Anda di halaman 1dari 7

Nama : Indah Tri Chatami

NPM : CA116111107
Kelas : 01F (17.00 – 19.30)
Mata Kuliah : Etika Administrasi Negara
Dosen : Indira Sri Rezeki, SP., M.Si

Chapter 3
Memahami Konsep Moral Bagi Administrator dan Etika Pembangunan

A. Birokrasi: Konsep, Tujuan, dan Moral

Istilah birokrasi diperkenalkan oleh filosof Perancis, Baron de Grimm dari asal kata bureau yang berarti
meja tulis di mana para pejabat bekerja di belakangnya (Setiono, 2002). Namun, dalam suratnya, Baron
de Grimm mengakui bahwa kata tersebut telah lebih dulu dilontarkan oleh Vincent de Goumay dengan
istilah bureaumania (Albrow, 2005). Goumay menggunakan kata tersebut untuk mengungkapkan
kekecewaannya pada pelayanan pemerintah.

Weber berpandangan bahwa birokrasi merupakan tahapan puncak dari perkembangan sistem
administrasi yang rasional. Birokrasi dinilai rasional karena memiliki kendali berdasarkan keahlian teknis
dan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan (Tompkins, 2005). Selanjutnya, Weber dalam
(Farazmand, 2009) memaparkan delapan ciri-ciri birokrasi, yaitu:

1. Tugas-tugas pegawai diorganisasi secara berkesinambungan dan berdasarkan pada aturan.


2. Tugas-tugas dibagi berdasarkan bidang yang berbeda sesuai dengan fungsinya, yang masing-masing
dilengkapi dengan kewenangan dan pemberlakuan sanksi.
3. Jabatan disusun secara hirarkis, dan kontrol diantara jabatan-jabatan tersebut ditetapkan dengan
jelas.
4. Aturan disesuaikan dengan pekerjaan, dapat berupa teknis atau legal. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut maka diperlukan orang-orang yang terlatih.
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi.
6. Pemegang jabatan tidak sama dengan jabatannya.
7. Administrasi didasarkan pada dokumen tertulis. Hal ini cenderung menjadikan kantor sebagai pusat
organisasi modern.
8. Sistem otoritas hukum memiliki banyak bentuk, tetapi jika dilihat aslinya, sistem tersebut tetap
berada dalam suatu staf administrasi birokratik.

Menurut Abdullah dan Syamsudin (1991) birokrasi merupakan keseluruhan organisasi pemerintah
yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi. Berdasarkan tugas pokok yang
mendasari organisasi, Abdullah dan Syamsudin membuat tiga kategori birokrasi sebagai berikut:
 Birokrasi pemerintah umum Organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan
dari pusat hingga daerah. Tugas yang dijalankan lebih bersifat mengatur.
 Birokrasi pembangunan Organisasi pemerintah yang menjalankan bidang tertentu untuk mencapai
tujuan pembangunan. Birokrasi tipe ini menjalankan fungsi pembangunan (development function).
 Birokrasi pelayanan Unit organisasi pemerintah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat,
seperti sekolah dan rumah sakit.

Sebagaimana halnya organisasi, birokrasi juga memiliki perilaku tersendiri. Perilaku ini dipengaruhi
oleh karakteristik individu di dalamnya. Ketika karakteristik individu ini bertemu dengan karakteristik
birokrasi maka lahirlah perilaku birokrasi (Thoha, 1987). Hubungan antara karakteristik individu, birokrasi,
dan perilaku birokrasi ditunjukkan dalam diagram di bawah ini:

B. Kehidupan Pribadi Pejabat Pemerintah

Para pejabat sesungguhnya bukan warga negara biasa. Para pejabat memiliki kekuasaan atas warga
negara, dan bagaimanapun, para pejabat merupakan representasi dari warga negara. Perbedaan-
perbedaan signifikan antara pejabat negara dan warga negara membuat berkurangnya wilayah kehidupan
pribadi (privacy) para pejabat negara. Karenanya, privacy pejabat negara tidak harus dijaga, bila perlu
dikorbankan untuk menjaga keutuhan demokrasi dan menjaga kepercayaan warga negara. Kebijakan-
kebijakan politik yang diambil, sebesar dan atau seluas apa pun, sedikit banyak berpengaruh bagi
kehidupan warga negara. Jadi layaklah bila masyarakat mengetahui secara detail mengenai kehidupan
pejabat-pejabat negara.

Pengetahuan tersebut merupakan bagian dari kontrol publik yang membuat warga negara menaruh
kepercayaan pada pejabat negara yang telah dipilihnya. Warga negara harus punya keyakinan bahwa
pejabat negara yang dipilihnya benar-benar memiliki fisik yang sehat dan pribadi yang jujur. Meski orang
mungkin berubah, namun perlu ada jaminan awal bahwa politisi tersebut berpotensi untuk tidak
mempergunakan kekuasaan dan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya.

Thompson (2002) juga mengatakan bahwa privasi memiliki dua jenis nilai bagi individu, yaitu
instrumental dan intrinsik. Secara instrumental, privasi menyumbang pada kebebasan dengan
memastikan bahwa para individu dapat ikut bergabung dalam kegiatan-kegiatan tertentu yang bebas dari
pengamatan, gangguan, dan ancaman. Para pejabat publik membutuhkan perlindungan, bakan terkadang
lebih dari warga negara biasa, karena jika privasi mereka dilanggar, sorotnya publik menjadi lebih besar.

Dipandang secara intrinsik, privasi dibenarkan sekalipun tidak ada konsekuensi yang dapat merugikan
(seperti kehilangan jabatan). Karena banyak pejabat pemerintah hidup dalam sorotan publisitas, maka
saat-saat mereka sendirian dan bersama keluarga serta sahabat merupakan saat-saat yang indah, dan
memerlukan perlindungan khusus.

Selanjutnya, terkait dengan privasi pejabat publik, untuk menjamin akuntabilitas demokrasi, maka
setidaknya ada dua kriteria yang bisa dipakai. Pertama adalah kriteria substantif yang merujuk pada posisi
dan aktivitas. Kriteria ini menunjukkan batas-batas dari kehidupan pribadi. Kedua, kriteria prosedural
yang merujuk pada metode penyelidikan. Kriteria ini menggambarkan cara-cara tertentu untuk
menyelidiki kehidupan pribadi.

C. Wibawa Birokrat

Wibawa birokrat yaitu suatu sikap, cara ataupun gaya kepemimpinan seorang birokrat dalam
memimpin suatu birokrasi atau negara. Dalam hal ini, wibawa birokrat berhubungan dengan bagaimana
para birokrat mampu menarik perhatian, dan kepercayaan masyarakat pada pemerintah ataupun
menarik partisipasi masyarakat dalam melaksanakan / menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
akan direalisasikan. Hal tersebut dikarenakan wibawa seorang birokrat dapat dilihat dan ditentukan
berdasarkan dari penilaian, partisipasi dan kepercayaan masyarakat pada birokrat dalam memimpin dan
melaksanakan amanat dari rakyatnya.

Para birokrat dalam menjalankan tugas kepemimpinannya setidaknya dapat dilihat dari tiga gaya
kepemimpinan berikut ini (Kumorotomo, 2014):
a. Gaya otoriter Biasanya dilakukan oleh pemimpin yang lebih mementingkan wewenang dan
pengambilan keputusan yang cepat dan pasti. Pemimpin banyak menggunakan perintah sedangkan
bawahan tinggal melaksanakannya. Kekuasaan pemimpin dalam menjaga tanggung jawab untuk
menjaga ketaatan bawahan digunakan hukum-hukum yang ketat, intimidasi atau bahkan paksaan.
b. Gaya demokratis Pemimpin yang demokratis lebih lunak dalam memandang kekuasaan. Dia
mengambil keputusan berdasarkan pendapat-pendapat dari bawahan, suara terbanyak, atau merujuk
kepada peraturan-peraturan yang ada, disamping pertimbangan-pertimbangannya sendiri.
c. Gaya bebas Model kepemimpinan ini seolah-olah menyerahkan proses pelaksanaan kebijakan pada
bawahan. Pemimpin yang bebas tidak terlalu banyak memiliki pendapat sendiri dan lebih banyak
berfungsi sebagai koordinator.

D. Peran Etika dalam Pembangunan

Pembangunan merupakan sebuah proses perubahan dari suatu keadaan tertentu ke arah keadaan
lain yang lebih baik (Kumorotomo, 2014). Dalam proses tersebut administrator diharapkan memiliki
komitmen terhadap tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam
pelaksanaannya secara efektif dan efisien. Untuk itu, ada beberapa poin yang mesti diperhatikan dalam
melihat etika pembangunan.
1. Kebebasan. Hak untuk bebas merupakan hak yang melekat pada setiap individu karena martabatnya
sebagai manusia. Kebebasan perlu ditegakkan supaya wajah pembangunan tetap beradab dan
berperikemanusiaan. Dalam proses menggerakan roda pembangunan, ada beberapa corak
kebebasan yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
a. Kebebasan mengeluarkan pendapat perlu dijamin dengan pertimbangan disamping untuk
melindungi hak-hak asasi dan dapat dijadikan sumber masukan bagi pemerintah supaya bisa
mengetahui kelemahannya.
b. Kebebasan pers Kontrol sosial dan tanggung jawab sosial hanya dapat berjalan baik jika dalam
masyarakat terdapat kebebasan pers. Pers juga dapat dipergunakan sebagai sarana untuk
mengkomunikasikan ide-ide pembangunan.
c. Kebebasan berserikat Perlindungan merupakan upaya menuju sistem politik yang demokratis.
Rakyat memiliki hak untuk menyelenggarakan rapat, melaksanakan pertemuan-pertemuan, atau
bahkan membentuk berbagai kelompok sosial.
d. Kebebasan beragama Keyakinan spiritual yang muncul dari ketaatan kepada agama akan dapat
menjadimotor pembangunan yang dapat diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan
itu sendiri tidak akan pernah dilupakan.

2. Persamaan. Persamaan di depan hukum (equality before the law). Karena perlakuan di depan hukum
terhadap anggota masyarakat masih berlainan dan pilih kasih. Seorang yang dituduh korupsi besar-
besaran kadang dapat bebas dengan mudah dari tuntutan hukum, namun seorang maling ayam harus
menjalani penyiksaan yang hebat ditahanan disertai hukuman penjara. Sudah saatnya birokrasi
melakukan otokritik dengan melihat setiap permasalahan yang menyangkut interaksi administratif
dengan rakyat secara objektif. Sudah saatnya, pejabat publik mengakui setiap kesalahan atau
kekeliruan dalam melaksanakan tugas dan mau secara sukarela menanggalkan jabatannya
sebagaimana selalu dipraktikan di negara Jepang.

Persamaan selanjutnya adalah terkait dengan kesempatan (equality of opportunity) bagi seluruh
lapisan masyarakat. Terkait dengan kesempatan, birokrasi negara harus melakukan intervensi kepada
pihak yang lemah, seperti orang miskin, kurang pendidikan, difabel, kaum minoritas agar memperoleh
kesempatan yang sama dengan yang lain. Sehingga mereka tidak terpinggirkan atau tersingkir oleh
kelompok-kelompok yang secara finansial, pendidikan, fisik sangat kuat.

3. Demokrasi dan partisipasi. Persoalan-persoalan etika pembangunan muncul karena ternyata metode
membangun yang diterapkan oleh penguasa tidak cocok dengan kehendak rakyat. Demokrastisasi
dimaksudkan agar cara-cara yang ditempuh dalam melaksanakan pembangunan itu sesuai dengan
keinginan rakyat, sehingga apapun hasil dari pembangunan tersbut dapat dinikmati bersama.

4. Keadilan sosial dan pemerataan. Masalah keadilan sosial muncul karena adanya kenyataan bahwa
peningkatan kesejahteraan ekonomis ternyata hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Bicara
keadilan tidak hanya menyangkut individu, tapi juga mencakup struktur politik masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karenanya, untuk mencapai keadilan sosial, maka kita harus merubah struktur
politik, ekonomi, sosial, dan budaya , sehingga kondusif bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan.
Pemerataan hendaknya senantiasa dianut bagi aparat yang memprakarsai, merencanakan, dan
melaksanakan proyek-proyek sampai ke hal-hal yang bersifat teknis. Pengalaman menunjukkan
bahwa akselerasi pembangunan yang tak terkendali seringkali mengabaikan pemerataan hasil-
hasilnya.

Chapter 4
Etika Layanan Publik Serta Pengelolaan Integritas& Etika Organisasi

A. Nilai & Prinsip Etika Layanan Publik

Dalam pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan disebut dengan
“profesional standars” (kode etik) atau “right rules of conduct” (aturan perilaku yang benar) yang
seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik. Sebuah kode etik meru-muskan berbagai
tindakan apa, kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh
para pemberi pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang
dimiliki oleh birokrasi publik.
Sebagai contoh, Institute Josephson America di Amerika Serikat mengembangkan prinsip-prinsip
etika pelayanan publik (The Liang Gie, 2006), yaitu:
1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang, dan berbelit-belit;
2. Integritas, berprinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral, dan tidak bermuka dua;
3. Memegang janji. Memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana isinya dan
tidak menafsirkan isi perjanjian itu secara sepihak;
4. Setia, loyal, dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
5. Adil. Memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi dan menerima perbedaan serta
berpikiran terbuka;
6. Perhatian. Memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan kasih sayang, memberikan
kebaikan dalam pelayanan;
7. Hormat. Orang yang etis memberikan penghormatan terhadap martabat manusia privasi dan
hak menentukan nasib bagi setiap orang;
8. Kewarganegaraan, kaum profesional sektor publik mempunyai tanggung jawab untuk meng-
hormati dan menghargai serta mendorong pembuatan keputusan yang demokratis;
9. Keunggulan. Orang yang etis memperhatikan kualitas pekerjaannya, dan seorang profesional
publik harus berpengetahuan dan siap melaksanakan wewenang publik;
10. Akuntabilitas. Orang yang etis menerima tanggung jawab atas keputusan, konsekuensi yang
diduga dari dan kepastian mereka, dan memberi contoh kepada orang lain;
11. Menjaga kepercayaan publik. Orang-orang yang berada disektor publik mempunyai
kewajiban khusus untuk mempelopori dengan cara mencontohkan untuk menjaga dan
meningkatkan integritas dan reputasi proses legislatif.

Untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan publik, dapat kita lihat dari baik buruknya
penerapan nilai-nilai sebagai berikut:
1. Efisiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada
masyarakat. Nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki
secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi
dapat dikatakan baik (etis) jika birokrasi publik menjalankan tugas dan kewenangannya
secara efesien.
2. Efektivitas, yaitu pada birokrat dalam melaksanakan tugas- tugas pelayanan kepada publik
harus baik (etis) apabila memenuhi target atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya
tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam mencapai tujuannya, bukan
tujuan pemberi pelayanan (birokrasi publik).
3. Kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat kepada publik
harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya
pelayanan yang diberikan birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas pelayanan.
4. Responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat dalam merespon kebutuhan
publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan tugasnya dinilai baik (etis) jika
responsibel dan memiliki profesional atau kompetensi yang sangat tinggi.
5. Akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan pelayanan publik.

B. Etika dalam Organisasi

Etika organisasi dapat berarti pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan
kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan membentuk budaya organisasi
(organizational culture) yang sejalan dengan tujuan maupun filosofi organisasi yang
bersangkutan.

Organisasi sebagai sebuah struktur hubungan antar manusia dan antar kelompok tentu saja
memiliki nilai-nilai tertentu yang menjadi kode etik atau pola perilaku anggota organisasi yang
bersangkutan. Salah satu nilai etika yang secara umum berlaku bagi setiap anggota organisasi
jenis apapun adalah apa yang dirumuskan sebagai: "Menjaga nama baik Organisasi".

Berdasarkan nilai tersebut setiap anggota organisasi apapun harus mampu bersikap dan
berperilaku yang mendukung terjaganya nama baik organisasinya. Bahkan jika memungkinkan
sebenarnya bukan hanya menjaga nama baik tetapi juga meningkatkan nama baik organisasi.

Perilaku manusia dalam organisasi memiliki beberapa dimensi, yaitu (Fernanda, 2006):
1. Dimensi hubungan antara anggota dengan organisasi yang tertuang dalam perjanjian atau
aturan-aturan legal;
2. Hubungan antara anggota organisasi dengan sesama anggota lainnya, antara anggota dengan
Pejabat dalam struktur hierarki;
3. Hubungan antara anggota organisasi yang bersangkutan dengan anggota dan organisasi
lainnya;
4. Hubungan antara anggota dengan masyarakat yang dilayaninya.

Anda mungkin juga menyukai