Anda di halaman 1dari 29

Laporan kasus Kepada Yth :

Dibacakan : 21 Mei 2019

EPILEPSI PADA KEHAMILAN

Oleh
dr. Angela Sarah Sumual

Pembimbing
dr. Linda M. Mamengko Sp.OG (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I


BAGIAN / SMF OBSTETRI GINEKOLOGI
FK UNIVERSITAS SAM RATULANGI
RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU
MANADO
2019

1
PENDAHULUAN

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan


kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang
yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh
jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang
berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis
yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel
otak.1
Epilepsi diakui sebagai gangguan neurologis serius yang paling umum di
dunia. Wanita dengan epilepsi mengalami beberapa masalah fisik dan sosial terkait
gender. Mereka merupakan resiko tinggi kebidanan karena berkurangnya kesuburan,
risiko kejang selama kehamilan, dan komplikasi kehamilan. Hormonal dan faktor-
faktor lain dapat mengubah farmakokinetik obat antiepileptic drugs (AED) selama
kehamilan dan masa nifas. Paparan antenatal untuk AED, terutama pada dosis tinggi
dan dalam politerapi, meningkatkan risiko malformasi janin. Laporan terbaru
meningkatkan kemungkinan defisit perkembangan bahasa selektif dan defisit
neurokognitif dengan paparan antenatal terhadap AED. Ada kekhawatiran mengenai
efek jejak AED yang lolos ke bayi selama menyusui. Manajemen prakonsepsi adalah
landasan untuk perawatan epilepsi pada wanita dengan epilepsi. Sebuah penilaian
kembali hati-hati pada setiap kasus harus memastikan diagnosis, kebutuhan untuk
terapi jangka panjang AED, pemilihan AED yang tepat, optimalisasi dosis, dan resep
asam folat.1
Selama kehamilan, status janin perlu dipantau dengan estimasi serum-feto
protein dan skrining USG untuk malformasi. Dosis AED dapat disesuaikan sesuai
dengan kebutuhan dan tingkat darah klinis AED. Beberapa lembaga
merekomendasikan vitamin K oral menjelang akhir kehamilan ketika AED diresepkan
merangsang enzim karena yang terakhir berpotensi mempengaruhi bayi baru lahir
dengan penyakit hemoragik, namun laporan terbaru menunjukkan bahwa risiko
tersebut praktis diabaikan. Wanita dengan epilepsi yang menggunakan obat
antiepilepsi yang menginduksi emzim (fenobarbital, primidone, phenytoin,
carbamazepine, dan oxcarbazepine) perlu mengetahui bahwa AED ini dapat
menyebabkan kegagalan kontrasepsi oral.1

2
Prevalensi epilepsi di Indonesia dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita
epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% dengan
epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. Selain itu, epilepsi dalam kehamilan
sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya
pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta
pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan
meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada
saat kehamilan, persalinan dan pada janin.2
Dosis efektif terendah dari obat anti epilepsi paling tepat harus digunakan,
monoterapi adalah pengobatan mungkin. Data untuk kehamilan terbaru menunjukkan
bahwa valproate secara signifikan lebih teratogenik dari carbamazepine, dan
kombinasi natrium valproate dan lamotrigin sangat teratogenik. Kebanyakan
kehamilan lancar pada wanita dengan epilepsi, dan kebanyakan bayi dilahirkan sehat
dengan tidak ada peningkatan risiko komplikasi obstetri pada wanita.1

3
LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI
Nama : Ny. Walukow Anggriany
R.M : 46.44.73
Umur : 30 tahun
Alamat : Desa Tangkunei Jaga IV
Agama : Protestan
Status : Menikah
Kebangsaan : Indonesia
Pendidikan : SLTP tamat
Pekerjaan : IRT
MRS : 10 April 2019 (pukul 13.26 WIB).

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien mengeluh pernah mengalami kejang selama hamil
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang dengan membawa rujukan dari RS GMIM Kalooran Amurang dengan
diagnosa G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu + bekas seksio sesarea + riwayat
epilepsi ke poliklinik kandungan RSUP Prof DR R D Kandou pada tanggal 29 Maret
2019. Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur
lendir dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih
dirasakan pasien.

Riwayat kehamilan sekarang


Riwayat Menarche : Penderita menstruasi pertama kali saat usia 11 tahun.
Menstruasi dialami teratur setiap bulannya dengan
lama menstruasi rata-rata 3-5 hari.
Riwayat Pernikahan : 1 kali selama 6 tahun
Riwayat ANC : Posyandu 8 kali, dokter spesialis kandungan 1 kali
Riwayat KB : Pil (terakhir minum Juli 2018)
HPHT : 08 Juli 2018

4
Taksiran persalinan : 14 April 2019
Riwayat Obstetri : G3P2A0
No Tempat Tahun Usia Jenis Anak
Bersalin Kehamilan Persalinan Kelamin Berat Keadaan
1. RSUP 2005 Aterm Ekstraksi Perempuan 2800 gr Sehat
Kandou Vakum
2. RSUP 2016 Aterm Seksio Laki-laki 3200 gr Sehat
Kandou Sesarea a.i
Gawat
janin
3. Hamil ini

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien terakhir kejang 12 Maret 2019, sebelum kejang
pasien mengeluh pusing kemudian mata, kepala, mulut kearah kanan, dengan lidah
tergigit dan mulut berbusa, kedua lengan dan kaki lurus dan kaku. Pasien kejang 3
kali dengan jarak antar kejang 5 menit dan dengan durasi 10 menit. Setelah kejang
pasien tidak sadar sekitar 3 jam kemudian sadar.
Pasien pertama kejang saat usia 3 tahun saat demam dan mengkonsumsi obat
Carbamazepin 200mg 1-0-1/2 (sampai sekarang), Luminal 1x30 mg (sudah 10 tahun
tidak di konsumsi). Pasien tidak rutin kontrol ke dokter spesialis untuk kejangnya dan
pernah melakukan tes rekam otak 20 tahun yang lalu, namun tidak mengetahui
hasilnya.
Riwayat Penyakit keluarga : Hipertensi, DM, jantung, ginjal dan epilepsi disangkal
Riwayat Sosial : Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak
merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol
Riwayat Alergi : Makanan (-), obat (-)

5
PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Frekuensi pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 150 cm
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterik -/-
Payudara hiperpigmentasi : (+/+)
Jantung : Gallop (-), murmur (-)
Paru-paru : Wheezing (-), ronkhi (-)
Hati dan lien : Sulit dinilai
Edema pretibial : (-/-)
Varices : (-/-)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)

Status Obstetri
Tanggal : 29 Maret 2019
TFU : 31 cm
Palpasi : Leopold I : Kepala
Leopold II : Punggung kanan
Leopold III : Terbawah bokong
Leopold IV : Penurunan 5/5
His :-
DJJ : 140 – 145 x/menit
TBJ : 2945 gram

6
USG
Janin Intrauterin Tunggal Hidup
FM (+) FHM (+)
BPD 9,14 cm, AC 32,15 cm, FL 7,17 cm
EFW 3000-3100 gram
AFL > 2 cm
Plasenta : Implantasi di corpus anterior grade II-III
Kesan : Hamil aterm + Letak bokong

DIAGNOSA KERJA
G3P2 A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC 1x + riwayat epilepsi
Janin Intrauterin Tunggal Hidup Letak Bokong

PROGNOSIS
Ibu : dubia
Anak : dubia

PENATALAKSANAAN
 Observasi tanda vital ibu, his, detak jantung janin
 Konsultasi dokter spesialis neurologi
 Cek laboratorium: darah rutin

Konsul Neurologi 30 Maret 2019 Jam 11.10


S : Pasien terakhir kejang 12 Maret 2019, sebelum kejang pasien mengeluh pusing
kemudian mata, kepala, mulut kearah kanan, dengan lidah tergigit dan mulut berbusa,
kedua lengan dan kaki lurus dan kaku. Pasien kejang 3 kali dengan jarak antar kejang
5 menit dan dengan durasi 10 menit. Setelah kejang pasien tidak sadar sekitar 3 jam
kemudian sadar.
Pasien pertama kejang saat usia 3 tahun saat demam dan mengkonsumsi obat
Carbamazepin 200 mg 1-0-1/2 (sampai sekarang), Luminal 1x30 mg (sudah 10 tahun
tidak di konsumsi). Pasien tidak rutin kontrol ke dokter spesialis untuk kejangnya dan
pernah melakukan tes rekam otak 20 tahun yang lalu, namun tidak mengetahui
hasilnya.

7
O: Keadaan Umum : Sedang Kesadaran : Compos Mentis
TD : 105/66mmHg N : 99 x/menit
RR : 26 x/menit Sb : 36,6oC
GCS : E4M6V5
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Nn. Cranialis : N II – XII : Intak
Status Motorik :
Kekuatan Otot : 5555 5555 Tonus Otot : n n
5555 5555 n n

Refleks Fisiologis : ++/++/++ ++/++/++ Refleks Patologi : - -


++/++ ++/++ - -
Status Sensorik : Normoestesia
Status Otonom : Inkontinensia Urin / Alvi : -/-
A : Epilepsi Umum Idiopatik + G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu + bekas SC
P :
 Carbamazepin 200 mg 1-0-1
 Asam Folat 1 x 1000 mg
 EEG (08 April 2019) Sudah lapor divisi epilepsi
 Kontrol 1 bulan

01 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg N : 82 x/menit
RR : 21 x/menit Sb : 36,7oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu dengan bekas SC + riwayat epilepsi
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 NST, USG
 Cek DL, PT, APTT
 EKG
 Lapor DPJP : Advis  Seksio Sesarea
 Datang kontrol poli jika hasil pemeriksaan untuk preoperative sudah ada

8
Laboratorium 02 April 2019
Leukosit : 10.100 mm3, hemoglobin 9,5 gr/dL, trombosit 230000 mm3

04 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 90 x/menit
RR : 21 x/menit Sb : 36,7oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu dengan bekas SC + riwayat epilepsi
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 R/ Sectio sesarea (Lapor PO 12 April 2019)
 Lapor DPJP : Advis  Setuju operasi Seksio Sesarea 12 April 2019
MRS 11 April 2019
 Sulfas Ferosus 1 x 200 mg
 Asam Folat 1 x 1 tablet

05 April 2019 (Poli Perioperatif) Jam 10.45


S : Riwayat epileptikus
O: TD : 110/60 mmHg N : 78 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5oC
A : G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu dengan bekas SC + riwayat epilepsi
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 Setuju MRS Pre operatif
 Lanjutkan minum obat secara teratur

9
10 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-)dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/60 mmHg N : 92 x/menit
RR : 18 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC + riwayat epilepsi
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 MRS hari ini
 R/ SCTP elektif 12 April 2019
 Lapor DPJP : Advis  Seksio Sesarea 12 April 2019, MRS hari ini

11 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/60 mmHg N : 82 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC + riwayat epilepsi
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 R/ SCTP elektif 12 April 2019

12 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36oC

10
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 145-150 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC + riwayat epilepsi
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 IVFD RL 30 gtt/menit
 Injeksi Ceftriaxone 1gr / 12 jam IV (ST)
 Pasang kateter
 R/ SCTP elektif 12 April 2019

12 April 2019
Jam 12.30 Pasien didorong ke kamar operasi
Jam 13.30 Operasi seksio sesarea dimulai
Jam 13.45 Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
Jam 14.55 Operasi selesai
Perdarahan : 500 cc
Diuresis : 200 cc

Laboratorium 12 April 2019 (post operasi)


Leukosit : 18.000 mm3, hemoglobin 9,2 gr/dL, trombosit 177000 mm3

12 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 22 x/menit Sb : 36oC
Kepala : Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawat
Vulva / Vagina : Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 IVFD RL:D5% 2:2 30 gtt/menit
 Injeksi Ceftriaxone 1gr / 12 jam IV (ST)
 Metronidazole 500 mg / 12 jam IV drips
 Kaltrofen 1x2 suppositoria (per rektal)
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand

11
13 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg N : 88 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala : Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Mamae : Laktasi : -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawat
Vulva / Vagina : Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-1 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 Aff Infus
 Aff Kateter
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand
 Konseling KB Suntik 3 bulan
 Rawat luka operasi

14 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg N : 88 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36oC
Kepala :Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawat
Vulva / Vagina : Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-2 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8

P:
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand

12
15 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi (-)
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36oC
Kepala : Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawat
Vulva / Vagina : Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-3 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand

16 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi (-)
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawat
Vulva / Vagina : Lochia Sanguilenta
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-4 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand
 Rawat Jalan

13
PEMBAHASAN

Epidemiologi
Diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan
ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari
semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40%
masih dalam usia reproduksi.2,3 Pasien berusia 30 tahun yang masih merupakan usia
reproduksi.

Suatu penelitian prospektif yang dilakukan oleh Schmid,dkk, dari 122 wanita
hamil yang memang telah didiagnosis, ditemukan bahwa kehamilan tidak
berpengaruh terhadap frekuensi bangkitan epilepsi pada 50% kasus, jumlah
bangkitan meningkat pada 37% kasus, sementara 13% lainnya mengalami penurunan
bangkitan frekuensi epilepsi6. Sekitar ¼ dari kasus peningkatan frekuensi bangkitan
terjadi pada trimester ketiga kehamilan.4,5,6 Pasien selama kehamilannya mengalami
bangkitan kejang satu kali pada saat usia kehamilan 36-37 minggu.
Tingginya angka kejadian malformasi kongenital pada bayi dengan riwayat
terpapar OAE mengakibatkan ibu menjadi enggan mengkonsumsi OAE. Akibatnya
statistik mencatat terjadi peningkatan frekuensi bangkitan epilepsi sebesar 17%
hingga 33% pada wanita selama masa kehamilan7,8 Pasien tidak rutin mengkonsumsi
OAE sebelum kontrol ke poli kandungan.
Pada kasus ini, pasien datang dengan rujukan kehamilan dengan epilepsi.
Keluhan yang terjadi pada pasien yaitu kejang yang didahului dengan keluhan kepala
pusing.

Etiologi
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis yang serupa dan berlangsung
secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa penurunan kesadaran, disebabkan
oleh hiperaktivitas listrik sel saraf di otak dan bukan oleh suatu penyakit otak akut.2
Masih tidak dapat dijelaskan secara pasti mengapa kehamilan dapat mempengaruhi
frekuensi bangkitan epilepsi. Pada kebanyakan kasus, diajukan beberapa hipotesis
yang menjelaskan mengapa terjadi peningkatan bangkitan epilepsi. Hipotesis yang
diajukan tersebut antara lain faktor hormonal, faktor metabolik, farmakokintetik obat

14
anti epilepsi, psikologis, dan kepatuhan pasien.6,7,8 Pada pasien ini bangkitan kejang
disebabkan karena kurangnya kepatuhan minum obat.

Pasien pertama kejang saat usia 3 tahun saat demam yang diduga akibat
idiopatik. Secara umum, etiologi epilepsi dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui dan diduga memiliki predisposisi genetik,
kriptogenik yang dianggap simptomatik akan tetapi sebenarnya penyebabnya belum
diketahui misalnya akibat Sindroma Lennox Gastaut dan west syndrome dan
simptomatik yang disebabklan oleh kelainan atau lesi pada susunan saraf pusat.2

Patofisiologi
Serangan umum primer dimulai dengan lepasnya muatan listrik abnormal pada
kedua hemisfer secara simultan. Serangan umum melibatkan hubungan resiprokal
antara thalamus dan neokorteks. Manifestasi dari penyebaran aktivitas epileptogenik
dapat bervariasi dari gangguan kesadaran singkat (seperti pada serangan absans)
hingga aktivitas motorik generalisata disertai dengan hilangnya kesadaran (serangan
umum tonik-klonik).10 Pada tingkat selular, suatu serangan epilepsi mungkin
dimengerti sebagai suatu hal yang merepresentasikan ketidakseimbangan antara arus
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Sirkuit-sirkuit neuron terdiri dari: (1) konduksi
aksonal, yang dimediasi oleh propagasi dari potensial aksi sepanjang akson neuron,
dan (2) transmisi sinaptik, yang muncul di antara neuron-neuron. Kedua proses ini
menggunakan kanal ion.10
Kanal ion merupakan protein yang meliputi membran yang membentuk pori
selektif untuk ion natrium, kalium, klorida, atau kalsium. Pergerakan ion melewati
membran neuron menentukan potensial membran elektrik dan menghasilkan potensial
aksi. Gradien ion natrium dan kalium dipertahankan oleh pompa Na+-K+-ATPase
yang menjaga potensial membran istirahat pada keadaan terpolarisasi (sekitar -
70mV). Dua tipe utama dari kanal ion yang bertanggung jawab untuk aktivitas
inhibitorik dan eksitatorik adalah kanal bergerbang voltase (voltage-gated channels)
dan kanal bergerbang kimiawi (ligand-gated channels). Lewatnya ion-ion melalui
kedua jenis kanal tersebut akan menghasilkan depolarisasi (contohnya aliran masuk
kation) atau hiperpolarisasi (contohnya aliran masuk anion atau aliran keluar
kation).12

15
Konduktansi yang bersifat mendepolarisasi adalah eksitatorik, dan dimediasi
oleh arus masuk dari natrium dan kalsium. Tiap kanal natrium berdiri sebagai suatu
kompleks dari subunit polipeptida. Perubahan genetik pada struktur kanal natrium
dipercaya menyebabkan syndrome of Generalized Epilepsy with Febrile Seizures plus
(GEFS+) dan Dravet syndrome, sebuah epilepsi mioklonik berat pada bayi. Banyak
obat antikonvulsi yang bekerja pada kanal natrium bergerbang voltase, misalnya
fenitoin dan karbamazepin.10,12
Aktivasi kanal kalsium bergerbang voltase berkontribusi terhadap fase
depolarisasi dari potensial aksi. Masuknya kalsium dapat juga mempengaruhi
pelepasan neurotransmiter, ekspresi gen, dan pola pengaktifan neuron. Kanal kalsium
juga merupakan kompleks hetero-oligomer. Aliran kalsium pada sel-sel piramidal
CA3 di hipokampus menyebabkan lepasnya aliran listrik secara besar-besaran pada
sel-sel tersebut dan dapat berkontribusi terhadap sinkronisasi epileptik. Perubahan
pada kanal kalsium juga memainkan peranan pada epilepsi absans pada anak-
anak.10,12
Peran konduktansi yang bersifat membuat hiperpolarisasi dimediasi terutama
oleh kanal kalium, yang melawan arus depolarisasi dan berfungsi untuk menghambat
atau mengurangi eksitasi pada sistem saraf. Fasilitasi konduktansi yang membuat
hiperpolarisasi bersifat antikonvulsi. Meskipun tidak ada antikonvulsi pada
penggunaan di klinik saat ini yang bekerja secara langsung pada kanal kalium
bergerbang voltase, beberapa antikonvulsi seperti topiramat dan levetiracetam bekerja
melalui fase hiperpolarisasi.10,12
Transmisi sinaptik memiliki dua sifat, yaitu transmisi eksitatorik dan transmisi
inhibitorik. Asam amino glutamat adalah neurotransmiter eksitatorik utama pada
sistem saraf pusat. Jalur glutamatergik tersebar luas di seluruh otak, dan aktivitas
asam amino eksitatorik adalah penting untuk perkembangan otak yang normal dan
plastisitas sinaptik yang bergantung aktivitas. Reseptor glutamat secara umum dibagi
menjadi N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptors dan non-NMDA receptors.
Transmisi eksitatorik dapat berkontribusi terhadap lepasnya ledakan listrik
epileptogenik. Sirkuit eksitatorik rekuren yang diproduksi oleh mossy fibers pada
epilepsi mesial temporal berhubungan dengan peningkatan konduktansi NMDA.
Blokade pada reseptor NMDA akan mengurangi aktivitas ledakan listrik pada
epilepsi.10

16
Transmisi inhibitorik menggunakan gamma-aminobutyric acid (GABA)
sebagai neurotransmiter. Setelah pelepasan GABA dari akson terminal, GABA akan
berikatan dengan dua kelas reseptor, yaitu reseptor GABA-A dan GABA-B, yang
ditemukan hampir di semua neuron korteks. Reseptor GABA-A juga ditemukan pada
glia, walaupun fungsinya pada sel ini masih belum jelas. Aktivasi reseptor GABA-A
pada badan sel dari neuron korteks yang matur akan menghasilkan aliran masuk ion
klorida dan hiperpolarisasi membran, sehingga menghambat lepasnya muatan listrik
sel. Akan tetapi, pada neuron yang imatur, aktivasi reseptor GABA-A justru
menyebabkan depolarisasi membran. Aliran keluar bikarbonat melalui kanal GABA-
A juga berkontribusi terhadap depolarisasi. Reseptor GABA-B berada pada membran
postsinaptik dan terminal presinaptik. Bila reseptor GABA-A menghasilkan
konduktansi cepat Inhibitory Postsynaptic Potentials (IPSPs) yang dekat dengan
badan sel, reseptor GABA-B pada membran postsinaptik memediasi konduktansi
lambat IPSP terutama pada dendrit sel piramidal hipokampus. Aktivasi reseptor
GABA-B pada terminal presinaptik menghambat pelepasan sinaptik neurotransmiter.
Sumasi aktivasi yang dimediasi reseptor GABA secara individu menyebabkan
hiperpolarisasi membran yang dimediasi klorida, yang melawan depolarisasi yang
dihasilkan oleh sumasi EPSP. Gangguan pada aktivitas inhibitorik ini dapat
menyebabkan kejang dan epilepsi. Sejalan dengan hal ini, peningkatan inhibisi yang
dimediasi oleh GABA merupakan suatu mekanisme penting obat-obat anti
epilepsi.10,12
Peranan glia pada regulasi pelepasan muatan epileptogenik semakin dipercaya.
Salah satu peran penting dari glia adalah mengembalikan homeostasis ion, terutama
kadar ion kalium ekstraselular, setelah aktivitas neuron. Perubahan potensial
membran glia secara langsung berhubungan dengan perubahan kadar kalium
ekstraselular, dan blokade kanal selektif kalium glia menghasilkan hipereksitabilitas
neuron.10

Tanda dan Gejala


Sebelum kejang pasien mengeluh pusing kemudian mata, kepala, mulut kearah
kanan, dengan lidah tergigit dan mulut berbusa, kedua lengan dan kaki lurus dan
kaku. Pasien kejang 3 kali dengan jarak antar kejang 5 menit dan dengan durasi 10
menit. Setelah kejang pasien tidak sadar sekitar 3 jam kemudian sadar. Tipe kejang
pada pasien ini termasuk kedalam tipe bangkitan tonik-klonik.
17
Bangkitan dapat dibagi menjadi generalized (umum) atau parsial (fokal). Pada
bangkitan umum, kedua sisi otak teraktivasi secara bersamaan. Pada bangkitan fokal,
loncatan elektrik dimulai dari 1 fokus di otak, yang kemudian menyebar ke daerah
lainnya.9,10 Di bangkitan umum, pasien tiba-tiba berhenti melakukan aktivitas yang
meraka lakukan, mata dan kepala mengarah ke satu sisi dan tubuh menjadi kaku. Hal
ini biasanya diikuti dengan hentakan tangan dan kaki, dan rintihan dan buih dari
mulut. Beberapa menit kemudian, badan kembali relaksasi dan tertidur. Pasien
tersebut sama sekali tidak sadar akan serangan bangkitannya. Bangkitan dapat terjadi
saat tidur.11,12
Dalam bangkitan tonik-klonik, pasien kehilangan kesadaran dan jatuh,
kadang-kadang diikuti dengan jeritan, dan terjadi kekakuan umum (fase tonik).
Pernapasan berhenti, karena semua otot tubuh bangkitan, dan pasien menjadi sianosis,
kepala tertarik, lengan fleksi, dan kaki plantar-fleksi. Setelah beberapa saat, fase tonik
diikuti oleh fase klonik, ketika otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara bergantian,
menjadi gerakan klonik. Selama menghentak, pasien mungkin menggigit lidahnya,
buang air kecil, atau kadang-kadang feses. Fase klonik dapat berlangsung beberapa
menit. Ketika semua hentakan berhenti dan pasien mendapatkan kembali kesadaran,
dia mungkin merasa sangat lelah dan mengalami sakit kepala dan kebingungan. Dia
tidak ingat apa yang terjadi, dan mungkin menemukan dirinya di lantai dalam posisi
aneh. Frekuensi bangkitan dapat bervariasi dari satu hari untuk satu bulan atau sekali
setahun, atau bahkan sekali setiap beberapa tahun. Pada tipe klonik, tidak terdapat
komponen tonik hanya terdapat hentakan klonik berulang. Sedangkan pada tipe tonik,
terjadi kontraksi otot secara tiba-tiba. Terdapat kehilangan kesadaran secara tiba-tiba.
Kadang-kadang terdapat kepala dan mata yang mengarah ke satu sisi.13

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan gold standard untuk epilepsi.


Kelainan epileptiformis biasanya muncul sebagai paku dengan gelombang tajam, atau
lonjakan gelombang yang berbeda dari normal dan menunjukkan peningkatan
kecenderungan kejang. Pemeriksaan penunjang, dilakukan sesuai indikasi dan bila
memungkinkan. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG). Rekaman EEG sebaiknya
dilakukan pada saat bangun, tidur dengan stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi
tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi refleks). Kelainan epileptiform EEG

18
interiktal (diluar bangkitan) pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%;
pada pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.
Bila EEG pertama normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat
dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan dengan
persyaratan khusus, misalnya kurangi tidur (sleep deprivation), atau dengan
menghentikan obat anti-epilepsi (OAE).2 Pasien pernah periksa EEG 20 tahun yang
lalu tapi tidak mengetahui hasilnya.

Pemeriksaan laboratorium darah: hemoglobin, leukosit, hematokrit, tombosit,


apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnsesium), kadar gula, fungsi
hati (SGOT, SGPT, Gamma GT, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lainnya atas
indikasi apabila ada kelainan metabolik dan pemeriksaan cairan serebrospinal bila
dicurigai ada infeksi SSP. Hasil laboratorium pasien 02 April 2019, leukosit 10.100
mm3, hemoglobin 9,5 gr/dL, trombosit 230000 mm3

Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menentukan diagnosis epilepsi, yaitu : memastikan
apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan bangkitan epilepsi atau
bukan epilepsi. Kemudian, apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan yang mana, kemudian
tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau
epilepsi apa yang diderita oleh pasien. Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar
adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2
kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.2 Pada pasien ini termasuk
ke dalam bangkitan epilepsi, epilepsi umum, dengan penyebab akibat faktor idiopatik,
dengan tipe bangkitan tonik-klonik.

Diagnosa Banding
Seperti yang disebutkan dalam algoritma RCOG, salah satu diagnosis banding
dari epilepsi dalam kehamilan adalah eklampsia. Namun pada pasien tidak didapatkan
adanya anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke diagnosis hipertensi
dalam kehamilan. Beberapa diagnosis banding lainnya yang perlu disingkirkan untuk
mendiagnosis epilepsy adalah sinkope, dapat bersifat vasovagal attack, kardiogenik,
hipovolemik, hipotens dan sinkope saat miksi (micturition syncope), serangan iskemik

19
sepintas (Transient Ischemic Attack), narkolepsi, bangkitan panik dan Sindrom
menier.14

Penatalaksanaan
Sesuai Pedoman tatalaksana epilepsi pada kehamilan berdasarkan Kelompok
Studi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSI) tahun 2008 :2

A. Sebelum Hamil : Strong Evidence (Class I)


- Terapi diberikan optimal sebelum konsepsi
- Bila memungkinkan perubahan terapi antiepilepsi diselesaikan
sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi
- Diberikan asam folat (> 0,4 mg/hari) selama masa reproduksi
dan dilanjutkan selama kehamilan

B. Saat Hamil: Strong Evidence (Class I)


- Jenis OAE jangan diganti bila tujuannya hanya untuk mengurangi
risiko teratogenik
- Pada pasien yang menggunakan karbamazepin, divalproex sodium atau
asam valproat perlu dilakukan:
▪ Pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein serum (minggu 14-16
kehamilan)
▪ Pemeriksaan ultrasonografi level II (struktural) (minggu 16-20
kehamilan)
▪ Amniosintesis untuk pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein dan
asetil kolinesterase dalam cairan amnion
C. Saat Hamil : Weeker Evidence (Class III)
- Dilakukan pemantauan kadar OAE yang tidak terikat protein.
Untuk pasien yang stabil, kadar obat diperiksa sebelum
konsepsi, awal tiap trimester, dan pada bulan terakhir
kehamilan. Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya
setelah bangkitan atau bila ragu dengan ketaatan minum obat)
- Diberikan vitamin K 10 mg/hari dalam bulan terakhir
kehamilan pada pasien yang menggunakan antiepilepsi yang
menginduksi enzim.

20
D. Setelah kehamilan/ persalinan : Strong Evidence (Class I)
- ASI tetap diberikan
- Diperhatikan apakah ada kesulitan minum dan efek sedasi
pada bayi
E. Setelah kehamilan : Weeker Evidence (Class III)
- Kadar OAE dipantau sampai minggu ke 8 pasca persalinan
- Bila dosis OAE dinaikkan selama kehamilan, turunkan kembali
sampai ke kadar dosis sebelum kehamilan untuk menghindari
toksisitas

Pasien tidak teratur minum obat OAE sebelum bangkitan terjadi saat pasien
hamil, dimana seharusnya diberikan asam folat dari sebelum hamil. Saat hamil
semestinya dilakukan pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein dan asetil kolinesterase,
namun tidak dilakukan dan pemantauan kadar OAE juga harus sering diperiksa baik
saat hamil maupun setelah kehamilan untuk menghindari toksisitas. Pasien ini tetap
memberikan ASI kepada bayinya.

Prinsip dari penatalaksanaan epilepsi mengacu pada risiko terjadinya


malformasi kongenital janin. Selain itu perlu juga diwaspadai terjadinya kejang saat
persalinan. Pasien direncanakan untuk menjalani operasi SC elektif. Menurut
rekomendasi dari RCOG, diagnosis epilepsi bukan indikasi untuk operasi caesar
terencana atau induksi persalinan. Dalam WWE tanpa faktor risiko obstetrik yang
mendasari kejangnya dan terkontrol dengan baik, tidak ada indikasi untuk persalinan
dini. Namun karena usia kehamilan pasien sudah mencapai aterm maka pilihan yang
tepat adalah untuk melahirkan janin.15,16
Tabel 1. Indikasi tindakan seksio sesarea pada penderita epilepsi

21
Pada penyakit epilepsi, tantangannya berada pada tatalaksana. Terdapat
beberapa obat yang bersifat teratogenik sehingga pemilihan obat antiepilepsi harus
diwaspadai. Menurut teori, carbamazepin masih dianggap sebagai pilihan yang lebih
aman di antara anti-epilepsi yang lain, terutama jika dibandingkan dengan asam
valproat. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efek teratogenik dari
carbamazepine berhubungan dengan dosis. Penggunaan obat antiepilepsi tidak boleh
diberhentikan secara tiba tiba karena berdampak terhadap janin. Apabila pasien
kejang saat akan melahirkan, maka harus dihentikan sesegera mungkin untuk
menghindari hipoksia ibu dan janin serta asidosis janin. Benzodiazepin adalah obat
pilihan. Setiap kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit adalah hal yang tidak biasa
dan merupakan risiko tinggi berkembang menjadi status epilepticus. Pengobatan harus
dimulai sesegera mungkin sebelum terjadinya status epilepticus. Jika kejang tidak
terkontrol, pertimbangkan pemberian fenitoin.15,16
Menurut Penovich et al. (2004) merekomendasikan penggunaan OAE dalam
kehamilan yaitu penggunaan monoterapi dengan OAE yang dipilih untuk sindrom
atau tipe bangkitan, penggunaan dosis yang paling rendah yang diperlukan untuk
mengendalikan bangkitan dengan optimal, hindari kadar puncak yang tinggi dengan
membagi dosis harian total ke dalam dosis multipel yang lebih kecil, terdapat bukti
bahwa sediaan extended release mungkin lebih aman selama kehamilan serta periksa
kadar obat total dan bebas sebulan sekali jika memungkinkan.16,17 Pasien
mengkonsumsi carbamazepine 200 mg 1-0-1.
Tabel 2. Fetal Abnormalies yang berhubungan dengan OAE
Fetal Anomaly Phenytoin Phenobarbital Valproate Carbamazepine
Neural tube defects … … X X
Intrauterine growth X … … …
restriction
Microcephaly … … … X
Low IQ X … … …
Distal digital X X … …
hypoplasia
Low-set ears X X … …
Epicanthal fold X X X X
Short nose X X X X
Long philtrum … … … X
Lip abnormalities X X X …
Hypertelorism X X … …
Developmental … X … X
delay
Other Ptosis Ptosis … Hypoplastic nails

22
Manajemen Postpartum

Periode postpartum adalah periode yang berisiko tinggi untuk memperburuk


frekuensi kejang karena terjadi peningkatan stres, kurang tidur, tidak minum obat dan
kecemasan sehingga wanita harus dipastikan bahwa mereka mengonsumsi AED
mereka seperti yang ditentukan pada periode postnatal. Pada periode postpartum,
terjadi perubahan fisiologis yang terjadi pada kehamilan, seperti peningkatan
clearance ginjal dan hati, sehingga wanita-wanita ini beresiko mendapatkan toksisitas
dari dosis AED yang tinggi. Peningkatan dosis AED yang terjadi pada kehamilan
harus secara jelas didokumentasikan dalam catatan, dengan rencana untuk
mengurangi dosis dalam 10 hari pertama setelah melahirkan.20 Namun pada pasien,
dosis AED tidak diturunkan selama 10 hari pertama setelah melahirkan.

Menyusui

Perempuan dengan epilepsi yang menyusui bayinya dapat menyebabkan obat


anti epilepsi ditransfer melalui ASI. Kadar obat anti epilepsi dalam ASI adalah
sebagai berikut phenytoin 18%, phenobarbital 30%, primidone 70%, karbamazepine
40%, asam valproat 4%-5%. Namun pada umumnya ASI tetap diberikan, karena
18
penghentian ASI yang mendadak dapat menyebabkan kejang pada neonatal.

Monitoring konsentrasi obat serum bayi disarankan tetapi bukan keharusan.


Rekomendasi umum adalah untuk meneruskan pemberian ASI, tetapi pemberian
mungkin dapat dilakukan sebelum ibu menggunakan dosis OAEnya. Banyak
perempuan penyandang epilepsi yang mampu menyusui anaknya secara baik. Kadar
OAE ditentukan oleh kadar obat dalam plasma dan tingkat terikatnya obat oleh
protein. Makin tinggi tingkat keterikatan oleh protein maka kadar obat dalam ASI
semakin rendah. 16,17

Fenitoin dan asam valproat terikat protein cukup tinggi sehingga kadarnya
dalam ASI cukup rendah. Lebih dari itu, fenitoin cukup sulit diabsorbsi oleh traktus
gastrointestinalis bayi. Dengan demikian ibu yang minum fenitoin dan asam valproat
diperbolehkan menyusui bayinya. Karbamazepin dan fenobarbital terdapat dalam ASI
dalam kadar yang lebih tinggi; dengan demikian kepada perempuan yang
bersangkutan kurang dianjurkan untuk menyusui bayinya, atau diperbolehkan
menyusui bayinya dengan pengawasan yang ketat. Apabila si ibu minum fenobarbital

23
maka bayinya harus selalu diawasi apakah tidak dapat menghisap ASI atau tampak
mengantuk terus. Apabila terjadi keduanya maka pemberian ASI harus segera
dihentikan. 20,21

Kontrasepsi
Wanita dengan epilepsi harus ditawarkan kontrasepsi yang efektif untuk
menghindari kehamilan yang tidak direncanakan. Alat kontrasepsi IUD dan LNG-IUS
merupakan pilihan utama karena tidak berinteraksi dengan obat anti epilepsi. Menurut
rekomendasi dari RCOG, kontrasepsi berupa pil hormonal dapat mengubah efektifitas
dari beberapa obat anti epilepsy dengan cara meningkatkan metabolisme obat
glucuronidated melalui induksi diphosphate-glucuronosyl transferase (UGTIA4).5,6
WWE harus ditawarkan kontrasepsi yang efektif untuk menghindari
kehamilan yang tidak direncanakan. Alat kontrasepsi IUD, sistem intrauterin pelepas
levonorgestrel (LNG-IUS) dan injeksi medroksiprogesteron asetat harus
dipromosikan sebagai metode kontrasepsi andal yang tidak terpengaruh oleh AED
yang menginduksi enzim. Semua metode kontrasepsi dapat ditawarkan kepada wanita
yang menggunakan AED yang tidak menginduksi enzim (mis. Natrium valproat,
levetiracetam, gabapentin, vigabatrin, tiagabine, dan pregabalin). WWE yang
menggunakan AED yang menginduksi enzim harus diberi tahu bahwa AKDR-Cu
adalah pilihan yang lebih disukai untuk kontrasepsi darurat. Pil kontrasepsi darurat
dengan levonorgestrel dipengaruhi oleh AED yang menginduksi enzim. Wanita yang
menggunakan monoterapi lamotrigin dan kontrasepsi yang mengandung estrogen
harus diberitahu tentang potensi peningkatan kejang karena penurunan kadar
lamotrigin.5

Komplikasi
Efek pada Janin

Serangan epilepsi pada wanita hamil dapat menyebabkan kelainan atau


kematian pada janin. Kematian janin, didefinisikan sebagai fetal loss setelah usia
kehamilan 20 minggu tampaknya menjadi hal yang umum terjadi dan kemungkinan
merupakan masalah yang sama besarnya dengan malformasi dan anomali kongenital.
Penelitian yang membandingkan tingkat stillbirth menemukan tingkat yang lebih
tinggi pada bayi dari ibu dengan epilepsi (1,3- 1,4%) dibandingkan dengan bayi dari

24
ibu tanpa epilepsi (1,2-7,8%).18Aborsi spontan, didefinisikan sebagai fetal loss pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu, tampaknya terjadi lebih sering pada bayi dari
ibu dengan epilepsi. Penelitian lain telah menunjukkan kenaikan tingkat kematian
neonatus dan perinatal. Tingkat kematian perinatal berkisar dari 1,3 hingga 7,8%
dibandingkan dengan 1,0 hingga 3,9% kontrol.19

Ramson, dkk. meneliti hubungan antara epilepsi general dan kematian janin.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kematian maternal dan fetal
berhubungan dengan status epileptikus dan efek samping bangkitan secara umum
pada janin seperti hipoksia dan asidosis. Hal itu mengindikasikan, terapi OAE perlu
dilanjutkan meskipun kewaspadaan terhadap teratogenik OAE harus diperhatikan.18
Kematian pada janin lebih sering disebabkan saat serangan ibu hamil mengalami
kecelakaan seperti terjatuh, luka bakar dan tenggelam. Sedangkan trauma dapat
menyebabkan pecahnya selaput ketuban, persalinan prematur, infeksi. 18,19

Kejang umum tonik klonik sekali saja atau tunggal akan mempengaruhi
denyut jantung janin menjadi lambat (transient fetal bradycardia selama 20 menit),
sedangkan bila kejang berulang dan berlangsung lama komplikasi terhadap jantung
menjadi lebih berat serta dapat mengganggu sirkulasi sistemik janin sehingga bisa
timbul hipoksia. Pengaruh lainnya yang dapat dijumpai akibat kejang pada wanita
hamil yaitu kemampuan untuk hidup janin menurun seperti skor APGAR yang
rendah, lahir mati dan kematian perinatal, gangguan perkembangan janin (berat
badan lahir rendah dan kelahiran prematur) menjadi 2 kali lipat serta terjadi
perdarahan intra kranial, dimana setelah dilakukan induksi persalinan ternyata bayi
yang meninggal sudah mengalami maserasi. Bila status epileptikus timbul saat
kehamilan biasanya sepertiga dari ibu-ibu dan setengah dari janin tidak dapat
18,19
diselamatkan dan harus segera diatasi tanpa memandang kehamilannya. Pasien

mengalami kejang selama 10 menit dengan interval 5 menit, bayi lahir dengan skor
APGAR 6-8.

Pengaruh epilepsi terhadap neonatus yang bermakna lainnya adalah


malformasi kongenital. Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian
besar malformasi kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi yang diberikan
pada wanita hamil trimester pertama (18,9%), tetapi ada yang berpendapat karena

25
memang sudah ada factor genetiknya. Tidak ada malformasi yang khas diakibatkan
16,17,18
oleh pemakaian obat anti epilepsi satu jenis tertentu pada bayi pasien.

Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu malformasi


mayor 2%-3% (yang paling sering adalah celah orofasial, anomali jantung dan defek
pada neural tube) dan malformasi minor 15% (yang paling sering adalah
hipertelorism, lipatan epikantal, shallow philt, hipoplasia jari digital dan lipatan
simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama spina bifida lumbosakral)
yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih banyak daripada karbamazepin
(0,5%). Oleh karena itu ada yang menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan
pada perempuan hamil dengan epilepsi. 16,17,18

Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang potensial
terhadap teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses detoksifikasi dan inhibisi
yang berinteraksi dengan obat anti epilepsi tertentu diduga mempunyai pengaruh yang
kuat pada risiko teratogenitas. Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda
spesifik untuk teratogenitas dari phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain,
tampaknya phenytoin paling banyak disalahkan untuk malformasi kongenital ini,
namun kelainan kongenital yang lebih sering dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing
atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya dapat diperbaiki dengan tindakan
operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma yang terjadi pada anak yang
terpapar phenytoin in utero. 13,14

Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya
drug withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut kegelisahan,
gemetar (tremor), mudah terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan
yang besar disusul dengan muntah-muntah. Gejala ini mulai timbul pada saat bayi
telah meninggalkan rumah sakit sehingga membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya
semua gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2 minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat
berakhir 2-4 bulan.13,15

Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama hamil, bayinya
dapat mengalami serangan kejang intrauterin dan perinatal, juga retardasi mental dan
gangguan perkembangan bahasa. Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5%
(normal 2%-3%) pada yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis
tinggi obat anti epilepsi dan kadar asam folat yang rendah. 16,17,18

26
Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relative
jelek.1 Pasien serangan pertamanya saat berusia 3 tahun namun tidak disertai kelainan
neurologic atau retardasi mental.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press, 2007, p; 117-135.
2. Harsono, Kustiowati E., Gunadharma S. 2008. Pedoman Tatalaksana Epilepsi
Edisi 3. Jakarta: Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI).
3. Yerby S, Leavitt A, Erickson S, et. al. 2002. Antiepileptics and the development
of congenital anomalies. Neurology; 42: 132-140
4. Bittigau P, Sifringer M, Ikonomidou C. 2003. Antiepileptic drugs and apoptosis in
the developing brain, Ann N Y Acad Sci; 993:103-124.
5. Azarbayjani, F. 2001. Common mechanism for teratogenicity of antiepileptic
drugs. Drug induced embryonic arrhythmia and hypoxiareoxygenation damage.
Acta Universitatis Upsaliensis. Comprehensive Summaries of Uppsala
Dissertations from the Faculty of Pharmacy; 253. 54
6. Caughey, Aaron B. 2012. Epilepsy in Pregnancy. Available from
www.emedicine.medscape.com/article/272050 accessed on April 14,2012
7. Taufiqurrohman, A. Nuradyo, D. Harsono. 2008, Manajemen Epilepsi pada
Kehamilan. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia.
8. Satishchandra, Gururaj, Mohammed, Senenayake, Silpakit, dan Dekker. Epilepsy:
A Manual for Physicians. New Delhi: World Health Organization, 2004.
9. Chang, Bernard S. & Lowenstein, Daniel H. 2003. Epilepsy. N Engl J Med; 349:
1257-1266.
10. World Health Organization. Epilepsy: The Disorder. World Health Organization,
2005, p; 15-27.
11. Guyton, Arthur C. & Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC, 2008, Bab 59; Epilepsi.
12. Thomas, Sanjeev V. 2002. Epilepsy and Pregnancy. Current Science; 82 (6): 720-
731.
13. Tomson, Torbjörn & Hiilesmaa, Vilho. 2007. Epilepsy in Pregnancy. BMJ; 335:
769-773.
14. Mamoli D, Ratti S, Battino D. 2003. Epilepsy and pregnancy. Neurol Sci; 23: 267-
269

28
15. Tanganelli P., Regesta G. 2002. Epilepsy, pregnancy and mayor birth anomalies:
an Italian prospective, controlled study. Neurology; 42: 89-93
16. Cartlidge NEF. 2002. Medical disorders during pregnancy In: neurologic
disorders. Philadelphia: 529-533
17. Ramson, Dombrowski, Evans, Ginsburg. 2002. Contemporary therapy in
obstetrics and gynecology. Philadelphia: WB Saunders: 115-8
18. Yerby MS., 2001. Neurological Management of Women with Epilepsy. North
Pacific Epilepsy Research Mother Joseph Plaza . Associate Clinical Professor of
Public Health, and Obstetrics and Gynecology Oregon Health Sciences
University Portland, Oregon. Neurological Management of Women with Epilepsy.
North Pacific Epilepsy Research Mother Joseph Plaza . Associate Clinical
Professor of Public Health, and Obstetrics and Gynecology Oregon Health
Sciences University Portland, Oregon.
19. Aaron, B. C, 2012. Seizure Disorders in Pregnancy. Department of Public Health
and Preventative Medicine, Oregon Health and Science University. Available
From : http://emedicine.medscape.com/article/272050-overview#showall
[Accessed at 18 April 2012]
20. Shorvon S., 2002. Antiepileptic drug therapy during pregnancy, Institute of
Neurology, National Hospital for Neurology and Neurosurgery, Queen Square,
London. Available From : http://jmg.bmj.com/content/39/4/248.full [Accessed at
18 April 2012]

29

Anda mungkin juga menyukai