Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan


kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang
yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh
jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang
berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis
yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel
otak.1
Epilepsi diakui sebagai gangguan neurologis serius yang paling umum di
dunia. Wanita dengan epilepsi mengalami beberapa masalah fisik dan sosial terkait
gender. Mereka merupakan resiko tinggi kebidanan karena berkurangnya kesuburan,
risiko kejang selama kehamilan, dan komplikasi kehamilan. Hormonal dan faktor-
faktor lain dapat mengubah farmakokinetik obat antiepileptic drugs (AED) selama
kehamilan dan masa nifas. Paparan antenatal untuk AED, terutama pada dosis tinggi
dan dalam politerapi, meningkatkan risiko malformasi janin. Laporan terbaru
meningkatkan kemungkinan defisit perkembangan bahasa selektif dan defisit
neurokognitif dengan paparan antenatal terhadap AED. Ada kekhawatiran mengenai
efek jejak AED yang lolos ke bayi selama menyusui. Manajemen prakonsepsi adalah
landasan untuk perawatan epilepsi pada wanita dengan epilepsi. Sebuah penilaian
kembali hati-hati pada setiap kasus harus memastikan diagnosis, kebutuhan untuk
terapi jangka panjang AED, pemilihan AED yang tepat, optimalisasi dosis, dan resep
asam folat.1
Selama kehamilan, status janin perlu dipantau dengan estimasi serum-feto
protein dan skrining USG untuk malformasi. Dosis AED dapat disesuaikan sesuai
dengan kebutuhan dan tingkat darah klinis AED. Beberapa lembaga
merekomendasikan vitamin K oral menjelang akhir kehamilan ketika AED diresepkan
merangsang enzim karena yang terakhir berpotensi mempengaruhi bayi baru lahir
dengan penyakit hemoragik, namun laporan terbaru menunjukkan bahwa risiko
tersebut praktis diabaikan. Wanita dengan epilepsi yang menggunakan obat
antiepilepsi yang menginduksi emzim (fenobarbital, primidone, phenytoin,
carbamazepine, dan oxcarbazepine) perlu mengetahui bahwa AED ini dapat
menyebabkan kegagalan kontrasepsi oral.1
Prevalensi epilepsi di Indonesia dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita
epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% dengan
epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. Selain itu, epilepsi dalam kehamilan
sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya
pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta
pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan
meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada
saat kehamilan, persalinan dan pada janin.2
Dosis efektif terendah dari obat anti epilepsi paling tepat harus digunakan,
monoterapi adalah pengobatan mungkin. Database kehamilan terbaru menunjukkan
bahwa valproate secara signifikan lebih teratogenik dari carbamazepine, dan
kombinasi natrium valproate dan lamotrigin sangat teratogenik. Kebanyakan
kehamilan lancar pada wanita dengan epilepsi, dan kebanyakan bayi dilahirkan sehat
dengan tidak ada peningkatan risiko komplikasi obstetri pada wanita.1
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI
Nama : Ny. Walukow Anggriany
R.M : 46.44.73
Umur : 30 tahun
Alamat : Desa Tangkunei Jaga IV
Agama : Protestan
Status : Menikah
Kebangsaan : Indonesia
Pendidikan : SLTP tamat
Pekerjaan : IRT
MRS : 10 April 2019 (pukul 13.26 WIB).

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien mengeluh pernah mengalami kejang selama hamil ini dan
riwayat persalinan dengan seksio sesarea pada kehamilan sebelumnya
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang dengan membawa rujukan dari RS GMIM Kalooran Amurang dengan
diagnosa G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu + bekas seksio sesarea + riwayat
epilepsi ke poliklinik kandungan RSUP Prof DR R D Kandou pada tanggal 29 Maret
2019. Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur
lendir dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih
dirasakan pasien.

Riwayat kehamilan sekarang


Riwayat Menarche :
Penderita menstruasi pertama kali saat usia 11 tahun. Menstruasi dialami teratur setiap
bulannya dengan lama menstruasi rata-rata 5 hari. Pasien mengalami haid terakhirnya
dimulai pada tanggal
Riwayat Pernikahan : 1 kali selama 6 tahun
Riwayat ANC : Posyandu 8 kali, dokter spesialis kandungan 1 kali
Riwayat KB : Pil ( terakhir minum Juli 2018)
HPHT : 08 Juli 2018
Taksiran persalinan : 14 April 2019
Riwayat Obstetri : G3 P2 A0
No Tempat Tahun Usia Jenis Anak
Bersalin Kehamilan Persalinan Kelamin Berat Keadaan
1. RSUP 2005 Aterm Ekstraksi Perempuan 2800 gr Sehat
Kandou Vakum
2. RSUP 2016 Aterm Seksio Laki-laki 3200 gr Sehat
Kandou Sesarea a.i
Gawat
janin
3. Hamil ini

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien terakhir kejang 12 Maret 2019, sebelum kejang
pasien mengeluh pusing kemudian mata, kepala, mulut kearah kanan, dengan lidah
tergigit dan mulut berbusa, kedua lengan dan kaki lurus dan kaku. Pasien kejang 3
kali dengan jarak antar kejang 5 menit dan dengan durasi 10 menit. Setelah kejang
pasien tidak sadar sekitar 3 jam kemudian sadar.
Pasien pertama kejang saat usia 3 tahun saat demam dan mengkonsumsi obat
Carbamazepin 200mg 1-0-1/2 (sampai sekarang), Luminal 1x30 mg (sudah 10 tahun
tidak di konsumsi). Pasien tidak rutin kontrol ke dokter spesialis untuk kejangnya dan
pernah melakukan tes rekam otak 20 tahun yang lalu, namun tidak mengetahui
hasilnya.
Riwayat Penyakit keluarga : Hipertensi, DM, jantung, ginjal dan epilepsi disangkal
Riwayat Sosial : Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak
merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol
Riwayat Alergi : Makanan (-), obat (-)
PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Frekuensi pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
Berat badan : 68,5 kg
Tinggi badan : 148,5 cm
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterik -/-
Payudara hiperpigmentasi : (+/+)
Jantung : Gallop (-), murmur (-)
Paru-paru : Wheezing (-), ronkhi (-)
Hati dan lien : Sulit dinilai
Edema pretibial : (-/-)
Varices : (-/-)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)

Status Obstetri
Pemeriksaan Luar:
Tanggal : 29 Maret 2019
TFU : 31 cm
Palpasi : Leopold I : Kepala
Leopold II : Punggung kanan
Leopold III : Terbawah bokong
Leopold IV : penurunan 5/5
His : -
DJJ : 140 – 145 x/menit
TBJ : 2945 gram
USG
Janin Intrauterin Tunggal Hidup
FM (+) FHM (+)
BPD 9,14 cm, AC 32,15 cm, FL 7,17 cm
EFW 3000-3100 gram
AFL > 2 cm
Plasenta : Implantasi di corpus anterior grade II-III
Kesan : Hamil aterm + Letak bokong

DIAGNOSA KERJA
G3 P2 A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC 1x + riwayat epilepsi
Janin Intrauterin Tunggal Hidup Letak Bokong

PROGNOSIS
Ibu : dubia
Anak : dubia

PENATALAKSANAAN
 Observasi tanda vital ibu, his, detak jantung janin
 Konsultasi dokter spesialis neurologi
 Cek laboratorium : darah rutin

Konsul Neurologi 30 Maret 2019 Jam 11.10


S : Pasien terakhir kejang 12 Maret 2019, sebelum kejang
pasien mengeluh pusing kemudian mata, kepala, mulut kearah kanan, dengan lidah
tergigit dan mulut berbusa, kedua lengan dan kaki lurus dan kaku. Pasien kejang 3
kali dengan jarak antar kejang 5 menit dan dengan durasi 10 menit. Setelah kejang
pasien tidak sadar sekitar 3 jam kemudian sadar.
Pasien pertama kejang saat usia 3 tahun saat demam dan mengkonsumsi obat
Carbamazepin 200mg 1-0-1/2 (sampai sekarang), Luminal 1x30 mg (sudah 10 tahun
tidak di konsumsi). Pasien tidak rutin kontrol ke dokter spesialis untuk kejangnya dan
pernah melakukan tes rekam otak 20 tahun yang lalu, namun tidak mengetahui
hasilnya.
O: Keadaan Umum : Sedang Kesadaran : Compos Mentis
TD : 105/66mmHg N : 99 x/menit
RR : 26 x/menit Sb : 36,6oC
GCS : E4M6V5
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Nn. Cranialis : N II – XII : Intak
Status Motorik :
Kekuatan Otot : 5555 5555 Tonus Otot : n n
5555 5555 n n

Refleks Fisiologis : ++/++/++ ++/++/++ Refleks Patologi : - -


++/++ ++/++ - -
Status Sensorik : Normoestesia
Status Otonom : Inkontinensia Urin / Alvi : -/-
A : Epilepsi Umum Idiopatik + G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu + bekas SC
P:
 Carbamazepin 200 mg 1-0-1
 Asam Folat 1 x 1000 mg
 EEG (08 April 2019) Sudah lapor divisi epilepsi
 Kontrol 1 bulan

01 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg N : 82 x/menit
RR : 21 x/menit Sb : 36,7oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu dengan bekas SC + riw epilepsy
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 NST, USG
 Cek DL, PT, APTT
 EKG
 Lapor DPJP : Advis  Seksio Sesarea
 Datang kontrol poli jika hasil pemeriksaan untuk preoperative sudah ada
Laboratorium 02 April 2019
Leukosit : 10.100 mm3, hemoglobin 9,5 gr/dL, trombosit 230000 mm3

04 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 90 x/menit
RR : 21 x/menit Sb : 36,7oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu dengan bekas SC + riw epilepsy
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 R/ Sectio sesarea (Lapor PO 12 April 2019)
 Lapor DPJP : Advis  Setuju operasi Seksio Sesarea 12 April 2019
MRS 11 April 2019
 Sulfas Ferosus 1 x 200 mg
 Asam Folat 1 x 1 tablet

05 April 2019 (Poli Perioperatif) Jam 10.45


S : Riwayat epileptikus
O: TD : 110/60 mmHg N : 78 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5 oC
A : G3P2A0 30 tahun hamil 38-39 minggu dengan bekas SC + riwayat epilepsi
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 Setuju MRS Pre operatif
 Lanjutkan minum obat secara teratur

10 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/60 mmHg N : 92 x/menit
RR : 18 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC + riw epilepsy
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 MRS hari ini
 R/ SCTP elektif 12 April 2019
 Lapor DPJP : Advis  Seksio Sesarea 12 April 2019, MRS hari ini

11 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/60 mmHg N : 82 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 140-145 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC + riw epilepsy
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 R/ SCTP elektif 12 April 2019

12 April 2019
S : Nyeri perut bawah ingin melahirkan belum dirasakan, keluar darah campur lendir
dari jalan lahir (-), riwayat keluar air-air (-) dan pergerakan janin masih dirasakan
pasien.
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU : 34 cm His : (-)
DJJ : 145-150 x/menit
A : G3P2A0 30 tahun hamil 39-40 minggu dengan bekas SC + riw epilepsy
Janin intrauterine tunggal hidup letak bokong
P:
 IVFD RL 30 gtt/menit
 Injeksi Ceftriaxone 1gr / 12 jam IV (ST)
 Pasang kateter
 R/ SCTP elektif 12 April 2019

12 April 2019
Jam 12.30 Pasien didorong ke OK CITO
Jam 13.30 Operasi seksio sesarea dimulai
Jam 13.45 Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 5-6-8
Jam 14.55 Operasi selesai
Perdarahan 500 cc
Diuresis cc

Laboratorium 12 April 2019 (post operasi)


Leukosit : 18.000 mm3, hemoglobin 9,2 gr/dL, trombosit 177000 mm3

12 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 22 x/menit Sb : 36oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawatt
Vulva / Vagina :
Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 IVFD RL:D5% 2:2 30 gtt/menit
 Injeksi Ceftriaxone 1gr / 12 jam IV (ST)
 Metronidazole 500 mg / 12 jam IV drips
 Kaltrofen 1x2 suppositoria (per rectal)
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand

13 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg N : 88 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Mamae :
Laktasi : -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawatt
Vulva / Vagina :
Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-1 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 Aff Infus
 Aff Kateter
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand
 Konseling KB  Suntik 3 bulan
 Rawat luka operasi

14 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg N : 88 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawatt
Vulva / Vagina :
Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-2 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand
15 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi (-)
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawatt
Vulva / Vagina :
Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-3 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand

16 April 2019
S: Nyeri luka jahitan operasi (-)
O: Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit Sb : 36,5oC
Kepala :
Conjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-
Abdomen :
TFU 2 jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka jahitan operasi terawat
Vulva / Vagina :
Lochia rubra
A : P3A0 30 tahun post SCTP H-4 a.i riwayat epilepsy + bekas SC + letak sungsang
Lahir bayi perempuan / SCTP / 3000 gram / 45 cm / AS 6-8
P:
 Cefadroxil 3x500 mg tablet
 Metronidazole 3x500 mg tablet
 Asam mefenamat 3x500 mg tablet
 Sulfas Ferosus 1x200 mg tablet
 Observasi TNRS, kontraksi, perdarahan
 Diet TKTP
 ASI on demand
 Rawat Jalan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi kehamilan dengan epilepsi


Istilah "epilepsi" mendefinisikan sekelompok gangguan yang dikarakteristik
dengan kecenderungan otak untuk menghasilkan kejang. Untuk mengurangi
ambiguitas diagnostik dan pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis epilepsi
dan kejang, International League Against Epilepsy (ILAE) baru-baru ini mengusulkan
definisi epilepsy yang meliputi skenario klinis berikut: i ) setidaknya dua kejang tanpa
sebab terjadi lebih dari 24 jam secara terpisah; ii) satu kejang yang tidak diprovokasi
dan kemungkinan kejang berikutnya yang serupa dengan risiko kekambuhan umum
(setidaknya 60%) setelah dua kejang yang tidak diprovokasi terjadi selama 10 tahun
ke depan; iii) diagnosis sindrom epilepsy. 3

2.2 Epidemiologi
Insiden epilepsi tahunan di negara-negara maju adalah sekitar 50-70 kasus per
100.000 populasi dan prevalensinya sekitar 5-10 per 1000. Negara berkembang
menyumbang persentase kasus dengan insiden 100–190 kasus per 100.000 per tahun.
Prevalensi epilepsi mungkin lebih rendah di negara berpenghasilan rendah hingga
menengah (LMICs), hal ini disebabkan oleh angka kematian prematur yang lebih
tinggi. Sebuah penelitian di Nigeria memberikan prevalensi kasar epilepsi yaitu 533
per 100.000. Meskipun prevalensi epilepsi sedikit lebih tinggi pada pria daripada pada
wanita. Wanita dengan epilepsi (WWE) telah terbukti memiliki masalah yang lebih
rumit dalam hal tatalaksananya. Penelitian yang dilakukan di Nigeria menemukan
prevalensi epilepsi aktif 3,33 per 1000 di antara wanita hamil. 4
Diperkirakan 2500 bayi dilahirkan oleh WWE setiap tahunnya di Inggris.
Sekitar sepertiga dari WWE berada dalam kelompok usia reproduksi. Risiko kematian
meningkat sepuluh kali lipat pada WWE yang hamil dibandingkan dengan mereka
yang tidak memiliki kondisi tersebut. Empat belas kematian ibu yang terjadi antara
2009 dan 2012 dikaitkan dengan epilepsi dalam laporan MBRRACE-UK 2014
(Confidential Enquiries into Maternal Deaths and Morbidity) di tahun 2014. Dua
belas dari 14 kematian ini diklasifikasikan sebagai SUDEP (sudden unexpected death
in epilepsy), dengan kontrol buruk terhadap kejang menjadi faktor penyumbang
utama.
Risiko malformasi kongenital utama pada janin meningkat pada WWE yang
menggunakan obat antiepilepsi (AED). Paparan natrium valproat dan penggunaan
AED lain juga dapat memiliki efek buruk pada perkembangan saraf bayi yang baru
lahir dalam jangka panjang. Kekhawatiran ibu mengenai efek AED pada bayi dapat
menyebabkan penghentian atau pengurangan dosis AED, sehingga meningkatkan
risiko kejang dan SUDEP pada wanita. Gangguan kejang dan paparan AED pada
kehamilan memiliki dampak yang sangat besar pada kehidupan ibu.5

2.3 Etiologi
Meskipun beberapa gen dan mutasi yang terkait telah diidentifikasi, hal ini
hanya mewakili sebagian kecil epilepsi idiopatik dan bentuk epilepsi langka lainnya,
pengaruh genetik yang spesifik tetap harus diidentifikasi dalam sebagian besar kasus.
Berbagai bentuk epilepsi genetik dijelaskan pada Tabel 1

Tabel 1.
Epilepsi juga terjadi pada gangguan kromosom. Sebanyak 1–10% pasien
trisomi 21 mengalami kejang dan hampir 20% menunjukkan kelainan EEG.
Tumor otak, jinak atau ganas, adalah penyebab umum epilepsi dan
menghasilkan insiden epilepsi hampir. Di sisi lain, hampir 4% pasien epilepsi
memiliki tumor otak. Risiko untuk terjadinya epilepsi lebih tinggi di antara orang
dewasa daripada anak-anak dan risiko epilepsi ini tergantung pada banyak faktor
termasuk jenis tumor, tingkat atau lokasi tumor, adanya disfungsi hemisfer serebral
atau reseksi tumor yang tidak lengkap.
Faktor-faktor yang sebagian besar terkait dengan epilepsi dewasa termasuk
melanoma, lesi hemorragik, metastasis dan tumor primer yang tumbuh perlahan.
Faktor di antara anak-anak termasuk ganglioglioma, astrositoma tingkat rendah,
tumor neuroepitel disembrioplastik dan oligodendroglioma
Brain injury (BI) adalah salah satu faktor risiko terpenting untuk epilepsy.
Risiko epilepsi sangat tergantung pada tingkat cedera. Kasus dengan cedera otak
ringan (MBI), didefinisikan sebagai trauma langsung terhadap kepala dan ditandai
dengan perubahan fungsi otak, yaitu, kehilangan kesadaran, amnesia, kebingungan
dan defisit neurologis sementara dan harus dibedakan dari cedera otak parah. (SBI),
yang menyebabkan cedera struktural termasuk memar otak atau pendarahan
intrakranial. Pada MBI, risiko epilepsi dua kali lebih tinggi pada orang tanpa BI.
Selain itu, infeksi SSP juga berperan terhadap terjadinya epilepsy. Meningitis
adalah salah satu penyebab paling umum dari kejang simptomatik yang berhubungan
dengan demam, mereka yang memiliki defisit neurologis persisten (kecuali
kehilangan pendengaran sensorineural) berada pada risiko yang meningkat untuk
memiliki setidaknya satu kejadian kejang tetapi risiko epilepsi sebagai akibat
langsung dari infeksi rendah (10%)
Stroke adalah faktor risiko utama untuk epilepsi. Hal ini mungkin menjelaskan
sepertiga dari mereka yang terjadi pada populasi lansia dan mungkin ada hubungan
antara epilepsi dan risiko stroke di kemudian hari.
Dalam beberapa penelitian, 2-4% kasus stroke terbukti mengalami epilepsi
selama masa hidup mereka. Angka ini jauh lebih tinggi pada studi yang lebih kecil
(mis., 6-9%) atau retrospektif (mis., 39% selama 30 bulan). Angka ini juga bervariasi
dari populasi ke populasi dan antara periode tindak lanjut yang berbeda. Risiko
epilepsi yang terkait dengan stroke telah terbukti 3,4% pada populasi AS selama 5,5
tahun, 2,5% selama 9 bulan dalam populasi Skandinavia, 32% (dari mereka yang
memiliki serangan kejang dini) selama 26 bulan di populasi Australia.
Etiologi lainnya dari epilepsy yaitu, Alzheimer, penyakit autoimun,
malformasi otak, dan lainnya dapat dilihat pada gambar 1. 6
Gambar 1.
2.4 Patofisiologi
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
“bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat
adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar,
dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi
genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi
pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures
plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap
seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang
sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal
kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi
pada sel.
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah
epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis
hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal
hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke
hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan
molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap
aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari
korteks entorhinal.
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke
lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang
aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk
sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron
eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal mengaktivasi
interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di
hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah
proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan
pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi
yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada
keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai
inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion
klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di
sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc
meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi. Mekanisme epilepsi lain
yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu
mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan
menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan
dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit
dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi
hipereksitabilitas neuron.
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di
otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak
sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang
biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi
maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa
disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang
selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan
reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap
NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian
neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas
bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor
nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion
maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik
akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan
dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa
neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai
inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai
yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar
2.6 Manifestasi klinis
Manifestasi epilepsi sangat bervariasi. Klasifikasi sindrom epilepsi diperlukan
untuk memilih AED yang tepat sehingga dapat menentukan prognosis pada kehamilan
dan untuk mengidentifikasi dan mencegah faktor-faktor penurunan kejang. Jenis
kejang paling umum yang dilaporkan pada kehamilan dan manifestasinya dirinci pada
Tabel 2.
Dokumentasi yang akurat tentang jenis kejang dan frekuensinya akan
membantu mengidentifikasi faktor-faktor pemicu dan merencanakan tatalaksana.
Tingkat kejang kejang dalam kehamilan mungkin terkait dengan jenis kejang.
Kejang tonik-klonik yang tidak terkontrol adalah faktor risiko terkuat untuk
SUDEP, yang merupakan penyebab utama kematian pada WWE hamil. SUDEP
didefinisikan sebagai 'kematian mendadak, tak terduga, disaksikan atau tidak
disaksikan, nontraumatic dan tidak tenggelam pada pasien epilepsi, dengan atau tanpa
bukti untuk kejang dan tidak termasuk status epileptikus yang didokumentasikan, di
mana pemeriksaan postmortem tidak mengungkapkan penyebab toksikologis atau
kematian lainnya 5 8
Tabel 2.

2.7 Diagnosis
Kejang adalah gejala yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi otak yang tidak
spesifik untuk penyebab etiologi tertentu. Berbagai patologi penyebab dapat
menghasilkan perilaku yang serupa dan manifestasi EEG. Prognosis dan perawatan
seseorang dengan epilepsi diarahkan oleh diagnosis sindrom epilepsinya
Jenis kejang dan diagnosis sindrom epilepsi didasarkan pada deskripsi
perilaku kejang dan manifestasi EEG, lebih lanjut dibantu oleh neuroimaging dan
investigasi genetik dalam beberapa kasus.
Secara tradisional, sindrom epilepsi telah diklasifikasikan sebagai parsial,
umum, atau tidak diketahui (berdasarkan tipe kejang predominan), dengan
terminologi paralel mengenai etiologi epilepsy sebagai idiopatik (memiliki penyebab
yang tidak diketahui tetapi sering dianggap sebagai penyebab genetik), kriptogenik
(tidak diketahui, tetapi dengan kemungkinan patologi penyebab yang belum
diidentifikasi), atau simtomatik (etiologinya diketahui, dan otak mengalami gangguan
atau sakit sebelum atau di antara episode kejang).
Membedakan tipe kejang seringkali sulit pada kejang onset baru. Banyak
kejang parsial / fokus hadir secara klinis sebagai kejang tonik-klonik umum tanpa
fitur fokus yang jelas, dan pasien dapat datang setelah kejang episode tunggal,
sehingga berbagai kejang dan perilaku terkait yang memungkinkan diagnosis pada
pasien mungkin tidak sepenuhnya dimengerti
Dalam terminologi tradisional, kejang parsial selanjutnya diklasifikasikan
sebagai sederhana, kompleks, atau generalisasi sekunder. Kejang parsial / fokal yang
simultan tidak mengganggu kesadaran dan mungkin melibatkan volume jaringan otak
yang sangat kecil dengan keterlibatan jaringan yang terbatas.
Jenis kejang umum meliputi abseans, atonik, tonik, mioklonik, klonik, atau
tonik-klonik. Kejang absan, sering sebelumnya disebut kejang petit mal, adalah
episode singkat (kurang dari 10 detik) yang melibatkan penangkapan perilaku,
menatap dengan tidak responsif, dan automa-tisme, tetapi tidak seperti kejang fokal
mereka tidak memiliki gejala aura atau postiktal. negara. Seringkali, serangan absen
dapat dipicu di kantor atau laboratorium EEG oleh hiperventilasi.
Kejang mioklonik melibatkan hentakan singkat secara tiba-tiba atau anggota
badan yang berkedut dengan kesadaran yang terjaga. Mioklonus masif menyebabkan
jatuh sehingga timbul cedera. Kejang tonik melibatkan postur abnormalitas
ekstremitas berkelanjutan yang disebabkan oleh kokontraksi otot agonis dan
antagonis, biasanya berdurasi kurang dari 15 detik, dengan atau tanpa vokalisasi dan
dapat menyebabkan apnue. Kejang atonik (juga dikenal sebagai kejang astatik)
menyebabkan hilangnya tonus otot. Kejang klonik adalah gerakan menyentak
berulang, dan kejang tonik-klonik umum melibatkan fase postur tonik awal diikuti
oleh gerakan klonik yang berlangsung 1 hingga 3 menit, biasanya diikuti dengan
beberapa menit pingsan, kebingungan, dan bahasa atau disfungsi motorik (sering
disebut kelumpuhan Todd. Kehilangan kontinensi kandung kemih atau laserasi lidah
akibat tergigit sering terjadi
EEG adalah studi diagnostik paling umum dilakukan pada orang dengan
epilepsi. EEG pertama kali dilakukan pada seseorang yang direkam oleh Hans Berger
pada tahun 1924, kegunaan EEG dalam evaluasi pasien dengan epilepsi
dikonfirmasikan oleh beberapa investigator pada 1930-an. EEG telah meningkatkan
pemahaman kita tentang patofisiologi kejang dan telah menjadi alat diagnostik yang
sangat berharga dalam evaluasi dan pengobatan kejang.
Rekaman EEG dapat diperoleh pada pasien rawat inap atau mencakup
prosedur pengaktifan, seperti membuka mata dan menutup mata, hiperventilasi, dan
stimulasi fotografis. Pada pasien tertentu, gelombang epileptiform hanya dapat terjadi
selama perekaman EEG saat tidur. EEG berulang mungkin memiliki kepentingan
diagnostik dan dapat mengevaluasi respons pasien terhadap terapi. Kelainan
epileptiformis biasanya muncul sebagai paku dengan gelombang tajam, atau lonjakan
gelombang yang berbeda dari normal dan menunjukkan peningkatan kecenderungan
kejang. Pelepasan lonjakan didominasi transien negatif dengan tanjakan naik dan
turun yang curam dan durasi 20 ms hingga 70 ms. Gelombang yang tajam adalah
potensi yang lebih luas dengan durasi 70 ms hingga 200 ms. Pelepasan epileptiformis
harus berbeda dari aktivitas latar belakang normal, melibatkan lebih dari satu
elektroda kulit kepala, dan memiliki medan fisiologis, dengan gradien tegangan harus
ada. Pengetahuan tentang usia pasien, pengobatan, keadaan kesadaran, dan riwayat
medis diperlukan untuk menginterpretasikan studi EEG dengan tepat. Usia konseptual
pasien penting untuk rekaman neonatal. Pola epileptiform terlihat pada EEG setelah
kejang pertama kali sering memprediksi kekambuhan kejang berdasarkan penelitian
pada orang dewasa dan anak-anak, dengan tingkat kekambuhan berkisar antara 30%
hingga 70% pada tahun pertama.
Aplikasi klinis EEG termasuk diagnosis epilepsi, pemilihan terapi AED,
evaluasi respon terhadap pengobatan, dan lokalisasi untuk pembedahan. Hasil
diagnostik meningkat menjadi 80% hingga 90% jika tiga atau lebih EEG serial
dilakukan. 9
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Penatalaksanaan antenatal
Pengaturan multidisiplin harus melibatkan dokter kandungan dengan minat
khusus pada epilepsi, bekerja bersama ahli saraf dengan pelatihan spesialis tentang
epilepsi.
Pedoman lokal dan mekanisme komunikasi yang jelas harus ada untuk
perawatan WWE pada semua tahap kehamilan mereka sampai periode pascanatal.
Tidak ada penelitian tentang evaluasi efektivitas klinis obstetri dan klinik neurologi
bersama pada hasil ibu dan janin di WWE.
Pada wanita dengan kehamilan yang tidak direncanakan, rencana manajemen
individual harus disepakati antara wanita dengan spesialis epilepsi. Hal ini mungkin
termasuk perubahan dalam dosis atau jenis AED yang bertujuan meminimalkan risiko
pada janin. AED tidak boleh tiba-tiba dihentikan atau diubah tanpa diskusi yang
sesuai. Bahkan obat-obatan berisiko tinggi seperti natrium valproat masih merupakan
obat pilihan untuk epilepsi tertentu dan diskusi tentang risiko dan manfaat adalah
wajib
Pemindaian anomali janin pada usia 18+0 - 20+6 minggu dapat
mengidentifikasi defek jantung utama selain defek neural tube. Semua WWE harus
ditawarkan USG terperinci sesuai dengan standar National Health Service Fetal
Anomaly Screening. Skrining biokimiawi dengan alphafetoprotein serum ibu bila
dikombinasikan dengan ultrasonografi meningkatkan tingkat deteksi cacat tabung
saraf menjadi 94-100%.
Sebagian besar AED diketahui mengalami penurunan fungsi dalam kehamilan
karena perubahan farmakokinetik penyerapan, metabolisme, hemodilusi, dan ekskresi
pada kehamilan. Kadar lamotrigin diketahui turun hingga 70% pada kehamilan. 5
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa penurunan tingkat obat dapat
berkontribusi pada perburukan kejang, menyebabkan beberapa dokter untuk
memberikan profilaksis untuk meningkatkan dosis lamotrigin selama kehamilan.
Dokter lain memiliki kekhawatiran tentang potensi bahaya peningkatan dosis obat
dalam kehamilan tanpa bukti manfaat yang jelas atas risiko. Berikut akan ditinjau
mengenai pengobatan AED dan pengaruhnya terhadap kehamilan.

1. Carbamazepine (kategori kehamilan D FDA). Penelitian pada hewan


menunjukkan risiko teratogenisitas yang konsisten, meskipun tingkat risikonya
paling rendah di antara semua AED. Penelitian pada manusia sebagian besar
bersifat observasional dan tidak konklusif, dengan beberapa menunjukkan
peningkatan risiko sementara yang lain menemukan bahwa itu menimbulkan
risiko minimal. Morrow et al pada tahun 2006 menemukan bahwa
carbamazeopine bersifat teratogenisitas terendah.
Karbamazepin masih dianggap sebagai pilihan yang lebih aman di antara anti-
epilepsi yang lain, terutama jika dibandingkan dengan asam valproat.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efek teratogenik dari
carbamazepine berhubungan dengan dosis.

2. Phenytoin (kategori kehamilan D FDA). Teratogenisitas fenitoin telah


diketahui selama hampir 40 tahun. "Fetal hydantoin syndrome" ditemukan
pada 11% bayi baru lahir yang terpapar fenitoin, 30% dari anak-anak tersebut
mengekspresikan beberapa manifestasi klinis. Bayi dengan FHS menderita
IUGR dan kecacatan intelektual. Mereka mungkin juga memiliki
dysmorphism wajah, depresi dan jembatan hidung yang lebar dengan ujung
hidung yang terbalik, lipatan epicanthal yang menonjol, hipoplasia digitalis,
dan osifikasi falang distal yang tidak teratur.

3. Phenobarbitone (kategori kehamilan D FDA). Tingkat komplikasi yang


disebabkan oleh pajanan monoterapi PB selama kehamilan bervariasi antara
2,9% dan 6,5% dalam berbagai studi. Metaanalisis baru-baru ini menunjukkan
tingkat komplikasi yang lebih tinggi secara signifikan, dibandingkan dengan
kontrol. Sebanyak 60 hingga 65% dari malformasi ini berasal dari jantung.

4. Valproate (kategori kehamilan D FDA). Data dari penelitian prospektif telah


mengungkapkan peningkatan risiko malformasi kongenital secara signifikan
pada neonatus yang dilahirkan oleh wanita hamil yang mengonsumsi valproate
selama trimester pertama kehamilan
Jenis cacat lahir yang paling sering dilaporkan adalah sebagai berikut:neural
tube defect, orofacial clefts, penyakit jantung bawaan, hipospadia, dan
abnormalitas rangka tulang.

5. Lamotrigine (kehamilan FDA kategori C). Penelitian pada hewan


menunjukkan bahwa lamotrigine memberikan efek toksik terhadap janin. Data
saat ini pada manusia menunjukkan bahwa lamotrigin kurang teratogenik
daripada kebanyakan AED lain yang umum digunakan, termasuk asam
valproat atau fenitoin. Ada hubungan antara MCM dan penggunaan lamotrigin
ibu, dengan risiko MCM lebih besar dengan dosis lamotrigin yang lebih tinggi

6. Levetiracetam (kategori kehamilan C FDA). Levetiracetam dalam penelitian


hewan menyebabkan toksisitas dan teratogenisitas. Pada manusia, North
American Epilepsy Registry melaporkan 450 paparan selama trimester pertama
dan menunjukkan tingkat MCM 2,4%. Mengingat bukti terbaru, banyak
penulis menganggap levetiracetam jauh lebih aman dan tanpa efek teratogenik
yang signifikan pada janin manusia.
7. Topiramate (kategori kehamilan D FDA). Pada beberapa spesies hewan,
topiramate menunjukkan toksisitas perkembangan, termasuk teratogenisitas,
yang relevan secara klinis. Pada manusia, paparan Topiramate telah
ditunjukkan berbahaya bagi janin pada wanita hamil.

8. Clonazepam (kategori kehamilan D FDA). Clonazepam adalah obat yang


banyak digunakan tidak hanya sebagai obat antiepilepsi. Beberapa penelitian
juga mengungkapkan bahwa itu tidak terkait dengan peningkatan risiko MCM
jika digunakan sebagai monoterapi dan tidak menimbulkan komplikasi
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa risiko akan meningkat secara
signifikan hingga 6% jika digunakan sebagai politerapi

9. Clobazam (FDA kehamilan kategori C). Meskipun data yang terbatas tersedia
sehubungan dengan paparan clobazam selama kehamilan, benzodiazepin,
secara umum, dapat memiliki efek sedatif pada bayi baru lahir

10. Oxcarbazepine (FDA kehamilan kategori C). Vajda et al melaporkan risiko


MCM menjadi 5,9% jika oxcarbazepine digunakan sebagai monoterapi selama
kehamilan. Namun, risiko akan meningkat menjadi 11,1% jika digunakan
sebagai politerapi. Veroniki et al dalam meta-analisis menemukan hubungan
yang tidak signifikan dengan MCM

11. Zonisamide (kategori kehamilan C FDA). Kondo et al meneliti dampak


paparan zonisamide pada kehamilan. Mereka secara prospektif meneliti 26
wanita hamil, 22 di antaranya menggunakan politerapi dan 4 melakukan
monoterapi. Tidak ada MCM yang terdeteksi pada 4 bayi baru lahir yang
terpapar monoterapi. Hanya 2 keturunan (7,7%) pada kelompok politerapi
yang memiliki MCM, dengan 1 kasus anencephaly dan 1 dengan defek septum
atrium. Tinjauan sistematis database Cochrane pada tahun 2016
menyimpulkan bahwa zonisamide tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko
MCM

WWE harus diyakinkan bahwa sebagian besar akan memiliki persalinan dan
persalinan tanpa komplikasi. Diagnosis epilepsi per se bukan indikasi untuk operasi
caesar terencana atau induksi persalinan. Dalam WWE tanpa faktor risiko obstetrik
yang mendasari kejangnya dan terkontrol dengan baik, tidak ada indikasi untuk
persalinan dini. Tidak ada algoritma pada waktu dan mode pengiriman optimal untuk
WWE. 10

2.8.2 Tatalaksana intrapartum


Kejang tonik-klonik terjadi sekitar 1-2% pada WWE dalam persalinan dan
dalam 24 jam setelah persalinan dalam 1-2% selanjutnya. Registri EURAP
melaporkan terjadinya kejang pada 3,5% (60/1956) WWE dalam persalinan Kejang
saat persalinan dapat menyebabkan hipoksia (karena apnea selama kejang), dan
hipoksia janin dan asidosis sekunder akibat uterus hipertonus
Profesional kesehatan harus memastikan bahwa dosis AED tidak terlewatkan
selama persalinan dan melahirkan, dan harus mempertimbangkan alternatif parenteral
dalam kasus muntah berlebihan. Hidrasi yang cukup dan penghilang rasa sakit dengan
epidural akan meminimalkan risiko kejang saat persalinan dan memberikan keamanan
maksimum jika terjadi kejang. Penundaan yang harus dihindari harus diminimalkan
untuk induksi persalinan yang direncanakan atau operasi caesar elektif. Wanita
dengan risiko kejang yang sangat tinggi dapat dikelola dengan benzodiazepine
tambahan seperti clobazam. Profilaksis clobazam dipertimbangkan dalam keadaan
berikut: riwayat kejang baru baru ini, riwayat provokasi kejang baru-baru ini oleh
stres atau kurang tidur, atau riwayat kejang di persalinan sebelumnya. Risiko dari
clobazam, seperti depresi pernapasan pada bayi baru lahir, perlu diseimbangkan
dengan manfaat karena pencegahan kejang. Kejang saat persalinan harus dihentikan
sesegera mungkin untuk menghindari hipoksia ibu dan janin serta asidosis janin.
Benzodiazepin adalah obat pilihan. Setiap kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit
adalah hal yang tidak biasa dan merupakan risiko tinggi berkembang menjadi status
epilepticus. Pengobatan harus dimulai sesegera mungkin sebelum terjadinya status
epileptikus
Tidak ada penelitian tentang manajemen optimal kejang epilepsi pada
persalinan. Selain kehamilan, benzodiazepin adalah obat pilihan dalam status
epilepticus:
● Pada mereka yang memiliki akses intravena, lorazepam diberikan sebagai
dosis intravena 0,1 mg / kg (biasanya bolus 4 mg, dengan dosis lebih lanjut
setelah 10-20 menit). Diazepam 5-10 mg yang diberikan secara perlahan
secara intravena adalah pengobatan alternatif.
● Jika tidak ada akses intravena, diazepam 10-20 mg rektal diulang sekali
setiap 15 menit kemudian jika ada risiko status epileptikus yang berkelanjutan,
atau midazolam 10 mg dalam sediaan buccal.
Jika kejang tidak terkontrol, pertimbangkan pemberian fenitoin atau
fosfenytoin. Dosis fenitoin adalah 10-15 mg / kg dengan infus intravena, dengan dosis
biasa untuk orang dewasa sekitar 1000 mg. Panduan tentang manajemen kejang
tersedia dalam pedoman NICE tentang epilepsi
Jika ada hipertonus uterus persisten, pertimbangkan pemberian agen tokolitik.
Jika denyut jantung janin tidak mulai pulih dalam 5 menit atau jika kejang berulang,
persalinan lebih cepat dapat dipertimbangkan. Hal ini mungkin membutuhkan
pelahiran sesar jika pelahiran per vaginam tidak segera terjadi

2.8.3 Tatalaksana postpartum


WWE dan pengasuh mereka perlu menyadari bahwa meskipun secara
keseluruhan peluang kejang selama dan sesaat setelah melahirkan rendah. WWE
harus disarankan untuk melanjutkan AED mereka secara postnatal. Periode
postpartum adalah periode yang berisiko tinggi untuk memperburuk frekuensi kejang
karena terjadi peningkatan stres, kurang tidur, tidak minum obat dan kecemasan.
Risiko tertinggi pada wanita yang mengalami kejang di bulan sebelum kehamilan
dibandingkan dengan mereka yang bebas kejang selama periode yang sama. Wanita
harus memastikan bahwa mereka mengonsumsi AED mereka seperti yang ditentukan
pada periode postnatal. Mual dan muntah harus diobati dan jika tidak ada asupan oral,
pertimbangan harus diberikan AED parenteral. Kejang yang berhubungan dengan
kurang tidur dapat dikurangi dengan memberi bantuan untuk ibu, terutama untuk
makan malam hari. Jika ibu menyusui, penyimpanan ASI yang dipompa pada siang
hari mungkin bermanfaat. Meninjau aktivitas harian ibu dan mengidentifikasi situasi
berisiko tinggi dapat mengurangi risiko pada ibu dan bayi karena kejang
Pada periode postpartum, perubahan fisiologis yang terjadi pada kehamilan,
seperti peningkatan clearance ginjal dan hati, sehingga wanita-wanita ini beresiko
mendapatkan toksisitas dari dosis AED yang tinggi. Peningkatan dosis AED yang
terjadi pada kehamilan harus secara jelas didokumentasikan dalam catatan, dengan
rencana untuk mengurangi dosis dalam 10 hari pertama setelah melahirkan.
Neonatus yang lahir dari WWE yang menggunakan AED harus dimonitor
untuk efek buruk yang terkait dengan paparan AED di dalam rahim. WWE yang
memakai AED dalam kehamilan harus didorong untuk menyusui. Tingkat transfer
AED ke neonatus melalui plasenta dan ASI bervariasi. Banyak dari AED generasi
lama, seperti fenobarbital, carbamazepine dan fenitoin, dan obat-obatan generasi baru,
seperti lamotrigin, oxcarbazepine dan topiramate memiliki konsentrasi AED yang
ditransfer dari darah ibu melalui tali pusat.
Bayi yang lahir dari ibu yang menggunakan AED mungkin memiliki efek
buruk seperti kelesuan, kesulitan makan, sedasi berlebihan dan gejala withdrawal.

2.8.4 Kontrasepsi
WWE harus ditawarkan kontrasepsi yang efektif untuk menghindari
kehamilan yang tidak direncanakan. Alat kontrasepsi IUD, sistem intrauterin pelepas
levonorgestrel (LNG-IUS) dan injeksi medroksiprogesteron asetat harus
dipromosikan sebagai metode kontrasepsi andal yang tidak terpengaruh oleh AED
yang menginduksi enzim.
Semua metode kontrasepsi dapat ditawarkan kepada wanita yang
menggunakan AED yang tidak menginduksi enzim (mis. Natrium valproat,
levetiracetam, gabapentin, vigabatrin, tiagabine, dan pregabalin). WWE yang
menggunakan AED yang menginduksi enzim harus diberi tahu bahwa AKDR-Cu
adalah pilihan yang lebih disukai untuk kontrasepsi darurat. Pil kontrasepsi darurat
dengan levonorgestrel dipengaruhi oleh AED yang menginduksi enzim. Wanita yang
menggunakan monoterapi lamotrigin dan kontrasepsi yang mengandung estrogen
harus diberitahu tentang potensi peningkatan kejang karena penurunan kadar
lamotrigin. 5
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis epilepsi dalam kehamilan merujuk kepada kriteria yang dikeluarkan oleh
Royal College of Obstetrician and Gynaecologists (RCOG). Pada kasus ini, pasien
datang dengan rujukan kehamilan dengan epilepsi. Keluhan yang sering terjadi pada
pasien yaitu kejang yang didahului dengankeluhan kepala pusing. Terakhir kali pasien
kejang 1 bulan lalu, sebanyak 3 kali dengan durasi antar kejang 5 menit dan durasi 10
menit. Pasien juga memiliki riwayat kejang sejak usia 3 tahun. Hal ini merujuk
kepada tanda dan gejala yang ditemukan pada epilepsi. Pasien pernah menjalani
pemeriksaan EEG 20 tahun yang lalu namun pasien tidak mengetahui hasilnya.
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan gold standard untuk epilepsi. Kelainan
epileptiformis biasanya muncul sebagai paku dengan gelombang tajam, atau lonjakan
gelombang yang berbeda dari normal dan menunjukkan peningkatan kecenderungan
kejang. Aplikasi klinis EEG termasuk diagnosis epilepsi, pemilihan terapi AED,
evaluasi respon terhadap pengobatan, dan lokalisasi untuk pembedahan. Pasien tidak
dilakukan pemeriksaan EEG karena sudah memiliki riwayat kejang berulang tanpa
provokasi sejak kecil. Menurut RCOG, terdapat beberapa manifestasi klinis dari
epilepsi dan pada pasien ini didapatkan kejangnya merupakan tipe tonik klonik.
Kejang tipe tonik klonik merupakan penyumbang terbesar dari kejadian SUDEP
(sudden unexpected death in epilepsy). Saat terjadi kejang, janin berada dalam
keadaan kekurangan suplai oksigen dimana hal ini dapat berlanjut menjadi asfiksia.
Selain itu risiko terhadap ibu yaitu menjadi lebih rentan jatuh sehingga
mengakibatkan trauma terhadap kandungan. Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan
pada pasien ditemukan semua dalam batas normal. Seperti yang disebutkan dalam
algoritma RCOG, salah satu diagnosis banding dari epilepsi dalam kehamilan adalah
eklampsia. Namun pada pasien tidak didapatkan adanya anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang mengarah ke diagnosis hipertensi dalam kehamilan
Tatalaksana
Prinsip dari penatalaksanaan epilepsi mengacu pada risiko terjadinya malformasi
kongenital janin. Selain itu perlu juga diwaspadai terjadinya kejang saat persalinan.
Pasien direncanakan untuk menjalani operasa SC elektif. Menurut rekomendasi dari
RCOG, diagnosis epilepsi bukan indikasi untuk operasi caesar terencana atau induksi
persalinan. Dalam WWE tanpa faktor risiko obstetrik yang mendasari kejangnya dan
terkontrol dengan baik, tidak ada indikasi untuk persalinan dini. Namun karena usia
kehamilan pasien sudah mencapai aterm maka pilihan yang tepat adalah untuk
melahirkan janin. Pada penyakit epilepsi, tantangannya berada pada tatalaksana.
Terdapat beberapa obat yang bersifat teratogenik sehingga pemilihan obat antiepilepsi
harus diwaspadai. Pasien rutin mengonsumsi rutin carbamazepine 2 x 200 mg sejak
kecil. Menurut teori, carbamazepin masih dianggap sebagai pilihan yang lebih aman
di antara anti-epilepsi yang lain, terutama jika dibandingkan dengan asam valproat.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efek teratogenik dari carbamazepine
berhubungan dengan dosis. Penggunaan obat antiepilepsi tidak boleh diberhentikan
secara tiba tiba karena berdampak terhadap janin. Apabila pasien kejang saat akan
melahirkan, maka harus dihentikan sesegera mungkin untuk menghindari hipoksia ibu
dan janin serta asidosis janin. Benzodiazepin adalah obat pilihan. Setiap kejang yang
berlangsung lebih dari 5 menit adalah hal yang tidak biasa dan merupakan risiko
tinggi berkembang menjadi status epilepticus. Pengobatan harus dimulai sesegera
mungkin sebelum terjadinya status epilepticus. Jika kejang tidak terkontrol,
pertimbangkan pemberian fenitoin. Periode postpartum adalah periode yang berisiko
tinggi untuk memperburuk frekuensi kejang karena terjadi peningkatan stres, kurang
tidur, tidak minum obat dan kecemasan sehingga wanita harus dipastikan bahwa
mereka mengonsumsi AED mereka seperti yang ditentukan pada periode postnatal.
Pada periode postpartum, terjadi perubahan fisiologis yang terjadi pada kehamilan,
seperti peningkatan clearance ginjal dan hati, sehingga wanita-wanita ini beresiko
mendapatkan toksisitas dari dosis AED yang tinggi. Peningkatan dosis AED yang
terjadi pada kehamilan harus secara jelas didokumentasikan dalam catatan, dengan
rencana untuk mengurangi dosis dalam 10 hari pertama setelah melahirkan.
Kontrasepsi
Wanita dengan epilepsi harus ditawarkan kontrasepsi yang efektif untuk menghindari
kehamilan yang tidak direncanakan. Alat kontrasepsi IUD dan LNG-IUS merupakan
pilihan utama karena tidak berinteraksi dengan obat anti epilepsi. Menurut
rekomendasi dari RCOG, kontrasepsi berupa pil hormonal dapat mengubah efektifitas
dari beberapa obat anti epilepsy dengan cara meningkatkan metabolisme obat
glucuronidated melalui induksi diphosphate-glucuronosyl transferase (UGTIA4).
DAFTAR PUSTAKA

1. Pennell PB. Pregnancy, Epilepsy, and Women’s Issues. Continuum


(Minneap Minn). 2013;19(3):697–714
2. Sethi, Nitin, et.al. Pregnancy and epilepsy-when you’re managing both. In:
The Journal of Family Practice. 2010
3. Bangar S, Shastri A, Sayeh HE, Cavanna AE. Women with epilepsy :
clinicallry relevant issues. Functional Neurology. 2016
4. Watila MM, Beidab O, Kwaric S et al. Seizure occurrence, pregnancy
outcome among women with active convulsive epilepsy : One year
prospective study. British Epilepsy Association. 2015
5. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Epilepsy in Pregnancy
in Green-top Guideline no 68. RCOG. 2016
6. Bhalla D, Godet B, Cabanac MD et al. Etiologies of epilepsy : a
comprehensive review. Expert-Reviews. 2011
7. Meola G. Hankey’s Clinical Neurology 2nd ed. CRC Press. 2014
8. Battino D, Tomson T, Bonizzoni E, Craig J, Lindhout D, Sabers A, et al.;
EURAP Study Group. Seizure control and treatment changes in
pregnancy: observations from the EURAP epilepsy pregnancy registry.
Epilepsia 2013
9. Louis EK, Cascino GD. Diagnosis of Epilepsy and Related Episodic
Disorders. Review Article Continuum. 2016
10. Khuda I, Alijaafari D. Epilepsy in pregnancy : A comprehensive literature
review and suggestions for Saudi practitioners. Neurosciences. 2018

Anda mungkin juga menyukai