PENDAHULUAN
Dislokasi sendi dapat terjadi spontan karena gerakan tidak spontan, dan
karena kekerasan. Dislokasi sering disertai dengan kerusakan simpai sendi atau
ligamen sendi. Bila kerusakan tersebut tidak sembuh kembali dengan baik, luksasi
mudah terulang lagi yang disebut luksasi habitual.
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar anamnesis yang khas dan tanda
klinisnya. Umumnya deformitas dapat dilihat berupa perubahan posisi anggota
gerak dan perubahan kontur persendian yang bersangkutan. Pada pemeriksaan
tidak ada gejala dan tanda patah tulang, sedangkan gerakan di dalam sendi yang
terluksasi terbatas sekali, bahkan sama sekali tidak mungkin. Reposisi diadakan
dengan gerakan atau perasat yang berlawanan dengan gaya trauma dan kontraksi
atau tonus otot. Reposisi tidak boleh dilakukan dengan kekuatan atau kekerasan
karena mungkin sekali mengakibatkan patah tulang. Untuk mengendurkan
kontraksi dan spasme otot, perlu diberikan anestesia setempat atau umum.
Kekenduran otot memudahkan reposisi.
Di antara sendi-sendi besar, bahu adalah salah satu yang paling sering
berdislokasi. Ini akibat beberapa faktor: dangkalnya mangkuk sendi glenoid;
besarnya rentang gerakan; keadaan yang mendasari misalnya ligamentosa yang
longgar atau dysplasia glenoid; dan mudahnya sendi itu terserang selama aktivitas
yang penuh tekanan pada tungkai atas. Kestabilan sendi bahu terutama terletak
pada simpai sendi dan otot di sekitarnya karena kavitas artikulare sendi bahu
dangkal. Oleh karena itu, sering terjadi dislokasi, baik akibat trauma maupun pada
saat serangan epilepsi. Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada orang dewasa
tetapi jarang pada anak-anak.
1. KLASIFIKASI
Dislokasi sendi bahu diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Dislokasi anterior
2. Dislokasi posterior
3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta
4. Dislokasi disertai fraktur
1.1.4. PENATALAKSANAAN
Pada pasien yang dulu pernah mengalami dislokasi, traksi sederhana
pada lengan dapat berhasil. Untuk reduksi dislokasi yang terjadi
pertama kali, pasien harus banyak diberi sedasi atau di anestesi dan
dalam posisi telentang. Traksi ditingkatkan perlahan-lahan pada lengan
dengan bahu yang sedikit berabduksi, sementara itu asisten melakukan
traksi-lawan yang kuat pada tubuh (handuk yang dililitkan sekitar dada
pasien, di bawah aksila, bermanfaat). Kalau anestesi merupakan
kontraindikasi, posisi tengkurap dengan lengan tergantung, dapat
memudahkan reduksi.
Metode Kocher kadang-kadang digunakan. Siku ditekuk 90 derajat dan
dipertahankan dekat dengan tubuh; traksi tidak boleh diterapkan.
Lengan perlahan-lahan diputar sampai 75 derajat ke lateral, kemudian
1.1.5. KOMPLIKASI
DINI
a. Kerusakan nervus aksilaris
Nervus aksilaris dapat cedera; pasien tak dapat mengerutkan otot
deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot
itu. Ini biasanya suatu neurapraksia yang sembuh spontan setelah
beberapa minggu atau beberapa bulan. Kadang-kadang korda
posterior pleksus brakialis cedera. Ini sedikit mengkhawatirkan,
tetapi untungnya sering sembuh sejalan dengan waktu.
Nervus aksilaris berjalan melingkari leher humerus dan dapat
mengalami paresis atau paralisis. Sebelum dilakukan reposisi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada saraf ini. Apabila terdapat
BELAKANGAN
a. Kaku sendi
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan bahu,
terutama pada pasien yang berumur lebih dari 40 tahun. Terjadi
kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
Latihan aktif biasanya akan melonggarkan sendi. Latihan ini perlu
dilakukan dengan bersemangat; perlu diingat bahwa abduksi penuh
tidak dapat dilakukan sebelum rotasi lateral diperoleh kembali.
Manipulasi di bawah anestesi hanya dianjurkan kalau progresi telah
berhenti dan sekurang-kurangnya sudah lewat 6 bulan sejak terjadi
cedera. Rotasi lateral harus dipulihkan sebelum abduksi, dan
manipulasi harus dilakukan pelan-pelan dan berulang-ulang dan
tidak dipaksakan. Kaku sendi yang terjadi pasca reposisi perlu
dilakukan fisioterapi yang intensif.
b. Dislokasi yang tak direduksi
Secara mengherankan, dislokasi bahu kadang-kadang tetap tidak
terdiagnosis. Kemungkinan besar ini terjadi kalau pasien (1) tidak
sadar atau (2) sangat tua. Reduksi tertutup perlu diusahakan sampai
1.3.1. PENATALAKSANAAN
Dilakukan reposisi tertutup seperti dislokasi anterior dan bila tidak
berhasil dapat dilakukan reposisi terbuka dengan operasi.
Penatalaksanaan
Dislokasi atraumatik harus sangat diwaspadai. Beberapa anak-anak ini
mempunyai masalah perilaku dan di sinilah terapi harus ditujukan. Program
latihan yang lama juga dapat membantu. Kalau anak benar-benar terganggu
oleh kelainan itu, dengan syarat faktor-faktor psikologis telah disingkirkan, kita
dapat mempertimbangkan operasi rekonstriktif – biasanya dengan prosedur
pemendekan yang sangat teliti.
1. Apley, A. Graham. Ortopedi Dan fraktur Sistem Apley. Edisi Ketujuh. Jakarta:
Widya Medika. 1995.
2. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif
Watampone. 2007.
3. Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua.
Jakarta: EGC. 2004. h 859-60.
4. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Bedah RSCM. Jakarta. 2005