Anda di halaman 1dari 27

FAKTOR SOSIAL EKONOMI BERHUBUNGAN DENGAN GIZI

TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN

Disusun guna memenuhi tugas Metologi dan Penelitian Keperawatan :

Riskayani

(1608.14201.509)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2019
BAB I

Pendahuluan

A. Latar belakang
Stunting merupakan isu baru yang menjadi sorotan WHO untuk
segera dituntaskan karena mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh
serta meningkatnya angka kesakitan anak. Stunting dapat
dituntaskan bila faktor penyebab stuting disetiap wilayah dapat
dikendalikan. Stunting masih menjadi permasalahan besar untuk
sebagian besar negara di dunia. Data WHO mencatat bahwa
terdapat 162 juta balita penderita stunting di seluruh dunia, dimana
56% berasal dari Asia. Indonesia bahkan termasuk dalam lima
besar negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia-Afrika
(Cousin, 2015). Di Indonesia prevalensi stunting secara na- sional
tahun 2013 adalah 37,2% berarti terjadi peningkatan dibandingkan
tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tahun 2014
Provinsi Jawa Timur memiliki prevalensi stunting sebesar 29%. Data
Dinas Kesehatan Kota Blitar tahun 2015 balita dalam kategori pendek
sebanyak605 anak (9,71%) dan balita sangat pendek seba- nyak 96
anak (1,54%). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Malang. Prevalensi
Stunting di Malang jumlah balita yang mengalami Stunting sebanyak
30.323 dari total 154.188 Balita. Rinciannya, jumlah balita yang
mengalami Stunting katagori sangat pendek sebanyak 9.359 dan
pendek 20.964 Balita. Balita yang mengalami Stunting terbesar di 39
puskesmas di 33 kecamatan di Kabupaten Malang. Terbanyak
ditemukan di wilayah kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang
sebanyak 285 Balita. Terjadi kasus stunting terdapat di 10 desa di
Kabupaten Malang. Yakni, Desa Wonorejo (Bantur), Desa
Tmbakrejo (Sumbermanjing Wetan), Desa Baturetno (Dampit), Desa
Mulyosari (Ampelgading), Desa Wonoayu (Wajak). Selanjutnya,
Desa Purwosekar (Tajinan), Desa Pujon Kidul (Pujon), Desa
Wiyurejo (Pujon), Desa Pait (Kasembon) serta Desa Brongkal
(Pagelaran).
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat
ini. Stunting atau pendek terjadi karena kekurangan gizi kronis yang
disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat. Seribu hari
pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis yang
menentukan masa depannya, dan pada periode tersebut anak
Indonesia menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius. Untuk
mencegah dan mengatasi masalah stunting, masyarakat perlu
dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak
balita. Secara aktif turut serta dalam komitemen global (SUN –
Scalling Up Nutrition) dalam menurunkan stunting, maka Indonesia
focus pada 1000 hari pertama kehidupan, terhitung sejak konsepsi
hingga anak berusia 2 tahun ( Kemenkes RI, 2015).
Proses pertumbuhan yang dialami oleh balita merupakan hasil
kumulatif sejak balita tersebut dilahirkan. Keadaan gizi yang baik dan
sehat pada masa balita (umur bawah lima tahun) merupakan fondasi
penting bagi kesehatannya di masa depan. Kondisi yang berpotensi
mengganggu pemenuhan zat gizi terutama energi dan protein pada
anak akan menyebabkan masalah gangguan pertumbuhan
(Hermina & Prihatini, 2011). Pengetahuan gizi ibu merupakan salah
satu faktor yang menentukan konsumsi pangan seseorang. Orang
yang mempunyai pengetahuan gizi yang baik akan mempunyai
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizi dalam pemilihan
dan pengolahan pangan sehingga dapat diharapkan asupan
makanannya lebih terjamin, baik dalam menggunakan alokasi
pendapatan rumah tangga untuk memilih pangan yang baik dan
mampu memperhatikan gizi yang baik untuk anaknya, serta
pengetahuan orang tua tentang gizi dapat membantu
memperbaiki status gizi pada anak untuk mencapai kematangan
pertumbuhan (Gibney dkk, 2009 dalam Ismanto dkk, 2012).
Menurut UNICEF dalam BAPPENAS (2011), pada dasarnya
status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak
langsung, faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu
karakteristik anak berupa jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir
rendah, konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan asupan
protein rendah, faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan pe-
nyakit infeksi ISPA dan diare. Pola pengasuhan tidak ASI ekslusif,
pelayanan kesehatan berupa status imunisasi yang tidak lengkap,
dan karakteristik keluarga berupa pekerjaan orang tua, pendidikan
orang tua dan status ekonomi keluarga merupakan faktor tidak
langsung yang mempengaruhi stunting. Berdasarkan penelitian
Oktarina & Sudiarti (2013), di Sumatera terjadi peningkatan prevalensi
stunting anak usia 24–59 bulan karena adanya faktor yang
mempengaruhi, yaitu balita memiliki berat badan lahir rendah, tingkat
asupan energi rendah dan karakteristik keluarga.
Faktor ekonomi yang memengaruhi status gizi diawali dari tingkat
pendidikan yang berpengaruh terhadap jenis pekerjaan. Kemudian
jenis pekerjaan akan berpengaruh pada pendapatan. Pendapatan
yang rendah merupakan kendala bagi keluarga untuk dapat
memenuhi kebutuhan gizi, baik segi kualitas maupun kuantitasnya
bagi seluruh anggota keluarga. Keluarga dengan jumlah anak yang
banyak dan jarak kelahiran yang sangat dekat akan menimbulkan
lebih banyak masalah, yakni pendapatan keluarga pas-pasan
sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan di
dalam keluarga akan sulit dipenuhi (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20–26
Oktober 2016 di wilayah Kecamatan Sukorejo Kota Blitar didapatkan
bahwa 6 dari 10 anak yang mengalami stunting menderita penyakit
infeksi berupa ISPA dan diare selama satu bulan terahir, 7 dari 10
anak memiliki orang tua dengan pendidikan rendah, dan 8 dari 10
anak dengan keluarga berstatus ekonomi rendah. Berdasarkan
uraian latar belakang diatas faktor risiko stunting berbeda disetiap
wilayah. Kejadian stunting akan terus meningkat jika faktor-faktor
risiko yang telah dijelaskan sebelumnya tidak diperhatikan, karenanya
peneliti tertarik untuk meneliti “Gambaran Faktor Penyebab Stunting
Pada Anak Stunting Usia 25-60 Bulan di Kecamatan Sukorejo Kota
Blitar”. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Wulandari, Indah
Budiastutik, dan Dedi Alamsyah pada tahun 2016 di Puskesmas Ulak
Muid Kabupaten Melawi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara pendapatan keluarga terdapat kejadian stunting pada anak
balita, dengan p value sebesar 0,038 dan PR 1,490. (Wulandari,
Indah Budiastutik, dan Dedi Alamsyah,2016).
Hasil penelitian yang dilakukan Yogi Agustian, Kusnadi Rusmil,
dan Purboyo Solek pada tahun 2018 di Puskesmas Sukajadi, bahwa
penyebab stunting diantaranya adalah status sosioekonomi
keluarga. Pada penelitian ini orang tua dengan pendapatan mengah
rendah, menengah atas, dan tinggi secara berturut-turut
berpengaruh pada prevalensi stunting 41,0%, 16,1% dan 10,5%.
Pendapatan keluarga yang cukup akan mendukung pertumbuhan
anak karena orang tua dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pada
anak. (Yogi Agustian, Kusnadi Rusmil, dan Purboyo Solek,2018)
Faktor sosial ekonomi orang tua berpengaruh dengan terjadinya
stunting. Pendidikan, pendapat, pekerjaan, jumlah anak kurang dari
60 bulan dan jarak kelahiran dengan anak sebelumnya merupakan
faktor sosial ekonomi yang dapat berpengaruh untuk terjadinya
stunting. Stunting berkaitan dengan kemiskinan (sosioekonomi
rendah). Prevalensi stunting lebih rendah dari pada anak yang
berasal dari keluarga yang pendapatan perbulannya yang lebih
tinggi. (Yogi Agustian, Kusnadi Rusmil, dan Purboyo Solek,2018)
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks
saat ini. Stunting atau pendek terjadi karena kekurangan gizi kronis
yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat. Seribu
hari pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis yang
menentukan masa depannya, dan pada periode tersebut anak
Indonesia menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius.
(Kemenkes RI,2015).
Dari ulusan diatas dapat di simpulkan bahwa terjadinya stunting
pada usia 24-59 bulan cukup tinggi di Malang. Dan stunting sendiri
salah satu program Indonesia sehat dari 12 indikator. Dalam hal
tersebut disebabkan adanya faktor sosialekonomi dimana
pendapatan,pekerjaan maupun penghasilan yang sangat rendah.
Dan dapat mempengaruhi gizi yang tidak terpenuhi pada anak.
Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan meneliti apakah benar
hubungan faktor sosial ekonomi keluarga dan gizi terhadap
kejadian stunting pada usia 24-59 bulan berpengaruh.
B. Rumusan masalah
Apakah ada pengaruh hubungan faktor sosial ekonomi keluarga dan
gizi terhadap kejadian stunting pada usia 24-59 bulan.
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
a. Menganalisa pengaruh hubungan faktor sosial ekonomi
keluarga dan gizi terhadap kejadian stunting pada usia 24-
59 bulan.
2. Tujuan khusus

a. Mengintentifikasi karakteristik responden


b. Mengetahui pengetahuan sebelum dan sesudah tentang
faktor yang terjadi akibat stunting
c. Mengetahui pemberian nutrisi yang baik pada balita usia 24-
59 bulan yang terjadi akibat stunting
d. Menganalisa pengaruh hubungan faktor sosial ekonomi
keluarga dan gizi terhadap kejadian stunting pada usia 24-59
bulan
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat Praktisi

1) Bagi Balita
Meningkatkan status gizi yang baik pada balita usia
24-59 bulan.
2) Bagi Orang tua
Penelitian ini merupakan saran yang dapat
dilakukan secara mandiri untuk memenuhi gizi pada
balita usia 24-59 bulan dengan keadaan faktor sosial
ekonomi yang rendah maupun tinggi.
3) Bagi Perawat
Sebagai bahan edukasi dan konseling pada orang
tua untuk mengatasi terjadinya stunting dengan
penyebab faktor sosial ekonomi dan gizi.
a) Bagi Peneliti
Sebagai pengalam ataupun bekal dalam keluarga
yang dapat diterapkan di dunia kerja maupun
masyarakat
b. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat dijadikan acuan sebagi sarana
pembelajaran guna pengembangan ilmu kesehatan
masyarakat mengai hubungan faktor sosial ekonomi keluarga
dan gizi terhadap stuting pada balita usia 24-59 bulan di Desa
Ngajum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stunting
Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan
yang optimal, diukur berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut
umur) (Setiawan, 2010). Stunting atau malnutrisi kronik
merupakan bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan. Stunting
adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat,
berupa penurunan kecepatan pertumbuhan dalam
perkembangan manusia yang merupakan dampak utama
dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidak
seimbangan faktor-faktor pertumbuhan (faktor internal dan
eksternal). Gizi kurang dapat terjadi selama beberapa periode
pertumbuhan, seperti masa kehamilan, masa perinatal, masa
menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa anak). Hal ini
juga bisa disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat
gizi, misalnya mikronutrien, protein atau energi (Setiawan,
2010).
B. Sosial ekonomi
1. Pendapatan keluarga
Pendapatan merupakan faktor yang paling
menentukan kualitas dan kuantitas makanan, antara
pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam
pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin
tinggi daya beli keluarga makin banyak makanan yang
dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan yang
dikonsumsi. Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah
akan menghalangi perbaikan gizi dan dapat menimbulkan
kekurangan gizi (Berg dalam Syafiq, 2012). Tingkat
pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan
tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan
sebagaian besar pendapatannya untuk makanan,
sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan
berkurang belanja untuk makanan.
Penghasilan merupakan faktor yang menentukan
kualitas makanan, didorong oleh pengaruh yang
menguntungkan dari pendapatan yang meningkat baik
perbaikan gizi kesehatan dan masalah keluarga lainnya
yang berkaitan dengan keadaan gizi, yang jelas kalau
rendahnya tingkat penghasilan orang miskin dan lemahnya
daya beli keluarga telah tidak memungkinkannya untuk
mengatasi kebiasaan makan dan cara- cara tertentu yang
menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk
anak-anak mereka (Berg, 1986). Menurut Suhardjo
(2003), keluarga yang termasuk dalam kategori
berpendapatan terbatas menggunakan sebagian
besar dari pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi
kebutuhan bahan makanan untuk keluarga. Di negara
berkembang dengan populasi rumah tangga lebih
banyak rumah tangga berpendapatan rendah sebagian
besar pengeluaran rumah tangganya dialokasikan untuk
makanan.
Keadaan ekonomi keluarga dapat ditinjau dari
pendapatan seseorang yang akan memberikan dampak
kearah yang baik atau kearah yang buruk, keadaan
ekonomi akan berpengaruh terhadap penyediaan gizi yang
cukup, dimana kurangnya pendapatan akan menghambat
aktivitas baik yang bersifat materialistik maupun non
materialistik. Disamping kebutuhan akan sandang, pangan
dan perumahan. Pendapatan/penghasilan keluarga
Provinsi Aceh dapat dikategorikan sebagai berikut (Upah
Minimum Provinsi Aceh, UMP tahun 2014):
a. Tinggi apabila penghasilan ≥ UMP Rp. 1.750.000,00

b. Rendah apabila penghasilan < UMP Rp. 1.750.000,00

Kemiskinan adalah keadaan sebuah keluarga yang


tidak sanggup memelihara dirinya dan keluarganya
dengan taraf kehidupan, dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk
memenuhi kebutuhannya. Keluarga miskin yang memiliki
anak balita tidak dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan
dan perkembangannya, dimana anak mengalami
penyimpangan dari pertumbuhan dan perkembangan
normal (Almatsier, 2005). Jika dilihat hubungannya dengan
pekerjaan kepala keluarga maka prevalensi kependekan
tertinggi ditemukan pada rumah tangga
petani/nelayan/buruh yaitu sebesar 42,9% dan terendah
pada rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja
sebagai pegawai tetap yaitu 21,1%. Prevalensi
kependekan juga terlihat berhubungan terbalik dengan
keadaan ekonomi rumah tangga, semakin tinggi keadaan
ekonomi rumah tangga semakin rendah prevalensi
kependekan dan sebaliknya (Riskesdas,2010).
2. Pekerjaan ayah

Pekerjaan ayah menjadi faktor penting sebagai tolak ukur


kemampuan sosial dan ekonomi dalam rumah tangga.
Penghasilan dalam keluarga yang tinggi selaras dengan
kemampuan rumah tangga tersebut dalam menyediakan
makanan. Hasil penelitian oleh Ramli, Agho KE, Inder KJ,
Bowe SJ, Jacobs J, & Dibley MJ (2009) pada 2168 bayi
dibawah lima tahun menunjukkan bahwa pendapatan,
status pekerjaan ayah merupakan faktor risiko kejadian
stunting.

3. Pendidikan ibu

Pengetahuan gizi ibu bisa menjadi penentu status gizi


anak-anak maupun ibu itu sendiri. menurut Engel, Menon dan
Hadad (1997) tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi
terbatasnya akses terhadap praktek pengasuhan yang baik
dan sarana kesehatan yang ada. Tingkat pendidikan ibu
yang rendah dan pendapatan yang juga rendah umumnya
menyebabkan kepercayaan diri ibu dalam mengakses
sarana gizi dan kesehatan seperti Posyandu dan
Puskesmas, termasuk aktivitas bina keluarga balita (BKB)
rendah, sehingga amat perlu untuk dimotivasi. Aktivitas
posyandu tampak menurun seiring berkurangnya perhatian
dan dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan
posyandu. Posyandu dengan kader umumnya sudah tua dan
tidak terjadi regenerasi yang baik. Mengingat peran
pentingn ya sebagai agen perubahan di pedesaan,
peningkatan kualitas dan kuantitas kader posyandu
diperlukan dalam memperbaiki status gizi dan kesehatan
masyarakat.
4. Gizi
a) Pola asuh
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan prilaku ibu dalam
hal kedekatannya dengan anak, memberi makan, merawat,
memberi kasih sayang dan sebagainya (Depkes RI, 2001).
Pola asuh yang baik pada anak balita dapat dilihat pada
praktek pemberian makanan yang bertujuan untuk
mendapatkan zat-zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan
fisik dan mental anak. Zat gizi juga berperan dalam
memelihara dan memulihkan kesehatan anak dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari. aspek gizi juga
mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang dan
kecerdasan anak yang ditentukan sejak bayi, bahkan
dalam kandungan (Suhardjo, 1992). Pola asuh adalah
pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak. Pola asuh
ini termasuk pangan dan gizi, kesehatan dasar,
imunisasi, penimbangan, pengobatan, papan/pemukiman
yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan,
sandang dan rekreasi (Soekirman dalam Yusnidaryani,
2009). Pola asuh yang memadai pada bayi adalah
pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak terpenuhi
secara optimal. Hal ini dilakukan melalui pemberian gizi
yang baik berupa pemberian ASI, pemberian makanan
pendamping ASI tepat waktu dan bentuknya, melanjutkan
menyusui sampai anak berumur 2 tahun, ibu punya
cukup waktu merawat bayi, imunisasi dan memantau
pertumbuhan melalui kegiatan penimbangan.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak,
UNICEF merumuskan tiga faktor utama yang
mempengaruhi tumbuh kembang secara tidak langsung
(underlying factors), yaitu pangan rumah tangga,
pengasuhan, dan sanitasi lingkungan. ketiga faktor
tersebut mempengaruhi status gizi dan juga tingkat
kesehatan anak yang juga turut menentukan kualitas
pertumbuhan serta perkembangan anak (Engel et al
dalam Nurlinda, 2013).
Berbagai studi telah mengidentifikasikan faktor-faktor risiko
tinggi yang mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak.
Faktor tersebut berkaitan dengan kondisi medis, sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan, mencakup berat bayi lahir
rendah, kembar, jumlah anak dalam keluarga, penyakit
infeksi, pemberian makanan tambahan terlalu dini atau
terlalu lambat. Jika anak mempunyai salah satu ciri
tersebut harus diberikan perhatian khusus. Perhatian itu
berupa pola asuh yang baik, agar kemungkinan timbulnya
gizi kurang pada anak yang bersangkutan dapat dicegah
(Suhardjo, 1992). Menurut Soetjiningsih (1995)
pertumbuhan dan perkembangan anak balita sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan postnatal. Faktor
lingkungan postnatal sangat erat hubungannya dengan
pola asuh yang diberikan oleh ibu kepada anaknya, antara
lain gizi dan status kesehatan.
b) Asupan gizi
Individu memerlukan makanan untuk kelangsungan
hidup. Makanan akan diubah menjadi energi dan zat gizi
lain untuk menunjang semua aktivitas manusia. Makanan
yang baik untuk penunjang aktivitas manusia tersebut
adalah makanan yang bergizi terutama yang perlu
diperhatikan adalah asupan energi dan protein. Penilaian
asupan makanan adalah salah satu metode yang
digunakan dalam penilaian status gizi individu atau
kelompok, rumah tangga serta faktor- faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut
(Supariasa, 2001). Kualitas tumbuh kembang seorang
anak ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan zat gizi
melalui makanan.
Kekurangan asupan gizi akan menyebabkan tubuh
kekurangan zat gizi sehingga untuk mengatasi
kekurangan tersebut, tubuh akan menggunakan
simpanan/cadangan zat gizi di dalam tubuh untuk
pemenuhan kebutuhan gizi tersebut. Jika keadaan ini
berlangsung dalam waktu yang lama, maka
simpanan/cadangan zat gizi akan habis dan terjadi
kemerosotan jaringan sehingga menyebabkan seseorang
mengalami kurang gizi (Supariasa, 2001). Tubuh yang
mengalami kekurangan energi akan mengalami
keseimbangan energi negatif sehingga berat badan akan
berkurang dari berat badan seharusnya. Hal ini akan
menghambat pertumbuhan anak dan menyebabkan
penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh
pada orang dewasa (Almatsier, 2002).
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. Kerangka konsep

Karakteristik sosial
ekonomi
- Pekerjaan
keluarga
- Pendapatan orang
Stunting pada
tua
balita usia 24-59
- Pendidikan orang
bulan
tua
- Usia
- Tinggi badan

Karakteristik gizi
A. Usia anak
B. Jenis kelamin
C. Pola asuh
D. Pola gizi
E. Berat badan
F. Tinggi badan

B. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian (Nursalam ,2009). Berikut ini adalah
hipotesis penelitian:
H1 : Ada hubungan faktor sosial ekonomi keluarga dan gizi
terhadap kejadian stunting pada usia 24-59 bulan
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah rancangan penelitian secara
umum yang mencakup dari identifikasi masalah hingga teknik
analisis data yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
penelitian. Pemilihan desain yang tepat akan menentukan
bobot penelitian yang dilakukan (Saryono, 2013). Jenis desain
yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik
observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Metode
cross sectional merupakan metode penelitian untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko yaitu
dukungan keluarga dengan efek yaitu kualitas hidup, dengan
cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat, yang artinya tiap subjek penelitian
hanya diobservasi sekali saja (Notoatmodjo, 2012). Penelitian
cross sectional ini sering disebut penelitian transversal, dan
sering digunakan dalam penelitian epidemiologi dimana
subyek penelitian yang diperlukan relatif besar atau
banyak, dengan asumsi variable bebas yang berpengaruh
cukup banyak (Notoatmodjo, 2012).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang


diperlukan dalam suatu penelitian (Saryono, 2013).
Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak kurang
lebih 285 balita, dimana 285 balita tersebut sudah terdata di
Data Badan Statistik (BPS) di Kabupaten Malang tepatnya di
wilayah kecamatan Ngajum.
2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi terjangkau


yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian
melalui sampling. Supaya hasil penelitian sesuai dengan
tujuan, maka penentuan sampel yang dikehendaki harus
sesuai dengan kriteria yang diterapkan (Saryono, 2013).
Prinsip umum yang berlaku adalah sebaiknya dalam
penelitian digunakan jumlah sampel sebanyak mungkin.
Namun demikian, penggunaan sampel sebesar 10%-20%
untuk subjek dengan jumlah lebih dari 1.000 dipandang
sudah cukup. Sampel dalam penelitian ini adalah Stunting
pada balita kabupaten Malang dan memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel yang diambil untuk
menjadi responden dalam penelitian ini adalah kurang
lebih sebanyak 40 responden, dimana 40 responden
tersebut belum bisa mmenuhi target 10% untuk menjadi
subjek penelitian. Hal ini dikarenakan pada keadaan
populasi itu sendiri, dimana peneliti kesulitan untuk
mengumpulkan jumlah sampel 10% dari jumlah populasi.

3. Sampling (Cara pengambilan Sampling)

Cara pengambilan sampel pada penelitian ini


dilakukan dengan menggunakan metode Non Probability
Sampling dengan melalui tehnik pendekatan Purposive
Sampling yang artinya cara pengambilan sampel
berdasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang
sesuai dengan kriteria yang dibuat oleh peneliti.
Pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
Adapun kriteria yang di maksud dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut:

badalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu


populasi target terjangkau yang akan diteliti (Nursalam,
2010). Bahan pertimbangan kriteria inklusi dalam penelitian
ini adalah :

1) Balita yang mengalami stuntingtermasuk pada Badan


Pusat Statistik (BPS)

2) Telah didiagnosa positif stunting pada balita usia 24-


59 bulan

5) Kesadaran penuh/compos mentis.

6) Orang tua bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan


kooperatif.

b. Kriteria eksklusi

1) Balita yang tidak terdata di Kabupaten Malang

2) Mengalami ketidaknyamanan fisik yang


memberatkan pasien (seperti nyeri, pusing, atau
lainnya) sehingga tidak memungkinkan untuk
responden melanjutkan penelitian.

3) Responden memutuskan untuk tidak


melanjutkan pengisian ataupun tidak mengisi secara
lengkap kuesioner.

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen (Variabel Bebas)


Variabel independen dalam penelitian ini adalah
hubungan faktor sosial ekonomi keluarga

2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah gizi


terhadap kejadian stunting pada usia 24-59 bulan

E. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan metode yang digunakan


untuk mengukur konsep yaitu variabel independen dan
variabel dependen (Nursalam, 2010).

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan


untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Dalam
penelitian ini instrument yang digunakan untuk pengambilan
data yaitu sebagai berikut:

1. Kuesioner

Kuesioner adalah suatu cara untuk pengumpulan


data atau suatu penelitian mengenai suatu masalah
yang umumnya banyak menyangkut kepentingan
secara umum. Kuesioner dapat dilakukan dengan
mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa
kuisioner-kuisioner, diajukan secara tertulis kepada
sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan,
informasi, jawaban, dan sebagainya (Arikunto, 2010).
Berdasarkan pada hal tersebut maka alat
pengumpulan data penelitian yang dapat digunakan
dalam penelitian ini adalah sosial ekonomi keluarga.
2. Uji Validitas (Kesahihan)

Validitas berarti suatu ukuran yang menunjukkan


tingkat kevalidan dan kesahihan suatu instrument.
Telah diketahu bahwa dari penelitian-penelitian.

3. Uji Reabilitas

Data yang diperoleh dari uji coba selanjutnya dialisis


untuk mngetahui kualitas alat ukur tersebut.
Perhitungan analisis bavariat menggunakan bantuan
SPSS 16 for Windows. uji reabilitas menggunakan uji
koefisien reliabilitas alpha Cronbah dengan nilai R =
0,89 (WHO QoL-HIV BREF, 2002).

G. Prosedur Penelitian

1. Prosedur Administrasi

a. Membuat surat permohonan izin penelitian dengan


sepengetahuan Ketua Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan STIKES Widyagama Husada.

b. Mendapatkan izin dari Puskesmas

c. Mendapatkan izin dari Dinas Kesehatan (DinKes) dan


Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BaKesBangPol)
Kabupaten Malang.

d. Menyampaikan maksud dan tujuan dari penelitian.

e. Memilih subyek sesuai dengan kriteria inklusi.

f. Melakukan pengambilan data dengan menggunakan


lembar kuesioner.
g. Meminta surat telah melakukan penelitian pada
bagian manajemen Puskesmas si wilayah Ngajum di
Kapubaten Malang

2. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah


dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer didapatkan dari hasil observasi studi


pendahuluan dengan data yang teliti adalah faktor sosial
ekonomi dan gizi pada balita yang mengalami stunting

b. Data sekunder

Data sekunder didapatkan dari hasil studi pendahuluan


yang dilakukan di Ngajum Kabupaten Malang.

Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Balita yang terdata pada badan Pusat Statistik (BPS)

b) Setelah itu pengambilan sampel balita sebanyak 40 orang


sesuai dengan kriteria inklusi.

c) Mengumpulkan balita maupun orang tua dalam satu tempat


dan waktu.

d) Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dan


melakukan pengisian informed concent oleh orang tua
e) Kemudianorang tua melakukan pengisian kuesioner
sosial ekonomi keluarga yang berisi bagaimana
pemenuhan gizi pada balita, penghasilan orang tua, dan
kendala yang dialami dalam 1 bulan terakhir.

f) Setelah semua kuesioner diisi, di cek kembali kebenaran


pengisian dan kelengkapan serta kecocokan data.

g) Kemudian data yang diperoleh dikumpulkan dan


dilakukan analisa data menggunakan SPSS 16 for
Windows.

H. Pengolahan Data dan Analisis Data

Pengolahan data meliputi kegiatan sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Proses editing dilakukan dengan cara mengoreksi data yang


telah diperoleh meliputi kelengkapan data berdasarkan hasil
penyebaran kuesioner yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk
mengecek apakah semua lembar kuesioner masih ada yang
belum diisi. Editing merupakan pemeriksaan kembali daftar
pertanyaan dan jawaban yang telah diperoleh dari responden.
Hasil kuesioner tersebut perlu diedit terlebih dahulu. Apabila
ada jawaban yang belum lengkap, maka perlu dilakukan
pengambilan data ulang jika memungkinkan (Notoatmodjo,
2012).

2. Pemberian Kode (Coding)

Peneliti memberi kode pada tiap variabel yang didata, hal


ini untuk memudahkan proses selanjutnya. Pada penelitian
ini peneliti memberikan kode dari masing-masing variabel.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah dukungan
keluarga yang dibuat dengan skala ordinal dengan
memberikan masing-masing kode yang berbeda, yaitu:

a. Non supportif kode [0]

b. Supportif [1]

Sedangkan pada variabel dependen dalam penelitian ini


adalah kualitas hidup yang di buat dengan skala ordinal dan
diberikan kode sebagai berikut:

a. Baik dengan kode [4]

b. Buruk dengan kode [3]

c. Sedang dengan kode [2]

d. Buruk dengan kode [1]

e. Sangat Buruk dengan kode [0]

3. Penilaian (Scoring)

Pada tahap Scoring ini peneliti memberikan nilai pada


data sesuai dengan skor yang telah ditentukan berdasarkan
kuesioner yang telah didisi oleh responden.

4. Tabulasi Data (Tabulating)

Data kualitas gizi balita dikelompokkan menjadi dua


kategori yaitu: baik dan buruk. Selanjutnya setiap data
dilakukan tabulasi data agar data siap diolah secara statistika.

5. Memasukkan Data (Entry Data)

Entry data dapat langsung dilakukan pada data editor.


Data harus berbentuk kode. Salah satu progam aplikasi
yang sering digunakan untuk entry data adalah SPSS16.
6. Pembersihan Data (Cleaning Data)

Apabila semua data dari tiap responden sudah


dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan
adanya kesalahan dari pengkodean kemudian dilakukan
koreksi. Cleaning merupakan teknik pembersihan, data- data
yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan terhapus.

7. Analisa Data

Analisa univariat dalam penelitian ini adalah usia, jenis


kelamin, pekerjaan, status ekonomi, status pernikahan,
kepatuhan minum obat, tingkat pengetahuan dan lama
menderita penyakit. Analisa bivariat dalam penelitian ini
untuk mengetahui hubungan atau korelasi dukungan keluarga
terhadap kualitas hidup ODHA di Jombang Care Center Plus
(JCC+) Kab. Jombang dan menggunakan uji statistik
Spearman jika memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat
digunakan uji statistik alternative Gamma untuk melihat
adanya korelasi 2 variabel tersebut bermakna dan tidak
bermakna.

I. Etika Penelitian

Penelitian adalah upaya mencari kebenaran terhadap semua


fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar yang menyangkut
kehidupan manusia. Dalam bidang kesehatan, subyek penelitian
ini adalah manusia atau yang disebut dengan pasien dengan
HIV/AIDS. Sebuah penelitian dapat dilakukan ketika telah
mendapatkan perizinan yang menekan pada masalah etika
(Notoatmodjo, 2012)
1. Lembar Persetujuan (Informed consent)

Tujuan informed consent adalah agar responden


mengetahui maksud dan tujuan penelitian selama dalam
pengumpulan data. Peneliti mebagikan lembar persetujuan
kepada ODHA sebagai responden dengan tujuan agar
responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta
dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika
rsponden bersedia menjadi subjek penelitian, maka diminta
tanda tangannya, namun jika tidak bersedia maka peneliti
tidak akan memaksa dan menghormati hak responden

2. Kerahasiaan (Confidentialy)

Peneliti akan menjaga kerahasiaan dari data yang


diperoleh. Peneliti menjamin kerahasiaan atas informasi yang
diberikan oleh ODHA sebagai responden dan hanya akan
disajikan dalam kelompok tertentu yang berhubungan dengan
penelitian, sehingga rahasia subyek penelitian benar- benar
terjamin.

3. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas, peneliti tidak akan


mencampur adukkan nama subyek pada lembar persetujuan
hanya diberi nomor kode tertentu. Peneliti juga tidak boleh
menampilkan informasi identitas dan kerahasiaan subyek.
Kerahasiaan identitas responden yaitu kerahasiaan identitas
ODHA terjaga denan cara peneliti tidak mencantumkan nama
responden pada lembar kiesioner tetapi diganti dengan
penggunaan nama inisial atau nomor responden (R1, R2, R3,
dan seterusnya).

4. Keadilan dan Kejujuran (Justice dan Veracity)


Prinsip keadilan memenuhi prinsip keterbukaan
yaitu penelitian dilakukan dengan jujur, hati-hati,
professional, berperikemanusiaan, dll. Aplikasi keadilan
pbalita sebagai responden tanpa membedakan gender, ras,
agama, etnis, sosial dan pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai