Anda di halaman 1dari 38

I.

PENDAHULUAN

Polip nasi adalah suatu masa yang merupakan oedem kronis mukosa kavum
nasi dan sinus paranasl yang mempunyai tangkai (Morison, 1955) atau jika menurut
Pracy dkk, (1974) polip nasi adalah pembengkakan mukosa hidung yang terisi
cairan interselulaer dan terdorong ke dalam rongga hidung terhadap gaya berat.
Definisi ini berlaku untuk sebagian besar polip hidung yang tampak sehari-hari. Perlu
juga diingat bahwa pembengkakan mukosa hidung ini dapat pula oleh akibat
bendungan vena oleh karena tumor. Suatu polip hidung multilateral dicurigai
keganasan kecuali susah dibuktikan kebenarannya.
Polip nasi merupakan suatu pertumbuhan oedematous mukosa cavum nasi
dan bersifat pedunculated. Dapat berasal dari seluruh bagian cavum nasi termasuk
dari sinus paranasal. Pertumbuhan ini sering berasal dari sinus ethmoidalis,
biasanya bilateral dan bentuknya multiple. Bila tumbuh dari sinus maksilaris
bentuknya soliter dan biasanya unilateral. Pada keadaan yang terakhir ini disebut
pula anthrochoanal polip, sebab masa polip setelah keluar dari antrum melalui
ostiumnya akan tumbuh kearah choanae.
Pada awalnya polip ini belum bertangkai, baru pada perkembangan
selanjutnya menjadi bertangkai. Pada polip yang unilateral, harus dilakukan biopsi.
Terlebih lagi bila polip tersebut solid, keras, merah atau yang permukaannya tidak
teratur atau kasar.
Bila ditinjau dari gambaran histologisnya, maka polip dapat dibedakan :
1. Polip oedematous, yaitu polip yang tampak padat, mengkilat, berwarna putih
jernih, seperti anggur. Jenis ini adalah yang paling sering terjadi. Mikroskopis
tampak sedikit jaringan ikat fibrous yang longgar dan terdapat di dalam ruangan
yang penuh dengan cairan oedem.
2. Polip fibrous, yaitu polip yang tampak keruh dan kurang mengkilat. Mikroskopis
tampak jaringan ikat fibrous lebih dominan bila dibandingkan dengan cairan
oedem.
3. Polip vaskuler, yaitu polip yang tampak berwarna merah jambu. Mikroskopis
tampak kenaikan vaskularisasi yang disertai gambaran oedem perivaskuler.

1
II. EMBRIOLOGI
Perkembangan hidung dan sinus paranasalis dimulai pada minggu ketiga
intrauterine hingga pubertas, karena pada saat ini sinus paranasalis dianggap sudah
sempurna terbentuk (Bluestone & Stool, 1983). Perkembangan hidung ini
menentukan perkembangan bentuk muka dan mulut selanjutnya.
Pada awalnya adalah nasal placode yang tumbuh pada processus
frontonasalis. Pada minggu keempat, di bawah processus frontonasalis ini terbentuk
lekukan ectoderm yang disebut stomadeum. Pada masa ini pula mulai tampak
adanya processus maksilaris yang terletak laterokaudal dari processus frontonasalis.
Mulai minggu kelima pada nasal placode terdapat lekukan yang disebut nasal pit
yang merupakan bentuk awal nostril. Nasal pit sebelah kiri dan kanannya masing-
masing terbagi dua menjadi processus nasalis medialis dan processus nasalis
lateralis. Nasal pit akan semakin dalam membentuk dua pipa yang berjalan sejajar
ke belakang mendekati stomadeum. Kedua pipa sejajar ini dipisahkan oleh septum
nasi primitivum. Antara nasal pit dan stomadeum nasi dipisahkan oleh membran
bucconasal. Processus nasalis medialis selanjutnya akan membentuk hidung bagian
tengah, bibir atas bagian tengah, rahang atas bagian depan dan palatum bagian
depan (palatum primer). Di antara processus nasalis lateralis dan processus
maksilaris terdapat sulkus nasolakrimalis yang akan membentuk duktus
nasolakrimalis. Pada minggu keenam membran bucconasal ruptur, sehingga
terbentuklah choanae primativum, sementara processus maksilaris di bagian bawah
bertemu dengan processus nasalis medialis membentuk bibir atas dan palatum
primer. Sedangkan di bagian belakang processus maksilaris bertemu dengan sisi
sebelahnya membentuk palatum sekunder. Pada saat yang sama septum primitivum
tumbuh ke posterior dan bertemu dengan bagian atas palatum primitivum. Pada
minggu ketujuh septum nasi sudah terbentuk. Pada minggu kedelapan pada atap
cavum nasi sudah terbentuk area olfaktoria. Mulai bulan ketiga terjadi
penggumpalan mesoderm sebagai inti penulangan sekitar cavum nasi dan palatum
sudah menutup. Pada bulan ketiga atau keempat terjadi lekukan – lekukan pada
mukosa cavum nasi dan akan berkembang menjadi sinus paranasalis. Sinus-sinus
ini akan berkembang terus dan mencapai bentuknya yang sempurna setelah

2
pubertas atau kira-kira umur 20 tahun. Sinus sphenoidalis mulai terbentuk pada
bulan ketiga, sedang sinus maksilaris dan ethmoidalis mulai terbentuk pada bulan
keempat. Pada bulan kelima organ vomeronasal mulai mengalami proses
degenerasi. Bulan keenam os maksilaris mulai mengalami penulangan dan kapsul
kartilago nasi terbagi menjadi alaris, septum nasi dan lateralis. Pada saat bayi lahir
sinus frontalis baru terbentuk dan akan mencapai os frontalis setelah anak berumur
2 tahun (secara radiografis setelah 6 tahun) Sinus ethmoidalis sudah terbentuk 2
dan 3 celullae. Pada anak umur 3 tahun terjadi penyambungan antara pars
perpendiculris ossis ethmoidalis, lamina papyracae dan os vomir. Sinus maksilaris
pada anak umur 7 tahun berkembang ke caudal. Pada umur 8 tahun dasar antrum
setinggi kira-kira meatus nasi inferior. Umur 12 tahun, kurang lebih setinggi dasar
cavum nasi dan akan sempurna pertumbuhannya setelah pubertas, bersamaan
dengan sempurnanya sinus ethmoidalis (gambar 1a dan 1b).

III. ANATOMI
Hidung bagian luar berbentuk seperti pyramid dengan apeks pada ujung
bawah. Antara apeks dengan basis dihubungkan oleh dorsum nasi. Antara kedua
nares anteriores dipisahkan oleh kolumela.
Hidung bagian luar terdiri dari bagian tulang dan kartilago. Tulangnya yaitu os
nasalis, processus nasalis ossis frontalis dan processus nasalis ossis maksilaris.
Sedangkan bagian kartilagonya yaitu kartilago nasalis superior dan inferior, kartilago
alaris mayor yang melengkung sehingga terjadi crus lateralis dan crus medialis,
kartilago alaris minoris, kartilago septi nasi dan kartilgo sessamoidea (gambar 2a &
2b).

3
4
5
6
Vaskularisasi hidung luar oleh a. infra orbitalis cabang a. maksilaris eksterna,
a ophthalmica dan a. ethmoidalis anterior. Sedangkan aliran vena melalui v. facialis,
v. angularis dan v. ethmoidalis anterior (gambar 3).

7
Persyarafan oleh n. trigeminus untuk daerah kulit (sensibel), yaitu r. frontalis
(supratrochlearis), r. nasociliaris (infratrochlearis) keduanya untuk daerah basis dan
bridge, n. infra orbitalis untuk daerah sebagian besar dinding lateral, dan r.
eksternus, n. ethmoidalis anterior untuk daerah apeks (gambar 4).

Cavum nasi berbentuk limas yang terpotong di bagian cranial memanjang


dari depan ke belakang sepanjang kurang lebih 7,5 cm. Dipisahkan oleh septum
nasi menjadi bagian kanan dan kiri. Lobang bagian depan disebut naresanteriores
dan lobang bagian belakang disebut nares posteriors atau choanae. Dinding yang
membatasi tiap-tiap cavum nasi adalah dinding medial, dinding lateral, atap dan
dasar cavum nasi.

8
Septum nasi terdiri dari bagian tulang, yaitu crista nasalis ossis maksilaris,
crista nasalis ossis palatini, os vomer, pars perpendicularis ossis ethmoidalis dan
bagian kartilago, yaitu kartilago septi nasi dan crus medialis kartilago alaris mayoris
(gambar 5).

Gambar 5. Bagian-bagian septum nasi

Dinding lateral dibentuk oleh tulang, yaitu processus nasalis ossis maksilaris,
os nasalis, os lacrimalis, dinding medial os maksila, os ethmoidalis, pars
perpendicularis ossis palatini, dan kartilago, yaitu crus lateralis kartilago alaris
mayoris, kartilago alaris minoris dan kartilago sessamoidea. Atap terdiri atas lamina
cribosa ossis ethmoidalis, processus nasalis ossis frontalis dan corpus os
sphenoidalis. Dasarnya terdiri dari processus palatini ossis maksilaris dan pars
horisontalis ossis palatini.
Pada hidung lateral terdapat tonjolan-tonjolan yang sekaligus membagi
dinding cavum nasi yang terdiri atas: concha inferior, concha media, concha

9
superior, meatus nasi inferior, meatus nasi media, meatus nasi superior. Khusus
untuk concha suprema ini hanya terdapat pada 60% dari populasi. Meatus inferior
dilapisi oleh mukosa yang tebal, mengandung pleksus venosus. Di daerah ini
bermuara duktus nasolakrimalis yang di dekatnya terdapat plika lakriomalis atau
valve Hasner. Concha media dengan kerangka tulang merupakan bagian dari os
ethmoidalis. Pada meatus nasi media terdapat bangunan, yaitu bulla ethmoidalis
yang merupakan tonjolan dinding lateral cavum nasi, berisi cellulae ethmoidalis
anterior yang bermuara pada meatus nasi media. Di bawah bulla ethmoidalis
terdapat tonjolan lagi yang disebut processus uncinatus. Diantaranya terbentuk
celah yang disebut hiatus semilunaris. Pada hiatus ini bermuara parit yang disebut
infundibulum yang kedalamannya seklitar 0,5 mm-10 mm. Kedalaman dan bentuk
infundibulum ini mempengaruhi sinus maksilaris dan ethmoidalis yang bermuara
disini. Sebelah anterior infundibulum terdapat recessus frontalis yaitu muara sinus
frontalis. Tepat di muka tepi anterior concha media terdapat cekungan yang disebut
atrium. Dari atrium ke arah anterior dibatasi oleh ager nasi yang dalam tindakan
operasi merupakan batas tepi depan cellulae ethmoidalis anterior, tempat reseptor
pembau. Kerangka concha superior adalah juga merupakan bagian dari os
ethmoidal;is. Di bawahnya terdapat meatus nasi superior tempat bermuaranya
cellulae ethmoidalis posterior (gambar 6a & 6b).

Gambar 6a. Dinding lateral kavum nasi

10
Gambar 6b. Lokasi muara sinus paranasalis

Di sekitar cavum nasi terdapat beberapa sinus paranasalis, yaitu sinus


maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis dan sinus frontalis. Sinus maksilaris
merupakan sinus yang paling besar volumenya, berbentuk pyramid dengan basis di
medial. Muara sinus ini pada meatus nasi media. Dinding atas dipisahkan dengan
cavum orbita oleh lapisan tulang yang tipis. Pada atap sinus maksilaris ini, lebih
kurang pada sepertiga medial terdapat n. infraorbitalis. Di bagian anterior sinus
maksilaris terdapat juga a.dan n. dentalis superior anterior cabang a. dan n.
infraorbitalis. Kadang-kadang menyilang atap sinus maksilaris dalam kanal yang
tipis, bahkan sering hanya ditutupi oleh tunika mukosa saja. Arahnya anteromedial
lalu ke caudal melalui dinding sinus posterior terdapat a. dan n. dentalis superior
posterior yang menuju ke gigi molar. Pada dinding medial sinus terdapat duktus
nasolakrimalis. Dasar sinus maksilaris dipisahkan dengan akar gigi tulang
spongiosa. Kadang-kadang akar gigi dapat menonjol pada dasar antrum, hal ini
perlu diingat pada waktu operasi karena jaringan odontogen berada di sini. Pada

11
dasar antrum bagian anterior terdapat juga n. alveolaris superior. Pada dinding
depan, di atas fossa canina terdapat foramen infraorbitalis. Ke arah belakang antrum
berbatasan dengan fossa pterigopalatina. Pada fossa ini berjalan n. maksilaris dan
a. maksilaris interna yang salah satu cabangnya yaitu a. palatina descendens yang
kemudian menjadi a. palatina mayor. Seringkali dinding posterior dan superior
terpisahkan oleh penonjolan yang dibentuk oleh cellulae ethmoidalis. Ini penting
diingat dalam tindakan transantral ethmoidektomi.
Sinus ethmoidalis terdapat pada os ethmoidalis dan berjumlah 7-15 buah.
Dikelompokkan bagian anterior yang bermuara pada meatus nasi superior. Dinding
superior berbatasan dengan fossa cranii anterior. Bagian anterior berbatasan
dengan sakus lakrimalis di sebelah lateral yang kadang-kadang tanpa dipisahkan
dengan cavum orbita oleh lamina papiracea yang tipis, untungnya bulbus okuli
dilapisi oleh kapsul yang cukup tebal dan liat. Lamina papiracea ditembus oleh a.
ethmoidalis anterior et posterior serta cabang dari n. trigeminus, dari arah cavum
orbita ke medial (gambar 7a&7b).

Gambar 7a. Lamina papiracea tampak dari kavum orbita

12
Gambar 7b. Pandangan atas kavum orbita dan kedudukan a.ethmoidalis

Ke arah posterior di sebelah lateral sinus ethmoidalis terdapat foramen


optikum tempat keluarnya n. optikus dan dipisahkan oleh tulang yang tebalnya 2-5
mm. A. ethmoidalis anterior ini cukup besar sehingga pada tindakan ethmoidektomi
dengan external approach perlu diligasi terlebih dahulu. Kedua arteri ini
dipercabangkan oleh a. opthalmica yang berjalan pada dinding medial orbita. A.
ethmoidalis anterior setelah menebus lamina papyracea masuk ke fossa cranii
anterior, ke depan diatas lamina cribosa ossis ethmoidalis, ke samping crista galli,
turun ke bawah mencapai dinding anterior dan lateral hidung serta apeks hidung.

13
Bersama arteri ini berjalan v. ethmoidalis anterior yang berhubungan dengan sinus
cavernosus. Pada tindakan ethmoidektomi harus diingat bahwa lamina cribrosa
sangat tipis, sehingga dengan melakukan manipulasi terlalu banyak di sebelah
medial pangkal concha media untuk menghindari kerusakan lamina cribriformis.
Pada tindakan ethmoidektomi dengan external approach diusahakan agar tidak
memotong ligamentum canthus medialis.
Dinding inferior sinus ethmoidalis dari superiolateral ke inferiomedial, di
sebelah medial berbatasan dengan cavum nasi. Cellulae ethmoidalis anterior di
bagian lateral berbatasan dengan antrum. Dilihat dari arah medial bagian sinus
ethmoidalis overlapping dengan bagian atas dari antrum (gambar 8).

Gambar 8. Skematis potongan sagital cavum nasi dan sinus paranasalis.

Vaskularisasi hidung berasal dari cabang-cabang a. maksilaris interna dan


eksterna cabang dari a. carotis eksterna, disamping cabang a. ophthalmica yang
merupakan cabang a. carotis interna (gambar 9).

14
Gambar 9. Skema vaskularisasi hidung

A.Maksilaris interna memegang peranan penting pada vaskularisasi hidung


terutama bagian posterior dan inferior. Dalam perjalanannya arteri ini melalui fossa
pterigopalatina, tepat berada di belakang sinus maksilaris sebelum
mempercabangkan a. sphenopalatina dan a. palatina descendens. Srhingga ligasi
a. maksilaris interna dapat mengatasi pendarahan di daerah hidung yang sulit
dihentikan secara konsevatif (gambar 10a&10b).

15
Gambar 10a&b. A.Maksilaris interna dan cabang-cabangnya

A sphenopalatina setelah meninggalkan fossa pterigopalatina melalui


foramen spenopalatinum memberi vaskularisasi sebagian besar concha (kurang
lebih dua pertiga bagian posterior), septum nasi bagian posterior dan inferior sampai

16
little’s area dan sinus bagian posterior. A. sphenopalatina sering menimbulkan
perdarahan pasca operasi dan pada hipertensi. Bila terjadi perdarahan akibat
pecahnya arteri ini maka dilakukan tampon di belakang concha media. Bila cara ini
tidak berhasil maka dilakukan ligasi a. maksilaris interna atau a. carotis eksterna.
A palatina descendens merupakan cabang a. maksilaris interna bersama-
sama n. palatina mayor melalui canalis pterigopalatina sebelum muncul di foramen
palatina mayor memberi cabang ke cavum nasi bagian posteroinferior. Selanjutnya
pada palatum menjadi a. palatina mayor, sebagian kembali ke atas melalui foramen
incisivum dan foramen Stensen memberi vaskularisasi dasar cavum nasi bagian
anterior.
A ethmoidalis anterior et posterior yang merupakan cabang a. ophthalmica
(cabang a carotis interna) meninggalkan cavum orbitae masing-masing melalui
foramen ethmoidalis anterior dan posterior. A. ethmoidalis posterior memberi
vaskularisasi sinus ethmoidalis. A. ethmoidalis anterior memberi vaskularisasi
sepertiga dinding lateral septum nasi dan sinus ethmoidalis. Cabangnya yaitu r.
eksternus menuju ke dorsum nasi dan apex nasi (gambar 11a & 11b)

Gambar 11a. Arteri pada dinding medial kavum nasi/septum nasi

17
Gambar 11b. Arteri pada dinding lateral kavum nasi

Vasa limpatika dari bagian anterior bermuara pada lnn. Submandibularis.


Bagian posterior menuju lnn. Cervicalis profunda dan menuju ke lnn. Retroparingeal.
Sistem vena bagian superior melalui v. ophthamica bermuara pada sinus
cavernosus. Bagian inferior melalui sebagian melalui v. maksilaris bermuara pada v.
jugularis externus.
Innervasi pada dinding hidung meliputi sensoris spesifik oleh n. olfactorius,
sensorius umum oleh n. ophthalmicus dan n. maksilaris cabang n. trigeminus.
Motoris oleh cabang n. facialis dan saraf otonom dari n. vagus dan truncus
symphaticus. Cabang n. maksilaris terdiri atas n. nasalis posterior superior untuk
concha media dan sekitarnya, septum nasi serta dasar cavumconcha nasi, n. nasalis
posterior inferior untuk concha inferior dan dasar cavum nasi, n. infra orbitalis untuk
daerah vestibulum, n. pharyngeal untuk choanae bagian atas, n. alveolaris superior
untuk meatus nasi media. Cabang n. ophthalmica terdiri atas n. nasalis interna
media untuk septum nasi bagian anterosuperior, n. nasalis interna lateralis untuk
dinding lateral cavum nasi anterosuperior dan n. nasalis externa untuk kulit dorsum
nasi (gambar 12a & 12b).

18
Gambar 12a. Cabang-cabang saraf pada dinding medial kavum nasi/ septum nasi

Gambar 12b. cabang-cabang saraf pada dinding lateral kavum nasi

19
Gambar 13. Distribusi saraf pada dinding lateral kavum nasi

IV. HISTOLOGI
Membran mukosa hidung dan sinus paranasal terdiri dari 2 macam yaitu pars
respiratorius dan pars olfaktorius. Mukosa pars respiratorius melapisi : 2/3 bagian
bawah septum nasi, dinding lateral hidung di bawah konka superior, dasar kavum
nasi, meluas dari limen nasi masuk ke dalam hidung dan ke 1/3 bagian atas
nasofaring, meluas ke sinus paranasalis melalui ostianya tetapi lebih tipis,
berhubungan dengan epitel duktus lakrimalis dan tuba auditiva, keatas berhubungan
dengan epitel olfaktorius, ke anterior pada limen nasi berhubungan dengan kulit
vestibulum nasi. Warnanya merah muda dilapisi oleh epitel kolumner kompleks
bersilia tinggi yang bentuknya sempit di bagian dalamnya. Di antara sel-sel goblet
yang menghasilkan mucus. Membrana basalisnya bersifat fibroelastis yang
memisahkan epitel dengan jaringan ikat sub epitel. Pada jaringan ikat subepitel
terdapat glandula mucus, glandula serous dan sangat vaskuler. Lapisan terdalam
melekat erat dengan melapisi periosteum dan perikondrium. Pada septum nasi yang

20
letaknya bersebrangan dengan ujung anterior konka media terdapat penebalan local
membrana mukosa pars respiratorius yang disebut tubercle of septum.
Mukosa pars olfaktorius disebut juga membrana Scheiderian yang melapisi :
1/3 bagian atas septum, atap kavum nasi, dinding lateral konka superior dan di atas
komka superior. Epitelnya kolumner tidak bersilia yang berwarna kuning dan
mengandung glandula serous Bowman. Membrana mukosanya terdiri dari: sel
olfaktorius berbentuk bipolar, pada permukaan membrana mukosa ini mempunyai
rambut olfaktorius, sel supporting dan sel basal yang mengandung pigmen kuning.

V. FISIOLOGI
Fungsi hidung meliputi : sebagian saluran nafas bagian atas, melindungi
jalan nafas yang terletak di bawahnya, sebagai alat pembau dan sebagai resonator
suara.
Hidung sebagai saluran nafas bagian atas mempunyai sifat dan mekanisme
tertentu sehingga pernapasan dapat berjalan normal. Anatomis nares anteriores
lebih sempit dibandingkan choanae. Saat inspirasi tekanan cavum nasi lebih kecil
dari udara luar sehingga udara luar masuk. Udara dari sinus paranasalis juga ikut
terhisap. Sebaliknya pada saat ekspirasi terjadi tekanan positif pada cavum nasi
sehingga uadara keluar disertai dengan masuknya udara kedalam sinus paranasalis.
Terbukti bahwa efisiensi fungsi hidung sebagai saluran nafas tergantung dari
perbandingan antara nares anteriores dan choanae, sehingga bila choanae
menyempit atau tersumbat misalnya oleh adenoid yang hipertropi, maka mekanisme
pompa hisap tidak terjadi dalam cavum nasi dan udara inspirasi berpusar di cavum
nasi akibatnya udara yang masuk ke faring sedikit. Pada peningkatan nasal
resistance ternyata terjadi peningkatan pulmonary resistance dan penurunan
pulmonary compliance. Dibandingkan dengan pernafasan lewat mulut, pernafasan
lewat hidung lebih dalam dan lambat sehingga kesempatan untuk perputaran gas di
alveoli lebih baik.
Peranan melindungi saluran nafas melalui cara mekanis, kemis, fisis, seluler
dan imunologis. Secara mekanis berupa penyaringan oleh vibrissae untuk partikel
yang agak besar, sedangkan partikel yang lebih kecil oleh gerakan silis dialirkan ke

21
belakang dan kadang oleh refleks bersin. Secara fisis hidung mempersiapkan
kelembaban dan temperatur udara nafas sehingga saluran nafas di bawahnya tidak
mengering. Secara khemis oleh mucous blanket yang mengandung enzim
proteolitik, disebut muranidase yang dapat melisiskan dinding sel bakteri.
Pertahanan seluler dilakukan oleh makrofag dengan cara fagositosis. Sedang
pertahanan imunologis sebagai hasil sekresi IgA pada mukosa hidung. Fungsi
sebagai alat pembau lebih berperan sebagai penambah nafsu makan, sekresi
kelenjar pencernaan dan pengenalan bau, sedang sebagai fungsi pertahanan pada
manusia sudah tidak begitu berperan.
Fungsi yang berkaitan dengan suara, yaitu hidung sebagai resonator. Yang
khas adalah sebagai pembentuk bunyi konsonana nasal. Gangguan fungsi ini
mengakibatkan menurunnya kualitas suara, dikenal sebagai nasolalia oklusa bila
disebabkan karena oklusi, dan nasolalia aperta bila disebabkan adanya hubungan
langsung antara cavum nasi dan cavum oris.

VI. PATOGENESIS
Polip nasi pada saluran nafas umumnya disebabkan karena gangguan
vaskuler dan obstruksi mekanis. Gangguan vaskuler berupa vasculair instability,
kemungkinan sebagian besar disebabkan oleh adanya proses alergi dan sebagian
lagi karena radang kronis akibat infeksi.
Mula-mula tampak area simpel oedem, kemudian stroma terisi caiaran
ineterseluler. Mukosa oedematous menjadi polip ioid, dan apabila berlanjut
pembesaran terus ke bawah ke dalam cavum nasi maka terbentuklah pedicel.
Lindsay & Gray (1967) percaya bahwa Bernoulli’s phenomen mempunyai
peranan dalam pembentukan polip nasi. Bernoulli bependapat bahwa bila cairan
atau gas/udara melalui daerah yang sempit, maka akan terjadi tekanan negatif pada
daerah tersebut dibandingkan sekitarnya. Tekanan negatif ini mempengaruhi
jaringan di dekatnya sehingga terjadi extravasasi cairan intravaskuler yang berakibat
terjadi oedem di daerah tersebut.
Chandra & Abrol (1974) mempelajari imunoglobulin pada pasien dengan
polip nasi. Ternyata ada kenaikan yang bermakna pada seluruh serum

22
imunoglobulin. Pada cairan polip ius terdapat IgA dan IgE yang lebih besar
jumlahnya dibanding dengan infiltrasi pasif karena kenaikan permeabilitas vaskuler.
Mereka menyimpulkan bahwa proses alergi local pada mukosa hidung dihubungkan
dengan infeksi, merupakan factor pembentukan polip nasi secara bermakna.

VII. PATOLOGI
Makroskopis polip nasi tampak sebagai masa yang lunak, permukaan licin,
bertangkai, dengan warna bervariasi kadang translucent, putih dan keruh,
kekuningan, merah muda dan dapat pula merah seperti warna daging.
Mikroskpis tampak jaringan submukosa yang oedem, terdapat banyak cairan
serous pada ruangan interseluler, diantaranya terdapat relatif sedikit jaringan fibrous.
Ditemukan infiltrasi neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma. Pada stadium awal
dilapisi oleh epitel pseudokolumner besilia, tetapi pada stadium lanjut mengalami
metaplasi menjadi sepitel squamous. Membrana basalis menebal mengalami
hialinisasi.
Chandra & Abrol (1974) membuktikan adanya korelasi yang positif antara
banyaknya eosinofil dengan pembentukan IgE local. Schramm & Effron (1980)
membuktikan dalam pengamatannya mengatakan bahwa 29 % kasus polip i nasi
yang diamati merupakan cystic fibrosis.
Meningocel dan beberapa bentuk tumor lain baik yang jinak maupun ganas,
dapat tampak sebagai massa polip ioid, sehingga harus dipikirkan sebelum
mengambil tindakan polip iectomy. Tumor lain yang menyerupai bentuk polip i yaitu
glioma, terutama pada bayi, fibroma, neurofibroma, meningioma, transisional atau
squamous sel papilloma dan beberapa tumor ganas baik carcinoma, sarcoma atau
melanoma meskipun jarang. Beberapa tumor sulit diidentifikasi secara makroskopis
sehingga diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis.

VIII. GAMBARAN KLINIS


Gejala utama polip i nasi adalah sumbatan dan hilangnya sensasi pembau.
Berat ringannya tergantung besar kecilnya polip i. Dapat unilateral atau bilateral atau
pada saat mendapat serangan radang maupun alergi. Rhinorrhoe biasanya encer

23
atau mukopurulen bila ada infeksi, dapat menetes ke belakang sebagai post nasal
drip. Keluhan sering disertai bersin-bersin bila latar belakang alergi yang
mendasarinya. Infeksi sinus paranasalis dapat terjadi bersama-sama dengan polip i
nasi. Asma bonkhialis sering terjadi bersama-sama dengan polip i nasi dan biasanya
serangan asmanya lebih berat. Diagnosa lebih ditegakkan lagi dengan beberapa
pemeriksaan.
Rinoskopi anterior, massa polip i akan terlihat dan dengan menggunakan
sonde bisa diidentifikasi multiple atau soliter, dan asal atau pangkal polip i yang
biasanya dari meatus nasi media. Dengan melihat kedua lubang hidung massa polip
i akan terlihat bilateral dan multiple. Biasanya berasal dari sinus ethmoidalis dan
pada kasus yang sudah lama dapat mendesak tulang hidung ke depan sehingga
terjadi pelebaran batang hidung.
Rinonoskopi posterior, terutama digunakan untuk melihat antrochoanal polip.
Umumnya terjadi pada dekade kedua kehidupan.
Radiologis, pada posisi occipitofrontal dapat dinilai adanya massa polip di
cavum nasi sebagai bayangan jaringan lunak. Pada posisi occipitomental keadan
antrum mungkin ditemukan adanya penebalan mukosa atau timbunan cairan yang
terlihat sebagai bayangan air fluida level. Antrochoanal polip pada posisi lateral
tampak sebagai bayangan radiolusen antara atap nasofaring dan palatum molle,
walaupun harus dipikirkan juga kemungkinan pembesaran adenoid.
Pemeriksaan patologi anatomi, dilakukan dari bahan operasi yang
sebelumnya makroskopis dicurigai adanya keganasan.

IX. TERAPI
Pengobatan terdiri atas 2 macam yaitu konservatif yang terdiri atas
pemberian antihistamin dan kortikosteroid baik secara sistemik maupun local. Bila
dengan cara ini gagal maka dilakukan tindakan operatif. Perlu diperhatikan bahwa
polip nasi adalah proses degenerasi hidropik sebagai akibat kelainan yang melatar
belakangi, maka setelah tindakan polipektomi perlu dilakukan tindakan untuk
mengatasi kelainan yang melatar belakangi tersebut, misalnya untuk alergi dengan
desensitisasi.

24
TERAPI OPERATIF
Polipektomi adalah tindakan operatif terencana, sehingga penderita harus
dipersiapkan seoptimal mungkin untuk menghindari kemungkinan yang mungkin
timbul.
Karena polip nasi berkaitan erat dengan proses di dalam sinus paranasalis,
maka sebelum operasi diputuskan harus ditentukan perlu tidaknya tindakan lanjutan
dalam operasi tersebut seperti ethmoidektomi, intra nasal antrostomi dan Cald Well
Luc antrostomi.

X. ALAT YANG DIPERLUKAN UNTUK OPERASI


A. POLIP NASI :
1. Lampu kepala
2. Pompa penghisap dengan kanulnya
3. Kain tampon adrenalin
4. Spekulum hidung dengan ukuran : 3,5 cm, 5 cm,7,5cm dan 9 cm
5. Pinset hidung, ukuran 18 cm
6. tampon tang hidung ukuran 18 cm, 21 cm, 23 cm
7. Snare polip, tipe Krause dan tipe Glegg
8. Forcep, tipe Hancle dan tipe Citelli
9. Curet : - ujung lengkung bentuk oval(Coackly)
- ujung lengkung bentuk segitiga.

B. ANTRAL WINDOW :
1. Trocar
2. Forcep Kerrison

C. CALD WELL LUC :


1. Mess
2. Haak
3. Elevator

25
4. Tatah
5. Hammer dari Hajeck
6. Osteotome (Knable tang)
7. Curet
8. Pinset anatomis
9. Naald voeder
10. Cat gut (benang)
11. Jarum atraumatic

D. TAMPON PHARYNX
1. Mouth gag
2. Tangue spatel
3. Tampon tang
4. Tampon kasa
Gambar alat-alat dapat dilihat pada lampiran.

XI. PERAWATAN PRE OPERATIF


Sebagai suatu operasi elektif, maka penderita harus dipersiapkan seoptimal
mungkin untuk menghindari terjadinya penyulit selama operasi, sesudah operasi dan
membantu proses penyembuhan. Persiapan operasi tersebut meliputi :
1. Pemeriksaan fisik, keadaan umum, vital sign dan status lokalis
2. Pemeriksaan darah : kadar Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, jumlah
trombosit, masa perdarahan dan jendal darah serta kadar elektrolit.
3. Rontgent photo sinus paranasalis pada posisi occipitofrontal, occipitomentale
dan lateral.
4. Rontgent photo thorax posis postero-anterior.
5. Elektrokardiogram untuk penderita yang berumur lebih dari 35 tahun atau
ada riwayat kelainan jantung.
6. Pemeriksaan tambahan dilakukan bila ada indikasi, misalnya: gula darah,
test fungsi hepar, test fungsi paru untuk keperluan anestesi, test fungsi ginjal,

26
biopsy untuk pemeriksaan patologi anatomi bila makroskopis ada kecurigaan
terhadap adanya keganasan.
Dengan pertimbangan kadar Hb dan kemungkinan terjadinya perdarahan
yang banyak, bila dipandang perlu dipersiapkan darah.
Rambut hidung dan kumis dicukur, puasa kurang lebih 6-7 jam sebelum
operasi dan dipasang tampon adrenalin pada hidung setengah jam sebelum operasi.

XII. TEKNIK OPERASI PADA OPERASI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Dalam tindakan operasi pada hidung dan sinus paranasal dapat digunakan
anestesi umum atau dengan anestesi lokal. Anestesi umum dilakukan melalui
endotracheal tube dengan inflatable cup dan disertai tampon pada pharynx.
Bila anestesi umum tidak mungkin maka dilakukan anestesi lokal dengan cara
topikal, infitrasi atau campuran keduanya. Caranya sebagai berikut :
1. Topikal
Pada operasi hidung digunakan kain kasa yang dibasahi dengan larutan prokain
4 % dan adrenalin 0,1 % ditempelkan pada mukosa hidung dengan arah n.
ethmoidalis anterior dan ganglion sphenopalatinum. Pada operasi polip nasi,
kasa yang sudah dibasahi anestetikum diaplikasikan pada mukosa cavum nasi
terutama pada mukosa meatus media dan diselipkan di antara massa polip
dengan dinding lateral cavum nasi selama 2-3 menit. Zat anestetikum yang
digunakan adalah procain 4 % atau pantocain 2 %, bila perlu diulangi lagi atau
dibantu dengan xylocain 10 % spray. Untuk pungsi sinus maksilaris aplikasi pada
daerah meatus inferior.

2. Blok anestesi
Dilakukan blok pada ganglion sphenopalatinum melalui foramen sphenopalatina
mayor yang terletak pada palatum durum, posteromedial gigi M2, dengan
menggunakan jarum no. 25, melalui foramen tersebut ke kanalis palatinum
mayor sejauh 1,5 – 2 cm dilakukan secara pelan-pelan untuk menghindari
kerusakan n. palatina mayor.

27
TEKNIK OPERASI

A. POLIPEKTOMI
Penderita tidur terlentang, dilakukan anestesi dan desinfeksi hidung dan mulut,
kemudian dipasang duk steril dan dipasang tampon pharynx. Tindakan operasi
berturut-turut :

1. Amati pangkal polip, snare dipasang dengan bantuan spekulum


hidung, polip ditelusuri sampai pangkalnya
2. Snare dikuatkan dan diangkat, sisa polip dibersihkan dengan forcep
Citelli. Polip yang kecil diambil dengan memakai polip tang.
3. Untuk antrochoanal polip snare dipasang dengan bantuan tang yang
dimasukkan melalui mulut, setelah polip dilepaskan massa polip
dikeluarkan melalui mulut , bila terlalu besar.
4. Kontrol perdarahan dan dipasang tampon yang dibasahi dengan
betadine dan salep.

28
29
C. CALD WELL LUC ANTROSTOMI
Indikasinya adalah : tumor benigna, empyema yang tidak sembuh-sembuh
dengan pengobatan konservatif, fraktur komplikata os maksila dan untuk
keperluan explorasi.

1. Pada fossa canina, di atas socket gigi dibuat irisan beberapa cm dari
linea mediana sampai mencapai periosteum.
2. Periosteum dielevasi secara tumpul menggunakan elevator, sampai
mencapai foramen infraorbitale.
3. Dengan menggunakan osteoma dinding anterior antrum dibuka di
atas socket gigi.
4. Lubang diperlebar menggunakan Kerrison tang.
5. Massa yang ada di antrum diambil, jangan dilukai, kecuali kalau rusak
di curet.
6. Pasang tampon, ujungnya dikeluarkan melalui cavum nasi.
7. Penutupan mukosa bekas irisan secara interrupted menggunakan
benang nilon 4-0.

D. INTRANASAL ANTROSTOMI ( ANTRAL WINDOW )


1. Jika meatus nasi inferior sempit, concha inferior disubluxatio ke arah
medial.
2. Dengan troicar bengkok dinding medial antrum dilubangi dengan arah
horizontal agak inferior untuk mencegah kerusakan dasar cavum
orbita. Setelah trocar masuk mandrin dilepas.
3. Jika perlu lubang diperluas, trocar diputar 180 derajat, atau
emnggunakan forcep Kerrison.
4. Bila dinding medial, tebal dapat digunakan pahat Faulkner untuk
melubangi antrum.
5. Dengan polip tang, massa yang ada di antrum diambil lalu
dibersihkan dengan curet.
6. Pasang tampon.

30
E. INTRANASAL ETHMOIDEKTOMI

Indikasinya adalah ethmoiditis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan


konservatif dan polip yang pangkalnya berasal dari sinus ethmoidalis.
1. Pasang tampon adrenalin untuk mengempiskan mukosa atau meneruskan
tindakan polipektomi
2. Dilakukan sublukxatio concha media ke arah medial untuk memperluas
meatus nasi media dan melindungi lamina cribrosa.
3. Membuka bulla ethmoidalis dengan forcep, kadang-kadang sudah rapuh dan
terangkat dengan polip.
4. Cellulae ethmoidalis anterior dikerok dengan curet yang berujung oval dan
lengkung menghadap ke medial untuk menghindari lamina papyracea dan
saccus lacrimalis. Curet digerakkan ke arah bawah medial.
5. Dengan curet lubang dapat diperluas 1-2 cm ke arah belakang bawah, bila
ternyata rapuh, maka jaringan rapuh dibersihkan.
6. Dengan curet lengkung berujung oval (Faulkner), cellulae di belakangnya
dibersihkan dengan gerakan ke arah bawah dan medial, selanjutnya dengan
curet yang lebih kecil pembersihan diteruskan ke belakang.
7. Exenterasi diteruskan sampai dinding depan os sphenoidalis.
8. Jaringan hasil curettage diambil dengan forcep tumpul.

Yang perlu diperhatikan, gerakan harus selalu ke arah bawah dan medial untuk
menghindari lamina cribrosa dan lamina papyracea.
Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu perdarahan yang masuk cavum orbitae,
merusak n. opticus atau mata dan meningitis.

E. TRANSANTRAL ETHMOIDEKTOMI
1. Setelah selesai Cald Well Luc antrostomi
2. Menggunakan polip forcep atau lubang menembus sinus ethmoidalis.

31
3. Sinus ethmoidalis dibersihkan dengan forcep yang selalu menghadap
ke medial agar tidak merusak lamina papyracea, tetapi harus dijaga
agar perlekatan concha media tetap utuh, untuk melindungi lamina
cribrosa.
4. Selanjutnya dilakukan pembersihan sinus ethmoidalis posterior.

32
33
34
XIV. PERAWATAN POST OPERATIF
1 Penderita tidur terlentang dengan kepala miring untuk menghindari aspirasi
dan mengawasi bila ada perdarahan ( di kamar sadar ).
2 Awasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan.
3 Beri antibiotika, anti inflamasi, analgetika dan obat untuk menghentikan
perdarahan.
4 Pada hari ketiga tampon diangkat, bila ada perdarahan maka tampon
dikurangi sedikit demi sedikit dan dikeluarkan seluruhnya sehari sesudahnya.
Lalu dilakukan irigasi dengan larutan betadine dan garam fisiologis.
5 Umumnya penderita boleh pulang pada hari ke 5.
6 Bila di rumah tidak ada penyulit maka dianjurkan 5 hari kemudian untuk
kontrol di poliklinik.

XV. KOMPLIKASI
A.Polipektomi
1. Perdarahan
2. Aspirasi darah
B.Intranasal antrostomi
1. Perlukaan orbita
2. Emboli udara
3. Troicar masuk ke jaringan lunak pipi
C. Ethmodektomi
1. Perlukaan dan perdarahan mata
2. Kerusakan n. optikus
3. Meningitis

D.Cald Well Luc


1. Perlukaan n. infraorbitalis
2. Perlukaan akar gigi
3. Perlukaan dasar orbita

35
XVI. CARA MENGATASI KOMPLIKASI
A. Mengatasi perdarahan dengan tampon
Perdarahan dari hidung harus dicari bleeding pointnya.
1. Pertama dicoba dengan tampon adrenalin, bila gagal setelah
ditunggu 5-10 menit, dapat dicauter dengan argentums nitrat 50 %,
trichlor acetic acid atau electro cauter.
2. Dapat juga dipasang petroleum gas tampon selama satu malam, paginya
diangkat, bila masih terjadi perdarahan dilakukan cauterisasi
3. Bila terjadi perdarahan posterior dipasang Belloq tampon
4. Bila perdarahan anterior gagal diatasi dengan semua cara tersebut
diatas, maka dilakukan ligasi a. ethmoidalis anterior. Untuk perdarahan di
daerah posterior dengan ligasi a. maksilaris interna.
5. Dapat pula diberi obat haemostasis, misalnya adona, anaroxyl, vitamin K
dan lain-lain.
6. Bila terjadi perdarahan banyak diperlukan transfusi. Untuk itu perlu
monitoring pemeriksaan kadar Hb, jumlah eritrosit dan hematrokit.

B. Ligasi a. ethmoidalis anterior


Indikasi adalah untuk mengurangi perdarahan pada operasi daerah ethmoid
yang luas anterosuperior. Diperlukan alat khusus, yaitu retractor bola mata
(Ferris Smith) dan metal haemorrhagic clip.
Preoperasi mata ditutup dengan plester atau jahitan untuk menghindari
trauma pada kornea. Untuk tindakan ini perlu general anestesi (gambar 19).
Tindakan ligasi :
1. Irisan melengkung ke arah lateral di medial canthus medialis
2. Elevasi jaringan periosteum dari tulang di bawahnya
3. Elevasi saccus lakrimalis ke arah lateral
4. Tampak a. ethmoidalis anterior dan posterior, lalu dilakukan ligasi dengan
menggunakan metal arterial clip.

36
C. Ligasi a. maksilaris interna
Indikasinya adalah epistaxis massif dan akut, epistaxis kumat-kumatan,
teleangiectasis herediter dan nasopharyngeal angiofibroma. Diperlukan general
anastesi melalui endothraceal tube (gambar 20a, 20b dan 20c).
Tindakan :
1. Dilakukan Cald Well Luc antrostomi
2. Dinding posterior dibuka dengan menatah tulang dan lubang
diperluas dengan forcep.
3. Periosteum dipotong, kemudian jaringan lemak disiangi.
4. A. maksilaris interna di cari dengan bantuan mikroskop pembesaran
6-10 kali.
5. Daerah ini disiangi secara tumpul.
6. Setelah a. maksilaris interna ditemukan, kemudian dipasang clip pada
a. maksilaris interna serta cabang-cabang yang besar di sekitarnya.
Pengikatan juga bisa dilakukan pada percabangan a. sphenopalatina
dan a. palatina descendens. Pengikatan dilakukan sebelum dan
sesudah percabangan. Alat khusus yang digunakan, yaitu silver clip
dan retractor haak.

37
38

Anda mungkin juga menyukai