Anda di halaman 1dari 9

Definisi Lupus Erimatosus Sistemik

Penyakit LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik, dengan etiologi yang belum
diketahui. Manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis Penyakit LES sangat beragam.
Sistem kekebalan tubuh pada penyakit ini akan mengalami kehilangan kemampuan untuk
melihat perbedaan antara substansi asing dengan sel dan jaringan tubuh sendiri. Pada Penyakit
LES terjadi produksi antibodi yang berlebihan namun tidak menyerang kuman atau antigen
tetapi menyerang sistim kekebalan sel dan jaringan tubuh sendiri. Antibodi seperti ini disebut
“auto-antibodi” yang bereaksi dengan antigen “sendiri” membentuk kompleks imun. Kompleks
imun yang terdapat dalam jaringan akan mengakibatkan terjadinya peradangan dan kerusakan
pada jaringan. Manifestasi Penyakit LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat dan sistem imun.
Sebagian besar pasien LES adalah wanita berusia antara 15 dan 30 tahun. Pasien pria hanya
memperhitungkan sepersepuluh dari jumlah total. LES tidak menular atau turun-temurun.
Kadang-kadang, wanita hamil dengan LES dapat melepaskan antibodi pada janin melalui
plasenta. Dalam kasus tersebut, bayi mungkin menunjukkan gejala yang mirip dengan ruam
kulit lupus, yang akan hilang setelah beberapa saat dalam banyak kasus. Sejumlah kecil bayi
mungkin menderita blok jantung kongenital, yang menyebabkan denyut jantung lambat.
Namun ini tidak berakibat fatal dan pengobatan tidak perlu dilakukan. Hanya dalam kasus yang
sangat jarang terjadi, bayi mengembangkan blok jantung yang serius.
Gejala

1. Fatig
Fatig (kelelahan) merupakan keluhan tersering, ditemukan pada 80-100% penderita dan
dapat sangat melemaskan yang seing berhubungan dengan deoresi, gangguan tidur dan
fibromilagia.

2. Demam
Demam dapat merupakan manifestasi penyakit aktif, ditemukan pada lebih dai 50%
penderita LES. Membedakan demam oleh LES dan kekambuhan dari sebab lain seperti
infeksi, reaksi obat dan keganasan adalah susah. Tidak ada pertanda khas yang dapat
membedakan demam oleh LES atau sebab lain. Namun, riwayat penyakit dapat
membantu untuk menunjukkan respon terhadap AINS, parasetamol dan/atau dosis
rendah-sedang glukokortikosteroid menunjukkan dugaan adanya infeksi.

3. Myalgia
Myalgia sering ditemukan pada penderita LES, sedang kelemahan otot yang berat atau
myositis relative jarang.
4. Perubahan berat badan
Perubahan berat badan sering ditemukan dan dapat berhubungan dengan penyakit atau
pengobatan. BB turun sering sudah ditemukan sebelum diagnosa ditetapkan. BB turun
juga dapat disebabkan karena nafsu makan berkurang akibat efek samping obat yang
diberikan dan gangguan gastrointestinal. Peningkatan BB dapat terjadi karena retensi air
dan garam yang berhubungan dengan hypoalbuminemia (misalnya akibat sindrom
nefrotik atau protein losing enteropathy) atau karena nafsu makan yang meningkat
akibat penggunaan glukokortikosteroid.

5. Artritis dan artralgia


Artritis dan atralgia ditemukan pada 65-70% penderita, sering merupakan manifestasi
paling dini. Artritis menimbulkan rasa sakit yang sedang, biasanya tidak menimbulkan
erosi dan jarang terjadi perubahan bentuk sendi seperti yang terlihat pada artritis
rheumatoid.

6. Kulit dan selapur lendIr


Kelainan kulit tersering berupa lesi fasial khas berupa Acute Cutaneous Lupus Erythema
(ACLE) yang juga dikenal sebagai ruam kupu-kupu, eritema malar/pipi dan hidung yang
nampak setelah terpapar sinar matahari.

Patogenesis

Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak(flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya
merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi
penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan
aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat
menyebabkan cedera jaringan dengan cara
1. pembentukan dan generasi kompleks imun
2. berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor
inflamasi di tempat tersebut
3. secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau
penetrasi ke sel hidup.
Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan
sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama
pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE.
Jadi,berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

Apoptosis dan Aktivasi APC


Pada individu dengan gen yang berisiko menjadi SLE, proses pembersihan apoptosis ini tidak
berjalan dengan sempurna. Baik karena makrofag tidak mampu secara cepat membersihkan
hasil apoptosis ataupun akibat defisiensi atau kekurangan komplemen. Akibatnya, antigen sel
tubuh bertahan lebih lama. Hal ini bisa dikenali oleh sen antigen presenting cell seperti sel
dendritik. Sel dendritik kemudian memproses antigen ini dan menjadi teraktivasi untuk
membawa antigen tersebut ke kelenjar getah bening regional.
Meningkatnya sisa produk apoptosis ini juga dapat memicu makrofag mengeluarkan sitokin
berupa IFN-α. IFN-α ini dapat mempercepat proses maturasi sel dendritik sehingga pengenalan
antigen dari apoptosis berlangsung lebih cepat. Proses aktivasi APC tersebut dapat disimak
pada bagan di bawah ini:

BAGAN YANG MENJELASKAN AKTIVASI APC OLEH SISA APOPTOSIS PADA INDIVIDU DENGAN RISIKO GENETIK SLE
Aktivasi Sel T Helper oleh APC

Ketika sel APC masuk ke kelenjar getah bening, maka sel APC akan bereaksi dengan sel
limfosit T helper atau CD4. Proses ini akan membuat sel T helper menjadi matur dan aktif. Sel T
helper ini kemudian akan mengaktifasi sel B dengan bantuan CD40 dan IL-21. Sel B ini kemudian
akan aktif berproliferasai menjadi sel B memori yang akan mengingat antigen seumur hidup
atau menjadi sel plasma. Sel plasma ini yang kemudian akan memproduksi autoantibodi yang
pada gilirannya akan bereaksi dengan antigen tubuh dan menimbulkan kerusakan. Proses
aktivasi tersebut dapat disimak pada bagain di bawah ini:

SETELAH APC MASUK KE KGB, APC AKAN MENGAKTIVASI SEL CD4 IMATUR MENJADI SEL T HELPER YANG MATUR. SEL T HELPER DENGAN MHC CLASS II
DAN CD40 SERTA IL-21 AKAN MENGAKTIVASI SEL B. SEL B YANG TERAKTIVASAI AKAN MENGEKSPRESIKAN BCR DAN BERUBAH MENJADI SEL T MEMORI
ATAU MENJADI SEL PLASMA. SEL PLASMA KEMUDIAN AKAN MEMPRODUKSI AUTOANTIBODI YANG KEMUDIAN MENYERANG ANTIBODI TUBUH
PENDERITA SEHINGGA MUNCUL GEJALA SLE
Pada penelitian Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T sebagai Biomarker Potensial Penyakit
Systemic Lupus Erythematosus, sel-sel sistem imun innate meningkat dan sel-sel sistem imun
adaptif menurun dalam sirkulasi darah pasien SLE. Limfositopenia pada pasien SLE ditandai
oleh penurunan ekspresi CD3 dan CD26. Setelah fraksi sel mononuklear pasien SLE dikultur dan
distimulasi dengan PHA, ekspresi CD3 dan CD26 juga menurun dan lebih rendah dibanding
dengan dengan ekspresi CD3 dan CD26 dalam sirkulasi darah. Hal ini memperlihatkan bahwa
penyakit SLE secara imunologis ditandai oleh penurunan.

Ekspresi CD3 dan CD26 dalam Ekspresi CD3 dan CD26 dalam
Sirkulasi Darah Pasien SLE Kultur Limfosit T Pasien SLE

Jumlah limfosit T walaupun studi lanjutan masih diperlukan untuk mengidentifikasi apakah
semua subtipe limfosit T terpengaruh dan semua penanda permukaan limfosit T juga
mengalami abnormalitas. Jumlah leukosit dan granulosit dalam darah pasien SLE pada
penelitian ini berlawanan dengan jumlah leukosit dan granulosit pada penelitian lain yang
sudah dipublikasikan sebelumnya. Peneliti telah melaporkan bahwa sebagian besar penderita
SLE aktif mempunyai jumlah leukosit menurun atau leukopenia.Bahkan, leukopenia dan
granulositopenia tidak jarang ditemukan pada pasien SLE di berbagai negara di belahan dunia.
Perbedaan hasil pemeriksaan hematologi ini kemungkinan besar disebabkan oleh remisi
penyakit SLE setelah pasien minum obat-obat imunosupresif (data tidak ditunjukkan).
Penurunan jumlah limfosit pada pasien SLE dalam studi ini sesuai dengan penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya. Studi lain melaporkan bahwa limfositopenia pada SLE
kemungkinan besar mempunyai korelasi negatif dengan peningkatan laju apoptosis limfosit T.
Selain itu, data dalam studi ini menunjukkan bahwa limfositopenia pada pasien SLE juga
ditandai dengan penurunan ekspresi CD3 dan CD26 dibanding dengan dengan ekspresi CD3
dan CD26 kontrol pada orang sehat (pada diagram diatas). Selain penurunan ekspresi CD3 dan
CD26, beberapa abnormalitas penanda permukaan sel juga ditemukan pada limfosit pasien SLE
seperti peningkatan ekspresi CD154 yang merupakan ligan CD40 pada sel B, penurunan sekresi
IL-2, dan peningkatan IFN-γ.16 Sebagai konsekuensinya, banyak limfosit T mengalami apoptosis
dan juga merupakan sumber poten untuk mengaktifkan dan menginduksi antigen presenting
cell imatur, meningkatkan kapasitas limfosit T yang autoreaktif, memproduksi sitokin, dan
menstimulasi limfosit B yang autoreaktif. Selanjutnya, interaksi CD154 dan CD40 akan
mengaktifkan limfosit B untuk meningkatkan produksi autoantibodi yang disertai peningkatan
sel-sel B dari berbagai tingkat perkembangan Berdasarkan atas pengetahuan peneliti, sejauh ini
belum ada pusat studi yang melaporkan penurunan ekspresi CD3 dan CD26 pada penyakit SLE
baik dalam sirkulasi dan kultur limfosit T.

Terapi Farmakologi
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan,
NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri
pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan
sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat
meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting
untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek
samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen,
ulkus, dan bisa perdarahan ulkus.
NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kadang-kadang, Obat yang mencegah ulser bias diberikan bersamaan, seperti misoprostol
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi
ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena.
Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau
diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila
diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan.
Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti chloroquine atau
quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan hydroxychloroquine. Pengobatan
alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat (Retin-A). Pengobatan
immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE berat dan kerusakan organ
dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan
cyclosporine. Semua immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada
tiap obat. Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi
ginjal.
Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif
terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini menolong dalam
mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk mempertahankan remisi setelah
stabil. Efek samping yang lebih sedikit membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan
pengobatan imunosupresan yang tradisional

Terapi Non Farmakologi


Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari
sinar matahari bias efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat
badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi
beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian. Pada pasien
ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid yang diguna dalam kasus
ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga dinasehatkan agar melindungi dirinya dari
pada cahaya matahari.
Daftar Pustaka

1. Baratawidjaja Karnen Garna, Iris Rengganis.2018.Imunologi Dasarr Edisi ke


12.Jakarta:Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-paru-kronik-dan-
gangguan-imunologi/les-lupus-eritematosus-sistemik tanggal 7 Oktober 2019 pukul
19:46 WIB
3. Muthusam, Vikneshwaran. systemic lupus erythematous (SLE).Jakarta.2017
4. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematous: Pathogenesis,
Clinical Manifestation and Diagnosis. Eular On-line Course onRheumaticDiseases–
modulen°17.2007-2009.
5. https://caiherang.com/patogenesis-dan-patofisiologi-sle-systemic-lupus-erythematosis/
tanggal 9 oktober 2019 pukul 21.00
6.

Anda mungkin juga menyukai