B. Epidemiologi
Disentri paling sering terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 5
tahun. Disentri muncul biasanya setelah terjadi bencana alam
misalnya, gempa bumi, banjir, atau hidup yang tidak higienis kondisi
yang mengakibatkan kepadatan penduduk dan sanitasi yang buruk.
C. Etilogi
1. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Shigella, yaitu : S. Sonnei,
S. Boydii, S.flexneri, dan S.dysenteriae (IDI, 2016).
2. Amoeba : Yersinia enterocolica, Campylobacter jejuni, Salmonella
sp., E. Coli, Entamoeba hystolitica (IDI, 2016).
3. Virus : Rotavirus, calicivirus, astrovirus, norovirus, dan adenovirus.
4. Protozoa : Balantidiasis, Giardiasis, dan cryptosporidiosis.
5. Penyebab non infeksi, antara lain invaginasi, alergi susu sapi,
defisiensi vitamin K, penyakit Crohn, colitis ulseratif (Sudoyo, A.W.,
et al., 2014).
D. Faktor resiko
Kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang buruk.
F. Manifestasi Klinis
1. Disentri basiler : diare encer tanpa darah dan keluhan tenesmus
dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah
permulaan sakit diare dengan darah dan lendir pada feses.
Frekuensi BAB sering > 40 kali/hari. Demam pada hari ketiga,
kram abdomen dan nyeri pada rektum. Keluhan biasanya muncul
3-7 hari. Bila kronis terdapat penurunan berat badan, serta tanda
dehidrasi dan sesekali muntah (Wyllie, 2011) .
2. Disentri amoeba : gejala lebih lama muncul dari disentri basiler.
Keluhan yang muncul biasanya feses encer dengan darah dan
lendir, tenesmus, demam, kolik abdomen, frekuensi BAB < 10
kali/hari (Wyllie, 2011).
3. Disentri virus, disentri parasit : onset keluhan cepat, berlangsung
beberapa jam sedangkan disentri parasit berangsur-angsur
Keluhan yang muncul yaitu : diare dengan feses berdarah, kram
perut, mual, muntah (Wyllie, 2011).
G. Pemeriksaan fisik
Ditemukan febris, nyeri perut pada penekanan, ada tanda
dehidrasi, dan tenesmus. Lakukan juga pemeriksaan colok dubur,
untuk memastikan keutuhan anus, spingter dan tanda keganasan
(Muttaqin, Sari, 2011).
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan kultur feses dan darah rutin (IDI,2016).
H. Penegakkan diagnosis
Bila ditemukan feses cair dengan darah dan lendir serta pada
pemeriksaan feses ditemukan shigella dan amoeba maka dinyatakan
disentri (Papadakis, McPhee, 2016).
I. Penatalaksanaan klinis
1. Farmakoterapi
Jika penyebabnya Shigella dapat diberikan Kotrimoksazol
20mg/kgbb atau 2x 960mg/hari PO dua kali sehari, Sefiksim
8mg/kgbb atau 400 mg/hari selama 5 hari, siprofloksasin 2x
500mg/hari selama 3 hari, azitrimisin 1 gr dosis tunggal (IDI,
2016).
Jika penyebabnya amoeba berikan metronidazole 50 mg/Kgbb
dibagi 3 dosis selama 5 hari atau metronidazole 500 mg 3x/hari
selama 3-5 hari (Muttaqin, Sari, 2011).
Zink 10 mg 2x/hari.
2. Nonfarmakoterapi (Muttaqin, Sari, 2011).
Lanjutkan pemberian makan dengan makanan lunak
Tangani dehidrasi
Pemantauan ketat selama 24-48 jam
Evaluasi tanda perbaikan (demam hilang, BAB berkurang,
nafsu makan meningkat).
Tirah baring.
J. Prognosis
Prognosis tergantung pada kondisi pasien saat datang,
ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya, biasanya dubia ad
bonam. Keluhan diare dan kram perut biasanya akan menetap sampe
beberapa hari dan minggu setelah pengobatan (IDI, 2016).
K. Upaya preventif
Lebih menjaga kebersihan makanan dan lingkungan serta
konsumsi makan sehat dan jaga kesehatan sehingga imun tubuh
terjaga.
II. Divertikulosis
A. Definisi
Divertikular adalah suatu kelainan dimana terjadi penonjolan dan
pelebaran dari dinding saluran gastrointestinal (Sudoyo, et al., 2014).
Divertikulosis adalah ditemukan satu atau lebih divertikel pada kolon.
Menurut Muttaqin dan Sari (2011) divertikulosis adalah terbentuknya
kantong atau pelebaran keluar dari dinding usus besar terutama pada
bagian kolon sigmoid.
B. Epidemiologi
Banyak ditemukan pada usia > 40 tahun atau di usia lansia,
diantara laki-laki dan perempuan lebih banyak terjadi pada laki-laki
dengan obesitas diusia <50 tahun sedangkan usia 50-70 tahun
banyak terjadi pada perempuan (Sudoyo, et al., 2014).
F. Pemeriksaan fisik
Terlihat kesakitan dan lemah, nyeri tekan abdomen, peningkatan
suhu. Pada colok dubur cari apakah ada nyeri tekan, penyumbatan
atau darah, keutuhan anus, spingter ani serta tanda keganasan. Pada
perkusi ditemukan nyeri ketuk dan timpani, serta terdapat penurunan
bising usus pada auskultasi (Muttaqin, Sari, 2011).
H. Penegakan diagnosis
Didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
I. Tatalaksana (Sudoyo, et al., 2014)
1. Farmakoterapi
Antibiotik : rifaximin, pemeridin,
Antispasmodik : propantelin bromide dan oksifensiklimin.
2. Nonfarmakoterapi
Meningkatkan diet serat, sayur, dan buah-buahan. Tambahan
serat 30-40 gr/hari
Kurangi konsumsi daging dan lemak
Perbanyak cairan
Tindakan operatif
J. Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit, adanya komplikasi,
dan cepatnya penanganan. Pasien yang lebih muda mungkin memiliki
penyakit yang lebih parah karena keterlambatan diagnosis dan
pengobatan. Untuk pasien yang mengalami imunosupresi memiliki
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi (IDI, 2016).
B. Epidemiologi
Ulkus peptikum lebih banyak terjadi pada orang dengan sosial
ekonomi rendah dan pada laki-laki usia lanjut (Sudoyo, et al., 2014).
C. Etiologi (Muttaqin, Sari, 2011)
1. Ketidakseimbangan sekresi asam lambung dan pepsin (faktor
defensive)
2. Infeksi H. Pylori
3. Peningkatan sekresi asam
4. Konsumsi obat : indometasin, ibuprofen, asam salisilat.
5. Stress fisik : syok, luka bakar, sepsis, trauma
6. Refluks usus lambung
E. Pemeriksaan fisik
Lakukan colok dubur cari apakah ada nyeri tekan, penyumbatan
atau darah, keutuhan anus, spingter ani serta tanda keganasan
(Muttaqin, Sari, 2011). Serta cari tanda berikut :
1. Nilai sirkulasi
2. Cari penyakit penyerta seperti penyakit hati kronis
3. Massa abdomen
4. Nyeri abdomen
G. Penegakan diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
H. Tatalaksana
1. Farmakoterapi
Injeksi esomeprazole atau pantoprazole 80 mg bolus (Imro’ati,
Maimunah, 2013)
Oral omeprazole, esomeprazole 40 mg (Imro’ati, Maimunah,
2013)
Octreotide 100 mg bolus (Imro’ati, Maimunah, 2013)
Antasida
Terapi dengan H. Pylori bisa diberi PPI 2x1 + amoksisilin 2x100
+ klaritomisisn 2x500mg atau PPI 2x1 + metronidazole 3x500 mg
+ klaritomisin 2x500 mg (Imro’ati, Maimunah, 2013).
2. Nonfarmakoterapi (Imro’ati, Maimunah, 2013)
Tirah baring
Diet makanan lunak
Atasi dehidrasi
Stabilkan hemodinamik
Pemasangan NGT : untuk memudahkan endoskopi
Tindakan operasi
H. Prognosis
Prognosis pada kondisi ini adalah dubia, namun tidak sampai
mengancam jiwa.
B. Epidemiologi
Kanker kolon merupakan penyebab kematian ketiga didunia.
Kanker kolon banyak terjadi pada usia 65 tahunan, antara laki-laki dan
perempuan tidak ada perbedaan kejadian.kanker kolon banyak terjadi
pada orang dengan ekonomi rendah (Sudoyo, et al, 2014).
E. Pemeriksaan fisik
Didapatkan distensi abdomen, perubahan bentuk dan warna feses.
Feses berbentuk seperti pita dan berwarna hitam, nyeri tekan
abdomen dan timpani pada perkusi. Lakukan colok dubur cari apakah
ada nyeri tekan, penyumbatan atau darah, keutuhan anus, spingter
ani serta tanda keganasan (Muttaqin, Sari, 2016) .
F. Pemeriksaan penunjang (Sudoyo, et al, 2014).
1. Pemeriksaan darah rutin
2. Enema barium
3. Proktosigmoidoskopi
4. Kolonoskopi
5. CT kolograpi
I. Prognosis
Prognosis kanker bergantung dengan stadium penyakit.
OLEH :
WIDYA PUSPITA SARI
TUTORIAL 3
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2016