Anda di halaman 1dari 2

Kronologi Kerusuhan 1998

 Krisis Finansial Asia

Krisis keuangan yang melanda hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997, tentunya mengakibatkan
kekacauan dan kepanikan yang dirasakan negara-negara ASEAN. Indonesia adalah salah satu dari tiga
negara yang terkena dampak krisis yang paling parah.

Terjadinya penurunan rupiah terhadap dolar mengakibatkan berbagai perusahaan yang meminjam dolar
harus membayar biaya yang lebih besar dan juga para pemberi pinjaman menarik kredit secara besar-
besaran sehingga terjadi penyusutan kredit dan kebangkrutan.

Inflasi rupiah yang diperparah dengan banyaknya masyarakat yang menukarkan rupiah dengan dolar AS,
ditambah kepanikan masyarakat terkait tingginya kenaikan harga bahan makanan, menimbulkan aksi
protes terhadap pemerintahan orde baru. Kritikan dan aksi unjuk rasa pun mulai bermunculan dan kian
memanas.

Berdasarkan berbagai keterangan dan kronologis kerusuhan mei 1998 yang sudah saya baca di berbagai
sumber terkait, kerusuhan ini diawali di Medan, Sumatera Utara pada 2 mei 1998. Pada saat itu, para
mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa yang berujung anarkis.

Kemudian, pada 4 mei 1998, sekelompok pemuda melakukan aksi pembakaran di beberapa titik di kota
Medan. Adanya sentimen anti-polisi juga menimbulkan kebencian massa terhadap polisi sehingga
berbagai infrastruktur dan fasilitas aparat keamanan dirusak dan dihancurkan.

 Terbunuhnya Empat Mahasiswa Trisakti

Setelah itu, keadaan semakin mencekam setelah aksi demo krisis moneter yang dilakukan mahasiswa
menelan 4 korban jiwa. Empat korban itu adalah mahasiswa dari Universitas Trisakti yang ditembak mati
oleh aparat keamanan. Peristiwa tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti itu dikenal sebagai
Tragedi Trisakti. Tidak terima dengan peristiwa kematian empat mahasiswa tersebut, massa pun semakin
mengamuk.

 Penindasan Terhadap Etnis Tionghoa

Tidak hanya berhenti sampai aksi unjuk rasa dan bentrokan dengan aparat keamanan, kerusuhan juga
bergulir dengan menindas etnis Tionghoa terutama wanita. Sentimen bangsa pribumi terhadap
pendatang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia
dijadikan pemungut pajak, pengambil insentif dari warga dan juga perantara perdagangan.

Hal ini tentu saja, menimbulkan stigmatisasi dan sentimen negatif bangsa Indonesia terhadap etnis
Tionghoa yang dianggap melakukan penindasan dan pengambil alih kekuasaan di Indonesia serta
berkembangnya isu anti-Tionghoa yang dikenal licik.

Ditambah lagi, etnis Tionghoa jika dilihat secara ekonomi berada dalam posisi yang stabil dan strategis
serta sukses sehingga menjadikannya dislike minority (kaum minoritas yang tidak disukai) dan kelompok
yang disisihkan.

Selain itu, rasa benci dan curiga mulai bergulir terkait etnis Tionghoa diduga bagian dari rezim Soekarno
yang komunis dan bertentangan dengan kepercayaan yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.

Penindasan yang dilakukan kepada etnis-Tionghoa sungguh memilukan dimana toko-toko, dan rumah
mereka dijarah, dibakar, dan dihancurkan. Bukan hanya itu saja, nasib wanita Tionghoa pun sangat
menyayat hati. Mereka menjadi korban pemerkosaan, pelecehan, penganiayaan dan pembunuhan. Para
perusuh menargetkan wanita Tionghoa sebagai sasaran utama dikarenakan wanita Tionghoa adalah
target yang lemah dan tidak bisa melawan.

Berdasarkan hasil analisis Ita F.Nadia, seorang aktivis tim relawan, alasan wanita Tionghoa dikatakan
golongan triple minority sehingga dijadikan target amukan massa karena :

1. Wanita,
2. Berasal dari etnis Tionghoa yang minoritas,
3. Beragama non-muslim sehingga mereka paling tepat dijadikan target dalam kerusuhan berbasis politik
karena mereka pasti akan sulit membela diri.

ads
Pemerkosaan yang dilakukan oleh para perusuh terhadap wanita Tionghoa dilakukan secara gang
rape dimana korban diperkosa oleh beberapa orang secara bergantian dalam waktu yang bersamaan.
Pemerkosaan banyak dilakukan di rumah korban dan beberapa di tempat umum bahkan didepan orang
lain.

Tanpa pandang bulu, para perusuh menyekap wanita Tionghoa yang dijumpai baik itu dijalan, dirumah
mereka bahkan di kendaraan transportasi (taksi, angkot, bus) kemudian wanita Tionghoa tersebut
disiksa, dilecehkan, diperkosa, dirusak fisiknya, di mutilasi, dibakar, dibunuh dan perbuatan keji lainnya.

Tentu saja, hal itu menimbulkan trauma psikis yang berat dan bekas luka yang menyakitkan bagi wanita-
wanita tersebut. Harga diri, impian, cita-cita dan kebahagian terasa sirna semuanya, hanya meninggalkan
luka dan keputusasaan yang mendalam. Mereka menjadi trauma terhadap laki-laki yang tidak dikenal
serta sering mengalami ketakutan dan kecemasan yang tiada henti.

Beberapa dari korban ada yang bunuh diri karena tidak sanggup menjalani hidup lagi setelah apa yang
dialami, ada yang menjadi gila, ada yang sampai diusir keluarganya, dan ada pula yang pergi keluar
negeri untuk melupakan segala yang terjadi dan bahkan mengganti identitas diri.

Pemerkosaan juga terjadi kepada Ita Martadinata Haryono, seorang siswa SMA berusia 18 tahun. Bukan
hanya itu, pada 9 Oktober 1998, Ita yang sudah bergabung menjadi Tim Relawan dibunuh secara keji di
rumahnya sebelum pergi ke Amerika Serikat untuk memberi kesaksian di hadapan beberapa kelompok
internasional pembela HAM terkait kasus penindasan yang terjadi.

Korban-korban pemerkosaan ini hanya bisa diam, lantaran diancam oleh pelaku untuk tidak membuka
mulut kalau tidak seluruh anggota keluarganya yang lain dan mereka juga akan diperkosa dengan lebih
kejam lagi. Bukan hanya itu saja, alasan diamnya para korban adalah karena adanya rasa takut, malu
dan trauma yang berat membuat mereka tertahan dalam sedih dan mencoba berusaha melupakan
kejadian itu.

Anda mungkin juga menyukai