Riskayani
(1608.14201.509)
MALANG
2019
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Stunting merupakan isu baru yang menjadi sorotan WHO untuk
segera dituntaskan karena mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh
serta meningkatnya angka kesakitan anak. Stunting dapat
dituntaskan bila faktor penyebab stuting disetiap wilayah dapat
dikendalikan. Stunting masih menjadi permasalahan besar untuk
sebagian besar negara di dunia. Data WHO mencatat bahwa
terdapat 162 juta balita penderita stunting di seluruh dunia, dimana
56% berasal dari Asia. Indonesia bahkan termasuk dalam lima
besar negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia-Afrika
(Cousin, 2015). Di Indonesia prevalensi stunting secara na- sional
tahun 2013 adalah 37,2% berarti terjadi peningkatan dibandingkan
tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tahun 2014
Provinsi Jawa Timur memiliki prevalensi stunting sebesar 29%. Data
Dinas Kesehatan Kota Blitar tahun 2015 balita dalam kategori pendek
sebanyak605 anak (9,71%) dan balita sangat pendek seba- nyak 96
anak (1,54%). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Malang. Prevalensi
Stunting di Malang jumlah balita yang mengalami Stunting sebanyak
30.323 dari total 154.188 Balita. Rinciannya, jumlah balita yang
mengalami Stunting katagori sangat pendek sebanyak 9.359 dan
pendek 20.964 Balita. Balita yang mengalami Stunting terbesar di 39
puskesmas di 33 kecamatan di Kabupaten Malang. Terbanyak
ditemukan di wilayah kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang
sebanyak 285 Balita. Terjadi kasus stunting terdapat di 10 desa di
Kabupaten Malang. Yakni, Desa Wonorejo (Bantur), Desa
Tmbakrejo (Sumbermanjing Wetan), Desa Baturetno (Dampit), Desa
Mulyosari (Ampelgading), Desa Wonoayu (Wajak). Selanjutnya,
Desa Purwosekar (Tajinan), Desa Pujon Kidul (Pujon), Desa
Wiyurejo (Pujon), Desa Pait (Kasembon) serta Desa Brongkal
(Pagelaran).
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat
ini. Stunting atau pendek terjadi karena kekurangan gizi kronis yang
disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat. Seribu hari
pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis yang
menentukan masa depannya, dan pada periode tersebut anak
Indonesia menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius. Untuk
mencegah dan mengatasi masalah stunting, masyarakat perlu
dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak
balita. Secara aktif turut serta dalam komitemen global (SUN –
Scalling Up Nutrition) dalam menurunkan stunting, maka Indonesia
focus pada 1000 hari pertama kehidupan, terhitung sejak konsepsi
hingga anak berusia 2 tahun ( Kemenkes RI, 2015).
Proses pertumbuhan yang dialami oleh balita merupakan hasil
kumulatif sejak balita tersebut dilahirkan. Keadaan gizi yang baik dan
sehat pada masa balita (umur bawah lima tahun) merupakan fondasi
penting bagi kesehatannya di masa depan. Kondisi yang berpotensi
mengganggu pemenuhan zat gizi terutama energi dan protein pada
anak akan menyebabkan masalah gangguan pertumbuhan
(Hermina & Prihatini, 2011). Pengetahuan gizi ibu merupakan salah
satu faktor yang menentukan konsumsi pangan seseorang. Orang
yang mempunyai pengetahuan gizi yang baik akan mempunyai
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizi dalam pemilihan
dan pengolahan pangan sehingga dapat diharapkan asupan
makanannya lebih terjamin, baik dalam menggunakan alokasi
pendapatan rumah tangga untuk memilih pangan yang baik dan
mampu memperhatikan gizi yang baik untuk anaknya, serta
pengetahuan orang tua tentang gizi dapat membantu
memperbaiki status gizi pada anak untuk mencapai kematangan
pertumbuhan (Gibney dkk, 2009 dalam Ismanto dkk, 2012).
Menurut UNICEF dalam BAPPENAS (2011), pada dasarnya
status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak
langsung, faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu
karakteristik anak berupa jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir
rendah, konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan asupan
protein rendah, faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan pe-
nyakit infeksi ISPA dan diare. Pola pengasuhan tidak ASI ekslusif,
pelayanan kesehatan berupa status imunisasi yang tidak lengkap,
dan karakteristik keluarga berupa pekerjaan orang tua, pendidikan
orang tua dan status ekonomi keluarga merupakan faktor tidak
langsung yang mempengaruhi stunting. Berdasarkan penelitian
Oktarina & Sudiarti (2013), di Sumatera terjadi peningkatan prevalensi
stunting anak usia 24–59 bulan karena adanya faktor yang
mempengaruhi, yaitu balita memiliki berat badan lahir rendah, tingkat
asupan energi rendah dan karakteristik keluarga.
Faktor ekonomi yang memengaruhi status gizi diawali dari tingkat
pendidikan yang berpengaruh terhadap jenis pekerjaan. Kemudian
jenis pekerjaan akan berpengaruh pada pendapatan. Pendapatan
yang rendah merupakan kendala bagi keluarga untuk dapat
memenuhi kebutuhan gizi, baik segi kualitas maupun kuantitasnya
bagi seluruh anggota keluarga. Keluarga dengan jumlah anak yang
banyak dan jarak kelahiran yang sangat dekat akan menimbulkan
lebih banyak masalah, yakni pendapatan keluarga pas-pasan
sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan di
dalam keluarga akan sulit dipenuhi (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20–26
Oktober 2016 di wilayah Kecamatan Sukorejo Kota Blitar didapatkan
bahwa 6 dari 10 anak yang mengalami stunting menderita penyakit
infeksi berupa ISPA dan diare selama satu bulan terahir, 7 dari 10
anak memiliki orang tua dengan pendidikan rendah, dan 8 dari 10
anak dengan keluarga berstatus ekonomi rendah. Berdasarkan
uraian latar belakang diatas faktor risiko stunting berbeda disetiap
wilayah. Kejadian stunting akan terus meningkat jika faktor-faktor
risiko yang telah dijelaskan sebelumnya tidak diperhatikan, karenanya
peneliti tertarik untuk meneliti “Gambaran Faktor Penyebab Stunting
Pada Anak Stunting Usia 25-60 Bulan di Kecamatan Sukorejo Kota
Blitar”. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Wulandari, Indah
Budiastutik, dan Dedi Alamsyah pada tahun 2016 di Puskesmas Ulak
Muid Kabupaten Melawi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara pendapatan keluarga terdapat kejadian stunting pada anak
balita, dengan p value sebesar 0,038 dan PR 1,490. (Wulandari,
Indah Budiastutik, dan Dedi Alamsyah,2016).
Hasil penelitian yang dilakukan Yogi Agustian, Kusnadi Rusmil,
dan Purboyo Solek pada tahun 2018 di Puskesmas Sukajadi, bahwa
penyebab stunting diantaranya adalah status sosioekonomi
keluarga. Pada penelitian ini orang tua dengan pendapatan mengah
rendah, menengah atas, dan tinggi secara berturut-turut
berpengaruh pada prevalensi stunting 41,0%, 16,1% dan 10,5%.
Pendapatan keluarga yang cukup akan mendukung pertumbuhan
anak karena orang tua dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pada
anak. (Yogi Agustian, Kusnadi Rusmil, dan Purboyo Solek,2018)
Faktor sosial ekonomi orang tua berpengaruh dengan terjadinya
stunting. Pendidikan, pendapat, pekerjaan, jumlah anak kurang dari
60 bulan dan jarak kelahiran dengan anak sebelumnya merupakan
faktor sosial ekonomi yang dapat berpengaruh untuk terjadinya
stunting. Stunting berkaitan dengan kemiskinan (sosioekonomi
rendah). Prevalensi stunting lebih rendah dari pada anak yang
berasal dari keluarga yang pendapatan perbulannya yang lebih
tinggi. (Yogi Agustian, Kusnadi Rusmil, dan Purboyo Solek,2018)
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks
saat ini. Stunting atau pendek terjadi karena kekurangan gizi kronis
yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat. Seribu
hari pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis yang
menentukan masa depannya, dan pada periode tersebut anak
Indonesia menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius.
(Kemenkes RI,2015).
Dari ulusan diatas dapat di simpulkan bahwa terjadinya stunting
pada usia 24-59 bulan cukup tinggi di Malang. Dan stunting sendiri
salah satu program Indonesia sehat dari 12 indikator. Dalam hal
tersebut disebabkan adanya faktor sosialekonomi dimana
pendapatan,pekerjaan maupun penghasilan yang sangat rendah.
Dan dapat mempengaruhi gizi yang tidak terpenuhi pada anak.
Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan meneliti apakah benar
hubungan faktor sosial ekonomi keluarga dan gizi terhadap
kejadian stunting pada usia 24-59 bulan berpengaruh.
B. Rumusan masalah
Apakah ada pengaruh hubungan faktor sosial ekonomi keluarga dan
gizi terhadap kejadian stunting pada usia 24-59 bulan.
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
a. Menganalisa pengaruh hubungan faktor sosial ekonomi
keluarga dan gizi terhadap kejadian stunting pada usia 24-
59 bulan.
2. Tujuan khusus
1) Bagi Balita
Meningkatkan status gizi yang baik pada balita usia
24-59 bulan.
2) Bagi Orang tua
Penelitian ini merupakan saran yang dapat
dilakukan secara mandiri untuk memenuhi gizi pada
balita usia 24-59 bulan dengan keadaan faktor sosial
ekonomi yang rendah maupun tinggi.
3) Bagi Perawat
Sebagai bahan edukasi dan konseling pada orang
tua untuk mengatasi terjadinya stunting dengan
penyebab faktor sosial ekonomi dan gizi.
a) Bagi Peneliti
Sebagai pengalam ataupun bekal dalam keluarga
yang dapat diterapkan di dunia kerja maupun
masyarakat
b. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat dijadikan acuan sebagi sarana
pembelajaran guna pengembangan ilmu kesehatan
masyarakat mengai hubungan faktor sosial ekonomi keluarga
dan gizi terhadap stuting pada balita usia 24-59 bulan di Desa
Ngajum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stunting
Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan
yang optimal, diukur berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut
umur) (Setiawan, 2010). Stunting atau malnutrisi kronik
merupakan bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan. Stunting
adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat,
berupa penurunan kecepatan pertumbuhan dalam
perkembangan manusia yang merupakan dampak utama
dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidak
seimbangan faktor-faktor pertumbuhan (faktor internal dan
eksternal). Gizi kurang dapat terjadi selama beberapa periode
pertumbuhan, seperti masa kehamilan, masa perinatal, masa
menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa anak). Hal ini
juga bisa disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat
gizi, misalnya mikronutrien, protein atau energi (Setiawan,
2010).
B. Sosial ekonomi
1. Pendapatan keluarga
Pendapatan merupakan faktor yang paling
menentukan kualitas dan kuantitas makanan, antara
pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam
pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin
tinggi daya beli keluarga makin banyak makanan yang
dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan yang
dikonsumsi. Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah
akan menghalangi perbaikan gizi dan dapat menimbulkan
kekurangan gizi (Berg dalam Syafiq, 2012). Tingkat
pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan
tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan
sebagaian besar pendapatannya untuk makanan,
sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan
berkurang belanja untuk makanan.
Penghasilan merupakan faktor yang menentukan
kualitas makanan, didorong oleh pengaruh yang
menguntungkan dari pendapatan yang meningkat baik
perbaikan gizi kesehatan dan masalah keluarga lainnya
yang berkaitan dengan keadaan gizi, yang jelas kalau
rendahnya tingkat penghasilan orang miskin dan lemahnya
daya beli keluarga telah tidak memungkinkannya untuk
mengatasi kebiasaan makan dan cara- cara tertentu yang
menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk
anak-anak mereka (Berg, 1986). Menurut Suhardjo
(2003), keluarga yang termasuk dalam kategori
berpendapatan terbatas menggunakan sebagian
besar dari pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi
kebutuhan bahan makanan untuk keluarga. Di negara
berkembang dengan populasi rumah tangga lebih
banyak rumah tangga berpendapatan rendah sebagian
besar pengeluaran rumah tangganya dialokasikan untuk
makanan.
Keadaan ekonomi keluarga dapat ditinjau dari
pendapatan seseorang yang akan memberikan dampak
kearah yang baik atau kearah yang buruk, keadaan
ekonomi akan berpengaruh terhadap penyediaan gizi yang
cukup, dimana kurangnya pendapatan akan menghambat
aktivitas baik yang bersifat materialistik maupun non
materialistik. Disamping kebutuhan akan sandang, pangan
dan perumahan. Pendapatan/penghasilan keluarga
Provinsi Aceh dapat dikategorikan sebagai berikut (Upah
Minimum Provinsi Aceh, UMP tahun 2014):
a. Tinggi apabila penghasilan ≥ UMP Rp. 1.750.000,00
3. Pendidikan ibu
Karakteristik sosial
ekonomi
- Pekerjaan
keluarga
- Pendapatan orang
Stunting pada
tua
balita usia 24-59
- Pendidikan orang
bulan
tua
- Usia
- Tinggi badan
Karakteristik gizi
A. Usia anak
B. Jenis kelamin
C. Pola asuh
D. Pola gizi
E. Berat badan
F. Tinggi badan
B. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian (Nursalam ,2009). Berikut ini adalah
hipotesis penelitian:
H1 : Ada hubungan faktor sosial ekonomi keluarga dan gizi
terhadap kejadian stunting pada usia 24-59 bulan
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah rancangan penelitian secara
umum yang mencakup dari identifikasi masalah hingga teknik
analisis data yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
penelitian. Pemilihan desain yang tepat akan menentukan
bobot penelitian yang dilakukan (Saryono, 2013). Jenis desain
yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik
observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Metode
cross sectional merupakan metode penelitian untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko yaitu
dukungan keluarga dengan efek yaitu kualitas hidup, dengan
cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat, yang artinya tiap subjek penelitian
hanya diobservasi sekali saja (Notoatmodjo, 2012). Penelitian
cross sectional ini sering disebut penelitian transversal, dan
sering digunakan dalam penelitian epidemiologi dimana
subyek penelitian yang diperlukan relatif besar atau
banyak, dengan asumsi variable bebas yang berpengaruh
cukup banyak (Notoatmodjo, 2012).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
b. Kriteria eksklusi
C. Variabel Penelitian
E. Definisi Operasional
F. Instrumen Penelitian
1. Kuesioner
3. Uji Reabilitas
G. Prosedur Penelitian
1. Prosedur Administrasi
a. Data primer
b. Data sekunder
b. Supportif [1]
3. Penilaian (Scoring)
7. Analisa Data
I. Etika Penelitian
2. Kerahasiaan (Confidentialy)