Filsafat adalah study tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-
eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi filsafat, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Dalam filsafat Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa,
Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi
semesta alam.
Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa
(tauhid). Dia itu wahiddan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99
Nama Allah (asma'ul husnaartinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-
sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan
Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah
"Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim)
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang
personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia
menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya.
Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang di ridhoi-Nya.”
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah
oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi
Filsafat ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar al-
Qur’an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang
akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran
mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.
Filsafat ketuhanan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
Menurut para mufasir(ahli agama), melalui hadis al-Qur’an (Al-’Alaq [96]:1-5), Tuhan
menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal
termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur’an adalah wahyu Allah,
sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan “penuturan Allah tentang diri-
Nya”
Selain itu menurut Al-Qur’an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri
manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (Al-A’raf [7]:172).
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Al-
A’raf [7]:172).
Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji
keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi.
Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia
memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat
keberadaan Tuhan. Al-Qur’an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8
artinya : Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya
dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya
lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk
(menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan
kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka" surah Az-
Zumar [39]:8.
Artinya : Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di
daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang
mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (surah
Luqman [31]:32).
SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA TENTANG TUHAN
Proses perkembangan pemikiran manusia tentang tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut
1. Dinamisme
Paham ini mengaku adanya kekuatan (maging power) yang berpengaruh dalam kehidupan manusia,
kekuatan ini terbentuk dalam kepercayaan hayati yang ditunjukkan pada benda-benda (dianggap
keramat).
2. Animisme
Paham ini mempercayai adanya peranan roh dalam kehidupan manusia, roh dianggap selalu aktif
walaupun sudah mati. Paham ini membagi roh atas dua yaitu roh baik dan roh jahat (nakal).
3. Politeisme
Paham ini mempercayai dan menganggap banyak dewa sebagai Tuhan sehingga dewa tersebut
dipuja dan disembah oleh manusia.
4. Henoteisme
Dari banyak dewa, selanjutnya manusia menyeleksi satu dewa yang dianggap mempunyai kekuatan
lebih yang kemudian mereka anggap sebagai Tuhan.
5. Monoteisme
Islam mengawali pengenalan tentang Tuhan bersumber pada tauhid, dalam Islam terdapat beberapa
aliran yang bersifat liberal, tradisional dan ada pula yang bersifat diantara keduanya, corak
pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran tentang ilmu ketuhanan (ilmu tauhid) yang masing-
masing berlainan pandangan tentang Tuhan, diantara aliran tersebut yaitu (Nasution 1985 : 51-52) :
1. Mu’tazilah
Kaum rasionalisme yang menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan
keimanan dalam Islam, paham ini menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan.
2. Qadariah
Paham ini berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan berusaha.
3. Jabariah
Paham ini berteori bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berkehendak dan berbuat,
Tuhan ikut di dalamnya bila manusia berbuat.
Paham ini berteori bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan usaha, namun Tuhan
jugalah yang menentukan.
PEMBUKTIAN WUJUD ADANYA TUHAN
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai
obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS : 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:
َ َعلَى
َس ْم ِع ِه َ علَىَع ِْل ٍم
َ ََو َخت ََم َّ ضلَّه
َ َََُُّللا َ َ ََِّللاَِأَفَالَتَذَ َّك ُرونَ َ أَفَ َرَأ َيْتَ َ َم ِنَات َّ َخ َذََإِلَ َههَُه ََوا َهَُ َوأ
َّ َاوةًَفَ َم ْنَيَ ْهدِيهَِمِ ْنَبَ ْعد َ َعلَىَب
َ ص ِرهَِ ِغش َ َوقَ ْلبِه
َ َََِو َجعَل
)٢٣(
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah
membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah
Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
َىَوإِ ِِّني
َ س َّ َ ص ْر ًحاَلَعَ ِلِّيَأ
َ ط ِل ُعَإِلَىَإِلَهَِ ُمو ِ ِّ ِعلَىَالط
َ َينَفَاجْ عَ ْلَلِي َ َ ُغي ِْريَفَأ َ ْوقِدَْلِيَيَاَهَا َمان
َ ٍَع ِل ْمتُ َلَ ُك َْمَمِ ْنَإِلَه ْ ع ْونُ َيَاَأَيُّ َه
َ َاَال َمألَ َما َ َوقَالََف ِْر
ْ َظنُّهَُمِ ن
)٣٨(َ ََالكَا ِذ ِبين ُ أل
dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka
bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya
aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk
orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti
berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Derifasi
makna dari kata ilah tersebut mengandung makna bahwa ‘bertuhan nol’ atau atheisme adalah tidak
mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-
Quran sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan
secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.
Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari
padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.
Imaduddin, 1989 : 56)
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti,
manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap
manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan
peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal
itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih
dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.
Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa menjelaskan dalam
makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina Ibn Sina wa Ibnu Rusyd” yang telah di edit oleh DR.
Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Beliau mengatakan :
Dalam ajaran Islam, Allah adalah pencipta segala sesuatu ; tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa
kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya. Allah mengetahui segala
sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Ia yang menciptakan alam ini, dari tidak ada
kepada ada, tanpa perantara dari siapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas
hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme,
yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian
dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan
pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada
pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India).
b. Animisme
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati.
Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak
senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek
negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa.
Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi
angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari
dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa
hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui tuhan
(ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa disebut dengan Henoteisme (Tuhan
Tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi Monoteisme. Dalam Monoteisme hanya
mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk Monoteisme ditinjau
dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan
EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang
agung dan sifat-sifat yang khas terhadap tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi
reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme
dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide
tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut
diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul
kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran
wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-27).
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di
kalangan umat Islam, timbul beberapa periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada
saat terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyyah.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam
memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat
tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual
dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Aliran-aliran
tersebut yaitu :
a. Mu’tazilah
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam
memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka
memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah
pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia
sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia
harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua
tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan dari
Murji’ah
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran Qadariah dan Jabariah.Semua
aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode masa lalu.
Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh
karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi
mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu
berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Banyak sekali bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa Tuhan adalah Wujud
(ada). Bukti klasik yang sering digunakan adalah tentang adanya alam semesta. Setiap sesuatu yang
ada tentu diciptakan dan pencipta pertama adalah Tuhan. Pembuktian dengan pendekatan seperti
diatas sebenarnya bukanlah hal baru lagi. Jauh sebelum umat Islam menggunakan pembuktian
semacam itu Plato telah mengemukakan teori dalam bukunya Timaeus yang mengatakan bahwa
tiap-tiap benda yang terjadi mesti ada yang menjadikan.
Sebagaimana pun bukti-bukti klasik dapat menunjukkan tentang esensitas wujud Tuhan, namun
mereka yang masih saja menganggap dirinya sebagai atheis tetap saja tidak menerima kebenaran
ilmiah hakiki bahwa Tuhan terbukti ada. Berdasarkan fakta tersebut kiranya penulis merasa perlu
juga menyajikan bukti-bukti yang lebih kontemporer sebagaimana yang diperbincangkan oleh
beberapa ahli pikir pada zaman sekarang khususnya di universitas-universitas di Scotlandia.
Adanya alam semesta serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh
tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya. Jika percaya
tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam.
Prof. Dr. H. M Rasjidi memberikan perumpamaan dalam bukunya : Kalau dua batang pohon berdiri
berdampingan satu sama lain dalam hutan, bila yang satu mati dan yang satu tetap hidup, orang
akan beranggapan bahwa ada sebab-sebab dan faktor-faktor yang menimbulkan adanya keadaan
yang berlainan itu.
Jika kita amati dengan seksama apa yang dikemukakan oleh beliau kita akan menemukan satu bukti
besar bahwa Allah itu ada. Pohon yang mati sebab mendapat penyakit, dan penyakit timbul juga
karena sebab dan begitulah seterusnya.
2. Pembuktian Melalui Pendekatan Kontemporer
Hukum yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan energi
membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Bertitik tolak dari kenyataan bahwa
proses kerja kimia dan fisika di alam terus berlangsung serta kehidupan tetap berjalan. Maka hal ini
membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali.
b. Purposive Order.
Segala jenis planet dan bintang yang tersusun dalam tatasurya berjalan sesuai rotasinya. Matahari
dan bulan, siang dan malam bergerak secara teratur dan mengikuti aturan yang pasti. Semua itu
tidak akan mungkin terjadi secara serasi bila tidak ada yang mengaturnya. Jika dalam pergerakan dan
perputarannya mereka bebas, niscaya malam akan menjadi siang dan siang akan menjadi malam.
BAB 2
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-Insan, al-Basyr, Bani Adam
dan Zuriyah Adam yang hal ini sebagai penolakan terhadap teori Darwin tentang evolusi, bahwa
manusia adalah keturunan dari kera serta an-Nas, Adapun konsep manusia menurut Al-Qur’an
adalah sebagai berikut:
1) Insan
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini jika
ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari pada yang berpendapat bahwa ia terambil dari
kata nasiya (lupa), ataunasa-yanusu (berguncang) dan ada juga dari akar kata Naus yang
mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”.[1] Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita
pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta
berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan
sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilaku
negatif dan merugikan.[2]
2) Basyar
Kata basyar terambil dari akar kata yang mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan
indah, dari akar yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Dari sisi lain diamati bahwa banyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa
proses kejadianmanusia sebagai basyar melalui tahap-tahap. Disini tampak bahwa
katabasyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu
memikul tanggung jawab, sebab itu pula tugas kekhalifahan dipikulkan kepada basyar seperti
dijelaskan dalam Al Qur’an surat Ar-Ruum ayat 20:[3]
ô`ÏBurَÿ¾ÏmÏG»tƒ#uäَ÷br&َNä3s)n=s{َ`ÏiBَ5>#t•è?َ¢OèOَ!#sŒÎ)َOçFRr&َÖ•t±o0šcrçŽÅ³tFZs?َÇËÉÈ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah,
Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.[4]
3) Bani Adam dan Zuriyah Adam
Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk
menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.[5] Penggunaan istilah banii Aadam dan
Zuriyah Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari
makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-
Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang
menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak
(antum).[6]
4) An-Naas
Manusia dilihat dari segala permasalahan hidupnya.[7] Kosa kata An- Naas dalam Al- Qur’an
umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai
makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang
menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi”. Hal ini sejalan dengan teori
“strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai
karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang
bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada
dalam konteks sosial.[8]
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki kedudukan yang sangat mulia. Tetapi
sebelum membahas tentang kedudukan, perlu diketahui tentang esensi dan eksistensi manusia.
Manusia memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah dan khalifah sebagai utusan Tuhan
dimuka bumi, disini harus bersentuhan dengan sejarah dan membuat sejarah dengan
mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dengan disemangati nilai-nilai
trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi
nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penjalan amanah Tuhan di muka bumi. Manusia
dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dalam rangka
memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan
pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek
dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa hal yang terkait dengankedudukan
manusia dalam alam semesta menurut al-qur’an adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipta
dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu
tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
bumi (QS. 2 :30).[9]
øŒÎ)urَtA$s%َš••/u‘َÏps3Í´¯»n=yJù=Ï9َ’ÎoTÎ)َ×@Ïã%y`َ’ÎûَÇÚö‘F{$#َZpxÿ‹Î=yzَ(َ(#þqä9$s%ã@yèøgrBr
&َ$pkŽÏùَ`tBَ߉šøÿãƒَ$pkŽÏù
َà7Ïÿó¡o„urَuä!$tBÏe$!$#َß`øtwUurَßxÎm7|¡çRَx8ωôJpt¿2َâ¨Ïd‰s)çRurَy7s9َ(َtA$s%َþ’ÎoTÎ)ãNn=ôã
r&َ$tBَŸwَtbqßJn=÷ès?َÇÌÉÈ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke
arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua
pengertian :[10]
1) Orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
2) Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan
kekeliruan.
Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehubungan dengan makna khalifah yakni unsur
intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam raya dan antar
manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu
penugasan Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatnya eksistensi manusia
dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan
kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut memang sangat berat. Namun status ini
menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari
tugas tersebut menggambarkan bahwa kedudukan manusia selaku makhluk ciptaan-Nya yang paling
mulia.[11]
Dalam konteks konsep abdul Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini
berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada
semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT.[12] Kedudukan sebagai hamba Allah ini memang
menjadi tujuan Allah menciptakan manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang artinya manusia
berkewajiban memaknai semua usaha dan kegiatannya sebagai ikhtiar dan realisasi penghambaan
diri kepada Allah termasuk melalui aktifitas pengelolaan alam raya dengan kekuasaan yang
dimilikinya guna memenuhi kebutuhan hidup.[13] Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Adz-
Dzariyat ayat:56
$tBurَàMø)n=yzَ£`Ågø:$#َ}§RM}$#urَžwÎ)َÈbr߉ç7÷èu‹Ï9َÇÎÏÈ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(QS. Adz-Dzariyat ayat:56)[14]
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan
adalah memanusiakan manusia (humanisasi),[15] tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M.
Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan
berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik
akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan
atau ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand).[16] Berangkat dari
arti penting pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat
dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah
ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan
jati diri bangsa.[17]
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah raja hidup bagi setiap manusia. Karena kita
sadari bahwa tidak ada seorang pun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini
membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi
seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah
SWT juga tidaklah sekali jadi. Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan
(taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya
petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka
kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan
tuntunan yang terarah, teratur serta berkesinambungan yang semuanya merupakan proses dalam
rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari
kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl. secara rinci implikasi manusia dalam proses pendidikan
adalah sebagai berikut:[18]
(a) Menjadikan Allah sebagai sentral tujuan dan kurikulum pendidikan Islam.
(b) Menyajikan materi pendidikan yang diorientasikan agar anak didik mampu mengenal Allah,
mengenal diri sendiri, mengenal alam lingkungan sosial.
(c) Menyusun draf-draf materi pelajaran berdasarkan urutan, tingkatan, kemampuan dan
kebutuhannya. Dengan demikian setelah siswa menyelesaikan studinya ia mampu menempatkan
fungsinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk pengelola alam.
(e) Menjadikan alam sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, objek pendidikan, alat
pendidikan, serta media pendidikan,[19] mengingat manusia adalah pemanfaat dan penjaga
kelestarian alam.[20]
(a) Mengutamakan kesucian hatinya dari akhlak atau moral yang jelek dan sifat-sifat yang tercela
(b) Mengurangi kesibukan pikiran dengan hal keduniaan, karena bilamana kurang konsentrasi, maka
sulit mencapai hakikat ilmu yang dipelajari.
(d)Hendaknya mempelajari semua cabang ilmu dan memperhatikan maksud dan tujuannya.
(e) Tidak boleh mendalami suatu cabang ilmu yang lebih tinggi, sebelum memahami betul ilmu yang
sebelumnya. Karena ilmu-ilmu itu mempunyai tingkatan sistematis dan sebagian ilmu itu merupakan
jalan atau tangga untuk sapai pada sebagian lainnya.
D.FUNGSI ISLAM DALAM KEHIDUPAN
a. Sebagai Pembimbing Dalam Hidup
Pengendali utama kehidupan manusia adalah kepribadiannya yang mencakup segala unsure pengalaman
pendidikan dan keyakinan yang didapatnya sejak kecil. Apabila dalam pertumbuhan seseorang terbentuk suatu
kepribadian yang harmonis, di mana segala unsur pokoknya terdiri dari pengalaman yang menentramkan jiwa
maka dalam menghadapi dorongan baik yang bersifat biologis ataupun rohani dan sosial akan mampu
menghadapi dengan tenang.
b. Penolong Dalam Kesukaran
Orang yang kurang yakin akan agamanya (lemah imannya) akan menghadapi cobaan/kesulitan dalam hidup
dengan pesimis, bahkan cenderung menyesali hidup dengan berlebihan dan menyalahkan semua orang.
Beda halnya dengan orang yang beragama dan teguh imannya, orang yang seperti ini akan menerima setiap
cobaan dengan lapang dada. Dengan keyakinan bahwa setiap cobaan yang menimpa dirinya merupakan ujian
dari tuhan (Allah) yang harus dihadapi dengan kesabaran karena Allah memberikan cobaan kepada hambanya
sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, barang siapa yang mampu menghadapi ujian dengan sabar akan
ditingkatkan kualitas manusia itu.
c. Penentram Batin
Jika orang yang tidak percaya akan kebesaran tuhan tak peduli orang itu kaya apalagi miskin pasti akan selalu
merasa gelisah. Orang yang kaya takut akan kehilangan harta kekayaannya yang akan habis atau dicuri oleh
orang lain, orang yang miskin apalagi, selalu merasa kurang bahkan cenderung tidak mensyukuri hidup.
Lain halnya dengan orang yang beriman, orang kaya yang beriman tebal tidak akan gelisah memikirkan harta
kekayaannya. Dalam ajaran Islam harta kekayaan itu merupakan titipan Allah yang didalamnya terdapat hak
orang-orang miskin dan anak yatim piatu. Bahkan sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang maha berkehendak,
tidak mungkin gelisah.
7
Begitu juga dengan orang yang miskin yang beriman, batinnya akan selalu tentram karena setiap yang terjadi
dalam hidupnya merupakan ketetapan Allah dan yang membedakan derajat manusia dimata Allah bukanlah
hartanya melainkan keimanan dan ketakwaannya.
d. Pengendali Moral
Setiap manusia yang beragama yang beriman akan menjalankan setiap ajaran agamanya. Terlebih dalam
ajaran Islam, akhlak amat sangat diperhatikan dan di junjung tinggi dalam Islam. Pelajaran moral dalam Islam
sangatlah tinggi, dalam Islam diajarkan untuk menghormati orang lain, akan tetapi sama sekali tidak diperintah
untuk meminta dihormati.
Islam mengatur hubungan orang tua dan anak dengan begitu indah. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi:
“dan jangan kau ucapkan kepada kedua (orang tuamu) uf!!” Tidak ada ayat yang memerintahkan kepada
manusia (orang tua) untuk minta dihormati kepada anak.
Selain itu Islam juga mengatur semua hal yang berkaitan dengan moral, mulai dari berpakaian, berperilaku,
bertutur kata hubungan manusia dengan manusia lain (hablum minannas/hubungan sosial). Termasuk di
dalamnya harus jujur, jika seorang berkata bohong maka dia akan disiksa oleh api neraka. Ini hanya contoh kecil
peraturan Islam yang berkaitan dengan moral. Masih banyak lagi aturan Islam yang berkaitan dengan tatanan
perilaku moral yang baik, namun tidak dapat sepenuhnya dituliskan disini.
Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM
(sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi
kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangat potensial merusak alam. Oleh
karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Dua peran yang dipegang manusia dimuka bumi, sebagai khalifah dan‘abdun merupakan
keterpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan
kreatifitas dan amaliyah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran.
Dua sisi tugas dan tanggungjawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila
terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajat
manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti firman Allah
سانَ َخلَ ْقنَا لَقَ ْد َ ت َ ْق ِويمٍ أ َ ْح
َ سنِ ِفي اإل ْن
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dalam bentuk yang sebaik-baiknya." – (QS.95:4)
BAB III
A. PENGGERTIAN IMAM
1. Pengertian Iman
Iman menurut bahasa adalah yakin, keimanan berarti keyakinan. Dengan demikian, rukun
iman adalah dasar, inti, atau pokok – pokok kepercayaan yang harus diyakini oleh setiap
pemeluk agama Islam. Kata iman juga berasal dari kata kerja amina-yu’manu – amanan yang
berarti percaya. Oleh karena itu iman berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak
dalam hati. Dalam surah al-Baqarah ayat 165 :
َّ َّ ّ ً َ َ َ ُّ َ ّ َ ّ َ َ ُّ َ َ ًّ ّ ََ َ َ ّ َ َ َ َ
ون ِمن َيت ِخذ َمن الناس َو ِم َن ِ اَلل د
ِ اَلل كحب ي ِحبونهم أندادا ِ ِ ي َرون ِإذ ظلموا ال ِذين ي َرى ول ۗو
ِ ۖ َلل حبا أشد آمنوا وال ِذين
َ ْ َ ْ
َ يعا َّلل الق َّو َة أ َّن ال َعذ َ
َ َّ َ َ ّ َ َ ْ
اب ِ ِ ً اب ش ِديد اَلل وأن ج ِم َ
ِ العذ
Artinya :
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal).”
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan
dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu
‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman
merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat
juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
[5:12] Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami
angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik {406} sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan
sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-
sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah
tersesat dari jalan yang lurus.
at-Taubah: 52
[9:52] Katakanlah: "tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari
dua kebaikan {646}. Dan Kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan
kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami
menunggu-nunggu bersamamu."
Ibrahim: 11
[14:11] Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia
seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu
melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang
mukmin bertawakkal.
Mujadalah: 10
[58:10] Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang
beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun
kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang
beriman bertawakkal.
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yang sudah
established, sehingga sulit sekali memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam pikiran dan
realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga
pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun orang Islam
dengan non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dimungkinkan sebagai masyarakat yang antara satu
dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagai kehidupan yang
terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu wujud kehidupan yang
berada pada ancaman kehancuran.
Adopsi modernisme (westernisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan bangsa
Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis. Di
sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal. Adanya
tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme menjadikan bangsa Indonesia bersikap
tidak menentu. Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambing oleh isme-isme tersebut.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena diadopsinya sistem
kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu muncul
konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-nilai qur’ani, karena
pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi dan
pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih memprihatinkan
lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh anak-anak sekolah, mahasiswa, serta
masyarakat. Di samping itu masih terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia dalam kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh yang
menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat dan dapat
menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan
melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan revolusi
pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan problema dan
tantangan kehidupan modern tersebut.
BAB V MEWUJUDKAN EKONOMI YANG BERBASIS SYARI’AT
a. Diakui semangat pluralisme. Artinya plularis menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat
dielakkan, sehingga plularitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi.
b. Sikap toleran antara sesama agama dan umat agama lain. Sikap toleran merupakan sikap
suka mendengar, dan menghargai pendapat dan juga pendirian orang lain.
c. Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi tidak sekedar kebebasan dan persaingan,
demokrasi juga pilihan untuk bersama-sama membangun, dan memperjuangkan
masyarakat untuk semakin sejaktera.
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak
merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah
bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan
Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai
kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan
jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban
negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum
muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah
mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah
berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali
semua urusan." (QS. 22: 4)
C. RUMUSAN HAK ASASI MANUSIA DALAM AGAMA ISLAM
Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh
diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum
Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang
bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).
1. Hak-hak Alamiah
Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari
unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS. 4: 1, QS. 3: 195).
a. Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS.
5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang
mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki
orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama
dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
c. Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan
yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada
makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja,
seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).
2. Hak Hidup
Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah
a. Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta
orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada
hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal
kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan
hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi saw: "Jual beli itu dengan pilihan
selama antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli, maka mereka
diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu berkah jual-bei mereka dihapus." (HR. Al-Khamsah)
b. Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para
wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Aallah menentukan hak
dan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang
dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang
dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-
masing memiliki beban yang sama."Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2:
228)
c. Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta
harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).
Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak
memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah
memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin
Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia
berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara
ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). Umar jugalah yang membawa seorang Yahudi
tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.
Bagi para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-
mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di
dunia." (HR. Al-Khamsah). Islam memandang gugur terhadap keputusan yang diambil dari pengakuan
kejahatan yang tidak dilakukan. Sabda nabi saw: "Sesungguhnya Allah menghapus dari ummatku kesalahan dan
lupa serta perbuatan yang dilakukan paksaan" (HR. Ibnu Majah).
Diantara jaminan keamanan adalah hak mendpat suaka politik. Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka
ke negeri yang masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat muslim wajib memberi suaka dan jaminan
keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman Allah: "Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah
ke tempat yang aman baginya." (QS. 9: 6).
d. Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan
syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia
terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang
dianiaya." (QS. 4: 148).
Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan
perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib
menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah
tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang
lain dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kamu aku beri tahu saksi yang palng baik?
Dialah yang memberi kesaksian sebelum diminta kesaksiannya." (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan
Tirmidzi). Tidak dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama apapun. Sebab
rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang benar memiliki pembelaan."(HR. Al-Khamsah). Seorang
muslim juga berhak menolak aturan yang bertentangan dengan syari’ah, dan secara kolektif diperintahkan untuk
mengambil sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim yang mempertahankan hak.
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin,
dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap
mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak
muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi
undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).
Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan
bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di
mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong
tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan
dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian
rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia
dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum
kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk Islam dan melakukan penganiayaan saat haji, Umar
tetap memberlakukan hukum meskipun ia seorang raja. Atau kisah Ali yang mengadukan seorang Yahudi
mengenai tameng perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.
Umar pernah berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah
manusia di hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu. Sehingga seseorang yang berkedudukan
tidak mengharap kedzalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus asa atas keadilanmu."
Sebagian orang mengajak kepada kebebasan berpendapat, termasuk mengemukakan kritik terhadap kelayakan
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan hidup manusia modern. Disana terdengar suara menuntut persamaan
hak laki-laki dengan wanita, kecaman terhadap poligami, tuntutan akan perkawinan campur (muslim-non
muslim). Dan bahkan mereka mengajak pada pemahaman Al-Qur’an dengan mengubah inti misi Al-Qur’an.
Orang-orang dengan pandangan seperti ini pada dasarnya telah menempatkan dirinya keluar dari agama
Islam (riddah) yang ancaman hukumannya sangat berat. Namun jika mayoritas ummat Islam menghendaki
hukuman syari’ah atas mereka, maka jawaban mereka adalah bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan
sanksi riddah. Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa sunnah nabi saw. Tidak memiliki kekuatan
legal dalam syari’ah, termasuk sanksi riddah itu.
Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal penting yang harus dipahami, yaitu :
a. Kebebasan yang diartikan dengan kebebasan tanpa kendali dan ikatan tidak akan dapat ditemukan di
masyarakat manapun. Ikatan dan kendali ini diantaranya adalah tidak dibenarkannya keluar dari aturan
umum dalam negara. Maka tidak ada kebebasan mengecam hal-hal yang dipandang oleh negara
sebagai pilar-pilar pokok bagi masyarakat.
b. Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam, melainkan menjamin kebebasan kepada
non-muslim untuk menjalankan syari’at agamanya meskipun bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh
sebab itu, manakala ada seorang muslim yang mengklaim bahwa agamnya tidak sempurna, berarti ia
telah melakukan kesalahan yang diancam oleh rasulullah saw: "Barangsiapa mengganti agamanya,
maka bunuhlah ia." (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Meskipun terdapat kebebasan dalam memeluk Islam, tidak berarti bagi orang yang telah masuk Islam
mempunyai kebebasan untuk merubah hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
d. Dalam Islam tidak ada konsep rahasia di tangan orang suci, dan tidak ada pula kepercayaan yang
bertentangan dengan penalaran akal sehat seperti Trinita dan Kartu Ampunan. Dengan demikian, tidak
ada alasan bagi penentang Islam untuk keluar dari Islam atau melakukan perubahan terhadap Islam.
e. Islam mengakui bahwa agama Ahli Kitab. Dari sini Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi
wanita Ahli Kitab, karena garis nasab dalam Islam ada di tangan laki-laki.
f. Sanksi riddah tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana ibadah dan muamalah lainnya. Al-Qur’an
hanya menjelaskan globalnya saja dan menugaskan rasulullah saw menjelaskan rincian hukum dan
kewajiban. Firman Allah: "Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkannya." (QS. 16: 44).
HEADLINE
HOME
DASAR ISLAM
AKHLAQ
HUKUM ISLAM
INFO ISLAMI
Go to...
“ Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’am [6] : 57)
Sistem demokrasi ini tidak berpatokan pada kesepakatan semuanya, melainkan mengambil suara
terbanyak. Meskipun nantinya akan bertentangan dengan agama, akal dan fitrah sistem demokrasi ini
telah menjadikan kesepakatan mayoritas sebagai Undang-Undang yang wajib untuk dipegang oleh
masyarakatnya.
Sedangkan Allah telah berfirman dalam surat Al-An’am seperti yang telah disebutkan di atas bahwa
yang dapat menetapkan hukum hanyalah Dia dan Allah merupakan sebaik-baiknya penetap hukum.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga melarang hamba-Nya untuk menyekutukan-Nya dalam menentukan
apapun terlebih dalam menetapkan hukum dan Dia menyatakan bahwa tak satupun orang yang
dapat melebihi kebaikan hukum-Nya. Baca juga mengenai hukum sunat bagi anak perempuan dalam
islam.
Dalil Islam
Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surat Ghafir ayat 12 dan surat Yusuf ayat 40 yang
artinya:
“ Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS Ghafir :12)
“ Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Yusuf : 40)
Dari kedua ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang
boleh membuat keputusan. Di bawah ini juga ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa demokrasi
sangat bertentangan dengan Islam.
“ Katakanlah: ‘Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya lah
semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam
pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak
mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.’” (QS Al-Kahfi : 26)
“ Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah : 50)
“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir.”(QS Al-Maidah : 44)
“ Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS An-Nisa : 65)
Menurut Islam, demokrasi dikategorikan ke dalam undang-undang Thagut, dan Allah memerintahkan
kita hamba-Nya untuk mengingkarinya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 256, surat An-
Nahl ayat 36 dan surat An-Nisa ayat 51 yang artinya:
“ (Oleh karena itu) barang siapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah : 256)
“ Dan sesugguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : Sembahlah
Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” (QS An-Nahl : 36)
“ Apakah kamu tidak memperhatian orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab? Mereka percaya
kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka
itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa : 51)
Untuk membedakan antara hukum Islam dengan hukum umum, maka hukum Islam
memiliki beberapa karakteristik tertentu.Diantaranya:
1. Penerapan hukum Islam bersifat universal
2. Hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an tidak memberatkan
3. Menetapkan hukum bersifat realistis
4. Menetapkan hukum berdasarkan musyawarah sebagai bahan pertimbangan
5. Sanksi didapatkan di dunia dan di akhirat.
Iklan
REPORT THIS AD
REPORT THI