Anda di halaman 1dari 45

1.

Judul : Analisi Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota

Di Provinsi Sumatera Selatan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan

perkapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1985: 13).

Sedangkan tujuan pembangunan sendiri adalah menciptakan pertumbuhan dan

perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, dan mengurangi ketimpangan dan

pengangguran.

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah

daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk

suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk

menciptakan suatu lapangan kerja baru, serta merangsang perkembangan kegiatan

ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999: 108). Indikator keberhasilan

pembangunan suatu daerah dapat dilihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi.

Inilah yang membuat daerah menetapkan pertumbuhan ekonomi daerahnya

setinggi-tingginya. Tingginya pertumbuhan ekonomi sendiri dapat dilihat dari

perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di suatu daerah

(Tambunan, 2003: 29). Namun tingginya PDRB di suatu daerah belum menjamin

meratanya distibusi pendapatan antar daerah. Bahkan sebaliknya, perbedaan

tingkat pendapatan antar daerah menimbulkan disparitas atau ketimpangan.

Terjadinya ketimpangan yang semakin melebar pada akhirnya

menimbulkan kerawanan finansial, sosial, ekonomi dan politik, yang pada

1
akhirnya melahirkan krisis multidimensi yang sulit diatasi. Ketidakseimbangan

pembangunan antar wilayah atau kawasan terjadi dalam bentuk buruknya

distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya sehingga menciptakan inefisiensi

dan tidak optimalnya pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Selain itu

potensi konflik menjadi sedemikian besar diakibatkan daerah yang dulunya belum

tersentuh pembangunan mulai menuntut haknya. (Anwar, 2005: 56). Alokasi

anggaran pembangunan sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan

ekonomi tampaknya perlu diperhatikan. Strategi alokasi anggaran tersebut harus

mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi

alat untuk mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (Majidi, 1997).

0.9
0.8 0.78 0.78 0.8 0.78
0.7
0.6 0.62 0.6 0.58 0.57
Persen (%)

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
2014 2015 2016 2017
Axis Title

Sumber :BPS, 2018 (data diolah)


Gambar 1.1 Kondisi Ketimpangan (Indeks Williamson) Sumatera Selatan
Tahun 2014-2017

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan yang terjadi

di Sumatera Selatan tergolong pada kelompok ketimpangan tinggi. Tingkat

2
ketimpangan ekonomi antarKota dan Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan

yang ditunjukan dengan nilai Indeks Williamson dari tahun 2014-207 berkisar

antara 0,57-0,62 dan berada dibawah rata-rata nasional. Penyebab kesenjangan

ekonomi dan sosial di Provinsi Sumatera Selatan antara lain masih terbatasnya

jangkauan sarana dan prasarana bagi masyarakat terutama yang tinggal jauh dari

perKotaan. Tantangan yang harus dihadapi adalah meningkatkan, memeratakan,

dan memperluas jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan, pendidikan, dan

pelayanan sosial lainnya, serta jangkauan informasi sampai ke seluruh pelosok

daerah.

Kemampuan setiap daerah untuk membangun daerahnya masing-masing

berbeda, karena dipengaruhi oleh adanya perbedaan potensi sumber daya yang

dimilikinya seperti sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan

serta sumber daya sosial. Dalam proses pembangunan ada daerah yang melimpah

sumber daya alam tetapi kurang dalam sumber daya manusia, namun ada daerah

yang sebaliknya kurang dalam hal sumber daya alam tapi melimpah dalam

sumber daya manusia, baik secara kualitas maupun kuantitas. Keadaan ini

selanjutnya menyebabkan perbedaan dalam perkembangan pembangunan yang

mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan di

masing-masing daerah. Masalah ketimpangan antar daerah atau wilayah juga

terjadi di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan. Salah satu indikator

keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat diukur

dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

3
Tabel 1.1
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Konstan
2010 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013-2017

Laju Pertumbuhan PDRB (Persen)


Kabupaten/Kota
2013 2014 2015 2016 2017
Ogan Komering Ulu 6,17 5,26 4,46 3,67 3,05
Ogan Komering Ilir 6,90 6,56 6,36 5,07 4,81
Muara Enim 5,51 8,27 6,76 3,13 7,62
Lahat 6,47 5,28 4,83 3,83 2,13
Musi Rawas 6,00 0,85 5,88 7,37 5,13
Musi Banyuasin 3,28 7,25 3,95 4,67 2,28
Banyuasin 6,13 6,15 6,18 5,14 5,56
Ogan Komering Ulu Selatan 6,79 5,26 5,20 5,51 4,54
Ogan Komering Ulu Timur 6,48 7,20 6,96 5,19 6,28
Ogan Ilir 7,91 8,03 7,26 6,55 4,61
Empat Lawang 6,07 6,11 5,39 4,23 4,50
Pali 3,60 7,30 6,71 -0,01 4,44
Musi Rawas Utara 5,13 2,58 2,10 9,92 3,32
Palembang 9,65 7,75 5,85 5,25 5,44
Prabumulih 5,39 8,32 5,07 11,51 4,84
Pagar Alam 5,32 6,27 5,70 6,33 6,31
Lubuk Linggau 6,43 6,35 3,37 6,33 6,31
Sumatera Selatan 6,50 6,83 5,31 4,70 4,50
Sumber :Badan Pusat Statistik, Sumatera Selatan (data diolah )

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PDRB ADHK 2010

Kabupaten /Kota Provinsi Sumatera Selatan mengalami penurunan hampir setiap

tahunnya. Dapat dilihat dari Kota Palembang bahwa dari tahun 2013 sampai tahun

2018 laju pertumbuhan nya selalu mengalami penurunan yang cukup signifikan

dari angka 9,65 persen pada tahun 2012 sampai pada angka 5,25 persen pada

tahun 2013 dan dapat dilihat juga pada Kabupaten Lahat dan Kabupaten Ogan

Komering Ulu laju pertumbuhan ekonomi yang tercantum pada Tabel 1.1

mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2013-2017, dengan angka 6,17

persen pada tahun 2013 sampai 3,05 persen pada tahun 2017 untuk Kabupaten

4
Ogan Komering Ulu sedangkan untuk Kabupaten Lahat dengan angka 6,47 persen

pada tahun 2013 sampai pada angka 2,13 persen pada tahun 2018. Hal dapat

dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan ekonomi terjadi pada

beberapa Kabupaten /Kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013-2018

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan


Tahun 2014-2017

Jumlah Penduduk (Jiwa)


Kabupaten/Kota
2014 2015 2016 2017
Ogan Komering Ulu 338.369 340.000 344.932 349.787
Ogan Komering Ilir 752.906 764.900 776.263 787.513
Muara Enim 741.795 581.600 590.975 600.398
Lahat 380.398 384.600 389.034 393.235
Musi Rawas 543.349 373.700 378.987 384.333
Musi Banyuasin 587.325 592.400 602.027 611.506
Banyuasin 773.878 788.300 799.998 811.501
Ogan Komering Ulu Selatan 324.836 334.700 339.424 344.074
Ogan Komering Ulu Timur 628.827 634.700 642.206 649.394
Ogan Ilir 392.989 398.300 403.828 409.171
Empat Lawang 225.737 231.700 234.880 238.118
Pali --- 174.200 176.936 179.529
Musi Rawas Utara --- 177.800 180.266 182.828
Palembang 1.503.485 1.535.900 1.558.494 1.580.517
Prabumulih 169.022 171.800 174.477 177.078
Pagar Alam 129.719 131.100 132.498 133.862
Lubuk Linggau 208.893 213.000 216.270 219.471
Sumatera Selatan 7.701.528 7.828.700 7.941.495 8.052.315
Sumber :Badan Pusat Statistik, Sumatera Selatan (data diolah )

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun

2017 jumlah penduduk terbesar di Kota Palembang dengan jumlah penduduk

1,58 juta jiwa. Kabupaten/Kota yang lain umumnya jauh lebih kecil berkisar

antara 133,8 ribu jiwa yang terkecil di Kota Pagaralam sampai dengan yang

5
terbesar di Kabupaten Banyuasin dengn jumlah 811,5 ribu jiwa. Ada beberapa

faktor masyarakat dapat mendomisili suatu daerah dengan waktu yang lama.

Salah satunya adalah faktor pekerjaan yang mengharuskan seseorang akan

menetap dalam jangka waktu yang ditentukan dan ada pula faktor seseorang yang

sedang mencari pekerjaan di suatu daerah karana daerah tersebut banyak

membuka lowongan pekerjaan yang dapat dikatakan meningkatkan penghasilan

setiap harinya yang berbeda pada pendapatan daerah sebelumnya.

Tabel 1.3 Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan


Tahun 2012-2017 (persen)

Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 2015 2016 2017


Ogan Komering Ulu 98,2 95,9 96,7 97,5 98,8 98,5
Ogan Komering Ilir 97,7 95,5 94,7 95,8 97,2 97,7
Muara Enim 97,9 96,7 96 97,3 98,6 98,4
Lahat 97,8 97,2 97,7 97,7 98,7 98,5
Musi Rawas 96 95,9 97,4 97,2 98 97,1
Musi Banyuasin 97 97,7 98,6 98,9 99,4 99,2
Banyuasin 96,5 96,5 95 96,2 96,5 97
Ogan Komering Ulu Selatan 97,9 97,1 98,4 98,1 98,4 97,8
Ogan Komering Ulu Timur 94,4 94,9 93,8 94,5 96,3 96
Ogan Ilir 97,6 97,2 96,9 97,8 98 98,9
Empat Lawang 98 97,3 98,4 98,7 99,9 98,7
Pali - - - - - 97,7
Musi Rawas Utara - - - - - 97,9
Palembang 98,5 97,3 98,9 98,5 98,6 99,4
Prabumulih 97,6 96,8 97,3 98,4 99,5 98,7
Pagar Alam 97,9 97,6 97,5 96,5 98,8 98,7
Lubuk Linggau 98,4 97,9 97,7 98,4 99,6 99,8
Sumatera Selatan 97,4 96,7 96,9 97,3 98,1 98,2
Sumber :Badan Pusat Statistik, Sumatera Selatan (data diolah )

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa kemampuan baca tulis penduduk

merupakan ukuran yang sangat mendasar dari tingkat pendidikan, yang tercermin

dari data angka melek huruf. Persentase penduduk yang melek huruf setiap

6
tahunnya meningkat dapat dilihat dari tahun 2012-2017 persentase penduduk yang

melek huruf mencapai 97,4 – 98,1 persen. Pada tahun 2017 persentase penduduk

melek huruf mencapai 98,2 persen, sisanya penduduk buta huruf sebesar 0,8

persen. Secara umum program pendidikan merupakan salah satu program

unggulan dalam pembangunan daerah. Salah satu sasaran program pendidikan

tersebut adalah memberantas buta huruf.

Tabel 1.4 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota


di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2012-2017 (persen)

Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 2015 2016 2017


Ogan Komering Ulu 67,5 67,6 67,6 67,6 67,6 67,6
Ogan Komering Ilir 67,9 68 68 68 68 68
Muara Enim 67,7 67,7 67,7 67,7 67,7 68
Lahat 63,9 64 64,1 64,1 64,2 64,9
Musi Rawas 66,8 66,8 66,9 66,9 66,9 67,2
Musi Banyuasin 68 68 68 68 68 68,1
Banyuasin 68,2 68,2 68,2 68,2 68,2 68,3
Ogan Komering Ulu Selatan 65,7 65,7 65,8 65,8 65,8 66,1
Ogan Komering Ulu Timur 67,7 67,7 67,8 67,8 67,8 68,2
Ogan Ilir 64,2 64,3 64,3 64,4 64,4 64,6
Empat Lawang 63,9 63,9 64 64 64 64,2
Pali 67,5 67,5 67,6 67,6 67,6 67,7
Musi Rawas Utara 64,6 64,7 64,7 64,7 64,7 64,9
Palembang 69,8 69,8 69,8 69,8 69,8 70
Prabumulih 69,4 69,4 69,4 69,4 69,4 69,6
Pagar Alam 65,3 65,4 65,4 65,5 65,5 65,7
Lubuk Linggau 68,5 68,5 68,5 68,5 68,5 68,6
Sumatera Selatan 68,3 68,5 68,7 68,8 68,9 69,1
Sumber :Badan Pusat Statistik, Sumatera Selatan (data diolah )

Tabel 1.4 menunjukkan bahwa angka harapan hidup Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat

kesehatan penduduk. Meningkatnya angka harapan hidup setiap tahunnya

7
mengindikasikan meningkatnya derajat kesehatan penduduk. Tahun 2012-2017

menunjukkan bahwa adanya peningkatan angka harapan hidup dengan persentase

sebesar 68,3 – 69,1 persen. Hal ini hanya menunjukkan bahwa sebesar 0,8 persen

angka harapan hidup meningkan dalam perode 2012-2017.

Menurut Sjafrizal (2012), ada beberapa faktor utama yang menyebabkan

terjadinya ketimpangan antar wilayah yaitu:

1. Perbedaan kandungan sumber daya alam

Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan

produksi pada daerah bersangkutan yang cendereung memperlambat atau

mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

2. Perbedaan kondisi demografi

Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan

struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan,

perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan

kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.

Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja

masyarakat setempat.

3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa

Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan

migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan.

Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi

suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya

8
adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi,

sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana

konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang

selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui

peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah

Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem

pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan

ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung

lebih rendah.

Pada penelitian faktor-faktor yang meyebabkan tingkat ketimpangan antar

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan. Dalam penelitian ini variabel-

variabel yang digunakan adalah Angka Harapan Hidup (Kesehatan), Angka

Melek Huruf (Pendidikan) dan Sumber Daya Alam (PDRB Migas) di Provinsi

Sumatera Selatan.

Berdasarkan latar belakang di atas dilakukan penelitian tentang “Analisis

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”.

9
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi tingkat ketimpangan yang terjadi pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan?

2. Bagaimana pengaruh Kesehatan, Pendidikan dan Sumber Daya Alam

terhadap ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui kondisi ketimpangan yang

terjadi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan. (2) untuk menjelaskan

pengaruh faktor Kesehatan, Pendidikan dan Sumber Daya Alam terhadap

ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai kontribusi terhadap

penelitian sebelumnya maupun penelitian yang akan datang.

b. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat menerapkan Teori Ekonomi

Regional yang telah dipelajari pada perkuliahan.

c. Bagi masyarakat umum diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru

mengenai besarnya tingkat ketimpangan yang terjadi pada daerah sekitar

maupun memberikan pengetahuan akan faktor apa saja yang dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah sekitar anda.

d. Bagi pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan

diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memilih alternatif kebijakan

10
yang akan di ambil dalam mengatasi tingkat ketimpangan pembangunan

yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan.

11
2.Studi Kepustakaan

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Sukirno (2004: 423), pertumbuhan ekonomi adalah proses

dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto rill atau pendapatan nasional rill.

Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan

output rill. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan

ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapital. Pertumbuhan ekonomi

menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output rill per-orang.

2.1.2 Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Aspek ekonomi masih menjadi bagian penting dalam rencana

pembangunan, karena masalah utama pada negara-negara sedang berkembang

adalah pengangguran (unemployment) dan kemiskinan (poverty) yang merupakan

pertanda umum dari keterbelakangan ekonomi. Seperti proses pembangunan pada

tingkatan nasional maupun daerah di Indonesia yang masih memandang bahwa

pertumbuhan ekonomi masih merupakan unsur penting dalam proses

pembangunan. Hingga sampai saat ini, pertumbuhan ekonomi merupakan target

utama dalam penyusunan rencana pembangunan nasional maupun daerah

disamping pembangunan fisik dan sosial. Pendekatan dalam perencanaan

pembangunan daerah lebih banyak bersifat lintas sektoral dengan memanfaatkan

unsur tata ruang dan keuntungan lokasi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan

(Sjafrizal, 2014: 13). Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya merupakan

peningkatan kemampuan produksi pada daerah tersebut. Dalam kegiatan

12
perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan

fisikal produksi barang dan jasa yang berlaku disuatu negara, seperti pertambahan

dan jumlah produksi barang industri, perkembangan infrastruktur, pertambahan

jumlah sekolah, pertambahan produksi sektor jasa dan pertambahan produksi

barang modal (Sukirno, 2009: 423). Sedangkan menurut Prof. Simon Kuznet

(Jhingan 2012: 57), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan

jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin

banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini

tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan

ideologis yang dilakukan.

2.1.3 Konsep Ketimpangan Ekonomi Antar Daeraah.

Wie, (1981: 127) menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan

dari sudut pandangan ekonomi dibagi menjadi : 1. Ketimpangan pembangunan

pendapatan antar golongan penerima pendapatan (size distribution income); 2.

Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan

(urban-rural income disparities); 3. Ketimpangan pembagian pendapatan antar

daerah (regional income disparities); Ketimpangan pembangunan antar daerah

dengan pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang

wajar, karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan

pembangunan antar daerah (Williamson, 1965).

13
2.1.4 Potensi Ekonomi

Potensi ekonomi daerah merupakan kemampuan ekonomi yang ada di

daerah yang mungkin dan layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang

menjadi sumber kehidupan rakyat setempat bahkan dapat menolong

perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya

dan berkesinambungan (Soeparmoko, 2002). Dalam menggerakkan seluruh

perekonomian daerah secara bersama-sama, sebagian besar negara ataupun daerah

mengalami keterbatasan sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya

manusia, sumber daya finansial maupun sumber daya lainnya. Oleh karena itu

perlu diketahui potensi ekonomi yang dapat diketahui antara lain dengan melihat

dari sektor-sektor dalam perekonomian yang mampu sebagai penggerak utama

untuk memacu laju pembangunan di suatu negara atau daerah.

Selanjutnya Sihono (2001) mengatakan bahwa sektor ekonomi potensial

yang ada di suatu daerah merupakan sektor yang memiliki kemampuan produksi

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan sektor yang sama di daerah

lain, dengan demikian produk dan jasa dari sektor ekonomi potensial tersebut di

samping dapat mencukupi kebutuhan sendiri, selebihnya dapat dijual ke luar

daerah sehingga daerah memperoleh pendapatan masuk. Pendapatan masuk

tersebut akan mendorong pemanfaatan sumber daya lokal dan menggerakkan

sektor ekonomi potensial yang sekaligus meningkatkan pemanfaatan sumber daya

sektor ekonomi yang tidak potensial, sehingga perekonomian secara keseluruhan

berkembang yang pada akhirnya masing-masing sektor ekonomi merupakan pasar

14
bagi sektor lain. Kondisi tersebut dapat menciptakan peluang usaha dan lapangan

kerja baru bagi masyarakat.

2.1.5 Rasio Angka Harapan Hidup

Rasio Angka Harapan Hidup (AHH) adalah rata-rata perkiraan banyak

tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Rasio Angka Harapan

Hidup dihitung menggunakan pendekatan tak langsung (indirect estimation). Ada

dua data yang digunakan dalam penghitungan Rasio Angka Harapan Hidup yaitu

Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Besarnya nilai

maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan

nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara di dunia). Pada

komponen angka umur harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk

penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini

diambil dari standar UNDP.

2.1.6 Tingkat Pendidikan

Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator,

yaitu rata-rata lama sekolah (mean years schooling) dan Rasio Angka Melek

Huruf. Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh

penduduk usia 15 tahun ke atas dalam dalam menjalani pendidikan formal.

Sedangkan Rasio Angka Melek Huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun

ke atas yang padat membaca dan menulis huruf Latin dan atau huruf lainnya.

Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-

masing diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan Rasio

15
Angka Melek Huruf diberi bobot dua pertiga. Modal manusia adalah kumpulan

investasi yang dilakukan di masyarakat. Jenis modal manusia yang terpenting

adalah pendidikan. Seperti semua jenis modal lainnya, pendidikan mencerminkan

suatu pengeluaran sumber-sumber daya pada satu titik dalam waktu yang

tujuannya meningkatkan produktivitas masa depan. Namun, tidak seperti investasi

dalam bentuk modal yang lain, investasi di bidang pendidikan terikat pada

seseorang tertentu, dan keterkaitan semacam inilah yang menjadikannya modal

manusia (Mankiw, 2006: 513).

2.1.7 Hubungan antara Ketimpangan dengan Pertumbuhan Ekonomi

Pada umumnya untuk mengetahui perkembangan pembangunan ekonomi

suatu negara dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakatnya, perlu

diketahui tingkat pertambahan pendapatan nasional dan besarnya pendapatan per

kapita. Pendapatan per kapita sering dijadikan patokan tingkat kesejahteraan

masyarakat suatu negara. Besarnya pendapatan nasional akan menentukan

besarnya pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita sering dijadikan patokan

tingkat kesejahteraan masyarakat suatu negara. Besarnya pendapatan per kapita

sangat erat kaitannya dengan pertambahan penduduk, sehingga apabila

pertambahan pendapatan nasional lebih besar daripada tingkat pertambahan

penduduk, maka tingkat pendapatan per kapita penduduk meningkat. Apabila

tingkat pertambahan pendapatan nasional lebih kecil dari pertambahan penduduk,

maka pendapatan per kapita akan turun. Usaha untuk mempertahankan tingkat

pendapatan per kapita atau tingkat kesejahteraan relatif perlu dicapai tingkat

pertambahan pendapatan nasional yang sama dengan tingkat pertambahan

16
penduduk (Kuncoro, 2004: 129) Pendapatan nasional dan pendapatan per kapita

itu sendiri akan naik apabila produktivitas per kapita mengalami kenaikan. Untuk

menaikkan produktivitas per kapita berarti perlu adanya perubahan struktur

ekonomi, struktur produksi, teknik produksi, serta masyarakat yang statis

berkembang menjadi masyarakat dinamis. Jadi untuk mengetahui laju

pembangunan tidak cukup dengan melihat dari segi pendapatan per kapita saja,

tetapi harus pula diikuti dengan perubahan dalam struktur ekonomi dan struktur

masyarakatnya. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi baru dikatakan ada

kemajuan apabila pendapatan nasional atau pendapatan per kapita naik dengan

diikuti perubahan struktur ekonomi, teknik produksi, adanya modernisasi, dan

masyarakat tradisional berkembang menjadi masyarakat dianamis yang berpikir

rasional secara ekonomi dalam tindakan-tindakannya (Hasibuan, 1987: 40-41).

Hubungan antara tingkat ketimpangan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi

dapat dijelaskan dengan hipotesis Kuznets. Hipotesis tersebut berawal dari

pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang rendah berasosiasi

dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada mulanya meningkat

pada tingkat ketimpangan pendapatan rendah hingga sampai pada suatu tingkat

pertumbuhan tertentu, dan selanjutnya menurun. Pemikiran tentang mekanisme

yang terjadi pada fenomena Kuznets bermula dari transfer yang berasal dari sektor

tenaga kerja dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan pendapatannya

rendah), ke sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan tingkat kesenjangan

menengah). Dengan adanya ketimpangan antar sektor maka secara substansial

17
akan menaikkan kesenjangan di antara tenaga kerja yang kerja yang bekerja pada

masing-masing sektor (Kuncoro, 2004: 137).

2.1.8. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan

1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan

salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan

pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi

kegiatan ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

2. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah

Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi, seperti tenaga kerja dan

kapital, antar provinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan

ekonomi regional.

3. Perbedaan Sumber Daya Alam (SDA) Antar Provinsi

Dasar pemikiran ”Klasik” sering mengatakan bahwa pembangunan

ekonomi di daerah yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dan

masyarakatnya lebih makmur dibanding di daerah yang miskin sumber

daya alam. Hingga tingkat tertentu, anggapan ini masih bisa dibenarkan.

Dalam arti sumber daya alam harus dilihat hanya sebagai modal awal

untuk pembangunan, yang selanjutnya harus dikembangkan terus.

4. Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah

Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh

perbedaan kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah

18
dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan,

kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Faktor-faktor ini

mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi

permintaan dan sisi penawaran.

2.2 Penelitian terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Krinantya, 2014 tentang Faktor-faktor

yang mempengaruhi ketimpangan antar wilayah di provinsi Jawa Timur dan

D.I.Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, Korelasi

Pearson dan Indeks Williamson yang menyimpulkan bahwa Provinsi Jawa Timur

memiliki angka Indeks Williamson lebih tinggi dibandingkan provinsi

D.I.Yogyakarta. Hal ini menunjukkan lebih besar ketimpangan antar wilayah yang

terjadi di Jawa Timur. Di provinsi Jawa Timur, variabel investasi dan aglomerasi

memiliki hubungan yang lemah, sedangkan tingkat pengangguran memiliki

hubungan yang kuat terhadap ketimpangan. Di provinsi D.I.Yogyakarta, variabel

investasi, aglomerasi dan tingkat pengangguran memiliki hubungan lemah

terhadap ketimpangan antar wilayah.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Puspitawati,

2013 tentang analisis perbandingan faktor-faktor penyebab ketimpangan

pembangunan antar Kabupaten/Kota di kawasan Kedungsapur. Penelitian ini

menggunakan teknik analisis Location Quotient, Shift Share, Tipologi Klassen,

dan Skalogram dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata

Kabupaten/Kota yang memiliki sektor basis adalah sektor pertanian memiliki

19
pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, sedangkan sebagian besar

Kabupaten/Kota di Kawasan Kedungsapur memiliki sektor basis pada sektor

pertanian. Karakteristik pola pertumbuhan Kota Semarang termasuk daerah maju

dan cepat berkembang, Kabupaten Semarang termasuk daerah maju tapi tertekan,

Kabupaten Kendal termasuk daerah berkembang cepat, dan 3 Kabupaten/Kota

lainnya termasuk daerah tertinggal. Kondisi fasilitas terlengkap hanya terdapat

pada 2 Kabupaten/Kota dan 4 Kabupaten/Kota lainnya termasuk dalam daerah

yang kurang lengkap fasilitas ekonomi dan sosialnya. Kesimpulan dari penelitian

ini kondisi sektoral, pola pertumbuhan, dan fasilitas sangat berpengaruh terjadinya

ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Kedungsapur.

Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga, 2010 tentang analisis

ketimpangan ekonomi antar Kabupaten/Kota dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya: studi kasus Provinsi Sumatera Selatan (2004-2007). Teknik

analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah Indeks Williamson, Regresi

Data Panel, Uji Statistik. Dengan hasil yang menimpulkan bahwa penelitian

dengan menggunakan metode Random Effect: (1) dengan menggunakan data

PDRB per kapita migas menjelaskan bahwa rasio angka harapan hidup dan rasio

angka melek huruf positif dan signifikan terhadap PDRB per kapita, sedangkan

hubungan pendapatan asli daerah dan pengeluaran pemerintah terhadap PDRB per

kapita tidak signifikan. (2) dengan menggunakan data PDRB per kapita tanpa

migas menjelaskan bahwa rasio angka harapan hidup dan pengeluaran

pembangunan berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB per kapita,

20
sedangkan hubungan pendapatan asli daerah dan rasio angka melek huruf

terhadap PDRB per kapita tidak signifikan

Penelitian yang dilakukan oleh Noto, 2016 tentang analisis

ketimpangan wilayah antar Kabupaten/Kota dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya di provinsi Jawa Timur tahun 2010-2014. Teknik analisis yang

dipakai yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis regresi panel. Dengan hasil

penelitian ini menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi

Jawa Timur sangat tinggi hal tersebut dikarenakan oleh adanya beberapa wilayah

di Provinsi Jawa Timur yang memiliki PDRB perkapita yang tinggi jauh diatas

PDRB perkapita Provinsi Jawa Timur, seperti Kota Kediri dan Kota Surabaya dan

variabel-variabel seperti Upah Minimum Regional (UMR), angkatan kerja yang

bekerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Pengeluaran Pemerintah

berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pembangunan wilayah.

Penelitian yang dilakukan oleh Indah, 2016 tentang Analisis pengaruh

kredit investasi, ekspor non migas, produktivitas tenaga kerja sektor pertanian,

produktivitas tenaga kerja sektor industri terhadap ketimpangan ekonomi antar

provinsi di Pulau Jawa-Bali. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis

regresi data panel, dengan hasil penelitian yang meyimpulkan bahwa Hasil dari

penelitian ini adalah dengan alpha sebesar 5 persen variabel kredit investasi,

produktivitas tenaga kerja sektor pertanian dan produktivitas tenaga kerja sektor

industri berpengaruh signifikan dan positif terhadap ketimpangan ekonomi antar

provinsi di Pulau Jawa-Bali. Sedangkan variabel ekspor non migas berpengaruh

21
tidak signifikan dan negatif terhadap ketimpangan ekonomi antar provinsi di

Pulau Jawa-Bali.

Penelitian yang dilakukan oleh Subroto, 2013 tentang Analisis

ketimpangan antar-wilayah dan pembangunan pendidikan. Teknik analisis yang

digunakan adalah Indek Williamson, Tipologi Klassen, Gini Rasio, dengan hasil

penelitian yang meyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional (2001-2013)

terus meningkat, meskipun diikuti pula dengan peningkatan angka gini rasio.

Artinya terjadi kecenderungan yang semakin membesar pada ketimpangan

pendapatan di masyarakat, hal tersebut menggambarkan adanya pertumbuhan

ekonomi namun tidak terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Selain

perbedaan kebutuhan dan kemampuan keuangan antardaerah serta kebijakan

alokasi dana pusat, beberapa keadaan juga melahirkan ketimpangan fiskal

horizontal antardaerah yang menyebabkan ketimpangan pertumbuhan

pembangunannya, adalah perbedaan yang sudah terjadi secara alamiah, antara

lain; kandungan dan potensi sumber daya alam antardaerah; kondisi geografis;

mobilitas barang dan jasa; kegiatan ekonomi wilayah; pengalokasian dana

pembangunan antardaerah.

Penelitian yang dilakukan oleh Nangarumba, 2015 tentang Analisis

Pengaruh Struktur Ekonomi, Upah Minimum Provinsi, Belanja Modal, dan

Investasi Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Seluruh Provinsi

di Indonesia Tahun 2005-2014. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi

data panel, Indeks Williamson, dengan hasil penelitian yang menyimpulkan

bahwa dimana ditemukan bahwa PDRB dari Sektor Pertanian, PDRB Sektor Jasa,

22
Upah Minimum Provinsi, Belanja Modal, dan juga Kredit Investasi berhubungan

negatif dengan besaran ketimpangan Pendapatan. PDRB sektor industri

merupakan satu-satunya variabel yang berhubungan positif dengan ketimpangan

pendapatan. Sehingga, jika yang ingin diwujudkan adalah pemerataan pendapatan

maka diperlukan peningkatan kinerja sektor pertanian dan jasa, peningkatan upah

minimum provinsi, peningkatan anggaran belanja modal, dan peningkatan kredit

investasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dhyatmika dan Atmanti, 2013 tentang

Analisis ketimpangan pembangunan Provinsi Banten pasca pemekaran. Teknik

analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson, tipologi klassen, regresi data

panel, dengan hasil penelitian yang meyimpulkan bahwa berdasarkan perhitungan

Indeks Williamson untuk mengukur tingkat ketimpangan, ketimpangan

pembangunan di Provinsi Banten selama periode penelitian cenderung meningkat.

Pengklasifikasian daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten menurut tipologi

Klassen terdapat tiga klasifikasi yaitu 1) daerah maju dan cepat tumbuh, 2) daerah

berkembang, dan 3) daerah tertinggal. Daerah yang berada pada klasifikasi daerah

maju dan tumbuh cepat adalah Kota Cilegon dan Kota Tangerang, untuk daerah

berkembang terdapat Kabupaten Tangerang dan pada daerah tertinggal terdapat

Kabupaten Pandeglang, Lebak dan Serang. Model regresi dengan menggunakan

model Fixed Effect pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA), pengeluaran

pemerintah dan tingkat pengangguran terhadap ketimpangan pembangunan

wilayah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten tahun 2001-2011 cukup layak

digunakan karena telah memenuhi dan melewati uji asumsi klasik, yaitu

23
multikolinearitas, heterokedastisitas, dan autokorelasi. Penanaman modal asing

(PMA) berpengaruh positif terhadap tingkat ketimpangan pembangunan.

Penanaman modal asing yang tidak merata antar daerah menyebabkan terjadinya

ketimpangan pembangunan. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan

berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten. Hal

ini berarti kenaikan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dapat

mengurangi tingkat ketimpangan yang terjadi. Sedangkan tingkat pengangguran

tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten. Hal

ini disebabkan tingkat pengangguran yang relatif kecil di Provinsi Banten.

Penelitian yang dilakukan oleh Tipka, 2014 tentang Analisis ketimpangan

pembangunan antar kecamatan di Kota Ambon. Teknik analisis yang digunakan

adalah Analisis Tipologi Klassen, Analisis Indeks Williamson, Korelasi Pearson,

Teori Kuznets tentang Kurva U-terbalik, dengan hasil penelitian yang

menyimpulkan bahwa Dari hasil Tipologi Klassen Kota Ambon dapat di bagi

menjadi dua klasifikasi. Daerah yang pertama yakni daerah maju dan tumbuh

cepat terdiri dari dua kecamatan yakni Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Teluk

Ambon. Daerah yang kedua yakni daerah relatif tertinggal adalah Kecamatan

Nusaniwe, Kecamatan, Kecamatan Teluk Ambon Baguala dan Kecamatan

Leitimur Selatan. Selama periode pengamatan tahun 2007-2010 angka

ketimpangan dihitung dengan Indeks Williamson angkanya mengalami kenaikan

dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dikatakan ketimpangan pembangunan di Kota

Ambon mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya

24
pertumbuhan ekonomi.Hipotesis Kuznets tentang kurva U-terbalik di Kota

Ambon tidak berlaku pada periode penelitian (2003-2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih, (2013) tentang Ketimpangan

Wilayah di Provinsi Kalimantan Barat Suatu Kajian terhadap Hipotesis Kuznet.

Teknik analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson, Tipologi Klassen,

Hipotesis Kuznets, Regresi Data Panel, dengan hasil penelitian yang

menyimpulkan bahwa angka ketimpangan wilayah antar Kabupaten/Kota di

Provinsi Kalimantan Barat selama periode 2001-2010 rata-rata sebesar 0,332.

Angka ini menunjukkan tingkat ketimpangan yang rendah, dengan kata lain antar

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat relatif merata dalam hal

pendapatan per kapita. Namun yang perlu digaris bawahi adalah kemerataan

tersebut terjadi pada tingkat pendapatan perkapita yang rendah, sehingga kondisi

ketimpangan yang rendah tersebut sebenarnya tidak menggambarkan

kesejahteraan masyarakat sepenuhnya. Ketimpangan antar Kabupaten/Kota yang

terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2010

cenderung turun. Nilai Indeks Williamson pada tahun 2001 yaitu dari 0,383 turun

menjadi 0,286 pada tahun 2010. Ketimpangan di Kalbar cenderung mengalami

penurunan pada saat pertumbuhan ekonomi meningkat, oleh karena itu kurva

yang terbentukpun tidak persis seperti U terbalik. Hal ini menunjukkan bahwa

hipotesis Kuznets dapat dikatakan tidak berlaku di Provinsi Kalimantan Barat

pada periode pengamatan tahun 2001-2010 Pertumbuhan ekonomi berpengaruh

negatif signifikan terhadap ketimpangan wilayah artinya jika pertumbuhan

ekonomi meningkat, maka ketimpangan wilayah berkurang demikian sebaliknya.

25
Ini menandakan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat perlu untuk membangun

daerah tetapi bukan syarat cukup. Karena ada faktor lain yang sangat penting yaitu

bagaimana dengan pembangunan tersebut membuat masyarakat daerah menjadi

jauh lebih sejahtera dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Pembangunan

juga diprioritaskan pada daerah relatif tertinggal. Terutama dalam hal penyediaan

pelayanan publik agar kesenjangan antar daerah Kota dan kabupaten tidak

semakin lebar. Orientasi pembangunan tidak semata berorientasi pada mengejar

pertumbuhan yang tinggi tetapi juga harus mempertimbangkan pemerataan dan

kesejahteraan.

2.3 Kerangka Pemikiran

KESEHATAN

(Angka Harapan Hidup)

PENDIDIKAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN


EKONOMI KABUPATEN/KOTA
(Angka Melek Huruf) PROVINSI SUMATERA SELATAN

SDA

(PDRB Migas)

Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran

Kemampuan setiap daerah untuk membangun daerahnya masing-masing

berbeda, karena dipengaruhi oleh adanya perbedaan potensi sumber daya yang

dimilikinya seperti sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan

26
serta sumber daya sosial. Dalam proses pembangunan ada daerah yang melimpah

sumber daya alam tetapi kurang dalam sumber daya manusia, namun ada daerah

yang sebaliknya kurang dalam hal sumber daya alam tapi melimpah dalam

sumber daya manusia, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam segi

kesehatan dapat dilihat bahwa apabila suatu daerah yang cenderung memiliki

tingkat kesehatan yang kurang baik, maka daerah tersebut cenderung

mempengaruhi produktivitas tenaga kerja mereka dalam meningkatkan

pendapatan. Hal ini dapat membuat suatu daerah lebih tertinggal lagi dalam

memperbaiki kondisi perekonomian di suatu daerah. Dari segi pendidikan dapat

dilihat bahwa dalam suatu daerah yang memiliki pendidikan yang tinggi akan

menyebabkan daya pikir masyarakat daerah tersebut dalam mengembangkan

potensi daerah masing-masing cenderung lebih baik dari pada suatu daerah yang

dapat dikatakan memiliki pendidikan yang rendah. Pola pikir masyarakat yang

memiliki pendidikan yang baik akan terus mengembangkan daya pikir mereka

dalam memajukan daerahnya. Keadaan ini selanjutnya menyebabkan perbedaan

dalam perkembangan pembangunan yang mengakibatkan tingkat pertumbuhan

ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan di masing-masing daerah. Jika Tingkat

Pendidikan, Tingkat Kesehatan dan Sumber Daya Alam yang dimiliki suatu

daerah dapat dijalankan dengan baik maka pola pikir dalam memanfaatkan

Sumber daya alam yang ditunjang dalam segi pendidikan dan kesehatan yang

baik, maka hal ini dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah dan

dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang terealisasi secara

nyata.

27
Untuk mengetahui nilai dari ketimpangan pembangunan wilayah sebagai

variabel terikat maka akan dihitung melalui Indeks Williamson dimana

menggunakan data PDRB Harga Konstan Tahun Dasar 2010 dan jumlah

penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan untuk

mengetahui pengaruh ketiga jenis variabel yaitu Sumber Daya Alam (PDRB

Migas), Tingkat Pendidikan (Angka Melek Huruf) dan Tingkat Kesehatan (Angka

Harapan Hidup) (variabel bebas) terhadap ketimpangan pembangunan wilayah

akan menggunakan teknik analisis regresi.

2.4 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka, bahwa tingkat ketimpangan pembangunan

ekonomi diduga dipengaruhi oleh struktur pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan

kesehatan dan SDA Sedangkan hipotesis penelitian seperti ini :

1. Ketimpangan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan. Semakin menurunnya angka

ketimpangan atau ketidakmerataan pembangunan semakin baik pertumbuhan

ekonomi yang ada.

2. Pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat ketimpangan dalam

pembangunan ekonomi. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan

menyebabkan menurunnya ketimpangan pembangunan ekonomi.

3. Kesehatan berpengaruh negatif terhadap tingkat ketimpangan dalam

pembangunan ekonomi. Semakin angka harapan hidup tinggi akan

menyebabkan menurunnya ketimpangan pembangunan ekonomi.

28
4. SDA berpengaruh positif terhadap tingkat ketimpangan dalam pembangunan

ekonomi. Semakin besar potensi SDA suatu daerah maka semakin besar

ketimpangan pembangunan ekonomi.

29
3. Metodologi Penelitian

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh tingkat ketimpangan

yang terjadi antar Kabupaten/Kota di provinsi Sumatera Selatan dan melihat

pengaruh faktor-faktor tingkat pendidikan, kesehatan dan sumber daya alam

terhadap ketimpangan. Ketimpangan diukur dengan Indeks Williamson dengan

menggunakan variabel Jumlah penduduk dan PDRB perkapital, sedangan

Variabel yang digunakan pada tingkat pendidikan adalah variabel angka melek

huruf (AMH), variabel yang digunakan pada Kesehatan adalah variabel Angka

Harapan Hidup (AHH) dan variabel yang digunakan pada Sumber Daya Alam

adalah PDRB Migas. Dengan kurun waktu 6 tahun dari periode 2012-2017.

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakaan metode analisis yang bersifat deskrtiptif

kuantitatif dimana dengan menggunakan perhitungan Indeks Williamson untuk

mengukur ketimpangan serta menggunakan regresi data panel untuk melihat

faktor-faktor pendidikan, kesehatan dan sumber daya alam yang mempengaruhi

tingkat ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan

kualitatif, karena keseluruhan datanya tidak hanya berupa angka-angka,

namun juga berupa penjelasan beberapa kata-kata. Penelitian ini menggunakan

data sekunder yang diperoleh dari www.sumsel.bps.go.id. Penelitian ini juga

30
menggunakan data berkala (time series data). Yakni pengumpulan data dari

waktu ke waktu untuk melihat perkembangan suatu kejadian/kegiatan yang

berlangsung selama periode tersebut.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan data

sekunder yang berupa data time series selama 6 tahun dan data cross

secsion dari 15 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan. Data penelitian ini

didapat pada www.google.com, www.sumsel.bps.go.id dan kunjungan ke Badan

Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan (BPS). Sedangkan obyek dalam

penelitian ini adalah data Penduduk, PDRB ADHK 2010 untuk menghitung

tingkat ketimpangan, sedangkan Tingkat Pendidikan, Tingkat Kesehatan, dan

SDA adalah perhitungan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketimpangan

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan.

3.5 Teknik Analisis

3.5.1 Analisi Ketimpangan Wilayah

Ketimpangan wilayah pada penelitian ini menggunakan perhitungan

Indeks Williamson untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang

perkembangan masing-masing daerah dari segi pemerataan pembangunan, dapat

diamati dengan menggunakan Indeks ketimpangan pembangunan antar daerah

yang semula dipergunakan oleh Williamson. Perhitungan Indeks Williamson

didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus sebagai

berikut (Sjafrizal, 1997):

31
̅ )𝟐 (𝒇𝒊 )
√𝚺𝐢𝐣 (𝒀𝒊−𝒀
𝒏
𝑽𝒘 = ̅
, 𝟎 < 𝑽𝒘 < 1 ..................................... (1)
𝒀

Dimana :

Vw = Indeks Williamson.
fi = Jumlah penduduk masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera
Selatan.
n = Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Selatan.
Yi = Pendapatan per kapita masing-masing Kabupaten/Kota.
Ῡ = Rata-rata pendapatan per kapita di Provinsi Sumatera Selatan.

Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0

sampai angka 1 atau 0 < VW < 1. Jika Indeks Williamson semakin mendekati

angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika Indeks

Williamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan

pembangunan ekonomi.

3.5.2 Analisis Regresi Data Panel

Regresi data panel digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi ketimpangan dalam pembangunan ekonomi Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian data panel merupakan kombinasi data

runtun waktu (time series) dan data kerat lintang (cross section). Persamaan dasar

regresi data panel adalah sebagai berikut:

KET = β0 + β1AHH + β2AMH+ β2MGS+ ε1....................................... (2)

Dimana :

32
KET = Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Selatan
AHH = Angka Harapan Hidup di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera
Selatan
AMH = Angka Melek Huruf di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera
Selatan
MGS = PDRB Migas di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
β0 = Konstanta
β1 β2 β3 = Koefisien regresi
ε1 = Variabel pengganggu

3.5.3 Pemilihan Model Regresi Data Panel

Terdapat tiga model yang digunakan diantarnya: 1) Regresi data

panel dengan Common Effect atau Ordinary Least Square (OLS), 2) Regresi

data panel dengan Fixed Effect Method (FEM), 3) Regresi data panel dengan

Random Effect.

1. Regresi data panel dengan Common Effect

Model analisis ini mengabaikan dimensi waktu dan ruang, karena intersep

dan koefisien slope dianggap konstan. Dan dalam melakukan regresi

digunakan langsung regresi Ordinary Least Square (OLS).

2. Regresi data panel dengan Fixed Effect Method (FEM)

Model analisis ini memiliki asumsi adanya perbedaan intercept antar

individu, tetapi intersep antar waktunya sama dan koefisien regresi atau

slope sama antar individu dan waktu. Untuk penggunaan slope yang

33
konstan sedangkan intersepnya harus bervariasi, maka bisa digunakan

variabel dummy.

3. Regresi data panel dengan Random Effect.

Model analisis ini memiliki asumsi bahwa slope antar individu adalah

sama, tetapi intersep berbeda baik antar individu maupun antar waktu,

namun rata-rata tiap intersep adalah sama.

Untuk menentukan teknik regresi data panel mana yang akan digunakan,

maka dilakukan pengujian regresi data panel dengan melakukan Uji Chow, Uji

Lagrange Multiplier, dan Uji Hausman.

1. Uji Chow (Chow test)

Untuk menentukan metode Common Effect atau Fixed Effect yang paling

tepat digunakan dalam mengestimasi data panel. Hipotesis dalam Uji

Chow adalah :

H0 = Common Effect

H1 = Fixed Effect

Dasar penolakan terhadap hipotesis diatas adalah dengan membandingkan

perhitungan F-statistik dengan F-tabel. Perbandingan dipakai apabila hasil

F hitung lebih besar (>) dari F tabel, maka H0 ditolak yang artinya model

yang paling tepat dihunakan adalah Fixed Effect Model. Begitupun

sebaliknya, jika hasil F hitung lebih kecil (<) dari F tabel, maka H0

diterima dan model yang digunakan adalah Common Effect Model.

2. Uji Lagrange Multiplier

34
Untuk menentukan metode Common Effect atau Random Effect yang

paling tepat digunakan dalam mengestimasi data panel. Hipotesis yang

digunakan adalah :

H0= Fixed Effect Model


H1= Random Effect Model

Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-squares dengan degree of

freedom sebesar jumlah variabel independen. Jika nilai LM statistik lebih

besar dari nilai kritis statistik chi-squares maka kita menolak hipotesis

nul, yang artinya estimasi yang tepat untuk model Random Effect dari pada

metode Fixed Effect. Sebaliknya jika nilai LM statistik lebih kecil dari

nilai statistik chi-squares sebagai nilai kritis, maka kita menerima

hipotesis nul, yang artinya estimasi yang digunakan dalam regresi data

panel adalah metode Fixed Effect bukan metode Random Effect.

3. Uji Hausman

Untuk memilih metode Fixed Effect atau metode Random Effect yang

paling tepat digunakan dalam mengestimasi data panel. Pengujian uji

Hausman dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 = Random Effect
H1 = Fixed Effect

Statistik uji Hausman ini mengikuti distribusi statistik Chi-squares

dengan degree of fredom sebanyak k, dimana k adalaha jumlah variabel

independent. Jika nilai statistik Hausman lebih besar (>) dari nilai

kritisnya maka H0 ditolak dan model yang tepat adalah model Fixed Effect

35
sedangkan sebaliknya bila nilai statistik Hausman lebih kecil (<) dari nilai

kritisnya maka model yang tepat digunakan adalah model Random Effect.

Setelah ditentukan model mana yang digunakan dalam regresi data panel,

dilakukan lagi pengujian terhadap model yaitu uji ekonometrika dan uji statistik,

yang meliputi:

a. Uji Ekonometrika

Dalam menggunakan regresi OLS diperlukan pengujian untuk

menghasilkan sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), pengujian

dilakukan menggunakan asumsi Klasik yang terdiri dari:

1) Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi

apakah residual mempunyai distribusi normal atau tidak. Melalui uji

signifikansi individual, pengaruh variabel independen secara individual

terhadap variabel dependen dapat dikatakan valid apabila residual yang

dihasilkan memiliki distribusi normal. Melalui uji Skewness dan

Kurtosis, apabila besarnya prob>chi2 lebih besar dari α = 5%

menunjukan data berdistribusi normal.

2) Uji Multikolinearitas

Uji Multikolinearitas merupakan pengujian yang dilakukan untuk

mengetahui korelasi linier yang tinggi di antara lebih dari dua variabel

independen. Apabila di dalam model regresi terdapat korelasi yang

tinggi di antara variabel bebas maka dinyatakan mengandung gejala

36
multikolinear. Terdapat beberapa cara yang digunakan untuk melihat

adanya multikolinear diantaranya dengan melihat nilai R2 dan nilai t

statistik. Jika nilai R2 tinggi dan uji F menolak hipotesis nol, tetapi

nilai t statistik sangat kecil atau tidak ada variabel bebas yang

signifikan, maka hal tersebut menunjukan gejala multikolinear.

Sedangkan salah satu cara untuk mengatasi gejala multikolinear dapat

dilakukan dengan menghilangkan variabel yang memiliki korelasi

yang sangat tinggi.

3) Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas menunjukan adanya varian variabel pada model

regresi yang tidak sama. Sedangkan yang diharapkan dari model

regresi yaitu adanya homoskedastisitas. Sedangkan penggunaan data

panel selain menggunakan data time series tetapi juga menggunakan

data cross section, yang menunjukan bahwa telah terjadi pelanggaran

homoskedastisitas. Dan untuk mengetahui adanya heteroskedastisitas

dapat menggunakan uji White Test dan uji Wald Test. Sedangkan untuk

mengatasi adanya masalah heteroskedastisitas dapat digunakan

heteroskedascity robust atau standard error.

4) Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi

antara anggota serangkaian data observasi berdasarkan waktu (time-

series) atau ruang (cross section). Untuk mengetahui adanya masalah

autokorelasi bisa menggunakan Durbin-Watson test, Breusch-Godfrey

37
test dan Wooldridge Test. Sedangan mengatasi permasalahan

autokorelasi dapat digunakan transformasi Cochrane-Orcutt dan

standar error Newey West. Sedangkan dalam software Stata 12.0

permasalahan asumsi heterokedasitas dan autokorelasi untuk data

panel tidak lengkap (unbalanced panel) dapat diatasi secara bersamaan

dengan metode FGLS ( Feasible General Least Square).

b. Uji statistik

Penggunaan uji statistik dilakukan guna mengetahui apakah

perhitungan yang dilakukan signifikan secara statistik atau tidak

signifikan. Ketepatan dalam menggunakan regresi dapat diukur dari

goodness of fit. Dan dalam analisis regresi terdapat 3 jenis kriteria

ketepatan (goodness of fit) yaitu: 1 ) uji statistik f, 2) uji statistik t, dan

3) Koefisien determinasi (R2).

1) Uji signifikansi secara keseluruhan (Uji statistik F)

Uji statistik F menunjukan semua variabel bebas yang dimasukan

dalam model mempunyai pengaruh secara bersamasama terhadap

variabel terikat.

Sedangkan cara untuk melakukan uji t bisa dipergunakan:

a) Apabila nilai F lebih besar daripada 4 maka Ho yang menyatakan

bi=b2=...bk= 0 dapat ditolak pada derajat kepercayaan 5%.

38
b) Dengan cara membandingkan nilai statistik F, apabila nilai statistik

F hitung lebih besar dibanding F tabel maka hipotesis alternatif dapat

diterima.

2) Uji signifikansi Individual (Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh

variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi

variabel dependen. Hipotesis nol (Ho) yang diuji adalah suatu

parameter (bi) sama dengan nol.

Sedangkan cara untuk melakukan uji t bisa dipergunakan:

a) Apabila jumlah degree of freedom adalah 20 atau lebih dan derajat

kepercayaan 5%, maka Ho yang menyatakan bi = 0 dapat ditolak

apabila nilai t lebih besar dari 2 (nilai absolut).

b) Dengan cara membandingkan nilai statistik t, apabila nilai statistik t

hitung lebih besar dibanding t tabel maka hipotesis alternatif dapat

diterima.

3) Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa jauh

model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Namun

penggunaan koefisien determinasi adalah bias terhadap jumlah variabel

independen yang dimasukan dalam model. Setiap tambahan satu

variabel independen yang dimasukan R2 pasti meningkat tidak peduli

apakah variabel independen tersebut signifikan atau tidak. Oleh karena

39
itu nilai Adjusted R2 dapat digunakan untuk mengevaluasi mana model

regresi yang baik.

3.6 Definisi Operasional Variabel dan Pengukur

a. Ketimpangan pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi georgafi yang

terdapat pada masing-masing daerah. Akibat perbedaan ini,

kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan

juga berbeda.

b. Pendidikan menggambarkan kemampuan penduduk dalam menguasai

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mengukur

tingkat pendidikan penduduk, dapat dilakukan dengan cara

memperhatikan data penduduk yang masih buta huruf, tamat SD,

tamat SMP, tamat SMA, dan tamat Universitas. Semakin tinggi

persentase penduduk yang masih rendah di negara yang bersangkutan

dilihat dari aspek pendidikan penduduk indonesia masih relatif rendah

bahkan ada yang masih buta huruf.

c. Kesehatan penduduk merupakan faktor yang penting yang perlu

ditingkatkan, sebab akan berpengaruh terhadap tingkat produktifitas.

Artinya, semakin banyak penduduk yang sakit maka akan semakin

rendah kualitas penduduk berdasarkan tingkat kesehatan.

d. Sumber Daya Alam (SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari

alam dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

40
Dalam artian bahwa segala sesuatu yang diolah manusia atau

dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam membangun

pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang bersumber pada alam.

e. Rasio Angka Harapan Hidup ini digunakan seberapa baik tingkat

kesehatan masyarakat selama ini dalam proses pembangunan serta

pengaruh dalam mendorong pembangunan, sedangkan Rasio Angka

Melek Huruf yang mewakili tingkat pendidikan sangat berpengaruh

besar terhadap keberhasilan pembangunan daerah. Pembangunan akan

berhasil apabila sumber daya manusianya memiliki kualitas tinggi

pula.

41
Daftar Pustaka

Adipuryanti, Ni Luh Putu Yuni Dan Ketut Sudibia. 2015. “ Ananlisis Pengaruh
Jumlah Penduduk Yang Bekerja dan Investasi Terhadap Ketimpangan
Distribusi Pendapatan Melalui pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali”. Piramida. Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Vol XI No. 1 : 20-28.
Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan: Tinjauan
Kritis. P4Wpress. Bogor.
Arsyad, lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Daerah. Yogyakarta : BPFE
Asngari, Imam. 2011. Modul Praktikum Ekonometrika Program Eviews dan
SPSS. Inderalaya
Cazka dan Riadi, RM. 2008. Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan
Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau. Jurnal Industri dan PerKotaan
Volume XII Nomor 21/Februari 2008.
Dhyatmika, Ketut Wahyu & Hastarini Dwi Atmanti. 2013. Analisis
Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran. Diponegoro
Journal Of Economics, Volume 2 No 2 Hal 1-8.
Gujarati N. Damodar. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. McGraw-Hill.
Hairul Aswandi dan Mudrajat Kuncoro 2002. Evaluasi Penetapan Kawasan
Andalan: Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia. Vol. 17. No 1. 2002.
Haris, Muhammad. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Investasi,
dan IPM Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah Di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2005-2012. Skripsi Sarjana Jurusan IESP pada Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semar.

Hasibuan, Malayu S.P. 1987. Ekonomi Pembangunan dan Perekonomian


Indonesia. Bandung : Armico.

Indah, Richa Zulfia. 2016. Analisis Pengaruh Kredit Investasi, Ekspor Non
Migas, Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Produktivitas Tenaga
Kerja Sektor Industri Terhadap Ketimpangan Ekonomi Antar Provinsi di
Pulau Jawa-Bali. Jurnal FE Universitas Brawijaya.
Irawan dan M. Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan. Edisi ke 6.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

42
Jhingan, M. L. 2012. Ekonomi Pembangunan dan perencanaan. Jakarta:
Rajawali Press.

Kapsos, Stephen. “Estimating Growth Requirements for Reducing Working


Poverty: Can the World Halve Working Poverty By 2015?”. 2004. Saleh,
Samsubar. F

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Penerbit


Erlangga
Kurniasih, Erni Panca. 2013. Ketimpangan Wilayah di Provinsi Kaliamntan
Barat Suatu Kajian terhadap Hipotesis Kuznet. Vol. 9, No. 1, Februari 2013,
Hal. 36-48. Pontianak. FE Universitas Tanjungpura.
Krinantya, Narina. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan antar
wilayah di Provinsi Jawa Timur dan D.I.Yogyakarta, Skripsi. Universitas
Diponegoro.
Mankiw, N. Gregory. 2006. Pengantar Ekonomi Makro, Edisi Ketiga. Salemba
Empat. Jakarta.
Majidi, Nasyid. 1997. Anggaran Pembangunan dan Ketimpangan Ekonomi
Antardaerah. Jurnal Buletin Prisma.
Mopangga, Herwin. 2011. Analisis Ketimpangan Pembanguna Dan
Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Gorontalo. Volume 10, No.1, Juni 2011,
Hal. 40-51. Gorontalo: FEB Universitas Negeri Gorontalo. ISSN 1411-
514X.
Munawar Ismail. 1995. Teori Pertumbuhan dan Pemerataan. Prisma Tahun
XXIV No.1.
Nikijuluw, Jeanee B. 2014. Pertumbuhan Dan Ketimpangan Pembangunan
Antar Daerah Di Provinsi Maluku. Volume VIII, Nomor 1, Mei 2014.
Ambon: FE Universitas Pattimura. ISSN: 1978-3612.
Nangarumba, Muara. 2015. Analisis Pengaruh Struktur Ekonomi, Upah
Minimum Provinsi, Belanja Modal, dan Investasi Terhadap Ketimpangan
Pendapatan di Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2014. JESP-Vol.
7, No 2 Nopember 2015. Malang: FEB Universitas Brawijaya. ISSN 2086-
1575.
Noto, Gantara Hadi. 2016. Analisis Ketimpangan Wilayah Antar
Kabupaten/Kota dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Provinsi
Jawa Timur tahun 2010-2014. Jurnal FE Universitas Brawijaya.
Pangemanan, Lyndon. 2001. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Ketidakmerataan Pendapatan Di Indonesia Periode Tahun 1980-1996. Tesis
Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia.

43
Prayitno, Teguh. 2008. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat
Ketimpangan antar Wilayah Kecamatan di Kabupaten Kebumen Tahun
2000-2006. UII. Yogyakarta
Puspa Ayu, Widya. 2008. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat
Ketimpangan antar Wilayah Kecamatan di Kabupaten Semarang Periode
2000-2004. Jurnal. Semarang
Puspitawati, Linda Tustiana. 2013. Analisis Perbandingan Faktor-Faktor
Penyebab Ketimpangan Pembangunan antar Kabupaten/Kota di Kawasan
Kedungsapur. Jurnal Universitas Negeri Semarang. EDAJ 2.
Rizki, Bimo dan Samsubar Saleh. 2007. Indeks Pembangunan Manusia. Jakarta.
Sihono, 2001. Identiifikasi Potensi Ekonomi di Kota Semarang Jawa Tengah.
Tesis S-2. Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).
Sinaga, Handika Cakra Panca Negara, 2010. Analisis Ketimpangan Ekonomi
antar Kabupaten/Kota dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: studi
kasus Provinsi Sumatera Selatan (2004-2007).
Sjafrizal, 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah
Indonesia Bagian Barat, Prisma, No. 3.
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media

Sjafrizal, 2012, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah


Indonesia Bagian Barat, Jakarta, Jurnal Buletin Prisma.
Sjafrizal, 2014, Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Soeparmoko, 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan
Daerah. Edisi pertama. Andi. Yogyakarta.
Subroto, Gatot. 2013. Analisis Ketimpangan Antar-Wilayah dan Pembangunan
Pendidikan. Penelitian Madya Kebijakan Kemendikbud.
Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Bima Grafika.
Sukirno, Sadono, 2004. Makroekonomi : Teori Pengantar. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Sukirno, Sadono, 2009. Mikroekonomi : Teori Pengantar. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.

44
Sutarno dan Mudrajad Kuncoro. 2004. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas, 1993-2000. Jurnal Ekonomi
Pembangunan
Suryamin. 2016. Statistik Kependudukan. Badan Pusat Statistik: Jakarta.
Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia, Beberapa Masalah Penting.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tarjono. 2016. Sumatera Selatan Dalam Angka 2017. BPS Sumsel.
Tipka, Jefri. 2014. Analisis Ketimpangan Antara Kecamatan di Kota Ambon.
Barekeng. Vol. 8 No. 2 – Hal 41-45.
Todaro, Michael P. 2000. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Widiarto, 2001, Ketimpangan, Pemerataan dan Infrastruktur,


widoarto@bandumg2. wasantara. net.id`
Wie, Thee Kian. 1981. Pemerataan Kemiskinan Ketimpangan. Jakarta: Sinar
Harapan.
Williamson, Jefrey G, 1965, Regional Inequality and the Process of National
Development; A Description of Pattern, Economic Development and
Cultural Change
Ying, L.G, 2000, “China’s Changing Regional Disparities During The Reform
Period:, Journal Economic Geography, XXIV

45

Anda mungkin juga menyukai