Anda di halaman 1dari 53

1

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Teeuw, sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat,
sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku
petunjuk, atau buku pengajaran yang baik. Dalam perkembangan berikutnya kata
sastra sering dikombinasikan dengan awalan ‘su’, sehingga menjadi susastra, yang
diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Dalam teori kontemporer,
sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang selanjutnya
merupakan satu-satunya ciri khas kesusastraan,
Dari pendapat Teeuw tersebut, terlihat bahwa sastra sangat erat
hubungannya dengan pendidikan karena sastra merupakan sebuah karya hasil
kreativitas dan imajinasi manusia yang berfungsi sebagai alat pengajaran atau
petunjuk yang baik. Fungsi sastra sebagai pengajaran terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung, sastra digunakan sebagai media
pengajaran dalam pembelajaran formal, sedangkan secara tidak langsung, sastra
menjadi teks ajaran bagi pembacanya. Sebagaimana yang dikatakan Endraswara
(2013: 2) bahwa sastra sering dimaknai sebagai alat untuk mengajarkan perilaku
budaya sehingga sikap dan perilaku pembaca sastra sering dipengaruhi oleh karya
sastra yang dibacanya.
Karya sastra merupakan karya seni dalam bentuk ungkapan tertulis yang
indah dan bermanfaat. Ada banyak karya seni, ketika ungkapan keindahan itu
dilakukan melalui tulisan, itulah karya sastra. Karya sastra bukanlah tulisan yang
indah karena bukan kaligrafi. Bukan pula kata mutiara karena bukan semata-mata
ajaran. Karya sastra menjawab bagaimana gagasan-gagasan ideal bisa mewujudkan
diri dalam ungkapan tertulis. Gagasan-gagasan tersebut muncul dari imajinasi dan
nalar kreativitas manusia yang terbungkus dalam sebuah tulisan yang mengandung
2

hiburan dan pesan-pesan tersirat bagi kehidupan manusia. Salah satu bentuk karya
sastra yang memuat gagasan-gagasan ideal dalam bentuk tulisan adalah novel.

Novel merupakan salah satu karya sastra berbentuk prosa. Abrams


menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella (dalam bahasa
Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’.
Kemudian, novel diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.
Selanjutnya, Nurgiyantoro (2013: 12-13) menambahkan bahwa novel merupakan
karya sastra naratif yang mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu
secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan banyak melibatkan berbagai
permasalah kompleks. Jadi, secara umum novel dapat diartikan sebagai sebuah
cerita tertulis berbentuk prosa naratif yang terdiri dari berbagai macam
permasalahan kompleks dengan berbagai macam peristiwa yang jalin menjalin.
Untuk dapat memahami sebuah karya sastra, khususnya novel, perlu adanya
pengkajian lebih mendalam terhadap sebuah karya. Di dalam teori sastra terdapat
banyak pendekatan yang dapat dijadikan alat analisis untuk mengkaji karya sastra
lebih dalam. Salah satu pendekatan yang dapat dijadikan alat untuk mengkaji karya
sastra lebih mendalam yaitu pendekatan antropologi sastra. Pendekatan antropologi
sastra digunakan sebagai alat analisis di dalam penelitian ini.
Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian
yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini, tampaknya masih jarang
diminati. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali. Peneliti
sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan
antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara
interdisipliner karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang
manusia. Antropologi berbicara tentang manusia berbudaya di dalam kehidupan
nyata, sedangkan sastra merupakan hasil budaya manusia. Di samping sebagai hasil
budaya, sastra juga membicarakan manusia yang berbudaya dalam ranah imajinatif
3

penulisnya. Jadi, antara antropologi dengan sastra memiliki hubungan yang sangat
erat.
Endraswara (2013: 5-6) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek penting
yang menyebabkan kedekatan antara sastra dan antropologi, yaitu (1) keduanya
sama-sama memperhatikan aspek manusia dengan seluruh perilakunnya; (2)
manusia adalah makhluk yang berbudaya, memiliki daya cipta rasa kritis untuk
mengubah hidupnya; (3) antropologi dan sastra tidak alergi pada fenomena
imajinatif kehidupan manusia yang lebih indah dari warna aslinya; (4) banyak
wacana lisan dan sastra lisan yang menarik minat para antropolog dan ahli sastra;
(5) banyak interdisiplin yang mengitari bidang sastra dan budaya hingga menantang
munculnya antropologi sastra. Lima aspek ini menandai bahwa adat istiadat, tradisi,
seremonial, mitos, dan sejenisnya banyak menarik perhatian sastrawan untuk
mewarnai karya-karya yang dilahirkannya.
Bahan penelitian antropologi sastra adalah sikap dan perilaku manusia lewat
fakta-fakta sastra dan budaya. Antropologi adalah penelitian terhadap manusia.
Dalam hal ini, manusia adalah sikap dan perilakunya. Antropologi sastra berupaya
meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra.
Manusia sering bersikap dan berperilaku dengan tata krama. Tata krama memuat
tata susila dan unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri sebuah peradaban. Sastra
sering menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu sama lain yang penuh
dengan simbol.
Adapun konsep kebudayaan itu sendiri adalah seluruh totalitas dari pikiran,
karya, dan tingkah laku manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, yang hanya
bisa terjadi setelah manusia mengalami proses belajar. Jadi, semua hal yang
dilakukan manusia yang berasal dari proses belajar saja yang dapat dikatakan
kebudayaan, sedangkan hal-hal yang muncul dari naluri atau insting semata tidak
termasuk 5 kebudayaan. Sebagai contoh, kebutuhan makan merupakan naluri
manusia bukan budaya, tetapi tata krama manusia dalam aktivitas makan
merupakan budaya. Itulah yang membedakan antara binatang dan manusia.
4

Manusia memiliki budaya, sedangkan binatang tidak berbudaya. Di dalam sebuah


karya sastra khususnya novel, banyak sekali disajikan berbagai macam aktivitas
manusia sebagai wujud budaya dalam bentuk simbol-simbol yang merupakan bahan
kajian antropologi sastra.
Kajian antropologis terhadap sebuah karya sastra dilakukan sebagai usaha
untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya tersebut, dengan
menganggapnya sebagai sebuah karya yang mengandung aspek tertentu, dalam
hubungannya dengan ciri-ciri kebudayaannya. Ciri-ciri tersebut di antaranya yang
memiliki kecenderungan ke masa lampau, citra primodial, citra arketipe. Ciri-ciri
yang lain, misalnya, mengandung aspek kearifan lokal dengan fungsi dan
kedudukan masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan
subkategorinya, seperti trah, klen, dan kasta. Bentuk kecenderungan yang
dimaksudkan juga muncul sebagai paguyuban tertentu, seperti kampung Bali,
Minangkabau, Jawa, Bugis, Papua, dan kelompok tertentu, seperti priayi, santri,
abangan. Pada gilirannya dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia akan lahir
genre novel antropologis. Penelitian ini juga sebagai usaha untuk memberikan
identitas terhadap sebuah karya sastra berbentuk novel melalu pengkajian kearifan
lokal yang tersaji di dalamnya.
Kearifan lokal merupakan sebagian kecil atau intisari dari kebiasaan-
kebiasaan kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal memiliki ciri-ciri universal
dalam arti bahwa gejala tersebut hadir di berbagai komunitas, meskipun
dikemukakan dengan bahasa yang berbeda-beda. Sebagai warisan budaya, kearifan
lokal perlu dipelihara dan dilestarikan. Dalam kebudayaan lokal, selain sistem
norma juga terkandung pengetahuan lokal, pengetahuan tradisional, yaitu berbagai
konsep, bahkan teori yang sudah digunakan oleh nenek moyang dalam rangka
menopang keberlangsungan kehidupannya. Jenis karya sastra yang paling banyak
menampilkan kearifan lokal adalah novel dan bentuk-bentuk fiksi naratif lainnya.
Novel Dasamuka merupakan novel ketiga dari sastrawan Purworejo,
Junaedi Setiyono, setelah Gelonggong dan Arumdalu. Novel ini menjadi pemenang
5

unggulan dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun
2012. Sayembara menulis novel DKJ merupakan sebuah sayembara pencarian
novel yang sarat akan ragam kultural di Indonesia. Junaedi Setiyono dalam bedah
bukunya di Universitas Muhammadiyah Purworejo tanggal 20 Desember 2014
mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai dunia sastra sejak kecil. Ia bercita-cita
menciptakan genre sendiri di dalam dunia kesusastraan Indonesia dengan
menjadikan sastra khususnya novel sebagai sarana untuk mengangkat budaya dan
sejarah masa lampau suku di Indonesia, terutama Jawa, sebagai tanah kelahirannya.
Berangkat dari hal tersebut, novel Dasamuka dijadikan bahan penelitian
karena memiliki corak warna budaya Jawa, kearifan lokal, dan sejarah di tanah
Jawa. Selain itu, Junaedi Setiyono juga mengangkat filosofi dunia pewayangan ke
dalam novel-novelnya. Novel Dasamuka sendiri memuat filosofi tokoh Dasamuka
di dalam dunia pewayangan. Selanjutnya, filosofi tokoh Dasamuka ini dipadukan
dengan budaya Jawa yang tercermin dalam kehidupan Kasultanan Yogyakarta, juga
sejarah pendudukan bangsa Eropa di tanah Jawa.
Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono mengisahkan tentang seorang
tokoh bernama Willem. Willem merupakan seorang peneliti berkebangsaan
Skotlandia yang datang ke Indonesia untuk meneliti bronjong yang ada di
Kasultanan Yogyakarta. Bronjong merupakan salah satu sistem hukum yang ada di
Kasultanan Yogyakarta pada masa lampau. Melalui bronjong inilah Willem
bertemu dengan tokoh Dasamuka yang merupakan representasi dari tokoh
Dasamuka di dalam pewayangan. Dasamuka merupakan tokoh pemuda licik yang
mampu meluluskan keinginan orang-orang berkantong tebal untuk mendapatkan
apa yang diinginkan. Kedua tokoh berbeda suku bangsa dan latar budaya ini
disajikan dengan berbagai konflik dan intrik yang ada di bawah kekuasaan empat
sultan di wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dijadikan bahan penelitian
antropologi sastra karena novel tersebut memiliki kecenderungan ke masa lampau,
citra primodial; mengandung aspek kearifan lokal dengan fungsi dan kedudukan
6

masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan subkategori trah.


Bentuk kecenderungan yang dimaksudkan juga muncul sebagai paguyuban
masyarakat Jawa, dan dengan kelompok masyarakat priayi, santri, dan abangan
yang telah disebutkan sebelumnya sebagai ciri novel bergenre antropologis. Oleh
sebab itu, novel tersebut sangat cocok untuk didekati dengan alat analisis
antropologi sastra, khususnya terkait unsur budaya dan kearifan lokal yang ada di
dalamnya.
Penggunaan novel bercorak budaya sebagai bahan pembelajaran sangat
penting bagi terwujudnya tujuan pendidikan di Indonesia. Sebagaimana yang telah
tertuang di dalam landasan filosofis kurikulum 2013 sebagai pijakan pengembangan
pembelajaran. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan didasarkan pada akar budaya
bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang.
Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya
bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa
kini, dan untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa
depan.
Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik,
Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan
kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan
bagi kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap
mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa dan orang
yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini.
Selain itu, kurikulum 2013 juga dikembangkan berdasarkan pandangan
bahwa peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut
pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa
lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari
peserta didik. Proses pendidikan adalah suatu proses yang memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan
berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna terhadap
7

apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya berdasarkan
makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat
kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik.
Selain mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam
akademik,
Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk
menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan
pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan
berbangsa masa kini (Salinan Lampiran Permendikbud No. 69 th 2013 tentang
Kurikulum SMAMA, 2013: 4-5).
Dari landasan filosofis tersebut, pelajaran Bahasa Indonesia yang terdapat di
dalam setiap jenjang pendidikan memiliki peran penting untuk melakukan
internalisasi budaya ke dalam diri peserta didik. Di dalam kurikulum 2013 terdapat
kompetensi dasar terkait analisis teks novel pada jenjang SMA pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia wajib, yaitu pada KD 3.3 (menganalisis teks cerita sejarah, berita,
iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan).
Dalam menganalisis sebuah novel, perlu dipertimbangkan tujuan dari kajian
sastra. Kajian sastra di SMA tentunya tidak sekadar bertujuan untuk mengetahui isi
dari sebuah karya sastra, tetapi kajian yang dilakukan juga diharapkan dapat
bermanfaat dalam kehidupan keseharian peserta didik. Di samping itu, karya sastra
yang akan dijadikan objek kajian juga harus disesuaikan dengan karakteristik
peserta didik dan kebermanfaatannya.
Oleh sebab itu, sangat penting adanya pertimbangan dalam memilih bahan
ajar novel, analisis yang digunakan dalam pembelajaran, seperti halnya
pertimbangan-pertimbangan yang telah dibahas sebelumnya. Namun, pada
kenyataan di lapangan, penggunaan bahan ajar, khususnya dalam kaitannya dengan
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yang bercorak budaya dan kearifan lokal
masih jarang sekali digunakan di sekolah.
8

Terutama novel yang bercorak budaya dan kearifan lokal yang ada di sekitar
lingkungan peserta didik. Oleh sebab itu, penggunaan bahan ajar yang memiliki
corak budaya dan kearifan lokal sangat perlu dilakukan oleh para pendidik.
Penggunaan bahan ajar yang demikian menjadi sangat penting demi melihat
generasi muda Indonesia masa kini, terutama siswa SMA banyak mengadopsi
budaya barat yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Sebuah
pendekatan pengkajian karya sastra sangat penting digunakan untuk menganalisis
sebuah karya sastra, khususnya novel.
Pendekatan antropologi sastra digunakan untuk memahami unsur budaya
dan kearifan lokal yang ada di dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
Dengan adanya kajian budaya dan kearifan lokal yang ada di dalam novel tersebut,
siswa SMA diharapkan dapat mengambil manfaat yang tersirat di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dapat peneliti rumuskan sebagai
berikut.
1. Bagaimana unsur budaya dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono ?
2. Bagaimana kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono ?
3. Bagaimana implikasi unsur budaya dan kearifan lokal pada pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di SMA ?

C. Batasan Masalah
Masalah yang terlalu luas akan berakibat suatu penelitian tidak atau kurang berhasil.
Selain itu, masalah yang terlalu luas akan mengakibatkan kekaburan bagi
masalah yang diteliti. Agar masalah dapat dikaji dengan mendalam, perlu
adanya pembatasan masalah dalam penelitian ini. Batasan masalah penelitian ini
yaitu sebagai berikut.
1. Kajian antropologi sastra terhadap novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono
terfokus hanya pada isi atau muatan teks sastra.
9

2. Kajian antropologi sastra yang akan dilakukan terfokus pada unsur-unsur


budaya dan kearifan lokal yang ada di dalam novel yang meliputi 14 sistem
religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan hidup
manusia pada novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
3. Arah dari kajian ini difungsikan untuk perencanaan pembelajaran analisis teks
novel di SMA. Dengan adanya pembatasan masalah tidak akan terjadi
penyimpangan terhadap penelitian yang dilakukan sehingga penelitian masih
berada dalam lingkup yang akan diteliti.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian dengan judul “Unsur Budaya dan Kearifan Lokal dalam novel Dasamuka
karya Junaedi Setiyono (melalui pendekatan Antropologi Sastra) serta implikasi
Pembelajaran di SMA”, bertujuan untuk mendeskripsikan:
1. unsur budaya dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono;
2. kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono;
3. implikasi pembelajaran analisis novel dengan pendekatan antropologi sastra
karya Junaedi Setiyono di SMA.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat kajian antropologi sastra dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono
dibagi menjadi dua, yaitu secara teoretis dan praktis.
1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan wawasan dan memperkaya khasanah penelitian mengenai unsur
budaya dan kearifan lokal melalui kajian antropologi sastra terhadap novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
2. Manfaat Praktis Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat baik
bagi peneliti, pendidik, peserta didik, sekolah, maupun peneliti lanjutan.
a. Bagi Peneliti
10

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan acuan dalam


melaksanakan penelitian selanjutnya atau penelitian serupa di masa yang akan
datang.
b. Bagi Pendidik
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu alternatif
pembelajaran sastra yang efektif untuk menanamkan nilai budaya dan kearifan
lokal kepada peserta didik dan menumbuhkan rasa cinta peserta didik pada
karya sastra khususnya novel.
c. Bagi Peserta Didik
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan kepada
peserta didik untuk memahami karya sastra serta mampu merefleksikan budaya
dan kearifan lokal dalam kehidupan.
d. Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
mempersiapkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pada
kompetensi dasar analisis teks fiksi dalam novel.
e. Bagi Peneliti Lanjutan/Berikutnya
Penelitian ini diharapkan dapat membantu penulis selanjutnya sebagai
acuan serta dapat menambah wawasan mengenai sastra khususnya dalam
bidang budaya dan kearifan lokal dalam pendidikan.

F. Definisi Istilah
1. Unsur budaya merupakan bagian-bagian yang membangun kebudayaan di
suatu tempat. Adapun unsur budaya tersebut meliputi sistem religi, sistem
dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian,
sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan hidup
manusia.
2. Kearifan lokal merupakan sebagian kecil atau intisari dari kebiasaan-
kebiasaan kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal memiliki ciri-ciri
11

universal dalam arti bahwa gejala tersebut hadir di berbagai komunitas,


meskipun dikemukakan dengan bahasa yang berbeda-beda.
3. Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono merupakan salah satu bahan
pembelajaran yang digunakan untuk mengenalkan budaya dan kearifan lokal
kepada peserta didik, serta sebagai upaya internalisasi nilai budaya dan
kearifan lokal kepada peserta didik.
4. Implikasi adalah keterlibatan suatu ilmu tertentu terhadap pendidikan,
keterlibatan tersebut berperan dalam mematangkan berbagai konsep
pendidikan dari segi landasan pendidikan itu sendiri.
5. Antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra yang berbicara tentang
manusia berbudaya di dalam kehidupan nyata, sedangkan sastra adalah hasil
budaya manusia.
12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Antropologi Sastra
Penelitian antropologi sastra merupakan celah baru penelitian sastra.
Penelitian
yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu, masih jarang diminati. Padahal
sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dengan penelitian
antropologi sastra. Maksudnya, penelitian sastra dapat mengungkap berbagai hal
yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih
leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra
maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia.
Antropologi berbicara tentang manusia berbudaya di dalam kehidupan
nyata, sedangkan sastra merupakan hasil budaya manusia. Di samping sebagai hasil
budaya, sastra juga membicarakan manusia yang berbudaya dalam ranah imajinatif
penulisnya. Jadi, antara antropologi dengan sastra memiliki hubungan yang erat.
Secara istilah antropologi berasal dari kata anthropos (Yunani) yang memiliki arti
ilmu pengetahuan untuk mempelajari hakikat manusia, baik secara jasmaniah
maupun rohaniah.
Senada dengan pernyataan tersebut, Koentjaraningrat (2009: 9) menyatakan
bahwa antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia. Kemudian,
pernyataan-pernyataan tersebut disempurnakan oleh Haviland yang menyatakan
bahwa antropologi merupakan penelitian tentang manusia yang berusaha menyusun
generalisasi yang bermanfaat bagi manusia untuk menuntun perilaku dan untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman budaya. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia
berbudaya.
13

Sastra merupakan warisan budaya yang memuat potret keanekaragaman


budaya dalam masyarakat. Oleh sebab itu, antropologi dan sastra memiliki
kedekatan. Antropologi berbicara tentang manusia berbudaya di dalam kehidupan
nyata, sedangkan sastra merupakan hasil budaya manusia. Di samping sebagai hasil
budaya, sastra juga membicarakan manusia yang berbudaya dalam ranah imajinatif
penulisnya. Jadi, antara antropologi dengan sastra memiliki hubungan yang sangat
erat.
Terdapat beberapa aspek penting yang menyebabkan kedekatan antara sastra
dan antropologi, yaitu (a) keduanya sama-sama memperhatikan aspek manusia
dengan seluruh perilakunnya; (b) manusia adalah makhluk yang berbudaya,
memiliki daya cipta rasa kritis untuk mengubah hidupnya; (c) antropologi dan sastra
tidak alergi pada fenomena imajinatif kehidupan manusia yang lebih indah dari
warna aslinya; (d) banyak wacana lisan dan sastra lisan yang menarik minat para
antropolog dan ahli sastra; (e) banyak interdisiplin yang mengitari bidang sastra dan
budaya hingga menantang munculnya antropologi sastra. Lima aspek ini menandai
bahwa adat istiadat, tradisi, seremonial, mitos, dan sejenisnya banyak menarik
perhatian sastrawan untuk mewarnai karya-karya yang dilahirkannya.Ratna (2015:
351) menyatakan bahwa antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra
dengan relevansi manusia (anthropos).
Antropologi dibagi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan
antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti:
bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, dan karya seni, khususnya karya
sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh
manusia, yaitu kompleks ide, kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka
antropologi sastra memusatkan pada kompleks ide. Sedikit berbeda dengan
pandangan Ratna, antropologi sastra dalam pandangan Poyatos adalahilmu yang
mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya.
Penelitian budaya dalam sastra diyakini sebagai sebuah refleksi kehidupan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa antropologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari
14

tentang manusia beserta budaya yang melingkupinya. Studi antropologi mulai


berkembang pada awal abad ke-20 pada saat negara-negara kolonial, khususnya
Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropa dalam rangka mengetahui sifat
bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan
studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural suatu bangsa
tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber yang sangat
penting.
Melalui kajian antropologi sastra terhadap karya-karya sastra suatu daerah
atau negara dapat diketahui bagaimana kondisi kultural yang ada di daerah atau
negara tersebut. Kondisi kultural adalah kondisi yang khas di dalam suatu daerah atau
negara tersebut yang tidak terdapat di daerah lain, misalnya kondisi geografis, bahasa,
adat istiadat, mata pencaharian penduduknya, kemajuan peradaban masyarakatnya,
dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut antara daerah atau negara yang satu dengan yang lain memiliki
perbedaan. Salah satu cara untuk mengetahui ciri khas tersebut yaitu dengan kajian
antropologi sastra.
Dalam ruang lingkup regional dan nasional antropologi sastra perlu dibina dan
dikembangkan. Polemik kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh pikiran-pikiran
Sutan Takdir Alisyahbana tidak semata-mata berorientasi ke Barat, sebagaimana
ditanggapi oleh
kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, polemik kebudayaan bermaksud untuk
menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasar-dasar berpikir yang dapat
digunakan untuk mengembangkan modelmodel kesenian berikutnya, khususnya
kesusastraan.
Ratna (2015: 352) menyatakan bahwa dengan memanfaatkan bahasa
Indonesia yang secara definitif sudah mulai digunakan sejak kebangkitan Nasional
tahun 1908, yang kemudian disahkan dalam. Sumpah pemuda tahun 1928, karya
sastra Indonesia modern diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa,
baik intelektual maupun emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya
15

merupakan kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya


diharapkan mampu unttuk memberikan keseimbangan antara perkembangan
teknologi dan perkembangan spiritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan
hasil imajinasi, perlu diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai
antropologis ‘dipermain-mainkan’, disitulah inti penelitan antropologi sastra. Karya
sastra yang diungkapkan melalui bahasa dari periode ke periode, dari sastra melayu
klasik sampai sastra modern mengungkap perkembangan budaya Indonesia. Oleh
sebab itu, kajian dengan pendekatan antropologi terhadap karya sastra penting untuk
dilakukan.
Karya sastra menjadi pandangan sisi lain etnografi Indonesia yang dituliskan
oleh para etnograf maupun antropologi. Karya sastra memiliki ciri subjektif karena
berasal dari imajinasi manusia, berbeda dengan etnografi yang ditulis berdasarkan
objek yang ada. Namun, latar belakang penulis turut ikut di dalam proses lahirnya
karya sastra maupun karya etnografi sehingga keduanya dapat dijadikan rujukan
pengetahuan budaya manusia.
Pendekatan antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan arketipal, yaitu
karya sastra merupakan warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat
terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern Oleh sebab itu, penelitian
antropologi sastra dapat mengkaji keduanya dalam bentuk paparan etnografi. Paparan
Endraswara tersebut di perjelas dengan pernyataan Ratna (2015: 353) yang
menyatakan bahwa dalam paparan etnografi itu, antropologi sastra memberikan
perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan
kebiasaan-kebiasaan lainnya.
Menurut Bernard, pada umumnya penelitian antropologi sastra mayoritas
bersumber pada tiga hal, yaitu manusia/orang, artikel tentang sastra, atau bibliografi.
Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan peneliti sastra untuk
mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang
sebagai documentation resources. Pendapat Bernard ini mendukung pernyataan
Endraswara dan Ratna tersebut yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan
16

sumber informasi mengenai manusia yang berbudaya. Budaya manusia dan kearifan
lokal dikaji dalam antropologi sastra. Endraswara (2013: 109-110) dalam bukunya
yang berjudul Metodologi Penelitian Antropologi Sastra menyatakan bahwa analisis
antropologi sastra digunakan untuk mengungkap beberapa hal, antara lain:
(a) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-uang masih dilakukan dalam
cipta sastra. Kebiasaan leluhur melakukan semedi, melantunkan pantun,
mengucapkan mantra-mantra, dan sejenisnya menjadi fokus penelitian;
(b) mengungkap akar tradisi atau subkultural serta kepercayaan seorang penulis
yang terrpantul dalam karya sastra. Dalam kaitan ini tema-tema tradisional
yang diwariskan turun temurun akan menjadi perhatian tersendiri;
(c) kajian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa
mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya sastra;
(d) proses pewarisan sastra tradisonal dari waktu ke waktu;
(e) kajian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang
mengitari karya sastra tersebut;
(f) simbol-simbol mitologi dan pola pikir masyarakat pengagumnya. Dari
keenam hal yang biasa diungkap dari kajian antropologi sastra, penulis
mengambil fokus pada poin kajian yang diarahkan pada unsur-unsur etnografi
atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut. Kajian ini
dimaksudkan untuk mengkaji novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono pada
unsur budaya yang mengitari lahirnya karya tersebut, yaitu budaya Jawa.

B. Budaya
Budaya merupakan bukti peradaban manusia. Budaya dimiliki oleh seluruh
suku bangsa di dunia. Dalam pandangan masyarakat umum, budaya diidentikkan
dengan sesuatu yang sifatnya masa lampau dan tradisional. Padahal sesungguhnya
budaya sudah ada sejak zaman prasejarah hingga sekarang dan akan terus ada sampai
punahnya kehidupan manusia. Jadi, antara manusia dengan budaya memiliki
17

hubungan yang sangat erat. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang memiliki arti “budi” atau
“akal”. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal. Dalam pendapat lain juga dipaparkan bahwa
budaya berasal dari kata majemuk budi-daya yang berarti kekuatan dari akal. Berbeda
dengan definisi yang diungkapkan Koentjaraningrat tersebut.
Endraswara (2013: 10) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat,
dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran
dan tingkah laku. Sama dengan yang diungkapkan Endraswara, Tylor juga
mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan aktivitas manusia
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan
lain. Senada dengan pernyataan Endraswara dan Tylor tersebut, Ruth Benedict
mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan
tertentu yang terungkap dalam aktivitas, Pendapat-pendapat tersebut memiliki simpul
bahwa kebudayaan merupakan tata cara aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-
hari yang memancarkan identitas tertentu.
Poespowardojo mengatakan bahwa kebudayaan disalurkan dari generasi ke
generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik. Sementara itu Marvin Harris
menyatakan bahwa kebudayaan merupakan seluruh aspek kehidupan manusia dalam
masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.
Senada dengan yang dinyatakan oleh Harris.
Koentjaraningrat (1985: 1-2) mengatakan bahwa konsep kebudayaan
merupakan seluruh totalitas dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak
berakar pada nalurinya, dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses
belajar. Dari pendapat beberapa pakar di atas dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa kebudayaan merupakan sebuah pola aktivitas kehidupan manusia sehari-hari
seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-
kebiasaan lain yang didasarkan adanya proses belajar sebelumnya.
18

Jadi, hal-hal yang tidak termasuk kebudayaan hanyalah beberapa tindakan


spontan yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu perbuatan yang sebenarnya juga
merupakan perbuatan naluri, seperti makan misalnya, oleh manusia dilakukan dengan
peralatan, dengan tata cara sopan santun dan protokol sehingga hanya bisa
dilakukannya dengan baik sesudah suatu proses belajar tata cara makan, termasuk
kebudayaan. Hal ini yang membedakan antara manusia dengan binatang. Manusia
berakal sehingga manusia termasuk makhluk berbudaya, sedangkan binatang tidak
berakal sehingga binatang termasuk makhluk tak berbudaya. Oleh sebab itu, yang
menjadi bahan kajian dalam antropologi sastra adalah manusia.
1. Unsur-Unsur Budaya
Unsur budaya merupakan bagian-bagian yang membangun kebudayaan di
suatu tempat. Unsur-unsur budaya pasti ditemukan dalam kebudayan di
seluruh dunia, baik yang hidup di masyarakat pedesaan yang kecil terpencil
maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks. Unsur-unsur
budaya juga pasti ditemukan di setiap zaman, dari masa prasejarah hingga
masa kini dan masa depan. Berikut ini merupakan unsur-unsur budaya
menurut Ratna dan Koenjaraningrat.
Unsur Budaya menurut Ratna. Tujuh unsur budaya menurut Ratna (2011: 395-396)
adalah sebagai berikut:
a. peralatan kehidupan manusia;
b. mata pencaharian;
c. sistem kemasyarakatan;
d. sistem bahasa (dan sastra);
e. kesenian dengan berbagai jenisnya;
f. sistem pengetahuan;
g. sistem religi.
Unsur Budaya menurut Koenjaraningrat, tujuh unsur budaya menurut
Koentjaraningrat (1985:2) adalah sebagai berikut:
a. sistem religi;
19

b. sistem dan organisasi kemasyarakatan;


c. sistem pengetahuan;
d. bahasa;
e. kesenian;
f. sistem mata pencaharian hidup;
g. sistem peralatan hidup dan teknologi.

Kendatipun pendapat Ratna senada dengan pendapat Koentjaraningrat, tetapi


ketujuh unsur budaya tersebut memiliki perbedaan. Koentjaraningrat (1985: 2)
menyatakan bahwa susunan tata urut dari ketujuh unsur-unsur kebudayaan tersebut
dibuat dengan sengaja untuk sekalian menggambarkan unsur-unsur yang paling sukar
berubah atau mendapatkan pengaruh kebudayaan lain, dan yang paling mudah
berubah atau diganti dengan unsur-unsur serupa dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Dalam tata urut tersebut terlihat bahwa unsur-unsur yang berada di bagian atas dari
deretan merupakan unsur-unsur yang lebih sukar berubah dari pada unsur-unsur yang
di bawahnya. Sistem religi merupakan sistem yang sangat sulit berubah karena sudah
menjadi kepercayaan yang ditanamkan sejak lahir, sedangkan sistem teknologi
mudah sekali berubah seiring perkembangan zaman. Adapun ketujuh unsur yang
dinyatakan oleh Ratna tidak memiliki kepakeman yang mengharuskan ketujuh unsur
tersebut tersusun secara urus.
Perbedaan unsur budaya yang dipaparkan oleh Ratna dan Koentjaraningrat
juga terlihat pada paparan dari setiap unsur. Sebagai Antropolog, Koentjaraningrat
memaparkan unsur budaya berdasarkan pola aktivitas manusia dalam masyarakat,
sedangan Ratna, sebagai seorang akademisi dalam bidang sastra, memaparkan
ketujuh unsur berdasarkan pola aktivitas manusia dalam karya sastra. Oleh sebab itu,
penelitian ini menggunakan teori gabungan antara teori unsur budaya Ratna dengan
unsur budaya Koentjaraningrat untuk mengkaji novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono.
a). Sistem religi
20

Istilah religi diturunkan dari akar kata religio (Latin) berkaitan deengan
kepercayaan, keyakinan. Pengertian religi dianggap lebih luas dibandingkan dengan
agama. Religi dengan sendirinya meliputi seluruh sistem kepercayaan, pada
umumnya berlaku dalam kelompok-kelompok terbatas, sedangkan agama mengacu
hanya pada agama formal, keberadaannya memperoleh pengakuan secara hukum.
Sistem religi, menyangkut sistem ilmu gaib. Semua aktivitas manusia yang
bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya
disebut emosi keagamaan (religious emotion).
Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun
getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk
kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang
melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Suatu sistem religi dalam suatu
kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi
keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya.
Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu
religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu: (1) sistem keyakinan, (2) sistem
upacara keagamaan, (3) umat yang menganutnya. Sistem upacara keagamaan secara
khusus mengandung empat aspek yaitu: (1) tempat upacara keagamaan, (2) waktu
upacara keagamaan, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, (4) orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara (Koentjaraningrat, 2009: 295-296). Unsur religi
menyangkut agama, baik agama samawi maupun agama duniawi dan kepercayaan
yang biasanya dianut oleh sekelompok masyarakat berdasarkan kultural yang ada di
dalamnya.
Agama dan kepercayaan memiliki unsur sistem keyakinan berupa keyakinan-
keyakinan terhadap ajaran yang dianut; sistem upacara keagamaan berupa ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang bersangkutan; dan unsur umat yang
menganutnya. Dalam unsur sistem upacara keagamaan terdapat empat aspek, yaitu
tempat ibadah, waktu ibadah, alat ibadah, dan umat yang melakukan ibadah. Hal-hal
tersebut yang akan dikaji di darri novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
21

b). Sistem dan organisasi kemasyarakatan


Dalam tiap kehidupan masyarakat, unsur-unsur khusus dalam organisasi
kemasyarakatan diorganisasi atau diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana individu hidup dan
bergaul sehari-hari. Kesatuan sosial yang paling dekat adalah kesatuan kekerabatan,
yaitu keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-
kesatuan di luar kaum kerabat, tetapi masih dalam lingkungan komunitas atau
kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat ini terbagi menjadi lapisan-lapisan
tingkat sosial. Setiap orang di luar kaum
kerabatnya menghadapi lingkungan orang-orang yang lebih tinggi tingkat sosialnya
dan yang sama tingkat sosialnya (Koentjaraningrat, 2009: 285).
Di dalam kelompok-kelompok masyarakat tersebut manusia saling
berinteraksi membentuk budaya. Sebagai bentuk narasi etis estetis, dalam karya
sastra, masalah yang paling banyak diungkapkan adalah sistem kekerabatan dengan
berbagai implikasinya. Sistem kekerabatan melibatkan sistem komunikasi dari
kelompok manusia yang paling kecil, sebagai tatap muka hingga kelompok yang
paling besar, sebagai masayarakat itu sendiri. Kelompok terkecil dalam hubungan ini
juga termasuk hubungan suami istri, sebagai keluarga inti, melaluinya akan
berkembang model hubungan kekerabatan lain yang lebih luas. Model hubungan
inilah yang mendasari mekanisme penyusunan cerita dalam berbagai bentuknya
(Ratna, 2011: 405).
Sistem kekerabatan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban.
Secara tradisional karya sastra bercerita tentang hubungan suami sitri, anak dengan
orang tua, dengan tetangga terdekat, sesuai dengan mekanisme komunikasi. Dengan
adanya mobilitas manusia, sistem antar hubungan pun semakin bertambah luas.
Perkawinan antar keluarga, antar daerah, antar suku, bahkan antar bangsa (Ratna,
2011: 409).
Di samping itu hubungan kekerabatan juga dapat terlihat dari hubungan
dalam dunia kerja maupun dunia politik. Lebih luas lagi, sistem kekerabatan dalam
22

masyarakat, tercermin dalam kehidupan keluarga, perkawinan, tolongmenolong Antar


kerabat, sopan-santun pergaulan antarkerabat, sistem istilah kekerabatan, sistem
politik, sistem hukum dan sebagainya (Koentjaraningrat, 2009: 287). Antara satu
sistem kultur daerah satu dengan yang lain memiliki perbedaan dalam sistem
kekerabatan ini. Sisitem kekerabatan budaya Jawa ini yang akan dikaji dari novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
c). Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan, merupakan suatu uraian tentang
cabang-cabang pengetahuan yang dimiliki masyarakat, menyangkut pengetahuan
tentang: (1) alam sekitarnya, (2) alam flora di daerah tempat tinggalnya, (3) alam
fauna di daerah tempat tinggalnya, (4) zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam
lingkungannya, (5) tubuh manusia (6) sifat-sifat dan tingkah sesama manusia; dan (7)
ruang dan waktu (Koentjaraningrat, 2009: 291).
Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan, sistem pengetahuan jelas
bertentangan dengan sistem sastra, ilmu pengetahuan merupakan objektivitas empiris,
karya sastra merupakan subjektivitas imjinatif sehingga keduanya seolah-olah tidak
bisa dipertemukan. Meskipun demikian, sebagai interdisiplin, untuk memahaminya
secara bersama-sama ada tiga cara yang dapat dilakukan. Pertama, ilmu pengetahuan
dianggap sebagai muatan, diceritakan sebagai salah satu unsur di antara unsur-unsur
yang lain. Kedua, menganggap bahwa karya sastra bukan semata-mata imajinasi,
dengan berbagai petunjuk karya sastra itu sendiri juga merupakan ilmu pengetahuan.
Pada gilirannya, pada tataran berbeda, dengan cara yang berbeda pengarang adalah
ilmuwan. Ketiga, sebagai bentuk, wadah, karya sastra bersifat terbuka. Karya sastra
dapat menyajikan bermacam-macam aspek kebudayaan, baik secara fragmentaris
maupun keseluruhan (Ratna, 2011: 425).
d). Bahasa
Koentjaraningrat (2009: 261) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem
perlambangan manusia yang berbentuk lisan maupun tulisan untuk berkomunikasi
satu dengan yang lain. Dalam karangan etnografi, bahasa masyarakat tercermin dalam
23

rangkaian kata-kata dan kalimat yang diucapkan oleh suku bangsa, beserta variasi-
variasi dari pemilik bahasa itu.
Bahasa dalam arti seluas-luasnya merupakan warisan biologis tetapi proses
perkembangannya terjadi melalui proses belajar. Belum ditemukan jawaban mengapa
seorang bayi yang baru keluar dari rahim ibunya secara serta merta dapat menangis.
Tangis, tawa, tatapan mata, dan berbagai gerak tubuh bayi yang baru lahir adalah
bahasa. Dengan terjadinya perkembangan biologis yang dengan sendirinya diikuti
oleh perkembangan psikologi, maka melalui pengaruh lingkungan terjadilah
perkembangan bahasa tersebut. Dalam ruang lingkup yang lebih luas setiap
komunitas, kelompok tertentu memiliki bahasa, yang dapat diperluas sebagai bahasa
etnis tertentu, seperti bahasa Bali, Jawa, Sunda dan sebagainya, bahasa bangsa
tertentu, seperti bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan sebagainya, dan bahasa dunia
seperti bahasa Inggris. Dengan adanya bahasa, maka setiap kelompok masyarakat
memiliki kebudayaan tertentu.
Bahasa tidak semata-mata untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk
menempatkan seseorang pada tempat yang sesungguhny. Misalnya, di dalam budaya
Jawa terdapat perbedaan penggunaan bahasa yang ditentukan oleh lapis-lapis sosial
dalam masyarakat. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di desa, yang
dipakai dalam lapisan pegawai (priyayi), di dalam istana (keraton), para kepala
Swapraja di Jawa Tengah, berbeda-beda. Koentjaraningrat (2009: 263) menyatakan
bahwa perbedaan bahasa menurut lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan
disebut tingkat sosial bahasa (social kevels of speech).

e) Kesenian
Kesenian sebagai unsur kebudayaan, merupakan ekspresi hasrat manusia akan
keindahan. Ada dua macam seni yang penting di sini yaitu: (1) seni rupa, atau
kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan (2) seni suara, atau kesenian
24

yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Seni rupa ada berupa seni patung, seni
relief (termasuk seni ukir), seni lukis serta gambar, dan seni rias, sedangkan seni
musik ada yang
vokal (menyanyi) dan ada yang istrumen (dengan alat bunyibunyian)
(Koentjaraningrat, 2009: 298). Yang dimaksud dengan karya seni dalam hubungan
dengan kajian antropologi sastra adalah karya-karya seni yang terkandung dalam
karya sastra, karya seni sebagai muatan (Ratna, 2011: 422). Unsur karya seni banyak
menghiasi karya sastra yang ikut membangun alur cerita di dalam karya sastra.
Misalnya, karya sastra yang mengisahkan tentang seorang seniman lukis. Maka,
unsur budaya, dalam hal ini seni, banyak menghiasi karya tersebut.
f). Sistem mata pencaharian hidup
Untuk mempertahankan hidup, manusia harus dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan biologis dan sosial, seperti makan, minum, dan bekerja sama. Oleh sebab
itu, manusia harus bisa bekerja atau memiliki mata pencaharian. Sistem mata
pencaharian dapat diperinci ke dalam beberapa jenis seperti: perburuan, peladangan,
pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan, industri, kerajinan, industri
manufaktur, dll. Tiap
jenis mata pencaharian tadi, terkait dengan sistem sosialnya, sisem sosial yang
berlaku dan diberlakukan di dalam berinetraksi dan bekerjasama dalam kaitannya
dengan mata pencaharian disebut sebagai adat. Adat dalam sistem sosial tercermin
dari keteraturan dalam berbagai aktifitas sosialnya. Sedangkan adat yang
dimanifestasikan dalam wujud fisik yang berupa berbagai peralatan yang tentunya
merupakan bendabenda kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009: 275-285).
Dalam seluruh kehidupan manusia, mata pencaharian merupakan masalah
pokok karena keberlangsungan kehidupan terjadi semata-mata dengan dipenuhinya
berbagai bentuk kebutuhan jasmani (Ratna, 2011: 400). Dalam karya sastra baik
langsung maupun tidak langsung, mata pencaharian dengan sendirinya dikemukakan
secara estetis. Berbagai bentuk peribahasa digali melalui kekayaan alam sebagai bukti
bahwa antara manusia dengan alam sekitar memiliki hubungan tak terpisahkan.
25

Contoh: seperti ilmu padi, semakin berisi, semakin merunduk. Selain itu, di dalam
prosa fiksi seringkali alur cerita dipengaruhi oleh pekerjaan tokoh dalam cerita.
g) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam teknologi tradisional dikenal paling sedikit 8 (delapan) macam sistem
peralatan dan unsur kebudayaan fisik. Kedelapan sistem peralatan dan unsur
kebudayaan fisik dipakai oleh manusia hidup dalam masyarakat pedesaan yang hidup
dalam masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup
dari pertanian, berupa: (1) alat-alat produktif, (2) senjata, (3) wadah, (4) alat-alat
menyalakan api, (5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu44 jamu,
(6) pakaian dan perhiasan, (7) tempat berlindung dan perumahan, (8) alat-alat
transportasi (Koentjaraningrat, 2009: 263-275). Dalam perkembangan peradaban,
teknologi tradisional tersebut berkembang menjadi teknologi modern. Namun, Baik
teknologi tradisional maupun teknologi modern sama-sama merupakan budaya yang
dimiliki oleh manusia.
Dalam karya sastra masalah-masalah peralatan hidup
tidak dilukiskan secara kronologis, melainkan secara fragmentaris sesuai dengan
struktur penceritaan. Ceritalah yang menjadi masalah utama, di dalamnya berbagai
bentuk peralatan menjadi pelengkap (Ratna, 2011: 397). Peralatan itu pun tidak
banyak dijelaskan, melainkan semata-mata disinggung sebagai data untuk menunjuk
terjadinya suatu peristiwa (Ratna, 2011: 400). Karya sastra yang baik, menunjukkan
dengan jelas penggunaan peralatan sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi, latar
secara keseluruhan, sekaligus menghindarkan terjadinya anakronisme (Ratna, 2011:
399).
C. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata
kehidupan bermasyarakat Sejalan dengan pernyataan Sjarif, Kearifan lokal menurut
Utomo (2014: 10) adalah nilai-nilai luhur dari budaya bangsa yang ada di tengah-
tengah masyarakat di setiap daerah. Nilai kearifan itu dapat bersumber pada petuah
leluhur, ajaran budaya, cerita rakyat, sejarah maupun adat istiadat. Jadi dapat
26

disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan nila-nilai luhur dari budaya yang
berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat yang bersumber pada petuah leluhur,
ajaran budaya, cerita rakyat, sejarah maupun adat istiadat yang berfungsi untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup (fisik dan non fisik) secara lestari.
Lokal tidak harus diartikan sebagai sesuatu yang sederhana, sempit, rendah,
dan nilai-nilai lainnya. Sebaliknya, berbagai kebijaksanaan lokal, pengetahuan
tradisional, dan berbagai bentuk kebudayaan setempat yang lain, sebagai sesuatu
yang pernah dipinggirkan, dimarginalisasikan, diangkat kembali ke permukaan,
dijadikan sebagai isu utama, bahkan ditempatkan pada posisi pusat.
Dalam banyak hal, kebijaksanaan lokal mampu mengantisipasi berbagai
permasalahan, terrmasuk yang terjadi di dunia kontemporer. Misalnya dalam bidang
pengobatan. Seiring perkembangan zaman penyakit banyak sekali bermunculan.
Menghadapi permasalahan yang demikian, bidang kesehatan terus mencari formula
pengobatan yang pas untuk mengatasinya. Namun, di sisi lain pengobatan tradisional
warisan nenek moyang juga mulai digali kembali untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Kearifan lokal (local wisdom) menurut pemahaman lain sering dikacaukan
dengan kebudayaan lokal (local culture). Di samping itu istilah lain yang sering
muncul adalah pengetahuan lokal (local knowledge).
Secara definitif, baik kearifan lokal maupun pengetahuan lokal jelas
merupakan bagian kebudayaan lokal. Kearifan lokal dan pengetahuan lokal hanyalah
sebagian kecil, intisari kebiasaan-kebiasaan kelompok masyarakat tertentu (Ratna,
2011: 91). Kearifan lokal memiliki ciri-ciri universal dalam arti bahwa gejala tersebut
hadir di berbagai komunitas, meskipun dikemukakan dengan bahasa dan cara yang
berbeda-beda. Misalnya dalam upacara adat pernikahan di Indonesia. Salah satu
prosesi pernikahan yang ada di Indonesia, pada hampir seluruh sukunya, terdapat
prosesi lamaran dan seserahan. Namun, antara adat yang satu dengan yang lain
memiliki nama dan prosesi berbeda-beda, sesuai dengan kultur budaya yang ada di
dalamnya. Sebagai warisan budaya, kearifan lokal perlu dipelihara dan dilestarikan.
Dalam kebudayaan lokal, selain sistem norma juga terkandung pengetahuan lokal,
27

pengetahuan tradisional, yaitu berbagai konsep, bahkan teori yang sudah digunakan
oleh nenek moyang dalam rangka menopang keberlangsungan kehidupannya.
Pada masa nenek moyang dahulu tidak dikenal adanya pupuk kimia untuk
menambah kuantitas produk padi. Mereka menggunakan pupuk alami untuk dijadikan
penyubur tanaman, sedangkan masa sekarang petani menggunakan berbagai macam
pupuk kimia untuk meningkatkan kuantitas produk padi. Namun, sekarang mulai
digalakkan lagi padi organik untuk mengembalikan hidup sehat. Dalam hal ini lah
kearifan lokal berperan dalam menopang keberlangsungan hidup.
Ratna (2011: 94) mengemukakan tiga fungsi utama kearifan lokal sebagai
pendukung kearifan nasional adalah sebagai berikut.
a. Kearifan lokal merupakan semen pengikat berbagai bentuk kebudayaan
yang sudah ada sehingga disadari keberadaannya. Oleh sebab itu, kearifan
lokal diharapkan dapat dipelihara dan dikembangkan secara optimal.
b. Kearifan lokal berfungsi untuk mengantisipasi, menyaring, bahkan
mentransformasikan berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga sesuai
dengan ciri-ciri masyarakat lokal. Makin kuat daya tahan kearifan lokalnya,
maka masyarakat yang bersangkutan makin stabil.
c. Kearifan lokal dengan demikian berfungsi untuk memberikan sumbangan
terhadap kebudayaan yang lebih luas, baik nasional maupun internasional
D. Implikasi Pembelajaran Sastra di SMA
Keterlibatan suatu ilmu tertentu terhadap pendidikan, keterlibatan tersebut
berperan dalam mematangkan berbagai konsep pendidikan dari segi landasan
pendidikan itu sendiri.
1. Pembelajaran Sastra
Di dalam kurikulum pendidikan, pembelajaran sastra tidak berdiri sendiri
seperti mata pelajaran lain, melainkan terintegrasi dalam peembelajaran bahasa. Hal
ini bukan berarti membuat pembelajaran sastra tidak penting karena sesungguhnya
pembelajaran sastra sangat penting untuk membentuk karakter seseorang melalui
media hiburan (teks sastra) sebagaimana pendapat Endraswara (2013: 2) yang
28

menyatakan bahwa sastra merupakan alat untuk mengajarkan perilaku budaya


sehingga sikap dan perilaku pembaca
sastra sering dipengaruhi oleh karya sastra yang dibacanya.
Pembelajaran sastra terintegrasi di dalam pembelajaran bahasa karena media
untuk bersastra adalah bahasa sehingga terdapat kedekatan khusus di antara
keduanya. Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran yang mencakup seluruh
aspek sastra, yang meliputi teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra bandingan,
dan apresiasi sastra. Dari pendapat Ismawati tersebut dapat diketahui bahwa
pembelajaran sastra tidak hanya terkait teori sastra tetapi juga bagaimana
menumbuhkan minat apresiasi peserta didik terhadap karya sastra, baik dalam benttuk
teks puisi, drama, novel, cerpen, maupun teks sastra lainya.
2. Tujuan Pembelajaran Sastra
Tujuan pembelajaran sastra ditekankan demi terwujudnya kompetensi
bersastra atau kompetensi mengapresiasi sastra peserta didik secara memadai. Tujuan
pembelajaran sastra diarahkan agar peserta didik memeroleh sesuatu yang lebih
bernilai dibandingkan bacaan teks lain yang bukan teks sastra. Sesuatu yang bernilai
itu menurut Saryono dapat berupa pengalaman, pengetahuan, kesadaran, dan hiburan.
Dari pendapat Saryono tersebut dapat diketahui bahwa teks sastra diajarkan di
sekolah untuk memberikan pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran sosial yang
menghibur sehingga secara tidak langsung peserta didik mendapatkan pelajaran dari
teks sastra yang dibacanya.
Sementara itu, Ismawati (2013: 30) menyatakan bahwa secara garis besar
tujuan pembelajaran sastra dapat dipilah menjadi dua bagian, yakni tujuan jangka
pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah agar peserta didik
mengenal cipta sastra dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait
dengannya. Di samping itu, peserta didik dapat memberi tanggapan atau pertanyaan
tentang cipta sastra yang dibacanya; peserta didik dapat menyelesaikan tugas-tugas
pengajaran sastra; mengunjungi kegiatan sastra; menyatakan tertarik dengan kegiatan
pengajaran sastra; dan memilih kegiatan sastra di antara kegiatan lain yang
29

disediakan. Sementara itu, tujuan pembelajaran sastra jangka panjang adalah


terbentuknya sikap positif terhadap sastra dengan ciri, peserta didik mempunyai
apresiasi yang tinggi terhadap karya sastra dan dapat membuat indah dalam setiap
fase kehidupannya sebagaimana pepatah mengatakan dengan seni (sastra) hidup
menjadi lebih indah.
Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia, khususnya peserta didik. Sastra tidak sekadar sebagai hiburan atau suatu
ilmu yang harus dipelajari, melainkan bagian hidup dari peserta didik itu sendiri.
Oleh sebab itu, pembelajaran sastra perlu mendapat porsi khusus di dalam
pembelajaran di sekolah. Semua itu dapat diperoleh melalui pembelajaran sastra dari
teks-teks sastra secara langsung.

3. Fungsi Pembelajaran Sastra


Sebuah pembelajaran harus memiliki fungsi tertentu baik bagi peserta didik
sendiri maupun bagi lingkungan peserta didik berada. Begitu pula dengan
pembelajaran sastra pembelajaran sastra harus memiliki fungsi tertentu, terutama bagi
peserta didik sendiri. Menurut Ismawati (2013: 1), pembelajaran sastra memiliki
fungsi sebagai sarana untuk belajar menemukan nilai-nilai yang terdapat dalam karya
sastra yang diajarkan dalam suasana yang kondusif di bawah bimbingan guru.
Pembelajaran sastra memungkinkan tumbuhnya sikap apresiasi terhadap hal-hal yang
indah, yang lembut, yang manusiawi, untuk di internalisasikan menjadi bagian dari
karakter peserta didik yang akan dibentuk.
Selain itu, Ismawati (2013: 30-31) mengatakan bahwa pembelajaran sastra juga
berfungsi untuk mengenalkan beragam denyut kehidupan kepada pembacanya antara
lain keindahan, cinta kasih, penderitaan, kegelisahan, harapan, tanggung jawab
pengabdian, pandangan hidup, serta keadilan sehingga dapat menyadarkan pembaca
akan manfaat pembelajaran sastra.
30

Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa fungsi pembelajaran sastra


adalah untuk mengenalkan beragam denyut kehidupan kepada pembacanya, antara
lain keindahan, cinta kasih, penderitaan, kegelisahan, harapan, tanggung jawab
pengabdian, pandangan hidup, serta keadilan yang akhirnya memunginkan akan
terbentuknya keterampilan berbahasa, pengetahuan budaya, perkembangan daya cipta
dan rasa, juga terbentuknya watak bagi pembacanya.
4. Bahan Pembelajaran Sastra
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik dalam
pembelajaran sastra, pendidik hendaknya mampu memilih bahan ajar yang relevan
yang dapat mendidik dan dapat menambah wawasan peserta didik serta dapat
diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga tujuan dari pembelajaran itu dapat tercapai. Sumber
belajar peserta didik dapat berupa majalah, buku teks, novel, dan sumber belajar lain
yang relevan. Dalam penelitian ini mengambil penelitian pembelajaran khusus pada
teks novel. Secara garis besar bahan pembelajaran sastra dapat dibedakan ke dalam
dua golongan, yaitu bahan apresiasi tidak langsung dan apresiasi langsung
(Nurgiyantoro, 2010: 452).

Bahan apresiasi tidak langsung menyaran pada bahan pembelajaran yang


bersifat teoretis dan kesejarahan, tepatnya teori sastra dan sejarah sastra, atau
pengetahuan tentang sastra. Sementara itu, dalam pembelajaran apresiasi sastra
langsung, peserta didik secara kritis dibimbing untuk membaca dan memahami,
mengenali karakteristiknya yang khas, menunjukkan keindahan, menunjukkan
berbagai pengalaman dan pengetahuan yang dapat diperoleh, dan lain-lain
yang semuanya tercakup dalam wadah apresiasi.
Dengan adanya pembelajaran apresiasi langsung, kompetensi bersastra peserta
didik akan lebih bermakna dari sekadar pengetahuan tentang sastra. Pembelajaran ini
diharapkan mampu menjadikan peserta didik memiliki kecakapan dalam menimbang
berbagai pengalaman kehidupan melalui berbagai teks sastra; sendiri dan langsung;
31

dengan cara-cara yang menyenangkan; selalu tertantang rasa ingin tahunya; serta
tidak terbatas pada lingkup dan waktu di sekolah. Oleh sebab itu, pembelajaran sastra
yang bersifat langsung harus lebih ditekankan. Pembelajaran sastra secara langsung
ini dilaksanakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas karena jika hanya
dilaksanakan di dalam kelas waktu yang tersedia
tidak mencukupi. Di samping itu, dengan adanya pembelajaran sastra di luar kelas,
peserta didik dapat menjadikan sastra sebagai bagian dari hidup, tidak hanya sekadar
sebagai tuntutan belajar.
Berdasarkan Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
pembelajaran sastra, khususnya novel di SMA terdapat dalam kompetensi inti, yaitu
memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual,
konseptual,
prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian,
serta menerapkan
pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah. Untuk materi analisis novel terdapat dalam
kompetensi dasar 3.3, yaitu Menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan,
editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan. Pembelajaran teks sastra
di SMA khusus mempelajari teks prosa fiksi berupa novel.
Novel yang digunakan sebagai bahan ajar hendaknya mempunyai nilai
estetika yang dapat menarik minat peserta didik. Di samping itu, karya sastra yang
digunakan sebagai bahan ajar hendaknya mempunyai nilai kehidupan yang
bermanfaat bagi kehidupan peserta didik dalam lingkungan sosial masyarakat. Pada
penelitian ini, karya sastra yang dipilih sebagai materi pembelajaran sastra di SMA
adalah novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dengan kajiannya berupa kajian
atropologi sastra untuk mencari unsur budaya dan kearifan lokal yang terdapat di
dalamnya. Hal ini sesuai dengan landasan filosofis kurikulum 2013 yang menekankan
32

pada internalisasi budaya Indonesia kepada peserta didik melalui proses pembelajaran
di sekolah.
5. Metode Pembelajaran Prosa Fiksi
Dalam pembelajaran, pendidik membutuhkan cara untuk mendesain sebuah
pembelajaran agar menarik minat peserta didik dan tujuan pembelajaran tercapai
dengan maksimal. Cara tersebut disebut metode. Setiap pembelajaran membutuhkan
metode untuk
mengajarkan kompetensi kepada peserta didik, tidak terkecuali dalam pembelajaran
prosa fiksi.
Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk melaksanakan
rencana yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan
tertentu (Sanjaya, 2006: 124-125). Untuk melaksanakan suatu strategi, seorang
pendidik menggunakan seperangkat metode pembelajaran tertentu. Dalam pengertian
yang demikian maka, metode pembelajaran menjadi salah satu unsur dalam strategi
pembelajaran. Metode digunakan oleh pendidik untuk mengkreasi lingkungan belajar
dan mengkhususkan aktivitas dimana pendidik dan peserta didik terlibat selama
proses pembelajaran berlangsung. Jadi, dapat diketahui bahwa metode merupakan
cara yang digunakan oleh pendidik untuk mengkreasi lingkungan belajar demi
tercapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang telah dirancang untuk
mengaktifkan peran peserta didik di dalam pembelajaran sehingga pendidik
hendaknya mampu memilih dan menerapkan metode yang tepat untuk diterapkan
dalam pembelajaran novel di SMA. Berikut ini merupakan metode-metode
pembelajaran yang cocok untuk mengaktifkan peserta didik di dalam pembelajaran di
SMA.

6. Pembelajaran Berbasis Inkuiri


33

Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan pembelajaran yang melibatkan


peserta didik dalam merumuskan pertanyaan yang mengarahkan untuk melakukan
investigasi dalam upaya membangun pengetahuan dan makna baru. Pembelajaran
berbasis inkuiri ini melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran karena
pembelajaran beerpusat pada aktivitas peserta didik. Dengan demikian, peserta didik
memiliki kebebasan lebih luas dalam mengeksplorasi kemampuan diri.
Sanjaya (2006:194) menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri adalah rangkaian
kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan
analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab
antara guru dan siswa. Selanjunya, Sanjaya (2006:197-199) mengungkapkan bahwa
pembelajaran inkuiri dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut ini.
a) Berorientasi pada pengembangan intelektual Kriteria keberhasilan dari
proses pembelajaran dengan menggunakan strategi inkuiri bukan ditentukan sejauh
mana peserta didik dapat menguasai materi pelajaran, akan tetapi sejauh mana peserta
didik beraktivitas
mencari dan menemukan sesuatu. Jadi, penilaian nantinya tidak dilihat hanya dari
hasil belajar, tetapi juga dari proses perserta didik berinkuiri dalam pembelajaran.
b) Prinsip interaksi
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara
peserta didik maupun interaksi peserta didik dengan guru, bahkan interaksi antara
peserta didik dengan lingkungan.
c) Prinsip bertanya
Guru berrperan aktif bertanya untuk memancing pengetahuan peserta didik dan
menumbuhkan motivasi peserta didik untuk mencari tahu lebih dalam terkait
kompetensi yang sedang dipelajari.
d) Prinsip belajar untuk berpikir
Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses
berpikir, yakni proses mengembangkan seluruh potensi otak secara maksimal.
34

e) Prinsip keterbukaan
Belajar adalah suatu proses mencoba berbagai kemungkinan. Oleh sebab itu, peserta
didik perlu diberikan kebebasan untuk mencoba sesuai dengan perkembangan
kemampuan logika dan nalarnya. Dengan demikian akan tercipta generasi muda yang
kreatif, inovatif, berwawasan luas, memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tidak
bergantung dengan orang lain.
Pengajaran inkuiri dibentuk atas dasar diskoveri. Oleh sebab itu, seorang
peserta didik harus menggunakan kemampuannya berdiskoveri dan kemampuan
lainnya dalam proses pembelajaran. Dalam inkuiri, seseorang bertindak sebagai
seorang ilmuwan (scientist), melakukan eksperimen, dan mampu melakukan proses
mental berinkuiri (Hamalik, 2006). Proses berinkuiri peserta didik di dalam
pembelajaran
adalah sebagai berikut:
a. mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alami;
b. merumuskan masalah-masalah;
c. merumuskan hipotesis-hipotesis;
d. merancang pendekatan investigatif yang meliputi eksperimen;
e. melaksanakan eksperimen;
f. mensintesiskan pengetahuan;
g.memiliki sikap ilmiah, antara lain objektif, ingin tahu, keterbukaan,
menginginkan dan menghormati model-model teoretis, serta bertanggung jawab.
Inkuiri berorientasi diskoveri menunjuk pada situs-situs akademik di mana
kelompok-kelompok kecil peserta didik (umumnya antara 4-5 anggota) berupaya
menemukan jawabanjawaban atas topik-topik inkuiri. Dalam situasi-situasi tersebut,
peserta didik dapat menemukan konsep atau rincian informasi.
35

Model ini dapat dilaksanakan kepada seluruh kelas sebagai bagian dari
kegiatan-kegiatan inkuiri, yang disebut social inquiry (Hamalik, 2014: 220). Asumsi-
asumsi yang mendasari model inkuiri ini ialah:
a. keterampilan berpikir kritis dan berpikir edukatif yang diperlukan
berkaitan dengan pengumpulan data yang bertalian dengan kelompok
hipotesis;
b. keuntungan bagi siswa dari pengalaman kelompok di mana mereka
berkomunikasi, berbagi tanggung jawab, dan bersama-sama mencari
pengetahuan;
c. kegiatan-kegiatan belajar disajikan dengan semangat berbagai inkuiri dan
diskoveri menambah motivasi dan memajukan partisipasi.
Penggunaan strategi inkuiri menurut Hamalik (2014: 221) dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. mengidentifikasi dan merumuskan situasi yang menjadi fokus inkuiri
secara jelas;
b. mengajukan suatu pertanyaan tentang fakta;
c. memformulasikan hipotesis atau beberapa hipotesis untuk menjawab
pertanyaan yang sudah ditentukan pada langkah sebelumnya;
d. mengumpulkan informasi yang relevan dengan hipotesis dan menguji setiap
hipotesis dengan data yang terkumpul;
e. merumuskan jawaban atas pertanyaan sesungguhnya dan menyatakan
jawaban sebagai preposisi tentang fakta.
Adapun, Tahapan model belajar secara inkuiri yang diperkenalkan oleh
Alberta Learning adalah sebagai berikut:
a. perencanaan; yang mencakup pembuatan perencanaan untuk melakukan
inkuiri. Guru dan peserta didik perlu menentukan topik inkuiri dan memilih
sumber belajar atau umber informasi yang diperlukan.
b. mencari informasi; yang mencakup pengumpulan dan pemilihan informasi,
serta mengevaluasi informasi. Kegiatan memperoleh informasi yang
36

mencakup pelaksanaan aktivitas inkuiri untuk memperoleh informasi yang


dibutuhkan.
c. mengolah; yang mencakup analisis informasi dengan mencari hubungan
dan melakukan penarikan kesimpulan.
d. mengkreasi; yang mencakup kegiatan mengelola informasi, mengkreasi
produk, dan memperbaiki produk.
e. berbagi; yang mencakup komunikasi atau paparan hasil pada audien yang
terkait.
f. mengevaluasi; yang mencakup aktivitas evaluasi produk dan proses inkuiri
yang telah dilakukan. Kemampuan yang diharapkan adalah transfer
kemampuan dalam menangani masalah lain.
Proses inkuiri menuntut guru bertindak sebagai fasilitator, narasumber, dan
penyuluh kelompok. Peserta didik didorong untuk mencari pengetahuan sendiri,
bukan dijejali dengan pengetahuan. Strategi instruksional dapat berhasil apabila guru
memperhatikan hal-hal berikut ini.
a. Mendefinisikan secara jelas topik inkuiri yang dianggap bermanfaat bagi
peserta didik.
b. Membentuk kelompok-kelompok dengan memperhatikan keseimbangan
aspek akademik dan aspek sosial.
c. Menjelaskan tugas dan menyediakan umpan balik kepada kelompok dengan
cara yang responsif dan tepat waktu.
d. Intervensi untuk meyakinkan terjadinya interaksi antara pribadi secara sehat
dan terdapat dalam kemajuan pelaksanaan tugas.
e. Melakukan evaluasi dengan berbagai cara untuk menilai kemajuan
kelompok dan hasil yang dicapai oleh kelompok dan masing-masing
peserta didik.
Pelaksanaan strategi inkuiri kelompok di dalam suatu kelas dilaksanakan oleh
kelompok-kelompok yang terdiri dari enam kelompok, masing-masing terdiri dari
lima orang siswa, dan setiap anggota melakukan peran tertentu, yakni sebagai berikut:
37

a. pemimpin kelompok; bertanggung jawab memulai diskusi, menyiapkan


kelompok untuk mengerjakan tugas dan melengkapi tugas-tugas, bertemu
dengan guru untuk mendiskusikan kemajuan serta kebutuhan
kelompoknya, mendeskripsikan informasi dari guru kepada kelompok,
dan menyampaikan informasi kepada kelas atau kepada kelompok lainnya.
b. pencatat; membuat dan memelihara catatan, karya tulis, dan materi tulisan
kelompok, baik yang dibuat pada waktu berdiskusi maupun
membagikannya kepada anggota kelompok, serta membuat daftar centang
dan daftar hadir para anggota kelompok.
c. pemantau diskusi; berupaya memastikan bahwa diskusi berlangsung
lancar dan semua pendapat disampaikan dan dibahas dalam diskusi.
Pemantauan diperlukan agar diskusi berlangsung secara terbuka dan
mendapat dukungan.
d. pendorong; memelihara mental berdiskusi para anggota dengan teknik
menggunakan daftar centang partisipasi terhadap semua anggota kelompok.
Mendorong tiap anggota agar memberikan kontribusi dan mencoba
menggambarkan penjelasan yang lebih rinci dari para anggota kelompok.
e. pembuat rangkuman; selama berlangsung diskusi dan pada waktu menarik
kesimpulan pada setiap pertemuan inkuiri, perangkum merangkum butir-butir
pokok yang muncul dan merangkum tugas-tugas spesifik baik yang lengkap
maupun yang belum lengkap, mengundang pertanyaan-pertanyaan dari kelompok
untuk mengklarifikasikan kedudukan kemajuan dan tujuan-tujuan kelompok.
f. pengacara; bertugas melakukan dan memberikan pendapat bandingan terhadap
argumen yang disampaikan dalam diskusi terhadap pendapat yang diajukan oleh
kelompok lainnnya.
Kendatipun setiap anggota kelompok telah memiliki peran masing-masing di
dalam kerja kelompok, mereka tidak hanya menjalankan perannya semata, tetapi
secara bersamasama mencari jawaban atas rumusan masalah yang telah dirumuskan
dengan jalan berinkuiri. Sebuah metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan
38

kekurangan. Di dalam bukunya yang berjudul Strategi Pembelajaran, Sanjaya (2006:


206-207) memaparkan kelebihan dan kekurangan dari metode pembelajaran inkuiri,
sebagai berikut.
Kelebihan pembelajaran inkuiri :
a. pembelajaran inkuiri merupakan model pembelajaran yang menekankan pada
pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang sehingga
pembelajaran melalui metode ini dianggap lebih bermakna;
b. pembelajaran inkuiri memberi ruang kepada peserta didik untuk belajar sesuai
dengan gaya belajar mereka;
c. pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan
perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses
peerubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman;
d. pembelajaran inkuiri dapat melayani kebutuhan peserta didik yang memiliki
kemampuan di atas rata-rata.
Pembelajaran berbasis inkuiri memiliki kelemahan sebagai berikut:
a. Jika digunakan sebagai metode pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan
dan keberhasilan peserta didik.
b. Metode ini sulit dalam merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan
kebiasaan peserta didik dalam belajar.
c. Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang
panjang sehingga guru sering kesulitan dalam menyesuaikan dengan waktu yang
telah ditentukan.
d. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan peserta didik
menguasai materi pelajaran, maka metode inkuiri akan sulit di implementasikan
oleh setiap guru.
Dari teori metode-metode pembelajaran yang telah dipaparkan sebelumnya, pendidik
memilih metode pembelajaran inkuiri sebagai metode pembelajaran yang
diterapkan di dalam pembelajaran analisis teks novel. Pembelajaran berbasis
inkuiri ini dipilih karena pembelajaran ini sangat cocok untuk mengaktifkan
39

peserta didik dalam pembelajaran serta menumbuhkan semangat mencari ilmu,


rasa tanggung jawab, dan percaya diri bagi peserta didik baik dalam proses
pembelajaran maupun di luar proses pembelajaran.
Di samping itu, model pembelajaran inkuiri ini juga sangat sesuai dengan tahapan
pembelajaran dalam analisis teks novel. Dengan menggunakan metode inkuiri
ini, pendidik berupaya membuat design dan skenario sebaikbaiknya dengan
mempertimbangkan kondisi peserta didik untuk memaksimalkan pembelajaran di
dalam kelas. Melalui pembelajaran inkuiri ini diuapayakan siswa dapat
memaksimalkan potensinya di dalam bembelajaran. Dalam hal ini, pembelajaran
analisis novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
7 . Langkah-langkah Pembelajaran Prosa Fiksi
Pembelajaran kurikulum 2013 memiliki ciri adanya penggunaan pendekatan
saintifik. Di dalam pendekatan saintifik terdapat langkah atau tahapan di dalam
proses pembelajaran. Sebelumnya juga sudah dipaparkan bahwa salah satu model
pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah model pembelajaran inkuiri.
Berikut ini tahapan atau langkah pembelajaran prosa fiksi dengan pendekatan
saintifik menurut Sani (2014: 281- 283) yang meliputi kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti pembelajaran, dan kegiatan peutup.
1. Kegiatan pendahuluan
Aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan pendahuluan adalah sebagai berikut:
a. orientasi dimaksudkan untuk memusatkan perhatian peserta didik pada materi
yang akan dipelajari, misalnya dengan cara menunjukkan sebuah fenomena yang
menarik, melakukan demonstrasi, memberikan ilustrasi, menampilkan animasi
atau tayangan video, dan sebagainya. Guru juga perlu menyampaikan tujuan
pembelajaran sebagai upaya memberikan orientasi pada peserta didik tentang apa
yang ingin dicapai dengan mengikuti kegiatan pembelajaran.
b. apersepsi perlu dilakukan untuk memberikan persepsi awal kepada peserta didik
tentang materi yang akan dipelajari. Salah satu bentuk apersepsi adalah
40

menanyakan konsep yang telah dipelajari oleh peserta didik, yang terkait dengan
konsep yang akan dipelajari.
c. motivasi perlu dilakukan pada kegiatan pendahuluan, misalnya dengan
memberikan gambaran tentang manfaat materi yang akan dipelajari.
d. pemberian acuan. Guru perlu memberikan acuan terkait dengan kajian yang
akan dipelajari. Acuan dapat berupa penjelasan materi pokok dan ringkasan
materi pelajaran, pembagian kelompok belajar, mekanisme kegiatan belajar,
tugas-tugas yang akan dikerjakan, dan penilaian yang akan dilakukan.
Pada kegiatan pendahuluan ini pendidik menyampaikan tujuan
pembelajara prosa fiksi yang akan dilakukan, membangun motivasi dan minat
peserta didik untuk mengetahui lebih jauh terkait pembelajara analisis novel,
membangun pengetahuan bersama terkait pembelajaran analisis teks novel dan
mendorong peserta didik untuk mengembangkan pengetahuannya terkait analisis
teks novel.
2. Kegiatan inti pembelajaran
Kegiatan inti merupakan aktivitas untuk mencapai kompetensi inti dan
kompetensi dasar. Kegiatan ini harus dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk belajar. Kegiatan inti
pembelajaran dapat menggunakan model pembelajarann atau strategi pembelajaran
tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan karakteristik mata
pelajaran.
Rancangan strategi pembelajaran yang mencakup pemilihan beberapa metode
pembelajaran dan sumber belajar perlu mempertimbangkan keterlibatan peserta didik
dalam belajar. Peserta didik perlu dilibatkan dalam proses mengamati, berlatih
menyusun pertanyaan, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menalar, dan
mengomunikasikan hasil atau mengembangkan jaringan. Pendekatan saintifik dalam
pembelajaran memiliki komponen proses belajar antara lain: mengamati; menanya,
mengumpulkan informasi, menalar/mengasosiasi, membangun jaringan (melakukan
komunikasi).
41

a. Melakukan pengamatan atau observasi


Pengamatan atau observasi merupakan sebuah kegiatan mendayakan panca
indra untuk memperoleh informasi. Pengamatan dapat dilakukan secara kualitatif atau
kuantitatif sehingga data yang didapatkan dapat berupa data naratif maupun data
angka. Pengamatan kualitatif mengandalkan panca indra dan hasilnya dideskripsikan
secara naratif. Sementara itu, pengamatan kuantitatif untuk melihat karakteristik
benda pada umumnya menggunakan alat ukur karena dideskripsikan menggunakan
angka (Sani, 2014: 54-55).Tahap mengamati ini merupakan tahapan pertama dalam
pembelajaran yang dilakukan oleh setiap kelompok peserta didik. Pada tahap ini,
peserta didik diarahkan oleh pendidik untuk membaca teks novel yang telah
ditentukan atau dipilih. Sebelum membaca teks, peserta didik dibekali pengetahuan
dasar mengenai karakteristik dan kaidah teks novel.
b. Menanya
Peserta didik perlu dilatih untuk merumuskan pertanyaan terkait dengan topik
yang akan dipelajari. Aktivitas belajar ini sangat penting untuk meningkatkan
keingintahuan dalam diri peserta didik dan mengembangkan kemampuan mereka
untuk belajar sepanjang hayat. Pendidik perlu mengajukan pertanyaan dalam upaya
memotivasi peserta didik untuk mengajukan pertanyaan (Sani, 2014: 57). Dari tahap
mengamati akan timbul minat peserta didik untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang
novel yang telah dibaca dalam wujud pertanyaan. Pada tahap ini peserta didik dengan
bimbingan guru berupaya membangun pertanyaan-pertanyaan berupa rumusan untuk
mengkaji isi novel lebih jauh.
c. Mengumpulkan Informasi
Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk mengumpulkan data atau
informasi dari berbagai sumber, misalnya dalam pelajaran bahasa dan kelompok
pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Guru perlu mengarahkan peserta didik dalam
merencanakan aktivitas, melaksanakan aktivitas, dan melaporkan aktivitas yang telah
dilakukan (Sani, 2014: 62). Pada tahap mengumpulkan informasi, peserta didik mulai
42

mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dari rumusan yang telah dibuat pada
tahapan menanya. Informasi dikumpulkan sebanyak-banyaknya dari novel yang telah
dibaca sebagai bahan analisis atau kajian.
d. Menalar (Mengasosiasi)
Kemampuan mengolah informasi melalui penalaran dan berpikir rasional
merupakan kompetensi penting yang harus dimiliki oleh peserta didik. Informasi
yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan harus diproses untuk menemukan
keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya, menemukan pola dari
keterkaitan informasi, dan mengambil berbagai kesimpulan dari pola yang ditentukan.
Pengolahan informasi membutuhkan kemampuan logika (ilmu menalar). Menalar
adalah aktivitas mental khusus dalam menarik kesimpulan berdasarkan pendapat,
data, fakta, atau informasi (Sani, 2014: 66-67). Pada tahap ini, informasi yang telah
dikumpulkan pada tahap mengumpulkan informasi dianalisis berdasarkan teori yang
ada. Peserta didik memaksimalkan seluruh pengetahuannya untuk menggali isi dari
teks novel yang telah dibaca. Pada tahap ini diskusi antar anggota kelompok sangat
diperkukan untuk mendapatkan analisis terbaik.
e. Membangun Jaringan dan Melakukan Komunikasi
Pada dasarnya, setiap orang memiliki jaringan, walaupun tidak disadari oleh
yang bersangkutan. Jaringan sangat dibutuhkan dalam belajar dari aneka sumber,
mengembangkan diri, dan memperoleh pekerjaan. Dalam jaringan pembelajaran
memungkinkan terdapat komunikasi antara pendidik dengan peserta didik, antar
peserta didik dalam kelompok, dan antara peserta didik di dalam kelas (Sani, 2014:
71). Sesungguhnya, di dalam pembelajaran, antara peserta didik yang satu dengan
yang lain telah membangun sebuah jaringan untuk mencapai sebuah tujuan dalam
kelompok kecil. Pada langkah membangun jaringan dan melakukan komunikasi ini
peserta didik membangun jaringan lebih luas lagi, yakni seluruh kelas. Jaringan ini
berfungsi untuk mengkomunikasikan hasil analisis yang telah dilakukan oleh masing-
masing kelompok, peserta didik menuliskan dalam bentuk laporan tertulis.
Kemudian, peserta didik mempresentasikan hasil analisisnya di depan kelas. Peserta
43

didik yang lain mengomentari presentasi peserta didik lain. Pendidik berperan
memfasilitasi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik di dalam
pembelajaran.
f. Kegiatan penutup
Kegiatan penutup perlu dilakukan untuk memantapkan menguasaan
pengetahuan siswa dengan mengarahkan siswa untuk membuat rangkuman,
menemukan manfaat pembelajaran, memberikan umpan balik terhadap proses dan
hasil pembelajaran, melakukan proses tindak lanjut berupa penguasaan (individu atau
kelompok), dan menginformasikan kegiatan pembelajaran untuk pertemuan
selanjutnya. Pemberian tes atau tugas, dan memberikan arahan tindak lanjut
pembelajaran, dapat berupa kegiatan di luar kelas, di rumah atau tugas sebagai bagian
dari pengayaan atau remidi (Sani, 2014: 281-283).
8. Penilaian Pembelajaran Prosa Fiksi
Untuk mengukur berhasil atau tidaknya sebuah pembelajaran diperlukan adanya
penilaian. Antara jenis pembelajaran satu dengan pembelajaran yang lain memiliki
model penilaian yang berbeda. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik pembelajaran
kompetensi yang bersangkutan. Bentuk penilaian dapat berupa tes tertulis,
wawancara, observasi, tugas proyek, dan portofolio.
Menurut Cronbach, penilaian pada hakikatnya adalah suatu proses
pengumpulan dan penggunaan informasi yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan
keputusan tentang program pendidikan (Nurgiyantoro, 2010: 10). Keputusan adalah
pilihan di antara berbagai arah tindakan. Jadi, penilaian memiliki komponen
pengumpulan informasi, penggunaan informasi, dan pembuat keputusan. Penilaian
dalam pembelajaran sastra memiliki fungsi ganda, yaitu (1) untuk mengungkapkan
kompetensi bersastra peserta didik, dan (2) menunjang tercapainya tujuan
pembelajaran kompetensi bersastra. Penilaian pembelajaran sastra menurut Moody
dibagi menjadi empat kategori yang disusun dari tingkatan yang sederhana ke
tingkatan yang semakin kompleks. Keempat tingkatan yang dimaksud adalah
tes untuk mengukur kemampuan pada tingkat informasi, konsep, perspektif, dan
44

apresiasi.
a. Tes kesastraan tingkat informasi; dimaksudkan untuk mengungkap
kemampuan peserta didik yang berkaitan dengan hal-hal pokok yang
berkenaan dengan sastra, baik yang menyangkut data-data tentang suatu karya
maupun data-data lain yang dapat dipergunakan untuk membantu
penafsirannya.
b. Tes kesastraan tingkat konsep; berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana
data-data karya sastra diorganisasikan.
c. Tes kesastraan tingkat perspektif, berkaitan dengan pandangan peserta didik
terhadap karya sastra yang dibacanya. Pandangan dan reaksi perserta didik
terhadap sebuah karya ditentukan oleh kemampuannya memahami karya yang
bersangkutan.
d. Tes kesastraan tingkat apresiasi; berkaitan dengan sikap peserta didik
memperlakukan karya sastra (Nurgiyantoro, 2010: 459). Sikap tersebut dapat
berupa menggemari untuk dibaca, mengritisi atau mengkaji, dan atau
memproduksi.
Dalam pembelajaran analisis prosa fiksi, khususnya kajian unsur budaya dan
kearifan lokal novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono ini, tes yang dilakukan untuk
mengukur kemampuan peserta didik berada pada tahapan apresiasi. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui sikap peserta didik memperlakukan karya sastra.
Metode penilaian yang harus digunakan di sekolah telah ditetapkan dalam
permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian pendidikan Penilaian
yang digunakan harus mencakup ranah sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan
keterampilan (psikomotor) (Sani, 2014: 204).
a. Penilaian Kompetensi Sikap (Afektif) Dalam pembelajaran prosa fiksi ini,
pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi. Observasi
merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan
menggunakan indra, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang
45

diamati (Sani, 2014: 204). Penilaian afektif berhubungan dengan masalah sikap,
pandangan dan nilai-nilai yang diyakini seseorang. Hal ini dapat dilihat pada
proses peserta didik mengikuti seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran berbasis
saintifik yang dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas.
b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan (Kognitif) Pendidik menilai kompetensi
pengetahuan melalui tes tertulis, tes lisan, maupun penugasan. Pelaksanaan
penilaian dapat dilakukan dalam proses pembelajaran, tes formatif pada akhir
pembelajaran, dan tes sumatif. Tes sumatif biasanya dilaksanakan dalam bentuk
ulangan umum dengan alat penilaian yang berupa tes tertulis (Sani, 2014: 205).
Untuk peserta didik SMA, tugas-tugas yang diberikan harus lebih ditekankan
pada tugas yang menuntut aktivitas mental yang lebih tinggi, sikap kritis dalam
membaca karya sastra, menganalisis karya sastra seperti menemukan tema, karakter
tokoh, mencari kaitan antarperistiwa, konflik, gaya bahasa, menjelaskan keindahan,
menjelaskan nilai-nilai kehidupan dalam teks novel, dan lain-lain. Pemberian tugas
yang bersifat mengaktifkan peserta didik akan jauh lebih bermakna daripada sekadar
tugas menghafal (Nurgiyantoro, 2010: 455).
Menurut Nurgiyantoro (2010: 461), terdapat beberapa model tes kemampuan
bersastra untuk mengetahui kompetensi pengetahuan peserta didik.
a. Tes merespon jawaban
Tes yang mengharuskan peserta didik merespon jawaban. Tes ini berbentuk
tes objektif. Untuk mengerjakan tes, peserta didik tinggal memilih jawaban yang telah
disediakan oleh pendidik. Dalam evaluasi pembelajaran prosa fiksi sistem merespon
jawaban, teks yang dikutip sebaiknya dipilih pada bagian-bagian yang menunjukkan
identitas dan karakteristik teks prosa fiksi yang bersangkutan. Misalnya pada bagian
yang memuat unsur budaya yang ditanyakan dalam teks soal. Tes merespon jawaban
ini cocok digunakan dalam tes sumatif atau tes akhir semester.
b. Tes menyusun jawaban
Pembacaan teks kesastraan merupakan pergulatan intensif antara dunia yang
dibangun oleh pengarang dan tanggapan yang diberikan oleh pembaca yang telah
46

memiliki dunia sendiri. Oleh sebab itu, peserta didik hendaknya diberikan lebih
banyak ruang untuk menuangkan pemikirannya dalam menanggapi teks sastra yang
diberikan. Agar soal benar-benar dapat mengukur kompetensi bersastra, pertanyaan
yang diberikan haruslah berangkat dari berbagai teks kesastraan, sedang teori dapat
dimanfaatkan sebagai landasan yang memerkaya dan atau memperkuat jawaban, soal
dapat berupa berbagai macam hal, mulai dari soal yang membutuhkan jawaban
uraian, meringkas atau membuat sinopsis novel, meresensi suatu karya, menganalisis
berbagai teks kesastraan, menulis teks sendiri, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010:
474).
Pertanyaan yang diberikan haruslah yang membuat peserta didik berpikir
kritis, memanfaatkan berbagai pengetahuan yang terkait dengan permasalahan,
berpikir memilih bahan (gagasan, pesan, informasi), dan bahasa yang mengreasikan
jawaban, berpikir kreatif untuk menghasilkan jawaban dengan logika dan
argumentasi yang baik. Namun, pertanyaan itu juga haruslah pertanyaan yang
menarik dan menantang peserta didik untuk memberikan jawaban terbaiknya.
Pertanyaan tidak hanya dimaksudkan untuk mengungkapkan fakta dalam teks, seperti
pertanyaan yang berawal dengan “sebutkan”, melainkan lebih terkait dengan logika,
penalaran, argumentasi, dan lainlain, seperti “jelaskan”, “bagaimana pendapat”, dll.
1. Penilaian Kompetensi Keterampilan (Psikomotor)
Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui kinerja, yaitu penilaian yang
menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan
menggunakan tes praktik dan proyek (Sani, 2014: 205).
a. Tes praktik adalah penilaian yang menuntut respon berupa keterampilan
melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi.
Dalam pembelajaran analisis novel, tes praktik dapat dijadikan sebagai acuan
penilaian ketika peserta didik melakukan proses kerja kelompok dan penampilan
pada saat melakukan presentasi hasil kerja kelompok.
47

b. Proyek adalah tugas-tugas belajar yang meliputi kegiatan perancangan,


pelaksanaan, dan pelaporan, baik secara tertulis maupun lisan dalam waktu
tertentu.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 484), tugas proyek merupakan kegiatan
investigasi sejak perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan
penyajian data, sampai pembuatan laporan. Tugas proyek adalah tugas bersama
teman kelompok, karenanya peserta didik diharapkan mampu bekerja sama mulai dari
pembagian tugas, berdiskusi, dan pemecahan masalah. Pemberian tugas proyek
hendaknya yang dapat menunjukkan penguasaan pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis data, sampai dengan pemaknaan dan penyimpulan oleh peserta didik.
Tugas proyek dapat berupa tugas melakukan penelitian yang juga bertujuan
mengukur kompetensi bersastra, namun sekaligus juga kompetensi berbahasa
produktif dalam bentuk karya tulis. Salah satu bentuk tugas proyek dalam
pembelajaran teks prosa fiksi adalah menganalisis teks novel. Tugas menganalisis
teks kesastraan dimaksudkan untuk dapat memahami makna secara lebih baik dan
mendalam terhadap karya yang bersangkutan.
Analisis dimaksudkan untuk mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan
keadaan, fungsi, dan hubungan tiap unsure dalam menunjang makna secara
keseluruhan secara padu dan harmonis. Tugas analisis teks kesastraan dilakukan
dalam tes proses dan menjadi bagian kegiatan pembelajaran. Tugas ini dapat
dilakukan secara kelompok dalam bentuk tugas proyek tergantung luas dan
kompleksnya tugas yang diberikan, baik dilakukan di dalam maupun di luar kelas
(Nurgiyantoro, 2010: 481).
E . Penelitian yang Relevan
Berdasarkan pengetahuan dan tinjauan penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan kearifan lokal yang sudah pernah dilakukan oleh Muhhamad Satria Aji
seorang mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam bentuk jurnal
skripsi, yaitu :
48

Muhhamad Satria Aji (Universitas Sebelas Maret Surakarta, kota Surakarta, Jawa
Tengah,
Indonesia. 2018) melakukan penelitian dengan judul Kearifan Lokal dalam Novel
Dawuk Karya Mahfud Ikhwan.
Persamaan dengan penelitian ini adalah peneliti menganalisis kearifan lokal,
dan perbedaannya yaitu Muhhamad Satria Aji menganalisis kearifan lokal dalam
novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan, sedangkan penelitian ini peneliti menganalisis
unsur budaya dan kearifan lokal dalam novel Damasuka karya Junaedi Setiyono.
49

F . Kerangka Teori

Unsur Budaya dan Kearifan Lokal


Novel Damasuka Karya Junaedi
Setiyono dan Implikasi pada
Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesi Di SMA

Kajian Antropologi Sastra

Pengumpulan Data

Unsur Budaya dan Kearifan Lokal


LokalLokal

Unsur Budaya dalam Kearifan Lokal dalam Implikasi Pembelajaran


Novel Damasuka Novel Damasuka analisis Novel Damasuka
Karya Junaedi Karya Junaedi dengan Pendekatan
Setiyino Setiyono Antropologi Sastra di SMA

Implikasi Terhadap
pembelajaran di SMA
50

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan mengungkapkan informasi kualitatif dengan
cara mendeskripsikan secarai detail dan cermat keadaan, gejala, fenomena, serta
unsur-unsur sebagai keutuhan struktur dalam teks-teks yang menjadi objek penelitian
(Sugiyono, 2013: 36). Sementara itu, strategi penelitian yang digunakan adalah
analisis interaktif. Analisis interaktif dilakukan untuk menganalisis data yang
diperoleh dari novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi sastra, yaitu untuk mengetahui
unsur budaya yang meliputi sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatann,
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem
peralatan hidup dan teknologi, juga ke-arifan lokal budaya Jawa, serta skenario
pembelajarannya di SMA.
B. Objek Penelitian
Objek adalah hal yang menjadi sasaran penelitian. Sugiyono (2013: 38)
mengemukakan bahwa objek penelitian adalah suatu atribut atau nilai dari orang,
objek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Objek penelitian dalam proposal ini adalah
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dan Skenario Pembelajaran di SMA.
D. Data dan Sumber Data
Data merupakan semua informasi yang disediakan oleh alam yang harus
dicari dan dikumpulkan oleh peneliti sesuai dengan masalah yang dihadapi. Data
merupakan bagian yang penting dalam penelitian. Oleh karena itu, berbagai hal yang
merupakan bagian dari keseluruhan proses pengumpulan data harus benar-benar
dipahami oleh setiap peneliti. Adapun data dalam penelitian ini berupa data lunak
yang berwujud kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, atau wacana yang terdapat
dalam novel Dasamuka karya
51

Junaedi Setiyono.

Sumber data adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperoleh data
dalam penelitian). Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah novel Dasamuka
karya Junaedi Setiyono yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak (anggota IKAPI)
Yogyakarta pada tahun 2017 dengan jumlah halaman 290 halaman.
E. Instrumen Penelitian
Menurut Arikunto (2010), instrumen penelitian adalah alat bantu atau fasilitas
yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah,
hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih
mudah diolah. Sementara itu, Ratna (2011: 49) berpendapat bahwa instrumen analisis
di dalam penelitian antropologi sastra adalah peneliti sendiri, kartu data, kertas,
pensil, dan lain sebagainya.
Merujuk dari pendapat Ratna (2011: 49) tersebut, instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan menggunakan kertas pencatat data
beserta dengan alat tulis berupa kertas, pensil, dan hardisk penyimpan data. Kertas
pencatat digunakan untuk mencatat seluruh data yang berupa kutipan-kutipan yang
berkaitan dengan unsur-unsur budaya dan kearifan lokal yang terdapat di dalam novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
F. Teknik Pengumpulan Data
Agar mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan suatu cara pengumpulan data atau teknik pengumpulan data. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Teknik
catat adalah mencatat data-data yang telah ditemukan ke dalam catatan.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah
sebagai berikut:
1) membaca novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono secara kritis, cermat dan teliti;
2) mengidentifikasi data yang berhubungan dengan unsur-unsur budaya dan
52

kearifan lokal;
3) mengklasifikasikan data menjadi satu sesuai dengan kelompok data masing-
masing;
4) mencatat data-data yang diperoleh sesuai dengan fokus penelitian.

G. Validitas Data
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila
tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya
terjadi pada objek yang diteliti (Sugiyono, 2013: 365). Uji validasi data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik membaca ulang. Uji validitas dilakukan
oleh peneliti dengan cara membaca ulang objek yang diteliti dengan meningkatkan
kecermatan dan menyocokkanya dengan teori yang digunakan. Di samping itu,
validasi juga peneliti lakukan dengan konfirmasi langsung kepada penulis novel
Dasamuka yaitu Junaedi Setiyono.
H. Teknik Analisis Data
Jenis analisis data dalam penelitian ini adalah analisis interaktif. Miles and
Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2013: 337). Interaktif adalah suatu kegiatan yang di
dalamnya terdapat interaksi secara langsung dan terus menerus antara peneliti dengan
objek yang diteliti. Aktivitas analisis data interaktif Miles and Huberman adalah
sebagai berikut.
1. Reduksi data (data teduction)
Pada bagian ini, langkah yang dilakukan adalah mencatat data yang diperoleh
dalam bentuk uraian secara rinci. Data yang diambil berupa kata, kalimat, ungkapan
yang terdapat dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono yang mengungkapkan
informasi tentang unsur-unsur budaya, yang meliputi: sistem religi, sistem dan
53

organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata


pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan hidup manusia; dan informasi
tentang kearifan lokal. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah
yang menjadi data penelitian ini.
2. Sajian Data (Data Display)
Data yang telah terkumpul, peneliti kelompokkan ke dalam beberapa bagian
sesuai dengan jenis permasalahannya (agar mudah untuk dianalisis). Langkah ini
telah memasuki analisis data yang kemudian dijabarkan untuk menemukan sistem
religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian,sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan hidup
manusia yang terkandung dalam kedua novel tersebut.
3. Penarikan Simpulan (Conclution Drawing)
Pada tahap ini, data yang telah diperoleh dan dianalisis sejak awal penelitian
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono disimpulkan terkait analisis unsur-unsur
budaya dan kearifan lokal. Simpulan ini masih bersifat sementara, maka akan tetap
diverifikasi (diteliti
kembali tentang kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung. Tiga komponen
tersebut terjadi secara bersama-sama dan dilakukan secara terus menerus, baik
sebelum, pada waktu, maupun sesudah pelaksanaan pengumpulan data sehingga
terbentuk siklus.
I. Teknik Penyajian Hasil Analisis
Dalam penyajian data, penulis menggunakan metode informal. Metode
informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa
(Sudaryanto, 2015: 241). Hasil analisis yang berupa unsur-unsur budaya dan kearifan
lokal novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono; dan skenario pembelajaran yang
relevan di SMA disajikan secara verbal dengan bahasa lugas, tidak menggunakan
tanda atau simbol yang bersifat khusus.

Anda mungkin juga menyukai