125 608 1 PB PDF
125 608 1 PB PDF
53 - 65
Naskah diterima : 21 Februari 2017, Revisi terakhir : 21 Mei 2017, Disetujui : 22 Mei 2017, Online : 29 Mei 2017
Abstrak - Cekungan Bintuni merupakan salah satu Abstract - Bintuni Basin is one of the giant basins in
cekungan besar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Eastern Region of Indonesia (KTI). Until now there are
J
Sampai saat ini hanya terdapat beberapa lapangan minyak only few oil and gas production fields in the Bintuni Basin.
dan gas yang berproduksi di Cekungan Bintuni. Hal ini This case prompted the government to accelerate the
mendorong pemerintah untuk melakukan percepatan discoveries of new oil and gas reserves in Eastern Region
G
penemuan cadangan migas baru di KTI, khususnya di of Indonesia, particularly in the Bintuni Basin. Gravity
Cekungan Bintuni. Metode gayaberat merupakan salah method is one of geophysical method that is commonly
satu metode geofisika yang kerap digunakan dalam used in preliminary studies of sedimentary basins.
penelitian awal cekungan sedimen. Pola anomali Bouguer Bouguer anomaly obtained is reduced by using an average
yang diperoleh direduksi dengan menggunakan densitas density based on the Nettleton method. Regional–residual
S
rata–rata berdasarkan metode Nettleton. Pemisahan anomaly separation is performed based on the spectral
anomali regional–residual dilakukan berdasarkan analisis analysis. Residual anomaly showed anticline closures
spektrum. Pola anomali residual memperlihatkan adanya with a northwest–southeast directions, and also there are
beberapa closure antiklin dengan arah tenggara–baratlaut, indication of some strike–slip faults which are expected as
M
selain itu terindikasi keberadaan strike–slip yang diduga the result of the compression due to the Pacific Oceanic
sebagai akibat adanya gaya kompresi dari pergerakan Plate and the Australian Continent Plate movement. The
Lempeng Samudra Pasifik dan Lempeng Benua Australia. result from spectral analysis showed that the average
Hasil analisis spektrum memperlihatkan bahwa depth of the bedrock is up to 6.5 km. Based on the 2.5D
kedalaman rata–rata batuan dasar di daerah penelitian subsurface geological structures estimation indicates
mencapai 6.5 km. Berdasarkan hasil estimasi 2.5D shallowing basement toward Mogoi and Kamundan
struktur geologi bawah permukaan menunjukkan adanya district area with some fault structures that allows
pendangkalan basemen ke arah Mogoi dan Kamundan migration of the hydrocarbon from Pratertier source rocks
dengan beberapa struktur sesar yang memungkinkan to the Kais reservoir.
terjadinya migrasi hidrokarbon dari batuan induk Pra
Keywords: Bintuni Basin, Bouguer, Residual, Spectral
Tersier ke reservoir Kais.
Analysis, Anticline
Kata Kunci : Cekungan Bintuni, bouguer, residual, analisis
spektrum, antiklin.
Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral - Terakreditasi oleh LIPI No. 596/Akred/P2MI-LIPI//03/2015, sejak 15 April 2015 - 15 April 2018
54 J.G.S.M. Vol. 18 No. 2 Mei 2017 hal. 53 - 65
cekungan ini. Salah satu penelitian G&G yang Geologi Bandung. Titik CC Steenkool merupakan titik
dilakukan adalah gayaberat. Penelitian ini dimaksudkan cell centre pertama, yang memanfaatkan tugu Titik
untuk menambah basis data gayaberat di daerah Kontrol Geodesi (TKG) milik Badan Informasi
Geospasial (BIG) di Bandara Steenkool, Distrik Bintuni
G
STEENKOOL
WIRIAGAR
KAMUNDAN
KP. LAMA
TOMU
Gambar 1. Posisi titik–titik pangkal gayaberat (cell centre–CC) yang berada di daerah penelitian yang terdiri dari CC
Steenkool, CC Pelabuhan Kp. Lama, CC Tomu, CC Wiriagar, dan CC Kamundan. Tumpang susun dengan Peta
Rupa Bumi Indonesia Provinsi Papua.
Struktur Geologi Bawah Permukaan Cekungan Bintuni Berdasarkan Analisis Data Gayaberat (A. Handyarso drr.) 55
Data hasil pembacaan peralatan gravimeter kemudian gbaca: Nilai Gayaberat hasil pembacaan dalam mGal
dikonversi dengan menggunakan tabel konversi yang
sesuai sehingga akan diperoleh hasil pembacaan dalam φ: Posisi lintang (Latitude) dari titik pengukuran
mGal. Koreksi selanjutnya adalah koreksi pasang surut FAC : Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction)
gayaberat (tide correction), koreksi apungan (drift dalam mGal
correction) dari instrument ukur, koreksi udara bebas
h: Ketinggian titik pengamatan dari muka air laut
(free air correction), koreksi Bouguer (Bouguer
(MSL)
correction), dan koreksi medan (terrain correction).
Ketiga koreksi terakhir memerlukan data ketinggian BC : Koreksi Bouguer (Bouguer Correction) dalam
yang diperoleh dari pengamatan peralatan Differential mGal
Global Positioning System (DGPS).
TERR : Koreksi Medan (Terrain Correction)
(1) (6)
Keduanya baik gobs maupun gteori harus dikoreksi Dengan demikian anomali gayaberat diperoleh dengan
terlebih dahulu. Nilai hasil pengamatan Gayaberat mensubstitusikan persamaan 6 ke dalam persamaan 5
G
(gobs) adalah nilai Gayaberat pembacaan (gbaca) yang sehingga akan dihasilkan persamaan 7 berikut
dikoreksi dengan koreksi pasang–surut (Tide (Grandis, 2015).
Correction) dan koreksi apungan (Drift Correction).
g anomali = (g baca + tide - drift )- (g n - FAC + BC - TERR ) (7)
Kemudian nilai Gayaberat teoritis (gteori) adalah nilai
S
Gayaberat normal (gn) yang dikoreksi dengan koreksi Penulisan persamaan 5 atau persamaan 7 memiliki arti
udara bebas (Free Air Correction), koreksi Bouguer bahwa gayaberat normal (gn) yang berada pada datum
(Bouguer Correction) dan koreksi medan (Terrain muka air laut atau MSL (Telford drr, 2004)
Correction) seperti dituliskan dalam persamaan 5 “dipindahkan” ke lokasi titik pengukuran yang
M
Persamaan 5 atau persamaan 7 secara numeris sama Kembelangan Atas. Kembelangan Bawah yang
dengan persamaan 8 atau persamaan 9. Dengan kata lain berumur Jurasik Awal–Kapur Awal, dan secara tidak
persamaan–persamaan tersebut akan memberikan hasil selaras menindih Formasi Tipuma, tersusun oleh
perhitungan nilai anomali Bouguer yang sama. batupasir, batuan karbonat dan batubara dengan
Persamaan yang akan digunakan di dalam perhitungan lingkungan pengendapan deltaik hingga laut tertutup.
sangat bergantung pada pilihan pembaca. Formasi yang termasuk ke dalam Kembelangan Bawah
adalah Formasi Kopai dan Formasi Ayot. Sedangkan
Turunan Tegak Kedua (Second Vertical Derivative Formasi Kembelangan Atas yang berumur Kapur
– SVD) Awal–Kapur Akhir, dan secara tidak selaras menindih
Formasi Kembelangan Bawah, terdiri atas batupasir dan
Pola kontur anomali residual diperoleh melalui proses batulempung. Kembelangan Atas terdiri atas
pemisahan anomali regional–residual. Efek dangkal batugamping Piniya, batupasir Ekmai dan Formasi Jass.
yang terkandung di dalam data anomali residual dapat Formasi Kembelengan Bawah dan Kembelengan Atas
dimunculkan dengan menerapkan teknik anomaly dipisahkan oleh ketidakselarasan yang berumur Kapur
enhancement yang salah satunya dengan menggunakan Awal atau disebut dengan intra–cretaceous
metode Second Vertical Derivative (SVD). Metode unconformity dan juga merupakan awal dari fase rifting
SVD ini sangat baik dalam mendelineasi patahan. (Patra Nusa Data, 2006).
Medan potensial U (P) dengan tidak terdapat sumber Formasi Waripi menindih secara selaras Kelompok
maka akan berlaku persamaan laplace (Blakely, 1995) Kembelangan dan berumur Paleosen. Litologi
berikut. penyusunnya adalah batupasir, batulempung dan serpih
J
¶ 2U (P ) ¶ 2U (P ) ¶ 2U (P )
Ñ 2U (P ) =
yang merupakan ciri dari endapan lingkungan laut
+ + =0 (10)
¶x 2 ¶y 2 ¶z 2 dalam. Kelompok Batugamping New Guinea
diendapkan pada Eosen–Miosen Tengah. Pada Kapur
Dengan demikian untuk persamaan Second Vertical
G
Persamaan 11 tersebut kemudian dipergunakan untuk New Guinea yaitu: Formasi Faumai yang berumur
menghitung pola anomali SVD dari data anomali Eosen-Oligosen, Formasi Sirga berumur Miosen Awal
residual yang telah diperoleh. dan Formasi Kais berumur Miosen Tengah. Lapisan
karbonat ini meluas sepanjang Cekungan Bintuni
M
J
G
S
M
Gambar 2.Kolom stratigrafi regional daerah Papua Barat dengan Formasi Kemum sebagai batuan dasar yang kemudian
tertutup oleh Kelompok Aifam, Formasi Tipuma, Kelompok Kembelangan, Formasi Waripi, Kelompok
Batu Gamping New Guinia, dan Formasi Steenkool.
Daerah Penelitian
G
Gambar 3. Struktur Geologi Regional Daerah Papua. (1) Sorong Fault Zone, (2) Yappen Fault Zone, (3) Tarera–Aiduna Fault Zone, (4)
Banda Trench, (5) Seram Fold–Thrust–Belt, (6) Lengguru Fold–Thrust–Belt, (7) Cendrawasih Bay Fold–Thrust–Belt, (8)
S
Central Range Fold–Thrust–Belt, (9) Misool–Onin–Kumawa Ridge, (10) Kemum High, (11) Weyland Overthrust.
Pulau Papua dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
M
mGal
Gambar 4. Pola kontur anomali Bouguer daerah penelitian dengan titik–titik hitam pada peta menunjukkan lokasi pengukuran
gayaberat.
J
frekuensi tunggal. Dengan diketahui frekuensi dari anomali regional–residual. Berdasarkan hasil analisis
setiap sinyal penyusun tersebut maka akan diperoleh spektrum diperoleh bahwa kedalaman rata–rata anomali
nilai amplitudo setiap spektrum frekuensi yang ada. regional diperkirakan mencapai kedalaman ±6.5 km,
Proses penyusunan kembali sinyal–sinyal dengan sedangkan untuk kedalaman rata–rata anomali residual
M
frekuensi tunggal tersebut menjadi sebuah sinyal awal diperkirakan ±1.5 km sampai ±6.5 km.
Gambar 5. Grafik analisis spektrum dari anomali Bouguer daerah penelitian. Berdasarkan grafik spektrum tersebut terbagi menjadi
frekuensi rendah yang berasosiasi dengan anomali regional, frekuensi menengah yang berasosiasi dengan anomali residual,
dan frekuensi tinggi umumnya berupa noise.
60 J.G.S.M. Vol. 18 No. 2 Mei 2017 hal. 53 - 65
adanya sesar mendatar (strike–slip fault) yang Wiriagar sedikit bergeser yang diakibatkan oleh adanya
memotong closure antiklin baratlaut–tenggara. sesar mendatar (Gambar 7).
Keberadaan strike–slip fault tersebut memungkinkan Diperoleh sesar mendatar (strike–slip fault) lainnya di
G
hidrokarbon bermigrasi dari lapisan source rocks sebelah timur yang memiliki kelurusan hampir
Pratersier dan terperangkap pada Formasi Kais yang utara–selatan, hal ini menunjukkan bahwa sesar
termasuk ke dalam Kelompok New Guinea Limestone. mendatar baratdaya–timurlaut telah mengalami rotasi
Pembentukan sesar mendatar ini diduga sama dengan berlawanan dengan arah jarum jam (Counter
S
pembentukan lipatan sebagai akibat adanya kompresi Clockwise) di daerah Kepala Burung (KB).
M
mGal
Gambar 6. Pola kontur anomali Residual dengan beberapa anomali rendah (sub cekungan) yang berada di daerah
Kamundan, daerah Tembuni, dan daerah Manimeri. Terdapat pola anomali tinggi yang berupa
closure–closure antiklin dengan kelurusan baratlaut–tenggara. Posisi sumur–sumur produksi minyak
ditunjukkan dengan titik berwarna hitam, sedangkan sumur produksi gas ditunjukkan dengan titik berlubang.
Struktur Geologi Bawah Permukaan Cekungan Bintuni Berdasarkan Analisis Data Gayaberat (A. Handyarso drr.) 61
mGal
Gambar 7. Pola kontur anomali Turunan Tegak Kedua atau Second Vertical Derivative (SVD) daerah penelitian. Pola
anomali tersebut menunjukkan adanya indikasi sesar mendatar (strike–slip fault) di daerah Wiriagar yang
J
Sesar mendatar yang memiliki kelurusan utara–selatan gayaberat memungkinkan untuk dilakukan estimasi
tersebut diduga terbentuk lebih dahulu daripada sesar ketebalan lapisan sedimen kedua yang berarti pula
G
mendatar dengan kelurusan baratdaya–timurlaut yang kedalaman batuan dasar. Keberadaan interface pertama
ditemukan di sebelah barat daerah penelitian. Hal ini akan mengurangi parameter yang tidak diketahui pada
sesuai dengan mekanisme rotasi berlawanan arah jarum saat melakukan estimasi penampang bawah
jam di daerah Kepala Burung sebagai akibat sesar permukaan. Dengan demikian ambiguitas dari metode
S
Sorong yang berubah menjadi tidak aktif, sehingga blok gayaberat dapat diminimumkan. Gambar 9
struktur di daerah KB mengalami rotasi sebesar 30°– menunjukkan proses interpretasi interface pertama
40° (Charlton, 1999). berdasarkan data lintasan seismik SS – SS', sedangkan
M
mGal
Gambar 8. Posisi penampang bawah permukaan pada data anomali residual dan posisi lintasan seismic
section SS–SS' (garis merah) di daerah penelitian.
J
G
S
M
Gambar 9. Salah satu penampang seismik (seismic section) di daerah Kamundan (penampang SS–SS' pada
Gambar 8). Identifikasi lapisan pertama (first interface) dapat dilakukan dengan mudah dan
diinterpretasikan sebagai Top Kais. Namun interpretasi pada interface di bawahnya sulit untuk
dilakukan karena respon data seismik yang tidak jelas (blur) sebagaimana ditunjukkan dengan
garis berwarna biru.
Gambar 10. Penampang bawah permukaan AB dengan kelurusan hampir baratdaya (SW) – timurlaut
(NE) pada Gambar 8, memotong Kamundan ke arah Mogoi.
Struktur Geologi Bawah Permukaan Cekungan Bintuni Berdasarkan Analisis Data Gayaberat (A. Handyarso drr.) 63
Gambar 11. Penampang bawah permukaan CD dengan kelurusan baratlaut (NW) – tenggara (SE) pada
Gambar 8, memotong Mogoi ke arah Bintuni.
Adanya shale dan sandstone di bawah lapisan New Lapisan top sediments yang memiliki densitas 2.2 gr/cc
Guinea Limestone akan menurunkan nilai densitas cenderung menebal ke arah timur. Hal yang sama
secara keseluruhan. Oleh karena itu untuk lapisan di terlihat pula pada lapisan bottom sediments yang
bawah interface pertama (bottom sediments) dipilih memiliki densitas 2.5 gr/cc. Batuan dasar (basement)
densitas sebesar 2.5 gr/cc. Kemudian untuk lapisan secara umum mengalami pendangkalan ke arah
J
batuan dasar (basement) yang berupa continental plate Kamundan dan Mogoi dari sebelah timur daerah
dari benua Australia diperkirakan memiliki nilai densitas penelitian.
rata–rata sebesar 2.8 gr/cc (Haddad & Watts, 1999).
Struktur geologi bawah permukaan terlihat jelas pada
G
permukaan yang berkembang di daerah penelitian. ditunjukkan dengan tanda panah pada Gambar 12.
Gambar 12. Penampang bawah permukaan dalam 2.5D yang menunjukkan perpotongan penampang AB
dan penampang CD. Terdapat pendangkalan basement dari deposenter Cekungan Bintuni di
sebelah timur ke arah Mogoi dan Kamundan di sebelah barat daerah penelitian. Arah migrasi
hidrokarbon yang mungkin ditunjukkan dengan tanda panah.
64 J.G.S.M. Vol. 18 No. 2 Mei 2017 hal. 53 - 65
Struktur pertama (a) pada Gambar 12 menunjukkan mungkin ada di Cekungan Bintuni. Tidak menutup
adanya struktur naik pada bagian sebelah selatan, kemungkinan perangkap hidrokarbon lainnya memiliki
sedangkan pada bagian sebelah utara dari struktur pola yang sama.
pertama (a) adalah daerah Wiriagar. Pola serupa juga
dijumpai pada struktur kedua (b), dimana pada bagian KESIMPULAN
sebelah selatan dari struktur kedua naik. Hal ini
mendorong hidrokarbon untuk bermigrasi ke antiklin Hasil analisis Cekungan Bintuni berdasarkan data
yang berada di sebelah utara dari struktur kedua (b), gayaberat menunjukkan bahwa pola closure antiklin
daerah tersebut tidak lain adalah daerah Mogoi. Pola dengan arah baratlaut–tenggara tersesarkan oleh
stuktur demikian memungkinkan terjadinya migrasi strike–slip fault yang memiliki arah
hidrokarbon dari lapisan source rocks Pratersier ke baratdaya–timurlaut, sehingga memungkinkan
Formasi Kais sebagai Reservoir. Hal ini sesuai dengan terjadinya migrasi hidrokarbon dari lapisan source
hasil penelitian yang menyatakan bahwa hidrokarbon rocks Pratersier ke lapisan Reservoir Kais (Tersier).
yang terperangkap pada Formasi Kais di Cekungan Estimasi penampang bawah permukaan yang dikontrol
Bintuni diperkirakan berasal dari formasi yang lebih tua dengan data seismik 2D memperlihatkan adanya
atau formasi yang berada di bawahnya (Dolan drr, pendangkalan batuan dasar (basement) dari sebelah
1988). timur daerah penelitian ke daerah Mogoi–Kamundan di
Cekungan Bintuni.
Berdasarkan hasil penelitian gayaberat diketahui bahwa
pola perangkap hidrokarbon di daerah penelitian berupa
closure antiklin dengan kelurusan baratlaut–tenggara UCAPAN TERIMA KASIH
J
yang terpotong / terpancung oleh struktur sesar Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
mendatar (strike–slip fault) dengan kelurusan Pusat Survei Geologi berserta jajarannya yang telah
baratdaya–timurlaut. Pola struktur demikian ditemukan memberikan fasilitas selama pelaksanaan penelitian.
G
pada lapangan produksi migas di Wiriagar dan Mogoi. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih
Kombinasi ini dapat dijadikan sebagai “template” di kepada Sri Sulistiyono dan Wawan Gunawan yang telah
dalam penemuan perangkap hidrokarbon lain yang turut serta dalam proses akuisisi data.
S
ACUAN
Badan Geologi. 2010. Peta Cekungan Sedimen Indonesia Berdasarkan Data Gayaberat dan Geologi skala
M
1:5.000.000. Bandung.
Badan Informasi Geospasial. 2016. Peta Rupa Bumi Indonesia lembar Fak–Fak (2913) Skala 1:250.000.
http://tanahair.indonesia.go.id/
Blakely, RJ. 1995. Potential Theory in Gravity and Magnetic Application. Cambridge University Press: hal. 128 – 153;
324 – 328.
Charlton, TR. 1999. Tertiary Evolution of The Eastern Indonesia Collision Complex. Journal of Asian Earth Sciences,
18 (2000) pp. 603 – 631.
Cloos, M., Sapiie, B., Quarles van Ufford, A., Weiland, RJ., Warren, PQ., Mc Mahon, TP. 2005. Collisional
delamination in New Guinea: The geotectonics of subducting slab breakoff. Special papers of Geological
Society of America.No. 400.
Dolan, PJ., Hermany. 1988. The Geology of The Wiriagar Field, Bintuni Basin, Irian Jaya. Proceedings Seventeenth
Annual Convention IPA. Jakarta. hal. 53 – 87.
Grandis, H. 2015. Anomali Bouguer bagian 1 dan bagian 2. http://geofisika.net/gravitasi/
Haddad, D., Watts, AB. 1999. Subsidence History, Gravity Anomalies, and Flexture of The NorthEast Australian
Margin in Papua New Guinea. Tectonics Vol 18, No. 5 pp. 827–842.
Ikhwanudin, F., Abdullah, CI. 2015. Indication Strike Slip Movement a part of Sorong Fault Zone in Yappen Island,
Papua, Indonesia. GSTF Journal of Geological Sciences (JGS). Vol. 2 No. 1. hal. 25 – 33.
Struktur Geologi Bawah Permukaan Cekungan Bintuni Berdasarkan Analisis Data Gayaberat (A. Handyarso drr.) 65
Kadir, WGA. 2000. Eksplorasi Gaya Berat dan Magnetik. Program Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Ilmu
Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Lilie, RJ. 1999. Whole Earth Geophysics, An Introductory Textbook for Geologists & Geophysicists. Prentice–Hall:
hal. 223 – 283.
Nettleton, LL. 1939. Determination of density for reduction of gravimeter observations, Geophysics, Vol. 4, pp.
176–183, http://dx.doi.org /10.1190/1.1437088.
Patra Nusa Data, PT. 2006. Indonesian Basin Summaries (IBS). Inameta Series, Indonesia Metadata Base.
Sapiie, B., Naryanto, W., Adyagharini, AC. and Pamumpuni, A. 2012. Geology and Tectonic Evolution of Birds Head
Region Papua, Indonesia: Implication for Hydrocarbon Exploration in Eastern Indonesia, Search & Discovery
Article, No. 30260.
Telford, WM., Geldart, LP., Sheriff, RE. 2004. Applied Geophysics 2nd edition. Cambridge University Press.
Cambridge: hal. 10 – 19.
Wellenhof, BH ., Moritz, H. 2005. Physical Geodesy. Springer Wien New York. Austria: hal. 129 – 155.
www.srgi.big.go.id
J
G
S
M
M
S
G
J