Anda di halaman 1dari 15

ARTIKEL SASTRA INDONESIA

ARTIKEL-ARTIKEL TENTANG SASTRA INDONESIA

A. Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas
kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi
masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra
memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu
yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra
suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika
keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam
kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman
tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.

B. Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan
perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi
pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai
kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada
saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan
dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam
bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern).
Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem
adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi
novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan
tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta
(Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan
(bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha
merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam
lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan
kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya
harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik,
drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan
Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi
pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah
kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-
novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.

C. pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai
Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun.
Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli
sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan
mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi
(1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945,
1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah
karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan
dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan
penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Format baru Kalau momentum sosial-politik masih
dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat
format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan
sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional
30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis struktural Umar Yunus tentang
perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang
novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan
untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi
maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun
1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa
keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.

D. Sejarah sastra Indonesia, seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum memperlihatkan kondisi
yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh
studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi yang telah
ditulis sebelumnya, di samping juga karena keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.Penulisan
sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili periode tertentu dalam
pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini juga
memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai dengan semangat zamannya.
Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan
sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra
Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan
hubungan yang erat antara sastra dan masyarakatnya.Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk,
sejumlah genre sastra kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa,
terutama yang terbit di berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau
terbitan penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya awal
sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk dalam daftar riwayat
kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan
sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan
setelah kemerdekaan, maupun karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua.Namun, kajian sejarah
sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah
dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan
Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang
terbit di Jawa Barat dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang
meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi di Universitas
Indonesia tentang roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di
sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006).
Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di Medan
pada masa penjajahan.

E. Sastra Indonesia, dengan penambahan kata ”modern”, sering kali menjadi awal perdebatan ketika
berbicara tentang sejarah sastra Indonesia. Pengaruh bentuk dan gaya sastra asing (baca: Barat) dijadikan
patokan untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Dalam nuansa dan konteks seperti ini,
kesinambungan sastra Indonesia yang modern dengan tradisi sastra yang sudah ada, yang menjadi latar
estetik para pengarang, menjadi kabur. Pergaulan pengarang dengan budayanya, dengan tradisi estetik
yang diterima secara budaya, sekadar menjadi warna atau setting dalam proses kreatif yang
dijalaninya.Pada masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan ditandai pada
penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media publikasi, bentuk pendidikan dan
pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra barat. Sebagai akibat, sastra lama kemudian dijadikan
artifak, yang dikaji melalui filologi atau arkeologi. Para peneliti sastra, khususnya sejarah sastra, menjadi
asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang
lazim adalah para peneliti sastra menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja
mereka. Kita tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung dengan karya-karya lama kita.Sementara
waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan yang serius ini mungkin semakin
panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan kontemporer terus lahir, yang belum sepenuhnya
mampu dibicarakan. Di lain sisi, sastra lama kita juga semakin jauh dan asing. Kegundahan yang
menyelimuti kajian sastra Indonesia, terutama para penelitinya, tampaknya tergambar dalam situasi
seperti ini
Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sastra
Oleh; Deny Purwanto

Abstraks

Pendidikan karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan (Pkn) misalnya, yang seharusnya bisa menjadi katalisator atau penyaring untuk
membendung arus merebaknya budaya kekerasan, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis
indoktrinasi yang semata-mata mengajarkan dan mencekoki nilai baik dan buruk saja, tanpa diimbangi
dengan pola pembiasaan secara intensif yang bisa memicu peserta didik didik untuk berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai luhur.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Tak terkecuali
pelajaran sastra, materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Sastra, agaknya bisa menjadi media strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra,
anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara
tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi
melalui sastra.
Sejatinya sastra bisa digunakan sebagai media penyampaian pendidikan karakter kepada peserta didik.
Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif saja, tetapi
menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di
masyarakat. Tentu saja, langkah visioner semacam ini tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi
dan dukungan penuh dari berbagai kalangan secara intensif menginternalisasi pendidikan berbasis
karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kata kunci : Pendidik, Peserta didik, Pendidikan Karakter, Pembelajaran sastra

Latar Belakang
Merebaknya sikap hidup yang buruk, melembaganya budaya kekerasan, atau merakyatnya bahasa
ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa, sehingga
menjadikan nilai-nilai luhur dan kearifan sikap hidup mati suri. Anak-anak sekarang gampang sekali
melontarkan bahasa oral dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan
vulgar. Nilai-nilai etika dan estetika telah terbonsai dan terkerdilkan oleh gaya hidup instan dan konstan.
Pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan (Pkn) misalnya, yang seharusnya bisa menjadi katalisator atau penyaring untuk
membendung arus merebaknya budaya kekerasan, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis
indoktrinasi yang semata-mata mengajarkan dan mencekoki nilai baik dan buruk saja, tanpa diimbangi
dengan pola pembiasaan secara intensif yang bisa memicu peserta didik didik untuk berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai luhur. Akibat pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah
pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mindset anak-anak cenderung menjadi egois, baik
terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya,
kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat
degradasi moral yang sudah berada pada titik ambang batas yang tidak bisa dimaklumi.
Sudah berkali-kali panggung sosial negeri ini diwarnai pentas tragis tentang tawuran antarpelajar,
pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Belum
lagi mereka-mereka yang menjadi pengguna dan pengedar pil-pil setan dan zat-zat adiktif lainnya. Hal itu
diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku kaum elite kita yang seharusnya menjadi idola dan
sosok anutan sosial yang mengagumkan. Perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru
menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca.
Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan bagi
masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara
intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari
segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa
yang hilang. Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika sebagai seorang pendidik bahasa dan
sastra memberikan atau menginjeksikan nilai-nilai berwawasan pendidikan karakter ke dalam
pelajarannya yang berlabel sastra dan diupayakan bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan
karakter melalui sastra tersebut.
Mengapa harus melalui sastra? Ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah
akademik semata, sehingga mengabaikan persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi kalau pun ada
penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan
menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan
psikososial peserta didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan
tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah
budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif
melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra. Melalui makalah ini penulis ingin
menunjukan bahwa sastra bisa digunakan sebagai media penyampaian pendidikan karakter kepada peserta
didik.

Permasalahan

Fokus permasalahan dalam tulisan ini adalah upaya-upaya apa saja dalam pembelajaran sastra yang bisa
dijadikan media penyampaian pendidikan karakter terhadap peserta didik?

Pembahasan

Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan masukan bagi pendidik, sekolah, institusi-institusi lain dan
sumbangsih terhadap khalayak umum khususnya dunia pendidikan bahwasanya sastra bisa dijadikan
media untuk menyampaikan pendidikan karakter kepada peserta didik

1. Pendidikan Karakter
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Karakter menurut Depdikbud adalah
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”.
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Ada juga yang
menyebutkan karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang
lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya
merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang
(encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Sedangkan menurut Megawangi (2003), kualitas karakter
meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin
dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan
Gotong-royong; (6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan
rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang
memiliki kesembilan pilar karakter tersebut.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan
karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture).
Menurut Confusius seorang filsuf terkenal Cina dalam Megawangi (2003) menyatakan bahwa manusia
pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan
pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang,
bahkan lebih buruk lagi. Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-
nilai kebajikan – baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas sangat penting dalam
pembentukan karakter seorang anak. Sebagaimana menurut Piaget dalam Pateda (1988) dalam usahanya
mencari hubungan antara bahasa dan pikiran anak, mengemukakan pendapat bahwa perkembangan
bahasa dan penggunaannya oleh anak tercermin dalam perkembangan mentalnya. Persepsi anak dan
lingkungan sosialnya memegang peranan penting dalam kehidupan anak. Lingkungan sekitar yang
memprogram bagaiman selanjutnya sang anak.

2. Sastra
Apakah sastra itu? Wellek (dalam Prapodo 2003:35) mengemukakan tiga definisi: pertama, seni sastra
ialah segala sesuatu yang dicetak, definisi ini tidak lengkap karena tidak meliputi karya sastra yang tidak
tertulis, atau karya sastra lisan. Di sini disebut sastra hanya karena pertama naskah sebagai sumber.
Definisi kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal, dari sudut isi dan bentuknya. Jadi, di
sini definisi bercampur dengan penilaian, dan penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetikanya saja
atau segi intelektualnya. Dengan demikian, karya-karya lain yang “tidak terkenal” tidak dapat masuk
dalam definisi ini. Definisi yang ketiga, Rene Wellek mengatakan, agaknya lebih baik jika istilah “sastra”
dibatasi pada seni sastra yang bersifat imaginative. Jadi di sini sifat imaginative ini menunjukan dunia
angan dan khayalan hingga kesusastraan berpusat pada epick, lirick dan drama karena ketiganya itu yang
ditunjuk adalah dunia angan (fiction), imagination. Jadi di sini mengakui adanya sifat fiktionali (sifat
menghayal), invention (penemuan/penciptaan) dan imagination (mengandung kekuatan menyatukan
angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra.
Dalam Wikipedia Indonesia Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti
“teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau
“ajaran”.(http://id.wikipedia.org/wiki/sastra). Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk
merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (sastra oral).
.(http://id.wikipedia.org/wiki/sastra). Yang dimaksud sastra lisan di sini, sastra tidak banyak berhubungan
dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau
pemikiran tertentu. yang termasuk dalam kategori sastra adalah:

a. Cerita/cerpen (tertulis/lisan)
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek
cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti
novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses
mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas
dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
b. Novel
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Penulis
novel disebut novelis. Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “sebuah kisah, sepotong
berita”. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi
keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang
tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisi-sisi
yang aneh dari naratif tersebut.
c. Puisi
Puisi adalah seni tertulis yang menggunakan bahasa untuk tambahan kualitas estetiknya atau selain arti
semantiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan rima adalah yang membedakan
puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan
dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang
menjadi sumber segala kreativitas. Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag,
dll). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-
kadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut
mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk
segala ‘keanehan’ yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan
sebuah puisi. Ada beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru Namun beberapa kasus mengenai
puisi modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan jika ditilik dari pokok dan kaidah
puisi itu sendiri yaitu ‘pemadatan kata’. kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan
lebih mementingkan gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut. mereka enggan atau tak mau
untuk melihat kaidah awal puisi tersebut.
d. Pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam
bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan
dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik
(atau empat baris bila dituliskan), bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b,
atau a-b-b-a).
Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Semua
bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali
berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya
hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua
baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut. Karmina dan talibun
merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina
merupakan pantun “versi pendek” (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah “versi panjang” (enam
baris atau lebih).
e. Drama
Drama adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosakata ini
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “aksi”, “perbuatan”. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai
media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan
tarian, sebagaimana sebuah opera. Di Indonesia, pertunjukan sejenis drama mempunyai istilah yang
bermacam-macam. Seperti: Wayang Orang, Ketoprak, Ludruk (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), Lenong
(Betawi), Randai (minang), reog (Jawa Barat), rangda (Bali) dan sebagainya.

3. Sastra dan Pendidikan Karakter


Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya.
Menurut Herfanda (2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah
perubahan, termasuk perubahan karakter.
Selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan
muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa
sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan. Penciptaannya yang dilakukan bersama-sama dan
saling berjalinan seperti terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Namun, kenyataan tersebut di dalam sastra
dihadirkan melalui berbagai tahap proses kreatif. Artinya bahan-bahan tentang kenyataan tersebut
dipahami melalui proses penafsiran baru oleh pengarang. Adapun manfaat sastra bagi pembaca, adalah
berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar pembaca lebih mampu menerjemahkan
persoalan-persoalan dalam hidup melalui kebaikan jasmani dan kebaikan rohani.
Lebih jauh dari itu sastra dalam kaitan dengan pendidikan karakter, yaitu sastra sebagai media pembentuk
watak moral peserta didik, dengan sastra kita bisa mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat
menyampaikan pesan-pesan moral baik secara implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi cerpen,
novel, cerita rakyat, dan puisi, kita bisa membentuk karakter peserta didik, sastra mampu memainkan
perannya. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan,
ketulusan, kebersaman, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita
terapkan kepada peserta didik melalui sastra.

4. Upaya-upaya yang Bisa Dilakukan Pendidik Melalui Sastra


Sebagai wujud untuk menyampaikan atau menginjeksikan pendidikan karakter dalam sastra kepada
peserta didik ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh pendidik. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai
dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter
yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
a. Cerpen
Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian
dalam hidup para peserta didik kemudian mengubah hal-hal yang bersifat negatif dalam cerita pendek
tersebut menjadi nilai positif. Dengan ini peserta didik mampu mengambil secara langsung nilai-nilai
pendidikan karakter yang tersirat dan tersurat dalam tugas yang diberikan pendidik tadi karena merupakan
bagain dari kehidupan peserta didik itu sendiri. Atau bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan
nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami
orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta
pastunya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
b. Puisi (lagu)
Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi pendengarnya.
Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi
dengan lagu yang diputar dekat dengan perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-
lagu dan musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak peserta
didik.
c. Drama
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang
berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama)
menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain
itu tugas- tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta
didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada
dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan dalam-dalam nilai-nilai pendidikan karakter
yang didapat di benak peserta didik.
d. Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam
masyarakat melalui diskusi dan brainstorming pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak
memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita
novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, a.baik itu gaya
berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik
apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
e. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter
dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik
akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
f. Cerita Lisan
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk
memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari
daerah peserta didik sendiri.
Selain cara-cara di atas masih banyak cara-cara yang lainnya yang bisa digunakan oleh pendidik atau
bahkan dikombinasikan untuk menyampaikan nilai-nilai dalam pendidikan karakter, namun jangan
terlepas dari penyeleksian atau pemilihan bahan ajar yang tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang
tepat, peserta didik akan merasakan kedalaman materi yang membuat mereka menyadari makna
kehidupan. Kesadaran itulah yang akan membuat pembelajaran bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi
juga mendidik.
Membaca Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan membaca Belenggu karya Iwan Simatupang bagi
peserta didik pasti memiliki dampak berbeda. Proses pemahaman novel Belenggu terasa lebih sulit jika
dibandingkan novel Laskar Pelangi. Selain itu, isi Laskar Pelangi lebih cocok dalam pembelajaran, karena
novel tersebut berbicara masalah pendidikan, pentingnya belajar, dan menghargai seorang pendidik.
Sedangkan Belenggu berisi cerita yang terlalu dewasa, sehingga belum sesuai dengan usia peserta didik.
Namun, bukan berarti salah satu novel itu jelek, hanya persoalan penempatannya. Dengan memahami hal
tersebut, pembelajaran sastra bisa dijadikan sebagai instrumen pendidikan yang sebenarnya, yaitu
mengubah karakter peserta didik menjadi lebih baik, bermoral, dan bermartabat. Semua demi generasi
penerus yang lebih baik dari aspek kualitas maupun kuantitasnya.

PENUTUP

Sastra sebagai media untuk pengintegrasian, penyampaian pendidikan karakter kepada peserta didik,
penanaman nilai-nilai yang baik mampu menjadi salah satu metode untuk menuju pendidikan yang lebih
baik di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika
politik, yang tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai
pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun dan
sebagainya.
Berbagai upaya yang bisa dilakukan pendidik melalui pembelajaran sastra yang disertakan pula
pendidikan karakter di dalam penyampaiannya, baik melalui puisi, lagu, cerpen, novel, drama, dan cerita
rakyat nampaknya akan mampu membawa pendidikan karakter untuk masuk ke dalam jiwa peserta didik
dan secara umum dan akan merubah karakter bangsa kita menuju yang lebih baik
Problem Pengajaran Sastra di SMK
Hubungan bahasa dengan Sastra Indonesia pada dasarnya serupa dua sisi mata sekeping uang logam.
Keduanya saling ketergantungan, tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Sastra merupakan sistem
tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya Prodopo (1995). Bahasa sendiri
tidaklah netral, sebab sebelum jadi anasir dari bangunan karya sastra, bahasa telah memiliki arti tersendiri
(meaning) berdasarkan konvensi bahasa tinggkat pertama melalui pembacaan heuristik.

Sumbangan sastra sendiri terhadap khasanah bahasa Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Konvensi-
konvensi sastra dengan sendirinya memberikan sokongan yang besar bagi perkembangan bahasa.

Dalam pendidikan, nilai estetik dan putik sastra selama ini diyakini mampu memompa dan membangun
karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden Amerika Serikat John F Kenedy (JFK) begitu yakin bahwa
sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak
ini mengatakan, ‘Ketika Politik Bengkok Bengkok Sastra akan Meluruskanya’.

Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma (1997) kemudian mengafirmasi
pernyataan JFK dengan membuat adagium ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam maka Sastralah yang akan
Berbicara’. Sastrawan yang juga jurnalis ini tidak main-main dengan statementnya, kumpulan Cerpen
‘Saksi Mata’ (1994) terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah ‘saksinya’. Seluruh cerpen dalam
kumpulan ini merupakan ‘pembocoran’ fakta peristiwa kekerasan yang terjadi di Dili – Timor Lorosai
saat itu.

Dalam banyak kesempatan sastra menjadi bahasan yang tak pernah kering, mulai ihwal pembabakan
dalam sejarahnya, rendahnya kritik dan apresiasi, hingga polemik seputar tema serta mainstream arah
pergerakan perkembangan sastra mutakhir.

Pada tahun 2001, Sastrawan sekaligus Kritisi Sastra, Agus R Sarjono bahkan sempat menuturkan bahwa
telah terjadi disorientasi dalam Pengajaran Sastra di sekolah (Sarjono, 2001). Diungkapkan, gagalnya
pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari
hakekat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra ini.

Oleh karena itu, sudah selayaknya pengajaran sastra harus mempertanyakan ulang seluruh landasan
meng-ada-nya jika tidak ingin jatuh pada persoalan yang sama berupa gagalnya pengajaran sastra yang
tak kunjung selesai (2001 : 14).

Selama ini, meski polemik, seminar dan lokakarya telah digelar bertahun-tahun untuk menyelesaikannya,
namun pengajaran sastra sangat awam, hanya membahas strukturnya saja (intrinsik dan ekstrisik) secara
awam. Sastra dianggap sebagai sesuatu yang lahir dari kekosongan budaya dan otonom, sehingga
dianggap tidak ada intertekstualitasnya dengan teks-teks lain, diskursus lain.

Begitu pentingnya sastra, hingga perguruan tinggi membuka fakultas sastra. Di tiap daerah berdiri
komunitas-komunitas sastra, kampus menjadi kantong-kantong ‘basis’ kehidupan sastra. Bahkan sistem
pendidikan kita memasukan sastra sebagai muatan pelajaran dalam kurikulum. Meski masih
mendompleng pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, namun setidaknya sastra diajarkan pada siswa di
sekolah.

Kondisi ini kemudian memaksa kita untuk menelan kegalauan. Kondisi pengajaran sastra masih
mengecewakan , dan ini dirasakan oleh sastrawan, pemerhati atau kritisi sastra, masyarakat, siswa dan
bahkan guru sendiri (Sarjono, 2001: 207-208). Ini adalah kondisi pada tahun 1980-an, yang didasarkan
pada sejumlah penelitian yang saat itu dilaksanakan.

Namun kondisi ini agaknya masih terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan kondisi pengajaran sastra
di sekolah saat ini tak jauh berbeda atau justru kian memprihatinkan.

Dalam tulisan berbeda, Ahmadun Yosi Herfanda (2007) menggambarkan kondisi terkini pengajaran
sastra di sekolah. Dalam makalahnya diungkap bahwa pengajaran sastra di sekolah sampai saat ini belum
berjalan secara maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya
apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra.

Bahkan dalam aspek pengetahuan sastra saja, mereka umumnya juga masih sempit, tidak seluas
pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Ironis, mereka, misalnya, umumnya lebih mengenal siapa
Britney Spears atau Westlife di negeri Paman Sam daripada Ahmad Tohari di negeri sendiri.

Kondisi Pengajaran Sastra di SMK

Diskursus dan kontestasi seputar pengajaran sastra yang selama ini menguat baik dalam forum seperti
diskusi, atau seminar, dan muncul di media masa selalu mengambil contoh kondisi pada Sekolah
Menengah Atas (baca: sekolah umum). Sementara jarang sekali, atau bahkan belum ada kritisi sastra dan
pendidikan yang menyoroti problem pengajaran sastra di sekolah menengah kejuruan (SMK).

Pembangunan pendidikan ke depan diorientasikan pada upaya peningkatan jumlah sekolah kejuruan
dengan perbandingan 70:30 dari jumlah SMA. Kondisi saat ini 60 : 40. Artinya perbandingan jumlah
siswa SMK juga akan lebih banyak dari siswa SMA/MA. Artinya, penggambaran-penggambaran tentang
kondisi pengajaran sastra pada sekolah di Indonesia justru masih jauh dari kondisi yang sebenarnya.
Dalam pandangan Saya, jika melihat perbandingan tersebut bukan tidak mungkin kondisi pengajaran
sastra di sekolah di Indonesia justru lebih parah lagi.

Pada SMK; sastra yang notabene bagian tak terpisahkan dari bahasa dan bangunan pendidikan budaya
serta budi pekerti dan karakter ini, ternyata sama sekali tidak mendapatkan porsi. Tentu saja ini
merupakan problem serius yang harus segera di selesaikan, jika pendidikan memang hendak diarahkan
untuk membangun karakter bangsa dengan memanusiakan manusia .

Mengingat dalam kurikulum SMK tahun 2004 yang saat ini masih dianut, mata pelajaran Bahasa
Indonesia sepenuhnya diarahkan pada satu tujuan yaitu penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan
benar untuk tujuan komunikasi di dunia kerja.

Memang dalam deskripsi pemelajaran Bahasa Indonesia SMK terdapat istilah penggunaan Bahasa Indah.
Terminologi ini secara sadar dipilih untuk menggantikan istilah sastra. Hal ini disebabkan oleh dua alasan
pokok yaitu pertama, untuk mencegah kesan ‘menakutkan’ bagi siswa dan guru terhadap sastra, dan
kedua, istilah bahasa indah merupakan ancangan yang tepat untuk memasuki dunia sastra. Oleh karena itu
bahasa indah seperti kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan, dan iklan tertentu mulai diperkenalkan pada
peringkat Semenjana.

Kemudian, pada peringkat Madya siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan, bentuk-bentuk bahasa
indah, dan memahami maknanya. Hal ini dapat dicapai antara lain melalui kegiatan penugasan di dalam
dan di luar modul. Dan pada peringkat Unggul para siswa dibimbing untuk menggunakan atau untuk
memproduksi bahasa indah dalam berbagai kesempatan, seperti dalam membuat catatan harian, majalah
dinding, berpantun, musikalisasi puisi, dan drama.
Sayangnya, dari tiga tingkat penguasaan komunikasi; standar atau kualifikasi Semenjana, Madia dan
Unggul, sesungguhnya pengajaran sastra hanya mendapat setengah dari sub kompetensi dasar yang harus
dikuasai pada level Unggul, yaitu pada kompetensi dasar apresiasi teks seni.
Padahal secara keseluruhan dalam tiga standar kompetensi tersebut terdapat 32 kompetensi dasar yang
harus dikuasai yang merupakan sub pokok bahasan. Masing terdiri atas 12 kompetensi dasar tingkat
Semenjana, 14 kompetensi dasar di tingkat Madia, dan 5 kompetensi dasar di tingkat Unggul .

Sementara pada SMA/MA, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut; (1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika
yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya
dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. (4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. (5) Menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Dan (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia .

Kunci Permasalahan

Dalam banyak tulisan, sejumlah kritikus sastra terlanjur menjatuhkan vonis bersalah pada guru sastra atas
rendahnya apresiasi siswa terhadap karya sastra . Dalam pandangan kritisi sastra, kian merananya
pengajaran sastra di sekolah lebih banyak disebabkan oleh dua faktor yang bermuara pada guru. Pertama,
guru sebagai sosok pengajar dianggap kurang memiliki kompetensi dan basis pengetahuan sastra yang
mumpuni. Kedua, guru dinilai tidak kreatif dalam proses pembelajaran (pengajaran) sastra di sekolah
sehingga cenderung membosankan. Ini terjadi karena guru dinilai tidak memiliki strategi jitu.

Meski belum ada pemetaan terbaru, namun untuk dua penilaian tersebut, sesungguhnya Saya cenderung
sepakat. Bahkan di lapangan, memang acap kali dijumpai seorang guru sastra (Bahasa dan Sastra
Indonesia) yang enggan meng-upgrade pengetahuan mereka tentang seluk-beluk sastra kontemporer.

Namun yang menjadi permasalahan mendasar dalam pandangan Saya, sesungguhnya adalah sistem
pendidikan kita. Kurikulum pendidikan yang saat ini dianut tidak pernah memberikan ruang gerak yang
leluasa pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih
melenceng jauh dari hakekat tujuan pendidikan itu sendiri. Inilah yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Pendidikan diselenggarakan hanya untuk menciptakan tukang, dan mengejar angka partisipasi kasar
(APK) semata . Sehingga mata pelajaran humaniora seperti sastra, bahasa, seni dan budaya hanya
diletakan di pinggiran, dianak-tirikan, bahkan dianggap tidak berguna sama sekali. Pengetahuan tentang
sastra termasuk apresiasi sastra, dinomorduakan dan dianggap hanya sebagai hiburan. Kondisi inilah yang
kemudian menyebabkan guru bermalas-malasan dalam mengajarkan pengetahuan tentang sastra.

Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif dan menciptakan strategi
jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu mencitakan pembelajaran yang
berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru
dituntut mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan, serta tidak
ketinggalan jaman .

Namun sayangnya, guru dihadapkan pada seperangkat silabus dan standar kompetensi lulusan (SKL)
tertentu yang telah ‘dipatenkan’ secara nasional yang berkiblat pada dogma yang dianggap sangat sakral
berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok permasalahanya. Silabus dan SKL inilah yang
menghegemoni kreatifitas guru sastra. Sehingga dengan sendirinya pembelajaran sastra di sekolah kian
terpingginggirkan.

Sistem pendidikan di Indonesia acap kali memaksa sekolah sebagai penyelenggara pendidikan dan guru
ujung tombak mengingkari hakekat pendidikan. Target perolehan nilai tertentu yang harus dicapai dengan
standar penilaian ujian nasional, memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sehingga tak
urung memaksa guru bahasa menomorduakan sastra.

Yang timbul kemudian adalah pragmatisme pendidikan. Sehingga terjadi distorsi tujuan dan fungsi
fundamental pendidikan. sekolah bukan lagi jalan liberasi dan humanisasi, tapi justru dibebani tujuan dan
fungsi politis, ideologis, birokratis, korporatis, dan ekonomis. Sekolah telah menjadi praktek penindasan
kaum kapitalis, dehumanisasi. Kondisi ini jauh-jauh hari yaitu pada tahun 1970 telah dikritik habis oleh
Paulo Freire, dengan mengatakan pendidikan telah jadi bentuk kapitalisme yang licik (Escobar, dkk. Ed:
1998) .

Sekolah hanya menghasilkan tukang. Parahnya, kualitas akademik tukang-tukang ini hanya ditentukan
oleh standar UN. Akibatnya terjadi penganak-tirian terhadap materi-materi tertentu, dan pelajaran-
pelajaran tertentu yang tidak menunjang capaian ketuntasan belajar versi UN. Semua mata pelajaran yang
tidak ada hubungannya dengan ujian nasional dianggap tidak perlu.

Duz, ujian nasional menjadi tujuan akhir pendidikan, sementara pendidikan karakter, kebebasan berpikir,
budi pekerti, berkreasi, mengolah emosi, rasa dan perasaan tidak pernah dianggap penting. Semua
termarginalkan oleh target pencapaian nilai ujian nasional (UN).

Barangkali kita sempat berpikir, bukankah sastra sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia di
sekolah juga termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Ya, namun materi atau
soal-soal UN sama sekali tidak berhubungan dengan kemampuan apresiasi siswa. Meski di dalamnya
terdapat beberapa item soal yang berhubungan dengan sastra, namun lagi-lagi soal tersebut hanya berupa
hapalan dan ingatan. Tidak pernah berhubungan dengan kemampuan apresiasi, olah rasa, emosi dan
perasaan. Apalagi menyoal ihwal sastra kontemporer.

KTSP

Lalu bagaimana dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)? KTSP konon dibuat untuk
memberikan ruang gerak yang sebebas-bebasnya pada pihak sekolah, secara otonom untuk menyusun
strategi dan menetapkan target pendidikan yang hendak dicapai (Mulyasa, 2006). KTSP menjanjikan pada
guru untuk melakukan berbagai inovasi pendidikan .

Namun dalam kenyataanya KTSP juga tidak mampu memberikan ruang yang cukup bagi guru untuk lebih
inovatif dalam proses pembelajaran pada peserta didik. Hal ini terjadi karena lagi-lagi KTSP juga masih
turunan dari kurikulum (KBK) yang telah memberikan batasan-batasan tertentu.

Dalam konteks pembelajaran sastra, KTSP sama sekali belum memberikan otonomi pada guru untuk
memilih secara bebas dan bertanggungjawab materi-materi (karya-karya) mana yang sesungguhnya sesuai
dengan perkembangan kondisi kontemporer. Target memenuhi standar ketuntasan UN sering kali
mengalahkan hakekat KTSP. Disamping, memang KTSP tidak benar-benar memberikan ruang gerak
yang bebas bagi guru dan sekolah.

Alih-alih KTSP menjadi solusi atas kebuntuan dan probelm pembelajaran sastra di sekolah, ternyata
malah setali tiga uang dengan KBK yang hanya berorientasi pada pencapaian nilai UN.
Sebuah Tawaran

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyatakan kesanggupan pemerintah untuk
memenuhi besaran anggaran pendidikan hingga 20 persen dari APBN merupakan kabar baik, sekaligus
tantangan dalam pengelolaan. Di luar kepentingan politis menjelang Pemilu 2009, pidato kenegaraan dan
keterangan pemerintah atas rancangan undang-undang tentang APBN 2009 beserta nota keuangannya di
depan rapat paripurna DPR RI tanggal 15 Agustus 2008 lalu menunjukan optimisme dan keseriusan
pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan.

Namun demikian, orientasi pembangunan pendidikan harus jelas. Selama ini arah pembangunan
pendidikan telah keluar jauh dari rel dan mengingkari hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Ini terjadi
terutama pada sekolah kejuruan (SMK/MAK) yang jelas-jelas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja di pasar industri.

Ini terlihat jelas dalam penjabaran tujuan SMK. Sesuai dengan ketentuan dalam UU Sisdiknas, SMK
adalah salah satu subsistem dari sistem pendidikan nasional. Tugas utama SMK adalah untuk
mempersiapkan lulusannya memasuki dunia kerja, mengisi keperluan tenaga kerja terampil tingkat
menengah. SMK diadakan untuk tujuan; (1) Memberi bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai
bekal bagi lulusannya untuk memasuki dunia kerja. (2) Memberi bekal pengetahuan, sikap, dan
keterampilan dasar bagi lulusannya sebagai bekal dasar untuk mengembangkan kualitas dirinya secara
berkelanjutan melalui pendiddikan formal, pendidikan nonformal, atau secara informal.

Inilah bentuk kurikulum yang dalam pandangan Darmaningtyas (2004) dianggap sebagai kurikulum yang
menghilangkan rasa seni . Cikal bakal kurikulum semacam ini menurutnya telah ada sejak berlakunya
Kurikulum 1994. Pendidikan diarahkan untuk penguasaan teknologi menjawab kebutuhan industri,
sementara nilai-nilai seni sebagai bagian dari kodrat manusia dihapus begitu saja.

Kurikulum macam ini juga berpotensi mengalienasi manusia dari permasalahan kehidupan yang
sebenarnya. Pendidikan tidak pernah mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan hidup yang
sesungguhnya. Pendidikan baru mampu menjawab tantangan dan permasalahan dunia industri.

Kondisi semacam ini telah terjadi sejak tahun 80-an. Rendra (1980) dalam sajaknya mengungkapka;
Matahari terbit/ Fajar tiba/ Dan aku melihat delapan juta anak-anak tanpa pendidikan// Aku bertanya/
tetapi pertanyaan-pertanyaan/ membentur meja kekuasaan yang macet/ dan papan tulis-papan tulis
pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan .

Barangkali kita lupa, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berangkat dan berkembang ide kreatif
dan inovasi serta pembaharuan. Sehingga hanya orang-orang yang memiliki kreatifitaslah yang mampu
menguasai teknologi. Kreatifitas merupakan bagian dari seni yang telah ada pada kedirian manusia.
Sehingga bagaimana mungkin manusia akan menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan jika potensi seni
yang ada dalam diri tidak pernah dilatih .

Memang saat ini kurikulum kita telah mengakomodir pendidikan seni yaitu dengan kembalinya mata
pelajaran seni dan budaya menjadi mata pelajaran di sekolah formal. Namun, lagi-lagi mata pelajaran ini
harus termarginalkan oleh tujuan jangka pendek pendidikan kita berupa pragmatisme sempit tentang
bagaimana meraih nilai minimal ketuntasan sesuai standar UN. Sehingga pelajaran seni dan budaya juga
bernasib sama dengan pengajaran sastra.

Yang harus dilakukan saat ini adalah mengembalikan arah tujuan pendidikan pada hakekatnya. Hakekat
pendidikan menurut ayat pedagogi kritik pendidikan Pennycook (2004) dalam Alwasilah (2008: 149-151)
antara lain; pertama, Pendidikan memproduksi bukan hanya pengetahuan tapi juga Politik. Kedua, Etika
seyogyanya dipahami sebagai sentralnya pendidikan, guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan
keterampilan tapi juga mengajarkan benar dan tidak benar dalam konteks budaya lokal serta perbandingan
dengan budaya lain. Kemudian Pendidikan bertoleransi terhadap perbedaan pada siswa dan guru dalam
segala aspek (ras, etnis, bahasa, gender, dll). Dengan kata lain, Pentingnya pendidikan multikulturalisme
diajarkan di sekolah (Khisbiyah. Ed : 2004).

Yang terjadi di lapangan, biasanya guru dan sekolah menganggap kurikulum sejenis kitab suci yang harus
dilaksakan, sehingga pendidikan berjalan kaku dan serba wajib. Kondisi semacam ini menuai kritik, pada
ayat lain disebutkan bahwa Kurikulum tidak boleh dimaknai sebagai teks suci yang tidak memungkinkan
lahirnya interpretasi dan perbedaan-perbedaan pada tataran pelaksananya.

Pendidikan bukan hanya mengkritisi bentuk ilmu pengetahuan yang ada saja, tetapi meronta mencari,
merumuskan dan menawarkan bentuk-bentuk baru ilmu pengetahuan. Pendidikan melakukan formulasi
ulang terhadap klaim kebenaran yang telah berlaku untuk menemukan kebenaran versi dan interpretasi
yang lebih parsial dan khusus dari ilmu pengetahuan, teknologi, kebenaran dan alasan kebernalaran.
Pendidikan bukan hanya mewadahi wacana untuk mengkritisi kemapanan, tapi menawarkan visi ke
depan. Dan Guru melihat dirinya sebagai ‘tranformative intellectual’ yaitu inteltual yang memiliki
komitmen kuat untuk melakukan tranformasi sosial demi perbaikan.

Dengan merenungkan beberapa ayat pedagogi tersebut, Saya berharap institusi pendidikan (sekolah),
pemerintah melalui departemen pendidikan, juga guru tidak ragu untuk merumuskan kembali atau
merevitalisasi tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Tidak menganak-emaskan materi atau mata
pelajaran dan ilmu pengetahuan tertentu dengan alasan karena tidak diujikan secara nasional (UN).
Wallahu’alam

Anda mungkin juga menyukai