Anda di halaman 1dari 14

Nama : Taruna Yotatulu

NIM : 1241 3241 014


Jurusan : Pendidikan Sosiologi
Tugas : Teori Sosiologi Klasik

1. Auguste Comte
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social
Dynamic.

1. Social Dynamics
Social dynamics adalah teori tentang perkembangan manusia. Comte tidak
membicarakan tentang asal usul manusia karena itu berada di luar batas ruang lingkup ilmu
pengetahuan. Karena ajaran filsafat positif yang diajukannya mengatakan bahwa semua ilmu
pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam kenyataan. Dia berpendapat bahwa di dalam
masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus, sekalipun dia juga menambahkan
bahwa perkembangan umum dari masyarakat tidak merupakan jalan lurus.

a. The Law of three stages


Merupakan hukum tentang perkembangan inteligensi manusia, dan yang berlaku tidak
hanya terhadap perkembangan manusia, tetapi juga berlaku terhadap perkembangan individu.
Hukum ini merupakan generalisasi dari tiap bagian dari pemikiran manusia yang berkembang
semakin maju melalui 3 tahap pemikiran, yaitu:

1. The Teological or Fictious ( Tahap Teologis)


Tahap tingkatan pemikiran yang bersifat theological atau fictious dibagi kedalam 3
bagian yaitu
1. Fethism, adalah untuk menggambarkan tingkatan pemikiran yang menganggap
bahwa semua gejala yang terjadi dan bergerak berada dibawah pengaruh dari
suatu kekuatan supernatural atau suatu kekuatan ghaib. Dalam pemikiran ini,
manusia menginterpretasikan segala hal sebagai karya (hasil tindakan) dari
supernatural being. Oleh para ahli bidang agama dianggap sebagai tahap
perkembangan agama pada tingkatan yang animisme
2. Polytheism, yaitu tingkat pemikiran bahwa segala sesuatu yang di alam ini
dikemudikan oleh kemauan dewa-dewa. Dalam ini timbulah anggapan bahwa
dewalah yang menguasai gejala-gejala tertentu, dimana masing-masing dewa itu
hanya mengatur suatu kekuatan atau bagian khusus tertentu.
3. Monotheism, dari tahap pemikiran polytheism, terjadilah hal-hal yang bersifat
kontradiktif, terutama mengenai kekuatan dari berbgai dewa. Ada semacam
kekayaan yang timbul dan manusia akhirnya tiba pada suatu kesimpulan, bahwa
dari berbagai dewa-dewa tersebut, pastilah ada suatu dewa yang dianggap
memiliki kedudukan tertinggi, dibandingkan dengan dewa yang lain. Tahap ini
menjurus kearah strukturisasi dari para dewa tersebut, yaitu anggapan atau
pengakuan terhadap adanya dewa yang tertinggi yang mengatur dewa-dewa yang
lain. Dari pemikiran penyederhanaan dewa-dewa tersebut, sampailah manusia
pada tingkat pemikiran yang menganggap bahwa hanya ada satu Tuhan.

2. The Metaphysical or Abstract ( Tahap Metafisis)


Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte.
Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di
dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan
pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam
sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari
monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis
dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.

3. The Positive or Scientific ( Tahap Positivis)


Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha
mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis
maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam
semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di
belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu
dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian
“menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta
umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan
dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.

b. The Law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu pengetahuan)
Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte menyadarkan diri kepada
tingkat perkembangan pemikiran manusia dengan segala tingkah laku yang terdapat
didalamnya, meliputi:
1. Percaya pada hal gaib
2. Mulai memakai hukum alam
3. Menggunakan ilmu pengetahuan

c. The Law of the correlation of practical activities


Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersufat natural antara cara berfikir yang
theologies dengan militerisme. Cara berfikir theologies mendorong timbulnya usaha-
usaha untuk menjawab semua persoalan melalui kekuatan(force). Kemudian didasarkan
pada organisaasi masyarakat (legal) dengan hukum alam dan interaksi manusia dan pada
tahapan selanjutnya diselesaikan menggunakan hukum formal dan dengan rasional.

d. The Law of the correlation of the feelings


Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings.
Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan
pemikiran manusia dengan perkembangan dari social sentiment. Didalam tahap yang
teologis, sentiment sosial dan rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal atau
terbatas dalam city state. Tetapi dalam abad pertengahan, sosial sentiment berkembang
semakin meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad pertengahan adalah
abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis. Tetapi dalam tahap
yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi semakin universal. Comte
yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu
memperkembangkan semangat alturistis dan menguniversilkan perasaan sosial (social
simpati).

2. Social Statics
Dengan social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang dasar masyarakat.
Comte membagi sosiologi kedalam dua bagian yang memiliki kedudukan yang tidak sama.
Sekalipun social statics adalah bagian yang lebih elememter didalam sosiologi tetapi
kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan dengan social dynamics.
Sosial statics erat kaitannya dengan struktur masyarakat. Dan ditingkatkan sesuai
dengan tahapan struktur dalam masyarakat, yaitu:
1. Individu (usage)
2. Keluarga (folkways)
3. Masyarakat (mores/customs)
4. Negara (laws)

2. Herbert Spencer

Menurut Spencer sosiologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai hakikat manusia


yang secara inkorporatif dengan pendekatan makro yang berpusat pada manusia. Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari segala gejala yang muncul dari perilaku
manusia secara bersama- sama. Objek pokok sosiologi adalah keluarga, politik, agama,
pengendalian sosial, dan industri. Sedangkan objek lain diluar objek pokok seperti asosiasi,
masyarakat setempat, pembagian kerja, lapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu
pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Spencer menyatakan bahwa
sosiologi juga harus menyoroti hubungan timbal balik antara unsur-unsur yang ada dalam
masyarakat yang tetap dan harmonis, sebagai suatu integrasi, seperti pengaruh norma-norma
terhadap kehidupan keluarga serta hubungan antara lembaga politik dengan lembaga
keagamaan.

Hukum Evolusi
Ketika mempelajari konsep evolusi Darwin Spencer bertekad untuk menggunakan
konsep tersebut tidak hanya pada bidang biologi saja, melainkan pada semua bidang
pengetahuan lain juga. Sebagaimana halnya Comte, Spencer mencoba untuk menerangkan
semua fenomin berdasarkan hukum evolusi materi yang bertahap. Menurutnya, pada
permulaan materi mempunyai struktur serba sama (homogeneous), tanpa diferensiasi. Materi
sederhana terbkuentuk dari sejumlah partikel yang semuanya sama dalam keadaan terkuasai
oleh suatu daya gerak dari dalam yang menggabungkan. Daya gerak ini menyebabkan proses
pembentukan semua benda. Begitu juga dalam proses evolusi masyarakat, individu
perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok
menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi negara dan negara menjadi perserikatan
bangsa – bangsa. Pada setiap tahapnya evolusi adalah penyatuan dan pengintegrasian materi
kedalam kesatuan – kesatuan yang lebih besar dan rumit strukurnya. Arah jalannya evolusi
adalah berawal dari suatu keadaan yang serba sama kepada keadaan serba beda. Pada saat
terjadinya pengintegrasian disaat itu juga berlangsung proses disintegrasi.

Sama halnya Comte, Spencer memasalahkan asal usul atas asas dinamika dalam
proses ini. Kita akan mendapat jawabannya dalam buku the law of the persistence of force
yaitu tentang prinsip ketahanan dan kekuatan dimana tidak ada energy yang hilang – lenyap.
Maka apabila suatu obyek disentuh atau dibentur oleh energy lain, obyek itu tidak akan tetap
sama. Untuk dapat memahami rahasia evolusi baik di alam organic maupun tak organic
diperlukan sebuah hukum, hukum tersebut biasa disebut Hukum Pergandaan Pengaruh.

Evolusi Masyarakat

Teori spencer mengenai evolusi masyarakat merupakan bagian dari teorinya yang
lebih umum mengenai evolusi sejagat raya.Dalam bukunya Social Statics masyarakat
disamakan dengan suatu organisme. Ciri-ciri yang dikenakan pada badan hidup, dapat
dikenakan juga pada badan masyarakat. Organisme social yang dimaksudkan Spencer
berbeda dengan para ahli lainnya seperti Aristoteles, Thomas Aquinas dan Paulus yang
memakai kata itu dalam arti metaforis, sedangkan Spencer memaknainya dalam arti
positivistis dan deterministis.

Spencer mengatakan bahwa masyarakat adalah organisme, yang mampu berdiri


sendiri, berevolusi lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya. Badan masyarakat
berevolusi dari keadaan serba sama, dimana semua orang mempunyai fungsi dan kedudukan
yang sama kepada suatu keadaan seba ada, serba rumit, dan penuh variasi dalam bentuknya.

Hukum evolusi ini yang menuju keadaan serba beda, berlaku bagi tiap-tiap makhluk
dan tiap-tiap benda. Latar belakang dari adanya daya gerak evolusi ini ialah lemahnya semua
benda yang serba sama. Misalnya dalam keadaan sendirian atau sebagai perorangan saja
manusia tidak mungkin bertahan. Maka ia merasa diri didorong dari dalam untuk bergabung
dengan orang lain dan dengan berbuat demikian ia akan dapat melengkapi kekurangannya.

Comte membedakan empat tahap evolusi, antara lain :

1. Tahap pertama ialah tahap penggandaan atau pertambahan.


baik tiap makhluk individual maupn tiap-tiap orde sosial dalam keseluruhannya
selalu bertumbuh atau bertambah. Anak yang berbadan kecil menjadi besar,
kelompok kecil menjadi organisasi besar, desa menjadi kota, suku bangsa menjadi
bangsa, dan seterusnya. Kata Spencer, “pertambahan atau pertumbuhan menonjol
menjadi ciri pertama yang dimiliki oleh kelompok sosial…., sehingga kami tidak
ragu-ragu menyebut hal itu sebagai ciri khas mereka”
2. Tahap kedua adalah tahap kompleksifikasi.
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme
yang bersangkutan. Kita dapat membandingkan struktur masyarakat pedesaan
yang masih sederhana dengan masyarakat kota yang kompleks
3. Tahap ketiga adalah tahap pembagian atau diferensiasi.
Baik evolusi badan maupun evolusi. sosial menunjukkan pembagian tugas atau
fungsi yang semakin berbeda-beda.Pembagian kerja menghasilkan pelapisansosial
atau stratifikasi.Masyarakat terbagi dalam kelas-kelas sosial dan mempunyai tugas
masing-masing.
4. Tahap keempat yaitu pengintegrasian.
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan,
maka kecenderungan negatif ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang
mempersatukan. Pengintegraasian ini merupakan tahap dalam proses evolusi yang
bersifat alami dan spontan otomatis. Manusia tidak perlu mengambil inisiatif atau
berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya tinggal pasif saja, supaya
hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerja sama yang
seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya
dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik manusia.

3. Emile Durkheim I

Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi itu adalah mempelajari dengan apa
yang disebut fakta social. Dalam pendekatannya terhadap perilaku individu, fakta social
merupakan suatu hal yang riil, mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang
berbeda dan bersifat karakteristik psikologi, biologis, maupun karakteristik individu lainnya
atau bisa juga diartikan sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar
individu dan memiliki kekuatan memaksa yang mengendalikannnya. Fakta social dapat
dipelajari melalui metode empiric karena diibaratkan sebagai sebuah benda yang nyata. Fakta
social tidak terlepas dari tiga karakteristik yaitu bersifat eksternal, memaksa dan bersifat
secara umum. Maksud dari ketiganya yaitu pertama, bersifat ekternal terhadap individu
misalnya bahasa, system moneter, norma- norma dan professional. Kedua, bersifat memaksa
yaitu individu dipaksa, dibimbing, diyakini, didorong atau dengan cara tertentu dipengaruhi
oleh berbagai tipe fakta social yang ada dalam lingkungannya. Ketiga, fakta social bersifat
umum dan meluas dalam masyarakat maksudnya fakta social merupakan milik bersama dan
bukan milik individu. Diterangkan dalam bukunya, Durkheim membedakan antara dua tipe
fakta social yaitu:

1. Fakta Sosial Material

Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta sosial
material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar yang
sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Misalnya birokasi, hukum.
2. Fakta Sosial Non Material
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia
ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai
berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri.
Individu masih perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun
bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu. Oleh
karena itu dalam karya yang sama Durkheim menulis : bahwa hal-hal yang bersifat sosial
hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia. Yang
termasuk jenis fakta social non material seperti : moralitas, kesadaran kolektif,
representasi kolektif, arus social, pikiran kelompok.

Selain itu, Emile durkheim menjelaskan tentang adanya “Jiwa Kelompok” yang
mempengaruhi individu. Selain itu, Durkheim menjelaskan ada dua macam kesadaran,
yaitu:
1. Collective Conciousness (kesadaran kolektif)

Ada dua sifat dari kesadaran kolektif:

a. Bersifat Eksterior
Kesadaran kolektif berada diluar individu manusia dan yang masuk kedalam
individu tersebut, dalam perwujudannya sebagai aturan-aturan moral, aturan-
aturan agama, aturan baik dan buruk, dsb.
Aturan tersebut akan terus ada sekalipun individu yang bersangkutan sudah
tiada.
b. Bersifat Constroint
Kesadaran kolektif tersebut memilik daya memaksa terhadap individu.
Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarkat terhadap kesalahan
kolektof ini akan mengakibatkan adnaya sanksi hukum terhadapa anggota
masyarakat tersebut.

2. Individual Conciousness (kesadaran individual)

4. Emile Durkheim II

1. Solidaritas dan Pembagian Kerja Sosial ( The Division of Labour)

Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok
yang didasarkan pada perasaan moral yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Dalam bukunya Durkheim menganalisa tentang pengaruh kompleksitas
dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur dan perubahan – perubahan yang diakibatkan
dalam bentuk – bentuk pokok solidaritas social. Pertumbuhan dan pembagian kerja
meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial pada solidaritas mekanik dan solidaritas
organik.

a. Solidaritas Mekanik
Menurut Durkheim solidaritas mekanik terbentuk atas dasar kesadaran kolektif
yang menunjuk pada totalitas kepercayaan- kepercayaan dan sentimen- sentimen bersama
yang rata- rata ada pada masyarakat zaman tersebut. Kesatuan ini disebut mekanis karena
anggotanya cenderung mengarah pada pola hidup bersama yang kuat, pembagian kerja
bersifat rendah, hukum represif diberlakukan secara dominan, individualitas yang rendah,
consensus terhadap pola- pola yang normative, keterlibatan komunitas dalam menghukum
orang menyimpang, tingkat saling ketergantungan rendah serta bersifat primitive.
Solidaritas ini biasa ditemui pada masyarakat yang tinggal di pedesaan. Solidaritas
mekanik ini identik dengan masyarakat kuno yang bersifat tradisional.

b. Solidaritas Organik
Solidaritas ini muncul atas dasar pembagian kerja yang bertambah besar dengan
tingkat saling ketergantungan yang sangat tinggi. Menurut Durkheim solidaritas ini
ditandai dengan hukum yang bersifat memulihkan daripada yang bersifat represif
(restitutif). Dalam masyarakat pada solidaritas ini sifat individualistis seseorang semakin
tinggi dan kesadaran kolektif masing- masing anggota makin lemah. Selain itu solidaritas
ini juga dicirikan pada konsensus terhadap nilai- nilai abstrak dan umum yang penting,
penyelenggaraan hukuman terhadap orang yang menyimpang dilakukan oleh badan- badan
kontol social, serta bersifat industrial. Solidaritas organic biasa ditemui pada masyarakat
yang tinggal di perkotaan. Solidaritas organic ini identik dengan masyarakat modern
dengan segala kemajuan- kemajuan yang dimilikinya.

2. Teori Bunuh Diri


Menurut Durkheim pluralisme dan pembagian kerja mengakibatkan melemahnya
kesadaran kolektif pada masyarakat, berkurangnya paksaan dan meningkatnya individualisme
dapat mengancam solidaritas organic yang ada dalam masyarakat modern. Dalam situasi
seperti itu masyarakat akan kehilangan norma yang selama ini menjadi pegangannya,
sehingga akan menimbulkan berbagai macam gejolak yang tidak diinginkan, keadaan
tersebut dinamakan anomi. Ketika anomi tersebut masih berlangsung dalam kehidupan
masyarakat maka kemungkinan besar akan menyebabkan terjadinya kasus bunuh diri
(suicide), Di mana potensi individu untuk bunuh diri semakin besar karena kesolidaritasan
atau kebersamaan itu sudah mulai runtuh. Banyak yang lebih memilih untuk anti sosial,
egois, serakah dan lain sebagainya hanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Durkheim
memandang bunuh diri sebagai fakta social, bukan fakta individu. Proposisi dasar yang
digunakan dalam bunuh diri adalah bahwa angka bunuh diri itu berbeda- beda menurut
tingkat integrasi social.
Terdapat empat alasan orang bunuh diri menurut Emile Durkheim, yaitu:

1. Karena alasan agama


Dalam penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri
dalam penganut ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama Protestan cenderung
lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan dengan penganut agama Katolik.
Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan kebebasan yang diberiakn oleh kedua
agama tersebut kepada penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh
kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab
suci, sedangkan pada agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja.
Akibatnya kepercayaan bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga
menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi menganut
ajaran/tafsir yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang menjadi penyebab laju
bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar daripada penganut ajaran bagama
Katolik.

2. Karena alasan keluarga


Semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula
keinginan untuk terus hidup. Kesatuan social yang semakin besar, semakin besar
mengikat orang-orang kepada kegiatan social di antara anggota-anggota kesatuan
tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih besar biasanya lebih akan terintegrasi.

3. Karena alasan politik


Durkheim disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara masyarakat
militer dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damaiangka bunuh diri pada
masyarakat militer cenderung lebih besar daipada masyarakat sipil. Dan sebaliknya,
dalam situasi perang masyarakat militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi
perang masyarakat militer lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras
dibandingkan saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer cenderung
disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah.

4. Karena alasan kekacauan hidup (anomie)


Bunuh diri dengan alas an ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai
pegangan dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai
dengan tuntutan jaman yang ada.

Jenis-jenis bunuh diri


1. Bunuh diri Egoistic
Adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa
kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya.
Seseorang yang tidak mampu memenuhi peranan yang diharapkan (role
expectation)di dalam role performance (perananan dalam kehidupan sehari-hari),
maka orang tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri.
2. Bunuh diri Anomie
Bunuh diri karena individu merasa aturan-aturan dan norma-norma yang ada
sudah tidak ada atau tidak jelas serta tidak berfungsi, sehingga merasa kehilangan
arah dan putus harapan pa keadaan.

3. Bunuh diri Altruistic


Orang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya sebagai beban dalam
masyarakat. Contohnya adalah seorang istri yang melakukan bunuh diri yang telah
ditinggal mati oleh suaminya. Serta juga bunuh diri yang dilakukan oleh orang
Jepang “hara kiri”, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh anggota militer demi
membela negaranya.

4. Bunuh diri Fatalisme


Adalah bunuh diri yang dilakukan karena rasa putus asa. Tidak ada lagi
semangat untuk melanjutkan hidup.

5. Max Weber I

Buah karya Max Weber dari sekian banyak yang termashur antara lain : Wirtschaft
und Gessellschaft ; Gesammelte Aufsatze zur Wissenschaftlehre. Sementara karyanya dari
sosiologi agama adalah Gessamelter Aufsatze zur Relegionssoziologie yang terbit dalam 3
jilid dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Ephraim Fischoff dengan judul
Sociology of Relegion yang sangat terkenal di abad ke-20. Nama Weber begitu berpengaruh
dalam sejarah perkembangan sosiologi dengan sumbangan-sumbangan teori sosiologinya
yang banyak mendapat tanggapan,dia jugamengajukan suatu metode sosiologi yang dikenal
dengan nama Verstehende.

Bagi Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha tindakan-tindakan sosial
dengan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut.Yang menjadi
inti dari sosiologi Weber bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat
maupun nilai yang obyektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari
tindakan perseorangan yang timbul dari alasan-alasan subyektif. Adanya kemungkinan untuk
memahami tindakan orang seorang inilah yang membedakan sosioligi dari ilmu pengetahuan
alam, yang menerangkan peristiwa-peristiwa tetapi tidak pernah dapat memahami perbuatan
obyek-obyek. Pokok penyelidikan Weber adalah tindakan orang seorang dan alasan-
alasannya yang bersifat subyektif, dan itulah disebutnya dengan Verstehende Sociologie.
Dengan kata lain Verstehende adalah suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti
makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak
dari gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang di buat oleh para
aktor yang terlibat di dalamnya.
Weber memisahkan empat tindakan sosial di dalam sosiologinya, yaitu ada yang
disebut dengan :

1. Zweck rational
Yaitu tindakan sosial yang menyandarkan diri kepada pertimbangan-pertimbangan
manusia yang rasional ketika menanggapi lingkungan eksternalnya. Dengan kata lain
yaitu suatu tindakan sosial yang ditujukan untuk mencapai tujuan semaksimal
mungkin dengan menggunakan dana serta daya seminimal mungkin.

2. Wert rational
Yaitu tindakan sosial yang rasional, namun yang menyandarkan diri kepada suatu
nilai-nilai absolute tertentu. Nilai-nilai yang dijadikan sandaran ini bias nilai etis,
estetis, keagamaan, atau pula nilai-nilai lain.

3. Affectual
Yaitu suatu tindakan sosial yang timbul karena dorongan atau motivasi yang sifatnya
emosional, seperti halnya ledakan amarah seseorang, ungkapan rasa cinta, rasa belas
kasihan, itu merupakan contoh dari tindakan affectual ini.

4. Tradisional
Yaitu tindakan sosial yang didorong dan berorientasi kepada suatu kebiasaan
bertindak yang berkembang di masa lampau (Tradisi). Mekanisme tindakan semacam
ini selalu berlandaskan hukum-hukum normatif yang telah di tetapkan secara tegas
oleh masyarakat.

6. Max Weber II

Wewenang

Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang dalam hubungan manusia


yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah
kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh
anggota – anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa
menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan
keinginan si pemilik kekuasaan.

Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.

1. Rational-legal authority

Yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern.


Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa
merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang
bersifat politis. Ex: pemerintah,official, dll.

2. Traditional authority

Yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini
diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat
dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah
suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua
atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda
dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang
pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang
mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.

Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional


memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui
tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan
yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin
yang terdahulu.

Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap
keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan
bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.

Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah
tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai
rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.

3. Charismatic authority

Yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya.
Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa
memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan
dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas
diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal,
di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada
kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut.

Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku,
pemimpin partai, dan sebagainya.
Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme

Max Weber hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan
kapitalisme modern. Situasi demikian mendorong Weber untuk mencari sebab – sebab
hubungan antara tingkah laku agama dan ekonomi, terutama pada masyarakat Eropa
Barat yang mayorias beragama protestan. Titik perhatian Weber sesungguhnya sudah
menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada saat itu
telah menimbulkan kegoncangan – kegoncangan hebat di lapangan kehidupan sosial
masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya pada
system produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan
sedemikian itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat. Dua kelas dalam masyarakat
tersebut yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang – orang yang memiliki modal
dan menguasai alat – alat produksi, dan kelas yang terdiri dari orang – orang yang tidak
memiliki modal atau alat – alat produksi. Golongan pertama yang dinamakan kaum
borjuis secaa terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar untuk
mengembangkan modal yang sudah mereka miliki. Weber tidak berselisih dengan
pendapat Marx dalam hal ini, terutama tentang ciri – ciri yang menandai tumbuhnya
kapitalisme modern itu.

Adapun karakteristik Spirit Kapitalisme modern menurut Weber adalah sebagai


berikut.

1. Adanya usaha – usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional di
atas landasan prinsip – prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya
pemilikan/kekayaan pribadi.
2. Berkembangnya produksi untuk pasar.
3. Produks untuk massa dan melalui massa.
4. Produksi untuk uang.
5. Adanya anthusiasme, etos dan efisiensi maksimal yang menuntut pengabdian
manusia kepada panggilan kerja.

Kerja merupakan suatu tujuan pribadi dari setiap orang, kerja tidak dipandang
sebagai kegiatan yang insidental melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalam
eksistensi hidup manusia. Masyarakat kapitalis memandang manusia terutama sebagai
pekerja dan tidak peduli apapun yang menjadi pekerjaan mereka. Inilah yang disebut
dengan vocational ethics yang merupakan tingkah laku yang menonjol dari Spirit
Kapitalisme modern. Mereka yang miskin vocational ethicsnya akan runtuh, dan mereka
memiliki vocational ethics akan dengan baik meningkatkan prestasi hidupnya.

Selain faktor di atas, ada beberapa elemen dari ekonomi kapitalis, yakni sebagai
berikut.

1. Di satu pihak berkembang rasionalisme, utilitarianisme, rangsangan untuk


berinisiatif dan menemukan hal – hal baru melalui berbagai sarana yang mungkin,
dan di lain pihak
2. Terjadinya reduksi (penyusutan atau penyederhaan besar – besaran daripada
tradisionalisme di dalam hal yang dipandang tidak efisien, kuno dn bersifat
takhayul, irrasional dan segala sesuatu yang tidak sempurna dipandang dari sudut
metoda – metoda rasional.

Keseluruhan elemen di atas merupakan tipe ideal dari karakteristik kapitalisme


modern. Selanjutnya elemen – elemen tersebut masuk dalam masyarakat kapitalis dalam
berbagai bentuk dan kondisi sebagai berikut.

1. Rational capital accounting and bussines management (perhitungan modal dan


pengelolaan usaha secara rasional).
2. Appropriation of all means of production (pengerahan segala sarana produksi
secara tepat guna).
3. Rational technique of production (penggunaan teknik – teknik produksi rasional).
4. Rational law (hukum rasional).
5. Free labor (adanya tenaga kerja yang bebas)
6. Commerzialization and marketing of the products of labor (komersialisasi serta
pemasaran hasil – hasil produksi dan tenaga kerja).

Untuk mewujudkan kondisi di atas dan menjadi seorang kapitalis, seseorang


harus memiliki karakteristik psikologis tertentu. Karakter ini sebagaimana yang
tercermin dari unkapan – ungapan seperti: Time is Money, Credit is Money; Money
grows Money; dan Honesty is the best policy. Dalam hal ini Weber berpendapat bahwa
kapitalisme modern adalah kapitalisme yang bersumber dari agama protestan. Spirit
kapitalisme modern adalah Protetanisme, yaitu merupakan aturan – aturan agama
protestan tentang watak dan perilaku penganut – penganutnya dalam kehidupan sehari –
hari.

Dalam catatannya, Weber menyatakan bahwa sebelum kapitalisme modern lahir, telah
lahir etika protestan. Adanya etika protestan menumbuhkan spirit kaptalisme sehingga
lahir dan berkembanglah kapitalisme dalam kehidupan sehari – hari penganut protestan.

Weber megajukan pembuktian secara analitis melalui penelitian yang mendalam


terhadap ajaran – ajaran protestan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa spirit
protestan dalam etika praktis sehari – hari identik dengan spirit kapitalisme modern.
Menurut Weber, etika protestan mewujudkan diri sebagai suatu pengertian tertentu
tentang Tuhan, di mana Tuhan dianggap sebagai Yang Maha Esa, maha Pencipta, dan
Penguasa dunia. Tuhan menentukan akhir kehidupan manusia. Dengan kata lain sebelum
manusia lahir Tuhan telah menetapkan apakah manusia itu akan dikutuk atau dibebaskan.
Oleh karena itu tidak ada gunanya manusia membujuk Tuhan. Tuhan menciptakan alam
dan manusia untuk kemegahan Tuhan sendiri. Manusia berkewajiban untuk bekerja bagi
kemegahan Tuhan dan menciptakan kerajaan Tuhan di dunia. Pembebasan manusia hanya
melalui anugerah Tuhan.

Adanya konsepsi mengenai Tuhan yang demikian membuat penganut protestan


menganggap bahwa kesenangan adalah sesuatu yang tidak baik. Untuk mengagungkan
Tuhan orang harus berhemat. Semangat protestan demikian menurut Max Weber identik
dengan spirit kapitalisme modern. Spirit kapitalisme modern pada dasarnya menganggap
bahwa bekerja keras adalah suatu panggilan suci bagi kehidupan manusia. Dunia harus
dipelajari secara ilmiah, rasional, hal ini terjadi karena Tuhan tidak dapat dibujuk untuk
mengubah nasib manusia. Spirit proestan juga menganut paham bahwa membuat atau
mencari uang dengan jujur merupakan aktivitas yang tidak berdosa.

Demikian di atas pembuktian pertama analisis Weber mengenai keidentikan spirit


kapitalisme dengan spirit protestan.

Pembuktian kedua dilakukan Weber melalui angka – angka statistik hasil


penelitiannya. Weber menunjukkanbahwa sejak zaman reformasi, negara – negara yang
mayoritas menganut agama protestan ekonominya lebih maju. Dia menunjuk beberapa
Negara seperti Belanda, Inggris dan Amerika. Sementara Negara yang mauoritas
menganut agama non-protestan pada umumnya ketinggalan dalam perkembangan
ekonominya. Dengan demikian ia simpulkan bahwa etika ekonomi protestan telah
mendidik penganutnya menjadi seorang kapitalis.

Pembuktian ketiga menggunakan hipotesa yang diajukan oleh Weber yang juga
menggunakan angka – angka statistik yang dilakukan di Jerman. Menururtnya, di negeri
Jerman penduduk yang menganut ajaran protestan lebih kaya dibandingkan dengan
penduduk yang menganut ajaran non-protestan. Selanjutnya, anak – anak yang beragama
protestan menunjukkan keberhasilan dalam bersekolah dagang dibandingkan dengan anak
– anak yang beragama non-protestan.

Demikian Weber secara bertahap membuktikan bahwa setiap sekte dalam protestan
memiliki kecenderungan yang sama dalam menunjang kehadiran kapitalisme modern.
Adanya pembuktian tersebut membuat Weber meyakini bahwa spirit kapitalisme memang
lahir dari etik protestan.

Anda mungkin juga menyukai