Anda di halaman 1dari 14

TUGAS BIOLOGI LAUT

“Hubungan Antara Salinitas, Panjang Pantai, dan Kadar Garam”

OLEH
FENI SUSANTI
17/412835/PN/15157
MANAJEMEN SUMBERDAYA AKUATIK

DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
TUGAS BIOLOGI LAUT

“Hubungan Antara Salinitas, Panjang Pantai, dan Kadar Garam”

Feni Susanti

17/412835/PN/15157

Manajemen Sumberdaya Akuatik

 Hubungan Antara Salinitas, Panjang Pantai, dan Kadar Garam

Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga
dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar
danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan
sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari
0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila
konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine.

Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas

1) Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka
salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air
lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.
2) Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air
laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun
salinitas akan tinggi.
3) Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang
bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya
makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.

Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%.
Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari
air laut umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%. Walaupun
kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda
kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk
Bothnia, keduanya bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana
suhu tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari
sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.
Tabel 1. Salinitas air berdasarkan persentase garam terlarut

Salinitas Air Berdasarkan Persentase Garam Terlarut

Air Tawar Air Payau Air Saline Brine

< 0.05 % 0.05 – 3 % 3–5% >5%

Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal


dari organisme hidup, dan gas-gas yang terlarut. Garam-garaman utama yang terdapat dalam
air laut adalah klorida (55,04%), natrium (30,61%), sulfat (7,68%), magnesium (3.69%),
kalsium (1,16%), kalium (1,10%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat,
bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama dari garam-garaman di laut
adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal
(hydrothermal vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air
laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi
maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya
serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat
ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan
tekanan osmosis.

Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat air laut. Karena mengandung
garam, titik beku air laut menjadi lebih rendah daripada 0 0C (air laut yang bersalinitas 35
%o titik bekunya -1,9 0C), sementara kerapatannya meningkat sampai titik beku (kerapatan
maksimum air murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini sangat penting sebagai penggerak
pertukaran massa air panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang dingin terbentuk
dan tenggelam ke dasar sementara air dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat ke atas.
Sedangkan titik beku dibawah 00 C memungkinkan kolom air laut tidak membeku. Sifat air
laut yang dipengaruhi langsung oleh salinitas adalah konduktivitas dan tekanan osmosis.

Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan bahwa halida-
halida terutama klorida adalah anion yang paling banyak dari elemen-elemen terlarut. Dalam
oseanografi, halinitas biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam “bagian perseribu”
(parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram garam untuk
setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan
didasarkan pada rasio konduktivitas elektrik sampel terhadap “Copenhagen water”, air laut
buatan yang digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978, oseanografer
meredifinisikan salinitas dalam Practical Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio
konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar. Rasio tidak memiliki unit,
sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram garam per liter larutan.

Teori Asal-Usul Garam-Garam di laut

Mula-mula diperkirakan bahwa zat-zat kimia yang menyebabkan air laut asin berasal
dari darat yang dibawa oleh sungai-sungai yang mengalir ke laut, entah itu dari pengikisan
batu-batuan darat, dari tanah longsor, dari air hujan atau dari gejala alam lainnya, yang
terbawa oleh air sungai ke laut. Jika hal ini benar tentunya susunan kimiawi air sungai tidak
akan berbeda dengan susunan kimiawi air laut. Namun tabel 2 menunjukkan bahwa ada
perbedaan besar dalam susunan kimiawi kedua macam air tersebut. Jadi dugaan itu tidak
benar. Lalu dari mana sebenarnya asal garam-garam tersebut.

Menurut teori, zat-zat garam tersebut berasal dari dalam dasar laut melalui proses
outgassing, yakni rembesan dari kulit bumi di dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan
dasar laut. Bersama gas-gas ini, terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan bersama-sama
garam-garam ini merembes pula air, semua dalam perbandingan yang tetap sehingga
terbentuk garam di laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang masa. Artinya kita
tidak menjumpai bahwa air laut makin lama makin asin.

Zat-zat yang terlarut yang membentuk garam, yang kadarnya diukur dengan istilah
salinitas dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni:

Konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg.

Gas terlarut : CO2, N2, dan O2.

Unsur Hara : Si, N, dan P.

Unsur Runut : I, Fe, Mn, Pb, dan Hg.

Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat terlarut dalam air laut,
sedangkan sisanya 0,3% terdiri dari ketiga kelompok zat lainnya. Akan tetapi meskipun
kelompok zat terakhir ini sangat kecil persentasenya, mereka banyak menentukan kehidupan
di laut. Sebaliknya kepekatan zat-zat ini banyak ditentukan oleh aktivitas kehidupan di laut.
Selain zat-zat terlarut ini, air juga mengandung butiran-butiran halus dalam suspense.
Sebagian dari zat ini akhirnya terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar laut dan sisanya
diurai oleh bakteri menjadi zat-zat hara yang dimanfaatkan tumbuhan untuk fotosintesis.

Tabel 2. Perbedaan kandungan garam dan ion utama antara air laut dan air sungai

NAMA UNSUR % jumlah berat seluruh gram

AIR LAUT AIR SUNGAI

Klorida 55,04 5,68

Natrium 30,61 5,79

Sulfat 7,68 12,14

Magnesium 3,69 3,41

Kalsium 1,16 20,29

Kalium1,10 2,12

Bikarbonat 0,41 –
Karbonat – 35,15

Brom 0,19 –

Asam borak 0,07 –

Strontium 0,04 –

Flour 0,00 –

Silika – 11,67

Oksida – 2,75

Nitrat – 0,90

2.3 Sebaran Salinitas di Laut

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan, aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar kuala dapat
mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air
tawar yang relatif lebih ringan dan air laut yang lebih berat, juga pengadukan air sangat
menentukan. Beberapa kemungkinan ditunjukkan secara diagramatis pada gambar 1. Pertama
adalah perairan dengan stratifikasi salinitas yang sangat kuat, terjadi di mana air tawar
merupakan lapisan yang tipis di permukaan sedangkan di bawahnya terdapat air laut. Ini bisa
ditemukan di depan muara sungai yang alirannya kuat sedangkan pengaruh pasang-surut
kecil. Nelayan atau pelaut di pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat kehabisan air tawar
kadang-kadang masih dapat menyiduk air tawar di lapisan tipis teratas dengan menggunakan
piring, bila berada di depan muara sungai besar.

Kedua, adalah perairan dengan stratifikasi sedang. Ini terjadi karena adanya gerak
pasang-surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air hingga terjadi
pertukaran air secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir keluar sedangkan air
laut merayap masuk dari bawah. Antara keduanya terjadi percampuran. Akibatnya garis
isohalin (=garis yang menghubungkan salinitas yang sama) mempunyai arah yang condong
ke luar. Keadaan semacam ini juaga bisa dijumpai di beberapa perairan estuaria di Sumatra.

Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di
lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih
bergantung intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai
ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di
bawahnya terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam
yang menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya.

Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin
tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa air
ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan
salinitas minimum dengan metode inti (core layer method).
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga mendekati kutub)
rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah
subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS), salinitas
di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di
kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah
secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan
lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).

2.3.1 Dinamika Salinitas di Daerah Estuaria

Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup yang berhubungan bebas dengan
laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Estuaria
dapat terjadi pada lembah-lembah sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan laut
yang naik (misalnya pada zaman es mencair) atau pun karena turunnya sebagian daratan oleh
sebab-sebab tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada muara-muara sungai yang sebagian
terlindungi oleh beting pasir atau lumpur.

Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang
khas, dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:

(1) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri
fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.

(2) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan
khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.

(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan
penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.

(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya
aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.

2.3.2 Sifat-sifat Ekologis

Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi.
Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu. Secara umum salinitas yang
tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara
yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis
vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di
lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang
lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji
garam’ (salt wedge estuary).
Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya
dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat
rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang
lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat
mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan
mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya
berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.

Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-
perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh
geomorfologi dasar estuaria. Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat
berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat
lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari
sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena
pertukaran partikel garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan
yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban.

2.4 Model Salinitas

”Model Salinitas” adalah suatu penggambaran atas kadar garam yang terdapat pada
air, baik kandungan atau perbedaannya sehingga untuk tiap daerah dimungkinkan terdapat
perbedaan ”model salinitas”nya. Perubahan salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan
musim. Ke arah darat, salinitas muara cenderung lebih rendah. Tetapi selama musim kemarau
pada saat aliran air sungai berkurang, air laut dapat masuk lebih jauh ke arah darat sehingga
salinitas muara meningkat. Sebaliknya pada musim hujan, air tawar mengalir dari sungai ke
laut dalam jumlah yang lebih besar sehingga salinitas air di muara menurun.

Perbedaan salinitas dapat mengakibatkan terjadinya lidah air tawar dan pergerakan
massa di muara. Perbedaan salinitas air laut dengan air sungai yang bertemu di muara
menyebabkan keduanya bercampur membentuk air payau. Karena kadar garam air laut lebih
besar, maka air laut cenderung bergerak di dasar perairan sedangkan air tawar di bagian
permukaan. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya sirkulasi air di muara.

Aliran air tawar yang terjadi terus-menerus dari hulu sungai membawa mineral, bahan
organik, dan sedimen ke perairan muara. Di samping itu, unsur hara terangkut dari laut ke
daerah muara oleh adanya gerakan air akibat arus dan pasang surut. Unsur-unsur hara yang
terbawa ke muara merupakan bahan dasar yang diperlukan untuk fotosintesis yang
menunjang produktifitas perairan. Itulah sebabnya produktifitas muara melebihi produktifitas
ekosistem laut lepas dan perairan tawar. Lingkungan muara yang paling produktif di jumpai
di daerah yang ditumbuhi komunitas bakau.

2.5 Hubungan Densitas Ikan Dengan Salinitas

Salinitas dipengaruhi oleh massa air oseanis di bagian utara hingga bagian tengah
perairan, dan massa air tawar dari daratan yang mempengaruhi massa air di bagian selatan
dan bagian utara dekat pantai. Kondisi ini mempengaruhi densitas ikan, dan kebanyakan
kelompok ikan yang ditemukan dengan densitas tinggi (0,9 ikan/mł) pada daerah bagian
selatan dengan salinitas antara 29,36-31,84 ‰, dan densitas 0,4 ikan/mł di bagian utara
dengan salinitas 29,97-32,59 ‰ . Densitas ikan tertinggi pada lapisan kedalaman 5-15 m (0,8
ikan/mł) ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥31,5 ‰ yaitu pada bagian utara perairan.
Dibagian selatan, densitas ikan tertinggi sebesar 0,6-0,7 ikan/mł ditemukan pada daerah
dengan salinitas ≤30,0 ‰. Pola pergeseran nilai salinitas hampir sama di tiap kedalaman,
dengan nilai yang makin bertambah sesuai dengan makin dalam perairan. Pada lapisan
kedalaman 15-25 m, kisaran salinitas meningkat hingga lebih dari 32 ‰, dan konsentrasi
densitas ikan ditemukan lebih dari 0,4 ikan/mł dengan areal yang lebih besar pada konsentrasi
salinitas ≤31,5 ‰. Konsentrasi ikan yang ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥32,0 ‰,
yaitu di bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3 ikan/mł.

2.6 Hubungan Antara Distribusi Densitas Ikan Dengan Salinitas

Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan 35-45 m dijumpai kisaran salinitas yang hampir
sama yaitu 31,43-32,53 ‰ dan 31,77-32,73 ‰, dengan distribusi densitas ikan lebih banyak
ditemukan pada daerah dengan salinitas 32,0-32,5 ‰ yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan
kelompok ikan dengan densitas lebih kecil dari 0,1 ikan/mł banyakditemukan pada perairan
dengan salinitas ≤32,0 ‰. Pada lapisan kedalaman 35-45 m, konsentrasi densitas ikan makin
berkurang. Densitas tertinggi di lapisan ini hanya sebesar 0,17 ikan/mł, atau rata-rata densitas
ikan yang ditemukan di bawah 0,1 ikan/mł. Hal ini sesuai dengan ukuran ikan yang
terdeteksi, yang umumnya merupakan ikan-ikan berukuran kecil. Dimana lebih condong
terkonsentrasi pada daerah permukaan dan dekat pantai.

2.7 Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku Dan Kelimpahan Ikan.

Suhu air laut

Ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan
suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk
mengenali dan memilih range suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan
aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.
Pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses vertikall, seperti pertumbuhan dan
pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan
syaraf. Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu
air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis
ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling
penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies
ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning
ground) selama musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain
daripada di daerah tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi
perpindahan tempat pemijahan (spawning ground) dan fishing ground secara vertikal.

Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi
matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman
kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar
28°C) yang ertical. Oleh sebab itu lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan vertikal.
Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di
perairan dangkal lapisan vertikal ini sampai ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat
terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat
yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah
seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai
lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis,
secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di
bawah termoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.

Pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke
atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari
lapisan dalam naik ke lapisan atas.jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh
pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di bawah lapisan termoklin suhu menurun
secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman termoklin di dalam
lautan Hindia mencapai 120 meter. Menuju ke selatan di daerah arus equatorial selatan,
kedalaman termoklin mencapai 140 meter.

Pengaruh arus

Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh
arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ
mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptoradalah
reseptor yang ada pada vertikal yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis
dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu
mengarah menuju arus. Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas
antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan
divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya
sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan
ikan pada kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada
pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah
antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam
arus eddi (melalui rantai makanan).

Pengaruh cahaya

Ikan bersifat fototaktik baik secara positif maupun vertikal. Banyak ikan yang tertarik
pada cahaya buatan pada malam hari, satu fakta yang digunakan dalam penangkapan ikan.
Pengaruh cahaya buatan pada ikan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain dan pada
beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam sehari. Secara umum, sebagian besar ikan
pelagis naik ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah matahari terbenam, ikan-ikan
ini menyebar pada kolom air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam setelah matahari terbit.
Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu siang hari di dasar selanjutnya naik dan
menyebar pada kolom air pada malam hari. Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah
dan pada larva. Jumlah cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan.
Jumlah cahaya juga mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak langsung, hal ini
diduga berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
cahaya. Cahaya juga mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan
pelagis ditemukan lebih banyak pada malam hari dibandingkan pada siang hari.

Upwelling

Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi,
dan zat-zat hara yang vertikal permukaan. Proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga
bentuk. Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti
mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan
ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan. Kedua, ketika dua massa air
bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di bawah pengaruh gaya
coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh gaya coriolis
juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya.
Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang
bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena
adanya divergensi pada perairan laut tersebut. Ketiga, upwelling dapat pula disebabkan oleh
arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama beberapa
waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan
ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.

Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena


terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang
suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya
seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan. Selain itu proses air naik tersebut disertai dengan
produksi plankton yang tinggi. Di perairan Selat Makasar bagian selatan diketahui terjadi
upwelling. Proses terjadinya upwelling tersebut disebabkan karena pertemuan arus dari Selat
Makasar dan Laut Flores bergabung kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke barat menuju
Laut Jawa. Dengan kondisi demikian dimungkinkan massa air di permukaan di dekat pantai
Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut dan untuk menggantikannya massa
air dari lapisan bawah naik ke atas. Proses air naik di Selat Makasar bagian selatan ini terjadi
sekitar Juni sampai September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Air laut di lapisan
permukaan umumnya mempunyai suhu tinggi, salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah.
Sebaliknya pada lapisan yang lebih dalam air laut mempunyai suhu yang rendah, salinitas,
dan kandungan zat hara yang lebih tinggi. Pada waktu terjadinya upwelling, akan terangkat
massa air dari lapisan bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang
tinggi. Keadaan ini mengakibatkan air laut di lapisan permukaan memiliki suhu rendah,
salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa air laut
sebelum terjadinya proses upwelling ataupun massa air sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas,
dan zat hara secara vertical maupun horizontal sangat membantu dalam menduga
kemungkinan terjadinya upwelling di suatu perairan. Pola-pola sebaran oseanografi tersebut
digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang ditempuh oleh massa air yang terangkat.
Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat dipergunakan
untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan. Dalam proses upwelling ini
terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan
daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut merangsang perkembangan fitoplankton
di permukaan. Karena perkembangan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat
kesuburan perairan, maka proses air naik selalu dihubungkan dengan meningkatnya
produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan
di perairan tersebut. Upwelling di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura,
selatan Jawa hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan diduga terjadi di Laut
Maluku, Laut Halmahera, Barat Sumatra, serta di Laut Flores dan Teluk Bone. Upwelling
berskala besar terjadi di selatan Jawa, sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat
Makasar. Upwelling di perairan Indonesia bersifat musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-
September), hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara upwelling dan musim.

2.8 Penentuan Nilai salinitas

Ciri yang paling khas pada air laut yang diketahui oleh semua orang adalah rasanya
yang asin. Ini disebabkan karena di dalam air laut terlarut bermacam-macam garam, yang
paling utama adalah garam natrium korida (NaCl) yang sering pula disebut garam dapur.
Selain garam-garam korida, di dalam air laut terdapat pula garam-garam magnesium,
kalsium, kalium dan sebagainya. Dalam literatur oseanologi dikenal istilah salinitas (acapkali
pula disebut kadar garam atau kegaraman) yang maksudnya ialah jumlah berat semua garam
(dalam garam) yang terlarutdalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (per
mil, gram per liter).

Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara kimia maupun fisika. Secara
kimia untuk menentukan nilai salinitas dilakukan dengan cara menghitung jumlah kadar klor
dalam sample air laut. Hal ini dilakukan karena sangat susah untuk menentukan salinitas
senyawa terlarut secara keseluruhan. Oleh sebab itu hanya dilakukan peninjauan pada
komponen terbesar yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai
jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan
oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan
kandungan klorida.

Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total dalam gram bahan-bahan
terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua
bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi.
Selanjutnya hubungan antara salinitas dan klorida ditentukan melalui suatu rangkaian
pengukuran dasar laboratorium berdasarkan pada sampel air laut di seluruh dunia dan
dinyatakan sebagai: S (o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo) (1902) Lambang o/oo (dibaca per mil)
adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram
garam di dalam satu kilogram air laut. Persamaan tahun 1902 di atas akan memberikan harga
salinitas sebesar 0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik
perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam sampel air yang digunakan untuk
pengukuran laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969 UNESCO memutuskan untuk
mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara klorinitas dan salinitas dan
memperkenalkan definisi baru yang dikenal sebagai salinitas absolut dengan rumus: S (o/oo)
= 1.80655 Cl (o/oo) (1969) Namun demikian, dari hasil pengulangan definisi ini ternyata
didapatkan hasil yang sama dengan definisi sebelumnya.

Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk menentukan salinitas dari
pengukuran konduktivitas, temperatur dan tekanan dikembangkan. Sejak tahun 1978,
didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan
simbol S, sebagai rasio dari konduktivitas. “Salinitas praktis dari suatu sampel air laut
ditetapkan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15oC
dan tekanan satu standar atmosfer terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian
massa KCl adalah 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang sama. Rumus dari definisi
ini adalah: S = 0.0080 – 0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 – 7.0261 K2 + 2.7081
K5/2 Sebagai catatan: dari penggunaan definisi baru ini, dimana salinitas dinyatakan sebagai
rasio, maka satuan o/oo tidak lagi berlaku, nilai 35o/oo berkaitan dengan nilai 35 dalam
satuan praktis. Beberapa oseanografer menggunakan satuan “psu” dalam menuliskan harga
salinitas, yang merupakan singkatan dari “practical salinity unit”. Karena salinitas praktis
adalah rasio, maka sebenarnya ia tidak memiliki satuan, jadi penggunaan satuan “psu”
sebenarnya tidak mengandung makna apapun dan tidak diperlukan. Kemudian untuk
menghitung nilai salinitas secara fisik adalah ini untuk menentukan salinitas melalui
konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih menggunakan prinsip konduktivitas. Salah
satu alat yang paling popular untuk mengukur salinitas dengan ketelitian tinggi ialah
salinometer yang bekerjanya didasarkan pada daya hantar listrik. Makin besar salinitas,
makin besar pula daya hantar listriknya. Selain itu telah pula dikembangkan pula alat STD
(salinity-temperature-depth recorder) yang apabila diturunkan ke dalam laut dapat dengan
otomatis membuat kurva salinitas dan suhu terhadap kedalaman di lokasi tersebut.

4. Desalinisasi

Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan


garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan. Proses
desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air laut),
produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi
umumnya merupakan air dengan kandungan garam terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat
digunakan untuk keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil sampingan dari proses
desalinasi adalah brine. Brine adalah larutan garam berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35000
mg/l garam terlarut).

Distilasi merupakan metode desalinasi yang paling lama dan paling umum digunakan.
Distilasi adalah metode pemisahan dengan cara memanaskan air laut untuk menghasilkan uap
air, yang selanjutnya dikondensasi untuk menghasilkan air bersih. Berbagai macam proses
distilasi yang umum digunakan, seperti multistage flash, multiple effect distillation, dan
vapor compression umumnya menggunakan prinsip mengurangi tekanan uap dari air agar
pendidihan dapat terjadi pada temperatur yang lebih rendah, tanpa menggunakan panas
tambahan.
Metode lain desalinasi adalah dengan menggunakan membran. Terdapat dua tipe
membran yang dapat digunakan untuk proses desalinasi, yaitu reverse osmosis (RO) dan
electrodialysis (ED). Pada proses desalinasi menggunakan membran RO, ialah sebuah istilah
teknologi yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalam sel hidup
di mana molekul “solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah “solute” rendah ke
daerah “solute” tinggi melalui sebuah membran “semipermeable”. Membran
“semipermeable” ini menunjuk ke membran sel atau membran apa pun yang memiliki
struktur yang mirip atau bagian dari membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai
sebuah konsentrasi yang seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse osmosis dapat
diartikan proses pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi melalui
sebuah membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan
melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah mendorong
sebuah solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu sisi dan membiarkan
pendapatan “solvent” murni dari sisi satunya. air pada larutan garam dipisahkan dari garam
terlarutnya dengan mengalirkannya melalui membran water-permeable. Permeate dapat
mengalir melalui membran akibat adanya perbedaan tekanan yang diciptakan antara umpan
bertekanan dan produk, yang memiliki tekanan dekat dengan tekanan atmosfer. Sisa umpan
selanjutnya akan terus mengalir melalui sisi reaktor bertekanan sebagai brine. Proses ini tidak
melalui tahap pemanasan ataupun perubahan fasa. Kebutuhan energi utama adalah untuk
memberi tekanan pada air umpan. Desalinasi air payau membutuhkan tekanan operasi
berkisar antara 250 hingga 400 psi, sedangkan desalinasi air laut memiliki kisaran tekanan
operasi antara 800 hingga 1000 psi.

Dalam praktiknya, umpan dipompa ke dalam container tertutup, pada membran, untuk
meningkatkan tekanan. Saat produk berupa air bersih dapat mengalir melalui membran, sisa
umpan dan larutan brine menjadi semakin terkonsentrasi. Untuk mengurangi konsentrasi
garam terlarut pada larutan sisa, sebagian larutan terkonsentrasi ini diambil dari container
untuk mencegah konsentrasi garam terus meningka. Sistem RO terdiri dari 4 proses utama,
yaitu (1) pretreatment, (2) pressurization, (3) membrane separation, (4) post teatment
stabilization.

desalinasi dengan RO

Pretreatment: Air umpan pada tahap pretreatment disesuaikan dengan membran dengan cara
memisahkan padatan tersuspensi, menyesuaikan pH, dan menambahkan inhibitor untuk
mengontrol scaling yang dapat disebabkan oleh senyawa tetentu, seperti kalsium sulfat.

Pressurization: Pompa akan meningkatkan tekanan dari umpan yang sudah melalui proses
pretreatment hingga tekanan operasi yang sesuai dengan membran dan salinitas air umpan.

Separation: Membran permeable akan menghalangi aliran garam terlarut, sementara


membran akan memperbolehkan air produk terdesalinasi melewatinya. Efek permeabilitas
membran ini akan menyebabkan terdapatnya dua aliran, yaitu aliran produk air bersih, dan
aliran brine terkonsentrasi. Karena tidak ada membran yang sempurna pada proses pemisahan
ini, sedikit garam dapat mengalir melewati membran dan tersisa pada air produk. Membran
RO memiliki berbagai jenis konfigurasi, antara lain spiral wound dan hollow fine fiber
membranes.

tipe membran RO

Stabilization: Air produk hasil pemisahan dengan membran biasanya membutuhkan


penyesuaian pH sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat digunakan sebagai air
minum. Produk mengalir melalui kolom aerasi dimana pH akan ditingkatkan dari sekitar 5
hingga mendekati 7.

Dua metode yang paling banyak digunakan adalah Reverse Osmosis (47,2%) ialah
sebuah istilah teknologi yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam
dalm sel hidup di mana molekul “solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah “solute”
rendah ke daerah “solute” tinggi melalui sebuah membran “semipermeable”. Membran
“semipermeable” ini menunjuk ke membran sel atau membran apa pun yang memiliki
struktur yang mirip atau bagian dari membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai
sebuah konsentrasi yang seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse osmosis dapat
diartikan proses pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi melalui
sebuah membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan
melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah mendorong
sebuah solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu sisi dan membiarkan
pendapatan “solvent” murni dari sisi satunya. Proses ini telah digunakan untuk mengolah air
laut untuk mendapatkan air tawar, sejak awal 1970-an.

Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pesisir, dan terdapat di daerah
pesisir laut. Daerah pantai menjadi bats antara daratan dan perairan laut. Panjang garis pantai
ini diukur mengelilingi seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara. Garis
pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang
tertinggi. Garis laut dapat berubah karena adanya abrasi, yaitu pengikisan pantai oleh
hantaman gelombang laut yang menyebabkan berkurangnya areal daratan ( Indahwati, 2012).

Anda mungkin juga menyukai