Anda di halaman 1dari 49

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakanpeningkatan tekanan darah

sistolik >140 mmHg dan tekanan darah diastolik melebihi angka 90 mmHg pada

dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam kondisi cukup istirahat

(Dika, et al., 2015) ; (Junaidi & Iskandar, 2010). Hipertensi yang terjadi pada

individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis kelamin, usia,

riwayat keluarga, kebiasaan hidup kurang sehat, dan kualitas tidur yang kurang

adekuat. Durasi kualitas tidur yang kurang akan menimbulkan aktivitas saraf

simpatik yang menyebabkan stressor pada fisiologis dan juga psikolognya

menyebutkan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat mempengarhi proses

homeostasis yang memicu terjadinya peningkatan darah. (Javaheri, et al.,

2008)(Bansil, et al., 2011)

Salah satu subjek yang sering mengalami hipertensi yaitu lansia, hal ini

disebabkan karena siring bertambahnya usia, orang tersebut akan memiliki

penurunan kemampuan fisik maupun fungsi-fungsi yang lainnya (Putra, 2011).

Mengatakan bahwa penurunan kemampuan fisik dapat mengakibat kan penurunan

pada kualitas tidur.

Kualitas tidur merupakan kemampuan seseorang mempertahankan

keadaan dimana seseorang tersebut akan mencapai kepuasan saat tidur sehingga

menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun, Kualitas tidur juga


mencakup aspek kualitatif dan kuantitatif, seperti durasi tidur, waktu yang

diperlukan untuk bisa tidur, frekuensi terbangun, latensi tidur, serta aspek subjektif

tidur seperti kedalaman dan kepuasan tidur. (Khasanah & Hidayati, 2012) ;

(Buysse, 1998)

Pada tahun 2008 disebutkan bahwa sekitar 40% penduduk dunia menderita

hipertensi (WHO, 2012). Data dari Badan Pusat Statistika (2014), menyatakan

bahwa jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa (8,03%) dari seluruh

penduduk di Indonesia mengalami hipertensi. Data KemenKes RI (2012),

menyatakan bahwa hipertensi termasuk penyakit dengan jumlah kasus rawat jalan

sebanyak 80.615 kasus. Hipertensi juga termasuk penyakit penyebab kematian

ketiga di Indonesia dengan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 4,81%.

World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 menyatakan sekitar

67% lansia mengalami gangguan tidur. Sebuah riset international yang telah

dilakukan oleh US Census Bureau, International Data Base tahun 2004 terhadap

penduduk indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa penduduk indonesia

, sebanyak 28,035 juta jiwa (11,7%) mengalami gangguan tidur. (Agung, 2015). Di

pulau Jawa dan Bali terdapat sekitar 44% lansia dengan gangguan tidur, sedangkan

di Jawa Timur terdapat sekitar 45% lansia yang mengalami gangguan tidur.

Tingginya angka kejadian hipertensi pada lansia dikarenakan salah satu

faktor yaitu gangguan pola tidur yang dialami lansia. Karena merasa sulit tidur

maka lansia tersebut akan mengalami stressor pada fisik maupun psikolognya.

Ketika lansia sudah mengalami stressor pada psikolognya maka tanpa disadari

mereka akan mengalami hipertensi.


Hipertensi dapat ditangani dengan dua cara, yaitu penanganan secara

farmakologis dan secara non farmakologis. Penanganan secara farmakologis yaitu

berupa pemberian obat-obatan anti hipertensi. Sedangkan penanganan secara non

farmakologis diantaranya adalah berhenti merokok, merubah pola hidup sehat, dan

mengurangi stressor pada fisik maupun psikolog, seperti senam yoga (Suzanne,

2012).

Senam yoga merupakan senam ringan yang dapat dilakukan di semua

kalangan usia yang memberikan efek rileksasi dan bertujuan untuk menenangkan

fikiran. Sehingga dapat memperbaiki kualitas tidur terutama pada lansia penderita

hipertensi. Rangkaian gerakan pada senam yoga, seperti latihan meditasi, bernafas,

dan fisik kesejajaran memerlukan gabungan dari kerja dari otot rangka (Mustian,

2014).

Berdasarkan pengalaman peniliti dan hasil wawancara dengan 10 orang

lansia penderita hipertensi di Desa Putat Lor Gondanglegi pada hari Senin, 25

September 2018 menunjukkan bahwa 5 orang lansia penderita hipertensi (50%)

sering terbangun saat malam hari, 2 orang lansia hipertensi (20%) terbiasa tidak

pernah tidur siang, dan 3 orang lansia hipertensi lainnya (30%) sering tidur larut

malam karena terlalu banyak memikirkan kondisi di keluarganya.

Hipertensi seringkali tidak menunjukkan tanda dan gejala yang spesifik,

kebanyakan dari orang penderita hipertensi menyepelekan penyakit tersebut dan

tidak terlalu memperhatikan pola tidurnya. Padahal, jika hipertensi tidak segera

ditanga ni akan menyebabkan komplikasi, diantaranya adalah stroke, kebutaan,

gagal jantung, gagal ginjal, bahkan kematian. Sehingga perlu dilakukan


penanganan tindak lanjut dengan cara terapi komplementer untuk menangani

masalah tersebut, salah satunya dengan dilakukan senam yoga agar kualitas tidur

menjadi lebih baik. (wahyuningsih & astuti, 2013)

Berdasarkan uraian data diatas, peniliti ingin melakukan penilitian untuk

mengetahui perbedaan kualitas tidur sebelum dan sesudah diberikannya intervensi

berupa senam yoga terhadap lansia penderita hipertensi di desa kemulan. Dengan

menggunakan kuesioner untuk mengukur kualitas tidur pada lansia.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah perbedaan efektivitas sebelum dan sesudah senam yoga

terhadap kualitas tidur lansia penderita hipertensi di desa kemulan kecamatan turen.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan efektivitas sebelum dan sesudah senam yoga

terhadap kualitas tidur lansia penderita hipertensi di desa kemulan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi keefektivitasan senam yoga pada lansia penderita

hipertensi di desa kemulan kecamatan turen.

2. Mengidentifikasi kualitas tidur lansia penderita hipertensi di desa

kemulan kecamatan kemulan.

3. Menganalisa perbedaan efektivitas sebelum dan sesudah senam yoga

terhadap kualitas tidur lansia penderita hipertensi di desa kemulan

kecamatan turen.
1.4 Manfaat

1. Bagi Institusi Pendidikan

Agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh mahasiswa

maupun dosen pengajar yang berkaitan dengan efektivitas senam yoga terhadap

kualitas tidur pada lansia penderita hipertensi.

2. Bagi Lahan Penelitian dan Responden

Sebagai bahan masukan bagi pihak Panti untuk lebih mengembangkan

upaya-upaya yang dapat menurunkan angka hipertensi pada lansia secara

nonfarmakologis.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan

efektifitas senam yoga terhadap kualitas tidur pada lansia penderita hipertensi.

1.5 Batasan Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian di desa kemulan

kecamatan turen dan menjadikan lansia penderita hipertensi sebagai respondennya

dengan menggunakan kuesioner PSQI (the Pittsburgh Sleep Quality Index) dan

Sleeping Index untuk mengukur kualitas tidur pada lansia tersebut.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia (Lanjut Usia)

Lansia adalah individu yang sudah berusia 60 tahun keatas, dan karena

faktor tertentu tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik

jasmani, rohani, maupun sosial (Nugroho W. H., 2012). Lansia / usia lanjut

merupakan tahap akhir pada siklus kehidupan manusia dan tidak bisa

dihindari karena semua individu akan mengalaminya (Prasetyo, 2010).

Pada masa ini seseorang akan mengalami proses penuaan. Proses menua

adalah dimana individu mengalami penurunan berbagai fungsi organ

tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai

serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian misalnya pada

sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan, pencernaan,

endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring

meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi

sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya

berpengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada

akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga

secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living (Fatmah,

2010).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa lansia adalah

seseorang yang berusia diatas 60 tahun yang masih aktif beraktivitas dan

bekerja maupun yang sudah tidak berdaya untuk bekerja sendiri sehingga

bergantung hidupnya pada orang lain (Rosidawati, 2011).

2.1.2 Proses Menua

Menua (aging) merupakan proses menghilangnya kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri serta mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya secara alamiah sehingga mudah terserang penyakit (Ratmini &

Arifin, 2011; Martono & Pranaka, 2011). Setiap orang akan mengalami

proses penuaan ini, namun akan berbeda pada setiap individu yang

mengalaminya. Tanda-tanda-tanda penuaan dimulai pada usia 30 tahun,

seperti kulit akan mulai mengendur dan memori jangka pendek akan mulai

menurun. Pada usia sekitar 50 – 60 tahun otak akan mulai mengalami

penyusutan, persendian kaku, serta fungsi ajntung dan paru-paru juga akan

mulai kurang efisien.

Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan menurut

Maryam, et al. (2008), yaitu:

1. Teori Biologi

Pada teori ini menjelaskan tentang proses fisik penuaan pada

seseorang, seperti perubahan fungsi dan struktur, usia dan kematian,

serta ketahanan tubuh dalam melawan penyakit. Dalam teori ini juga

mencakup beberapa teori dari proses biologi seseorang yang


mengalami penuaan, seperti teori genetik dan mutasi, teori imun,

teori stress, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.

a. Teori Genetik dan Mutasi

Menurut teori genetik dan mutasi, menua terjadi akibat

perubahan biokimia oleh molekul-molekul DNA dan setiap

sel pada saat mengalami mutasi, seperti mutasi dari sel-sel

kelamin yang mengakibatkan penurunan kemampuan fungsi

sel.

b. Teori Imun

Pada teori ini, semakin bertambahnya usia seseorang akan

semakin lemah atau berkurang pula ketahanan tubuh

terhadap penyakit. Sehingga akan semakin mudah virus atau

organisme asing masuk kedalam tubuh dan penyakit akan

mudah menyerang.

Ketika seseorang mengalami penuaan, tubuh akan

kehilangan kemampuaannya untuk membedakan zatnya

sendiri dengan zat asing lainnya, sehingga membuat sistem

imun yang ada pada tubuhnya akan menyerang dan

meghancurkanjaringannya sendiri pada kecepatan yang

meningkat secara bertahap (Potter & Perry, 2005)

c. Teori Stress

Menurut teori ini, menua terjadi akibat dari hilangnya sel-sel

yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat


mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan

usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah

terpakai.

d. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas dapat terbentuk dari alam bebas.

Ketidakstabilan radikal bebas mengakibatkan oksidasi

oksigen. Secara spesifik, terjadinya oksidasi lemak, protein,

dan karbohidrat dalam tubuh dapat menyebabkan formasi

radikal bebas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan

disebabkan akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa

pengoksidasi ini (Potter & Perry, 2005). Radikal bebas ini

menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

e. Teori Rantai Silang

Pada teori ini menyatakan bahwa molekul kolagen dan

komponen jaringan ikat membentuk senyawa yang akan

meningkatkan kekakuan pada sel (Potter & Perry, 2005).

Ikatan ini akan menyebabkan kurangnya elastisitas,

kekacauan dan hilangnya fungsi sel.

2. Teori Psikologi

Pada teori ini dipengaruhi oleh aspek biologi dan juga sosiologinya.

Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan

keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya

penurunan dari intelektalitas yang meliputi persepsi, kemampuan


kognitif, dan memori pada lanjut usia sehingga menyebabkan

mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Dengan adanya

penurunan fungsi sistem sensorik ini, maka akan terjadi pula

penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon

stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda

dari stimulus yang ada.

3. Teori Sosial

a. Teori interaksi sosial

Pada lanjut usia, kekuasaan dan prestisenya berkurang, sehigga

menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang

tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk

mengikuti perintah

b. Teori penarikan diri

Dalam teori ini, menyatakan bahwa orang yang menua menarik

diri dari peran yang biasanya dan terikat pada aktifitas yang

berfokus pada diri sendiri. Menurunnya derajat kesehatan

mengakibatkan seorang lansia menarik diri secara perlahan-

lahan dari pergaulan sekitarnya (Potter & Perry, 2005).

Menurut Maryam, et al. (2008) mengatakan bahwa lanjut usia

dinyatakan mengalami proses penuaan yang berhasil apabila ia

menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatakan diri

pada persoalan pribadi serta mempersiapkan diri dalam

menghadapi kematiannya.
c. Teori perkembangan

Pada teori ini masa tua merupakan masa dimana lansia harus

menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, seperti

kehilangan identitas dan hubungan sosialnya akibat pensiunan

ataupun akibat ditinggalnya pasangan.

4. Teori Spiritual

Komponen spritual merujuk pada hubungan individu dengan alam

semesta serta pencipta-Nya. Pada teori ini kepercayaan pada setiap

lansia memberikan suatu arti kekkuatan tersendiri bagi dirinya

untuk menjalani sisa hidupnya.

2.1.3 Batasan usia lansia

1. Menurut WHO lansia dibagi dalam beberapa rentang usia, yaitu :

(Nugroho, 2008)

a. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 – 59 tahun

b. Usia lanjut (elderly) antara usia 60 – 74 tahun.

c. Usia lanjut tua (old) antara usia 75 – 90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) usia lebih dari 90 tahun.

2. Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2,

“Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas”

(Nugroho, 2008).

3. Menurut Depkes RI (2005), batasan usia lansia dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Usia lanjut presenilis, yaitu antara 45 – 59 tahun


b. Usia lanjut, yaitu usia 60 tahun ke atas

c. Usia lanjut beresiko, yaitu pada usia 70 tahun ke atas atau usia 60

tahun ke atas dengan masalah kesehatan.

2.1.4 Karakteristik Lansia

Menurut Maryam (2008), lansia memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13

tentang Kesehatan).

2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi, seperti:

a. Rentang sehat sampai sakit

b. Kebutuhan biopsikososial sampai spiritual

c. Kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif

d. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

2.1.5 Ciri-ciri Lansia

1. Lansia merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor

psikologis. Motivasi merupakan faktor penting dalam kemunduran

pada lansia. Lansia yang tidak memiliki motivasi untuk melakukan

kegiatan, maka akan memperpecat proses kemunduran fisik.

2. Lansia memiliki status kelompok minoritas

Hal ini diakibatkan karena sikap sosial yang tidak menyenangkan

terhadap lansia. Anggapan masyarakat terhadap lansia yang lebih

senang mempertahankan pendapatnya sendiri ataun egois, sehingga

sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, namun ada juga lansia yang
mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial

masyarakat menjadi positif.

3. Membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami

kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya

dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari

lingkungan.

4. Penyesuaian yang buruk pada lansia.

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung

mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan

yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.

Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak

dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya

kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari

lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang

rendah.

2.1.6 Perubahan Fisiologis pada Lansia

Setiap lansia akan mengalami proses penuaan secara degeneratif yang

akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia. Perbahan-

perubahan ersebut meliputi perubahan fisik, kognitif, perasaan, sosial dan

sexual (Azizah, 2011)

1. Perubahan fisik
a. Sistem Sensori

Pada usia lanjut lebih sering menderita prebiakusis (gangguan pada

pendengaran) yang diakibatkan oleh hilangnya kemampuan (daya)

pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara

atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, ataupun kata-

kata yang sulit dimengerti.

b. Sistem Integumen

Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering

dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi

tipis dan berbercak.

c. Sistem Muskuloskeletal

Seiring bertambahnya usia, maka kekuatan tulang juga akan

berkurang. Gerak tubuh akan melambat, porositas tulang

meningkat, persendian kaku, dan penurunan jumlah dan ukuran

serabut otot.

d. Sistem Kardiovaskuler

Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertropi dan

kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada

jaringan ikat

e. Sistem Respirasi

Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas

total paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah untuk

mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang mengalir ke


paru berkurang dan juga perubahan yang terjadi pada sistem

muskuloskeletal mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan

kemampuan peregangan toraks berkurang.

f. Sistem Perkemihan

Pada sistem perkemihan akna terjadi perubahan, seperti akan

banyak fungsi organ yang mengalami kemunduran, contohnya laju

filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.

g. Sistem Pencernaan

Perubahan pada sistem pencernaan ini disebabkan oleh beberapa

faktor, seperti semakin berkurangnya jumlah gigi, mennurunnya

indra pengecap sehingga membuat selera makan akan berkurang,

serta terjadi melambatnya gerak peristaltik dan sekresi pada

gastrintestinal.

h. Sistem Reproduksi

Perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi lansia ditandai

dengan menciutnya ovarium dan uterus serta terjadi atropi

payudara. Sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat

memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara

berangsur-angsur.

i. Sistem Syaraf

Sistem susunan saraf pada lansia akan mengalami perubahan

anatomi dan atropi yang progresif pada serabut saraf sehingga


lansia akan mengalami penurunan koordinasi dan kemampuannya

dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

2. Perubahan kognitif

a. Daya ingat, Ingatan (memory)

b. IQ (Intellegent Quocient)

c. Kemampuan Belajar (Learning)

d. Kemampuan Pemahaman (Comprehension)

e. Pemecahan Masalah (Problem Solving)

f. Pengambilan Keputusan (Decission Making)

g. Kebijaksanaan (Wisdom)

h. Kinerja (Performance)

i. Motivasi

3. Perubahan mental

Perubahan yang terjadi pada mental seorang lansia dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu:

a. Perubahan fisik, khususnya organ perasa.

b. Kesehatan umum

c. Tingkat pendidikan

d. Gen

e. Lingkungan

f. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.

g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.


h. Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan

teman dan keluarga.

i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri.

2.2 Konsep Hipertensi

2.2.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90

mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam

keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang

berlangsung dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan pada

ginja, jantung, dan otak bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat

pengobatan yang memadai (Kemenkes RI, 2014).

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah presisien dimana

tekanan sistolik diatas 140 mmHg atau tekanan distolik diatas 90 mmHg,

sedangkan pada lansia dapat dikatakan hipertensi jika tekanan sistolik 160

mmHg ke atas dan tekanan diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih (Sheps,

2010). Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila

berlanjut dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah

(Udjianti, 2010).
2.2.2 Etiologi Hipertensi

Beberapa faktor yang menjadi penyebab dari hipertensi esensial, yaitu:

a. Genetik: Seseorang yang memiliki riwayat penyakit keluarga

dengan hipertensi akan berisiko tinggi terkena hipertensi juga.

b. Jenis kelamin dan Usia: laki-laki berisiko lebih besar terkena

hipertensi daripada perempuan karena pola hidup yang kurang baik,

seperti merokok. Sedangkan pada perempuan akan lebih mudah

terserang hipertensi pada saat masa menopouse karena produksi

hormon esterogen yang berkurang.

c. Diet: konsumsi makan yang mengandung tinggi garam dan lemak

sangat berisiko tinggi memicu perkembangan penyakit ini.

d. Berat Badan: Berat Badan yang berlebih atau obesitas juga dapat

menyebabkan hipertensi karena banyaknya timbunan lemak di

dalam tubuhnya sehingga dapat mempengaruhi tekanan darah dalam

tubuh.

e. Gaya Hidup: pola hidup yang tidak sehat akan memicu tekanan

darah seseorang, seperti merokok, meminum minuman

keras/alkohol, dan mengkonsumsi makanan berlemak dan juga

tinggi garam berlebihan.

f. Stress: stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, marah, murung)

juga dapat menyebabkan tekanan darah naik, karena stres dapat

merangsang kelenjar anak ginjal untuk mengeluarkan adrenalin dan


memacu jantung untuk bekerja lebih keras, akibatnya tekanan darah

dalam tubuh akan meningkat.

2.2.3 Klasifikasi

Berdasarkan JNC VIII (The Joint National Commite) (2014), bahwa

tekanan darah dapat diklasifikasikan berdasarkan usia dan penyakit

tertentu, yaitu:

Tabel 2.1 Batasan Hipertensi Berdasarkan JNC VIII tahun 2014

Sumber: JNC (The Joint National Commite), 2014


Sedangkan menurut American Heart Association (2014), tekanan darah

digolongkan menjadi:

Tabel 2.2 Kategori Tekanan Darah menurut American Heart Association


tahun 2014

Sumber: American Heart Association, 2014


Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Hipertensi esensial / Hipertensi primer

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), faktor yang

menyebabkan hipertensi esensial yaitu kombinasi faktor gaya hidup

seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada

sekitar 90% penderita hipertensi (Kemenkes RI, 2014).

2. Hipertensi non esensial / Hipertensi sekunder

Hipertensi yang sudah diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10%

penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar

1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat

tertentu (misalnya pil KB) (Kemenkes RI, 2014).

Adapun jenis hipertensi lain yaitu:

a. Hipertensi pulmonal

Hipertensi pulmonal merupakan kelainan pembuluh darah pada

paru yang sifatnya kronik dengan meningkatnya pembuluh darah pada

paru yang progresif, (Boediman & putu, 2013). Dalam keadaan

istirahat tekanan arteri pulmonan lebih dari 25 mmHg dan dalam

keadaan aktivitas yaitu ≥ 30 mmHg, dalam keadaan normal tekanan

arteri pulmonal yaitu kurang dari 15 mmHg. (Barst, et al., 2011).

b. Hipertensi pada kehamilan

Ada 4 jenis hipertensi pada kehamilan menurut Kemenkes RI (2014),

yaitu:
1. Preeklampsia-eklamsia juga di sebut tekanandara yang

diakibatkan kehamian atau keracunan kehamilan (selain tekanan

darah yang meninggi juga di dapatkan kelainan pajuga di dapatkan

kelainan pada air kencing nya) preklamsi juga penyakit yang

timbul dengan ada nya tanda-tanda hipertensi,edema,dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan

2. Hipertensi kronik ialah hipertensi yang sudah ada sejak

sebelum ibu mengandung janin

3. Preklampsia yaitu hipertensi kronik yang merupakan suatu

gabungan preeklampsia dengan hipertensi kronik

4. Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat

2.2.4 Penatalaksanaan Hipertensi

Penanganan pada hipertensi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu

dengan terapi farmakologis ataupun dengan cara terapi non farmakologis

yaitu modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan

dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari 1⁄ − 1⁄ sendok teh (6


4 2

gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein,

rokok, dan minuman beralkohol. Olah raga juga dianjurkan bagi penderita

hipertensi, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit

dengan frekuensi 3-5 x per minggu. Penting juga untuk cukup istirahat (6-

8 jam) dan mengendalikan stress. Untuk pemilihan serta penggunaan obat-


obatan hipertensi disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter keluarga

anda (Kemenkes RI, 2014).

Ada pun makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh penderita

hipertensi adalah:

1. Makanan yang berkadar lemakjenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak

kelapa, gajih).

2. Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit,

crackers, keripikdan makanan kering yang asin).

3. Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran

serta buah-buahan dalam kaleng, soft drink).

4. Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin,

pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).

5. Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber

protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah

(sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).

6. Bumbu-bumbu seperti kecap, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco

serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandung garam

natrium.

7. Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.


2.3 Konsep Tidur

2.3.1 Pengertian Tidur

Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia,karena

dalam tidur terjadi suatu proses pemulihan, dimana dalam proses ini

bermanfaat untuk mengembalikan kondisi seseorang pada keadaan sem

ula,dengan begitu tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi

segar kembali, proses pemulihan yang terhambat dapat menyebab kan organ

tubuh tidak bias bekerja dengan maksimal,akibat nya orang yang kurang

tidur akan cepat lelah dan mengalami penurunan konsentrasi (Ulumudiin,

2011). Tidur merupakan kebutuhan fisiologis yang berpengaruh terhadap

kualitas dan keseimbangan hidup(Potter & Perry, 2010).

2.3.2 Fisiologi Tidur

Sistem yang mengatur perubahan di dalam tubuh ialah reticular

Activating System Sistem (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BRS)

yang terletak di batang otak(Potter and Perry, 2005 dalam Agustin, 2012).

RAS ialah salah satu sistem yang mengatur seluruh kegiatan susunan saraf

pusat termasuk kewaspadaan dan tidur, RAS terletak di dalam mesenfalon

dan di bagian atas pons, selain itu RAS juga dapat memberikan rangsangan

visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari

korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir, dalam keadaan

sadar neuoron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti

neropineprin, juga pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari sel
khusus yang berada di pons dan batang otak tengah yaitu BSR (Potter and

Perry, 2005 dalam Agustin, 2012).

2.3.3 Tahapan tidur

Tidur di bagi menjadi dua fase yaitu Rapid Eye Movement (REM) dan

Non Rapid Eye Movement (NREM) ,tidur di awali oleh fase NREM yang di

bagi menjadi empat stadium lalu di ikuti ole fase REM (patlak,2005), fase

Rapid Eye Movement (REM) dan Non Rapid Eye Movement (NREM) biasa

terjadi bergantian sekitar 4-6 dalam waktu semalam (Potter & Perry,2005).

Tidur juga terdiri dari fase Rapid Eye Movement (REM) dan Non Rapid Eye

Movement (NREM), fase NREM dibagi menjadi empat dimana tingkat 1

dan 2 merupakan tidur NREM ringan dan 3 dan 4 merupakan tidur NREM

yang dalam dan disebut juga delta atau Slow Wave Sleep (SWS) (Jones,

2012).
1. Tidur Stadium Satu

Pada stadium ini seorang akan dengan mudah terbangun dengan

sendirinya, selama tahap pertama mata akan bergerak perlahan-

lahan dan aktivitas otot mulai melambat (Patlak,2005).

2. Tidur Stadium Dua

Pada stadium ini biasa terjadi selama 10 sampai 25 menit denyut

jantung melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010),

pada tahap ini bolamata berhemti tidak bergerak (Patlak 2005).

3. Tidur Stadium Tiga

Pada stadium ini seseorang akan lebih sulit di bangunkan dan

jika terbangun seseorang tidak akan bias langsung menyesuaikan

diri dan akan merasa bingung selama beberapa menit ,karena tahap

ini lebih dalam dari tahap sebelum nya (Smith & Segal, 2010).

4. Tidur Stadium Empat

Pada tahap ini merupakan tahap yang paling dalam, gelombang

otak sangat lambat aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju

ke otot untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010)

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Tidur

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi kualitas tidur, diantaranya

yaitu penyakit, gayahidup, kelelahan, lingkungan, strees, stimulant, alcohol,

medikasi, diet merokok dan motivasi. Hipertensi seringkali menyebabkan

terbangun pada pagi hari dan kelemahan (Potter & Perry, 2006) Kualitas

tidur merupakan salah satu fenomena yang sangat kompleks yang


melibatkan berbagai domain, diantaranya yaitu penilaian terhadap lama

waktu tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi pada siang hari,

efisiensi tidur, kualitas tidur, penggunaan obat tidur, apabila salah satu dari

ketujuh domain tersebut terganggu maka akan mengakibatkan terjadinya

penurunan kualitas tidur (Buysee, etal.,1989, dalam Albert, 2012).

2.3.5 Kualitas Tidur

Pada penilaian terhadap lama waktu tidur yang dinilai adalah waktu dari

tidur yang sebenarnya dialami oleh seseorang pada malam hari. Penilaian

ini dibedakan dengan waktu yang dihabiskan di ranjang. Pada penilaian ini

terhadap gangguan tidur dinilai apakah seseorang terbangun tidur pada

tengah malam atau bangun pagi terlalu cepat, bangun untuk pergi ke kamar

mandi, sulit bernafas secara nyaman, batuk atau mendengkur keras, merasa

kedinginan, merasa kepanasan, mengalami mimpi buruk, merasa sakit, dan

alasan lain yang mengganggu tidur (Buysee 1989 dalam Angkat, 2012).

Kualitas tidur merupakan kemampuan setiap orang untuk

mempertahankan keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur REM

dan NREM yang sesuai (Khasanah, 2012). Kualitas tidur merupakan suatu

keadaan yang dijalani individu untuk mendapatkan kesegaran dan kebugaran

saat terbangun dari tidurnya. Kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila

tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami

masalah dalam tidurnya (Hidayat, 2008).


2.3.6 Gangguan Tidur

1. Insomnia

Insomnia adalah gangguan tidur yang dimana seseorang sangat sulit

untuk tidur atau mempertahankan tidur pada malam hari. Ini akan

menjadi gangguan jangka pendek jika berakhir hanya dalam waktu

beberapa malam, namun akan menjadi kronik jika sampai berbulanbulan

atau semakin lama. Insomnia sementara dapat disebabkan oleh stress,

perasaan yang terlalu gembira, atau perubahan pola tidur selama

melakukan perjalanan. Pola tidur akan kembali normal ketika rutinitas

kegiatan kembali seperti biasanya. Insomnia kronik mungkin disebabkan

karena medikasi, perilaku atau masalah psikologi (DeWit, 2009 dalam

Agustin, 2012).

2. Hiperinsomnia

Hipersomnia ialah kebalikan dari insomnia, yaitu suatu yang kelebihan

waktu tidur, terutama pada siang hari (Kozier, 2004 dalam Indarwati,

2012). Hipersomnia dapat disebabkan oleh kondisi media, seperti adanya

kerusakan pada sistem saraf pusat, gangguan metabolik (asidosis

diabetik dan hipotiroidisme). Seseorang tertidur selama 8-12 jam dan

mengalami kesulitan untuk bangun di pagi hari (kadang-kadang dikenal

sebagai tidur dengan keadaan mabuk). (Harkreader, etc., 2007 dalam

Agustin, 2012).
3. Gangguan Irama Sirkadian

Gangguan tidur irama sirkadian bisa terjadi karena tidak tepatnya jadwal

tidur seseorang dengan pola normal tidur sirkadiannya (Harkreader, etc.,

2007 dalam Agustin, 2012). Seperti seseorang yang tidak dapat tidur

ketika orang tersebut berharap untuk tidur, ingin tidur, atau pun pada saat

membutuhkan tidur. Sebaliknya, seseorang merasa ngantuk di saat

waktu yang tidak diinginkan. (Craven and Hirnle, 2000 dalam Agustin,

2012).

4. Sleep Apnea

Sleep apnea dimna kondisi seseorang akan berhenti napasnya dalam

periode singkat selama tidur (Kozier, 2004 dalam Agustin, 2012). Ada

tiga tipe sleep apnea: obstruktif, sentral dan mixedcomplex. Apnea

obstruktif disebabkan oleh jaringan halus yang berelaksasi, dimana

membuat sebagian sampai seluruhnya tersumbat di saluran napas.

Sindrom sleep apnea obstruktif merupakan faktor resiko dimana

terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya. SzentkiráLyi,

MadaráSz, dan NováK, berpendapat bahwa kondisi somatik lainnya

seperti sindrom metabolik, diabetes dan penyakit ginjal kronik juga

dikaitkan dengan sleep apnea obstruktif. Apnea sentral terjadi karena

kegagalan otak untuk berkomunikasi dengan otot respiratori. Apnea

mixed-complex merupakan kombinasi dari apnea obstruktif dan apnea

sentral. (SzentkiráLyi., et al, 2009 dalam Agustin, 2012).


5. Narkolepsi

Narkolepsi adalah suatu mekanisme yang berfungsi mengatur keadaan

bangun dan tidur (Potter and Perry, 2005 dalam Agustin, 2012).

Narkolepsi terjadi secara tiba-tiba ketika seseorang sedang dalam

keadaan terjaga, dapat terjadi secara berulang dan tidak terkontrol.

Narkolepsi merupakan gangguan tidur yang dikarakteristikan oleh

abnormalnya pengaturan tidur rapid eye movement (REM) (Lois et al.,

2001 dalam Agustin, 2012).

6. Deprivasi Tidur

Deprivasi tidur ialah kurangnya tidur pada waktu tertentu atau waktu

tidur yang kurang optimal. Deprivasi tidur dapat disebabkan oleh

penyakit, stress emosional, obat-obatan, gangguan lingkungan dan

keanekaragaman waktu tidur yang terkait dengan waktu kerja. Deprivasi

tidur melibatkan penurunan kuantitas dan kualitas tidur serta

ketidakkonsistenan waktu tidur. Apabila pola tidur mengalami gangguan

maka terjadi perubahan siklus tidur normal. (Gryglewska, 2010).

7. Parasomnia

Parasomnia dimana suatu aktivitas yang normal di saat seseorang terjaga

tetapi akan menjadi tidak normal jika aktivitas tersebut muncul di saat

seseorang sedang tertidur. Masalah tidur ini lebih banyak terjadi pada

anak-anak daripada orang dewasa, aktivitas tersebut meliputi

somnambulisme (berjalan dalam tidur), terjaga malam, mimpi buruk,


enuresis nocturnal (mengompol), dan menggeratakkan gigi. (Potter and

Perry, 2006 dalam Indarwati, 2012).

2.4 Konsep Senam Yoga

2.4.1 Pengertian Senam Yoga

Yoga adalah kata dari sansekerta kuno yang mempunyai dua arti yang

berbeda, yaitu arti umum dan arti teknis. Dalam arti umum yaitu yujiryoge

yang berarti bergabung, bersatu, atau persatuan dari dua benda atau lebih.

Dalam arti teknis istilah yoga yang di peroleh dari yuj yang artinya bukan

persatuan melainkan keadaan stabil,dim dan damai (Savitri, 2009).

Senam yoga merupakan latihan pola pernafasan yang terkontrol secara

volunteer dan juga memengaruhi peningkatan aktivitas sistem saraf

parasimpatis dan meningkatkan kadar dopamine yang dapat menurunkan

setres emosional juga dapat merelaksasikan pembuluh dara dan tekanan

darah tuun,sehingga yoga di sebut sebagai terapi komplementer untuk

penderita tekanan darah tinggi (Sindhu,2013 dan Prawesti, 2015)

2.4.2 Tujuan dan Manfaat

Untuk penderita hipertensi melakukan senam yoga dapat menstimulus

penurunan aktifitas saraf simpatis dan meningkatkan aktifitas saraf

parasimpatis yang bertujuan untuk menurunkan hormon adrenalin,

norepinefrin dan kotekolamin serta vasodilatasi pada pembuluh darah yang

memberi dampak lancarnya oksigen ke otak, sehingga tekanan darah akan

menjadi normal. Pada hal ini akan terjadi relaksasi pada lansia, sekresi
melatonin yang optimal dan pengaruh beta endhorpin yang akan

memberikan kualitas kebutuhan tidur lansia menjadi baik (Cahyono, 2013).

Manfaat senam yoga secara umum jika melakukan senam yoga dapat

menigkatkan kekuatan, meningkatkan kelenturan, melatih keseimbangan,

mengurangi rasa nyeri, melatif nafas, ketenangan batin, mengurangi depresi,

meningkatkan konsentrasi dan kecerdasan (Ram, 2009). Senam yoga sangat

bermanfaat bagi penderita hipertensi karena senam yoga memiliki efek

relaksasi yang dapat meningkat kan sirkulasi darah ke seluruh tubuh,

sirkulasi darah lancar, mengindikasikan kerja jantung yang baik

(Yoga,2016).

2.4.3 Gerakan Yoga

1. Awalan

a. Sikap Tubuh

1) Menegakkan badan dan rapatkan kedua kaki, pastikan bahu dalam

keadaan turun kemudian tulang ekor ditarik ke dalam.

2) Angkat tumit dan jaga keseimbangan denagan jari-jari kaki, jika


posisi seimbang berarti anda dalam sikap tubuh yang sempurna.
3) Telungkupkan badan seperti posisi sujud dengan tumpuan pada
tumit, posisikan tangan diatas lutut kemudian tegakkan punggung
samppai siku lurus.
4) Duduk bersila dan teggakkan punggung semampunya, gerakan ini
memusatkan kesimbangan dan menciptakan perilaku mental yang
positif.
b. Bernafas

1) Posisikan kedua tangan pada perut. Kemudiantarik nafas perlahan


dan teratur, rasakan perut yang mengembug sejalan dengan
membesarnya diafragma.
2) Hembuskan nafas secara perlahan dan teratur, rasakan perut
mengecil saat bernafas dan jaga bahu dan dada agar tidak bergerak
2. Pemanasan

1) Bernafas pada posisi berdiri, kemudian angkat kedua lengan ke


arah samping badan dengan perlahan.
2) Buka dan lebarkan kaki 15-20 cm, kedua tangan menggengga di
depan tubuh lalu mulai menarik nafas sambil menganggkat
tangan.
3) Tarik nafas kemudian regangkan dan tarik tangan ke atas setinggi
mungkin, setelah itu kencangkan pinggul dan tarik tulang ekor
kedalam.
4) Buang nafas dan turunkan kedua lengan sejajar dengan bahu, lalu
angkat dengan menggunakan kekuatan otot diatas tempurung lutut
(Lalvani, 2010).
3. Inti Yoga

a. Upward Hand Pose


Lakukan dengan berdiri tegak, tarik napas dalam kemudian
gerakkan kedua tangan keatas, tarik punggung ke delam sampai
membuang saat kedua tangan manutup diatas kepala. Tehnik ini
akan membuat peregangan pada tubuh bagian depan seperti bahu,
perut, dada dan pinggul.
b. Standing Forward Fold
Lakukan dengan berdiri tegak, tarik nafas lalu keluarkan secara
perlahan sambil membungkuk, luruskan tangan ke arah bawah
hingga menyentuh antai, jika tidak mampu lakukan dengan
menekuk lutut sedikit, tehnik ini dapat mereganggkan bagian
belakang seperti tulang belikat, punggung, betis dan bokong.
c. Child pose
Gerakan ini Berfungsi sebagai peregangan untuk pinggul, paha
depan, punggung. Posisi seperti hendak tidur ini, akan membuka
pinggul dan membantu menurunkan sesak.
d. Downward Facing Dog pose
Penggunaan teknik ini bertujuan untuk merelaksasikan tulang
belakang, paha belakang, glutes, betis, memperkuat deltoids,
triceps.
e. Tree pose
Posisi ini akan meregangkan pinggul, paha bagian dalam,
memperkuat kaki, dan tulang belakang. Gerakan ini baik dilakukan
di hari-hari ketika pikiran sedang kacau, tujuannya yaitu untuk
memusatkan pikiran.
f. Fierce pose
Tehnik ini untuk mengantisipasi terhadap cidera, karan yang
dipusatkan adalah memberikan dukungan kuat di sekitar lutut,
sehingga lutut menjadi kuat jika terkena cidera, memperbaiki postur
tubuh yang kurang sempurna.
4. Pendinginan

1) Lakukan dengan duduk bersila disertaai dengan nafas sebanyak 3x di


iringi dengan mengangkat tangan dari bawah ke atas
2) Lakukan hingga perasaan menjadi tenang dan nyaman (Rohimawati,
R. 2009).
2.5 Kerangka Konsep

Lansia di desa kemulan dengan


Hipertensi

Faktor yang mempengaruhi Kualitas Tidur


kualitas tidur :
1. Penyakit
2. Gaya hidup
3. Kelelahan
Senam Yoga
4. Lingkungan
1. Awalan
5. Stres
2. Pemanasan
6. Alcohol
3. pendinginan
7. Medikasi
8. Diet
9. Merokok
10. motifasi

1. Baik
Kualitas tidur
2. Buruk

2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan Gambar

: Diteliti

: Tidak diteliti

2.6 Penjelasan Kerangka Konsep

Pada kerangka konsep di atas menjelaskan bahwa peneliti akan melakukan

penelitian pada lansia yang mengalami hipertensi. Lansia tersebut sering kali

menunjukan kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk pada lansia

dapat di lakukan penata laksanaan berupa senam yoga yang fungsi nya untuk

mengoptimalkan tekanan darah. Dalam penelitian ini peneliti bermaksud


menganalisis perbedaan kualitas tidur sebelum dan sesudah di lakukan senam

yoga. Kualitas tidur di klasifikasikan menjadi dua yaitu baik dan buruk

2.7 Hipotesis

Pada penelitian ini memunculkan hipotesis sebagai berikut:

H0 ditolak, maka ada perbedaan kualitas tidur sebelum dan sesudah dilakukan

senam yoga pada lansia penderita hipertensi.


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Dan Rancangan Penelitian


Desain penelitian adalah model atau metode yang digunakan peneliti untuk

melakukan penelitian yang memberikan arah terhadap jalannya penelitian

(Dharma, 2011). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

“One Group pre-post test” tanpa menggunakan kelompok kontrol dan penelitian

ini memerlukan dua kali observasi sebelum dan sesudah di lakukan senam yoga.

Bentuk rancangan penelitian ini sebagai berikut:

01______________X______________02

Keterangan:

O1:pengukuran sebelum di lakukan senam yoga

X :perlakuan senam yoga

02:pengukuran sesudah di lakukan senam yoga

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitan ini akan di lakukan pada bulan Januari di Desa Kemulan Kec. Turen.
3.3 Kerangka Kerja (Frame Work)
Gambar 3.1 Kerangka Kerja (judul)

Populasi
Seluruh lansia yang terdaftar di desa kemulan sebanyak 30 orang

Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah lansia penderita hipertensi di desa kemulan sebanyak
28 orang

Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling

Desain penelitian
Pra experimental one group pre test post test

Dependen Independen
kualitas tidur Senam yoga

Instrumen Instrumen
Wawancara PSQI SOP senam yoga
(pittsburg sleep quality
Index)

Pengolahan Data

Analisis bivariate
Dengan uji wilcoxon

Pembahasan

Penarikan Kesimpulan
Jika p value ≤ 0,05 = maka Ho ditolak, ada perbedaan
Jika p value > 0,05 = maka Ho diterima, tidak ada perbedaan
3.4 Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah lansia penderita hipertensi,

sedangkan populasi terjangkau pada penelitian ini adalah lansia penderita

hipertensi di wilayah desa kemulan, berjumlah 28 orang lansia

3.4.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek

yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2012).

Pengambilan sample didapatkan hasil perhitungan dengan rumus yaitu:

Rumus:

N
𝑛=
1 + 𝑁(𝑑 2 )
Keterangan :

n=jumlah sampel

N=jumlah populasi

d=ketetapan relative yang ditetapkan oleh peneliti(0,05)

30
𝑛=
1 + 30(0,052 )

30
𝑛=
1,075

𝑛 = 28, s

Jumlah responden/sample pada penelitian ini sebanyak 28 orang.

Pada penelitian ini pengambilan sample juga meliputi kriteria inklusi dan

eksklusi. Berikut penjelasannya:


1. Kriteria Inklusi

a. Lansia yang mederita hipertensi bersedia menjadi responden

b. Lansia yang memiliki masalah dalam jam tidurnya

2. Kriteria Eksklusi

a.Lansia yang tidak hadir dalam penelitian

b.lansia hipertensi yang mempunyai penyakit selain hipertensi

3.4.3 Sampling

Teknik pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling yaitu suatu karakteristik setiap individu yang mempunyai

suatu teknik penetepan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi

yang di sesuaikan dengan kehendak peneliti (tujuan/masalah

penelitian).sehingga sampel tersebut memiliki karakteristikpopulasi yang telah

di kenal sebelumnya (Nursalam,2014)


3.5 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Perbedaan Kualitas Tidur Sebelum dan Sesudah
dilakukan
Senam Yoga pada Lansia Penderita Hipertensi
Skala
NO Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Pengukur Hasil Ukur
an

Pemberian aktivitas
Variabel fisik/olahraga ringan
SOP Senam
1 Independen: dengan suasana - - -
Yoga
Senam Yoga menenangkan selama
menit

a. kualitas tidur
subyektif
b. latensi tidur
c. lama tidur malam Lembar
keadaan tidur yang
d. efisiensi tidur Kuesioner
Variabel dijalani seorang individu 1. Baik ≤ 5
e. gangguan ketika PSQI
2 Dependen: menghasilkan kesegaran Ordinal
tidur malam (pittsburgh 2. Buruk > 5
Kualitas Tidur dan kebugaran di saat
f. menggunakan sleep quality
terbangun
obat-obat tidur index)

g. terganggunya
aktifitas disiang
hari

3.6 Identikasi Variabel

3.6.1 Variabel Bebas (independent)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi akibat utama

terjadinya perubahan variabel terkait (dependent)(sugiono,2014) Variabel

independen dalam penelitian ini adalah kualitas tidur


3.6.2 Variabel Terikat (dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain

atau menjadi akibat (Nursalam, 2014). Pada penelitian ini yang merupakan

variabel terikat adalah senam yoga

3.7 Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

3.7.1 Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan SOP senam yoga sebagai panduan

dilakukan nya senam yoga terhadap lansia penderita hipertensi (SOP terlampir) dan

kuesioner PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) (terlampir) yang digunakan untuk

mengukur kualitas tidur pada lansia penderita hipertensi. Dalam kuisioner PSQI,

terdapat 9 pertanyaan yang dibagi menjadi 7 komponen yaitu kualitas tidur

subyektif, latensi tidur, lama tidur malam, efesiensi tidur, gangguan ketika tidur

malam, menggunkan obat-obat tidur dan terganggunya aktifitas disiang hari. Dan

hasil pengukuran kualitas tidur tersebut diklasifikasikan menjadi 2 yaitu kualitas

tidur baik dengan nilai ≤ 5 dan kualitas tidur buruk > 5. (Smith,2012 dalam

Fandiani, Wantiyah & Juliningrum,2017)

3.7.2 Cara Pengumpulan Data

a. Peneliti membuat dan mengajukan proposal penelitian dalam sidang

proposal dan lulus uji sidang proposal, kemudian peneliti mengajukan

surat permohonan untuk melakukan penelitian kepada pihak kampus

STIKes Kepanjen.
b. Setelah peneliti mendapatkan surat permohonan izin melakukan

penelitian yang di sahkan oleh Ketua STIKes Kepanjen yang ditujukan

kepada Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik Perlindungan

Masyarakat Kabupaten Malang (BANKESBANGPOLLINMAS),

Kepala Dinas kesehatan Kabupaten Malang, kepada Bapak Camat

Turen, kepada Kepala Desa Kemulan, kepada Puskesmas Turen, kepada

kepala polindes kemulan.

c. Setelah dari (BANKESBANGPOLLINMAS), peneliti meneruskan izin

penelitian kepada Kepala Dinas kesehatan Kabupaten Malang, kepada

Bapak Camat Turen, lalu diteruskan kepada Kepala Puskesmas Turen.

Kemudian melalui surat pengantar dari kepala puskesmas Turen,

meneruskan kepada penanggungjawab atau kepala polindes Desa

Kemulan Kecamatan Turen.

d. Setelah mendapat izin untuk melakukan penelitian dari kepala

puskesmas Turen dan penanggungjawab di polindes desa Kemulan,

maka peneliti meminta data-data penderita hipertensi termasuk nama

dan alamat pasien yang mengikuti kegiatan posyandu lansia khususnya

lansia dengan penyakit hipertensi yang sesuai dengan kriteria untuk

dijadikan respnden.

e. Peneliti menghubungi Sdri. Bimbi Wahyu beserta tim selaku menjadi

instruktur senam yoga pada lansia penderita hipertensi.


f. Kemudian peneliti mendatangi kediaman dari responden yang dipilih

sebagai sampel penelitian dan memberikan penjelasan kepada

responden tentang senam yoga, menjelaskan tujuan dan manfaatnya,

sehingga responden dapat memahami maksud, tujuan, dan manfaat dari

penelitian yang akan diberikan.

g. Setelah memberikan penjelasan kepada responden, peneliti

memberikan lembar persetujuan sabagai bentuk relawan bahwa

bersedia turut serta dalam kegiatan penelitian ini, dengan memberikan

tanda tangan pada lembar persetujuan tersebut, dalam hal ini peneliti

juga tidak akan menuntut jika subjek menolak, maka tidak ada unsur

paksaan dalam penelitian ini.

h. Setelah subjek atau responden menandatangani lembar persetujuan

tersebut, maka yang dilakukan peneliti adalah menggali informasi lebih

banyak dari subjek sebagai pelengkap data-data yang diperlukan.

i. Kemudian peneliti mengambil data primer yaitu mengukur tekanan

darah sistole dan diastole pada setiap subjek atau responden. Sebelum

diberikan senam yoga.

j. Setelah diberikan senam yoga maka yang dilakukan peneliti selanjutnya

adalah mengukur kembali kualitas tidur.

k. Pemberian terapi ini dilakukan dengan durasi 30 menit selama 2 hari.

Selama waktu 2 hari peneliti akan mendatangi kediaman responden


untuk diberikan terapi dan mengobservasi kondisi kualitas tidur. Data

akhir diperoleh pada hari terahir permberian terapi dan observasi.

l. Setelah semua data responden terkumpul maka selanjutnya akan

didokumentasikan sebagai bahan analisis dengan menggunakan

program SPSS untuk mendapatkan hasil statistik dari penelitian.

3.8 Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dilakukan analisis data dengan tahapan-tahapan, yaitu :

3.8.1 Pengelohan Data

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh

data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok berupa data mentah

dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi

yang diperlukan (Setiadi, 2013). Ada empat langkah pengolahan data

sebagai berikut.

a. Editing / memeriksa

Dimana peneliti melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh

dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam pencatatan.

Pada saat melakukan inform consent responden diminta mengisi

lembar indentitas dari pasien dengan jelas dan lengkap kecuali nama

dibuat inisial.
b. Coding

Yaitu melakukan pemberian kode untuk memudahkan pengolahan

data. Pada saat nama responden hanya diberi nama inisial tidak

diperbolehkan nama lengkap.

1) Kode untuk jenis kelamin pasien :

1. : Laki – laki : L

2. : Perempuan : P

2) Kode untuk umur pasien :

1. : 60 – 65 tahun

2. : 66 – 70 tahun

3. : 71 – 75 tahun

4. : 76 – 80 tahun

5. : 81 – 85 tahun

6. : 86 – 90 tahun

7. : 91 – 95 tahun

3) Kode untuk penyakit penyerta :

1. : Ada penyakit penyerta

2. : Tidak ada penyakit penyerta

4) Kode untuk obat anti hipertensi :

1. : Minum obat anti hipertensi

2. : Tidak minum obat anti hipertensi

5) Kode untuk tingkat hipertensi (Sistol) :

1. : Normal (≤120 mmHg)


2. : Pre Hipertensi (120-139 mmHg)

3. : Hipertensi Stadium 1 (140-159 mmHg)

4. : Hipertensi Stadium 2 (≥160 mmHg)

6) Kode untuk tngkat hipertensi (Diastol) :

1. : Normal (≤80 mmHg)

2. : Pre Hipertensi (80-89 mmHg)

3. : Hipertensi Stadium 1 (90-99 mmHg)

4. : Hipertensi Stadium 2 (≥100 mmHg)

c. Entry

Yaitu memasukkan data kedalam computer dengan menggunakan

aplikasi program computer. Dalam hasil penelitian hasil data yang

didapatkan di masukkan ke dalam table dan buat statistikany

d. Tabulating

Tabulasi adalah usaha menyajikan data terutama penegelolaan data

yang menjurus ke analisis kuantitatif. Penyususnan data biasanya

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang (Wasis,

2008).
3.9 Analisa Data

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang bertujuan untuk menjelaskan atau

mendiskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. yang

mana pada umumnya analisis ini menghasilkan distribusi frekuensi dan

persentase dari tiap variable (Notoatmodjo, 2014)

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dua kali. Analisis untuk mengetahui

perbedaan kualitas tidur sebelum dan sesudah dilakukan senam yoga

dengan uji statistik wilcoxon (Sabri & Hastono, 2010).

Analisis bivariat adalah analisis yang menguji pengaruh, perbedaan

antara dua variabel. Pemilihan uji statistik yang akan digunakan untuk

melakukan analisis didasarkan pada skala data, jumlah populasi atau

sampel dan jumlah variabel yang diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk

membuktikan hipotesis penelitian yaitu melihat ada pengaruh senam yoga

terhadap kualitas tidur pada lansia penderita hipertensi di desa kemulan .

3.10 Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian khususnya jika yang menjadi penelitian

adalah manusia, maka penelitian harus memahami hak dasar manusia. Manusia

memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga penelitian yang akan

dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi kebebasan manusia


3.10.1 Informed Consent

Informed consent adalah lembar persetujuan bahwa responden

setuju dan bersedia untuk berpartisipasi sebagai bahan uji penelitian,

informed consent dalam bentuk lembar yang akan ditandatangi

responden, dalam lembar tersebut berisi judul penelitian dan manfaat

penelitian. Lembar informed consent tidak tercantumkan bahwa

responden wajib turut sebagai bahan uji penelitian sehingga tidak ada

unsur paksaan.

3.10.2 Anonimity

Anonimity digunakan untuk menjaga privasi setiap subjek atau

responden, menjaga kerahasiaan responden merupakan etika yang

harus dilakukan oleh peneliti agar tidak dipergunakan untuk

penyalahgunaan nama. Maka dari itu peneliti hanya menggunakan

kode atau inisial didalam data penelitian seperti lembar observasi dan

pengumpulan data.

3.10.3 Convedentiality

Data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian tidak

akan dipublikasikan dan dijamin kerahasiaannya, data tersebut hanya

dapat digunakan sebagai informasi medis dan pengembangan ilmu.


Dalam penelitian ini hanya kelompok tertentu yang akan dilaporkan

sebagai hasil riset, seperti data status kesehatan responden.

Anda mungkin juga menyukai