Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon
dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam
rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi
pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal
rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan (Guyton &
Hall, 1997).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan
menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat
mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas.
Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks
spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks
traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenic (Sudoyo et al., 2006).
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa
yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan
perbandingan 5 : 1 (Sudoyo et al., 2006).
Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan
pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai video (VATS = video
assisted thoracoscopy surgery), ternyata memberikan banyak keuntungan pada
pasien-pasien yang mengalami pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama
rawat inap di rumah sakit (Sudoyo et al., 2006).
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari pneumothorax?
2. Apa saja klasifikasi pneumothorax?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya pneumothorax?
4. Bagaimana penghitungan luas pneumothorax?
5. Bagaimana gejala klinis pada pasien dengan pneumothorax?
6. Bagaimana hasil temuan pada pemeriksaan fisik pasien dengan
pneumothorax?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diusulkan untuk membantu
penegakan diagnosa pasien dengan pneumothorax? Apa saja
penemuannya?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan pneumothorax?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penegakan diagnosis


dan penanganan pneumothorax sehingga dapat mengurangi morbiditas maupun
mortalitas.

1.3.2 Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus penulisan referat ini adalah:


1. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Madya Ilmu Penyakit Dalam (Paru) di RSUD Kanjuruhan Kepanjen;
2. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam upaya penanganan
segera pada pneumothorax;
3. Sebagai tambahan pengalaman bagi penulis untuk memperluas dan menambah
wawasan.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (Bowman et al., 2011).

2.2 Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (Bowman et al., 2011; Sudoyo et al., 2006) :
I. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe
ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-
tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru,
asma, dan infeksi paru.
4

II. Pneumotoraks traumatik


Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya
pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan
paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (Alsagaff et al., 2009) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi
negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru
belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun
tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan
pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
5

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)


Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka
pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan (Alsagaff et al., 2009).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi
tekanan menjadi positif (Alsagaff et al., 2009). Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (Sudoyo et al.,
2006).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka.
Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar (Alsagaff et al.,
2009). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan
melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat
menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Sudoyo et al., 2006).
6

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka


pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (Alsagaff et al., 2009):
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian
kecil paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar


paru (> 50% volume paru).

2.3 Patofisiologi

Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara


pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi
sedikit cairan serous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif.
Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses
respirasi terdiri dari 2 tahap: fase inspirasi dan fase eksprasi.

Pada fase inspirasi tekanan intrapleura: -9 s/d -12 cmH2O

Pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3 s/d -6 cmH2O


7

Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada
cavum pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk.
Sehingga akan mengganggu pada proses respirasi.

Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya:


1. Pneumotorak spontan, Oleh karena: primer (ruptur bleb), sekunder (infeksi,
keganasan), neonatal
2. Pneumotorak yang didapat, Oleh karena: iatrogenik, barotrauma, trauma
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:
1. Pneumotorax simple: tidak diikuti gejala shock atau pre-shock
2. Tension pneumotorax: diikuti gejala shock atau pre-shock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar
menjadi:
1.Open pneumotorak
2.Closed pneumotorak
Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama. Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya
dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura
viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan udara
masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada
mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan
paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru
menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk.
Pada pneumotorak spontan,paru-paru kolaps, udara inspirasi ini bocor masuk ke
cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan
terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang
sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang
terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter. Pneumotorak ini terjadi biasanya
pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara
secara maksimal dan bekerja dengan sempurna.
8

Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock


atau shock dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada
cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal
dengan closed pneumotorak. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan
balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja
sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut, hiperekspansi
cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat
ekspirasi, udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat
katup tertutup terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat,
dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock
oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension
pneumotorak.

Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan


lingkungan luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit, pada saat inspirasi
udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser ke mediastinal yang sehat. Terjadilah
mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi dapat
terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang sehat
dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang
bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava, shunting
udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah
gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini
dikenal dengan tension pneumotorak.

2.4 Penghitungan Luas Pneumotoraks

Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan


jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa
dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain:
9

1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus
(Sudoyo et al., 2006).
Misalnya: diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio
diameter kubus adalah :
83 512
______ ________
= = ± 50 %
103 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,


ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal,
ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal,
kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (Sudoyo et al., 2006).

𝐴+𝐵+𝐶
% luas pneumotoraks = × 10
3

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks (Alsagaff et al., 2009).

(L) hemitorak – (L) kolaps paru =

(𝐴 × 𝐵) − (𝑎 × 𝑏)
× 100%
(𝐴 × 𝐵)
10

2.5 Gejala klinis


Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah
(Alsagaff et al., 2009; Schiffman et al., 2011; Sudoyo et al., 2006):
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks


tersebut (Sudoyo et al., 2006):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang
lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.

2.6 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (Alsagaff et al., 2009; Bowman et


al., 2011):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper-ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
11

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat


2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain (Malueka et al., 2007):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan
dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.
12

d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan


sebagai berikut (Bowman et al., 2011):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan


anak panah merupakan bagian paru yang kolaps
13

2. Analisa Gas Darah

Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi


meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.

3. CT-scan thorax

CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema


bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada di dalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari (Sudoyo et al., 2006).
Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka
(Alsagaff et al., 2009).
14

2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara (Sudoyo et al., 2006):
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut (Alsagaff et al., 2009; Sudoyo et al., 2006).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol (Alsagaff et al., 2009).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol (Alsagaff et al., 2009).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
15

sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis
mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (Alsagaff et al., 2009; Bowman et
al., 2011).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali
menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal (Sudoyo et al., 2006).
16

c. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.

d. Torakotomi
e. Tindakan bedah (Alsagaff et al., 2009)
1. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian
dijahit
17

2. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang


menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat
dilakukan dekortikasi
3. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
4. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal
dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di
tempat fistel
Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya: terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator (Alsagaff et al., 2009).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (Alsagaff et al.,
2009).
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti
emfisema (Bowman et al., 2011).

Rehabilitasi (Alsagaff et al., 2009)


1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin
terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah
laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,
sesak napas.
18

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh
udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat
proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak
napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan
maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat
terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada
hasil foto röntgen berupa gambaran translusen tanpa adanya corakan
bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil röntgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan
serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.
19

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta
: EGC; 1997. p. 598.
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010
May 27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung).
Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia
Press; 2007. p. 56

Anda mungkin juga menyukai