Anda di halaman 1dari 8

Perilaku politik/pemilih

A. Perilaku Politik
Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau
kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti ( 1992 : 131 ), mengemukakan bahwa
perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan
keputusan politik.
Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum,
disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi,
perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya.
Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan
keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya.
Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan,
informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara
tertentu ( Fadillah Putra, 2003 : 200 ). Sedangkan sikap politik adalah merupakan hubungan
atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk
menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku
masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan
kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang
menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau
ketidak stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak
pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
B. Perilaku pemilih
Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya
yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang perilaku memilih
dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan ( Fadillah
Putra , 2003 : 201 ). Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam
membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat
masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah
hingga yang teratas. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh
norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama,
kelas ( status sosial ), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang
cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan
terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang
bersangkutan (Gaffar, Affan, 1992 : 43 ).
Kelemahan mazhab ini antara lain;
a. Sulitnya mengukur indikator secara tetap tentang kelas dan tingkat pendidikan karena
kemungkinan konsep kelas dan pendidikan berbeda antara Negara satu dengan lainnya;
b. Norma sosial tidak menjamin seseorang menentukan pilihannya tidak akan menyimpang.
Mazhab Michigan menekankan pada faktor psikologis pemilih artinya penentuan pemilihan
masyarakat banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya
yang merupakan akibat dari proses sosialisasi politik. Sikap dan perilaku pemilih ditentukan
oleh idealisme, tingkat kecerdasan, faktor biologis, keinginan dan kehendak hati.

1. Karakteristik pemilih
1.1.Terdapat beberapa daerah/wilayah yang merupakan kumpulan komunitas masyarakat yang
terbentuk atas dasar sistim kekerabatan dan paguyuban berdasarkan keturunan ( gemeinschaft
by blood ), dan yang menjadi pemuka masyarakat tersebut berasal dari keluarga / kerabat
asli keturunan dari orang yang dipandang terkemuka dari segi sosial ekonomi atau terkemuka
karena ketokohannya, sehingga warga masyarakat seringkali menyandarkan diri dan sikapnya
terhadap pemuka/tokoh masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan adanya dominasi
ketokohan yang berperan untuk menentukan sikap dan perilaku serta orientasi warga
bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Paternalisme sikap dan perilaku warga
masyarakat secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya tidak pernah berubah,
meskipun terdapat berbagai perubahan dalam kondisi sosial ekonomi, namun hal tersebut
tidak menjadi faktor yang mempengaruhi adanya perubahan sosial budaya masyarakat
setempat. Kecenderungan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam
berbagai kehidupan sosial ekonomi, sosial politik maupun sosial budaya, terbatas pada
adanya sistem ide atau gagasan dari pemuka masyarakat untuk memodifikasi sistem sosial
dan sistem budaya yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat disesuaikan dengan
kondisi dan dinamika masyarakat. Faktor ini menjadi kendala bagi kandidat atau calon
legislatif untuk menerobos masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut dalam rangka
sosialisasi atau sekedar silaturahmi. Jika calon legislatif berhasil masuk ke dalam komunitas
masyarakat tersebut, hanya sebatas etika pergaulan masyarakat yaitu menerima setiap tamu
yang bersilaturahmi, tetapi tidak akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kandidat/calon
legislatif yang bersangkutan.
1.2. Ikatan primordialisme keagamaan dan etnis menjadi salah satu alasan penting dari
masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas calon legislatife. Jika seorang kandidat
memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme
masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional
tersebut menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Ikatan
emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim kekerabatan semata, akan tetapi
agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya,
dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal
komunitas masyarakat tertentu. Hal tersebut terlihat pada basis komunitas masyarakat di
daerah pemilihan, daerah/wilayah atau kantong-kantong basis massa yang ditandai dengan
adanya simbol-simbol partai yang memberikan gambaran dan sekaligus sebagai pertanda
bahwa di wilayah tersebut merupakan kantong basis massa partai tertentu.
1.3.Komunitas masyarakat yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional, pragmatis, tidak
mudah untuk dipengaruhi, terkadang memiliki sikap ambivalen, berorientasi ke materi. Sikap
dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih dalam proses politik lebih besar, sehingga
tingkat kesadaran dan partisipasi politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu
yang bersangkutan, tidak mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme
tertentu. Kondisi sosial masyarakat pada strata demikian diperlukan adanya kandidat / calon
yang memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis ( memiliki kemampuan
untuk mudah beradaptasi dengan kelompok masyarakat dan mampu mempengaruhi sikap dan
orientasi komunitas masyarakat tersebut), atau popularitas dan reputasi tinggi pada kelompok
masyarakat tersebut. Jika hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat
terbuka perolehan suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut.
2. Kandidat yang diharapkan
Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang diinginkan
pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas seberapa besar
kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok pemilih. Seberapa besar
syarat-syarat kandidat terpenuhi secara umum seperti ; kapabilitas intelektual, kapabilitas
kepemimpinan, kapabilitas etika dan moral. Kejelasan tentang visi dan misi serta program
yang disampaikan kandidat, apakah pemilih memahami akan visi dan misi dan program yang
disampaikan/ dilakukan seorang kandidat sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan
masyarakat banyak atau tidak. Jika hal tersebut di atas tidak dipenuhi oleh seorang kandidat,
maka pemilih pada suatu saat akan beralih sikap dan orientasinya ke kandidat lain.
Isu Strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan dijawab oleh
seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih rasional dalam
menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri masih terdapat pemilih yang
emosional dan tradisional. Figuritas dan popularitas kandidat di tengah masyarakat menjadi
moment penting untuk dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pendidikan dan Kesadaran Politik bagi Siswa


Dalam artian umum, pendidikan politik adalah cara bagaimana suatu bangsa mentransfer
budaya politiknya dari generasi yang satu ke generasi kemudian (Panggabean, 1994).
Sedangkan budaya politik adalah keseluruhan nilai, keyakinan empirik, dan lambang
ekspresif yang menentukan terciptanya situasi di tempat kegiatan politik terselenggara.
Pendidikan politik sebagai proses penyampaian budaya politik bangsa, mencakup cita-cita
politik maupun norma-norma operasional dari sistem organisasi politik yang berdasarkan
nilai-nilai Pancasila. Pendidikan politik perlu ditingkatkan sebagai kesadaran dalam
berpolitik akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, sehingga siswa diharapkan ikut
serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan.
Pendidikan politik mengupayakan penghayatan atau pemilikan siswa terhadap nilai-nilai
yang meningkat dan akan terwujud dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari dalam hidup
kemasyarakatan termasuk hidup kenegaraan serta berpartisipasi dalam usaha-usaha
pembangunan sesuai dengan fungsi masing-masing. Dengan kata lain pendidikan politik
menginginkan agar siswa berkembang menjadi warga negara yang baik, yang menghayati
nilai-nilai dasar yang luhur dari bangsanya dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya di
dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Pendidikan dalam sistem yang demokratis menempatkan posisi yang sangat sentral. Secara
ideal pendidikan dimaksudkan untuk mendidik warga negara tentang kebajikan dan tanggung
jawab sebagai anggota civil society. Pendidikan dalam artian tersebut merupakan suatu
proses yang panjang sepanjang usia seseorang untuk mengembangkan diri. Proses tersebut
bukan hanya yang dilakukan dalam lingkungan pendidikan formal seperti sekolah tetapi juga
meliputi pendidikan dalam arti yang sangat luas melibatkan keluarga dan juga lingkungan
sosial. Lembaga-lembaga pendidian harus mencerminkan proses untuk mendidik warga
negara ke arah suatu masyarakat sipil yang kondusif bagi berlangsungnya demokrasi dan
sebaliknya harus dihindarkan sejauh mungkin dari unsur-unsur yang memungkinkan
tumbuhnya hambatan-hambatan demokrasi (Riza Noer Arfani,1996: 64). Namun demikian di
samping dibicarakan masalah kesadaran berpolitik, maka perlu pemahaman pula apa yang
dimaksud dengan pengertian budaya politik, menurut Miriam Budiardjo konsep budaya
politik ini berdasarkan keyakinan, bahwa setiap politik itu didukung oleh suatu kumpulan
kaedah, perasaan dan orientasi terahadap tingkah laku politik (dalam masalah Kenegaraan:
1982:17)

B. Kebudayaan Remaja/Siswa sebagai Pemilih Pemula dalam Pilkada


Siswa atau remaja pada umumnya memiliki suatu sistem sosial yang seolah-olah
menggambarkan bahwa mereka mempunyai “dunia sendiri”. Dalam sistem remaja ini
terdapat kebudayaan yang antara lain mempunyai nilai-nilai, norma-norma. Sikap serta
bahasa tersendiri yang berbeda dari orang dewasa. Dengan demikian remaja pada umumnya
mempunyai persamaan dalam pola tingkah laku, sikap dan nilai, dimana pola tingkah laku
kolektif ini dapat berbeda dalam beberapa hal dengan orang dewasa (Prijono, 1987).
Nilai kebudayaan remaja antara lain adalah santai, bebas dan cenderung pada hal-hal yang
informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan
dihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok sebaya atau “peer group” adalah
penting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi seorang remaja perlu mempunyai
kelompok teman sendiri dalam pergaulan. Masa pubertas merupakan tahap permulaan
perkembangan perasaan sosial. Pada masa ini timbul keinginan remaja untuk mempunyai
teman akrab dan sikap bersatu dengan teman-temannya, sedangkan terhadap orang dewasa
mereka menjauhkan diri. “Peer culture” ini berpengaruh sekali selama masa remaja sehingga
nilai-nilai kelompok sebaya mempengaruhi kelakuan mereka. Seorang remaja membutuhkan
dukungan dan konsensus dari kelompok sebayanya. Dalam hal ini setiap penyimpangan nilai
dan norma kelompok akan mendapat celaan dari kelompoknya, karena hubungan antara
remaja dan kelompoknya bersifat solider dan setia kawan. Pada umumnya para remaja atas
kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan persamaan dalam minat, kesenangan atau
faktor lain.
Berkenaan dengan kapasitas kebudayaan remaja/siswa tersebut, setidaknya dapat dijadikan
gambaran penting upaya melihat peta demokrasi dan kesadaran politik kalangan remaja di
lingkungan persekolahan sebagai bagian pemilih pemula dalam pilkada. Menurut Bambang,
ada tiga tingkat materi yang perlu ditanamkan dalam kurikulum pendidikan berkaitan dengan
sosialisasi pemilu melalui kurikulum pendidikan. Ketiga materi tersebut adalah penanaman
hakikat pemilu yang benar sehingga memunculkan motif yang kuat bagi pemilih pemula
untuk mengikuti pemilu, pemahaman mengenai sistem pemilu, dan pemahaman tentang
posisi tawar politik. (seminar "Menggagas Partisipasi Aktif Guru dalam Peta Politik
Indonesia" di Bandung 5 Februari 2004).
Pemahaman perilaku politik (Political Behavior) yaitu perilaku politik dapat dinyatakan
sebagai keseluruan tingkah laku aktor poltik dan warga negara yang telah saling memiliki
hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah, dan antara
kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan
keputusan politik. Sedangkan menurut Almond dan Verba yang dimaksud budaya politik
(Political Culture) merupakan suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sitem
politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di
dalam sistem itu. Warga negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan simbol-
simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki (Budiyanto, 2004:
103).

C. Pendidikan Demokrasi di Lingkup Sekolah


Pendidikan Demokrasi adalah esensinya Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). PKN itu
sendiri bagian dari Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS). PIPS memiliki tiga tradisi
seperti dikatakan oleh Barr, Barth dan Shermis (1937) dalam Somantri (2001:81) “The three
social studies traditions yaitu: (a) Social Studies as Citizenship Transmission (Civic
Education), (b) Social Studies as Social Science, (c) Social Studies as Reflective Inquiry”.
Kaitan dengan tradisi pertama yaitu “social studies as citizenship transmission”,
menunjukkan bahwa PIPS sebagai Citizenship Education atau Civic Education atau
Pendidikan Kewarganegaraan (Kewarganegaraan). Kewarganegaraan sebagai wahana utama
dan esensi dari pendidikan demokrasi (CICED, 1999). Dengan kata lain bahwa pendidikan
demokrasi sebagai muatannya, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai kendaraannya,
sedangkan PIPS sebagai jembatan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang bertujuan pendidikan.
Kaitannya dengan tradisi kedua “social studies as social science” atau PIPS sebagai ilmu-
ilmu sosial. Secara logika pendidikan demokrasi itu sendiri merupakan turunan dari Ilmu
Politik yang berada pada rumpun ilmu-ilmu sosial. Artinya Kewarganegaraan merupakan
pendidikan politik yang bertujuan pendidikan yang ditopang oleh ilmu-ilmu sosial secara
interdisipliner, walaupun terjadi tarik menarik antara PIPS perlu diajarkan secara terpadu dan
secara terpisah. Akhirnya muncul PIPS diajarkan di Sekolah Dasar secara Terpadu, di
Diperkuat oleh Shirley Engle pada tahun 1960 menerbitkan sebuah buku yang berjudul
“Decision Making: The Heart of Social Studies Instruction”. Yang secara tegas dan
merefleksikan gagasan John Dewey tentang pendidikan berpikir kritis.Dengan kata lain
pembelajaran demokrasi di lingkup sekolah dapat: meningkatkan kemampuan siswa
menganalisis isu-isu demokrasi yang muncul di masyarakat, menambah kemampuan nalar
siswa dalam pengetahuan kemasyarakatan (sicio-scientific reasoning), mengembangkan
keterampilan berpikir (higher-order thinking skill), termasuk memecahkan masalah,
mengambil keputusan, membuat/menganalisis dan kritis, mengembangkan kesadaran peran
siswa dalam proses dari perubahan demokrasi, membantu siswa mengakui kompleksnya dari
membuat keputusan masalah demokrasi, menyediakan kesempatan siswa untuk menguji
kemungkinan dampak demokrasi bagi kehidupan dan perubahan masyarakat.

D. School-Based Democracy Education Model


Pendidikan demokrasi yang baik adalah bagian dari pendidikan yang baik secara umum.
Berkenan dengan hal tersebut disarankan Gandal dan Finn (Saripudin, 2001) perlu
dikembangkan model sekolah berbasis pendidikan demokrasi. terdapat 4 (empat) alternatif
bentuk dari model ini.
1. Perhatian yang cermat diberikan pada landasan dan bentuk-bentuk demokrasi
2. Adanya kurikulum yang dapat memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi bagaimana ide
demokrasi telah diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk kelembagaan dan praktik di berbagai
belahan bumi dalam berbagai kurun waktu. Dengan demikian siswa akan mengetahui dan
memahami kekuatan dan kelemahan demokrasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu.
3. Adanya kurikulum yang memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi sejarah demokrasi di
negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang
diterapkan di negaranya dalam berbagai kurun waktu.
4. Tersedianya kesempatan bagi siswa untuk memahami kondisi demokrasi yang diterapkan
di negara-negara di dunia, sehingga para siswa memiliki wawasan yang luas tentang aneka
ragam sistem sosial demokrasi dalam berbagai konteks.
Selain dari uraian tersebut di atas agar dapat diupayakan dalam bentuk kegiatan ekstra
kurikuler yang bernuansa demokrasi serta membudayakan budaya demokratis dan
menjadikan sekolah sebagai budaya lingkungan yang demokratis serta perlunya
keterlibatan/penglibatan siswa dalam kegiatan masyarakat. Sanusi (Saripudin.U., 2001) juga
mengemukakan perlu dikembangkannya pendidikan demokrasi yang bersifat
multidimensional yang memungkinkan para siswa dapat mengembangkan dan menggunakan
seluruh potensinya sebagai individu dan warga negara dalam masyarakat bangsa-bangsa yang
demokratis.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah materi Pendidikan kewarganegaraan dalam paradigma
barunya yaitu mengebangkan pendidikan demokrasi mengemban tiga fungsi pokok, yakni
mengembangkan kecerdasan warganegara (civics intelligence), membina tanggung jawab
warganegara (civics responbility) dan mendorong partisipasi warganegara (civic
participation). Kecerdasan warganegara yang dikembangkan untuk membentuk warganegara
yang baik bukan hanya dalam dimensi rasional melainkan juga dalam dimensi spiritual,
emosional dan sosial sehingga paradigma baru pendidikan kewaganegaraan bercirikan
multidimensional.

E. Karakteristik Tata Aturan Pilkada Daerah Penelitian


Pilkada, meskipun di dalam undang-undang 32 tahun 2004 yang terdapat dalam pasal 56-119
tidak memberikan definisi yang tegas tentang pilkada, tetapi menurut hemat penulis definisi
pilkada dapat kita definisikan, bahwa pilkada adalah singkatan dari pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah (Gubernur dan Wakilnya di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota
dan Wakilnya ditingkat kab/kota), pilkada dapat juga diartikan sebagai proses pergantian
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secarah sah diakui hukum, serta momentum bagi
rakyat untuk secara langsung menentukan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah
sesuai dengan aspirasi/keinginan rakyat. Dalam hal ini pilkada, meskipun salah satu produk
negara yang berlandaskan hukum (Recht Staat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtstaat) namun bukan berarti pilkada merupakan parameter yang mutlak dalam rangka
memberikan suatu penilaian apakah momentum pilkada benar-benar demokratis, disisi lain
pilkada merupakan demokrasi yang prosedural dan belum menyentuh asas demokrasi yang
substansial, yakni lahirnya kualitas kepemimpinan yang bersih, jujur, dan lain sebagainya.
Keterlibatan masyarakat dalam momentum pilkada langsung menjadi landasan dasar bagi
bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala kualitas partisipasi
masyarakat diabaikan. Karena itu, proses demokratisasi yang sejatinya menegakkan
kedaulatan rakyat menjadi semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik
tertentu. Format demokrasi pada aras lokal (pilkada) meniscayakan adanya kadar dan derajat
kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Apabila demokrasi yang totalitas bermetamorfosis
menjadi kongkrit dan nyata, atau semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat,
maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga sebaliknya, semakin
kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat maka semakin rendah kadar dan kualitas
demokrasi tersebut.
Pentingnya pendidikan demokrasi memungkinkan setiap warga negara dapat belajar
demokrasi melalui praktek kehidupan yang demokratis, dan untuk membangun tatanan dan
praksis kehidupan demokrasi yang lebih baik di masa mendatang (Saripudin, 2001). Dalam
sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah sejak tahun 1945
mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan dimaksudkan untuk mencari bentuk
yang dapat mencerminkan aspirasi masyarakat dan hingga sejak reformasi lahirlah UUNo. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan tidak lama kemudian disempurnakan lagi oleh
UU No. 3 Tahun 2004. Dari dua perubahan terakhir mengalami perubahan yang cukup
mendasar dibandingkan dengan peraturan perundangan pemerintahan daerah sebelumnya.
Mencermati berbagai perubahan dan penyempurnaan perundang-undangan pemerintahan
yang pernah terjadi, jika belum sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka yang perlu
dipertanyakan kemudian mungkin sistem perundang-undangan ataukah memang munkin dari
tingkat kesadaran masyarakat sebagian beum memahaminya. Berikut disesebutkan “Kepala
Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil” Pasal 56 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudaian diatur pendukung peraturan perundangan lain
seperti Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 & Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2005
tentang Pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.

Anda mungkin juga menyukai