Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada negara maju, umumnya proses skrining/penapisan dilakukan


pada penyakit tidak menular, misalnya kanker payudara yang dilakukan pada
kelompok beresiko seperti wanita terlahir kembar, ada genetik keluarga,
wanita yang tidak menikah, wanita yang tidak menyusui anaknya dan pola
diet dan gaya hidup yang tidak sehat, wanita pengguna KBhormonal, wanita
yang menstruasi pertama dibawah 12 tahun dan menopause diatas 55 tahun.

Skrining/penapisan merupakan proses pendeteksian kasus/kondisi


kesehatan pada populasisehat pada kelompok tertentu sesuai dengan jenis
penyakit yang akan dideteksi dini denganupaya meningkatkan kesadaran
pen$egahan dan diagnosis dini bagi kelompok yang termasuk resiko tinggi

B. Tujuan

Untuk mengetahui Skrining Kesehatan Pada Lansia Dan Faktor- Faktor


Yang Memepngaruhi Kesehatan Lansia ( Budaya, Keluarga, Sosial Ekonom).
BAB II

PEMBAHASAN

A. SKRINING KESEHATAN PADA KELOMPOK RESIKO

1. Definisi Skrining
Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau
sekelompok orang untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang
diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit (Rajab, 2009)
Tes skrining merupakan salah satu cara yang dipergunakan pada
epidemiologi untuk mengetahui prevalensi suatu penyakit yang tidak dapat
didiagnosis atau keadaan ketika angka kesakitan tinggi pada sekelompok
individu atau masyarakat berisiko tinggi serta pada keadaan yang kritis dan
serius yang memerlukan penanganan segera. Namun demikian, masih harus
dilengkapi dengan pemeriksaan lain untuk menentukan diagnosis definitif
(Chandra, 2009).
Berbeda dengan diagnosis, yang merupakan suatu tindakan untuk
menganalisis suatu permasalahan, mengidentifikasi penyebabnya secara
tepat untuk tujuan pengambilan keputusan dan hasil keputusan tersebut
dilaporkan dalam bentuk deskriptif (Yang dan Embretson, 2007).
Skrining bukanlah diagnosis sehingga hasil yang diperoleh betul-betul
hanya didasarkan pada hasil pemeriksaan tes skrining tertentu, sedangkan
kepastian diagnosis klinis dilakukan kemudian secara terpisah, jika hasil dari
skrining tersebut menunjukkan hasil yang positif (Noor, 2008).
Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi suatu penanda awal
perkembangan penyakit sehingga intervensi dapat diterapkan untuk
menghambat proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan istilah “penyakit”
untuk menyebut setiap peristiwa dalam proses penyakit, termasuk
perkembangannya atau setiap komplikasinya. Pada umumnya, skrining
dilakukan hanya ketika syarat-syarat terpenuhi, yakni penyakit tersebut
merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan, terdapat sebuah uji
yang sudah terbukti dan dapat diterima untuk mendeteksi individu-individu
pada suatu tahap awal penyakit yang dapat dimodifikasi, dan terdapat
pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit atau akibat-
akibat penyakit (Morton, 2008). Jadi, screening adalah suatu strtegi yang
digunkan dalam suatu populasi untuk mendeteksi penyakit pada individu
tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu, atau suatu usaha secara aktif
untuk mendeteksi atau mencari pendeerita penyakit tertentu yang tampak
gejala atau tidak tampak dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu
melalui suatu tes atau pemeriksaan yang secara singkat dan sederhana
dapat memisahkan mereka yang sehat terhadap mereka yang kemungkinan
besar menderita, yang selanjutnya diproses melalui diagnosis dan
pengobatan.

2. Tujuan dan Manfaat Skrining


Skrining mempunyai tujuan diantaranya (Rajab, 2009):
1. Menemukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini
mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh pengobatan.
2. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
3. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri
sedini mungkin.
4. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan
tentang sifat penyakit dan untuk selalu waspada melakukan
pengamatan terhadap gejala dini.
5. Mendapatkan keterangan epodemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.

Beberapa manfaat tes skrining di masyarakat antara lain, biaya yang


dikeluarkan relatif murah serta dapat dilaksanakan dengan efektif, selain itu melalui
tes skrining dapat lebih cepat memperoleh keterangan tentang sifat dan situasi
penyakit dalam masyarakat untuk usaha penanggulangan penyakit yang akan
timbul. Skrining juga dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap awal sebelum
gejala ditemukan sedangkan pengobatan lebih efektif ketika penyakit tersebut sudah
terdeteksi keberadaannya (Chandra, 2009).

3. Sasaran Skrining
Kelompok khusus dengan kebutuhan khusus yang memerlukan pengawasan
akibat pertumbuhan dan perkembangannya dalam kelompok resiko ( Nasrul
Effendi. 1998) :

1. Kelompok ibu hamil


2. Kelompok ibu bersalin
3. Kelompok Ibu nifas
4. Kelompok bayi dan anak balita
5. Kelompok anak usia sekolah
6. Kelompok lansia

D. Jenis Skrining

1. Penyaringan Massal (Mass Screening) Penyaringan yang melibatkan


populasi secara keseluruhan. Contoh: screening prakanker leher rahim
dengan metode IVA pada 22.000 wanita
2. Penyaringan Multiple Penyaringan yang dilakukan dengan menggunakan
beberapa teknik uji penyaringan pada saat yang sama. Contoh: skrining pada
penyakit aids
3. Penyaringan yg. Ditargetkan Penyaringan yg dilakukan pada kelompok –
kelompok yang terkena paparan yang spesifik. Contoh : Screening pada
pekerja pabrik yang terpapar dengan bahan Timbal.
4. Penyaringan Oportunistik Penyaringan yang dilakukan hanya terbatas pada
penderita – penderita yang berkonsultasi kepada praktisi kesehatan Contoh:
screening pada klien yang berkonsultasi kepada seorang dokter.

E. Syarat Skrining

Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi


beberapa kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan
suatu tes penyaringan, antara lain (Noor, 2008):

a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti dalam
masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat tersebut.
b. Tersediannya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi
mereka yang dinyatakan menderita penyakit yang mengalami tes. Keadaan
penyediaan obat dan jangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi
tingkat atau kekuatan tes yang dipilih.
c. Tersediannya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang
dinyatakan positif serta tersediannya biaya pengobatan bagi mereka yang
dinyatakan positif melalui diagnosis klinis.
d. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya
cukup lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes khusus.
e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat
sensitivitas dan spesifitasnya karena kedua hal tersebut merupakan standard
untuk mengetahui apakah di suatu daerah yang dilakukan skrining berkurang
atau malah bertambah frekuensi endemiknya.
f. Semua bentuk atau teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan
harus dapat diterima oleh masyarakat secara umum.
g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan
pasti.
h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka
yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.
i. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada
titik akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa
melakukan tes tersebut.
j. Hars dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap penyakit
tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan. Melihat hal
tersebut penyakit HIV/AIDS dan Ca paru serta penyakit yang tidak diketahui
pasti perjalanan penyakitnya tidak dibenarkan untuk dilakukan skrining namun
jika dilihat dari sisi lamanya perkembangan penyakit, HIV/AIDS merupakan
penyakit yang memenuhi persyaratan skrining (Noor, 2008).

F. Macam-macam Skrining Kesehatan

1. Penyakit hipertensi Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap


hipertensi sistolik maupun diastolic. Pencegahannya akan dapat mengurangi
risiko timbulnya stroke, penyakit jantung atau bahkan kematian. Dari hasil
studi, ditemukan bahwa bila 40 orang diobati selama 5 tahun akan dapat
mencegah 1 (satu) kejadian stroke.
2. Keganasan Skrining terhadap keganasan terutama ditujukan terhadap
penyakit kanker payudara, yaitu dengan cara BSE. Juga penyakit kanker
serviks dengan cara pap smear. Selanjutnya skrining juga dilakukan terhadap
kanker kolon dan rectum. Adapun caranya adalah dengan pengujian
laboratorium terhadap darah samar di dalam feses, selain dengan cara
endoskopi untuk kelainan dalam sigmoid dan kolon terutama pada penderita
yang menunjukkan adanya keluhan.
3. Wanita menopause Tindakan skrining ditujukan untuk memastikan apakah
diperlukan terapi hormone pengganti estrogen. Terapi ini dapat mengurangi
risiko kanker payudara. Juga fraktur akibat osteoporosis. Namun, perlu
diwaspadai kemungkinan timbulnya kanker endometrium, dimana untuk
pencegahannya dapat dianjurkan agar diberikan secara bersamaan dengan
hormone progesterone.
4. Skrining Ketajaman Visus Skrining katajaman visus dengan tindakan
sederhana, yaitu koreksi dengan ukuran kacamata yang sesuai. Bagi kasus
katarak dengan tindakan ekstraksi lensa tidak saja akan memperbaiki
penglihatan, tetapi juga akan meningkatkan status fungsional dan psikologis.
Skrining dengan alat funduskopi dapat mendeteksi penyakit glaucoma,
degenerasi macula, dan retinopati diabetes. Adapun factor resiko untuk
degenerasi macula adalah adanya riwayat keluarga dan factor merokok.
5. Skrining Pendengaran Dengan tes bisik membisikkan enam kata-kata dari
jarak tertentu ke telinga pasien serta dari luar lapang pandang. Selanjutnya
minta pasien untuk mengulanginya. Cara ini cukup sensitive, dan menurut
hasil penelitian dikatakan mencapai 80% dari hasil yang diperoleh melalui
pemeriksaan dengan alat audioskop. Mengenai pemeriksaan dengan
audioskop, yaitu dihasilkan nada murni pada frekuensi 500, 1.000, 2.000, dan
4.000 Hz, yaitu pada ambang 25-40 dB.

Bentuk pencegahan ketiga adalah pencegahan tersier. Di sini meliputi


pencegahan terhadap morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat penyakit yang
telah ada. Jenis pencegahan ini termasuk tindakan khusus dan tergolong dalam
disiplin ilmu geriatric. Sebagai contoh adalah tindakan rehabilitasi terhadap penderita
lansia, misalnya dengan fraktur panggul agar dapat mengurangi kecacatan serta
kemampuan mereka untuk merawat diri sendiri. Contoh lainya adalah rehabilitasi
pada pasien stroke.

6. Perubahan Kognitif

1) Memory (Daya ingat, Ingatan)

2) IQ (Intellegent Quocient)

3) Kemampuan Belajar (Learning)

4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)

5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)

6) Pengambilan Keputusan (Decission Making)

7) Kebijaksanaan (Wisdom)

8) Kinerja (Performance)

9) Motivasi

7. Perubahan mental, faktor-faktor yang mempengaruhi :

1) Pertama-tama perubahan fisik, khsusnya organ perasa.

2) Kesehatan umum

3) Tingkat pendidikan

4) Keturunan (hereditas)

5) Lingkungan

6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.

7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.

8) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan


famili.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri.

8. Kesehatan Psikososial

1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama jika
lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada
lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode
depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas umum,
gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif, gangguan-
gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping
obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.

G. Skrining pada Keadaan Khusus Lansia Di negara maju, skrining pada umumny
ditujukan pada penyakit kardiovaskuler, keganasan dan cerebravaskular accident
(CVA) seperti yang dijelaskan berikut :
1. Penyakit Hipertensi Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap
hipertensi sistolik maupun diastolik. Pencegahan akan dapat mengurangi
resiko timbulnya stroke, penyakit jantung, bahkan kematian. Dari hasil studi,
ditemukan bahwa bila 40 orang diobati dalam waktu 5 tahun akan dapat
mencegah satu kejadian stroke, pada hipertensi dilakukan pengkajian
secara lengkap (anamnesa dan pemeriksaan fisik) , skrining atau tes
saringan. Hal yang perlu dilakukan disini adalah pengukuran tekanan darah.
Sebagai patokan diambil batas normal tekanan darah bagi lansia adalah (1)
tekanan sistolik 120-160mmHg, dan (2) tekanan diastolic sekitar 90mmHg.
Pengukuran tekanan darah pada lansia sebaiknya dilakukan dalam keadaan
berbaring, duduk, dan berdiri dengan selang beberapa waktu, yaitu untuk
mengetahui kemungkinan adanya hipertensi ortostatik.
2. Penyakit Jantung Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan
pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan
dugaan kelainan jantung antara lain pemeriksaan EKG, treadmill, dan foto
thoraks.
3. Penyakit Ginjal Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan
pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan
dugaan kelainan ginjal adalah pemeriksaan laboratorium tes fungsi ginjal
dan foto IVP.
4. Diabetes Melitus Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan
pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan
dugaan diabetes antara lain pemeriksaan reduksi urine, pemeriksaan kadar
gula darah, dan funduskopi.
5. Gangguan Mental Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan
pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan
dugaan gangguan mental antara lain pemeriksaan status mental dan tes
fungsi kognitif. Biasanya telah dapat dibedakan apakah terdapat kelainan
mental seperti depresi, delirium, atau demensia.

II. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN YANG BERESIKO

1. Sosial Pada lansia terjadi perubahan-perubahan psikososial yaitu merasakan


ataus adarakan kematian, penyakit kronis dan ketidakmampuan dalam
melakukan aktifitas fisiknya. Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan
sosial, dari segi ekonomi akibat dari pemberhentian jabatan atau pension juga
dapat mempengaruhi kesehatan lansia. Hal tersebut dapat meningkatkan
risiko lansia untuk mengalami disablitas dan kematian lebih awal. Dukungan
sosial yang tidak cukup, sangat erat hubungannya dengan peningkatan
kematian, kesakitan dan depresi juga kesehatan dan kesejahteraan secara
keseluruhan. Lansia yang tidak mendapatkan dukungan sosial yang cukup
1,5 kali lebih besar kemungkinan untuk mengalami kematian pada tiga tahun
kedepan dari pada mereka yang mendapatkan dukungan sosial yang cukup.
Oleh karena itu dibutuhkan dukungan sosial yang tinggi ,memiliki perasaan
yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargi. Lansia dengan
dukungan sosial yang tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan
membutuhkan individu tersebut, sehingga hal itu dapat mengarahkan individu
kepada gaya hidup yang sehat.
2. Ekonomi Faktor ekonomi sangat mempengaruhi kesehatan lansia. Pada
lansia secara umum yang memiliki pendapatan sendiri cenderung menolak
bantuan orang lain, sedangkan lansia yang tidak memiliki pendapatan akan
menggantungkan hidupnya pada anak atau saudaranya. Lansia yang tidak
memiliki cukup pendapatan meningkatkan risiko untuk menjadi sakit dan
disabilitas. Banyak lansia yang tinggal sendiri dan tidak mempunyai cukup
uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dapat
mempengaruhi mereka untuk membeli makanan yang bergizi, rumah yang
layak, dan pelayanan kesehatan. Lansia yang sangat rentan adalah yang
tidak mempunyai asset, sedikit atau tidak ada tabungan, tidak ada pensiunan
tidak dapat membayar keamanan atau merupakan bagian dari keluarga yang
sedikit atau pendapatan yang rendah.
3. Budaya Menurut Setiabudhi (1999), permasalahan sosial budaya lansia
secara umum yaitu masih besarnya jumlah lansia yang berada di bawah garis
kemiskinan, makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga
yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung
terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih
mengarah pada bentuk keluarga kecil, akhirnya kelompok masyarakat industri
yang memiliki ciri kehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan
menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan
efisien yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia, masih
rendahnya kuantitas tenaga professional dalam pelayanan lansia dan masih
terbatasnya sarana pelayanan pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum
membudayanya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan
lansia .
Hubungan antara faktor budaya dan pelayanan kesehatan pada lansia
sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu
informasi kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di
barengi dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang budaya yang
dianut di dalam masyarakat tersebut. Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat
tertentu tidaklah kaku dan bisa untuk di rubah, tantangannya adalah mampukah
tenaga kesehatan memberikan penjelasan dan informasi yang rinci tentang
pelayanan kesehatan yang akan di berikan kepada masyarakat . Ada banyak cara
yang bisa dilakukan , mulai dari perkenalan program kerja, menghubungi tokoh-
tokoh masyarakat maupun melakukan pendekatan secara personal .

Sikap budaya terhadap warga usia lanjut mempunyai implikasi yang dalam
terhadap kesejahteraan fisik maupun mental mereka. Pada masyarakat tradisional
warga usia lanjut ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, sebagai Pinisepuh
atau Ketua Adat dengan tugas sosial tertentu sesuai adat istiadatnya, sehingga
warga usia lanjut dalam masyarakat ini masih terus memperlihatkan perhatian dan
partisipasinya dalam masalah - masalah kemasyarakatan. Hal ini secara tidak
langsung berpengurah kondusif bagi pemeliharaan kesehatan fisik maupun mental
mereka. Sebaliknya struktur kehidupan masyarakat modern sulit memberikan peran
fungsional pada warga usia lanjut, posisi mereka bergeser kepada sekedar peran
formal, kehilangan pengakuan akan kapasitas dan kemandiriannya. Keadaan ini
menyebabkan warga usia lanjut dalam masyarakat modern menjadi lebih rentan
terhadap tema - tema kehilangan dalam perjalanan hidupnya.Era globalisasi
membawa konsekuensi pergeseran budaya yang cepat dan terus – menerus ,
membuat nilai - nilai tradisional sulit beradaptasi. Warga usia lanjut yang hidup pada
masa sekarang,seolah-olah dituntut untuk mampu hidup dalam dua dunia yakni :
kebudayaan masa lalu yang telah membentuk sebagian aspek dari kepribadian dan
kekinian yang menuntut adaptasi perilaku. Keadaan ini merupakan ancaman bagi
integritas egonya, dan potensial mencetuskan berbagai masalah kejiwaan .

Didalam masyarakat sederhana, kebiasaan hidup dan adat istiadat dibentuk


untuk mempertahankan hidup diri sendiri dan kelangsungan hidup suku mereka.
Berbagai kebiasaan dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, pemberian makanan
bayi, yang bertujuan supaya reproduksi berhasil, ibu dan bayi selamat. Dari sudut
pandang modern ,tidak semua kebiasaan itu baik. Ada beberapa yang kenyataannya
malah merugikan.

Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi


penyakitpenyakit yang berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak
mengerti bagaimana penyakit itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari
sikap mereka terhadap penyakit tersebut. Ada kebiasaan dimana setiap orang sakit
diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini ini mungkin dapat mencegah penularan
dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar dan TBC.

Bentuk pengobatan yang di berikan biasanya hanya berdasarkan anggapan


mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap
penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supranatural atau magis, maka digunakan
pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga
penyebabnya adalah faktor ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga
kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawanan dengan
pemikiran secara medis. Didalam masyarakat industri modern iatrogenic disease
merupakan problema. Budaya menuntut merawat penderita di rumah sakit, pada hal
rumah sakit itulah tempat ideal bagi penyebaran kuman-kuman yang telah resisten
terhadap anti biotika .

4. Keluarga Dukungan dalam keluarga dapat mempengaruhi kesehatan


kelaurga, berupa:

a. Dukungan psikologis

Dukungan psikologis adalah suatu sikap yang memberikan dorongan dan


penghargaan moril kepada lansia, misalnya keluarga sangat membantu ketenangan

jiwa lansia, keluarga menunjukkan kebahagiaan pada hal-hal positif yang dilakukan
lansia, tidak menyakiti lansia, menghibur atau menenangkan ketika ada masalah
yang dihadapi lansia, berdoa untuk kesehatan atau keselamatan lansia dan
keluarganya.

b. Dukungan sosial

Dukungan sosial adalah suatu sikap dengan cara memberikan kenyamanan


dan bantuan secara fisik atau nyata kepada lansia, misalnya memperhatikan
kesehatan lansia, mengantar atau menemani lansia untuk berobat atau berkunjung
ke posyandu atau puskesmas. Dukungan sosial juga di sebut sebgai Dukungan
instrumental yaitu bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau
materi misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan, memberikan uang,
memberikan makanan, permainan atau bantuan yang lain. Bantuan instrumental ini
berupa dukungan materi seperti benda atau barang yang dibutuhkan oleh orang lain
dan bantuan finansial untuk biaya pengobatan, pemulihan maupun biaya hidup
sehari-hari selama seseorang tersebut belum dapat menolong dirinya sendiri.

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi wawasan dan pengetahuan


keluarga, semakin rendah pengetahuan suami maka akses terhadap informasi
kesehatan lansia akan berkurang sehingga akan kesulitan dalam mengambil
keputusan secara efektif.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau
sekelompok orang untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang
diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit.
Tujuan skrining adalah menemukan orang terkena penyakit sedini
mungkin, mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat, membiasakan
masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin, dan mendapatkan
keterangan epodemiologis yang berguna bagi klinis dan peneliti. Sedangkan
manfaat skrining adalah biaya yang dikeluarkan relatif murah, mendeteksi
kondisi medis pada tahap awal sebelum gejala menyajikan sedangkan
pengobatan lebih efektif daripada untuk nanti deteksi. Syarat yang harus
diperhatikan dalam proses skrining adalah penyakit yang dituju harus
merupakan masalah kesehatan yang berarti, tersediannya obat yang
potensial, fasilitas dan biaya untuk diagnosis, ditujukan pada penyakit kronis
seperti kanker, adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama
tentang mereka yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.

B. Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama mahasiswa


keperawatan - Semoga dapat menjadi bahan asuhan pembelajar bagi
mahasiswa keperawatan khususnya dalam mata kuliah keperawatan gerontik
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto dan Anggraeni, 2003.Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Bustan. 2000. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka
Cipta. Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Eaker, E. D., Jaros L, Viekant R. A., Lantz
P., Remington P. L., 2001. “A Controlled Community Intervention to Increase Breast
and Cervical Cancer Screening: Women’s Health Alliance Intervention Study.”
Journal Public Health Management Practice. Morton, Richard, Richard Hebel, dan
Robert J. McCarter. 2008. Panduan Studi Epidemiologi dan Biostatistika. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta:
Rineka Cipta. Rajab, Wahyudin. 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Yang dan Embretson. 2007.
Construct Validity and Cognitive Diagnostic Assessment: Theory and Applications.
New York: Cambridge University Press. Vie. 2012. Konsep Dasar Screening.
(online). Available : https://www.scribd.com/doc/106996346/Konsep-Dasar-
Screening-1 Diakses tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.55 Wita

Anderson, Elizabeth T.2006.Keperawata Komunitas Teori dan Praktik.Jakarta: EGC

Gunadarma, elearning. 2013. Epidemiologi K ebidanan

Skrining.Available:http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidan
an/bab 6-skrinning.pdf. Diakses pada 16 Maret 2016

Hidayat,Aepnurul.2014.SkriningKesehatan.Available:https://aepnurulhidayat.wordpre
ss.com/2014/03/19/skrining-kesehatan/. Diakses pada 16 Maret 2016Mubarak,Wahit
Iqbal. 2009. Pengantar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Salemba Medik

KARUNIAWATI , NATALIA SRI.2015. STATUS KESEHATAN ANAK SEKOLAH


DASAR DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2014. Available :
http://dinkes.kulonprogokab.go.id/files/Status_kes_anak_SD_2014.pdf Diakses pada
16 Maret 2016
MAKALAH
“ jenis- jenis scrining pada kelompok resiko“

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 5
NAMA:

Fitriayani manuputty
Nafsia tuankotta
Vika wulandari
Carolin lakotani
Faris wailissa
Ramon adi

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KEMENKES KESEHATAN MALUKU

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN MASOHI

T.A 2018/2019
S

Anda mungkin juga menyukai