Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

CEDERA KEPALA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5 - A.2 / SEMESTER VII

1. NANA RATNADEWI (045STYC15)


2. NUR SAIDAH (077STYC15)
3. RISA WATI (057STYC15)
4. ROZI APRILIANDI (062STYC15)
5. SEPTIANA WAHYUNING PRABAWATI (067STYC15 )
6. SITI YULIATUN (070STYC15)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

1
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2019

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan nikmat
kesehatan dan kesempatan sehingga sampai sekarang kita bisa beraktivitas dalam
rangka beribadah kepada-Nya dengan salah satu cara menuntut ilmu. Shalawat serta
salam tidak lupa penulis senandungkan kepada tauladan semua umat Nabi Muhammad
SAW, yang telah menyampaikan ilmu pengetahuan melalui Al-Qur’an dan Sunnah,
serta semoga kesejahteraan tetap tercurahkan kepada keluarga beliau, para sahabat-
sahabatnya dan kaum muslimin yang tetap berpegang teguh kepada agama Islam.
Penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Ibu Erna Wati., Ns. M.Kep. selaku
Dosen Pengampu Keperawatan Gadar yang telah memberikan bimbingan dan masukan
sehingga Makalah “Asuhan Keperawatan Cedera Otak (ckr,ckd,ckb)” ini dapat
tersusun sesuai dengan waktu yang telah di tentukan. Semoga amal baik yang beliau
berikan akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah S.W.T.
Akhir kata semoga Makalah ini senantiasa bermanfaat pada semua pihak untuk
masa sekarang dan masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Mataram, 5 april 2019

Penulis,

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3 Tujuan................................................................................................... 5
1.4 Manfaat................................................................................................. 5
BAB 2 KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1 Konsep Medis ...................................................................................... 7
2.2 Etiologi ................................................................................................. 7
2.3 Klasifikasi Cedera Kepala .................................................................... 8
2.4 Patofisiologi ......................................................................................... 9
2.5 Manifestasi Klinis .............................................................................. 10
2.6 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 10
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................. 11
2.8 Komplikasi ......................................................................................... 12
2.9 Pencegahan..........................................................................................14
BAB 3 KONSEP DASAR KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian .......................................................................................... 17
3.2 Diagnosa ............................................................................................. 20
3.3 Intervensi ............................................................................................ 21
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan......................................................................................... 24
4.2 Saran ................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..…….....25

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera otak meliputi trauma kepala, tengkorak, dan otak. Cedera otak
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan
100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera otak dan lebih dari 700.000
orang mengalami cedera otak berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
Dua pertiga dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah 4x lebih banyak
laki-laki daripada wanita.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping penerangan di lokasi kejadian
dan selama transportasi ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat
darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari
50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor.
Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya
meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami
disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif-non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau
permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia
dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawat daruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak
adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda
keras.Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan
kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi cedera kepala

4
karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa; kecelakaan kendaraan
bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama,
digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.
Resiko utama pasien yang mengalami cedera otak yang mengalami cedera otak
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakaan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Maka
diperlukan penanganan yang tepat pada seseorang yang mengalami cedera otak.
Tindakan resusitasi, anamnesa, dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus
dilakukan secara detail.)
1.2Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi cedera kepala?
1.2.2 Apa etiologi cedera kepala?
1.2.3 Apa manifestasi klinis cedera kepala?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi cedera kepala?
1.2.5 Bagaimana pathway cedera kepala?
1.2.6 Bagaimana pemeriksaan penunjang cedera kepala?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan cedera kepala?
1.2.8 Apa komplikasi cedera kepala?
1.2.9 Bagaimana menyusun konsep asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien
dengan cedera kepala?
1.1 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mendapat gambaran dan pengalaman tentang penetapan
proses asuhan keperawatan secara komprehensif terhadap klien cedera otak
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep cedera kepala
2. Untuk mengetahui pengkajian cedera kepala
3. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien cedera kepala
4. Untuk mengetahui intervensi keperawatan cedera kepala
1.2 Manfaat Penulisan
Dengan dibuatkannya makalah “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada
Pasien Cedera kepala” ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam

5
memahami mengenai konsep dasar dan memudahkan mahasiswa perawat dalam
menentukan diagnosis keperawatan sesuai dengan manifestasi klinis yang ada pada
pasien dan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pemberian intervensi
keperawatan.

6
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Medis Cedera Kepala


2.1.1 Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa
perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
dari otak (Nugroho, 2011).Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai
daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik
secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani,
2001).Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.Cedera kepala adalah gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit
neorologis terjadi karena robekannya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh
massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak
(Batticaca, 2008).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas.( Mansjoer, dkk, 2000 ).Trauma atau cedera kepala juga
di kenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena
robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta
edema serebral di sekitar jaringan otak.
Cedera kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan fungsi
otak normal karena trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk). Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh masa
karena hemoragi, serta edema serebral disekitar jaringan otak. Jenis-jenis cedera

7
otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio batang otak, hematoma
epidural, hematoma subdural, dan fraktur tengkorak.
2.2 Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain :
1. Kecelakaan mobil
2. Perkelahian
3. Jatuh
4. Cedera olahraga
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
2.3 Klasifikasi Cedera Kepala
Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu efek langsung
trauma pada fungsi otak (cedera primer) dan efek lanjutan dari sel-sel otak yang
bereaksi terhadap trauma (cedera sekunder).
1. Cedera primer
Cedera primer, terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, lasetasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
2. Cedera sekunder
Cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tidak ada pada area cedera.Konsekuensinya
meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma
Scale (GCS) nya, yaitu:
a. Ringan Cedera Otak Ringan (COR)
GCS = 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Cedera Otak Sedang (COS)

8
GCS = 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Otak Berat (COB)
GCS = 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
2.3 Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder.Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik.Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang
bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit
bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera. Cedera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya,
bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit
kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi
peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi.

9
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cedera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan
syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas (Brain, 2009).
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera
otak.
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut
2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur.
2. Angiografi cerebral

10
Bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu pertumbuhan
intrakranial hematoma.
3. CT-Scan
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial, edema
kontosio dan pergeseran tulang tengkorak.
4. Pemeriksaan darah dan urine.
5. Pemeriksaan MRI
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla
oblongata).
7. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
Komplikasi yang terjadi yaitu:
 Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral, dapat
menyertai cedera kepala yang tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial meningkat,dan
sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera otak sekunder. Pada
hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat menurun
setelahnya ketika hematoma meluas dan edema interstisial memburuk.
 Perubahan perilaku dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada.( Elizabeth
J.Corwin, 2009 )
2.6 Penatalaksaanan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :
1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-
Brething-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan
cenderung memper-hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang
lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada kesempatan
pertama.
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.

11
4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah
(syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer otak,
angiografi serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa
40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala beratsurvei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah homeostasis otak.
2.7 Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari
cedera kepala adalah;
a. Edema pulmonal

12
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa.Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang
berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan.Saat
tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk
mencoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin
kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadaan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,
yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut.Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap.Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut.Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara
intavena.Hati-hati terhadap efek pada sistem pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
c. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah

13
hidung atau telinga.Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
d. Hipoksia
e. Gangguan mobilitas
f. Hidrosefalus
g. Oedem otak
h. Dipnea
2.8 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi.
Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh
tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari gangguan tersebut
penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang
lainnya.Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena
kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain
memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh
karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran

14
udara ke dalam paru.Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut dengan
ikatan yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus
dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.Syok biasanya
disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang
lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan
hidup.Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi
penderita.Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan
lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis
dan sosial.
a. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada
lengan atas dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper.
c. Transplantasi tendon
b. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya
dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.Ancaman
kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian
financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.

15
c. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
2) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).

16
BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada ganguuan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
a.Pengkajian Awal
1. Airway
Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian oksigen 15 liter
permenit. FIO2 = 81 %, terdapat sumbatan atau penumpukan sekret,
adanya suara nafars tambahan yaitu ronchi +/+.
2. Breathing
Frekuensi nafas 20x/menit, irama nafas abnormal, nafas tidak spontan.
3. Circulation
Perubahan frekuensi jantung (bradikardi), keluar darah dari hidung dan
telinga, perubahan tekanan darah
a. Anamnesa
Identitas klien meliputi nama, umur ( kebanyakan terjadi pada
usia muda ), jenis kelamin ( banyak laki-laki, karena ngebut-
ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm ), pedidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit,
nomor register, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi
alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari
seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun

17
( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah
simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret
pada saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang. Adanya penurunan tingkat kesadaran dihubungkan dengan
perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsif, dan koma. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga
yang mengantar klien ( bila klien tidak sadar ) tentang penggunaan
obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada
beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung ,anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan,
konsumsi alkohol berlebih.
5) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi
dan diabetes melitus.
6) Pengkajian psikologis, sosio, spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketautan
akan kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien
merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif. Karena klein harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi kilen, karena
biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Cedera otak memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor

18
biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klein dan
keluarga.
b. Pengkajian Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat bergguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem ( B1-
B6 ).
1.Keadaan Umum
Pada keadaan cedera otak umumnya mengalami penurunan kesadran (
cedera otak ringan GCS 13-15, cedera otak sedang GCS 9-12, cedera otak
berat GCS <8 ) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
2. B1 ( Breathing )
Sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan
serebral akibat trauma kepala. Akan didapatkan hasil:
a. Inspeksi : Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernafasan.
b. Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
c. Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks.
d. Auskultasi : Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, ronkhi pada
klein dengan pengingkatan produksi sekret dan kemampuan batuak yang
menuurn sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran komaKlien biasanya terpasang ETT dengan ventilator
dan biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi
klien menjadi stabil pada klien dengan cedera otak berat dan sudah
terjadi disfungsi pernafasan.
3. B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang sering
terjadi pada klien cedera otak sedang sampa cedera otak berat. Dapat

19
ditemukan tekanan darah normal atau berubah, bradikardi, takikardi, dan
aritmia.
4. B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai defisit neurologi terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma,
dan epidural hematoma. Pengkajian tingkat kesadaran dengan
menggunakan GCS.
5. B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi waran, jumlah, dan karakteristik.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi urine dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin
mengalami inkontinensia urinw karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
6. B5 ( Bowel )
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan adanya peningkatan produksi asam lambung. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
7. B6 ( Bone )
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. ( Arif
Muttaqin, 2008 )
3.2 Diagnosa Keperawatan
1) Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah,
edema serebral.
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera
pada pusat pernafasan otak).
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
4) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif.

20
5) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif.( Doengose, 2000 )
3.3 Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1
Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah, edema
serebral.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, GCS, tingkat kesadaran, kognitif, dan
fungsi motorik klien membaik.
Kriteria Hasil
1) Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
2) Tingkat kesadaran membaik.
3) GCS klien meningkat.
Intervensi :
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak
dan peningkatan TIK.
R/ : Penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya klien dirawat
diperawatan intensif.
2. Pantau atau catat status neurologis secara teratus dan bandingkan dengan nilai
GCS
R/ : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaatdalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
saraf pusat.
3. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan
yang tenang.
R/ : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Diagnosa 2 :
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.

21
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu mempertahankan pola
pernafasan efektif melalui pemasangan ETT.
Kriteria Hasil :
 Pola nafas kembali efektif
 Nafas spontan.
Intervensi :
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan
pernafasan.
R/ : Perubahan daoat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau
menandakan lokasi / luasnya keterlibatan oyak. Pernafasan lambat, periode
apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanik.
2. Diposisikan head up (300).
R/ : Untuk menurunkan tekanan vena jugularis
3. Berikan oksigen.
R/ : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia. Jika pusat pernafasan tertekan, mungkin diperlukan
ventilasi mekanik.
Diagnosa 3 :
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien bebas dari tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil :Tidak ada tanda-tanda infeksi yaitu kalor (panas), rubor
(kemerahan), dolor (nyeri tekan), tumor (membengkak), dan fungsi ulesa.
Intervensi :
1. Berikan perawatan aseptik,pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan peegahan teradap komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur.

22
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan segera.
3.4 Implementasi
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap penilaian dari tindakan yang telah direncanakan. Untuk
malsalah kegawatdaruratan hipoglikemi ini adalah kesadaran klien dapat kembali
seperti semula, cairan dalam tubuh terpenuhi dan tanda-tanda vital klien normal.

23
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh
trauma benda tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada
kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan. Selain itu
hasil CT Scan dengan nilai GCS pada pasien cedera kepala. Dimana hal ini dapat
dipengaruhi oleh efek buruk cedera kepala karena melalui mekanisme langsung
dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi beberapa saat setelah trauma
terjadi sedangkan trauma secara tidak langsung merupakan cedera otak sekunder
yang bisa terjadi beberapa jam setelah kejadian bahkan beberapa hari setelah
penderita terpapar trauma. Cedera otak sekunder terjadi karena perubahan aliran
darah ke otak dan juga terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena
meningkatnya volume isi kepala.Kedua mekanisme tersebut memperberat cedera
otak yang sudah ada.Cedera otak bisa menimbulkan dampak fisik, kognitif, emosi
dan sosial. Prognosis cedera otak bisa sangat bervariasi dari mulai sembuh total
sampai cacat menetap bahkan kematian.
4.2 Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat
secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap yang dapat
digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit
keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat
maupun untuk klien.

24
DAFTAR PUSTAKA

Kozier, Berman dan Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5.
Jakarta: EGC
Sylvia, Price dan Wilson LM. 2011. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Vol. 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, dan Bare, BG. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Alih
bahasa: Kuncara. Jakarta: EGC
Corwin, J. Elzabeth. 2011. Buku Saku Patofisiologis. Edisi revisi 3. Jakarta. EGC
Dewanto, George. 2012. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta. EGC
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing
Doengoes, M.E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta. EG
Muttaqin, Arif. 2010. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta. EG

25

Anda mungkin juga menyukai