Anda di halaman 1dari 14

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat : Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510


Email : Singgih_1297@yahoo.com

Abstrak

Diabetes mellitus 2 merupakan penyakit metabolik kronik yang memiliki gejala klasik yaitu
polidipsi, poliphagi dan poliuri. Hiperglikemi kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang,disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh. Menurut penelitian
umumnya penyakit diabetes didiagnosa 7 tahun setelah onset atau mulainya penyakit, sehingga
sulit untuk morbiditas dan mortalitas penyakit ini terdeteksi dini. Pemeriksaan laboratorium
seperti hbA1c dapat digunakan membantu untuk menegakkan diagnosis selain melihat hasil
anamnesis maupun dari pemeriksaan fisik, jika diagnosa masih diragukan dapat digunakan
percobaan TTGO yang hasilnya dapat digunakan menegakkan diagnosa. Berbagai komplikasi
diabetes mellitus 2 seperti ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar Hiperglikemik non ketotik dan
hipoglikemik dapat dicegah dengan pengobatan yang tepat waktu dan edukasi yang membuat
pasien patuh pada pengobatan. Prognosis penyakit ini akan lebih baik jika pasien patuh terhadap
kontrol pengobatan dan merubah gaya hidup yang mencakup kebutuhan olahraga dann kecukupan
nutrisi gizi.

Kata kunci: Diabetes mellitus, hiperglikemi, metabolik kronik

Abstract

Diabetes mellitus 2 is a chronic metabolic disease that has classic symptoms namely polidipsi,
poliphagi and poliuri. Chronic hyperglycemia in diabetes is associated with long-term damage,
dysfunction or failure of some organs. According to research generally diabetes is diagnosed 7
years after the onset or onset of the disease, making it difficult to detect the morbidity and mortality
of this disease early. Laboratory tests such as HBA1c can be used to help make a diagnosis in
addition to seeing the results of the history and physical examination, if the diagnosis is still
doubtful, TTGO can be used whose results can be used to make a diagnosis. Various complications
of diabetes mellitus 2 such as diabetic ketoacidosis, Hiperosmolar Non-ketotic and hypoglycemic
hyperglycemic can be prevented by timely treatment and education that makes patients adhere to
treatment. The prognosis of this disease will be better if the patient adheres to control of treatment
and changes in lifestyle that includes the needs of the sport and the adequacy of nutritional
nutrition.

Keywords: Diabetes mellitus, hyperglycemia, chronic metabolic

Pendahuluan

Penyakit Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik kronik yang memiliki ciri yang khas
yaitu glukosa dalam darahnya naik tinggi atau hiperglikemia. Hiperglikemi kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama organ mata, jantung, saraf, ginjal dan pembuluh darah. Menurut WHO diabetes tidak bisa
dijelaskan digambarkan dengan penyakit yang jelas dan singkat akan tetapi digambarkan sebagai
penyakit dengan kumpulan problema anatomik ataupun kimiawi akibat dari sejumlah faktor
dimana didapat defisiensi insulit yang absolut maupun relatif dan dapat juga disebabkan oleh
gangguan fungsi insulin. Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi, menurut
penelitian umumnya penyakit diabetes didiagnosa 7 tahun setelah onset atau mulainya penyakit,
sehingga morbiditas dan mortalitas penyakit ini tidak terdeteksi dini. Menurut data yang ada
penyakit diabetes prevalensi selalu meningkat dan merupakan ancaman bagi negara yang
mengalami perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban dan faktor resiko seperti
bertambahnya usia maupun obesitas menjadi penyebab terjadi diabetes mellitus. Pada makalah ini
diharapkan dapat menjadi salah satu refrensi belajar tentang diabetes mellitus 2 agar dapat
melakukan deteksi dini dan penatalaksaan yang tepat.1

Anamnesis

Anamnesis mengacu pada pertanyaan-pertanyaan yang sistematis yaitu dengan berpedoman pada
empat pokok pikiran (The fundamental four) dan tujuh butir mutiara anamnesis (The sacred seven).
Keempat pokok pikiran tersebut adalah: riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu
(RPD), riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial ekonomi.2

Dari skenario didapatkan laki-laki berumur 35 tahun datang ke Poliklinik karena ia semakin lemas
sejak1 bulan yang lalu. Pasien yang memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan rutin
minum obat metformin dan glibenklamid secara teratur.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan, Tekanan darah normal yaitu 120/80
lalu frekuensi nadi 80x/menit, frekuensi nadi 20x/menit, suhu 36,5 celsius dan terdapat
hiperpigmentasi pada lipatan leher maupun ketiak.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan kadar hemoglobin A1C (A1C), A1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan
dikenal juga sebagai gliko-hemoglobin yang merupakan komponen kecil hemoglobin, bersifat
stabil dan terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa.
Proses glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena
eritrosit bersifat permeabel dialalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan
glikemik selama masa 120 hari. Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah dari
masa hidup eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau
keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal kadar A1C adalah 5-
8% dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemi kronik, jumlah protein yang
terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek perubahan
pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan
jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2 kali dalam setahun.

Pemeriksaan kadar glukosa darah, Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau 2 jam setelah
makan guna dilakukan untuk kontrol dan menyesuaikan dosis obat yang diberikan pada penderita
DM. Selain itu pemeriksaan ini dapat sebagai screening penyakit diabetes yang harus di perhatikan
dari gejala klinis yang muncul.

Pemeriksaan benda keton darah maupun urin cukup penting dilakukan terutama pada
penderita DM tipe-2 terkendali buruk, misalnya kadar glukosa darah >300 mg/dl, penderita DM
tipe-2 dengan penyulit akut, serta terdapat gejala keto asidosis diabetik (KAD), dan pada penderita
DM tipe-2 yang sedang hamil. Pemeriksaan benda keton dapat dilakukan dengan metode carik
celup, metode Rothera, dan metode Gerhardt. Benda keton dalam darah yang penting adalah asam
betahidroksi butirat. Bila kadar benda keton darah <0.6 mmol/L dianggap normal, kadar benda
keton darah diatas 1 mmol/L disebut ketosis, dan kadar benda keton darah diatas 3 mmol/L
merupakan indikasi adanya KAD. Dengan melakukan pemeriksaan ini, diharapkan penyulit akut
DM dapat dicegah, khusunya KAD, yang mempunyai angka kematian yang tinggi.3
Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Sebelum Puasa dan Puasa Sebagai Patokan DM (Mg/dl)

Bukan DM Pre Diabetes DM


(hiperglikemia)

Kadar glukosa Plasma vena <110 110-199 ≥200


darah sebelum
puasa

Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa Plasma vena <110 110-125 ≥126


darah puasa

Darah kapiler <90 90-109 ≥110

Test Toleransi <140 mg/dl 140-199 mg/dl ≥200 mg/dl


Glukosa oral

HB1Ac <5,7% 5,7-6,4% >6,5%

Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa (TTGO) merupakan
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM bila berdasarkan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu diagnosis DM belum dapat menegakkan
diagnosis.3

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1999)3

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)

2. Kegiatan jasmani seperti biasa dilakukan

3. Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan
4. Diperiksa kadar glukosa darah puasa

5. Diberikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 ml dan diminum habis dalam waktu 5 menit.

6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

7. Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Untuk kemudahan, America Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan Endokrinologi


Indonesia (PERKENI, 2002) menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah pada jam ke-2
TTGO saja. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO tercantum pada table
dibawah.3

Kadar glukosa darah (mg/dl) Penilaian

<140 TTGO normal

140-199 Toleransi glukosa terganggu (TGT)

≥200 Diabetes Melitus

Tabel 2. Penilaian Hasil Pemeriksaan TTGO Jam Kedua

Working Diagnosis

Diabetes mellitus 2

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah diabetes mellitus
2. Diabetes mellitus tipe 2 adalah penyakit metabolik kronik yang memiliki karakteristik
hiperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari resistensi insulin, tidak mencukupinya sekresi
insulin dan sekresi glucagon yang berlebihan karena hal ini dapat menyebabkan perubahan dari
glikogen menjadi glukosa, sehingga dapat membentuk banyak glukosa didarah. Kriteria diagnosis
penyakit diabetes mellitus 2 adalah berdasarkan American Diabetes Association (ADA) yaitu
dengan didapatkan a fasting plasma glucose (FPG) pada 126 mg/dL(7.0 mmol/L) atau lebih,
pengambilan gula post pranidial atau 2 jam dengan 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau lebih dengan
pemeriksaan 75g oral glucose tolerance test (OGTT) dan pada pengambilan sample gula sewaktu
yang menunjukan kadar 200 mg/dL dengan gejala klasik dari hiperglikemia.4

Differential Diagnosis

Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit metabolik kronik yang memiliki karakteristik dari tubuh
yang tidak bisa menghasilkan insulin karena adanya proses autoimmune yang merusak beta cell
dalam prankreas. Meskipun umumnya terjadi pada usia yang relatif belia, penyakit ini dapat juga
menyerang pada usia dewasa. Penyakit ini memiliki onset simtopmatiknya yang mendadak dan
bukan hal luar biasa bagi penderita yang menderita diabetes tipe 1 bila munculnya bersamaan
dengan penyakit diabetic ketoasidosis. Selain onset simptomatik yang mendadak, hal yang dapat
membedakan diabetes tipe 1 dan 2 adalah C-peptide yang menurun pada diabetes mellitus tipe 1.
Diabetes tipe ini merupakan insulin depedent atau harus menggunakan insulin dari luar tubuh
selama masa hidupnya.5

Laten Autoimune Diabetes of the Adult(LADA)

Latent autoimmune diabetes in adults (LADA) dapat sebagai dikategorikan subgroup dari diabetes
tipe 1 dan sering sulit didiagnosis karena kurangnya kecurigaan terhadap penyakit ini dan
stadarisasi kriteria untuk diagnosa. LADA adalah karakteristik dari onset diabetes pada orang
dewasa yang disebabkan oleh proses autoimmune oleh tubuh. Secara klinikal dapat memunculkan
gejala seperti diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Gejala klinis yang dimiliki mirip tipe 1 adalah
rendahnya bmi dan autoimun. Gejala klinis yang mirip tipe 2 adalah onset yang terjadi pada usia
tua dan insulin resisten maupun defisiensi. Penurunan C peptidenya lebih cepat daripada diabetes
mellitus tipe 2 dan resistensi insulinnya lebih meningkat daripada diabetes mellitus tipe 2.6

Maturity Onset Diabetes of The Young


Maturity Onset Diabetes ofthe Young (MODY) adalah kelainan genetik dan klinik yang heterogen
dan merupakan salah satu tipe dari DM yang ditandai dengan onset yang cepat, kelainan genetik
autosomal dominan dan defek utama pada sekresi insulin - Genetic defects of beta cell function.
Mutasi pada pada enam gen merupakan penyebab MODY terbanyak. Kelainan gen tersebut adalah
1. Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4 (MODY 1)
2. Glucokinase (MODY 2)
3. HNF-1 (MODY 3)
4. Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
5. HNF-1 (MODY 5)
6. NeuroD1 (MODY 6)

MODY seperti DM tipe 2 yang disebabkan oleh kelainan gen autosomal dominan dan terjadi pada
usia muda dengan riwayat DM dalam keluarga. MODY merupakan kelainan genetik diwariskan
melalui keturunan. MODY sering dibandingkan dengan DM tipe 2 dan memiliki beberapa
kesamaan gejala. Tetapi bagaimanapun, MODY tidak ada hubungannya dengan obesitas,
penderitanya biasanya muda dan tidak ada kaitannya dengan kelebihan berat badan. Onset terjadi
sebelum usia 25 tahun. Dapat terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga.
MODY tidak selalu membutuhkan pengobatan insulin.7
Etiologi

Etiologi dari diabetes mellitus 2 muncul dari proses kompleks interaksi antara faktor lingkungan
dan faktor genetk. Body mass index atau BMI yang berlebih daripada normal menaikan resiko
terkena penyakit diabetes. Gaya hidup seperti memakan kalori yang berlebihan dengan olahraga
kurang yang menyebabkan obesitas pada pasien, hal ini menjadi salah satu faktor resiko dari
diabetes tipe 2, dari data yang ada sebanyak 90% pasien diabetes mellitus mengalami obesitas.
Pasien yang memakan obat glucocorticoid atau pasien yang memiliki penyakit yang berlawanan
dengan aksi insulin seperti cushing syndrome atau acrogemaly. Faktor resiko utama dari diabetes
tipe 2 yaitu umur yang lebih dari 45 tahun, BMI berlebih, memiliki hipertensi,
dyslipidemia(HDL<40mg/dL atau trigliserid >150 mg/dL). Faktor genetic sebagai penyebab
diabetes tipe 2 kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Pada beberapa kasus didapatkan bukti
bahwa keterkaitan beberapa gen pada sel beta pancreas yang rusak dan resisten insulin.4
Epidemiologi
Diabetes mellitus tipe 2 kurang familiar pada non western countries, di mana diet mengandung
lebih sedikit kalori dan pengeluaran kalori harian lebih tinggi. Namun, akhir-akhir ini terjadi
peningkatan karena orang-orang di negara-negara ini mengadopsi gaya hidup Barat, kenaikan
berat badan dan diabetes mellitus tipe 2 menjadi hampir epidemi. Tingkat diabetes meningkat di
seluruh dunia. Federasi Diabetes Internasional memperkirakan bahwa jumlah orang yang hidup
dengan diabetes akan meningkat dari 366 juta pada tahun 2011 menjadi 552 juta pada tahun 2030.
Di Amerika Serikat, prevalensi diabetes yang didiagnosis telah meningkat lebih dari dua kali lipat
dalam 3 dekade terakhir, sebagian besar karena peningkatan obesitas.

Terdapat 10 negara yang memiliki tingkat diabetes tertinggi seperti India, Cina, Amerika Serikat,
Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brasil, Italia, dan Bangladesh. Peningkatan persentase terbesar
dalam tingkat diabetes akan terjadi di Afrika selama 20 tahun ke depan. Sayangnya, setidaknya
80% orang di Afrika dengan diabetes tidak terdiagnosis, dan banyak di usia 30-an hingga 60-an
akan meninggal karena diabetes4.

Patofisiologi

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik kronik yang memiliki ciri yang khas yaitu glukosa
dalam darahnya naik tinggi atau hiperglikemia. Hiperglikemi kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang,disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama organ
mata, jantung, saraf, ginjal dan pembuluh darah. Faktor genetik merupakan hal yang signifikan,
dan awitan diabetes dipercepat oleh obesitas serta gaya hidup sering duduk. Sekali lagi stress
tambahan dapat menjadi faktor penting.8

Pada diabetas mellitus tipe 2, jumlah insulin normal malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat
diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang
kuncinya yang kurang, hinga walaupun anak kunci (insulin) banyak, tetapi karena lubang kunci
(reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan
bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini
sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi,
juga kadar insulin tinggi, dan normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.9

Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor yang
berperan antara lain, obesitas terutama yang bersifat sentral, kurang gerak badan, diet tinggi lemak
dan rendah karbohidrat, rendah karbohidrat, dan faktor keturunan (herediter). Pada DM tipe 2
jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Baik pada DM tipe 1 ataupun tipe 2 kadar
glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu
akan keluar melalui urin atau sering disebut glukosuria.9

Kekurangan glukosa sebagai sumber energi pada sel menyebabkan berbagai macam akibat
diantaranya muncul dari tingginya kadar glukosa dalam darah disebabkan adanya resistensi insulin
atau sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin. Pada sebagian besar pasien DM tipe 2
mengalami hiperinsulinemia pada awalnya sebagai bentuk kompensasi terhadap kurangnya
glukosa yang masuk ke dalam sel, konsekuensi terjadinya hiperinsulinemia berkepanjangan adalah
terjadinya defiensi insulin yang dalam keadaan ini relatif.9 Sel kekurangan sumber energi dan
menimbulkan respon glikogenesis, glukoneogenesis, dan lipolisis untuk menghasilkan glukosa
untuk energi. Hal ini memperparah hiperglikemia. Penghancuran protein dan lemak tubuh
menyebabkan penurunan berat badan. Glukosa disekresi di urin dalam bentuk diuresis yang
selanjutnya dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh. Pasien menjadi dehidrasi,
selalu merasa haus dan minum air dalam jumlah banyak (polidipsia). Sekresi insulin residual
berarti bahwa seseorang dengan diabetes mellitus tipe 2 tidak mengalami ketoasidosis diabetik,
namun orang tersebut dapat mengalami koma hiperosmolar non-ketotik (HONK) yang diinduksi
oleh hiperglikemia berkepanjangan serta dehidrasi dan hipernatremia.9

Gambar 1. skema patofisiologi diabetes mellitus 2

Manifestasi Klinik

Penyakit diabetes melitus 2 memiliki gejala klasik yang khas yaitu poluria, polidipsi dan
poliphagia. Selain itu terdapat gejala seperti lemas(asthenia) dan penurunan berat badan yang
drastis. Gejala dari komplikasi DM juga dapat muncul seperti berkurangnya jarak pandang mata,
parestesia extremitas bawah, balanitis pada pria dan cukup banyak pasien yang mengalami
diabetes selama bertahun tahun tanpa gejala yang spesifik.4

Penatalaksanaan

Medikamentosa:
Diabetes melitus dapat diobat dengan obat hipoglikemik oral, yang terbagi dengan beberapa
golongan seperti golongan insulin sensitizing. Obat yang termasuk golongan insulin sensitizing
seperti biguanid yang memiliki contoh obat metformin yang sering digunakan dengan dosis 500
hingga 1700 mg/hari . Obat jenis glitazone memiliki 2 golongan thiazolidinediones atau glitazone
adalah golongan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas
insulin.

Jenis obat selanjutnya adalah Penghambat Alfa Glukosidase. Obat ini bekerja secara kompetitif
menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di
lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Golongan Sekretagok Insulin, mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid. Sulfonylurea sering
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Glinid, contoh glinid adalah repaglinid dapat menurunkan
glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada
kompleks sulfonylurea sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU. Nateglinid
mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa, sehingga
keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek
hipoglikemik yang minimal.
Insulin

Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes tipe 1 dan
sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Obat hipoglikemik oral (misalnya metformin) terkadang
diberikan bersama terapi insulin untuk penderita diabetes tipe 2 untuk memperbaiki sensitivitas
terhadap insulin.

Non Medikamentosa:

Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan tindakan non farmakologi berupa pemberian edukasi,
perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani, dan penurunan berat badan bila
didapat berat badan lebih atau obesitas. Intervensi farmakologi dibutuhkan jika tindakan non
farmako diatas belum berhasil. Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur
jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan
bervariasi, bergantung pada kebutuhan, apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau
meningkatkan berat tubuh. Rencana diet harus dikonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar
dan berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang
budaya, dan aktivitas fisik.1

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di
antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori /
kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll. Latihan fisik mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan
meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama
latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat suntikan
insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selama latihan
fisik dapat menimbulkan hipoglikemia.9

Komplikasi

Penatalaksanaan yang terlambat maupun tingkat kepatuhan pasien yang buruk dapat menyebabkan
berbagai komplikasi seperti ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar Hiperglikemik non ketotik dan
hipoglikemik.

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai


oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut
atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius
dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah
dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas
tidak terlalu mudah tercium. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan faktor
pencetus yang paling sering.9

Hiperosmolar hiperglikemik non ketotik, ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa


disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan
seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK
biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu),
dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan.
Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan
DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan.9

Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor
penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal.
Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari
hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar
insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan
kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor
paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan.9

Prognosis

Prognosis pasien dengan diabetes melitus sangat dipengaruhi oleh derajat kontrol dari
penyakitnya. Hiperglikemia kronik hubungannya sangat erat dengan naiknya resiko komplikasi
mikrovaskular, hal ini ditunjukan data dari diabetes control and complications trial(DCCT) pada
individu yang memiliki diabetes tipe 1 dan dari United Kingdom Prospective Diabete Study pada
pasien yang memiliki diabaetes tipe 2. Kepatuhan pasien dalam pengobatan dan dalam menjaga
kadar glukosa membuat prognosis penyakit ini cenderung lebih baik.4

Kesimpulan

Diabetes melitus 2 adalah penyakit metabolik kronis yang dapat disebabkan oleh banyak faktor
seperti gaya hidup yang tidak sehat, resistensi insulin, insulin yang kurang maupun karena kelainan
genetik yang dapat menyebabkan glukosa dalam darah meningkat. Edukasi pada penyakit ini
sangat penting agar dapat membuat pasien patuh terhadap pengobatan sehingga mengurangi resiko
terhadap komplikasi.
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M etc. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jillid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Gleadle J. At a glance : anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakatrta: Erlangga; 2007.p. 99.
3. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Jakarta: Bagian
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013.h.51-68.
4. Medscape.Diabetes mellitus type2 .Diunduh dari
https://emedicine.medscape.com/article/117853-overview. 25 november 2018.
5. Medscape. Diabetes mellitus type 1. Diunduh dari
https://emedicine.medscape.com/article/117739-overview. 25 november 2018.
6. Diabetesspectrum. Recognizing and Appropriately Treating Latent Autoimmune Diabetes
in Adults. Diunduh dari http://spectrum.diabetesjournals.org/content/29/4/249. 25
november 2018.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006.h.1261-
70.
8. Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pankreas dan diabetes melitus. Dalam:
Greenspan FS, Baxter JD, editor. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2008.h.754-72.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.h.1874-91.

Anda mungkin juga menyukai