Abstrak
Limbah medis rumah sakit merupakan mata rantai penyebaran penyakit menular,
dan menjadi sarang serangga dan tikus yang akan berperan sebagai hospes
perantara. Berbagai perangkat hukum telah disusun untuk mengatur limbah
berbahaya dari rumah sakit. Penelitian ini bertujuan melihat berbagai bentuk
pelanggaran pengelolaan limbah berbahaya di rumah sakit dan penerapan sanksi
hukum terkait dengan pelanggaran tersebut.
1
Pendahuluan
Kesehatan lingkungan Rumah sakit adalah upaya pencegahan penyakit
dan/atau gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial
di dalam lingkungan rumah sakit. Kualitas lingkungan rumah sakit yang sehat
ditentukan melalui pencapaian atau pemenuhan standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan persyaratan kesehatan pada media air, udara, tanah, pangan, sarana
dan bangunan, dan vektor dan binatang pembawa penyakit. Aspek yang sangat
terkait dengan kesehatan lingkungan rumah sakit adalah pengelolaan limbah.
Limbah medis rumah sakit merupakan mata rantai penyebaran penyakit
menular, seperti Hepatitis, HIV, Kolera, Tipus, dan lain sebagainya. Limbah biasa
menjadi tempat tertimbunnya organisme penyakit dan menjadi sarang serangga dan
tikus yang akan berperan sebagai hospes perantara. Disamping itu, limbah juga
mengandung berbagai bahan kimia beracun dan benda-benda tajam yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan dan cidera. Partikel-partikel debu dalam limbah
dapat menimbulkan pencemaran udara yang akan menimbulkan penyakit dan
mengkontaminasi peralatan medis dan makanan (Bapedal, 2009; Fattah. Dkk,
2007).
Rumah sakit di Indonesia berjumlah 2820 dengan komposisi 1572 rumah
sakit pemerintah dan 1248 rumah sakit swasta (Kemenkes, 2018). Jumlah limbah
B3 yang dihasilkan oleh seluruh rumah sakit sekitar 2.4 ton per hari. Data ini
memperlihatkan limbah B3 rumah sakit dapat menyebabkan permasalahan jika
tidak dikelola dengan baik.
Berbagai aturan telah ditetapkan oleh pemerintah terkait pengelolaan limbah
berbahaya, seperti Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, PP nomor 66 tahun 2014 tentang Kesehatan
lingkungan, Permen KLH nomor 56 tahun 2015 tentang pengelolaan limbah
berbahaya dan beracun dari fasilitas kesehatan serta Permenkes nomor 7 tahun 2019
yang merupakan revisi dari Permenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan
kesehatan lingkungan rumah sakit.
Sanksi hukum telah disusun bagi orang dan rumah sakit yang melakukan
pelanggaran, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 103 UU nomor 32 tahun
2009. Sanksi hukum tersebut menjelaskan setiap orang yg menghasilkan limbah
dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda
paling sedikit Rp. 1 Milyar dan paling banyak Rp. 3 Milyar.
Penelitian ini mencoba melihat berbagai bentuk pelanggaran pengelolaan
limbah berbahaya di rumah sakit dan penerapan sanksi hukum terkait dengan
pelanggaran tersebut.
2
Metode
Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, yang mencoba
menggambarkan aspek hukum pengelolaan limbah medis di Indonesia berdasarkan
UU nomor 32 tahun 2009.
Analisis data
Data disusun dan ditabulasi dalam bentuk tabel dan grafik dan disajikan
dalam bentuk jumlah dan persentase.
Hasil
Penelitian dilakukan terhadap 69 rumah sakit yang mempunyai masalah
terkait dengan pengelolaan limbah berbahaya.
3
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0 65.2
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0 17.4 17.4 0.0
0.0
Tipe D Tipe C Tipe B Tipe A
4
Tabel 1. Model pelanggaran pengelolaan limbah B3 Rumah Sakit
Sanksi
Data yang ada memperlihatkan 4 rumah sakit (5.8%) telah diberikan vonis
pengadilan sedangkan 6 rumah sakit (8.7%) dalam tahap proses peradilan. Angka
ini memperlihatkan 59 rumah sakit tidak jelas sanksi yang diberikan. Sebagian
besar kasus ini hanya mendapat teguran dari dinas lingkungan hidup dan dinas
kesehatan setempat.
persentase
6%
9%
Vonis
Proses peradilan
85% Tidak jelas
5
Pembahasan
Undang-undang No. 44 Tahun 2009 menjelaskan bahwa rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat (Depkes RI, 2002). Dalam perkembangannya, rumah sakit akan
memberikan dampak buruk terkait dengan limbah yang dihasilkannya.
Peraturan pemerintah RI No. 85 tahun 1999 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang pengolahan limbah berbahaya dan
beracun menetapkan bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga
tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, bahwa
dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di
bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk
yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan
kesehatan manusia.
Berbagai aturan telah ditetapkan oleh pemerintah terkait pengelolaan limbah
berbahaya, seperti Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, PP nomor 66 tahun 2014 tentang Kesehatan lingkungan,
Permen KLH nomor 56 tahun 2015 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun
dari fasilitas kesehatan serta Permenkes nomor 7 tahun 2019 yang merupakan revisi dari
Permenkes 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.
Sanksi hukum telah disusun bagi orang dan rumah sakit yang melakukan
pelanggaran, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 103 UU nomor 32 tahun
2009. Sanksi hukum tersebut menjelaskan setiap orang yg menghasilkan limbah
dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda
paling sedikit Rp. 1 Milyar dan paling banyak Rp. 3 Milyar.
Penelitian ini menemukan 69 rumah sakit dengan permasalahan pengelolaan
limbah berbahaya, yang terdiri dari 56.5% RS Swasta (56.5%) dan 43.5% RS
pemerintah. Jumlah tempat tidur (TT) memperlihatkan total tempat tidur adalah
11.112 TT atau rata-rata 161 ±82 TT per rumah sakit. Rumah sakit dengan kapasitas
tempat tidur terbesar dimiliki oleh RS tipe B dengan jumlah antara 350-500 TT.
Berdasarkan data akreditasi, ditemukan 24 rumah sakit (34.8%) akreditasi
Paripurna, 22 rumah sakit (31.9%) dengan akreditasi Madya dan 15 rumah sakit
(21.7%) dengan akreditasi Perdana serta 8 rumah sakit (11.6%) belum terakreditasi
Permasalahan pengelolaan limbah terbesar adalah pemilihan transporter yang tidak
tepat (37.7%), disusul tempat pembuangan sampah sementara yang tidak dikelola dengan
baik (24.6%) dan membuang limbah ke selokan/sungai (20.3%). Sanksi terhadap
pelanggaran bervariasi, sebagian besar tidak jelas/hanya teguran dari dinas terkait sebesar
85.5%, vonis dilakukan atas 4 kasus (5.8%) dan dalam proses peradilan 6 kasus (8.7%).
6
Kepustakaan
Bapedal. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta, 1999.
Kemenkes RI. Data rumah sakit di Indonesia. 2018
Fattah, Nurfachanti dkk. Studi Tentang Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Medis Di
Rumah Sakit Ibnu Sina Makasssar. Fakultas Kedokteran Unhas: Makassar,
2007.
Depkes RI. Buku Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia. Depkes: Jakarta,
2002.
Barlin. 1995. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pencemaran Akibat Limbah
Rumah Sakit. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.
Hananto, Wigati Miko. 1999. Mikroorganisme Patogen Limbah Cair Rumah Sakit
Dan Dampak Kesehatan Yang Ditimbulkannya. Buletin Keslingmas, 18 (70),
37-44. Hariadi Agustinus, 1996. Sistem Pengelolaan Limbah bahan
Berbahaya dan Beracun Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Pengelolaan
Limbah B3 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta