Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

LEPROSY

Oleh :

Dr. Michael BW
NIM : C114215105

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
SEJARAH1,2
Sejarah penyakit kusta di dunia terbagi dalam 3 zaman yaitu:
A. Jaman Purbakala
Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dpat diketahui dari
peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, di Tiongkok 600 SM, di
Mesopotamia 400 tahun SM.
Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena
pasien merasa rendah diri dari malu, disamping itu masyarakat menjauhi karena
merasa jijik dan takut.
Penjelasan mengenai penyakit kusta juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab
agama seperti:
i. Agama Hindu
Dalam Kita Weda (1400 SM) penyakit kusta disebut Kustha, anma yang
lazim juga disebut di Indonesia
ii. Agama Kong Hu Cu
Dalam kitab agama Kong Hu Cu, penyakit kusta disebut “Ta Feng: yang
disebabkan oleh hubungan kelamin yang tidak teratur.
iii. Agama Kristen
Kata kusta dicantumkan ebberapa kali didalam Injil dan kata ini merupaka
terjemahan dari bahasa Ibrani “Zaraath.” Menurut Herodous, akta Zaraath
berarti kelainan kulityang bersisik (Grambug, 1952) yang gambaran
kliniknya tidak sesuai dengan penyakit kusta
iv. Agama Islam
Dalam agama Islam ditemukan dua istilah untuk pengertian kusta, yaitu
dalam Al-Quran disebut “Al-Abras” dan dalam Hadits disebut “Al-
Majrum.”
B. Jaman Pertengahan
Pada pertengahan abad ke-13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraand engan
sistem feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patyg dan
takut terhadap penguasa dan hak asasi manusia tidak mendapat perhatian.
Demikian pula yang terjadi pada pasien kusta yang umumnya merupakan rakyat
biasa. Pada waktu itu penyakit dan obat-obatan belum ditemukan, maka pasien
kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di
Leprosaria/Koloni/Perkampungan pasien kusta seumur hidup.
C. Jaman Modern
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun
1873, maka dimulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan
usaha penanggulangannya.

Sejarah perkembangan penyakit kusta sejak pertama kali dideskripsikan dalam sejarah
dapat dilihat pada diagram berikut.
Demikian halnya di Indonesia, Dr. Sitanaia telah mempelopori perubahan sistem
pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan
pengobatan rawat jalan.
Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut:
i. Pada tahun 1951, DDS digunakan sebagai pengobatan pasien kusta
ii. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di
Puskesmas
iii. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multi Drug
Therapy (MDT) sesuai rekomendasi WHO untuk tipe MB 24 dosis dan PB 6
dosis
iv. Pada tahun 1988 pengobatan dengan MDT dilaksanakan di seluruh Indonesia
v. Tahun 1997, pengobatan MDT tipe MB diberikan 12 dosis dan PB 6 dosis
sesuai rekomendasi WHO

Upaya pengendalian kusta di dunia menetapkan tahun 2000 sebagai tonggak


pencapaian eliminasi. Indonesia berhasil mencapai target ini pada tahun yang sama, akan
tetapi perkembangan 10 tahun setelahnya mempelihatkan tren statis dalam penemuan
kasus baru. Sebagai upaya global WHO yang didukung ILEP mengeluarkan Enhanced
Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden due to Leprosy (2011-2015).
Berpedoman pada panduan WHO ini dan dengan mensinkronkan dengan Rencana
Strategi Kementrian Kesehatan untuk tahun 2010-2014, disusun kebijakan nasional
pengendalian kusta di Indonesia.

Dalam 12 tahun perkembangan pengendalian penyakit tersebut di Indonesia


(2000-2011), situasi penyakit kusta di Indonesia tidak mengalami perubahan. Hal ini
ditunjukkan dari data pada tabel berikut.
Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta masih menjadi masalah
di Indonesia.

Berikut ini dapat dilihat peta distribusi kasus kusta di Indonesia


DEFINISI3,4
Penyakit Hansen, atau lepra, adalah sebuah infeksi bakterial granulomatosa yang secara
primer mempengaruhi kulit dan saraf-saraf perifer. Penyakit ini disebabkan oleh basilus
intraseluler obligate, Mycobacterium laprae, yang diidentifikasi pada abad ke-19 oleh
Gerhard Henrik Armauer Hansen.

PATOLOGI3
M. leprae mempunyai predileksi untuk sel-sel Schwann dan makrofag pada kulit
sehingga kuman tersebut dapat ditemukan pada kedua jenis sel tersebut pada fase awal
infeksi.
Pada kebanyakan kasus (indeterminate leprosy), lesi-lesi awal dapat sembuh
secara spontan dengan eradikasi dari basi. Jika basil tetap ada dan bereplikasi pada
jaringan kulit dan/atau sarah, infeksi leprosi menjadi aktif. Pada tuberculoid leprosy
terdapat keterlibatan dari kulit dan sarah. Limfosit menembus perineurium dan destruksi
dari sel-sel Schwann dan axon terjadi. Invasi tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan
fibrosis dari epineurium, penggantian endoneurium dengan granuloma epitelial dan
terkadang nekrosis kaseosa. Basil tahan asam kadang-kadang dapat ditemukan namun
tidak selalu. Invasi dan destruksi saraf pada dermis oleh limfosit T dianggap
patognomonik untuk lepra. Kadang kala, abses kaseosa dapat terbentuk didalam selubung
perineural menyebabkan paralisis saraf.

MANIFESTASI KLINIS3-6
Penyakit lepromatosa bermanifestasi sebagai adanya keterlibatan generalisata dari
kulit, saraf, dan membran mukosa. Kerusakan dan hipertrofi saraf yang disebabkan oleh
invasi basiler umumnya bersifat simetris dan dapat muncul secara perlahan dan ekstensif
pada jenis tuberkuloid. Lesi granulomatosa tersebut mengandung makrofag serta basil
dalam jumlah banyak.
Pada lesi kulit yang timbul, serabut saraf dermis yang memiliki fungsi sensorik
dan autonomik mengalami kerusakan sehingga dapat timbul parestesia “glove and
stocking” dan kehilangan fungsi kelenjar keringat. Kerusakan saraf perifer juga
mengakibatkan kehilangan fungsi sensorik dan paralisis. Kerusakan saraf dapat
diobservasi pada seluruh spektrum penyakit lepra.
Nyeri saraf yang akut dengan kehilangan fungsi dapat terjadi sebagai bagian dari
reaksi lepra, sebuah reaksi imunologis akut, yang memiliki gejala berupa lesi kulit
meradang dan neuritis.
Berikut ini adalah diagram patofisiologi terjadinya deformitas yang diakibatkan
adanya lesi pada serabut saraf perifer.

REAKSI IMUN4
Respon imun pasien terhadap M.leprae menentukan manifestasi klinis dari pasien:
kedua spektrum utama penyakit tersebut mencakup leprosy tuberkuloid (paucibasiler)
dan lepromatous (multibasiler). Pada spektrum tuberkuloid, imunitas berbasis sel imun
serta hipersensitivitas tipe lambat dapat mengendalikan multiplikasi bakteri sehingga
penyakit yang ada bermanifestasi sebagai lesi kulit atau saraf yang minimal.
Mikobakterium juga berada dalam jumlah sedikit pada lesi jenis tersebut. Pada tipe
lepromatosa, terdapat multiplikasi M.leprae dalam jumlah yang banyak sehingga terdapat
lesi dalam jumlah yang banyak dan infiltrasi ekstensif kulit dan saraf.
Diantara kedua spektrum penyakit ini, terdapat berbagai kelompok penyakit
lainnya. Bentuk-bentuk penyakit tersebut memiliki ciri-ciri berupa berubahnya tingkat
imunitas berbasis sel serta berubahnya jumlah lesi kulit dan saraf.
Lesi intraoseus dari leprosy memiliki ciri-ciri adanya reaksi jaringan
granulomatosa yang dapat menyebabkan dekstruksi trabekuler. Lesi-lesi tersebut dapat
ditemukan pada epifisis dan metafisis dari tulang tubuler, dan keterlibatan langsung dari
kanal intrameduler juga dapat terjadi.

KLASIFIKASI3,4,5
Klasifikasi dari pasien menurut skala Ridley dan Jopling sangat bermanfaat secara
klinis dengan menggunakan klasifikasi spektrum penyakit mulai dari leprosu tuberkuloid
hingga lepromatosa.
Terdapat pula klasifikasi yang lebih sederhana yang menentukan penyakit
tersebut sesuai dengan jumlah dari lesi kulit yang ada: lesi kulit tunggal (satu lesi),
pausibasiler (2-5 lesi) dan multibasiler (lebih dari 5 lesi). Pasien-pasien dengan leprosy
multibasiler lebih sering mengalami kerusakan saraf.

MANIFESTASI KLINIS3-6
Gejala leprosy mencakup lesi kulit, yang pada umumnya anestetik pada ujung
spektrum tuberkuloid, penebalan saraf perifer dan keterlibtan mata, yang dapat
menyebabkan kebutaan. Pada leprosy lepromatosa, lesi-lesi kulit yang timbul berupa
nodul, papul, atau plak dengan predileksi area wajah, pergelangan tangan, siku, bokong,
dan lutut. Keterlibatan dari serabut saraf sering ditemukan dan terdapat juga sebuah
anesthesia pola “glove-and-stocking” pada ekstremitas.
Pasien dengan penyakit borderline memiliki lesi kulit dan saraf multipel. Efek
patologis dari leprosy pada tulang adalah sebagai akibat dari neuropati yang
menyebabkan denervasi, perubahan langsung pada tulang, infeksi sekunder dan sekuel
dari ulkus tropis.
Serabut saraf perifer berikut ini dapat dipalpasi karena mengalami hipertrofi:
facial, aurikuler (leher), ulnar (siku), median (pergelangan tangan), radial kutaneous
(pergelangan tangan), popliteal lateral (neck of fibula), dan tibialis posterior (maleolus
medial). Saraf yang paling sering terlibat adalah saraf tibialis posterior, saraf ulna di
daerah siku (yang menyebabkan gejala clawing pada jari tangan keempat dan kelima,
kehilangan innervasi otot-otot interoseus dorsalis dan kehilangan sensasi pada distribusi
saraf ulnaris. Berikut ini adalah gambaran klinis pasien dengan keterlibatan saraf ulnaris.

Keterlibatan saraf median akan menyebabkan gangguan aposisi ibu jari dan fungsi
menggenggam sementara keterlibatan saraf radial, meskipun jarang terjadi pada infeksi
lepra, dapat menyebabkan wristdrop.
Palsy saraf peroneal dapat disebabkan oleh penyakit lepra ataupun status
reaksionalnya. Kondisi ini menyebabkan adanya drop foot parsial ataupun komplit yang
menyebabkan adanya distribusi beban pada aspek plantar yang tidak merata sehingga
memudahkan terjadinya ulserasi. Berikut ini adalah tabel yang mendeskripsikan
keterlibatan saraf pada lepra dan manifestasinya.
Trauma berulang tanpa adanya sensasi protektif dapat menyebabkan terjadinya
ulkus tropik yang dapat berlanjut menjadi infeksi sekunder. Pada kasus yang berat,
osteolisis terminal phalang juga dapat terjadi.
Ulserasi aspek plantar, teruama pada head metatarsal, merupakan komplikasi
yang paling sering terjadi pada neuropati lepra, dan infeksi sekunder dapat menyebabkan
terjadinya selulitis dan osteomyelitis.
Pada area wajah, tangan dan kaki, dapat terjadi keterlibatan tulang akibat ekstensi
dari infeksi dari struktur dermal maupun mukosa. Periosteum pada awalnya dapat
mengalami infeksi (periostitis lepra) dan pada akhirnya korteks dan medula tulang juga
mengalami infeksi (osteitis dan osteomielitis lepra)/ Pada jari-jari tangan dan kaki,
gambaran klinis yang ada dapat berupa dactylitis.
Poliartritis periferal simetrikal, inflamatorik dengan onset yang perlahan dan
disertai adanya masa eksaserbasi dan remisi seringkali dijumpai. Pergelangan tangan,
metacarpal dan sendi interfalangeal proksimal dari tangan, sendi lutut dan sendi
metatarsofalangeal sering terlibat dengan kaku di pagi hari yang berlangsung selama
lebih kurang 1 jam.
Pasien-pasien dengan lepra dapat juga bermanifestasi sebagai lesi pad akulit,
neuropati perifer, ulserasi, infeksi jaringan lunak, dan osteomielitis, deformitas pada
tangan dan kaki serta meilbatkan sendi. Pasien-pasien tersebut juga dapat mencari
pengobatan ke dokter spesialis kulit, saraf, rematik ataupun dokter bedah ortopedi.

DIAGNOSIS 4
Prinsip dasar diagnosis pasien dengan lepra adalah apabila dijumpai adanya lesi kulit
hipopigmentasi dengan gangguan fungsi sensorik, penebalan serabut saraf perifer, dan
ifentifikasi adanya bakteri M.leprae pada apusan kulit, yang kemudian diklasifikasi
menurut indeks bakteriologis Ridley dan Jopling sebagai 1+ hingga 6+, dan perubahan
histopatologis spesimen biopsi dari lesi kulit maupun saraf periferal.

PERUBAHAN PADA TULANG AKIBAT LEPRA 4-6


Kondisi ini dapat dibagi lagi menjadi 2 kelompok, perubahan spesifik dan sekunder. Lesi-
lesi spesifik disebabkan oleh adanya keterlibatan langsung tulang oleh bakteri sedangkan
lesi-lesi sekunder disebabkan oleh adanya trauma dan infeksi yang menyerang jaringan-
jaringan yang telah mengalami denervasi. Perubahan-perubahan sekunder pada tulang
lebih umum terjadi dibanding keterlibatan spesifik.
A. Perubahan tulang sekunder
Perubahan jenis ini sering dijumpai pada kondisi lepra. Perubahan osteoporosis
lokal disebabkan oleh adanya imobilisasi lama, yang seringkali diikuti dengan
kontraktur dari jari-jari tangan.
Denervasi motorik seringkali dikaitkan dengan absorpsi dari tulang
cancellous dan terbentuknya atrofi tulang tipe sentral. Perubahan ini akan
mempengaruhi panjang atau diameter tulang, atau keduanya. Meskipun demikian,
perubahan paling umum pada lepra adalah akibat kombinasi dari absorpsi panjang
maupun diameter tulang. Keadaan ini menyebabkan adanya penipisan bagian
ujung dari tulang, yang sering disebut sebagai gambaran “licked candy stick.”
Perubahan-perubahan akibat absorpsi bagian distal tulang akan
menpengaruhi bagian ujung dari jari-jari tangan dan kaki yang tidak sensitif.
Ketika proses ini mengalami komplikasi lebih lanjut oleh infeksi, absorpsi
progresif dengan hilangnya jari-jari tangan maupun kaki dapat terjadi dan
perkembangan ini seringkali disebut “mitten hand.”
Absorpsi tulang sebagai efek sekunder trauma dan infeksi memiliki tida
daerah predileksi utama pada kaki yang tidak lagi sensitif.
1. Area pertama adalah tipe distal yang mempengaruhi bagian ujung dari jari-jari
kaki.
2. Area kedua adalah pada persendian metatarsofalangeal
3. Area ketiga adalah pada aspek tarsus
Berikut ini adalah contoh gambaran osteomielitis pada aspek calcaneus
akibat adanya ulserasi plantaris.
Deformitas paralitik pada kaki, yang seringkali dapat merusak sendi
metatarsofalangeal, adalah claw toe dan drop foot. Deformitas statik seperti hallux
valgus, metatarsus primus varus dan pes planus juga dihubungkan dengan adanya
ulkus plantaris yang mengarah ke absorpsi tulang. Disintegrasi tarsal juga
seringkali terjadi dan dapat melibatkan lebih dari satu tulang. Disintegrasi tulang
tarsal yang paling sering terjadi adalah pada arkus medial. Arkus lateral lebih
jarang terjadi dan timbul sebagai komplikasi akhir dari kaki yang kaku dan
mengalami deformitas.

B. Perubahan tulang spesifik


Lesi tulang spesifik pada lepra jarang terjadi dengan insidensi antara 3% hingga
5% diantara seluruh pasien yang dirawat dan umumnya melibatkan tulang-tulang
kecil pada wajah, tangan dan kaki. Lesi-lesi tersebut bersifat karakteristik dengan
reksi jaringan granulomatosa, yang ebrsifat destruktif dan memiliki gambaran
radiografik berupa area osteoporotik fokal. Obliterasi dari medula tulang dapat
disebabkan adanya kolaps dari tulang dengan ratanya permukaan artikuler.
Pada tangan dan kaki pasien, penyakit tersebut terutama melibatkan falang
proksimal dan atau falang middle. Kondisi ini juga dapat bermanifestasi sebagai
penipisan endosteum dengan pelebaran dari kanal meduler yang terlokalisir pada
area metafisis. Pembengkakan fusiformis dari jaringan lunak yang berada pada
area tersebut juga dapat ditemukan. Kondisi ini umumnya disebabkan oleh adanya
foramen nutrien yang membesar.
Osteitis leprosa pada tangan umumnya melibatkan bagian distal dari
falang proksimal dan middle di area tangan dan head metatarsal pada area kaki.
Dengan adanya gaya tumpuan berat bada, dapat ditemukan pula adanya fraktur
patologis kominutif pada head metatarsal.
Apabila penyakit tersebut berlanjut dan trabekula tulang menjadi hancur,
gambaran radiografi akan menunjukkan adanya gambaran “honeycomb and
cystic.” Dengan proses penyembuhan, perubahan radiologis dapat berubah drastis
menjadi kista-kista dengan tepi sklerotik.
Permukaan artikuler juga dapat terlibat dan gaya-gaya intrinsik pada
tangan dapat menyebabkan fraktur, subluksasi dan clawing pada jari-jari tangan
yang rigid.

PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA3-6


Sebagai seorang klinisi, perlu dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencegah
terbentuknya palsy dari saraf dan ulkus kulit. Pencegahan primer adalah dengan deteksi
dini dan penggunaan obat-obatan anti lepra. Pencegahan sekunder adalah dengan edukasi
yang baik dan kesadaran pribadi pasien. Pasien perlu diedukasi untuk memperhatikan
higienitas kakinya dengan perhatian khusus ada daerah retakan maupun fisura kulit,
deteksi dini adanya nyeri tekan dan istirahat yang adekuat; mawas diri terhadap potensi
terjadinya cedera selama bekerja dan juga memilih alas kaki yang sesuai.

A. Antibakterial
Terapi menggunakan beberapa jenis obat-obatan masih menjadi tatalaksana utama
penyakit ini. Terapi mengggunakan obat multipel saat ini direkomendaskan oleh
WHO pada dewasa dengan penyakit multibasiler menggunakan rifampisin (600 mg
sekali sebulan), dapson (100 mg per oral per hari), dan clofazimine (300 mg sekali
sebulan dengan tambahan 50 mg per hari). WHO juga merekomendasikan tatalaksana
ini dilanjutkan selama periode waktu 12 bulan tetapi pasien dengan beban bakterial
yang tinggi mungkin memerlukan periode pengobatan yang lebih panjang. Untuk
penyakit pausibasiler (indeks bakteriologis, 2+), regimen yang digunakan adalah
rifampisin (600 mg sekali sebulan) dan dapson (100 mg per hari selama 6 bulan)
B. Terapi steroid
Pasien manapun dengan keterlibatan saraf perlu menerima terapi steroid oral selama
empat hingga 6 bulan
C. Fisioterapi
Pada umumnya penderita lepra mengalami kekauan pada sendi-sendi jari tangan
sehingga diperlukan fisioterapi yang ekstensif. Beberapa modalitas yang dapat
dilakukan mencakup olahraga aktif, massage, peregangan pasif dan splinting perlu
dilakukan sebelum merencanakan tindakan operatif yang lebih agresif seperti operasi
transfer tendon.
D. Monitoring
Gangguan fungsi saraf dapat terjadi sebelum diagnosis maupun setelah mendapatkan
terapi. Pasien-pasien dengan lepra jenis multibasiler memiliki resiko tertinggi untuk
kerusakan fungsi saraf. Pasien-pasien tersebut harus dipantau selama 2 tahun setelah
diagnosis ditegakkan. Evaluasi klinis rutin mencakup palpasi saraf, uji fungsi motorik
dari otot-otot yang terlibat serta mendata fungsi sensorik di area tangan dan kaki
menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein. Jika keterlibatan saraf yang baru
masih terjadi, terapi steroid perlu segera dimulai.
E. Pembedahan
Tatalaksana bedah memiliki peran penting dalam manajemen ketidakseimbangan
motorik, ulkus kronik, infeksi kronik dan koreksi deformitas jaringan lunak dan
tulang.
Dekompresi saraf, seperti saraf ulnaris ataupun popliteal pada stadium awal
penyakit dapat mencegah progresifitas dari penyakit. Steroid juga dapat diberikan
untuk mengurangi inflamasi yang terjadi.
Deformitas permanen claw hand dapat ditatalaksana dengan menggunakn transfer
tendon. Prosedur ini tidak boleh dilakukan dalam waktu 6 bulan setelah dimulainya
terapi antimikrobial dan pada akhir episode neuritis akut.
Terapi dari ulserasi plantar mencakup debridement jaringan yang telah mengalami
devitalisasi, non-weight-bearing dengan menggunakan total-contact cast ataupun
istirahat di tempat tidur dan terapi agresif untuk infeksi yang telah terjadi, yang
seringkali disebabkan oleh Staphylococccus aureus. Ulkus yang ada perlu diperiksa
untuk tanda-tanda adanya infeksi sekunder dan diraba untuk menentukan
kedalamannya (keterlibatan tulang). Jika terdapat slough ataupun material nekrotik,
debridement luas perlu dilakukan. Keterlibatan tulang mungkin memerlukan
debridemen multipel dan kadang kali melibatkan eksisi tulang.
Ulkus pada lepra dapat sembuh dengan baik bila weight-bearing dicegah karena
sumber vaskuler pada umumnya masih lebih baik dibandingkan dengan penderita
diabetes. Bila proses penyembuhan telah dimulai, pasien perlu mengurangi kegiatan
berjalan untuk mengurangi resiko terjadinya cedera. Sepatu custom dengan tapak
yang dibentuk khusus perlu digunakan untuk menyesuaikan kontak dengan tapak kaki
pasien. Area-area dengan tonjolan tulang yang dapat mengarah ke ulserasi harus
dihilangkan secara pembedahan. Amputasi dapat diindikasikan bila terdapat dstruksi
tulang dan sendi yang jelas.
Drop foot pada awalnya dapat ditatalaksana dengan menggunakan splint yang
sederhana. Tendon transfer sebagai operasi lanjutan mungkin diperlukan untuk
memperbaiki deformitas yang ada. Pada kaki neuropatik, kadang diperlukan
pembedahan yang ekstensif dalam bentuk osteotomi korektif, arthrodesis atau
amputasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian


Penyakit Kusta.
2. Leprosy. Available at www.effecthope.org (Accessed 11 January 2018)
3. Eichelmann, K., et al. Leprosy. An Update: Definition, Pathogenesis,
Classification, Diagnosis, and Treatment. Actas Dermosifiliogr 2013; 104(7):
554-563.
4. Moonot, P., et al. Orthopaedic complications of leprosy. J Bone Joint Surg 2005;
87-B: 1328-32.
5. Samona, J., et al. An Orthopedic-, Surgical-, and Epidemiological-Based
Investigation of Leprosy, in the Tamil Nadu State of India. Advances in
Orthopedics 2012; 1-8.
6. Martinez, Z., et al. Bone Complications in a Patient With Lepromatous Leprosy.
Actas Dermosifiliogr 2009; 100: 615-34.

Anda mungkin juga menyukai