu dan tidak lebih dan tidak kurang dari itu;
(6) Hal terpenting dalam dunia perselingkuhan, jangan sampai Anda jatuh cinta.
Kalau Anda tipe yang mesti jatuh cinta kalau selingkuh, lebih baik Anda kawin lagi
atau cerai dan kawin lagi;

(7) Jangan sekali-kali berpikir untuk menekan per unit cost. Kalau Anda tipe pelit
lebih baik tidak usah coba-coba selingkuh, kecuali kalau Anda di pihak yang
"diongkosi"; (8) Lakukan pada siang/pagi hari, lebih sulit dilacak dan lebih mudah
dan banyak waktu untuk menghilangkan jejak; (9) Kelemahan Anda adalah identitas
Anda, cari juga kelemahan partner selingkuh Anda. Sehingga score tetap 1:1 terus;
(10) Jangan lupa pakai protection.

Begitulah "10 tips untuk berselingkuh dengan aman", menurut dunia "main-main"
versi mahasiswa saat ini. Si pengirim tips ini lalu mewanti-wanti, dengan nada
berseloroh, "Tapi, jangan marah kalau ternyata Anda sendiri yang diselingkuhin,
dengan menggunakan taktik yang sama...hahaha". Wahhh!!?? Serentak rasa "gatal
empat puluh tahun" saya jadi rasa waswas.***

Penulis pengajar jurnalistik Fikom Unisba.

Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu , 19 Juni 2005


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/19/07.htm

:: repository.unisba.ac.id ::

Anda mungkin juga menyukai